• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SENSITIVITAS TERAPI ANTIBIOTIK DENGAN EKSTRAK CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN SENSITIVITAS TERAPI ANTIBIOTIK DENGAN EKSTRAK CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

37 PERBEDAAN SENSITIVITAS TERAPI ANTIBIOTIK DENGAN

EKSTRAK CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi

C. A. Anhar1) dan Susie Amilah2)

1) Mahasiswa Prodi Biologi F. MIPA Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 2) Staf Pengajar Prodi Biologi F. MIPA Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

ABSTRACT

Typhoid disease is an acute systemic disease affecting the small intestine caused by Salmonella typhi. Treatment of tifodic fever can be done by medical or traditional means. One way of medical weighting is with antibiotic therapy. However, this time encouraged the existence of traditional medicine using earthworm Lumbricus rubellus. This study aims to determine the difference in sensitivity between antibiotic therapy with earthworm extract of Lumbricus rubellus in inhibiting Salmonella typhi growth in vitro. This research was experimental with bacterium isolate Salmonella typhi 0.5 Mc. Farland with Lumbricus rubellus earthworm extract in the form of infusa 15%, 30%, 45%, 60%, 75%, and 90% and various antibiotics that is Ampsisilin, Amoxicilin- Clavulanic acid, Cefuroxime, Chloramphenicol, Trimetophim, Sulfamethoxazole, Ceftriaxone, Meropenem, Cefotaxim, Levoflaxacin, Ceftazidim, and Cefepime were tested using the diffusion method. Observations were made by calculating the drag zone diameter in Mueller Hinton media. The results showed that there were significant differences between Lumbricus rubellus earthworm extract and antibiotic therapy, whereas in all concentrations of Lumbricus rubellus earthworm extract were resistant, whereas in all antibiotics were sensitive to Levoflaxacin type which had a large inhibitory diameter of 34 mm.

Keywords: Typhoid Fever, Salmonella typhi, Lumbricus rubellus Earthworm Extract, Antibiotic Therapy.

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah serius dalam dunia kesehatan yang disebabkan oleh mikroba patogen (Darmadi, 2008). Penyakit demam tifoid atau tifus merupakan penyakit sistemik akut menyerang usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Tifus ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi

(Zulkarnaen, 2010). Penyakit tifus menunjukkan gejala antara lain

demam selama satu minggu atau lebih disertai gangguang pada saluran pencernaan (Rampengan, 2007).

Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi

masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000 – 600.000 kematian

(Centers Disesase Control, 2008).

Di Indonesia, tifoid mengalami permasalahan semakin kompleks

(2)

38

dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan (Keputusan Menkes, 2006). Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Pengobatan penyakit demam tifoid dapat dilakukan dengan cara medis maupun tradisional. Salah satu cara pengobatan medis adalah dengan melalui terapi antibiotik. Jenis antibiotik yang biasa digunakan oleh dokter untuk pengobatan demam tifoid adalah klorafenikol, seftriakson, sefotaksim, tiamfenikol, ampisilin, amkosilin, siproflaksin, dan kotrimoksazol (Ayu dkk., 2010).

Namun di sisi lain saat ini digalakkan adanya pengobatan tradisional pada penderita demam tifoid yaitu dengan menggunakan cacing tanah Lumbricus rubelllus. Cacing tanah mampu mengobati berbagai infeksi saluran pencernaan seperti tifus, demam, diare, serta gangguan perut lainnya seperti mag. Selai itu bisa juga untuk mengobati penyakit infeksi saluran pernafasan seperti batuk, asma, influenza, dan TBC (Indriati, 2012).

Beberapa tempat di Indonesia seperti Jawa Barat, Palembang, dan Lampung, cacing tanah sudah dimanfaatkan sebagai obat

tradisional. Salah satu jenis cacing tanah yang sering digunakan adalah

Lumbricus rubellus yang

mengandung protein cukup tinggi yaitu 64-76% berat kering, selain itu juga mengandung banyak jenis asam asmino. Metode ekstraksi yang umum dilakukan masyarakat adalah dengan cara direnus. Dalam ekstrak air cacing tanah terdapat zat antipurin, antipretik, antidota, vitamin, dan beberapa enzim lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan seslulosa yang berkhasiat untuk pengobatan (Priosoeryanto, 2011). Pada Lumbricus rubellus

mengandung bioaktif Lumbricin

yang mempunyai aktivitas antimikroba yang merupakan golongan peptida antimikroba spektrum luas yang dapat menghambat bakteri gram positif maupun negatif (broad spectrum). Peptida antimikroba bekerja dengan cara menyebabkan perubahan mekanisme permeabilitas membran sehingga sel mengalami lisis (Damayanti, 2009).

Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui ke sensitivitasan dari masing-masing pengobatan yang tepat dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella

typhi. Hal ini dikarenakan saat ini

bakteri Salmonella typhi telah mengalami mutasi dan resisten terhadap beberapa antibiotik yang sebelumnya cocok digunakan dalam pengobatan serta membuktikkan keefektifan pengobatan tradisional dengan menggunakan ekstrak cacing tanah (Lumbrucus rubellus).

(3)

39 METODE DAN BAHAN

Penelitian ini bersifat eksperimental, yaitu suatu metode untuk mengetahui dan menguji perbedaan pengaruh antara pemberian terapi antibiotik dan ekstrak cacing dengan konsentrasi 15%, 30%, 45%, 60%, 75%, dan 90% pada pertumbuhan Salmonella

typhi secara in vitro dengan cara

melihat besarnya diameter zona jernih pada daerah sekitar kertas cakram. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juni 2017 di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) di Jalan Karangmenjangan No. 18 Surabaya. Sampel penelitian ini adalah bakteri biakan murni

Salmonella typhi dengan konsentrasi

108

Prosedur Kerja

Pembuatan Ekstrak Cacing

Tanah (Lumbricus rubellus)

Mensortir cacing tanah (dipisahkan antara cacing tanah antara yang baik dan yangg rusak). Mencuci bersih menggunakan air hingga tanah yang menempel di permukaan kulit cacing tanah. Mengeringkan cacing tanah dengan sinar matahari selama 7 hari. Membuat serbuk dengan cara diblender hingga menjadi sedikit halus. Menimbang cacing tanah sebanyak 70 gram dan dimasukkan dalam 70 mL aquadest. Merebus dengan menggunakan waterbath selama 1 jam dengan suhu 70 0C dan ditungu hingga didinginkan. Menyaring hasil ekstrak berupa

infusa dengan menggunakan centrifuge, sehingga mendapatkan stok eksrak rebus 100%. Melakukan pengenceran berdasarkan beberapa konsentrasi yakni 15%, 30%, 45%, 60%, 75%, dan 90%.

Pengujian Sensitivitas Pada

Media Mueller Hinton

Mengambil koloni pada biakkan Salmonella sp. yang kemudian diencerkan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril sehingga terbentuk suspensi yang keruh. Membandingkan kekeruhan antara suspensi Salmonella sp. dengan larutan Mc Farland, apabila suspensi kurang keruh maka ditambahkan koloni lagi sampai kekeruhannya sama dengan Mc Farland. Mengambil 1 mL suspensi

Salmonella sp. dan memasukkannya

ke dalam 20 mL media Mueller Hinton, digoyangkan sampai merata dan diamkan hingga memadat. Menginkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Meletakkan cakram yang berisi antibiotik maupun hasil ekstraksi dari cacing tanah ke media dengan posisi satu media berisi 4 buah. Menginkubasi media pada suhu 370C selama 18 jam.

Menghitung diameter zona hambat yang terbentuk kemudian dikelompokkan antara resisten, intermediet, dan sensitif.

Analisa Data

Data hasil penelitian dianalisa dengan SPSS menggunakan analisis varian satu arah ANOVA (One Way

(4)

40

kepercayaam 95% atau α = 0,05. Untuk menentukan perbedaan perlakuan secara mendalam dilakukan uji lanjut (Post Hoc Test) yaitu dengan menggunakan Uji LSD

(Lead Significance Different).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Pada penelitian ini sampel menggunakan bakteri biakan murni

Salmonella typhi dengan konsentrasi

108 yang diperlakukan dengan

ekstrak cacing tanah (Lumbricus

rubellus) dengan konsentrasi 15%,

30%, 45%, 60%, 75%, dan 90%; yang dibandingkan dengan 11 jenis antibiotik yaitu Ampisilin, Amoksisilin-asam klavulanat, Cefuroxime, Cholaramphenicol, Trimetrophim Sulfamethoxazole, Ceftriaxone, Meropenem, Cefotaxim, Levoflaxacin, Ceftazidim, dan Cefepime. Kemudian kedua perlakuan tersebut dihitung diamter zona hambatan yang terbentuk. Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil berupa grafik sebagai berikut:

Gambar 1 Grafik Zona Hambat Terapi Antibiotik

Gambar 2. Grafik Zona Hambat Ekstrak Cacing Tanah

Data hasil diameter zona hambat yang terbentuk antara terapi antibiotik dengan ekstrak

cacing diuji menggunakan statistik

one way ANOVA dan disajikan

(5)

41 Tabel 1. ANOVA Perbedaan Zona Hambat Penggunaan Terapi Antibiotik dengan Ekstrak Cacing Tanah.

Data diuji dengan menggunakan ANOVA dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil ANOVA menunjukan bahwa ada

pengaruh perlakuan kombinasi varians dan konsentrasi menunjukkan pengaruh yang nyata dengan nilai sig < 0,05.

Tabel 2. Hasil Uji LSD Perbedaan Zona Hambat Penggunaan Terapi Antibiotik dengan Ekstrak Cacing Tanah.

(6)

42 Pembahasan

Penggunaan Terapi Antibiotik terhadap Pertumbuhan Koloni Bakteri Salmonella typhi.

Berdasarkan hasil penelitian dan grafik 1, menunjukkan bahwa perlakuan terapi antibiotik terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella

typhi bersifat sensitif yaitu

menghasilkan diameter zona hambat ≥ 20 mm. Zona hambatan yang terbentuk pada agar dan lebar zona tersebut dibandingkan dengan lebar

zona hambat standar menurut Oxoid yang mengacu pada kriteria National Commitee for Clinical Laboratory Standard (NCCLS) dengan kategori resisten, intermediat dan sensitif. Kategori sensitif dapat digunakan sebagi rujukan untuk kepentingan klinis Sensitif dalam hal ini dimaksudkan bahwa antibiotik memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri bahkan mampu membunuh bakteri (Andi, 2013).

Gambar 3. Hasil Zona Hambat yang Dibentuk oleh Perlakuan Terapi Antibiotik

Pada antibiotik Ampisilin, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤13 mm, intermediat 14-16 mm, dan sensitif ≥17 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 26,5 mm, sehingga antibiotik Ampisilin dikategorikan sensitif.

Ampisilin yang merupakan golongan penisilin. Golongan penisilin secara struktural dan farmakologik memiliki cincin β-laktam yang bersifat bakterisid dan mempengaruhi dinding bakteri.

Mekanisme kerja antibiotik ini adalah mengganggu sintesis dinding sel bakteri yang sedang tumbuh dan membelah, sehngga dengan adanya cincin β-laktam akan membentuk organisme dengan dinding rapuh yang mudah rusak dan pertumbuhan akan terhenti (Irianto, 2013).

Pada antibiotik Amoxicilin Clavulanic Acid, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤13 mm, intermediat 14-17 mm, dan sensitif ≥18. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah

(7)

43

29,5 mm, sehingga antibiotik Amoxicilin Clavulanic Acid dikategorikan sensitif. Amoksisilin merupakan analog dari ampisilin yang merupakan antibiotik semisintetik berspektrum luas untuk mengobati infeksi pada anak-anak dan orang dewasa (Frynkewicz, 2013). Dalam mengurangu terjadinya resistensi amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat. Asam klavulanat termasuk dalam golongan inhibitor laktamase, dimana enzim β-laktamase berkerja dengan cara mendegradasi cincin β-laktam yang terdapat pada amoksisilin, sehingga dengan adanya penambahan asam kavulanat dapat meningkatkan kerja antibiotik dalam menyerang bakteri (Alburyhi, 2013).

Pada antibiotik Cefuroxime, menurut NCCLS kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤17 mm, intermediat 18-20 mm, dan sensitif ≥21 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 28 mm. sehingga antibiotik Cefuroxime dikategorikan sensitif. Cefuroxime adalah golongan cefalosporin yang memiliki spektrum aktivitias variasi tergantung generasinya. Cefuroxime merupakan generasi kedua yang stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri gram negatif, namun lemah terhadap bakteri Gram positif (Syarief, et all, 2007).

Pada antibiotik Cholaramphenicol, menurut NCCLS

kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤12 mm, intermediat 13-17 mm, dan sensitif ≥18 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 29,5 mm, sehingga antibiotik Cholaramphenicol dikategorikan sensitif. Chlaramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, dapat menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Rickestsia, dan Mikoplasma. Antibiotik ini mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S (Kemenkes, 2011).

Pada antibiotik Trimetrophim Sulfamethoxazole, menurut NCCLS kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤10 mm, intermediat 11-15 mm, dan sensitif ≥16 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 30,5 mm, sehingga antibiotik Trimetrophim Sulfamethoxazole dikategorikan sensitif. Sulfaonamida merupakn salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Golongan sulfonamida yang paling banyak digunakan sulfametoksazol yang kemudian dikombinasikan dengan trimetrophim yang menjadi antibiotik Trimetrophim Sulfamethoxazole atau yang biasa dikenal dengan nama kotrimoksazol. Mekanisme kerja Sulfamethoxazole adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan Trimetrophim menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahydrofolat

(8)

44

sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired.

Pada antibiotik Ceftriaxone, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤13 mm, intermediat 13-14 mm, dan sensitif ≥ 21 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 28,5 mm, sehingga antibiotik Ceftriaxone dikategorikan sensitif. Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin yang memiliki spektrum aktivitias variasi tergantung generasinya. Ceftriaxone merupakan generasi kedua stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri gram negatif, namun lemah terhadap bakteri Gram positif (Syarief, et all, 2007).

Pada antibiotik Meropenem, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤19 mm, intermediat 20-22 mm, dan sensitif ≥23 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 32 mm, sehingga antibiotik Meropenem dikategorikan sensitif. Meropenem adalah antibiotik golongan Karbapenem dengan aktivitas spektrum luas yang digunakan secara parenteral, stabil terhadap bakteri dehydropeptidase-1, sehingga tidak diperlukan penambahan inhibitor

dehydro-peptidase-1. Meropenem memiliki

efek bakterisida terhadap bakteri aerob dan anaerob. Meropenem mudah menembus dinding sel bakteri, memiliki stabilitas yang tinggi terhadap semua jenis

beta-laktamase dan juga afinitasnya

sangat baik terhadap Penicillin

Binding Proteins (PBPs) (Nurmala

et al., 2015).

Pada antibiotik Cefotaxim, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤22 mm, intermediat 23-25 mm, dan sensitif ≥26 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 27 mm, sehingga antibiotik Cefotaxim dikategorikan sensitif. Cefotaxim adalah golongan cefalosporin yang memiliki spektrum aktivitias variasi tergantung generasinya. Cefotaxim merupakan generasi ketiga stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri gram negatif, namun lemah terhadap bakteri Gram positif (Syarief, et all, 2007).

Pada antibiotik Levoflaxacin, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤15 mm, intermediat 16-18 mm, dan sensitif ≥19 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 34 mm, sehingga antibiotik Levoflaxacin dikategorikan paling sensitif diantara semua antibiotik yang digunakan dalam percobaan ini. Levoflaxacin merupakan obat golongan kuinolon yang mempunyai efek spektrum luas yang bekerja

(9)

45

dengan cara menghambat kerja enzim DNA girase kuman, sehingga akibatnya replikasi DNA terhenti (Syarief, et all, 2007). Golongan Quinolon seperti antibiotik Levoflaxacin merupakan pilihan lain untuk demam tifoid. Berdasarkan penelitian Prof. RHH Nelwan tahun 2009 yang membandingkan levoflaxacin dengan ciprofloxacin, memperlihatkan bawa demam menghilang di hari ke tujuh pada semua pasien yang menggunakan levoflaxacin, sedangkan yang kelompok ciproflaxacin masih ada 12 pasien mengalami pasien. Sedangkan dari hasil pemeriksaan mikrobiologi, di kelompok levoflaxacin 100% pasien klirens

Salmonella typhi berdasarkan

pemeriksaan darah dan feses (CDK, 2014).

Pada antibiotik Ceftazidime, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤17 mm, intermediat 18-20 mm, dan sensitif ≥21 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 28,5 mm, sehingga antibiotik Ceftazidime dikategorikan sensitif. Ceftazidime adalah golongan cefalosporin yang memiliki spektrum aktivitias variasi tergantung generasinya. Cefotaxim merupakan generasi ketiga stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri gram negatif, namun lemah terhadap bakteri Gram positif (Syarief, et all, 2007).

Pada antibiotik Cefepime, menurut NCCLS, kategori resisten ditunjukkan dengan diameter hambatan ≤21 mm, intermediat 22-23 mm, dan sensitif ≥24 mm. Berdasarkan grafik 1, diameter zona hambat yang dibentuk adalah 31,5 mm, sehingga antibiotik Cefepime dikategorikan sensitif. Cefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam yang merupakan generasi keempat dari cephalosporin. Cefepime adalah zwitter ion sebab mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti. Hal ini sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar dari bakteri gram-negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan dari anion tertentu pada periplasma tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini. Modifikasi struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan lebar dan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik gram positif maupun gram negatif. (Guntur, A.H., 2007).

(10)

46 Penggunaan Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) terhadap Pertumbuhan Koloni Bakteri Salmonella typhi

Gambar 4. Hasil Zona Hambat yang Dibentuk oleh Perlakuan Terapi Antibiotik

Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa ekstrak cacing tanah dengan metode infusa (mengambil perasan air dari rendaman cacing tanah dengan aquadest) tidak dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri

Salmonella typhi. Hal tersebut

ditunjukkan pada grafik 2 yaitu pengujian pada semua konsentrasi (15%, 30%, 45%, 60%, 75%, dan 90%) disertai dengan kontrol negatif berupa aquades tidak mengalami perbedaan dalam menghambat pertumbuhan koloni pada bakteri

Salmonella typhi. Semua

konsentrasi menghasilkan diameter zona hambat yang sama yaitu 6 mm, sehingga pada ekstrak cacing tanah tidak terdapat Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) yang berarti perlakuan ini bersifat resisten terhadap pertumbuhan bakteri

Salmonella typhi.

Salmonella typhi merupakan

penyebab penyakit demam tifoid yang berasal bakteri Gram Negatif, fakultatif, intraselluler yang dapat hidup berkembang biak dalam

makrofag, tahan terhadap enzim-enzim lisosom, mempunyai kemampuan untuk mencegah fusi

phagosome-lysosomei sehingga sulit

dibunuh. Selain itu Salmonella typhi

mempunyai faktor virulensi utama yang berupa polisakarida (LPS) yang dapat menstimulasi respon imun pada inang (Kresno, 2001). Seseorang yang menderita demam tifoid biasanya dikarenakan oleh imunitas yang lemah (penurunan daya tahan tubuh terhadap benda asing yang masuk dalam tubuh). Salah satu pengobatan tradisional yang telah lama beredar di masyarkat Indonesia adalah penggunaan cacing tanah Lumbricus rubellus.

Cacing tanah Lumbricus

rubellus memiliki berbagai senyawa

penting, salah satu diantranya adalah senyawa peptida antimikroba yang dinamakan lumbrisin I. Lumbrisin I merupakan senyawa peptida yang tersusun dari 62 asam amino. Senyawa lumbrisin I mudah rusak akibat proses pemanasan, pengolahan dan penyimpanan

(11)

47

(Sofyan dkk, 2008). Namun pada penelitian ini yang menggunakan menggunakan metode infusa, dimana ekstraksi dilakukan dengan pelarut air pada temperatur penangas air (waterbath) dengan suhu 70 0C selama 30 menit. Dimana dalam hal ini proses tersebut yang dapat merusak senyawa lumbrisin I yang memiliki sifat sebagai antimikroba.

Walaupun senyawa Lumbrisin bersifat inaktif akibat proses pemanasan, tapi masih ada senyawa lainnya yang bermanfaat pada cacing tanah Lumbricus rubellus

dalam pengobatan penyakit demam tifoid yaitu adanya sifat imunomodulator. Imunomodulator adalah bahan yang dapat mengembalikan ketidakseimbagan sistem imun yang cara kerjanya antara lain mengembalikan fungi imun yang terganggu, memperbaiki fungsi sistem imun, dan menekan respon imun (imunosupresi). Pemberian ekstrak cacing tanah

Lumbricus rubellus yang berperan

sebagai imunomodulator dapat meningkatkan aktivitas dan fungsi beberapa komponen imunitas non spesifik serta imunitas spesifik baik humoral maupun seluler. Efek terhadap respon imun nonspesifik berupa peningkatan fagositosis dan kemotaksis makrofag, kemotaksis neutrofil (Barbour, et.al, 2004).

Salmonella typhi masuk ke

tubuh manusia melalui mulut melalui makanan atau air yang tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung,

sebagiannya lolos masuk ke dalam sistem pencernaan (usus) selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propina, sehingga membuat penyerapan asupan makanan dalam pencernaan menjadi tidak stabil (Prasetyo, 2006). Dari permasalahan itu, maka cacing tanah Lumbricus

rubellus yang bersifat

imunomodulator yang di dalamnya terdapat enzim selulosa dan enzim katalase berkerja yaitu untuk melancarkan sistem pencernaan dan dapat meningkatkan nafsu makanan yang dapat membuat stimulus untuk sumsum tulang menghasilkan limfosit B yang mekanisme kerjanya adalah menandai molekul-molekul asing (bakteri Salmonella typhi) tempat mereka meningkatkan diri dan kemudian melumpuhkannya (Waspodo, 2008).

Di samping itu, akan muncul respon imun berupa demam yang disebabkan adanya muncul antigen (bakteri Salmonella typhi) ke dalam tubuh manusia. Dengan adanya sifat antipiretik yang di terdapat pada cacing tanah Lumbricus rubellus

dapat menurunkan suhu badan ketikda demam menyerang tubuh. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian “Perbedaan Sensitivitas Terapi Antibiotik dengan Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Terhadap Pertumbuhan Salmonella

(12)

48

typhi Secara in vitro” mendapatkan

kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh perbedaan yang signifikan pada pemberian terapi antibiotik terhadap pertumbuhan Salmonella typhi

secara in vitro dimana ke-11 antibiotik yang diujikan memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi

(bersifat sensitif). Antibiotik Levoflaxacin memiliki daya sensitivitas yang tinggi melalui zona hambat yang terbentuk sebesar 34 mm.

2. Tidak adanya pengaruh yang signifikan pada pemberian ekstrak cacing tanah Lumbricus

rubellus terhadap pertumbuhan

Salmonella typhi secara in vitro,

dimana keseluruhan konsentrasi ekstrak cacing tanah Lumbricus

rubellus menghasilkan zona

hambat yang sama dengan kontol negatif berupa aquadest. SARAN

1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan isolasi senyawa lumbricin I pada cacing tanah

Lumbricus rubellus yang dapat

ditemukan pada saluran intestinal cacing tanah dengan menggunakan pelarut non polar seperti etanol. Selain itu perlu dilakukan penelitan lanjutan tentang kereaktifan imunomodulator pada cacing tanah Lumbricus rubellus pada penderita demam tifoid.

2. Bagi para penderita demam tifoid, sebaiknya melakukan

bed rest dan mengkonsumsi suplemen yang dapat meningkatkan nafsu makan. Segera melakukan pemeriksaan awal seperti tes widal supaya dokter bisa memberikan antibiotik yang tepat dan hindari membeli antibiotik tanpa resep dokter karena nantinya bisa menyebabkan resisten dan sistem tubuh akan menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alburyhi., Mahyoob., Abdulwali, Ahmad Siaf., dan Maged Alwan Noman. 2013. Stability

Study of six Brands of

Amoxicilin Trihydrate and

Clavulanic Acid Oral

Suspension Present in Yemen

Markets. Journal of Chemical

and Pharmaceutical Research. Vol 5, Hal : 293-296.

Ayu, N.S., Junaidi A.R., Maria, U,. 2010. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat

Inap di Rumah Sakit

Muhammadiyah Palembang

Periode Tahun 2010.

Palembang : Laporan penelitian Universitas Muhammadiyah Palembang. Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse,

S.A. 2004. Mikrobiologi

Kedokteran, Edisi 23. Jakarta:

EGC.

CDK-217. 2014. Terapi Demam

Tifoid, vol 41 No. 6.

Centers for Disease ContHrol and Prevenion Morbidity and

(13)

49

Mortality Weekly Report (MMWR), 2008; 83 (6): 49 – 60.

Ciptanto, S., Ulfah, P,. 2011. Mendulang Ema Hitam Melalui Budidaya Cacing Tanah. Yogyakarta : Lily Publisher.

Damayanti, E., H.Julendera, A.Sofyan. 2008. Aktivitas

antibakteri tepung cacing

tanah (Lumbricus rubellus) dengan Metode Pembuatan

yang Berbeda terhadap

Escherichia coli. Yogyakarta:

Prosiding Seminar Nasional Pangan.

Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &

Penyakit Tropis edisi 1.

Jakarta: BP FKUI.

Djide, M.N. & Wahyuddin, E. 2008.

Isolasi Bakteri Asam Laktat

dan Air Susu Ibu dan

Potensinya dalam Penurunan Kadar Kolesterol Secara In

Vitro. Jakarta: Majalah

Farmasi dan Farmokologi Vol 12.

Erviani, Andi Evi. 2013. Analisis

Multidrug Resistemso

Terhadap Antibiotik Pada

Salmonella typhi dengan

Teknik Multiplex PCR.

Makasar: Universitas Hasanuddin Press.

Frynkewicz, Heidi., Hannadh Feezle., dan Melinda Richardson. 2013. Thermostability Determination of Broad Spectrum Antibiotics at Hiqugh Temperatures by Liquid Chromatography- Mass Spectrometry.

Proceedings of The National

Conference On

Undergraduate Reserch

(NCUR) 2013 University of

Wisconsin La Crosse, WI.

Guntur, A.H., 2007. The Role Of

Cefepime: Emperical

Treatment in Critical Illness.

Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Jakarta: Dexa Media Vol. 20 No. 2.

Hancock, R.E.W., Rozek, A. 2002.

Mini review role of

membranes in the activities of

antimikrobial cationic

peptides

Handoyo, I. 2004. Diagnostic

Laboratorium Demam Tifoid.

Jurnal Kimia Klinik Indonesia.ak V., Alkalin S., Geyik MF., Ayaz C. 2008.

Evaluation of false negativity of the widal test among culture proven Typhoid fever

cases. J Infect Dev Cities.

Hosoglu, S., Bosnak V., Akalim S., Geyik M.G., Ayaz C. 2008.

Evaluation f false negativity of the Widal Test among culture

proven typhoid fever cases. J

Infect Dev Ctries.

Indriati G, dkk. 2012. Pengaruh Air

Rebusan Cacing Tanah

(Lumbricus rubellus)

Terhadap Pertumbuhan

Bakteri Escherichia coli/

(14)

50

Semirata BKs Ptn-B-MIPA, Universitas Negeri.

Irianto, Koes. 2013. Mikrobiologi

Medis (Medis Microbiology).

Bandung: Penerbit Alfabeta. Kementerian Kesehatan RI. 2014.

Kegiatan Pengendalian Tifoid

2015-2019. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor

365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kresno, B.S., 2001. Imunologi:

Diagnosis dan Prosedur

Laboratorium Edisi IV.

Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Murray, PR., Rosenthal KS., Pfaller M.A. 2009. Medical

Microbiology (6th ed.).

Philadelphia: Mosby Elsevier. Nurmala, I.G.N. Virgiandhy,

Andriani, dan D.F. Liana. 2015. Resistensi dan Sensitivitas Bakteri terhadap

Antibiotik di RSU dr.

Soedarso Pontianak tahun

2011-2013. JKI. 3(1): 21–28.

Ochia RL, Acosta CJ, Agtini M, et al. 2007. The use of typhoid vaccines in Asia : the DOMI

experience Clin Infect Dis.

Palungkun, R., 2008. Sukses

Beternak Cacing Tanah

Lumbricus rubellus. Jakarta :

Penebat Swadaya.

Prasetyo, D H. 2006.

Psikoneuroimonologi Untuk

Keperawatan Edisi 2.

Surakarta: UNS Press.

Prioseoeryanto, B.P.P., dkk,. 2001.

Aktivitas Antibakteri dan Efek Terapeutik Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Secara Invitro dan Invivo

Pada Mencit Berdasarkan

Gambaran Patologi Anatomi

dan Histopatologi. Bogor:

Jurnal Balai Penelitiaan Veteriner (BALITVET). Rampengan, T.H., 2007. Penyakit

Infeksi Tropik Pada Anak.

Jakarta: EGC.

Radji, Maksum. 2015. Mekanisme Aksi Molekuler Antibiotik dan

Kemoterapi. Jakarta: EGC.

Sajuthi, D., Suradikusumah, E.Santoso, M.A., 2003. Efek

Sntipretik Ekstrak Cacing

Tanah. Dalam

http://www.komps.com/komp ascetak/030520/ilpeg/336450. htm, Diakses pada 10 Februari 2017.

Soedarno, S.S., Garna, H., Hadinegoro, S.R. 2012.

Demam Tifid : Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sofyan, A.E., Damayanti, Julendra. 2008. Aktivitas Antibakteri dan Retensi Protein Tepung

Cacing Tanah (Lumbricus

rubellus) sebagai pakan

imbuhan dengan taraf

penambahan kitosan. JITV

Vol 3. Hal 182-187.

Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam edisi 4.

Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

(15)

51

Syarif. A, dkk. 2007. Farmakologi

dan Terapi Edisi Lima.

Jakarta: Universitas Indonesia. Waode, Santa Monica., Hapsari, Mahatmi., Besung, Kerta. 2013. Pola Resistensi

Salmonella typhosa yang

Diisolasi dari Ikan Serigala

(Hopilas Malabaricus)

Terhadap Antibiotik. Jurnal

Ilmu dan Kesehatan Hewan vol. 1.

Waluyo, L. 2008. Teknik dan

Metode Dasar dalam

Mikrobiologi. Malang:

Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Zulkarnain I., 2010. Patogenesis

Demam Tifoid. Jakarta: Pusat

Informasi&Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dala Fakultas Univeristas Indonesia.

Zulkoni, Akhsin. 2010.

Parasitologi. Yogyakarta:

Gambar

Gambar 2. Grafik Zona Hambat Ekstrak Cacing Tanah  Data  hasil  diameter  zona
Tabel  2.  Hasil  Uji  LSD  Perbedaan  Zona  Hambat  Penggunaan  Terapi  Antibiotik dengan Ekstrak Cacing Tanah
Gambar 3. Hasil Zona Hambat yang Dibentuk oleh Perlakuan Terapi Antibiotik  Pada  antibiotik  Ampisilin,
Gambar 4. Hasil Zona Hambat yang Dibentuk oleh Perlakuan                     Terapi Antibiotik

Referensi

Dokumen terkait

Bisa jadi bank islam tidak dapat mengindarkan diri sama sekali dengan transaksi bunga yang telah mengakar sekian tahun lamanya.Oleh karena itu, apabila Bank Islam

Analisis hubungan kausalitas antara konsumsi daya listrik dengan trafik internet yang diukur secara spasial pada 2 tempat berbeda di kampus Ubaya

Hal ini karena isbat nikah (penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

1 (2017) Masalah seperti ini banyak dialami oleh guru dan siswa. Bila guru bisa memberikan metode belajar yang tidak monoton, yang menuntut siswa menggunakan kemampuan otak

Bagian pertama pada bab ini akan dibahas mengenai penelitian terdahulu, selanjutnya akan dibahas mengenai semiring, aljabar max-plus, aljabar tropical , aljabar

Dari ketiga profesi akuntan, profesi dosen memiliki persepsi yang paling baik (84,92%) dibanding profesi akuntan manajemen dan mahasiswa. Pada hasil uji

(2) upaya mengatasi anak putus sekolah masih kurang, ditandai dengan kurangnya motivasi dan bantuan dari orang tua dalam proses belajar anak, kurangnya pengawasan dan

Seiring dengan berkembangnya citra satelit seri Landsat, maka pada penelitian ini dilakukan pengolahan citra Landsat 8 akuisisi tanggal 21 Januari 2017 untuk menganalisis sebaran