• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Seiring bertambahnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sejalan dengan era globalisasi yang bergulir saat ini, maka semua sektor kehidupan manusia baik itu sosial, budaya, politik dan khususnya perekonomian juga mengalami peningkatan yang cukup pesat sehingga menimbulkan banyak pula tuntutan kebutuhan oleh masyarakat, baik dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun di bidang usaha atau bisnis khususnya di Indonesia.Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi perusahaan-perusahaan atau perseorangan yang memiliki masalah keuangan dalam memperoleh barang modal maupun barang yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, misalnya kendaraan bermotor, barang elektronik dan mesin-mesin industri.

Dalam bidang pembiayaan secara berkala, selain melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank yang telah dikenal, juga terdapat sistem pembiayaan alternatif. Diantara lembaga keuangan non bank yang merupakan bagian dari sistim pembiayaan alternatif yang saat ini banyak diminati oleh masyarakat adalah Lembaga Pembiayaan melalui Perusahaan Pembiayaan dengan

(2)

cara Sewa Guna Usaha (leasing). Sebagai alternatif sistem pembiayaan, usaha

leasing dalam tahun-tahun belakangan ini memainkan peranan yang semakin penting bagi perkembangan perekonomian di Indonesia karena pada saat ini tidak sedikit perusahaan atau perseorangan yang membutuhkan modal baik berupa uang maupun barang, tetapi tidak memiliki keuangan yang mencukupi.

Melalui mekanisme leasing, secara teoritis jelas lebih menguntungkan bagi pengusaha yang memiliki keterbatasan modal untuk melakukan ekspansi usaha dan juga lebih memberi kemudahan-kemudahan dibandingkan dengan pembiayaan melalui pinjaman dari bank. Perjanjian leasing merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tidak bernama yang secara yuridis tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek ( yang selanjutnya di singkat dan disebut BW) dan merupakan ciptaan di dalam praktik berdasarkan hukum kebiasaan. Secara yuridis, saat ini lembaga leasing telah diatur dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, bahwa “Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”.

Finance lease merupakan bahasan utama dalam penelitian ini merupakan salah satu fenomena modern dalam dunia bisnis, yang

(3)

dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada Lessee1 dalam penyedia barang modal, dimana ia belum mampu untuk membeli barang modal tersebut tetapi hanya mampu sebatas menyewa barang modal tersebut. Dengan adanya Hak Opsi yang terdapat dalam leasing tipe

Finance lease merupaka pilihan bagi pihak lessee apakah ia akan membeli barang tersebut pada harga yang telah disepakati bersama. Harga ini didasarkan pada nilai dari barang obyek leasing yang merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali oleh Lessor kepada Lesee pada saat memilih menggunakan opsinya.

Menurut Black’s Law Dictionary,Lease adalah :”a contract by which a rightful possesor of personal conveys the right to use and occupy the property in exchange for consideration.”2

MenurutSri Suyatmi leasing atau leasing company adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating lease yang digunakan oleh penyewa

1Para pihak dalam perjanjian leasing adalah Perusahaan Pembiayaan atau disebut Lessor

dan Penyewa Guna Usaha yang biasa disebut Lessee. Didalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) memberikan pengertian Lessoradalah badab usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan.

2Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Minnesota: West Publishing Co, 2004) ed. 8,

(4)

guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.3

Equipment Leasing Association di London sebagaimana dikutip Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal memberikan pengertian leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan atas barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.4

Oleh karena perjanjian leasing merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama yang secara yuridis tidak diatur dalam BW. Hal ini dimungkinkan, karena pada prinsipnya hukum perjanjian yang diatur dalam BW menganut sistem terbuka, yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sistem terbuka ini mengandung suatu asas kebebasan berkontrak yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”. Dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak,

3Sri Suyatmi SE dan J. Sadiarto, Problematika Leasing di Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta,

1992, h.8

4Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 8

(5)

memberikan suatu landasan bagi terbentuknya perjanjian leasing yang merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian tak bernama lainnya.

Pada dasarnya setiap perjanjian di Indonesia sampai saat ini masih berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Buku III BW sebagai dasar hukum berlakunya suatu perjanjian. Pada Pasal 1319 BW disebutkan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Bertolak dari ketentuan tersebut dikenal adanya dua kelompok perjanjian, yang pertama adalah perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten) yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama tertentu dan pengaturannya diatur secara tegas di dalam undang-undang sebagaimana yang terdapat pada titel V sampai dengan titel XIX Buku III BW, dan yang kedua adalah perjanjian yang dalam BW tidak dikenaldengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama (onbenoemde atau innominaat contracten)5.

Umumnya, pranata sewa guna usaha/Leasing di Indonesia menggunakan bentuk Perjanjian Baku (Standart Form Contract) yang mengikat para pihak. Klausul-klausul dalam perjanjian tersebut telah dibuat sebelumnya oleh pihak

lessor tanpa melibatkan pihak lessee, sehingga pihak lessee hanya berwenang untuk menyatakan kesepakatannya terhadap isi atau ketentuan yang telah ada atau

5J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cetakan ke-1, Citra Aditya

(6)

tidak. Dewasa ini kontrak baku banyak dipraktekkan dalam dunia bisnis karena dipandang lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis lebih simpel, dan dapat segera ditandatangani para pihak. Namun disatu sisi kontrak baku juga mempunyai kelemahan-kelemahan adalah bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk jadi klausula yang berat sebelah.6

Adakalanya dalam melaksanakan perjanjian tidak sesuai dengan yang diharapkan atau terdapatnya hambatan dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak dapat dilaksanakannya perjanjian tersebut karena salah satu pihak melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Mengingat bahwa transaksi leasing ini yang biasanya melibatkan sejumlah modal besar, maka memungkinkan terjadinya penyimpangan berupa ingkar janji atau wanprestasi dari para pihak. Tidak terlaksananya kewajiban lessee seperti yang diperjanjikan, yaitu pihak lessee

(debitur) tidak dapat membayar uang sewa kepada pihak lessor, hal ini merupakan tindakan wanprestasi yang dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha.

Untuk itu kemungkinan-kemungkinan kerugian yang disebabkan wanprestasi pihak lessee diperkecil resikonya dengan memperkuat klausula-klausula di dalam perjanjian leasing, bahkan membuat akta-akta tambahan

6Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),Buku Kedua, Citra Aditya

(7)

sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan dengan perjanjian leasing. Oleh sebab itulah dalam praktek agar tidak merugikan pihak lessor dan usaha lessee

dapat berjalan dengan baik, maka para pihak berupaya untuk melakukan penyelesaian yaitu dengan bersepakat untuk menempuh dengan cara pembaharuan utang (novasi) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1413 BW. Hal ini sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian leasing.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1413 BW, novasi atau pembaharuan utang ada tiga (3) macam jalan untuk melaksanakan yaitu novasi obyektif, novasi subjektif pasif, dan novasi subjektif aktif. Dalan hal ini yang akan dibahas dalam permasalahan penelitian ini adalah yang berkaitan dengan novasi subyektif pasif atau disebut juga alih debitur yaitu apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh yang si berpiutang dibebaskan dari perikatannya artinya penggantian debitur lama oleh debitur baru. Debitur lama sebagai pihak yang berhutang atas inisiatif debitur sendiri atau inisiatif dari krediturnya dapat mengalihkan utang debitur lama kepada pihak lain sebagai debitur baru. Dengan penggantian debitur lama kepada debitur baru berarti membebaskan debitur lama dari kewajiban membayar utangnya kepada kreditur.

Oleh karena telah terjadi pembaharuan utang (novasi), maka berakibat hukum terhadap perikatan yang dituangkan dalam perjanjian leasing yang dibuat oleh pihak lessor dan lessee tersebut yaitu hapusnya perikatan tersebut, sebagaimana ketentuan pasal 1381 BW menyatakan :

(8)

” Perikatan-perikatan hapus: karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan utang (novasi), karena perjumpaan utang (kompensasi), karena percampuran utang, karena pembebasan utangnya, karena musnahnya barang yang terutang, karena kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat batal, karena lewatnya waktu (daluwarsa).”

Novasi terhadap debitur pada perjanjian leasing yang dilakukan dimana jangka waktu sewanya masih berjalan, biasanya terjadi karena debitur lama (lessee) mengalami kesulitan untuk melanjutkan pembayaran uang sewa dikarenakan menurunnya kondisi keuangan lessee atau debitur lama meninggal sehingga ahli warisnya menggantikan posisi debitur lama. Hal tersebut yang dapat menyebabkan pada akhirnya lessee mengalihkan kewajibannya kepada pihak lain walaupun masih dalam ikatan perjanjian leasing, sehingga perlu adanya persetujuan pihak lessor untuk terjadinya novasi.

Timbulnya pembaharuan utang tersebut yang mengakibatkan si berutang (debitur baru) menggantikan orang yang berutang lama (debitur lama) mendorong orang yang berutang baru tersebut untuk mengikatkan dirinya terhadap orang yang berpiutang (kreditur), ternyata berdasarkan Pasal 1417 BW hal yang demikian tersebut tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpiutang tidak secara tegas menyatakan bahwa ia bermaksud membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan itu dari perikatannya.

Berdasarkan pasal 1417 BW tersebut terhadap pembaharuan utang harus dipertegas oleh pihak orang yang berpiutang (kreditur/ dalam hal ini lessor) dalam

(9)

suatu perjanjian atau kesepakatan dengan orang yang berutang yang lama maupun yang baru bahwa ia si berpiutang membebaskan orang yang berutang (debitur lama) dari penuntutan, sehingga prinsip-prinsip hukum perjanjian harus diperhatikan dan dijalankan kedua oleh belah pihak. Namun demikian berdasarkan Pasal 1418 BW pihak yang berpiutang dapat mempertahankan hak penuntutan itu dengan tegas dalam suatu perjanjian jika dalam suatu keadaan tertentu, yang selengkapnya Pasal 1418 BW menyatakan :

“ Si berpiutang yang membebaskan siberutang yang telah melakukan pemindahan, tak dapat menuntut orang tersebut, jika orang yang ditunjuk untuk menggantikan itu jatuh dalam keadaan pailit atau nyata-nyata tak mampu, terkecuali jika hak penuntutan itu dengan tegas dipertahankan dalam perjanjian, atau jika orang berutang yang ditunjuk sebagai pengganti itu pada saat pemindahan telah nyata-nyata bangkrut atau telah berada dalam keadaan terus-menerus merosot kekayaannya “.

Oleh karena itu dalam proses novasi subjektif pasif, ada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi baik oleh pihak lessor sebagai kreditur maupun lessee sebagai debitur lama dan debitur baru. Selain itu juga perlu dibuat beberapa akta atau dokumen yang perlu dibuat berkaitan dengan proses novasi ini. Salah satu syarat dilakukannya novasi subjektif pasif sebagaimana diatur pada Pasal 1415 BW yaitu novasi subyektif pasif harus dilakukan secara tegas tidak boleh hanya dipersangkakan. Artinya novasi terhadap debitur tersebut harus dilakukan dengan persetujuan dari pihak Lessor sebagai kreditur, hal ini sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap lessor itu sendiri.

(10)

Sesuai dengan latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan atau isu hukum (legal issue) yang akan dibahas adalah:

1. Prinsip hukum apakah yang wajib dijalankan oleh para pihak jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee

dalam perjanjian leasing ?

2. Apa akibat hukumnya jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif dalam penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian

leasing? 2. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis prinsip hukum yang harus dijalankan dalam penyelesaian kewajiban lessee jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaiannya.

b. Untuk menganalisis akibat hukumnya jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee kepada lessor dalam perjanjian leasing.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti, sehubungan dengan novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee

(11)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap pengetahuan dan wawasan keilmuan khususnya bagi praktisi hukum dan pelaku usaha serta masyarakat.

4. Kajian Pustaka a. Perjanjian

Buku III BW tentang perikatan (van Verbintensis) tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun justru diawali dengan Pasal 1233 BW mengenai sumber perikatan yaitu kontrak atau perjanjian yang merupakan salah satu dari dua unsur hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari kontrak atau perjanjian begitu mendominasi.7 Oleh karenanya pemerintah membuatkan aturan-aturannya yang terpampang atau tertuang di dalam Bab V-XVIII Buku III BW dan dibuatkan nama-nama khusus terhadap jenis-jenis perjanjian tersebut, baik itu Perjanjian Bernama maupun Perjanjian Tak Bernama. Apabila di dalam BW tidak dapat mengakomodir kebutuhan bisnis masyarakat, maka pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian diluar Buku III BW . Pasal 1319 BW menyatakan “ semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.” BW merestui

7Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian:Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Kencana

(12)

perjanjian tak bernama yang dibuat oleh masyarakat, dengan tetap tunduk pada Buku III BW.

Di dalam melakukan perikatan baik perjanjian Bernama dan tak Bernama, harus tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 BW yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan sesuatu sebab yang halal. Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sesuatu sebab yang halal disebut dengan syarat obyektif. Apabila perjanjian yang dibuat syarat subyektifnya tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: “Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan”. Namun jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka “perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu”.8

Perjanjian yang dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 BW, maka perjannjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan bunyi Pasal 1338 BW menyatakan “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

(13)

undang bagi mereka yang membuatnya. Semua`perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Semua`perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal 1338 BW ini mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak, memberikan suatu landasan bagi terbentuknya perjanjian leasing yang merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian tak bernama lainnya.

Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1233 BW, perikatan itu bersumber pada undang-undang atau pada perjanjian. Namun terlihat nyata, bahwa dalam kehidupan sosial, perikatan yang sering muncul kebanyakan bersumber dari perjanjian.9

Pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari kejadian ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Jadi, pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yag berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berutang.10

9M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya, 1996, h.31 10R. Subekti, Op.Cit, h.1

(14)

Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa prinsip atau asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III BW, yaitu: 11

(1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 BW, yang menyebutkan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan untuk:

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d) Menentukan objek perjanjian;

e) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan

(2) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) BW yang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata

(15)

sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. (3) Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)

Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.

(4) Asas Itikad Baik

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Itikad baik ada 2 (dua), yaitu :

a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan; b) Bersifat subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.

b. Leasing

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing

merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut

(16)

fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing

sering diistilahkan dengan “sewa guna usaha”.12

Secara yuridis, saat ini lembaga leasing telah diatur dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan bahwa “Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkanpembayaran secara angsuran”.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang dimaksudsewa guna usaha atau Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha sampai jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran

Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), yang dimaksud dengan leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyedia barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk

12Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), Citra Aditya Bakti,

(17)

dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Dari definisi tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa yang menjadi elemen-elemen dari suatu leasing adalah sebagai berikut 13:

1. Suatu pembiayaan perusahaan 2. Penyediaan barang modal 3. Keterbatasan Jangka Waktu

4. Pembayaran kembali secara berkala 5. Hak opsi untuk membeli barang modal 6. Nilai sisa (residu)

Dalam suatu perjanjian leasing pada dasarnya terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu :

a. Lessor(perusahaan leasing) sebagai pemilik barang atau pihak yang menyewakan;

b. Lessee (perusahaan/nasabah) sebagai pemakai barang atau pihak penyewa; c. Supplier sebagai penjual barang; dimana setiap pihak mempunyai hak dan

kewajiban dengan kepentingan masing-masing.

Pihak lessor sebagai pihak yang menyewakan barang modal dalam hal ini sangat memerlukan dan menghendaki kepastian adanya jaminan dari pihak lessee

bahwa barang modal yang telah disewakan akan kembali. Sehingga jaminan merupakan hal yang pokok untuk mendapat fasilitas leasing, karena bila

(18)

dikemudian hari ternyata debitur ingkar janji/wanprestasi terhadap perjanjian

leasing maka jaminan mempunyai fungsi yang sangat penting.

Pada dasarnya dalam praktek leasing dibedakan dalam dua bentuk leasing,

yang dilakukan secara Finance Lease maupun secara Operating Lease. Dalam

finance lease dimana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama, sedangkan dalam operating lease dimana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing.

c. Novasi

Novasi merupakan pembaharuan utang dalam hal ini hutang yang lama dihapus dan diganti dengan hutang yang baru. Di sisi lain novasi mempunyai maksud secara luas yaitu suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan lainnya ditempatkan sebagai pengganti semula.14Apabila memperhatikan Pasal 1381 BW, terdapat penegasan, bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian. Namun dari segi karakternya, novasi sedikit berbeda dengan cara-cara penghapusan perjanjian yang lain seperti pembayaran, kompensasi, ataupun dengan penghapusan hutang. Pada cara dan bentuk penghapusan serta merta mengakhiri hubungan hukum antara kreditor dengan debitor, misalnya pembayaran barang yang sudah dibeli dengan sendirinya berakhirlah hubungan hukum antara kreditor dengan debitor.

(19)

Berbeda halnya dengan novasi, sekalipun pada prinsipnya bertujuan menghapuskan perjanjian, namun hubungan hukum perjanjian lama dilanjutkan dalam bentuk perjanjian baru. Hal ini terjadi disebabkan penghapusan perjanjian dan hubungan hukum yang baru yang mengmbil posisi di atas perjanjian dan hubungan hukum lama. Dengan kata lain, novasi adalah pernyataan kehendak para pihak kreditor dan debitor, yang berisi penghapusan perjanjian lama dan pada saat yang sama diganti dengan perjanjian baru yang berupa kelanjutan dari perjanjian lama. Karena novasi dimaksudkan untuk menggantikan perikatan yang lama dengan perikatan baru, maka novasi tidak terjadi, kalau ternyata perikatannya yang lama tidak ada.15

Menurut ketentuan Pasal 1413 BW, novasi dapat terjadi disebabkan karena: 16

1. Apabila debitor dan kreditor mengadakan ikatan perjanjian hutang terhadap kreditor dengan tujuan menghapuskan dan mengganti perjanjian lama dengan perjanjian baru. Dalam hal ini perjanjiannya yang diperbaharui. (Novasi Obyektif)

2. Apabila seorang debitor baru menggantikan debitor lama yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran oleh kreditor. (Novasi Subyektif Pasif)

15J. Satrio, Cessie,Subrogatie,Novatie,Kompensatie,& Percampuran Hutang,Alumni,

Bandung,1999, h.102 (Selanjutnya disingkat J. Satrio II)

16Mariam darus Badrulzaman et,all, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,

(20)

3. Dengan membuat perjanjian baru yang menggantikan kreditor lama dengan kreditor baru, dan kreditor lama tidak berhak lagi menagih/menuntut pembayaran dari ikatan perjanjian yang lama.

Terjadinya novasi pada angka 2 dan 3 tersebut di atas adalah merupakan novasi subyektif yakni adanya pembaharuan terhadap subyek perjanjian. Jika subyek (debitor) yang diperbaharui dengan debitor baru, novasi yang demikian disebut sebagai novasi subyektif pasif, yang akan menjadi pokok bahasan permasalahan dalam penelitian ini.

d. Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. 17

Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Kewajian yang timbul dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 BW yang menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi apabila:18 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan

17Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta,

2010, h.98

(21)

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Adapun yang dimaksud dengan cidera janji atau wanprestasi menurut Yahya Harahap, bahwa istilah wanprestasi atau cidera janji diatur dalam Pasal 1243 jo. Pasal 1763 BW, yaitu:19

(1) Pasal 1243 BW menjelaskan

pengertian wanprestasi atau cidera janji, yaitu : a) Lalai memenuhi perjanjian;

b) Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; c) Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang

ditentukan.

(2) Pasal 1763 BW menjelaskan pengertian yang lebih spesifik, bahwa wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.

Wanprestasi dapat disebabkan oleh adanya kesalahan debitur,yang meliputi :20

a) Kesengajaan, adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang diketahui oleh debitur.

b) Kelalaian, adalah debitur melakukan kesalahan akan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi yang kemudian ternyata menyebabkan terjadinya wanprestasi

19M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, 2009, h.201

(22)

Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya yaitu dapat memilih apakah memaksa pemenuhan prestasi, pemenuhan prestasi dengan ganti rugi, ganti kerugian tau pembatalan perjanjian. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1267 BW yang menyatakan bahwa:“Pihak yang terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akanmenuntut pembatalan perjanjian, disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga.” Hal ini dipertegas oleh Subekti, Kreditor dapat ditetapkan bahwa kreditor dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

1). Pemenuhan perjanjian

2). Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3). Ganti rugi saja

4). Pembatalan perjanjian

5). Pembatalan disertai ganti rugi. 21

5. Pendekatan Masalah

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif, dengan pendekatan yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (Statute Approach) karena mengingat permasalahan pada penelitian ini bersumber pada

(23)

materi perundang-undangan dan menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yakni berdasarkan pada pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

6. Sumber Bahan Hukum

Berkaitan dengan pendekatan secara statute approach, maka dalam hal ini, sumber hukum yang digunakan adalah:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu BW, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing),dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan leasing.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini meliputi studi pustaka pada perpustakaan Universitas Airlangga, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan literatur-literatur, penelusuran situs di internet dan peraturan perundang-undangan dari berbagai sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

(24)

7. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dan identifikasi, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis untuk memudahkan menganalisa permasalahan yang berhubungan dengan kajian penelitian ini. Terhadap data yang diperoleh dari hasil wawancara diperiksa lagi kelengkapannya, kejelasannya, dan keseragaman datanya untuk menghilangkan keragu-raguan, sehingga data yang diperoleh tersebut dapat dipercaya dan akurat, selanjutnya data tersebut dicatat secara sistematis dan konsisten. Sehingga data-data yang diperoleh penelitian ini dapat ditulis dengan penatalaksanaannya secara kritis, logis dan sistematis.

8. Pertanggungjawaban Sistematika.

Dalam tesis ini, menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Adapun sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang mengawali seluruh rangkaian uraian dan pembahasan tesis ini yang berisi gambaran umum permasalahan yang terdiri dari : latar belakang permasalahan dan rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penelitian, analisis bahan hukum serta pertanggung jawaban sistematika ;

Bab II dengan judul Prinsip hukum dalam penyelesaian kewajiban lessee

melalui novasi subyektif pasif, dalam bab ini akan diuraikan untuk menjawab permasalahan pertama yang sub babnya terdiri dari : Hubungan Hukum Para

(25)

Pihak Dalam Perjanjian Leasing, Prinsip-prinsip Hukum Perikatan dalam Perjanjian Leasing, Karakteristik Pembaharuan Utang (Novasi).

Bab III dengan judul Akibat hukum terjadinya novasi subyektif pasif dalam perjanjian leasing, dalam bab ini akan diuraikan untuk menjawab permasalahan kedua, yang sub babnya terdiri dari:Akibat hukum terjadinya Novasi Subyektif Pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee, Akibat Hukum Novasi Terhadap Jaminan Hutang Dalam Leasing, Perlindungan hukum terhadap lessor akibat terjadinya novasi.

Bab IV penutup, yang merupakan kesimpulan dari pembahasan atas permasalahan yang diajukan setelah dilakukan pengkajian berdasarkan telaah sumber bahan hukum yang ditetapkan. Kesimpulan ini merupakan rangkaian akhir dari penelitian ini. Selain kesimpulan, penulis juga merekomendasikan saran-saran yang bermanfaat dan dapat dijadikan saran-sarana informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang terkait dengan permasalahan dalam penulisan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh yang diakibatkan oleh variasi luas tulangan tekan terhadap tarik di tumpuan pada kapasitas lentur

Universitas Negeri Yogyakarta zuhdan@uny.ac.id... Page 2

Sangat banyak masalah – masalah di sekolah terutama pada siswa itu sendiri yang tidak dapat diselesaikan dengan pengajaran oleh guru biasa di sekolah, untuk menyelesaikan masalah

PURWOREJO, FP – Nur Widodo, guru SD warga Kampung Pandekluwih, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo berhasil mendapat hadiah Mobil Avanza dari undian tabungan Bima Bank

Pembuktian dilakukan oleh Direktur atau yang mewakili dengan membawa surat tugas/surat kuasa.. Demikian agar

Sound level meter adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur taraf intensitas sumber bunyi. Sound level meter ini biasa digunakan

Hasil dari negoisasi harga, diperoleh kesepakatan adanya penurunan harga dari harga penawaran yang diajukan, yang akan dipakai sebagai harga kontrak pengadaan barang, yaitu

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan insentif salah satunya adalah Internal influences bahwa pengaruh beban kerja yang berbeda setiap karyawan, dimana yang