Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
24
POST CONFLICT
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DAN PERDAMAIAN ACEH
Khairul Hasni
Dosen Program Studi Geografi FKIP Universitas Almuslim
ABSTRAK
History long armed conflict, Acehnese women who became victims of human rights violations continue to suffer from their inability to seek justice and protection in the peace-time, the grass-root people are largely ignored. The post-tsunami development provided peace in Aceh, perhaps the first time in its history. Aceh has become the most politically dynamic space in Indonesia as a result of new political landscapes engendered by MoU Helsinki. The post-conflict peace-building in Aceh has been
widely welcomed E\ WKH LQWHUQDWLRQDO FRPPXQLW\ ZKLFK FRQFHUQV DERXW ,QGRQHVLD¶V SROLWLFDO VWDELOLW\
However, from the perspective of war victims, the ongoing programs of reconciliation and rehabilitation do not contain important initiatives for gender equality. Therefore, many women in Aceh are likely to be excluded from the reconstruction of the society. In fact, the number of women who participate in formal peace process remains very small in Aceh.
Keyword : Perempuan, Koflik dan Perdamian. Pendahul uan
Konflik bersenjata, ke kerasan polit ik dan kerusuhan sipil dengan kejadian keke rasan yang telah menjatuhkan ratusan ribu wa rga sipil pada masa konflik. Peristiwa konflik te lah terjadi d i seluruh wilayah Asia Pasifik sela ma tahun terakhir seperti di Aceh, Indonesia, Burma, India, Nepal, Timor Leste, Pakistan, Afghanistan, Irak, Sri Lanka , dan Thailand Selatan. Konflik be rsenjata adalah fenomena gender. Militer dan polisi adalah institusi patriarka l, yang merep roduksi dan me manipulasi
tradisi maskulin itas dan fe min itas.
Konstruksi maskulinitas berhubungan
dengan kekuatan, kecakapan, ke kuatan, kekuasaan dan penaklukan, se mua yang menentukan perang dan konflik. Konflik bersenjata dan perang berfungsi untuk me mpe rkuat, mengulangi dan mereproduksi konstruksi ini dengan menciptakan sebuah
foru m di mana orang-orang dapat
menggunakan nominasi mere ka.
Sela ma pe merintahan Soeharto,
pelanggaran terhadap penduduk sipil d i Aceh. Militer Indonesia dan GAM separatis (Gera kan Aceh Merdeka ) menggunakan keke rasan untuk mengintimidasi warga sipil
termasuk pere mpuan. Itu sangat intensif dari tahun 1989 sa mpai tahun 1998, sela ma DOM (Daerah Ope rasi Militer). Pada tahun 2002, Ko misi Nasional merilis ko mpilasi laporan dari LSM (Le mbaga Swadaya
Masyarakat) lokal mendokumentasikan
tindak ke kerasan terhadap perempuan dala m berbagai situasi konflik d i Aceh selama periode DOM.
Konflik panjang di Aceh telah me ma ksa perempuan yang hidup dalam ke miskinan dan kele lahan secara fisik, finansial, dan psikologis. Pe langgaran HAM (Ha k Azasi Manusia) berat, termasuk pe me rkosaan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual, yang dila kukan oleh pasukan kea manan sebagai bentuk intimidasi dan sebagai huku man atas dugaan dukungan untuk GAM. GAM juga telah bertanggung jawab untuk mela kukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan di Aceh. Siapapun pelaku adalah, kenyataannya bahwa ke kerasan berbasis gender menjad i sangat umum d i Aceh selama DOM dan darurat militer berikutnya.
Pendekatan dan Me tode
Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
25
konflik Aceh pada kehidupan perempuanselama ko mflik. Menyelidiki dengan pendekatan wawancara, case study dan teori yaitu: peristiwa konflik dan kekerasan terhadap perempuan. Pendekatan ini dip ilih untuk mengali dan me maha mi da la m
menganalisis inisiat if perda maian
selanjutnya dan perkembangan politik d i Aceh pasca konflik.
Kekerasan Seksual
Konflik panjang te lah menimbulkan proses kepedihan panjang bila dilihat dari
kasus, pemerkosaan dan jenis -jenis
keke rasan seksual adalah bagian dari peperangan di Aceh. Pere mpuan mengala mi kerugian, perp indahan, keke rasan dan ma rjinalisasi. Sebagian besar tinggal d i ketakutan dan dia m d i bawah anca man tindakan militer. Ju mlah yang sangat besar
perempuan telah keh ilangan anggota
keluarga dala m perte mpuran dan juga perempuan yang mengala mi ke kerasan berbasis gender.
Umu mnya, para ko rban dibawa dari rumah mere ka o leh militer yang ingin me meriksa apakah atau tidak pere mpuan terlibat dala m sayap perempuan GAM, atau "Inong Bale," atau janda anggota GAM. In i adalah modus operandi yang umu m digunakan oleh milite r untuk mela kukan keke rasan seksual.
Pelecehan seksual dilaku kan ket ika milite r datang ke ru mah-ru mah masyarakat dengan alasan mencari GAM dan Inong Ba le. Melihat kasus kebanyakan perempuan diminta untuk me mbuka ka in me reka untuk me meriksa apakah mere ka me miliki simbol "bulan dan bintang" (GAM bendera simbol) dala m dada mere ka. Da la m kondisi seperti itu, ada banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Pere mpuan yang men jadi korban keke rasan seksual juga menderita tekanan sosial dari masyarakat. Mereka sering dipersalahkan dari yang gagal untuk menjaga kehormatan keluarga dan seluruh masyarakat.
Economic and S ocial Difficulties
Aceh kaya akan sumber daya ala m seperti minyak dan gas. Dibalik itu, Ja karta telah me manfaat kan menga mbil keuntungan dari berbabagai sumber yang besar di Aceh,
sehingga ke miskinan yang tersebar luas di wilayah tersebut, me mpe rburuk perasaan penduduk dari perla kuan tidak ad il oleh pemerintah pusat. Untuk Jakarta, te muan gas alam di Aceh Utara pada tahun 1971 berubah sikapnya terhadap wilayah tersebut,
men ingkatkan tingkat kea manan dan
represi.
Antara 1998 dan 2002, sekitar 60 guru tewas dan 200 diserang oleh militer. Se la ma DOM dan darurat milite r, sekitar 527 sekolah dan 122 ru mah d inas guru dibaka r. Militer me laku kan operasi in i untuk menghancurkan le mbaga pendidikan yang bisa menge mbangkan pandangan negatif
tentang Jakarta. Tahun 2003 ± 2004 Darurat
Militer I dan II terdapat 1.326 kasus dengan adanya kebijakan militer.
Sela ma konflik, ribuan pere mpuan men jadi janda karena suami me reka tewas.
Pere mpuan anggota ditinggalkan oleh
suaminya selama konflik terpaksa men jadi kepala ke luarga. Mere ka juga mendapat tugas untuk me menuhi kebutuhan ekonomi keluarga mere ka. Dengan demikian, mere ka harus menja lankan peran ganda sebagai pencari nafkah, men jadi kepala keluarga, dan menja lankan tugas untuk me rawat anak-anak. Se mua te rjad i pada saat yang
sama ketika konflik menghancurkan
ekonomi loka l, menghentikan masyarakat untuk mengolah tanah mere ka, me matahkan jaringan perdagangan, dan pengrusakan. Human Rights Abuse
Meskipun informasi sulit untuk
me mve rifikasi, A mnesty International telah menerima laporan dari pere mpuan yang telah ekstra-yudisial die ksekusi oleh GAM setelah dituduh bertindak sebagai informan milite r atau diasumsikan bersahabat dengan anggota pasukan keamanan. Dala m situasi perang dan konflik bersenjata, pere mpuan tidak hanya mengala mi keke rasan militer tetapi juga dari aktor non-negara berperang me la wan aktor negara. Pe re mpuan juga menghadapi ke kerasan dari la ki-laki da la m ko munitas me reka sendiri sebagai akibat dari e kspresi intensif maskulin itas selama konflik bersenjata dan perang. Menurut Suraiya IT, a ktiv is hak-ha k pere mpuan d i Aceh, perempuan Aceh telah dituduh sebagai "media ko munikasi" antara militer
Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
26
dan kolaborator. Tuduhan tersebut telahme rusak martabat dan kesetaraan gender perempuan di Aceh.
Menurut Amnesty International, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan GAM Aceh terjadi setelah mere ka dituduh
bertindak sebagai informan milite r.
Penyelidikan mene mu kan bahwa, sela ma era DOM, setidaknya 781 orang meninggal, 163 "penghilangan", 368 kasus penyiksaan,
dan 102 kasus pemerkosaan dapat
diidentifikasi. Na mun, bagaimanakah persoalan ini dapat teratasi oleh peme rintah, masih di dala m pertanyaan besar nasib perempuan dan korban pada kejadian masa lalu d i Aceh.
:RPH Q¶V $FFHV V WR -XV WLFH
Di Aceh, di mana ke kerasan telah banyak dilakukan terhadap perempuan selama konflik, mere ka tidak me miliki jalan lain untuk prosedur peradilan forma l. Sistem peradilan tradisional mere ka juga
tidak me miliki kontrol atas militer
Indonesia. Pere mpuan terp inggirkan dan
dike luarkan dari proses pengambilan
keputusan di banyak daerah.
Seperti berpendapat Suraiya IT, wan ita Aceh yang menderita ketimpangan tahu bahwa hukum yang ada tidak beke rja untuk me lindungi mere ka. Huku m tidak cu kup
karena mere ka direproduksi dengan
perspektif politik, sosial, dan e konomi tertentu dari orang-orang yang menulis
me reka . Pengala man pere mpuan dari
keke rasan dan kebutuhan penyintas harus diintegrasikan ke dala m nila i-nila i sosial dan politik sehingga me reka tercermin dala m sistem perad ilan.
Seju mlah besar korban tidak pernah menga mbil t indakan me la kukan upaya untuk sebuah keadilan, karena mere ka me miliki kurangnya kepercayaan dala m sistem. Da la m banyak kasus, warga tidak berpikir bahwa siste m perad ilan baik forma l maupun informa l b isa me mbantu mere ka. Akses terhadap keadilan semakin diaku i sebagai pra-kondisi yang diperlukan untuk perdama ian dan pembangunan.
Kejahatan seksual dalam waktu perang belum je las diakui sebagai kejahatan internasional. Pada akh ir perang kedua, sistem pidana internasional t idak menangani
keke rasan seksual, dan juga huku m
internasional tidak me mberikan
perlindungan kepada perempuan sebagai
korban keke rasan. Sekarang, Resolusi
Dewan Kea manan PBB 1820 (2008) menyerukan kepada negara anggota untuk
me menuhi ke wajiban mere ka untuk
menuntut orang-orang yang bertanggung
jawab atas tindakan tersebut, untuk
me mastikan bahwa se mua korban ke kerasan seksual, khususnya perempuan dan anak perempuan, me miliki perlindungan yang sama di mata huku m dan sama a kses
terhadap keadilan, dan menekankan
pentingnya mengakh iri impunitas atas tindakan tersebut sebagai bagian dari pendekatan yang ko mprehensif untuk mencari perda ma ian yang berkelan jutan, keadilan, kebenaran, dan re konsolidasi nasional.
Dala m huku m acara Indonesia, proses
bukti tindak pidana tida k mengakui
keke rasan terhadap perempuan. Huku m milite r sendiri cenderung menyalahkan korban. Di Aceh, kasus perkosaan belum men jadi perhatian khusus untuk dipros es secara hukum. Bah kan jika korban pergi ke pengadilan, hasilnya tidak me muaskan bagi korban. Dengan perjuangan perempuan untuk pembelaan pere mpuan di daerah konflik Presiden Ba mbang Susilo Yudhoyno telah menandatangi Keputusan Presiden (Perpres) No mor 18, 2014 tentang perlindungan perempuan dan anak-anak selama c ivil conflict. keputusan tersebut akhirnya dan secara res mi dite mpatkan isu
kea manan perempuan dala m agenda
pemerintah pusat dan daerah karena keke rasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Peace-Buil ding in the Post-Conflict Aceh Ini a kan menyoroti kesepakatan da mai yang dimediasi o leh sebuah organisasi non-pemerintah yang dipimpin o leh mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Setelah tsunami, perundingan dama i berlangsung di Fin landia, dan dimed iasi oleh sebuah organisasi non-pemerintah yang dipimpin oleh mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Indonesia dan GAM setelah
pembica raan damai cu kup panjang
Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
27
di He lsinki pada 15 Agustus 2005.Aceh telah menjadi yang paling politis dinamis ruang di Indonesia sebagai akibat dari kondisi polit ik baru yang disebabkan oleh MoU. Se mua upaya berka itan dengan reintegrasi, re konstruksi dan pembangunan perdama ian di Aceh dipandu oleh prinsip keseluruhan me mberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih adil dan merata. Seja k perjanjian da mai di Aceh dibuat, situasi kea manan me mba ik dan kondisi masyarakat ke mba li norma l mela kukan aktifitasnya.
Selanjutnya berdasarkan undangan
resmi dari peme rintah Indonesia dan dengan dukungan penuh dari kepe mimp inan GAM, men ja min pelaksanaan MoU Helsinki di Aceh, Uni Eropa telah me mbentuk apa yang disebut Aceh Monitoring Mission (AMM), yang dipimpin o leh Mr Pieter Fe ith dari Un i
Eropa. Sa lah satu tujuan utama
pembentukan AMM adalah untuk
me mastikan bahwa pelaksanaan berbagai aspek dari kesepakatan da mai yang ditetapkan dala m Mo U Helsin ki berjalan d i jalur yang benar. Pe mbentukan AMM me rupakan bagian da ri penyediaan monitor untuk proses perdamaian di Aceh oleh Uni Eropa, bersama dengan lima negara ASEA N berkontribusi dari (Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura), Norwegia dan Swiss.
Peace Buil ding
Seja k 28 Dese mber 2004, Aceh telah dibuka untuk pemeriksaan internasional, dan ada sekitar lebih dari 300 LSM internasional yang terlibat dala m progra m bantuan dan proses rekonstruksi untuk korban tsunami dan konflik.
Setelah tsunami, banyak LSM
internasional yang terkonsentrasi dalam
pemulihan dan rehabilitasi di Aceh
diprogra m. Na mun, Sir Phoeuk So k, Oxfa m
Akuntabilitas Kemanusiaan Advisor,
mengatakan bahwa banyak LSM di Aceh tidak me miliki akuntabilitas. PBB me miliki konsultan yang bekerja d i Aceh, dan mere ka me miliki tanggung jawab untuk me meriksa kualitas dan me mantau keg iatan BRR termasuk peningkatan kapasitas, kontrol kualitas dan pemantauan. PBB Se kretaris -Jenderal untuk Urusan Ke manusiaan juga
telah me mbuat permohonan kepada LSM untuk penemuan yang lebih besar dan transparansi selama bantuan tsunami d i Aceh.
Sela ma perang di Aceh, banyak LSM loka l tidak mengamb il kepe milikan baik, karena banyak dari mere ka berada di bawah tekanan oleh militer. Na mun, kondisi me miliki kese mpatan sekarang, LSM loka l
berbasis diberdayakan untuk
menge mbangkan daerah aka r ru mput, mendukung reintegrasi dan rehabilitasi, dan menge mbangkan huku m setempat. LSM perempuan terka it mela kukan rehabilitasi psikososial terhadap kekerasan berbasis gender. Na mun, layanan yang diberikan oleh beberapa LSM hanya ditujukan untuk sebagian kecil dari populasi.
Setelah masa tanggap darurat,
masyarakat sip il juga te lah penting dala m men ingkatkan partisipasi mela lui progra m pembangunan berbasis masyarakat, foru m dialog, advokasi anti-korupsi, dan advokasi hukum. LSM d iharapkan menjad i penengah
antara mantan musuh dan
mengkoordinasikan pemangku kepentingan
yang berbeda untuk mengatasi
pembangunan perdamaian. Na mun,
masyarakat sip il Aceh masih le mah dan perlu dukungan eksternal untuk men jadi aktor yang lebih kuat. Menurut Faisal Had i, Direktur Eksekutif LSM Ko lisi HAM di
Aceh tahun 2000, juga merupakan
tantangan besar untuk mengubah pola pikir
masyarakat Aceh yang telah lama
dipengaruhi oleh konflik.
Pe merintah Republik Indonesia dan Gera kan Aceh Merdeka telah masuk dala m proses MoU yang telah ditanda tangan 15 Agustus 2005 a kan me rubah kondisi Aceh men jadi babak proses pangadilan terhadap pelanggaran HAM di Aceh. Dengan point
2.3 ya itu Ko misi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Aceh akan men jadi sebuah upaya ke arah pencerahan. Tahun 2013, dra f KKR telah ditanda tangani oleh DPRA, dan ini me mpunyai peluang besar untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM. Na mun, masih harus me lalu i
perjuangan berat untuk terus mendorong
pemerintah daerah dapat serius
Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
28
ConclusionSalah satu dile ma di masyarakat pasca konflik dan transisi adalah bahwa suara kole ktif pere mpuan selama konflik dapat
dirusak dala m proses perdamaian.
Kebutuhan untuk me masukkan perspektif
perempuan dan menganggap serius
kekhawat iran pere mpuan dala m semua proses pembangunan perdamaian dan konflik transformasi te lah menegaskan tidak hanya oleh para sarjana dan aktiv is perdama ian tetapi oleh Dewan Kea manan PBB me lalu i Resolusi nya 1325 dan Deklarasi dan Landasan Aksi (BPFA ). Ha l ini penting untuk mengetahui peran spesifik bahwa perempuan bisa dan harus bermain dala m menyelesaikan konflik konsultatif dan dengan menghormat i hak asasi manusia dan kebebasan.
Perspektif gender sebagian besar telah diabaikan dala m pengembangan setelah tsunami tahun 2004. Tidak ada keraguan bahwa tsunami menjad i terobosan konflik la ma di Aceh. Ini menyebabkan perjan jian dama i Helsin ki, yang diikuti oleh berbagai upaya untuk mere konstruksi Aceh dan me mbangun ke mba li sis tem de mokrasi yang didasarkan pada pemilihan langsung kepala daerah. Banyak le mbaga, seperti BRR, BRA, Ko mnas HAM, dan LSM baik internasional maupun lokal te lah terlibat dala m proses pembangunan kemba li Aceh. Kenyataan seperti telah kita lihat, mere ka me miliki masalah me reka sendiri da la m me mp ro mosikan keadilan dan pe me rintahan yang baik di Aceh pasca konflik. Da la m penelitian in i terutama me mandang masalah mengabaikan kesetaraan gender dalam
berbagai prakarsa perda maian. Tanpa
mencermin kan perspektif gender dala m
kebijakan perda ma ian, ada bahaya
me reproduksi (dan me mpe rkuat) struktur sosial tradisional yang tidak menghormati kesetaraan jender.
Dala m ha l in i, kondisi pere mpuan masih jauh dari dama i. Te rlepas dari kenyataan bahwa Jakarta dan masyarakat internasional telah menekan kan perda maian pendalaman di Aceh sejak tahun 2005, isu-isu gender hampir ta k tersentuh. Di sini kita me lihat bahaya me mbangun kembali Aceh berdasarkan budaya sensitif tradisional. Ha l
ini dapat menyebabkan reproduksi sistem ekonomi-politik loka l yang secara sistematis me minggirkan peran perempuan dala m
kehidupan lokal. Untuk menghindari
perke mbangan semaca m itu, sangat penting bagi LSM jender baik do mestik dan internasional untuk secara aktif menekan berbagai pemangku kepentingan di Jakarta, Aceh dan masyarakat internasional dan mencoba untuk me mperkena lkan perspektif pengarusutamaan gender dala m progra m rekonstruksi.
Secara res mi, pe merintah telah
me ratifikasi konvensi internasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan. Na mun, itu hanya di permu kaan. Masalahnya bukan hanya karena kurangnya ke mauan polit ik dari pemerintah dan sistem peradilan yang korup, tetapi juga kurangnya kesadaran di antara para korban untuk me mba wa masalah me reka ke pengadilan.
Daftar Pustaka
United Nation Population Fund (UNFA ),
Gender-Based Violence in Aceh, Indonesia: Women, Peace and
Security Initiative Technical
Support Division, May 2005.
Chhya Jha. Hurdec Nepal and Tracy
Ve iening, Peace and Conflict
Impact Assessment Summary.
Canadian Develop ment Agency, CSVR. 2004.
6D PL /DKGHQVXR ³%XLOG LQJ 3HDFH LQ $FHK ´
Observation on the work o f the
Aceh Monitoring Mission
(AMM) and its liaison with local civil society, 2004.
Amnesty International, Indonesia: The
impact of impunity on women in
Aceh, AI Inde x: ASA 21/60/00,
November 2000.
0L\DNR 7MXMLPX UD ³,QWHUQDWLRQDO
Perspective on Gender Equality
6RFLD O 'LYHUVLW\ ´ *HQGHU /DZ
& Policy Center, Tohoku
University, 2008.
UNFPA, Gender-Base Violence in Aceh,
Lentera Vol. 14 No. 9 Juli 2014
29
Peace and Security In itiativeTechnical Support Div ision,
2005.
UNDP. Access to Justice in Aceh:Mak ing
the Transition to Sustainable
Peace and Development in Aceh,
2006.
International Center for Transitional Justice,
³&RQVLGHULQJ 9LFWLP 7KH $FHK
Peace Process for a Transitional
Justice 3HUVSHFWLYH ´ -DQXDU\
2008.
United Nation Security Council Resolution 1820 (2008).
Inge Viane. Women, Gender and Work in
Nanggroe Aceh Darussalam
Province, Gender Specia list for
ILO Tsunami Respond
Progra mme in Banda Aceh. ILO
(International Labor
Organization), July 2006.
Abhound Sayed M. Lingga. The Aceh Peace
Process and Lesson for Midanao,
Autonomy and Peace
Monograph. Institute for
Autonomy and Governance, October 15, 2007.
UNDP Indonesia. Civil Society in Aceh: An
Assessment o f Need to Built Capacity to Support Community
Recovery, July 2005.
Christine Susanna Tjhin. Post Tsunami
Reconstruction and Peace
building In Aceh: Political
Impact and Potential Risk s, CSIS