• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan masyarakat Indonesia. Wacana tentang identitas Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. keagamaan masyarakat Indonesia. Wacana tentang identitas Islam di Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu fenomena yang menguat pasca reformasi adalah maraknya publikasi berbagai diskursus mengenai religiositas Muslim di Indonesia. Keterbukaan diskursus di ruang publik berpengaruh pada perkembangan sosial keagamaan masyarakat Indonesia. Wacana tentang identitas Islam di Indonesia merupakan isu menarik untuk selalu dibicarakan bagi para sarjana Indonesia.1

Pembentukan sebuah identitas keagamaan terus berkembang seiring konteks zaman. Pasca reformasi 1998, munculnya simbol-simbol ritual keagamaan sebagai salah satu identitas masyarakat urban kian menguat. Di mana simbol sebagai representasi dari sesuatu yang abstrak menjadi narasi besar telah berkembang dalam masyarakat dewasa ini. Di mana situasi masyarakat Muslim urban di Kota Semarang menunjukkan perkembangan suatu model interaksi modernis-tradisionalis dalam bingkai tradisi lokal. Di satu sisi telah meluasnya pembangunan fisik seperti pasar modern, gedung-gedung, perumahan elit dan sebagainya. Di sisi lain relasi sosial yang berkembang dalam masyarakat urban semarang yang bernuansa santri, setidaknya Islam tradisionalnya masih kental dan terjaga.

Sejak reformasi pada Mei 1998, di Indonesia terjadi perubahan yang sangat luas, terutama pada dasar-dasar dan konstelasi politik Indonesia

1 Lihat karyanya Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2016)

(2)

2

Mutakhir; Pertama, runtuhnya hegemoni rezim Orde Baru dengan pilar utama Golkar yang ditopang oleh birokrasi dan militer. Kedua, munculnya sistem politik multi partai yang memberi peluang bagi setiap kelompok politik dengan beraneka latar belakang apresiasi dan ideologi untuk turut meramaikan panggung politik nasional. ketiga, terjadinya pergeseran hubungan antara agama (Islam) dan negara, yang antara lain ditandai dengan tidak hanya intensifnya gerakan islam formal melalui wadah politik, tetapi juga terserapnya pemimpin dan aktivis Islam yang mewakili gerakan Islam substansial ke dalam kehidupan negara.2

Berbeda dengan perubahan segera dan fragmentaris yang diprakarsai warga yang terinspirasi oleh reformasi, perubahan yang dibawa oleh lembaga-lembaga selama era reformasi telah mengubah kebijakan budaya secara lebih luas dan konsisten di seluruh nusantara. Edward Aspinall dan Greg Fealy (2003: 11) melihat pentingnya politik baru dari tingkat sub-nasional melalui seruan mereka untuk fokus pada pemahaman tentang apa yang terjadi di tingkat daerah. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi kebijakan budaya. Tumpang tindih antara sejumlah kondisi seperti pemilihan kekuasaan politik, mobilisasi identitas etnik dan daerah melalui acara budaya dan kelompok, dan perubahan

2 M. Mukhsin Jamil, Revitalisasi Islam Kultural; Arus Baru Relasi Agama dan Negara (Semarang: Walisongo Press, 2009), xi-1.

(3)

3

kelembagaan untuk aparatus budaya negara karena desentralisasi menjadi kompleks.3

Identitas sebagai muslim, merupakan salah satu cerminan dari kenyataan primordial. John A. Titaley menjelaskan kalau Indonesia merupakan sebuah realitas dengan dua identitas. Keduanya adalah realitas primordial dan realitas nasional.4 Sebagai identitas primordial, etnisitas juga religiositas selalu diupayakan untuk selaras dengan identitas nasional yang menjadi payung bersamanya. Identitas keagamaan dan etnis tidak jarang kerap bersitegang dengan identitas nasional. Karenanya perlu formulasi yang tepat untuk menjadikan dua identitas itu tidak saling berpunggungan.

Identitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang statis. Ini ditunjukan oleh Harold R. Issacs. Issacs menyatakan tentang identitas-identitas kelompok yang karena tekanan perubahan politik berupaya membentuk jati diri. Identitas kelompok etnis merupakan kontribusi besar terhadap perubahan politik di Amerika. Issacs mempelajari aspek-aspek yang menjadi dasar munculnya politik identitas pada kelompok-kelompok masyarakat manusia di Amerika.5

Kajian tentang identitas Islam di Indonesia, dalam salah satu tipologinya, mengambil sudut pandang soal hubungan antara universalitas (baca: Islam) dengan lokalitas. Ini misalnya tercermin dalam bahasan mengenai

3 Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia; Kebijakan Budaya Selama Abad

Ke-20 Hingga Era Reformasi (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2015), 214.

4 John A. Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi

Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 146.

5Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Kelompok dan Perubahan Politik (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 1993), xii-xiii.

(4)

4

Islam Bajo. Identitas keagamaan orang Bajo merupakan perpaduan antara keyakinan Islam dengan keyakinan asli mereka, yaitu keyakinan kepada para penguasa laut, atau yang mereka sebut sebagai Mbao Ma Dilao.6 Identitas keagamaan orang Bajo dibentuk dalam pengaruh dan dinamika lingkungan alam, sosial, dan historis masyarakat Bajo.7 Orang Bajo memiliki tradisi upacara persembahan terhadap penguasa laut (dalam istilah Islam ucapan syukur) di mana laut merupakan tempat mereka bermukim dan mencari kehidupan.8

Selain dari sudut pandang hubungan antara agama dengan lokalitas, kajian tentang agama biasa juga dihubungkan dengan aspek ruang demografis seperti kota dan desa. Kajian terhadap keberagamaan masyarakat urban menjadi salah satu topik yang menarik, mengingat ada begitu banyak perubahan-perubahan yang begitu dinamis. Disinilah penulis hendak mengambilnya sebagai objek kajian. Place atau tata ruang kota dan juga karakter masyarakat urban sangat bertaut dengan pola keberagamaannya. Chris

Barker (2003:353) mengenai Cities a Places mengatakan “Ruang adalah sebuah kontruksi dan manifestasi lahiriah relasi sosial yang mengungkapkan asumsi

6 Merupakan inkarnasi dari nenek moyang mereka yang menguasai laut. Keyakinan yang tumbuh dari pemahaman dan pengaruh atas lingkungan sosial orang Bajo. Keyakinan asli inilah yang menjadi karakteristik keberislaman mereka sebagai orang Bajo yang bermukim di Laut.

7 Lihat juga karyanya Francois Robert Zacot “Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang Antropolog” (Jakarta: KPG, 2002).

8Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 261-263. Lihat juga bukunya Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005). Nur Syam ingin menjelaskan bahwa konstruksi sosial dalam masyarakat Pesisir, terjadi hubungan antara Islam dan budaya lokal yang bercorak akulturatif-sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus.

(5)

5

kultural dan praktik-praktiknya” (spaces is a contuction and material manifestation of social relations that reveals cultural assumtions and practies).

Penelitian ini hendak menjadikan masyarakat Kota Semarang sebagai fokus penelitian. Tepatnya, penelitian ini akan menelisik identitas Muslim urban di Semarang dengan dibatasi pada era pasca reformasi. Sebagai sebuah diskursus akademik, identitas Muslim urban ini merupakan gagasan yang penting untuk dikaji. Semarang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kota Semarang, mengingat Semarang sendiri terbagi ke dalam dua admnistrasi; Kota dan Kabupaten.

Secara historis, Semarang merupakan kota dagang. Semarang secara etnografis juga memiliki sejarah sebagai kota dengan nuansa kampung santri yang kental. Setidaknya sampai tahun 1960-an. Meminjam apa yang disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota perdagangan. Masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang. Pedagang itu punya karakter lebih baik jadi juragan kecil, daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya.9

Karena Kota Semarang merupakan kota kosmopolitan yang didalamnya memiliki beragam etnik, kiranya hal ini dapat mempengaruhi bagaimana karakteristik keberagamaan masyarakat urban di Semarang. Kecenderungan pluralisme itu bahkan telah berkembang sejak kota ini didirikan oleh Ki Ageng 9Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

(6)

6

Pandanarang pada tahun 1547 M. Pluralisme budaya dan heteroginitas masyarakat Semarang telah mendorong tumbuhnya persemaian dua budaya atau lebih dari etnis yang berbeda, yang melahirkan sebuah entitas budaya

“baru”.10

Sepanjang sejarahnya, masyarakat di kota Semarang terdiri dari beberapa etnis, suku jawa yang merupakan kelompok mayoritas serta beberapa etnis imigran, keturunan Cina, Arab dan sejumlah kecil orang Eropa didalamnya. Selain itu masyarakat Semarang juga berasal dari beberapa sub kultur yang ada di Indonesia, suku Minang, Bugis, Batak, Madura, dan Banjar. Hubungan mereka berbaur dengan penduduk lainnya di kampung-kampung sehingga tidak lagi menjadi komunitas yang eksklusif. Sebagian dari penghuni sejumlah kampung di Semarang mempresentasikan adanya pluralisme budaya masyarakatnya, baik dilihat dari sudut kategorisasi etnisnya, maupun dilihat dari bentuk-bentuk identitas budaya masing-masing.11

Semarang bukan hanya terdiri dari suku Jawa dan berbagai etnis lain sebagaimana dipaparkan di awal. Dari pergumulan budaya dengan beragam bangsa dan sub-sub etnis di Nusantara selama puluhan abad itu, terbentuklah budaya lokal12 Semarangan yang tetap mempertahankan nilai-nilai lokalnya13,

10 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1978), 96.

11 Djawahir Muhammad, Semarangan Lintas Sejarah dan Budaya (Semarang: Pustaka SEMAWIS, 2016), 104.

12Budaya lokal yang dimaksudkan disini adalah perilaku sehari-hari masyarakat Semarang yang berbasis pada nilai-nilai tradisi yakni ekspresi budaya yang berorientasi pada spirit Jawa pesisiran.

(7)

7

ekspresi budaya yang bernuansa Islami, dan budaya hybrid yang memadukan beragam elemen budaya, etnis dan agama.14 Masyarakat Muslim Semarang masih tradisional, misalnya di kawasan Kauman. Mereka masih melakukan kegiatan amalan keagamaan tradisional15, dari cara beribadahnya memang Semarang teridentifikasi warga Nahdlatul Ulama.16

Spirit Jawa pesisiran17 merupakan bagian dari budaya lokal sebagai identitas masyarakat Semarang. Di mana, masyarakat Jawa pesisiran itu disebabkan karena sejumlah sebab, antara lain secara geografis Semarang memang berada dalam enclave budaya pesisir yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk Islam. Namun selama ratusan tahun Semarang juga berada dibawah penjajah, hingga jika dilihat dari bentuk ekspresinya, kearifan lokal masyarakat Semarang dapat dikategorisasikan sebagai orang pesisir yakni

13 Bagaimana penghayatan spiritualitas orang Jawa yang kental dengan ritus-ritus lokalitas. Di mana kesadaran manusia dalam pencapaiannya akan kehadiran realitas ketuhanan dan dapat ditempuh melalui pengalaman titah dari pusat hati, lewat suara tanpa rupa sebagai upaya menemukan kesucian sejati. Lihat juga bukunya Setyo Hajar Dewantoro, Suwung Ajaran Rahasia Leluhur Jawa (Banten: Javanica, 2017), 10.

14Muhammad, Semarangan Lintas,, 104.

15Semarang memiliki upacara rutin sebagai tradisi masyarakat Semarang, yakni Tradisi

Dugderan, salah satu tradisi yang selalu ditunggu-tunggu oleh warga Kota Semarang dalam setiap tahunnya. Tradisi ini berawal dari adanya suara duk-duk-duk beduk Masjid Agung Kauman yang kini diistilahkan Masjid Agung Semarang, dan der-der-der suara petasan yang dinyalakan di Kanjengan. Suara tersebut merupakan tanda bahwa esok hari adalah pertama bulan Ramadhan. Dalam perkembangannya, terciptalah tradisi Dugderan dan diakhiri dengan karnaval. Pada awalnya karnaval tersebut diikuti oleh masyarakat Kauman. Seiring perkembangannya kini selain masyarakat Kauman, karnaval ini telah pula diikuti oleh warga Semarang khususnya yang beragama Islam. Lihat juga karyanya Wijanarka, Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 16.

16Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

17Spirit Jawa pesisiran ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap kebebasan individu yang bersifat religious, berwatak kosmopolit, bersikap mandiri dan berjiwa egaliter (tidak membedakan manusia berdasarkan derajat, namun meletakkan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sama atau bersifat equal).

(8)

8

berkebudayaan secara Jawa dan Islam, bertabiat merdeka dengan kata lain mandiri, dan berorientasi pada gaya hidup yang kosmopolit (berciri kota,

dinamis), bukan bergaya hidup “ndeso’ yang statis atau berorientasi pada

kemapanan.18

Penelitian ini fokus pada perubahan sosial keagamaan masyarakat Muslim urban Semarang pasca reformasi. Alasan kenapa penulis memilih lokus penelitian di Kota Semarang, harapan penulis dapat memberikan kontribusi akademik tentang dinamika keberagamaan masyarakat Muslim urban konteks lokal. Sebagaimana penelitian-penelitian di Barat misalnya, banyak yang menawarkan hasil penelitian pola relasi sosial keberagamaan lokal yang dapat dibicarakan di publik baik secara teoritis maupun praksis.

B. Kajian Pustaka

Gagasan tentang identitas masyarakat urban telah banyak diteliti. Setidaknya ada beberapa contoh yang mengidentifikasi persoalan tersebut. Salah satu diantaranya “The Quest for Urban Identity in the Changing Context of the City Northern Cyorus”, karya Derya Oktay, pengajar di Eastern Mediterranean University. Derya Oktay, dalam karyanya tersebut berupaya menjelaskan dinamika masyarakat urban dalam mencari sebuah identitas baru

(9)

9

melalui sebuah komunitas. Dalam hal ini Derya menawarkan sebuah teori identitas urban sebagai hasil studi kasus di konteks pemukiman Cipriot.19

Penelitian serupa juga disajikan oleh Jed Fazakarley, “Muslim Communities in England 1962-1990: Multiculturalism and Political Identity”,

Hertford College, University of Oxford, United Kingdom. Karya ini lebih pada penelitian studi kasus multikulturalisme dan politik identitas di Inggris Tahun 1962 hingga 1990. Jed menyimpulkan bahwa pada era tersebut relasi sosial antara Muslim dan non Muslim di Inggris mengalami ketegangan dengan beragam isu, rasioal maupun politik identitas. Banyak berkembang isu intervensi politik dengan munculnya terorisme.20

Karya lain yang juga menarik untuk dijadikan rujukan adalah tulisan Anthony King, “Spaces of Global Cultures Architecture Urbanism Identity”. Anthony menyatukan serangkaian studi kasus historis dan kontemporer untuk menunjukkan bagaimana fase globalisasi yang berbeda mengubah lingkungan binaan. Ia mengambil pendekatan interdisipliner mengacu pada studi sosiologi, geografi, budaya dan postkolonial.21

19Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, The quest for urban identity in the changing context of the city northern cyorus”, http://ww.webjournal.unior.it

(www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.

20Jed Fazakarley, Muslim Communities in England 1962-1990: Multiculturalism and

Political Identity (London: Palagrave Macmillan, 2017), 264-265.

21Anthony King, Spaces of Global Cultures Architecture Urbanism Identity (New York: Routledge 1 Edition, 2004), xiii.

(10)

10

Identitas Islam22, meski telah banyak diteliti namun belum banyak yang menyisir pada identitas Muslim urban. Melihat beberapa penelitian di atas hemat penulis fokus penelitian tersebut belum banyak bicara terkait dengan lokalitas masyarakat Muslim urban. Sehingga dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan teori identitas urban dan identitas muslim sebagai pintu masuk pada gagasan identitas Muslim urban. Hubungannya dengan fokus penelitian ini, teori tersebut dapat membantu secara definitif dan signifikansi perubahan identitas masyarakat muslim dengan Semarang sebagai studi kasusnya. Pendekatan ini juga ditunjang dengan identifikasi sosio kultural23 masyarakat urban Semarang.

Sebagai landasan teoritik penelitian ini mula-mula akan menyandarkan diri pada diskursus mengenai wacana identitas masyarakat urban seperti yang dielaborasi oleh Durkheim bahwa masyarakat urban cenderung memiliki karakter individualistik dalam hubungan bersosial. Selain Durkheim, penulis juga banyak menggunakan pendekatan Derya Oktay melalui karya-karyanya, ia banyak menggagas sebuah identitas urban dan hubungannya dengan sosio

22Lihat karyanya Gery S. Gregg, “Culture and Identity, ia menyatakan bahwa pengaruh budaya dalam identitas kehidupan masyarakat Muslim di Maroko. Dalam bukunya, berdasarkan hasil temuan investigasinya di lapangan Gery hendak menyimpulkan bahwa identitas masyarakat dibentuk oleh budaya. Di mana akan ada kecenderungan individualis (budaya barat) dan kolektif (budaya yang hidup di masyarakat lokal itu sendiri, dalam hal ini konteks masyarakat Muslim Maroko). Gery S Gregg, Culture and Identity in a Muslim Society (New York: Oxford University Press, 2007), 3-4.

23Penekanan teori ini sebagaimana telah dikembangkan oleh Jan Assmann dan John Czaplicka “Collective Memory and Cultural Identity” ini New German Critique, No.65.pp125 -133.1995. NC: Duke University Press, 129. Assmann dalam karyanya tersebut menyatakan, bahwa ingatan kultural dibentuk melalui ingatan personal dan kolektif (kelompok/masyarakat) yang didalamnya ada simbol dan ritus-ritus, komunikasi kelembagaan, dan arus komunikasi. Sehingga pendekatan sosio kultural dirasa amat penting untuk menunjang penelitian ini.

(11)

11

kultural masyarkat urban. Teori yang penting digunakan dalam penelitian ini yakni teori identitas urban dan identitas Muslim, yang barangkali belum banyak dipakai dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

Menurut penelitian sejarah Amen Budiman bahwa Kota Semarang mengawali sejarahnya sebagai sebuah dusun nelayan yang kecil, didirikan oleh Kyai Ageng Pandan Arang, seorang maulana dari negeri Arab yang nama aslinya Maulana Ibnu Abdullah.24 Hasil dari pengamatan awal di lapangan serta diskusi dengan beberapa tokoh di Semarang, bahwa masyarakat Muslim urban di Kota Semarang merasa bukanlah muslim yang harus mengembangkan agamanya secara ketat. Mereka adalah orang muslim hanya saja tidak seperti yang berkembang di Kendal, Demak dan daerah pesisir lainnya dengan membangun pesantren. Konteks perubahan sosio kultural inilah yang hendak diulas dalam karya akademik ini.

Beberapa peneiltian lain yang berbicara tentang Semarang banyak berbicara pada sisi etnisitasnya.25 Misalnya karya M. Sudarwani tentang

Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Cina: Studi Kasus Kawasan Pecinan

Semarang”, ia menawarkan sebuah hasil penelitian antropologinya mengenai

24Amen Budiman, Semarang Juwita: Semarang Tempo Doeloe, Semarang Masa Kini

dalam Rekaman Kamera (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979), 2.

25Lihat juga karyanya M. Sudarwani, Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Cina: Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang”, dalam jurnal Momentum, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012. Sudarwani dalam penelitiannya dengan pendekatan antropologi, bahwa simbolisasi pada suatu komunitas ataupun etnis itu memiliki makna khusus. Dan etnis Cina di Semarang memiliki itu, terbukti, kata Sudarwani, dari sisi rumah tempat tinggal mereka. Pecinan sebagai Pusaka Indonesia yang terlibat dalam proses pembentukan identitas Semarang memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Hal demikian yang membedakan antara kawasan Pecinan Semarang dengan Pecinan lainnya. Simbolisasi rumah tinggal etnis Cina di kawasan tersebut merupakan hasil perpaduan antara arsitektur Cina bercampur dengan arsitektur Melayu.

(12)

12

makna atas arsitektur rumah pemukiman etnis Cina. Di mana arsitektur Cina dan Melayu mengalami percampuran, dan ini yang menjadi ciri khas kawasan Pecinan di Semarang dengan Pecinan lainnya.26 Tulisan tentang etnisitas yang agak kritis diperkenalkan oleh Tubagus P. Svarajati. Pecinan Semarang, ujarnya, merupakan kawasan yang diwariskan dari masa silam. Bagi Tubagus, Pecinan merupakan produk dari politik pemisahan yang dilakukan kalangan imperialis untuk melokalisasi penduduk berdasar kalkulasi rasialisme.27

Karena masih ada ruang yang belum terisi, maka penelitian ini berupaya menggambarkan identitas Muslim urban di Semarang dengan perspektif sosio kultural.

C. Rumusan Masalah

Beranjak dari latar belakang di atas maka penulis menarik beberapa permasalahan yang hendak dikaji lebih dalam:

1. Bagaimana identitas masyarakat urban terbentuk dan hubungannya dengan identitas Muslim urban di Kota Semarang?

2. Bagaimana identitas Muslim urban di Kota Semarang pasca reformasi?

D.Tujuan Penulisan

Dengan merujuk pada masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk:

26 M. Sudarwani, Simbolisasi Rumah”,19-27.

27 Tubagus P. Svarajati, Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota (Semarang: Bukusaya, 2016), 240-241.

(13)

13

1. Merumuskan identitas masyarakat urban dan identitas Muslim urban

2. Merumuskan perubahan sosial kultural sebagai identitas masyarakat Muslim urban di kota Semarang pasca reformasi.

E. Pembatasan Masalah

Pembatasan penulisan ini pada aras identitas urban. Dalam konteks ini, identitas urban yang dimaksud identitas Muslim di Semarang. Sementara identitas urban sebagai kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gambaran dari yang ditulis oleh Derya Oktay dalam “The quest for urban identity in the changing context of the city northern cyorus”. Penulis juga memakai pendekatan teorinya Kevin Lynch dan beberapa tokoh yang memiliki kompetensi sama dalam teori ini. Kevin Lynch, sebagai peneliti kota, karya-karyanya banyak dijadikan sebagai referensi primer dalam sebuah penelitian perencanaan atau identitas kota.

F. Signifikansi

Urgensitas penelitiaan identitas Muslim urban di Semarang belum banyak diteliti. Meski banyak penelitian-penelitian di Semarang, tetapi lebih fokus pada sebuah identitas etnisitas. Maka dengan ini penulis lebih menekankan pada sebuah kajian sosio kultural hubungan religiositas masyarakat Muslim urban di Semarang.

Dengan demikian, penulis berharap hasil penelitian ini memiliki signifikansi baik secara praktis maupun akademis. Dari sisi praktisnya

(14)

14

bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana pengaruh reformasi terhadap perkembangan religiousitas masyarakat Muslim urban di Semarang dalam aktivitas keberagamaannya. Sedangkan dari segi akademis, penelitian ini diharapkan akan memberi sumbangsih secara teoritik. Pertama, fungsi struktur sosial terhadap religiousitas masyarakat Muslim urban di kota Semarang. Kedua, sebagai sumbangsih pengembangan teori tentang identitas masyarakat Muslim urban serta hubungan religiousitas masyarakat urban pasca reformasi di Semarang. Ketiga, sumbangan terhadap pemahaman identitas Muslim urban pasca reformasi di kota Semarang.

G.Metode penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan dukungan informasi-informasi sibstantif dari arsip dan interview bersama tokoh-tokoh terkait. Menyitir Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.28 Dengan menggunakan metode ini, penulis mencoba menggali data dengan dilakukannya pengamatan di lapangan.

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi

(15)

15

penelitian. Upaya yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data ini hasil dari wawancara dan observasi di lapangan. Setidaknya penulis dapat menggali informasi dengan wawancara beberapa sumber terkait kebutuhan penelitian ini, yakni Sejarawan, Budayawan, dan masyarakat Semarang. Sedangkan observasi yang dilakukan, penulis berupaya mengumpulkan data dengan terlibat di beberapa upacara tradisi masyarakat urban Semarang.

H.Sistematika Penulisan

Pada penulisan penelitiaan ini mencakup beberapa bab bahasan. BAB I Penulis mencoba menyajikan deskripsi permasalahan dan urgensitas temuan-temuan awal yang hendak diuraikan dalam penelitian ini. BAB II Bagian bab ini merupakan landasan teoritik kaitannya dengan kehidupan beragama masyarakat Muslim urban.

Perkembangan teori identitas masyarakat urban dan identitas Muslim sebagai jembatan diskursus sosio - kultural dalam mengejawantahkan identitas Muslim urban di Kota Semarang. BAB III Paparan hasil observasi dan interview data di lapangan baik temuan-temuan lapangan maupun hasil analisa arsip atau dokumen-dokumen pendukung. Bagaimana karakteristik keberagamaan masyarakat Muslim urban di Kota Semarang. Sejauh mana fungsi masjid bagi masyarakat Muslim urban di Kota Semarang.

BAB IV Pada bagian bab ini merupakan paparan analisis kritis atas pola relasi religiousitas masyarakat Muslim urban di kota Semarang, bagaimana

(16)

16

penulis menggambarkan sebuah identitas baru sebagai masyarakat Muslim urban. BAB V Pada bagian ini akhir pada sebuah kesimpulan hasil analisis penelitian yang hendak disuguhkan sebagai konsumsi akademik maupun praksis.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika sudah terjadinya akuisisi, perusahaan sudah harus bersiap-siap dalam posisi yang aktif kembali untuk menjalankan tujuan perusahaan. Dalam merespon tanggapan dari

Status yang tidak jelas dari pekerja Mommilk Surakarta, menyulitkan pekerja dalam melakukan penuntutan terhadap hak-hak yang harus diperolehnya dari perusahaan

Dalam penelitian ini dapat diungkapkan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam sastra Indonesia mutakhir dominant disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan

Namun CMV- satRNA juga tidak menunjukkan adanya reksi antagonis dengan TMV maupun PVY karena infeksi masing-masing virus tidak menghambat perkembangan virus lain yang diamati

Penggunaan Linux Virtual Server yang menggunakan round-robin scheduler dalam lingkungan percobaan yang telah disebutkan, ternyata meningkatkan performa dari sebuah sistem

A kaland mindig is az ifjúsági irodalom immanens alkotóeleme volt, aho- gyan Komáromi Gabriella mondja: „Az ifjúsági próza egyenesen kalandtár.” 4 A kortárs

Keempat puisi (Kurfürstendamm, Malam Biru di Jerman, Tamu Dari Kampung, dan Nyanyian Tentang Derita dan Kemasyhuran Kota Besar Berlin) menegaskan bahwa perang dan peperangan

Metode Demonstrasi yaitu : Suatu strategi pengembangan dengan cara memberikan pengalaman belajar melalui perbuatan melihat dan mendengarkan di ikuti dengan