• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTISIPASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA) DIY.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PARTISIPASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA) DIY."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA) DIY

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Rohhaji Nugroho NIM 09110244019

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

(6)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahman dan Rahim-Nya, karya ini ku persembahkan untuk:

Kedua orang tuaku, Hadi Subroto dan Endang Setyowati atas kasih sayang

yang tak terhingga sepanjang masa dan atas segala doa yang mengalir tanpa henti untuk anak-anaknya.

Setyadi Irawan, kakak sekaligus teman dalam proses tumbuh dan pendewasaan

selama ini.

Guru-guru dan Dosen yang mendidikku hingga menjadi manusia yang berilmu

dan berakhlak.

Teman-teman dan senior di Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI, yang telah

menjadi rumah kedua selama di Jogjakarta, sekaligus tempat menimba ilmu yang takterhingga nilainya.

Teman-teman dan senior di beritajogja.id, yang telah memberikan banyak

(7)

PARTISIPASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA) DIY Oleh:

Rohhaji Nugroho NIM. 09110244019

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan partisipasi LSM pendidikan di Yogyakarta dalam perumusan kebijakan pendidikan di Dikpora DIY.

Subjek dalam penelitian ini adalah pejabat Dikpora DIY, seperti kepala dinas, kepala bagian perencanaan, atau staf yang bersangkutan, serta para aktifis dan penggerak LSM pendidikan. Sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah proses perumusan kebijakan di Dikpora DIY. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan tiga metode, yaitu metode observasi, wawancara, dan kajian dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penilitian ini dibagi menjadi tiga tahapan: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan untuk keabsahan data peneliti menggunakan triangulasi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Dikpora DIY telah memberi kesempatan bagi LSM pendidikan untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan pendidikan di DIY. Meski begitu, LSM pendidikan belum bisa ikut serta secara penuh dalam perumusan kebijakan pendidikan, karena sebagian besar masih dieksekusi oleh Dikpora selaku eksekutif. Bentuk partisipasi yang dilakukan LSM dalam perumusan kebijakan di Dikpora, adalah bentuk partisipasi non-fisik. Partisipasi non-fisik terwujud dalam bentuk diskusi baik formal maupun informal yang sering dilakukan antara LSM pendidikan dengan Dikpora, terkait pembahasan suatu isu tertentu yang nantinya akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan oleh Dikpora. Terdapat tiga jenis fungsi LSM yang berinteraksi dengan Dikpora: kemitraan, pengawasan, dan advokatif. Adapun LSM yang menjalankan fungsi pengawasan dan advokasi, adalah LSM Sarang Lidi, sedangkan fungsi kemitraan dilakukan oleh LSM Titian Foundation. Selain itu model kerja sama terbagi menjadi dua: collaboration/cooperation dan containment/sabotage/

dissolution.

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis masih diberikan kesempatan, kekuatan, kesabaran dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pendidikan Dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan Di Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga (Dikpora) DIY” ini dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak akan dapat terwujud tanpa dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam mensukseskan penulisan Skripsi ini.

Penulis menyadari Skripsi ini masih terdapat kekurangan serta masih jauh dari sempurna.Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi meningkatkan pengetahuan.Semoga bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 17 Juni 2015

(9)

DAFTAR ISI A. Konsep dan Pengertian Partisipasi ... 8

a. Bentuk Partisipasi... 12

b. Macam-Macam Partisipasi ... 13

B. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ... 14

(10)

c. Perkembangan LSM di Indonesia ... 18

d. Bentuk-Bentuk LSM ... 19

e. Peran LSM di Indonesia ... 25

f. LSM Pendidikan... 26

C. Kebijakan Pendidikan ... 27

a. Teori-Teori Dalam Perumusan Kebijakan ... 28

b. Proses Perumusan Kebijakan ... 32

c. Aktor Kebijakan ... 35

B. Jenis dan Sumber Data... 42

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 42

D. Teknik Pengumpulan Data... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 48

1. Lokasi Dikpora DIY ... 48

2. Visi dan Msisi Dikpora DIY ... 48

3. Tugas dan Fungsi Dikpora DIY ... 48

4. Struktur Organisasi Dikpora DIY ... 50

(11)

6. Visi dan Misi Titian Foundation ... 51

7. Perencanaan Strategis Titian Foundation ... 52

8. Profil LSM Sarang Lidi ... 54

9. Tujuan Sarang Lidi... 55

10. Strategi Sarang Lidi... 55

11. Moto Sarang Lidi ... 56

12. Keyakinan Dasar Sarang Lidi ... 56

13. Program Kerja Sarang Lidi ... 56

B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Mekanisme dan Pola Perumusan Kebijakan di Dikpora ... 57

a. Forum Internal ... 58

b. Forum Eksternal ... 59

2. Partisipasi LSM dalam Perumusan Kebijakan di Dikpora ... 60

a. Keaktifan LSM dalam Memberikan Pendapat ... 60

b. Komunikasi Antara LSM dan Dikpora... 61

3. Pola Hubungan Antara Dikpora dan LSM Pendidikan ... 62

4. Upaya LSM untuk Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah ... 64

C. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Relasi LSM dalam Perumusan Kebijakan di Dikpora ... 65

2. Pola Gerak LSM untuk Mempengaruhi Kebijakan... 67

3. Partisipasi LSM dalan Perumusan Kebiajakan ... 68

a. Bentuk Partisipasi Vertikal dan Horizontal ... 69

b. Bentuk Partisipasi Nonfisik ... 70

4. Model Kerja Sama dan Paradigma Antara LSM-Dikpora ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat-Surat Perijinan Penelitiaan... 76

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 79

Lampiran 3. Catatan Lapangan dan Hasil Wawancara ... 80

Lampiran 4. Dokumentasi Foto... 86

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat, ormas (organisasi masyarakat), lembaga swadaya masyarakat, atau komponen lain yang dapat berpartisipasi dalam perumusan dan pelaksanaan pendidikan juga ikut memegang tanggung jawab. Otonomi daerah yang memberikan kekuasan atau wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya atau potensi yang ada di masing-masing daerah, termasuk potensi dalam bidang pendidikan dan semua elemen yang dapat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

(15)

sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.

LSM mempunyai peran yang cukup strategis. LSM berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan. LSM memiliki karakteristik: independen, tidak mencari keuntungan ekonomi seperti halnya swasta, bersifat sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Menurut Budi Setiyono (2003) jika kembali melihat pada era 90’an, akan nampak bahwa pada masa itu, LSM merupakan garda depan dalam menyampaikan aspirasi rakyat. LSM berperan dalam mendesak pemerintah membuat kebijakan yang pro-rakyat. LSM juga membantu masyarakat agar mampu mandiri untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat, dan sebagai moral force untuk mendesak kebijakan pemerintah agar berorientasi sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Sistem politik yang demokratis, menuntut LSM dan pemerintah dapat bersama-sama memberikan sumbangan penting dalam hal peningkatan hak-hak rakyat. Dengan keadaan politik yang lebih demokratis seperti saat ini, banyak LSM mulai meninggalkan strategi konfrontatif dengan pemerintah, kemudian berganti dengan cara menjalin kerjasama dengan pemerintah ketika peluang politik tersedia. LSM saat ini tidak lagi memandang pemerintah sekeras dulu, meskipun demikian masih terdapat kesadaran luas dikalangan LSM bahwa pemerintah tetap harus dikritisi.

(16)

untuk munculnya civil society. Muhammad AS Hikam (1999: 6) memandang bahwa LSM dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil

society yang dilakukan melalui berbagai aktivitas pendampingan, pembelaan

dan penyadaran. Berbicara mengenai LSM sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari

civil society yang kuat dan mandiri. Sedangkan pemberdayaan civil society

merupakan sine qua non bagi proses demokratisasi di Indonesia.

Konsep mengenai civil society sendiri dapat diartikan sebagai suatu tatanan sosial atau masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) di mana di dalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan yang sifatnya independen terhadap negara. Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber dari masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan fasilitator. Akses masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam civil

society, artinya individu dapat melakukan partisipasi politik secara bebas.

Warga Negara bebas mengembangkan dirinya secara maksimal dan leluasa dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan bidang lainnya.

Einstadt (melalui Afan Gaffar, 2005: 180) menyatakan bahwa civil

society memiliki empat komponen sebagai syarat; pertama otonomi, kedua

(17)

masyarakat. Berdasarkan komponen-komponen tersebut, civil society

mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Di antara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi adalah LSM dan media massa. LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak, serta kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi yang dapat dijadikan sumber daya politik yang potensial dalam menyiapkan civil society.

Dalam hal ini civil society bermakna sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat. Kekuasaan negara dibatasi di dalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat dalam rangka perumusan kebijaksanaan publik. Dalam konteks ini LSM cukup potensial ikut menciptakan civil society karena dengan kemampuannya yang mampu mengisi ruang publik.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah yang menyandang gelar sebagai kota pelajar. Dengan predikat kota pelajar, Provinsi DIY dianggap sebagai daerah yang berhasil merencanakan dan menyelenggarakan pendidikan. Namun kenyataannya masih banyak persoalan pendidikan yang dihadapi oleh pemerintah DIY. Seperti halnya pendidikan di Yogyakarta yang belum merata, masih ada banyak anak yang belum mengenyam pendidikan formal.

(18)

Dikpora DIY, itu pun hanya dilibatkan dalam penyusunan renstra (rencana strategis), keterlibatan LSM lebih banyak pada tahap implementasi kebijakan pendidikan dari pada dalam perumusan kebijakan pendidikan. LSM yang ada lebih banyak dilibatkan dalam kerja sama kegiatan, belum pada taraf perencanaan pendidikan. Padahal seharusnya baik LSM dan Dikpora DIY, dapat menjalin kerja sama yang baik, guna mewujudkan pendidikan yang lebih baik di DIY. Kerja sama mutualisme harus dibangun antara LSM dan dinas provinsi.

Dalam kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi yang ada, dalam rangka menciptakan civil society yang kuat dan mandiri. Menurut Adi Suryadi (2005) LSM dapat memilih sikap pertama sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Peranan ini tercermin pada upaya LSM mengontrol, mencegah, dan membendung dominasi dan manipulasi pemerintah terhadap masyarakat. Peranan ini umumnya dilakukan dengan advokasi kebijakan lewat lobi, pernyataan politik, petisi, dan aksi demonstrasi. Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi. Peranan ini umumnya dilakukan dengan cara pendidikan dan latihan, pengorganisasian dan mobilisasi masyarakat. Ketiga, sebagai lembaga perantara (intermediary

(19)

memediasi hubungan antara masyarakat dengan pemerintah atau negara, antara masyarakat dengan LSM dan antar LSM sendiri dengan masyarakat. Peranan ini umumnya diwujudkan melalui cara lobi, koalisi, surat menyurat, pendampingan, dan kerjasama antar aktor.

Penelitian ini menjadi penting kerena untuk melihat bagaimana pola perumusan kebijakan pendidikan di DIY selama ini, dan juga melihat siapa saja aktor yang terlibat. Selain itu penelitian ini dapat menambah literasi studi tentang kerjasama antara pemerintah dan LSM dalam bidang pendidikan. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan data-data yang terdapat pada latar belakang di atas, masih banyaknya permasalahan pendidikan yang harus di atasi di DIY.

1. Pemerintah daerah belum sepenuhnya memberdayakan elemen-elemen masyarakat yang ada di DIY.

2. Dinas Pendidikan DIY belum maksimal melibatkan institusi lain, khususnya LSM dalam perumusan kebijakan pendidikan.

3. Belum adanya kerja sama yang baik antara LSM pendidikan dan pemerintah daerah.

C. Batasan Masalah

(20)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka rumusan masalah penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana partisipasi LSM pendidikan dalam perumusan kebijakan pendidikan di Dikpora DIY?

E. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan partisipasi LSM pendidikan di Yogyakarta dalam perumusan kebijakan pendidikan di Dikpora DIY.

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk membuka wacana penelitian lebih lanjut terutama kajian tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pendidikan secara umum dan khususnya di Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

1. Untuk Dinas Pendidikan

Dapat sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pendidikan, dan bahan refleksi dalam membuka kerjasama dengan LSM. 2. Untuk Prodi Kebijakan Pendidikan

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Partisipasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi memiliki arti sebagai perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Definisi dalam KBBI ini mirip dengan definisi partisipasi menurut Made Pidarta (1990) yang disadur ulang oleh Siti Irene (2011: 78), yaitu merupakan pelibatan seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan.

Berangkat dari definisi di atas, terlihat bahwa partisipasi merupakan keterlibatan secara individu maupun kolektif dalam suatu kegiatan. Namun dilihat dari dua definisi singkat di atas, definisi partisipasi masih sangat sempit. Dampaknya, memberikan pembatasan terhadap bentuk partisipasi. Randy R.W dan Riant Nugroho (2007) menjelaskan lebih luas tentang definisi partisipasi. Menurut Randy RW dan Riant Nugroho (2008) selama ini keterlibatan atau partisipasi masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit. Masyarakat hanya cukup dipandang sebagai tenaga kasar, atau dengan kata lain hanya sebagai pelaksana dan hanya dilibatkan dalam bidang-bidang kasar saja. (2007: 113).

(22)

bertujuan agar konsep tentang partisipasi tidak mengarah pada bentuk partisipasi pasif. Sehigga dibutuhkan definisi yang mengarahkan pada bentuk partisipasi yang aktif dan kreatif. Untuk menjawab kebutuhan tentang definisi partisipasi yang lebih komprehensif, maka dapat berpijak dari definisi yang diajukan oleh Paul:

Participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of development projects rather than merely receive share of project benefits.

Vidhyandika Moeljarto (1996) melalui Randy R. W. & Riant Nugroho (2007: 114) menjelaskan bahwa konsep partisipasi tersebut melihat keterlibatan masyarakat mulai dari pembuatan keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi. Partisipasi seharusnya mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapainya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Hal serupa didefinisikan Cohen dan Uphoff (1979) yang menjelaskan bahwa partisipasi merupakan keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan, dan mengevaluasi program.

(23)

(civil society) tidak lain adalah suatu masyarakat di mana para anggotanya menyadari akan tanggung jawabnya baik perorangan maupun sosial serta masyarakatnya yang mengetahui juga akan hak-hak sosial atau kebersamaan dari anggota masyarakat.

Menengahi era desentralisasi ini, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan ataupun perencanaan tingkat daerah. Adanya partisipasi masyarakat dalam setiap lini mulai dari perencanaan hingga evaluasi, diharapkan dapat menyerap segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat dari tingkat paling bawah serta dapat menjamin setiap hak dan kewajiban masyarakat. Desentralisasi seharusnya tidak hanya mengajarkan masyarakat pada hak-haknya, namun juga mengajarkan masyarakat dalam memahami tanggung jawabnya.

Salah satu inti dari partisipasi masyarakat di daerah ialah mengembangkan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia pada pada tingkat daerah menjadi kunci keberhasilan pada tingkat nasional. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Tilaar (1998: 402) bahwa seluruh sistem, terlebih lagi dalam bidang pendidikan dari tingkat pendidikan kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi harus menjadi tanggung jawab daerah. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan nasional timbul dari bawah.

(24)

keagamaan, kehidupan kebudayaan, dan lembaga-lembaga masyarakat yang hidup di daerah tersebut.

Ackerman dan Alscot melalui H.A.R Tilaar (1998: 402) menjelaskan bahwa masyarakat dewasa ini sudah mulai sadar akan apa yang ingin dicapainya. Mereka tidak lagi hanya pasif dalam menerima keputusan dari lembaga-lembaga pemerintah. Mereka sudah aktif dalam menuntut sesuatu yang jelas dari lembaga-lembaga pemerintah. Orang tua, masyarakat, pemerintah daerah, hingga pemerintah nasional merupakan pemangku kepentingan dari pendidikan (Tilaar, 2003:284). Melihat apa yang terjadi di rezim Orba, pendidikan telah terhempas dari masyarakat lalu hanya jadi milik penguasa saja. Masyarakat hanya bisa menerima apa saja yang telah direkayasa oleh pemerintah dan birokrasinya dalam pendidikan.

Masih menurut Tilaar, bahwa saat ini dengan semakin dewasanya masyarakat, sudah saatnya pendidikan dikembalikan kepada masyarakat. Kekuasaan pemerintah yang tidak terbatas pada pendidikan seperti halnya pada masa Orba di mana masyarakat hanya bisa pasrah dalam menerima keputusan, sudah saatnya untuk dihilangkan. Masyarakat adalah salah satu

stakeholder terpenting dalam pendidikan. Pada dasarnya partisipasi menjadi

(25)

1. Bentuk Partisipasi

Effendi (2002) memaparkan bentuk partisipasi dibagi menjadi dua, yaitu vertikal dan horisontal. Bentuk partisipasi vertikal adalah bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat di mana masyarakat mengambil atau ikut serta dalam program pihak lain (pemerintah). Biasanya masyarakat ditempatkan sebagai pihak kedua (pengikut atau klien). Basrowi melalui Siti Irine (2011) juga membagi bentuk partisipasi menjadi dua bentuk, yaitu partisipasi fisik dan non-fisik. Partisipasi fisik,yaitu masyarakat terlibat dalam bentuk penyelenggaraan atau dalam bentuk program. Misalnya, keterlibatan masyarakat dalam mendirikan bangunan sekolah, pengadaan beasiswa, dan pendirian perpustakaan. Bentuk kedua menurut Basrowi adalah partisipasi non-fisik. Masyarakat terlibat dalam menentukan arah suatu kebijakan dan tidak hanya terlibat dalam suatu program pihak lain.

2. Macam-macam Partisipasi

Menurut apa yang dijelaskan oleh Cohen dan Uphoff (1979), macam partisipasi dibagi menjadi empat. Pertama, adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Keempat, partisipasi dalam evaluasi. a. Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan.

(26)

memberikan pilihan alternatif berdasarkan sebuah pertimbangan yang rasional dan menyeluruh.

b. Partisipasi dalam Pelaksanaan

Menurut Ndraha, Cohen, dan Uphoff (1979), lingkup partisipasi dalam pelaksanaan adalah menggerakkan sumber daya, dana, kegiatan administratif, koordinasi, dan penjabaran program.

c. Partisipasi dalam Pengambilan Manfaat

Partisipasi ini merupakan partisipasi yang berkaitan dari kualitas dan kuantitas hasil pelaksanaan, serta capaian program.

d. Partisipasi dalam Evaluasi

Partisipasi yang berkaitan dengan keseluruhan program. Partisipasi ini merupakan keikutsertaan dalam melihat bagaimana sebuah program dilaksanakan secara menyeluruh dari awal hingga akhir lalu melihat capaian program.

B. Lembaga Swadaya Masayarakat ( LSM)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam penyebutannya merujuk pada Organisasi non Pemerintah (Ornop), yang merupakan terjemahan dari

Non-Government Organitation (NGO). Beberapa aktivis Ornop pada awalnya

tidak setuju dengan adanya penyebutan LSM karena dianggap seperti halnya penjinakkan terhadap makna organisasi non pemerintah tersebut..

(27)

berdiri secara independen dan tidak tergabung dalam struktur pemerintahan (Jatna, 2008: 445). Secara umum, pengertian LSM dapat mencakup semua organisasi bentukkan masyarakat yang berada di luar struktur atau garis instruksi dari birokrasi pemerintah. LSM tidak memiliki ikatan apapun terhadap birokrasi pemerintah.

Di Indonesia, pengertian tentang LSM sudah diatur Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam Instruksi No. 8/1990, tentang pembinaan LSM. Instruksi tersebut menjelaskan bahwa LSM merupakan organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia (RI) yang secara sukarela atau dengan kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pengabdian secara swadaya. Berdasarkan Undang-undang No. 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 16 tahun 2001, tantang yayasan, secara umum organisasi non pemerintah di Indonesia berbentuk yayasan.

1. Sejarah LSM di Indonesia

(28)

kegiatan pada kegiatan amal bagi masyarakat yang menyandang masalah sosial seperti anak yatim piatu, penderita cacat, dan orang lanjut usia. LSM generasi ini disebut dengan istilah “relief and walfare”.

Generasi kedua, kegiatan LSM di generasi ini lebih memfokuskan perhatian pada upaya untuk membangunkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Peran LSM generasi kedua, bukan bagi pelaku langsung, tetapi mereka hanya sebagai penggerak. Orientasi kegiatan adalah proyek-proyek pengembangan masyarakat. LSM generasi kedua juga sering disebut dengan small scale, self reliance local development.

Generasi ketiga dapat dikatakan mempunyai pandangan yang lebih jauh dari genarsi-generasi sebelumnya. LSM generasi ini berpandangan bahwa masalah-masalah yang terjadi di tingkat lokal. Masalahnya mencakup regional, nasional, dan masalah mikro dalam masyarakat. Semua persoalan itu tidak dapat dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Oleh sebab itu, penanggulangan mendasar hanya bisa dimungkinkan apabila ada perubahan struktural. LSM generasi ketiga sering disebut sebagai sustainable

system development.

(29)

Masih menurut Korten (Bastian, 2007: 34), cikal bakal munculnya LSM di Indonesia dapat dilacak sejak pra-kemerdekaan. Cikal bakal ini dapat dilihat dengan munculnya lembaga-lembaga keagamaan dan bersifat sosial atau amal. Selanjutnya pada awal tahun 1950-an mulai muncul LSM yang kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah dengan pertimbangan pada kemanusiaan.

Kronik LSM selanjutnya ditapak pada tahun 1960. Karakteristik LSM yang lahir di era ini berfokus pada pembangunan pedesaan. Gerakan LSM pada tahun-tahun ini tertuju pada proyek-proyek skala mikro, terutama yang menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan dan sudah mulai merintis jaringan kerja nasional. Satu dekade kemudian, pada 1970-an, LSM yang muncul dipengaruhi oleh represifnya rezim Orde Baru (Orba). Banyak LSM yang hadir untuk merespon atas kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah.

2. Perkembangan LSM di Indonesia

(30)

dan kegiatannya pada pendidikan dan mobilisasi masyarakat terhadap isu yang berkaitan dengan ekologi, Hak Asasi Manusia (HAM), status perempuan, hak-hak warga sipil, hak-hak kepemilikan, serta anak-anak terlantar dan gelandangan.

Eldridge (Fakih, 1996:120) juga membagi LSM menurut pola gerak dan pendekatanya. Ada tiga pola pendekatan yang dibagi Eldrige. Pola yang pertama kerjasama dengan pemerintah tingkat tinggi. Kerjasama tingkat tinggi ini merupakan upaya untuk pembangunan akar rumput (grassroots

development). LSM yang memiliki pola gerak seperti ini pada prinsipnya

sangat partisipatif. Kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan daripada bersidat advokasi. Kegiatan LSM dengan pola seperti ini tidak bersinggungan dengan proses politik, namun mereka mempunyai perhatian yang sangat besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. LSM jenis ini umumnya bersifat lokal.

Kedua, pola ini disebut juga sebagai politik tingkat tinggi. Pola ini juga merupakan bentuk mobilisasi akar rumput. LSM yang menerapkan pola pendekatan seperti ini memiliki kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat baik dalam perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu kebijakan yang menjadi wilayah atau fokus geraknya. LSM dalam pola ini secara umum lebih bersifat advokatif, terutama dalam memobilisasi masyarakat guna mendapat tempat dalam kehidupan politik.

Ketiga, adalah pola penguatan akar rumput (empowerment at

(31)

peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput akan hak-haknya. Pada umumnya mereka tidak mempunyai niatan yang besar untuk mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah. Mereka mempunyai keyakinan bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah.

3. Bentuk-bentuk LSM

Keberadaan dan pola hubungan antara organisasi pemerintah dan non pemerintah menimbulkan banyak perdebatan. Banyak pihak yang memperdebatkan akan sifat alami dari NGO atau LSM. Seminar State and

Society di Moskow pada 6-8 Desember 1994 yang diselenggarakan Russian

Public Policy Center dengan bantuan Dewan Eropa, telah merumuskan bentuk-bentuk LSM (Indra, 2007:23). Bentuk-bentuk LSM yang dirumuskan oleh Dewan Eropa dalam seminar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hubungan Konsultatif

Merupakan sebuah lembaga yang didirikan untuk tujuan konsultatif pada struktur PBB.

b. Hubungan Konsultasi

Merupakan sebuah badan konsultan non pemerintah yang dilibatkan dalam sekretariat PBB.

c. Program Informasi Publik

Lembaga non pemerintah yang menyebarkan pesan kepada publik. d. Partisipasi Konferensi

(32)

e. Perusahaan Transnasional

Perusahaan transnasional termasuk dalam bentuk LSM karena kamampuannya dalam menyediakan barang dan jasa.

f. Pers dan Media

Sebagai bagian dari program informasi publik, pers dan media adalah LSM yang efektif.

g. Pertemuan Konsultatif tentang Peran LSM

Beberapa LSM yang mempunyai hubungan dengan lembaga khusus, dapat melakukan konsultasi reguler atau membentuk komite.

h. Gerakan Masyarakat

LSM yang terbentuk dari kerjasama anterpemerintah telah menghasilkan suatu fenomena baru bagi LSM di Indonesia. LSM yang didirikan atas kerjasama pemerintah telah menjadi “elit” pejuang demokrasi.

i. LSM Kemanusiaan

Permasalahan seperti bencana alam, peperangan, dan tidak majunya pembangunan telah mendorong bentuk LSM untuk hadir untuk mengatasi permasalahan dengan bentuk bantuan tunai dan perbaikan riil.

j. LSM Tingkat Bawah

(33)

k. Organisasi Semiotonom

Organisasi semiotonom adalah LSM yang mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah.

l. Staf Asosiasi Lembaga Intergovernmental

Merupakan bentuk LSM yang mempunyai bentuk khusus dan menjadi subjek resolusi.

m. Asosiasi Sekarelawan: Sektor Ketiga

Merupakan LSM yang bergerak di tingkat urban, regional, dan nasional. Perkembangan aktivitas asosiasi muncul dalam bentuk kesejahteraan sosial, filantropi, dan reaksional. Sektor ketiga merupakan bentuk LSM yang asosiasi sukarelawan.

n. Koperasi

Koperasi termasuk dalam bentuk LSM sebagai bentuk bantuan bersama masyarakat. Namun karena kepentingan komersial juga harus dipenuhi agar pelayanan kebutuhan dasar dapat dilakukan, sehingga koperasi tidak diakui sebagai LSM.

o. Yayasan Filantropi

Yayasan Filantropi sering tidak diakui sebagai LSM, meskipun beberapa aktivitasnya sering bergerak bersama dengan kegiatan pembangunan dan peringanan beban masyarakat.

p. Sosiasi Perdangangan dan Kartel

(34)

q. Lobi

Fenomena ini telah menjadi proporsi utama di Uni Eropa, di mana organisasi tersebut terlah menjadi ppenggerak utama untuuk memberikan “konsultasi” bagi masyarakat luas; tidak ada lobi, berarti tidak ada

konsultasi. Lobi merupakan bentuk LSM yang menjadi penggerak utama “konsultasi” bagi masyarakat luas.

r. Partai Poltik

Partai politik adalah sebuah LSM, meskipun para perwakilannya ada yang duduk di dalam pemerintahan, baik sebagai pihak berkuasa, maupun sebagai oposisi, meskipun tidak ditunjukan selayaknya sebuah LSM. s. Klub Elit

Perkumpulan ini didefinisikan sebagai LSM, meskipun perwakilannya ada juga yang melabelkannya sebagai non-LSM.

t. Masyarakat Khusus

Masyarakat khusus yang bergabung dalam suatu wadah, dapat dikatakan sebagai LSM.

u. Kelompok Keagamaan dan Kepercayaan

Agama dan kepercayaan dapat bersatu atau berkelompok menjadi sebuah LSM.

v. Lingkar Kejahatan Internasional

(35)

w. Kelompok Teroris dan Pergerakan Kebebasan

Kelompok teroris dapat juga dimasukkan sebagai LSM secara internasional dengan keanggotaan, pendanaan, dan dukungan internasional.

x. LSM Internasional

LSM jenis ini adalah LSM yang dibentuk oleh gabungan dari beberapa negara yang menyediakan status legal pada pendirian LSM.

y. Jaringan Organisasi Informal

Banyak asosiasi individu dan kelompok telah dengan sengaja ditempatkan secara internasional, sehingga bentuk organisasi menjadi terstruktur. z. Organisasi Elektronik: Internet

Organisasi elektronik internet sebagai LSM sangat terlibat dalam pengordinasian tanggapan atas bencana secara internasional.

aa. Pergerakan Sosial Antarnegara

Pergerakkan transnasional saat ini bahkan sudah melebih organisasi konvensional. Pergerakkan ini meliputi pergerakkan perempuan, pergerakkan damai, pergerakkan lingkungan, pergerakkan hak-hak warga sipil, dan pergerakkan pemuda.

bb. Masyarakat Internasional

(36)

cc. Organisasi Hibrid

Organisasi hibrid merupakan kombinasi dari beberapa karakteristik yang bertentangan dalam bentuk dimensi pemerintah dan badan nonpemerintah. dd. Organisasi berperingkat

Meski berbentuk LSM, organisasi ini cenderung menunjukkan dirinya sebagai uni, federasi, komite, atau istilah khusus lainnya.

Beberapa hal di atas merupakan definisi bentuk LSM menurut Dewan Eropa. Namun bentuk-bentuk LSM menurut Dewan Eropa tersebut masih menjadi perdebatan, karena memang tidak semua ahli dan pengamat LSM setuju dengan pendapat Dewan Eropa.

4. Peran LSM di Indonesia

Menurut Loekman Soetrisno (1995) ada dua pendapat yang ada pada kalangan penjabat di Indonesia mengenai LSM dan peranannya dalam pembangunan di Indonesia. Pertama melihat LSM di Indonesia adalah sebuah organisasi yang senang membuat ribut-ribut dengan cara mendukung kegiatan yang sifatnya menuntut pemerintah agar lebih demokratis, mengakui hak-hak azasi manusia, dan lebih memperhatikan kelestarian lingkungan dalam membangun. Kedua merupakan pandangan yang melihat LSM sebagai sebuah organisasi masyarakat yang dapat “digunakan” pemerintah untuk mencapai

tujuan dari pembangunan yang direncanakan.

(37)

banyak mendapatkan kritik. Terlepas dari berbagai lontaran kritik yang ditujukan, LSM merupakan salah satu bagian masyarakat sipil yang masih setia untuk bersikap kritis dan bersuara lantang terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah (Sirajuddin dan Solehoddin, 2010 : 62). Kehadiran LSM atau NGO dalam sebuah masyarakat tidak dapat dipisahkan. Hal itu terjadi karena bagaimanapun juga, kapasitas pemerintah terbatas. Tidak semua kebutuhan warga masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah, apalagi di negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia (Afan, 2002 : 202).

5. LSM Pendidikan

LSM Pendidikan merupakan organisasi yang didirikan oleh perseorangan atau kelompok yang berdiri secara independen, tidak tergabung dalam struktur pemerintahan yang berfokus pada pendidikan. (Jatna Supriatna, 2008: 445).

C. Kebijakan Pendidikan

(38)

Seperti halnya yang diungkap oleh H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140), kebijakan publik meliputi aneka macam, salah satunya adalah kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya pendidikan dalam masyarakat.

Kemudian, kebijakan pendidikan diwujudkan dalam Undang-Undang Pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya yang menyangkut pendidikan (Solichin, 1997:64).

1. Teori-teori Dalam Perumusan Kebijakan

Sebuah perumusan kebijakan merupakan pondasi awal kebijakan publik. Secara teoritis, menurut H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho (2009: 190) dalam proses perumusan kebijakan dikenal setidaknya ada 13 jenis teori perumusan kebijakan:

a. Teori Kelembagaan

Teori kelembagaan merupakan teori yang paling sempit dan sederhana. Teori ini menjelaskan bahwa tugas membuat kebijakan merupakan kewajiban pemerintah.

b. Teori Proses

(39)

1) Indentifikasi masalah

2) Menata agenda formulasi kebijakan 3) Legitimasi kebijakan

4) Implementasi kebijakan 5) Evaluasi kebijakan c. Teori Kelompok

Inti dari teori ini, adalah menciptakan sebuah keseimbangan. Dalam teori ini, individu dalam kelompok kepentingan melakukan interaksi baik secara formal atau informal. Interaksi yang dilakukan bisa secara langsung atau melalui media massa untuk menyampaikan tuntutan dan aspirasinya kepada pemerintah, untuk membentuk sebuah kebijakan publik yang diperlukan.

d. Teori Elit

Teori ini membagi masyarakat dalam dua kelompok, yaitu kelompok pemegang kekuasaan (elit) dan masyarakat tanpa kekuasaan (massa). Masyarakat dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak dapat masuk dalam proses formulasi kebijakan sehingga kebijakan dibuat hanya berdasarkan kelompok elit yang mempunyai kekuasaan untuk meraih keuntungan kelompok.

e. Teori Rasional

(40)

harus sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Artian rasionallitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. f. Teori Inkremental

Inti dari teori ini adalah pemerintah harus berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu guna mempertahankan kinerja yang telah dicapai.

g. Teori Permainan

Teori permainan merupakan teori yang abstrak dan dedutif dalam formulasi kebijakan. Teori ini mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional, namun dalam kondisi kompetisi yang tingkat keberhasilan kebijakannya tidak lagi hanya ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, melainkan juga oleh aktor-aktor lain.

h. Teori Strategis

Teori ini mengajarkan pendisiplinan dalam membuat keputusan dan tindakan penting. Perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksplorasi alternatif, dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang.

i. Teori Pilihan Publik

(41)

j. Teori Sistem

Ada tiga komponen dalam teori ini, yaotu input, proses, dan output. Proses formulasi kebijakan berada dalam sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan, yang terdiri dari dua hal: tuntutan dan dukungan

k. Teori Pengamanan Terpadu (mixed-scanning)

Teori ini merupakan gabungan antara teori rasional dan inkremental. Pada dasarnya, teori ini adalah teori yang sangat menyerhanakan masalah. Pendekatan teori ini ibarat menggunakan dua kamera, wide angle untuk melihat secara keseluruhan dan kamera zoom untuk melihat detail masalah.

l. Teori Demokrasi

Pada dasarnya teori ini menghendaki agar setiap pemilik hak demokrasi diikut sertakan sebanyak-banyaknya dalam formulasi kebijakan. Teori ini kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat, dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun jika dapat dilaksanakan, teori ini sangat efektif dalam implementasinya, karena semua pihak yang terlibat memiliki kewajiban untuk ikut serta untuk mencapai keberhasilan kebijakan, karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan. Teori ini biasanya dikaitkan dengan implementasi good

(42)

m. Teori Deliberatif

Teori deliberatif atau sering disebut dengan musyawarah di mana peran pemerintah lebih pada legalisator dari kehendak publik. Setiap daerah memiliki pilihan masing-masing untuk merumuskan kebijakan pendidikan karena memiliki masalah yang berbeda. Hal ini sah-sah saja mengingat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa sektor pendidikan bukan merupakan sektor yang dikelola oleh pusat (Tilaar & Riant, 2009: 38). Kebijakan otonomi daerah berdampak pada perumusan kebijakan pendidikan di tiap daerah yang bebas menentukan mekanisme yang sesuai dengan kondisi masing-masing.

2. Proses Perumusan Kebijakan

(43)

Gambar 1.1. Proses kebijakan menurut Brigman dan Davis

Gambar 1.2 Proses kebijakan menurut Patton & Sawicki Sumber: Tilaar & Riant (188 : 2009)

(44)

Gambar 1.3 Proses kebijakan menurut Dye Sumber: Tilaar & Riant (189 : 2009)

Proses kebijakan

Gambar 1.4 Proses kebijakan yang disarankan menurut Tilaar & Riant Sumber: Tilaar & Riant (189 : 2009)

Gambar di atas memperlihatkan bahwa dalam perumusan sebuah kebijakan terdapat proses saling mengembangkan. Dalam hal ini setiap sub-sistem dalam perumusan kebijakan saling mempengaruhi. Misalkan saja,

value yang dikreasikan pada tahap formulasi, mempunyai pengaruh besar pada

tahap implementasi, begitu juga dengan yang lainnya.

Sebagai kebijakan negara, sebuah perumusan kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada pejabat publik. Namun dalam beberapa aspek partisipasi

(45)

mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan (Winarno, 2004: 91).

3. Aktor Kebijakan

Aktor kebijakan adalah siapa-siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Secara garis besar aktor kebijakan dapat digolongkan dalam dua kategori: pemian resmi atau formal dan aktor tidak resmi atau non-formal (Winarno, 2004: 91). Aktor kebijakan resmi atau formal, dalam hal ini adalah Presiden, Menteri, pejabat publik, badan-badan administrasi pemerintah, lembaga yudikatif, dan lembaga legislatif. Sedangkan yang termasuk dalam kategori aktor kebijakan non-formal meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.

Kelompok-kelompok ini memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan. Hanya saja peran kelompok kepentingan ini tergantung pada sistem pemerintahan suatu negara, apakah negara tersebut demokrasi atau otoriter. Kelompok kepentingan ini mencangkup pegiat dan aktivis organisasi non-pemerintah, media massa, dan lembaga analis atau pemikir kebijakan yang indenden.

(46)

a. Stakeholder kunci adalah mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder mencangkup unsur eksekutif sesuai tingkatnya, legislatif, dan lembaga-lembaga pelaksana program. b. Stakeholder primer, adalah mereka yang memiliki kaitan kepentingan

secara langsung dengan suatu kebijakan, program, atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer mancangkup: masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan, tokok masyarakat, lembaga publik yang bertanggung jawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan. c. Stakeholder sekunder adalah mereka yang tidak memiliki kaitan

kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, atau proyek, namun memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah.

Stakeholder sekunder ini meliputi kelompok-kelompok kritis, organisasi

profesional, LSM, dan organisasi sosial. D. Penelitian yang Relevan

Penulis menemukan satu penelitian yang relevan di mana penelitian tersebut memiliki tema yang sama, yaitu partisipasi LSM. Penelitian tersebut berjudul “Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Mengontrol

Praktek Politik Uang Pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah”, yang di

(47)

Hasil penelitian yang disusun oleh Sirajuddin dan Solehoddin ini menyimpulkan:

Ada 4 (empat) bentuk partisipasi lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Malang dalam mengontrol politik uang pada pemilihan langsung kepala daerah, yakni: Pertama, melakukan kajian-kajian dan diskusi sekaligus koalisi untuk menyatukan langkah berbagai pihak untuk mengeliminir praktek politik uang sehingga tercipta good governance. Kedua memberikan pendidikan politik bagi rakyat dalam rangka membangun kedewasaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya Pemilu yang jurdil dan good

governance. Ketiga melakukan pengawasan secara langsung pada pelaksanaan

Pilkadal; dan keempat, melakukan tekanan kepada pemerintah daerah dan DPRD agar konsisten dan sungguh-sungguh dalam mewujudkan good

governance.

Jurnal Hasil Penelitian yang Relevan

Jurnal hasil penelitian ini disusun oleh Muhammad Iqbal, mahasiswa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Bogor dalam jurnal yang berjudul “Konstelasi Institusi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam PIDRA”, Muhammad Iqbal melakukan penelitian pada bidang kajian ekonomi dan pertanian, yang menjadi fokus utama adalah pola kerjasama antara lembaga pemerintah dan LSM dalam menjalankan program PIDRA (Participatory Integrated Development in Rainfed Area).

(48)

kepentingan tersebut adalah LSM yang memiliki peran strategis sebagai mitra pemerintah.

Konstelasi institusi pemerintah dan LSM yang paling menonjol dalam Program PIDRA adalah pada tingkat desa, di mana masing-masing lembaga ini diwakili oleh petugas teknis lapangan institusi pemerintah dan fasilitator LSM yang secara sinergis melakukan kegiatan bersama masyarakat. Hasil dari implementasi Program PIDRA di Kabupaten Ponorogo menunjukkan bahwa konstelasi institusi pemerintah dengan LSM Algheins membawa dampak yang cukup positif dalam pemberdayaan masyarakat setempat, baik dari sisi pengembangan kemampuan (capacity building) maupun dari sisi pengembangan kelembagaan (institutio- nal development).

Kendati selama ini ada segelintir aparat pemerintah bersikap ragu-ragu atau bahkan berpandangan negatif terhadap LSM, keberhasilan (success story) Program PIDRA patut dijadikan contoh acuan untuk mengubah sikap pandang tersebut. Pengalaman dari implementasi Program PIDRA merupakan bukti nyata keharmonisan konstelasi institusi pemerintah dan LSM. Kuncinya, konstelasi tersebut harus dibangun melalui kerjasama ketatalaksanaan yang bersifat partisipatif (participatory collaborative management).

(49)

E. Kerangka Berpikir

Keterangan gambar:

Hubungan saling mempengaruhi

Hubungan yang bersifat saling kerjasama

F. Pertanyaan Penelitian

Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, maka terbentuklah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana mekanisme dan pola penyusunan kebijakan yang ada di Dikpora DIY?

2. Apakah LSM berpartisipasi dalam setiap perumusan kebijakan?

3. Bagaimana pola hubungan antara Dikpora DIY dengan LSM pendidikan yang ada di Yogyakarta?

4. Apa upaya yang dilakukan LSM dalam mempengaruhi kebijakan dari

Civil Society

LSM, Masyarakat, Swasta. DIKPORA DIY

(perumusan kebijakan)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM

(50)
(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dimana metode ini menekankan pada proses penelusuran data atau informasi hingga dirasa telah mencukupi untuk digunakan sebagai dasar membuat suatu interpretasi ilmiah. Metode deskriptif kualitatif merupakan suatu metode penelitian guna meneliti suatu kelompok manusia, obyek, kondisi, suatu sistem pemikiran, atau sebuah peristiwa. Dalam kasus pendidikan, penelitiaan deskriptif kualitatif merupakan penelitan yang tepat untuk digunakan, karena masalah pendidikan akan selalu berbeda satu sama lain (H.A.R Tilaar & Riant Nugroho, 2009:306). Tujuan penelitian deskriptif kualitatif menurut Moh Nazir sendiri adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai sebuah fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antara fenomena yang diselidiki (1993;63).

(52)

peristiwa untuk kemudian dianalisis melalui teori yang ada. Dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan pemaparan mengenai peran serta LSM dalam penyusunan kebijakan pendidikan di Dikpora DIY, dalam perspektif partisipasi masyarakat.

B. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, studi yang dilakukan sebagian besar menggunakan data primer dari hasil wawancara yang melibatkan informan. Data yang digunakan adalah data kualitatif. Selain itu, data sekunder yang berupa dokumen resmi, laporan, observasi dan studi media akan digunakan sebagai pendukung data primer.

Informan atau narasumber yang diwawancari dalam penelitian ini adalah kepala dinas pendidikan, kepala bagian perencaan, dan pelaksana tugas Dikpora DIY, serta pimpinan dan aktivis LSM dalam bidang pendidikan. C. Subjek dan Objek Penelitian

(53)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara mendalam (indepth interview), observasi non partisipan (non

participant observation), dan kajian dokumen (document study). Data primer

dalam penelitan ini diambil dari wawancara dengan para narasumber, yang nantinya akan direkam dengan alat perekam atau perangkat ponsel. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen resmi dari dinas pendidikan dan LSM pendidikan yang ada di Yogyakarta, laporan, dan studi media massa atau data dari internet juga dapat digunakan untuk melengkapi penelitian ini.

E. Instrumen Penelitian

(54)

1. Pedoman Wawancara

Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara

No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari Sumber data 1. Proses perumusan

Pedoman wawancara berisi tentang pertanyaan-pertanyaan secara garis besar yang kemudian dalam pelaksanaan wawancara dapat dikembangkan secara mendalam untuk mendapatkan suatu gambaran subjek dan pemaparan gejala yang tampak sebagai suatu fenomena. Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa buku catatan, kamera, dan alat perekam suara (recorder). Adapun kisi-kisi pedoman wawancara dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

2. Pedoman Observasi

(55)

gambar. Adapun kisi-kisi pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi

No Aspek yang diamati Indikator yang dicari

1. Proses Perumusan

Data dokumen yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah data-data dalam bentuk catatan, data tertulis, laporan, arsip, foto-foto, rekaman yang berhubungan dengan segala hal yang mengungkap tentang perumusan kebijakan yang ada di Dikpora. Adapun kisi-kisi pedoman kajian dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Kajian Dokumen

No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari Sumber data 1. Profil Dikpora a. Sejarah Dikpora

b. Letak geografis Dikpora

2. LSM Pendidikan a. Profil LSM Pendidikan b. Struktur organisasi LSM P. c. Program kerja LSM P.

(56)

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang sudah diperoleh dianalisa dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu dengan model interaktif dangan tahapan: melakukan reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2010: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Pendekatan kualitatif mempunyai konsekuensi dimana seorang peneliti tidak lagi bekerja dengan angka-angka (statistik) semata sebagai perwujudan dari fenomena atau gejala yang diamati. Namun peneliti akan bekerja dengan informasi, keterangan-keterangan, dan pejelasan-penjelasan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Oleh karena itu konsekuensinya dalam pendekatan kualitatif, analisis data yang digunakan adalah teknik yang analisis dengan prinsip logika. Hubberman dan Milles (Sugiyono, 2009: 337) berpendapat bahwa analisis merupakan aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh.

G. Keabsahan Data

(57)

menentukan keabsahan suatu data, maka diperlukan sebuah teknik pemeriksa keabsahan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Triangulasi data. Teknik Triangulasi adalah teknik yang memanfaatkan sesuatu yang berada di luar data itu sendiri, guna keperluan pengecekan atau pembanding terhadap suatu data. Dalam hal ini ada empat macam cara untuk melakukan Triangulasi menurut Denzin (Moleong, 2010: 330), dapat digunakan untuk melihat keabsahan data, dengan menggunakan teknik pemeriksa yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori, sehingga trianggulasi yang digunakan adalah trianggulasi sumber. Dengan teknik ini, peneliti dimungkinkan untuk melakukan pengecekan ulang serta melengkapi informasi yang diperoleh. Peneliti dapat juga melakukan perbandingan antara data observasi (pengamatan) dengan hasil wawancara. Triagulasi suber dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:

a. Melakukan perbandingan informasi dari berbagai sumber primer.

b. Melakukan perbandingan antara data primer dengan hasil pengamatan peneliti.

c. Membandingkan antara data primer dan data sekunder.

d. Membandingkan isu yang beredar dengan pendapat pribadi (klarifikasi isu)

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Lokasi Dikpora DIY

Kantor Dikpora DIY beralamatkan di Jl.Cendana, No. 9 Yogyakarta. 2. Visi dan Misi Dikpora DIY

Visi dan Misi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi DIY. Visi:

Menjadi katalisator terwujudnya masyarakat pendidikan yang kompetitif. Misi:

a) Meningkatkan pelayanan intern rumah tangga dalam mendukung Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. b) Meningkatkan pemerataan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi

pendidikan.

c) Meningkatkan pembinaan dibidang pemuda, dan olahraga.

3. Tugas dan Fungsi Dikpora DIY

Tugas dan Fungsi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi DIY Tugas :

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga dan kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah.

(59)

1. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga memiliki fungsi:

2. Penyusunan program dan pengendalian pendidikan, pemuda dan olahraga. 3. Perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga. 4. Pelaksanaan kewenangan Daerah yang berkaitan dengan pembiayaan,

kurikulum, sarana prasarana, pendidikan dan tenaga pendidikan, pengendalian mutu pendidikan, pemuda dan olahraga.

5. Pelaksanaan koordinasi perijinan di bidang pendidikan. 6. Pelaksanaan pelayanan umum sesuai dengan kewenangannya.

7. Pemberian fasilitas penyelenggaraan bidang pendidikan, Pemuda dan olahraga Kabupaten/Kota.

8. Peberdayaan sumberdaya dan mitra kerja di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga.

9. Pelaksanaan evaluasi pendidikan. 10. Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan.

(60)

4. Struktur Organisasi Dikpora DIY

Sumber data: http://www.pendidikan-diy.go.id 5. Profil LSM Titian Foundation

(61)

Pada tahun 2006, ketika gempa bumi melanda Jawa Tengah, ia sadar inilah kesempatan lain untuk mengulurkan bantuan. Maka ia pun mendirikan Titian Foundation, dengan tujuan membantu sesama, terutama selama masa bencana dan kondisi darurat, demi memperkuat mata pencaharian mereka untuk melanjutkan hidup. Titian Foundation didirikan sebagai respons atas gempa bumi yang melanda Jawa Tengah tahun 2006, yakni membangun kembali tiga sekolah yang hancur di sebuah desa terpencil di Bayat.

6. VISI dan MISI Titian Foundation

Visi Titian Foundation adalah meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan masyarakat Indonesia, demi mendayagunakan, membangkitkan kepercayaan diri, serta mendukung perkembangan masyarakat dan warisan kebudayaan mereka.

Dengan menjalin kerja sama dengan berbagai LSM, pemerintah, perusahaan lokal dan multinasional, serta perorangan, Titian menyediakan dukungan jangka panjang dan berkelanjutan kepada masyarakat korban bencana atau konflik. Titian Foundation terlibat dalam menyediakan sarana bagi stabilitas dan kemandirian yang berkelanjutan melalui:

a) Pembangunan sekolah, perpustakaan, dan pusat belajar masyarakat (Community Learning Centres—CLCs)

b) Menyediakan peralatan sekolah dan buku

(62)

e) Program melek komputer melalui Teknologi Informasi & Komunikasi (Information and Communication TechnologyICT)

f) Membangun jejaring Teknologi Informasi antarsekolah di dalam maupun di luar negeri

7. Perencaaan Strategis

Untuk mencapai misi Titian Foundation, Titian Foundation perlu menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah, organisasi lain yang memiliki visi yang sama dengan Titian Foundation, juga mitra dari sektor swasta. Titian Foundation menyadari pentingnya menjalin jejaring dengan berbagai institusi tersebut. Oleh karena itu salah satu usaha Titian Foundation adalah menjaring mitra. Titian Foundation berharap bersama-sama kita dapat berkarya mencapai visi bersama yakni melihat masyarakat kurang mampu meraih kesejahteraan dan hidup secara mandiri.

(63)

Titian Foundation berusaha meraih misinya dengan cara:

Menjalin jejaring dengan berbagai organisasi nasional maupun internasional, di antaranya, dengan perusahaan yang memiliki program CSR, Lembaga Donor, Instansi Pendidikan, Institusi Nirlaba, Lembaga Pemerintah Terkait, Sukarelawan Profesional, dan Pemimpin Masyarakat.

Memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan. Strategi yang dijalankan di antaranya: membangun fasilitas dan infrastruktur pendidikan (bangunan sekolah, perpustakaan, gedung olahraga); mengembangkan, mendayagunakan, dan melaksanakan Program Pendidikan dan Pengajaran; mengembangkan Pusat Belajar Masyarakat. Meningkatkan pendapatan masyarakat melalui Program Pelatihan Kewirausahaan, lokakarya Prasarana dan Pendampingan Pendanaan Mikro.

8. Profil LSM Sarang Lidi

Konsep Otonomi Sekolah, Managemen Berbasis Sekolah (MBS) ternyata berdampak pada tingginya pungutan sekolah yang membebani orang tua siswa, dan mengarah pada komersialisasi pendidikan. Ironisnya justru fenomena itu terjadi di sekolah-sekolah negeri yang notabene biaya operasional dan gaji karyawan/gurunya ditanggung oleh pemerintah. Hal ini terus terulang pada penerimaan peserta didik baru di Yogyakarta.

Isu sentral tentang komersialisasi pendidikan, yang meliputi dugaan

mark up pengadaan seragam sekolah; RAPBS yang tidak transparan, tidak

(64)

dalam menghadapi kebijakan sekolah dan Komite Sekolah, semakin memperkuat kesan bahwa corrupted mind telah merambah ke dunia pendidikan. Lantas kepada siapa kita mengadu? Ke sekolah, Komite Sekolah, Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat? Ternyata semua tidak bisa menembus kokohnya tembok ketidaktranparansian manajemen sekolah. Hanya keberanian, kekritisan, kecerdasan dan Persatuan Orang Tua Siswa serta dukungan berbagai pihak yang peduli pendidikanlah, yang Insya Allah dapat mengubah manajemen sekolah yang rasional dan transparan. Pungutan biaya pendidikan yang rasional, jujur, dan berkepekaan sosial yang diharapkan semua lapisan masyarakat Yogyakarta Dalam mewujudkan harapan itu maka berdirilah Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (SARANG LIDI) .

9. Tujuan Dibentuknya SARANG LIDI

Pendidikan yang murah, berkah, berkualitas dan humanis. Visi

Terwujudnya Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang berkarakter Misi

a) Mendorong langkah-langkah konkrit rasionalisasi biaya pendidikan

b) Mendorong percepatan upaya-upaya penghapusan wajah-wajah hipokrit dan mental korup pada lembaga pendidikan

(65)

1. Ing ngarso sung tulodho 2. Ing madyo mangun karso 3. Tut wuri handayani

d) Bersama berjuang mengangkat posisi tawar orang tua, menegakkan harga diri dan integritas pendidik

10. Strategi

a. Membangun sinergi dengan lembaga pendidikan dan instansi terkait b. Memperluas jejaring Sarang Lidi

11. Moto

Anak bangsa tidak akan mengotori rumah sendiri melainkan membersihkannya

12. Nilai Dasar a. Kepedulian b. Keberanian c. Kebersamaan d. Kejujuran e. Independen 13. Keyakinan Dasar

(66)

b. Titian Foundation berkeyakinan bahwa hasil yang maksimal hanya akan diperoleh melalui upaya yang sungguh-sungguh, berkelanjutan, serta luasnya jejaring yang berkualitas

c. Titian Foundation berkeyakinan bahwa hanya dengan penyelenggaraan institusi pendidikan yang berkarakter bersih yang mampu melahirkan kaderkader bangsa yang tidak korup dan hipokrit.

14. Program Kerja

a. Mengumpulkan/menampung aspirasi orang tua/ masyarakat. b. Dialog dengan Bupati/ Walikota, mencermati masalah Pendidikan

c. Audiensi dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

d. Dialog dengan guru sekolah (PGRI, dll) e. Dialog dengan komite/dewan sekolah

f. Membuat rencana tindak lanjut sesuai masalah yang diidentifikasi. g. Penyadaran hak dan kewajiban orang tua/masyarakat tentang pen

didikan anaknya.

h. Pemberdayaan FKPO ( Forum Komunikasi Pengurus OSIS) B. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Mekanisme dan Pola Perumusan Kebijakan di Dikpora DIY

(67)

mekanisme perumusan ini disebabkan agar tercipta keefisienan waktu, terutama dalam penyusunan kebijakan teknis. Hal ini dijelaskan dan diungkapkan oleh SRY, Kepala Bidang Perencanaan dan Standarisasi:

“Pada dasarnya, kerangka berpikir kita berlandaskan pada teori -toeri yang ada secara umum. Namun pada kenyataannya, dalam praktiknya kita tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan hal tersebut. Dalam kenyataanya proses pembentukan sangat fleksibel dan variatif. Kita menyesuaikan dengan keadaan yang ada. Langkah-langkah teoritis tetap kita perhatikan, namun Itu kan hanya langkah-langkah teori, kalo dalam praktiknya harus menyesuaikan situasi dan kondisi.” (8/1/2015)

Sampai saat ini, Dikpora memberi kesempatan berbagai pihak untuk berpartisipasi. Namun, masyarakat dilibatkan hanya dalam tahap pemunculan isu, penjaringan aspirasi, dan pembahasan agenda.

“Kalau dalam tahap ini kita melibatkan semua pihak masyarakat yang mau berpartisipasi. Dalam pemunculan isu ini, kita sangat fleksibel dan terbuka untuk siapa saja.” (8/1/2015)

Dalam tahap penyampaian aspirasi ini juga cukup fleksibel, dinas sendiri memang menyediakan forum tersendiri untuk menyampaikan aspirasi. Namun jika ingin menyampaikan secara langsung kepada kepala dinas, hal tersebut tidak jadi masalah. Bahkan penyampaian aspirasi ini dapat melalui telepon langsung kepada kepala dinas. Hal ini diungkapkan oleh SRY:

“Caranya bisa secara langsung bertemu dengan Kepala Dinas, atau melalui telepon juga bisa.” (8/1/2015)

Hal ini pun dibenarkan oleh Kepala Dinas sendiri, Baskoro Aji:

(68)

Dalam perumusan kebijakan di Dikpora DIY terdapat dua forum: internal dan ekternal. Kedua forum tersebut digunakan sebagai wadah dan ruang diskusi ketika akan membentuk sebuah kebijakan.

Forum Internal

Forum internal merupakan forum yang dikhususkan untuk pembahasan isu oleh pihak dinas sendiri. Forum ini diadakan dengan mengundang berbagai pihak dari struktur pemerintahan yang berkepentingan. Forum internal ini bisa diadakan sebelum atau sesudah forum ekternal.

Sebuah isu kebijakan biasanya akan dibahas dalam forum internal terlebih dahulu, sebelum nantinya dibahas dalam forum eksternal. Forum internal dimaksudkan untuk mematangkan sebuah isu strategis yang nantinya akan disikapi oleh dinas, dan akan ke arah mana nantinya isu tersebut akan dibawa.

Forum Eksternal

Forum eksternal merupakan forum yang diadakan oleh dinas untuk menjaring aspirasi dari masyarakat atau pihak yang berkepentingan dari luar struktur pemerintahan. Dalam forum ini, dinas akan meminta pendapat dari berbagai pihak untuk menanggapi isu yang dilemparkan oleh dinas sendiri, atau pembahasan isu yang dibawa oleh para peserta forum. Dalam forum ini, pihak Dikpora, atau eksekutif lainnya berperan sebagai fasilitator.

(69)

Gambar: I . IV

a. Partisipasi LSM dalam Perumusan Kebijakan di Dikpora

Dalam proses perumusan kebijakan di Dikpora, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendidikan juga diberikan kesempatan. Seperti yang diungkapkan oleh SRY:

“Kalo misalkan LSM mau memberikan masukan, ya silakan.” (8/1/2015)

Namun porsi partisipasi LSM ini hanya pada penyampaian isu, tidak lebih. Alasan kenapa LSM hanya bisa pada tahap penyampaian isu. Hal ini terkait soal tanggung jawab. Pada tahap penggodokan isu, hingga nanti sampai pada implementasi, menurut SRY adalah kewenangan dan tanggung jawab eksekutif:

“Ya, melibatkan semua pihak yang ingin berpartisipasi, termasuk LSM. Namun porsi mereka hanya pada tahap pemunculan isu. Selebihnya, itu kita (eksekituf) yang menentukan.” (8/1/2015)

Dengan adanya pembatasan ini, maka dengan kata lain, LSM hanya diberikan porsi dalam tahap awal, yakni pada tahap indentifikasi masalah/pandangan umum terhadap suatu isu.

Forum Internal Forum

Ekternal Follow Up

Penjaringan aspirasi, dan isu strategis dari

(70)

b. Keaktifan LSM dalam Memberikan Pendapat

Dalam sebuah partisipasi, tentu saja diharapkan sebuah partisipasi aktif. Selama ini LSM pendidikan di DIY melakukan perannya dengan aktif, meski tidak semua LSM. Ada beberapa LSM yang bisa dibilang aktif dalam penyampaian pendapat serta memberikan usulan ke Dikpora DIY. Menurut keterangan yang diberikan oleh Kabid. Perencanaan dan Standarisas, ada beberapa LSM yang aktif dan paling sering berhubungan dengan dinas, yakni: LSM Titian Foundation dan LSM Sarang Lidi.

“LSM yang cukup aktif ada beberapa, Titian Foundation dan Sarang Lidi. Kedua LSM ini cukup sering mengontak Dikpora.” (8/1/2015)

Hal yang sama juga disampaikan dari pihak Titian Fouudation. Menurut kordinator program Titian, Y, mereka justru yang sering mengontak dinas, daripada dikontak oleh dinas.

“Kalau sampai saat ini, lebih banyak kita yag mendatangi dinas, dengan inisiatif sendiri. Bahkan sampai saat ini kalau diundang secara resmi Titian Foundation baru satu kali.” (14/1/2015)

Hal yang serupa juga dirasakan oleh pihak Sarang Lidi. Menurut pengakuan YU, selaku Sekjend Sarang Lidi:

“Kalau untuk Sarang Lidi, rasa-rasanya tak mungkin dikontak oleh dinas. Biasanya Sarang Lidi yang mengontak mereka (Dikpora).” (6/3/2015).

a. Komunikasi Antara LSM dan Dikpora

(71)

Kabid Perencaan dan Standarisas, SRY, selama ini Dikpora selalu menjaga komunikasi dengan semua pihak.

“Dalam menjalin kerjasama, kan yang penting komunikasi. Nah ini yang selalu kami (Dikpora) perhatikan. Dikpora mencoba menjaga komunikasi dengan semua pihak termasuk LSM.” (8/1/2015)

Menurut LSM Sarang Lidi, ruang untuk berkomunikasi dengan Dikpora memang sangat terbuka, dan tidak kaku. Namun yang menjadi perhatian LSM Sarang Lidi, adalah bahwa Dikpora tidak terlalu aktif dalam berkomunikasi dengan LSM yang bergerak dalam ranah advokasi dan pengawasan. Hal ini disampaikan oleh Sekjend Sarang Lidi:

“Sebenarnya Dikpora sudah bagus dalam membuka diri. Namun jika ada urusan untuk pembahasan kebijakan atau program, Sarang Lidi yang selalu mengkritik mereka ini tidak mungkin akan diundang. Justru Sarang Lidi yang harus aktif memantau mereka (Dikpora).” (6/3/2015)

Hal yang berbeda dirasakan oleh LSM Titian Foundation. Bagi mereka yang saat ini telah menjalin kemitraan dengan Dikpora, dalam bidang pengembangan guru merasa bahwa komunikasi dengan Dikpora lancar dan tidak bermasalah.

b. Bentuk Partisipasi LSM Pendidikan di Dikpora

Gambar

Gambar 1.1. Proses kebijakan menurut Brigman dan Davis
Gambar 1.3 Proses kebijakan menurut Dye
Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman WawancaraNoAspek yang dikajiIndikator yang dicari
Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi

Referensi

Dokumen terkait