• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01580

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01580"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI SASI DALAM PELAKSANAAN KONSERVASI

DI KABUPATEN RAJA AMPAT

Kuwati1*, Martanto Martosupono1, Jubhar C. Mangimbulude1

1Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana 2Fakultas Sains & Matematika, Program Studi Fisika, Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro No. 52 – 60, Salatiga 50711 Telp.: +62 (0)298-321212, Fax.: +62 (0)298-321443

*E-mail: kuwatifolley@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kegiatan manusia yang berlebihan dalam mengeksploitasi alam saat ini telah banyak merusak keanekaragaman hayati di bumi yang mengakibatkan kepunahan suatu spesies dan berdampak pada spesies lainnya karena dalam ekosistem yang seimbang, semua spesies saling tergantung satu sama yang lain. Untuk itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kepunahan yang berkelanjutan maka manusia perlu untuk menjaga dan melindungi bumi ini. Salah satu cara untuk melindungi bumi ini adalah dengan konservasi. Indonesia yang memiliki berbagai suku dengan kearifan lokal penduduknya masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk melindungi alamnya. Suatu konservasi tradisional yang diberi nama sasi telah menjadi eksistensi tersendiri hingga kini dalam melindungi keanekaragaman hayati negeri ini.Sasi adalah suatu larangan untuk mengambil/memanen hasil sebelum datang waktu panen. Sasi sendiri berasal dari Maluku dan turun-temurun sampai ke berbagai daerah di Indonesia termasuk di Raja Ampat. Keberhasilan konservasi di Raja Ampat tidak terlepas dari peranan dan pengaruh sasi yang cukup kuat. Sasi menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan populasi sumberdaya alam hayati, dan sangat membantu masyarakat Raja Ampat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kata kunci: sasi, konservasi, kearifan lokal

PENDAHULUAN

Banyak orang di dunia peduli dengan makhluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan, dan ingin melestarikannya. Keprihatinan ini seringkali terkait dengan keinginan untuk mengunjungi komunitas biologi atau melihat spesies unik di alam bebas. Dapat juga terjadi di sisi lain, ada sebagian pendukung pelestarian alam tersebut yang tidak terlalu berharap, tidak terlalu memerlukan, atau bahkan tidak terlalu ingin melihat langsung elemen-elemen keanekaragaman hayati. Dalam kedua hal itu, mereka mengakui dan menghargai suatu nilai eksistensi di alam bebas. Artinya, terdapat sejumlah orang yang bersedia memberikan dana untuk mencegah kepunahan spesies, kerusakan habitat, dan hilangnya variasi genetik (Indrawan et al., 2012).

Semua spesies di alam saling tergantung satu sama lain, hilangnya satu spesies menimbulkan dampak yang nyata bagi spesies lain di dalam komunitasnya (Chapin et al., 2000; Tilman, 2000). Kepunahan yang diakibatkan ulah

manusia dapat dianggap sebagai pembunuhan massal Rolston, karena tidak hanya membunuh individu

tetapi juga generasi mendatang spesies tersebut, serta dapat membatasi proses evolusi spesies (Adhuri et al., 2012). Indrawan et al. (2012), mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab sebagai penjaga bumi. Banyak penganut agama tidak setuju jika kerusakan spesies dibiarkan berlangsung terus, karena semua spesies adalah ciptaan Tuhan yang mempunyai nilai. Dalam agama maupun tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi, jelas dinyatakan bahwa sebagai bagian dari iman, manusia wajib melindungi alam. Agama lainnya, termasuk Hindu dan Budha, sangat mendukung pelestarian makhluk hidup selain manusia.

Manusia bertanggung jawab kepada generasi berikutnya (Indrawan et al., 2012). Dari sudut pandang etika murni, kita tidak dapat merusak sumberdaya alam, bumi, ataupun menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Bila kerusakan terjadi, maka masyarakat generasi berikut harus menerima akibatnya. Kerusakan yang terjadi sekarang akan menurunkan standar hidup dan kualitas hidup di masa mendatang. Masyarakat yang hidup di zaman ini harus menggunakan dan memelihara sumberdaya secara berkelanjutan agar tidak merusak spesies dan komunitas (Ellison, 2003).

Berpokok pada pentingnya konservasi dalam perlindungan alam yang ada di bumi, sehingga penulis ingin memaparkan konservasi berbasis kearifan lokal yang berasal dari negeri Maluku bernama sasi, yang eksistensinya dalam pelestarian alam telah mampu merambah ke seluruh daerah di Indonesia termasuk di Raja Ampat.

SASI DI MALUKU

(2)

Hukum adat yang hingga saat ini masih hidup dan berlaku dalam masyarakat hukum adat Maluku khususnya Maluku Tengah yang dikenal dengan Hukum Sasi. Hukum sasi adalah hukum adat yang berkaitan dengan larangan untuk mengambil, baik hasil hutan atau hasil laut dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh masyarakat setempat (Cooley, 1987).

Kearifan tradisional merupakan salah satu budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Subak di Bali dan Sasi di Maluku merupakan contoh kearifan tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu memelihara sumberdaya alam sehingga dapat memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berkelanjutan (Pawarti et al., 2012). Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (Lampe, 2006 dalam Pawarti et al., 2012).

Masyarakat Maluku secara tradisional memiliki berbagai cara pengelolaan lingkungan hidup dalam mengantisipasi penurunan kualitas sumberdaya alam. Pengelolaan berbasis masyarakat ini telah dikenal membudaya dan dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun. Bentuk pengelolaan tersebut merupakan suatu kekuatan yang dapat diandalkan dan berkesinambungan dalam memberikan perlindungan bagi keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna, memberikan produktivitas secara berkelanjutan, dan melibatkan peran serta masyarakat yang menjadi pelaku dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga dan memperkuat pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional. Bentuk-bentuk konservasi tradisional yang dilakukan di antaranya Sasi, Salele, Krois, Tempat Pamali, Negeri Lama

serta pola pengelolaan lahan yang dikenal dengan Dusung (Lelloltery et al., 2007).

Di Kei Maluku Tenggara, juga dikenal hukum Lawur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah Kei. Lawur Ngabal terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu Nevnev, yang terdiri dari tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan, dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan, dan mematikan manusia; Hanlit yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilaan, serta Hawaer batwirin yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan. Dalam prakteknya, Lawur Ngabal mengandung dua jenis sanksi, yakni sanksi yang bersifat kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhuni, semacam hukum karma. Sanksi ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut dalam proses persidangan (Kleden, 2006).

Sasi mengacu pada pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional dan termasuk larangan panen pada sumberdaya darat maupun laut. Peraturan sasi melarang pemanenan hasil hutan atau hasil laut yang belum waktunya dipanen secara gegabah, akan tetapi peraturan itu juga berlaku di dalam kehidupan masyarakat (Sasi regulations prohibit the premature harvesting of forest and marine products, but are also applied on social behavior

Kissya, 1994; Zerner, 1994; Benda-Beckmann et al., 1995; Nikijuluw, 1995; Mantjoro, 1996).

Bailey dan Zerner mengatakan bahwa sasi berasal dari kata saksi witness) yang berarti larangan

terhadap panen, penangkapan, atau pengambilan tanpa izin terhadap sumberdaya tertentu yang secara subsisten atau ekonomis bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Kissya (1993), sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat.

Menurut Pendeta Burdam, terdapat 2 jenis sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Jenis-jenis sasi tersebut di antaranya sasi kelapa, sasi lola, sasi teripang, dan lain-lain. Mengacu pada sistem kepercayaan yang mendasari sasi dan pemimpin ritualnya, dikenal sasi negeri, sasi gereja, dan sasi masjid. Masing-masing nama ini secara berturut-turut mengacu kepada sistem kepercayaan Kristen, pastor atau pendeta sebagai pemimpin dan gereja sebagai tempat ritualnya, serta Islam, imam dan masjid (Adhuri, 2002).

Ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum memiliki tiga alasan utama yaitu ketaatan karena takut terkena sanksi (compliance), karena takut merusak hubungan baiknya dengan pihak penegak hukum (identification), dan keyakinan bahwa aturan-aturan hukum sesuai dengan nilai yang dianutnya (internalization) (Ali, 2009).

Kekuatan hukum aturan sasi diakui secara adat maupun agama. Pelaksanaan dan pengawasan aturan sasi dilakukan oleh lembaga Kewang (semacam polisi hutan) yang diangkat dengan upacara adat yang sakral. Pelaksanaan sasi juga mendapat dukungan doa dan berkat dari upacara keagamaan di gereja atau masjid (Nikijuluw, 1994).

Tabel 1. Jenis Pelanggaran Sasi dan Sanksinya di Desa Nolloth, Saparua, Januari 1994

Jenis Pelanggaran Sanksi (Rp)

Menggunakan jaring Memanah ikan Berenang di zona sasi

(3)

Pengambilan lola per buah kecil/besar Pengambilan batu laga per buah kecil/besar Pengambilan caping-caping per buah Pengambilan teripang (semua jenis) per buah Pengambilan akar bahar per pohon

Pengambilan bunga karang per buah Penggunaan racun ikan

7.500 25.000 2.500 10.000 5.000 5.000 100.000 Sumber: Peraturan Sasi Desa Nolloth, Januari 1994, dalam Nikijuluw (1994)

Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat bersama masyarakat, pemuka kampung, tokoh adat, dan tokoh agama, untuk menentukan zona wilayah sasi. Melalui rapat tersebut ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, dan hal tersebut dinamakan tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tidak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya tersebut, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali atau biasa disebut dengan masa buka sasi (Burdam 2013, komunikasi pribadi).

Keputusan buka sasi dilakukan berdasarkan rapat desa. Pengusahaan zona sasi ini dilakukan oleh desa, bukan individu. Dalam rapat desa ditentukan jumlah orang (tenaga kerja) yang terlibat langsung dalam eksploitasi sumberdaya zona sasi. Tenaga kerja yang terlibat dibayar dengan uang hasil penjualan ikan yang ditangkap atau produk yang diambil. Setelah dikurangi dengan ongkos produksi lainnya, sisa uang hasil penjualan adalah milik desa. Penggunaan uang ini adalah untuk kepentingan sarana dan prasarana umum (Andhamari et al., 1991 dalam

Nikijuluw, 1994).

SASI DI RAJA AMPAT

Menurut pendeta Karel Burdam, sasi di Raja Ampat berasal dari Maluku dan telah ada sejak dahulu kala (sejak nenek moyang). Adanya migrasi masyarakat Maluku ke berbagai daerah di Indonesia membawa serta kebudayaan mereka, sehingga adat Sasi dikenal juga di Raja Ampat.

Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal, Pertama; sasi memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut; Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia; Ketiga, ketentuan sasi ini ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya, 1993).

Mayoritas penduduk Raja Ampat Beragama Islam dan Kristen. Kampung Fafanlap dan kampung Lilinta adalah kampung di Pulau Misool bagian selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan Folley adalah kampung dengan penduduk yang terbagi menjadi dua agama yaitu Islam dari keturunan suku Buton dan Kristen dari suku Matbat. Dari berbagai kampung di pulau Misool tersebut terdapat berbagai cara pengelolaan alam secara tradisional. Meskipun memiliki nama dan aturan yang berbeda, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk melindungi alam darat atau lautnya dari kerusakan dan kepunahan, serta untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik.

Saat Kristen masuk ke Raja Ampat, dan sebagian besar masyarakat mulai menganut kepercayaan Kristen, sasi ditransfer dan berganti nama menjadi sasi Gereja. Sasi gereja adalah salah satu bentuk sasi yang pelaksanaan buka/tutup sasi-nya dipimpin dan didoakan oleh salah seorang pendeta di dalam gereja (Burdam, 2013 komunikasi pribadi). Dalam sasi gereja, pendeta desa memainkan peran mengumumkan pembukaan dan penutupan suatu sasi atau larangan yang berlaku di wilayah tertentu.

Kampung Folley sendiri menggunakan sasi gereja untuk melindungi tanaman maupun lautnya. Meskipun menggunakan nama sasi gereja, namun warga yang beragama Islam secara sukarela dan tidak keberatan untuk melaksanakan dan mengikuti aturan sasi tersebut. Bukan hanya yang beragama Kristen saja yang dapat memasang sasi pada tanaman hasil kebun maupun lautnya, namun yang beragama Islam pun dapat menggunakan sasi gereja untuk melindungi tanaman mereka dengan perantara majelis gereja dan membayar uang/hasil panen seikhlasnya. Melalui perantara majelis tersebut, pendeta akan mendoakan dan mengumumkannya di gereja. Maka dipasanglah papan sasi pada tanaman tersebut dan itu berarti bahwa tanaman tersebut dalam masa sasi dan tidak ada yang boleh mengambil/memanen tanaman tersebut termasuk pemilik tanaman tersebut sampai lepas masa sasi (buka sasi).

Beberapa kampung di pulau Misool yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti kampung Lilinta dan Fafanlap, juga menggunakan sasi untuk melindungi alamnya agar tetap lestari. Dalam sasi tersebut imamlah yang berperan penting dalam upacara tutup dan buka sasi. Berbeda kampung, berbeda pula adat dan jenis hukuman/sanksinya. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama & Pattipelohy, 2003).

(4)

Kampung Lilinta memiliki sanksi atau hukuman yang berbeda dengan kampung-kampung lain yang juga melaksanakan sasi. Jika biasanya sanksi dari pelanggaran sasi berupa uang/moneter, di kampung Lilinta memiliki cara yang unik untuk menghukum pelanggar sasi, yaitu dengan cara dipermalukan (dipasung) dari pagi hingga sore hari sampai pelanggar tersebut mengakui dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Hukuman tersebut dimaksudkan agar pelanggar sasi malu dan tidak mengulangi kesalahannya lagi (Wihel, 2013 komunikasi pribadi).

Pemasangan sasi berkisar 3 sampai 6 bulan sesuai dengan jenisnya. Pada tanaman, jika sudah tiba waktu/masa panen maka masyarakat akan memberitahukan kepada gereja kemudian diadakan upacara buka sasi oleh pendeta, sedangkan sasi pada hasil laut, tergantung pada musim angin. Bila tiba musim angin selatan yaitu pada bulan Juni sampai dengan Agustus maka diadakan tutup sasi, dan selanjutnya sasi akan dibuka pada musim angin utara (pada saat laut teduh) yaitu berkisar pada bulan September sampai dengan bulan Desember. Jenis hasil laut yang disasi di beberapa kampung pulau Misool beserta adat/ritualnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Base Sasi Misool

Kristen Untuk membuka atau menutup sasi didoakan di gereja. Setelah

Kristen Untuk membuka atau menutup sasi didoakan di gereja. Setelah

(5)

Sumber: TNC (2013)

PERAN SASI DALAM MENCEGAH EKSPLOITASI

Pelaksanaan sasi sebagai upaya untuk melindungi tradisi dan eksploitasi terhadap sumberdaya hayati adalah tujuan sasi di Raja Ampat. Keberadaan masyarakat hukum adat diakui eksistensinya oleh Negara dalam pasal 18B

ayat UUD yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya .

Masyarakat tradisional mempunyai aturan-aturan tertentu untuk mencegah terjadinya eksploitasi/pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Sebagai contoh, izin untuk memanen spesies tertentu dikontrol dengan ketat dan larangan melakukan perburuan atau pemanenan pun diberlakukan pada daerah-daerah tertentu. Ada pula larangan untuk mengambil betina, anak-anak hewan, atau hewan yang masih kecil ukurannya. Aturan-aturan tersebut memungkinkan masyarakat tradisional untuk memanfaatkan sumberdaya milik bersama dalam jangka panjang dan secara berkelanjutan. Aturan yang diterapkan mirip dengan aturan penangkapan ikan secara ketat yang mulai diusulkan dan diterapkan pula oleh banyak nelayan di Negara-negara industri (Colding & Folke, 2001).

Kekayaan pengetahuan masyarakat adat di Indonesia sudah berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan dan peradaban manusia. Proses perkembangan tersebut memunculkan banyak pengetahuan dan tata nilai tradisional yang dihasilkan dari proses adaptasi dengan lingkungannya. Sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, salah satu bentuk pengetahuan tradisional yang berkembang adalah pengetahuan dalam pemanfaatan lahan, baik sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk mencari atau memroduksi bahan makanannya (Kosmaryandi, 2005).

Masyarakat Raja Ampat yang mayoritas bertempat tinggal di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir memiliki sistem sasi atau larangan mengambil atau memanen hasil alam baik darat maupun laut dalam jangka waktu tertentu. Sasi sebagai upaya perlindungan dari eksploitasi, menjaga mutu, dan populasi sumberdaya alam hayati. Sasi diterapkan pada sumberdaya alam di darat maupun di laut, di darat sasi diberlakukan pada tanaman. Hasil kebun, seperti buah-buahan disasi dengan tujuan agar hasil dari tanaman tersebut lebih maksimal. Penerapan sasi di laut diberlakukan pada hasil laut seperti teripang, lola, batu laga, lobster, dan lain-lain. Larangan sasi tersebut berlaku sejak masa tutup sasi sampai masa buka sasi. Adanya larangan pengambilan hasil sebelum waktunya, maka terjadi peningkatan populasi suberdaya alam hayati.

KESIMPULAN

Eksistensi sasi dalam pelaksanaan konservasi merambah bukan hanya di kepulauan Maluku, tetapi juga ke Raja Ampat dan masih dilaksanakan hingga saat ini. Sasi menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan populasi sumberdaya alam hayati, memelihara serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Keberadaan sasi di Raja Ampat yang ada hingga saat ini jugasangat membantu masyarakat Raja Ampat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir secara optimal sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Beasiswa Unggulan DIKTI – Biro Perencanaan & Kerjasama Luar Negeri (BPKLN), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang telah memberikan beasiswa melalui Program Studi Magister Biologi, Universitas Satya Wacana, Salatiga.

DAFTAR PUSTAKA

Adhuri, D. S. 2002. Menjual Laut, Mengail Kekuasaan: Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. www.academia.edu/267072/ (diakses: 4 November 2013).

Ali, A. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan (Volume II). Prenada Media Grup: Jakarta. Anonim. 2011. Pengertian-definisi.blogspot.com/2011_03_archive.html. (diakses: 4 November 2013).

Bailey, C. & Zerner, Ch. 1992. Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia. MAST, 5 (1): 1 – 17.

Benda-Beckmann von, F., K. von Benda-Beckmann & Brouwer, A. 1995. Changing ´Indigenous Environmental Law´ in the Central

Moluccas: Communal Regulation and Privatization of Sasi in: Indonesia. A journal of Indonesian Human Ecology. No. 2: 1-38.

Program Studi Antropologi-Program Pascasarjana. University of Indonesia. Burdam, K. 2013. Komunikasi Pribadi

Chapin, F. S. III, Zavaleta, E. S., Eviner, V. T., Naylor, R. L., Vitousek, P. M. & Reynolds, H. L. 2000. Consequences of Changing

(6)

Colding, J. & Folke, C. 2001. Social Taboos: Invisible Systems of Local Resources Management and Biological Conservation.Ecological

Applications 11: 584 – 600.

Cooley, F. L. 1987. Mimbar dan Tahta. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.

Ellison, K. 2003. Renting Biodiversity: The Conservation Concession Approach. Conservation in Practice 4: 20 – 29. Indrawan, M., Primack, R. B. & Supriatna, J. 2012. Biologi Konservasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta.

Kissya E. 1993. Sasi Aman Haru-ukui: Tradisi Kelola Sumberdaya Alam Lestari di Haruku. Seri Pustaka Khasana Budaya Lokal, Yayasan Sejati: Jakarta.

Kissya, E. 1994. Managing the Sasi Way. In: Samudra Report, Nos. 10 & 11, Dec. 1994. p. 11 – 13.

Kosmaryandi, N. 2005. Kajian Penggunaan Lahan Tradisional Minangkabau Berdasarkan Kondisi Tanahnya (Study of Minangkabau

Traditional Landuse Based on Its Soil Condition). Media Konservasi X (2): 77 – 81.

Kleden, E. 2006. Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi. Forum Keadilan. Koesnoe, M. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model. Mandar Maju: Bandung.

Lakollo, J. E. 1998. Hukum Sasi di Maluku Suatu Potret Bina Mulia Lingkungan Pedesaan yang Dicari oleh Pemerintah. Pidato Dies Natalis XXV Universitas Pattimura Ambon.

Lampe, M. 2006. Kearifan Lingkungan dalam Wujud Kelembagaan, Kepercayaan/Keyakinan, dan Praktik, Belajar dari Kasus

Komunitas-komunitas Nelayan Pesisir dan Pulau-pulau Sulawesi Selatan. Lokakarya Manggali Nelayan-Nelayan Kearifan

Lingkungan di Sulawesi Selatan. 10 Agustus 2006. http://www.scribd.com/doc/16149372/Kearifan-Tradisional (Diakses: 9

Januari 2011)

Lelloltery, H., J.Ch. Hitipeuw & J. Sahusilawane. 2007. Peranan Konservasi Tradisional terhadap Keragaman Jenis Burung pada

Beberapa Desa di Kecamatan Leitimur Selatan.

http://jurnalee.files.wordpress.com/2013/11/peranan-konservasi-tradisional-terhadap-keragaman-jenis-burung-pada-beberapa-desa-di-kecamatan-leitimur-selatan.pdf (diakses: 2 Desember 2013).

Mantjoro, E. 1996. Traditional Management of Communal-Property Resources: The Practice of the Sasi System. In: Ocean and Coastal Management. 32 (1): 17-37.

Nikijuluw, V. P. H. 1994. Sasi Sebagai suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku. http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id (diakses: 4 November 2013).

Nikijuluw, V. P. H. 1995. Community-Based Fishery Management (Sasi) in Central Maluku.In: Indonesian Agricultural Research and Development Journal 17 (2): 33 – 39.

Pattinama, W. & Pattipelohy, M. 2003. Upacara Sasi ikan Lompa di Negeri Haruku. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Kajian dan Nilai Tradisional; Ambon 2003.

Pawarti, A., Purnaweni, H. & Anggoro, D. D. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung

di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat.

http://eprints.undip.ac.id/37597/1/017-Amin_Pawarti_edited.pdf (diakses: 2 Desember 2013).

Rolston, H. III. 1989. Philosophy Gone Wild: Essays on Environmental Etchics. Prometheus Books, Buffalo, NY. Tilman, D. 2000. Causes, Consequences, and Ethics of Biodiversity. Nature 405: 208 – 211.

TNC. 2013. Data Base Sasi Misool.

Zerner, C. 1994. Through a Green Lens: the Constructions of Customary Environmental Law and Community in Indonesia’s Maluku

Gambar

Tabel 2. Data Base Sasi Misool

Referensi

Dokumen terkait

Hanya dalam kajian filosofisnya pemberlakuan ini tidak sesuai dengan asas materiil hukum yang harus mengutamakan keadilan ( equality before the law ). Selain

heveae yang banyak menyerang klon karet sebesar 1,04%, interaksi antara klon dan penyakit gugur daun tidak berpengaruh nyata, stomata yang terbanyak yakni pada klon RRIC 100

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Izzah Isti’adzah, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PRAKTIK PENERAPAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM PRAKTIK MANAJEMEN SUMBER

Menurut Mike Jefferies dan Ken Been (2006), potensi likuifaksi dapat terlihat dari garis critical state ini, di mana area di atas garis merupakan keadaan di mana

Karena Perusahaan tidak dapat mengontrol metode, volume, atau kondisi aktual penggunaan, Perusahaan tidak bertanggung jawab atas bahaya atau kehilangan yang disebabkan dari

Salah satu perbedaan mendasar dengan gereja- gereja kesukuan lain yang sudah terasa semenjak pertama kali Injil masuk di daerah Sulawesi Tengah adalah wilayah pelayanan

Lemahnya ukuran yang dimiliki oleh perusahaan mengindikasi adanya keagagalan laporan keuangan yang tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya, dalam

Agar setiap karyawan mengerti standar prestasi kerja yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya, yang keseluruhannya mengacu pada pelayanan dengan penuh cinta