• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis yuridis terhadap putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis yuridis terhadap putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN NO.

0042/Pdt.G/201`6/PA.Mr TENTANG PEMBAGIAN HARTA

BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO

SKRIPSI

Oleh

Arina Qodliyah Novita NIM. C01213022

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/Pa. Mr tentang Pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yaitu: Bagaimana Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam menetapkan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto dan Bagaimana Relevensi Pertimbangan dan Dasar hukum hakim dalam menetapkan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41 dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

Data penelitian dihimpun melalui pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam perkara No. 0042/Pdt.G/2016/Pa.Mr dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian meyimpulkan bahwa Dasar Hukum Hakim yang digunakan adalah pasal 35 UU No.1 Tahun 1974, 97 Kompilasi Hukum islam dan rasa keadilan dengan mempertimbangkan kesusahan yang ditanggung dalam pemeliharaan dan pembiayaan anak-anak sejak proses perceraian yang sampai sekarang ditanggung oleh Tergugat baik keperluan harian maupun pendidikan, sehingga potensi beban kebutuhan hidup yang ditanggung oleh Tergugat adalah lebih besar dari Penggugat. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr terdapat relevansi dengan pasal 35, pasal 41, dan pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 dan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, tetapi tidak ada relevansi dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketidakrelevanan putusan hakim dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dikarenakan Hakim lebih mengindahkan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa

keadilan”. Dalam putusannya hakim, istri diberi 2/3 dari harta bersama,

sedangkan suami hanya diberi 1/3 dari harta bersama. Karena ada fakta hukum suami (penggugat) tidak menanggung biaya dua anaknya sejak perceraian sampai gugatan harta bersama ini diajukan. Padahal menurut pasal 41 dan 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, suami harus menanggung biaya pemeliharaan anak sampai usia 21 Tahun. Apa yang diputuskan oleh hakim tidaklah ultra Petita karena hakim dalam memutuskan perkara masuk pada petitum subsidernya, yaitu apabila majelis hakim berpendapat lain, agar diputus dengan seadil-adilnya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 18

F. Kegunaan Penelitian ... 18

G. Definisi Operasional ... 19

H. Metode Penelitian ... 20

I. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA, PEMELIHARAAN ANAK (HAD{ONAH), DAN ASAS ULTRA PETITA PARTIUM A. Pengertian Harta Bersama ... 25

B. Dasar Hukum Harta Bersama ... 28

C. Konsepsi Harta Bersama ... 31

1. Menurut Hukum Adat ... 31

2. Menurut Hukum Islam ... 42

(8)

D. Pemeliharaan Anak (Had{onah ) ... 49 E. Asas Ultra Petita Partium ... 51

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO NO. 0042/Pdt. G/2016/Pa. Mr TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A. Kedudukan Peradilan Agama/Makamah Syar’iyah ... 54

B. Wewenang Pengadilan Agama Mojokerto ... 55

C. Duduk Perkara No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian

Harta Bersama ... 57

D. Pembuktian Perkara No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang

Pembagian Harta Bersama ... 65

E. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan No.

0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama ... 69 BAB IV ANALISIS PUTUSAN NO. 0042/PDT.G/2016/PA.MR TENTANG

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A. Analisis Terhadap Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama ... 75

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr

Tentang Pembagian Harta Bersama

... 84 BAB V PENUTUP

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia

laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula

tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainaya. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain

selalu saling membutuhkan. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan

naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup

bersama dengan orang-orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat dan teratur.1

Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli,

hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Agama

islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan

teratur itu haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah, serta diketahui

sekurang-kurangnya dua saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada

tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah).2

Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhahanan Yang Maha Esa. Demikianlah

1 M. Idris Ramulyo, Huk um Perk awinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 31.

2 Soemiyati, Huk um Perk awinan Islam dan Undang-undang Perk awinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997),

(10)

2

perumusan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.3

Tujuannya memiliki pengertian yang jauh lebih dalam daripada realitas yang

bersifat fisik. Hal itu sesuai dengan Qur’an Surat Ar-rum: 21.

ِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِهِتاَيآ ْنِمَو

ْسَت

اوُنُك

َو اَهْ يَلِإ

ّدَوَم ْمُكَنْ يَ ب َلَعَج

َكِلَذ ِي ّنِإ ًةََْْرَو ًة

َنوُرّكَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَيآ

“Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-isri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.4

Dengan demikian, perkawinan dalam islam bukan sekedar untuk

mendapatkan kepuasan seksual secara sah, tetapi perkawinan adalah lembaga

yang sangat penting dalam mengamankan hak-hak pria, wanita, dan anak-anak.

Sebagai konsekuensinya, Islam telah memberikan penekanan terhadap lembaga

perkawinan yang ditetapkan oleh Allah dalam rangka melindungi masyarakat.5

Dalam melaksanakan kehidupan suami-istri tentu saja tidak selamanya berada

dalam situasi yang damai dan tenteram tetapi kadang-kadang terjadi juga salah

paham antara suami-istri atau salah satu pihak melalaikan kewajibannya. Dalam

keadaan timbul ketegangan ini, kadang-kadang dapat diatasi adakalanya tidak

dapat didamaikan dan terus-menerus terjadi pertengkaran. Maka dari itu untuk

menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas maka agama islam

3 M. Idris Ramulya, Huk um Perk awinan, Huk um Kewarisan, Huk um Acara Peradilan Agama dan

Zak at (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 43.

4 DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Pers, t.t), 644.

5 Jamilah Jones & Abu Aminah BIlal Philips, Monogami Dan Poligami Dalam Islam (Jakarta: PT

(11)

3

mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar yang terakhir bagi suami-istri yang

sudah gagal untuk membina rumah tangganya lagi.6

Meskipun dalam islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti agama

islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu pernikahan. Putusnya hubungan

perkawinan suami istri tersebut, menimbulkan juga akibat hukum diantaranya

adalah tentang harta bersama antara suami istri tersebut.7

Sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan, pada pasal tersebut dijelaskan bahwa harta bersama

adalah harta yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan.8 Namun tidak

berarti kehidupan yang dilalui selama perkawinan merupakan harta bersama saja,

ada harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini berdasarkan pada Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 85 disitu menyatakan bahwa: “adanya harta bersama

dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

masing-masing suami-istri.9 Harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak,

benda bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa

hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak tidak

diperbolehkan menjual atua memindahkan harta bersama tersebut. dalm hal ini,

6 Soemiyati, Huk um Perk awinan Islam dan Undang-undang Perk awinan , 103-104. 7 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam , 227-228.

8 Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Huk um Perk awinan Di Indonesia (Jakarta: Bulan

Bintang, 1975), 86.

(12)

4

baik suami maupun istri mempunyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta

bersama.10

Mengenai penggunaan (tasharruf) harta bersama suami istri, diatur dalam

pasal 36 ayat (1) UU perkawinan sebagai berikut: “Mengenai Harta bersama

suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapaun

ayat (2) menjelaskan tentang hak suami atau istri untuk membelanjakan harta

bawaan masing- masing seperti pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Pengaturan lebih rinci diatur dalam pasal 88, 89, dan 90 Kompilasi Hukum

Islam ( KHI ) sebagai berikut:

Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) berbunyi:

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselelisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) berbunyi:

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.

Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam ( KHI )

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami ada padanya.

Isi pasal- pasal diatas merupakan penjabaran firman allah Q.S. An-Nisa’: 32:

…”

ِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

ا ا

َْبَسَتْك

”…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …”11

(13)

5

Apabila karena suatu hal, suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya

sementara suami sesungguhnya mampu, maka si istri dibenarkan mengambil harta

suaminya itu, untuk memenuhi kebutuhun diri dan anak-anknya secara ma’ruf .

Seperti penegesan Rasulullah S.AW. sehubungan laporan Hindun binti ‘Utbah

istri Abu Sufyan dalam hadis berikut:

ْتُع َتْنِب َدْنِ ّنَأ ,اَهْ نَع ها َيِضَر َةَشِئ اَع ُثْيِدَح

َةَب

ْتَلاَق

ْوُسَراَي :

اَبَا ّنِا ,ِها َل

ُس

ٌلُجَر َناَيْف

َوَو ِِْْيِفْكَياَم ْىِنْيِطْعُ ي َا ,ٌحْيِحَش

َااَم ّاِا ىِدِل

ْذَخ

ْنِم ُت

َا ِوُ َو ه

يِذُخ : َلاَقَ ف ,ُمَلْعَ ي

ِكَدلَوَو ِكْيِفْكَي اَم

( :ي يراخبلا هجرخأ( . ِفوُرْعَمْلاِب

69

( :تاقفنلاباتك )

9

م اذأ باب )

ذخأت نأ ةأرمللف لجرلا قفني

)فورعماب ا دلوو اهيفكي ام هملع رغب

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu’anhu, bahwa hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir, ia tidak memberi apa yang dapat mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang aku ambil dari dirinya sedangkan ia tidak mengetahuinya.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Ambillah apa yang dapat mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik (sesuai dengan kebutuhan, tidak lebih). (Disebutkan oleh Al-Bukhari pada Kitab Ke-69 Kitab Nafkah, bab ke-9 Bab Apabila seseorang Laki-laki Tidak Memberi Nafkah, Maka Istri Boleh Mengambil Tanpa Sepengetahuannya Apa yang Dapat Mencukupi Kebutuhannya dan Anaknya dengan Cara yang Baik)12

Jalan keluar atau alternatif yang diberikan Rasulullah Saw, kepada Hindun

tersebut, apabila tidak ditempuh, maka bunyi Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam

merupakan pilihan terakhir, yaitu istri mengajukan perkaranya ke Pengadilan

Agama. Pengadilan Agamalah yang nantinya, melalui persidangan yang dipimpin

hakim, yang akan menentukan dan menyelesaikan perselisihan diantara mereka.

Alasan hakim dalam menyelesaikan masalah tersebut untuk melindungi

kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan rumah tangga, istri, dan

12Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadits Shahih Buk hari Muslim, hadist ke-1115 ( Solo:

(14)

6

anaknya. Selain itu, juga untuk mengendalikan atau setidaknya mengurangi

kebiasaan suami atau istri, agar tidak melakukan perbuatan yang tidak disukai

oleh ajaran islam. Maka secara teknis, selama dalam masa penyitaan, untuk

mencukupi kebutuhan rumah tangga bersama, salah satu pihak dapat menjual

harta bersama tersebut, dengan izin Pengadilan Agama. Tentu saja, penggunaan

untuk kepentingan keluarga tersebut dilakukan secara ma’ru>f.

Jika suami istri terputus hubungannya karena perceraian, maka pembagian

harta bersama diatur berdasarkan hukumnya masing-masing. Ketentuan ini diatur

dalam Undang-undang perkawinan pasal 37, “Jika perkawinan putus karena

perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.13 Yang

dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah mencakup hukum agama,

hukum adat dan sebagainya.

Dalam hukum adat, ada perbedaan pendapat pembagian dalam harta,

diantaranya :14

1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usahanya

masing-masing. Harta ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak,

bila terjadi putusnya perkawinan kembali kepada masing pihak suami istri

2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai,

mungkin berupa usaha modal, atau berbentuk perabot rumah tangga atau

13 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian (Jakarta: Visimedia,

2003), hal. 39.

(15)

7

rumah tempat tinggal pasangan suami istri. Apabila putus perkawinanya maka

kembali kepada keluarga (orang tua) yang memberikan semula

3. harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi bukan karena

usahanya, misalnya karena hibah, wasiat atau kewarisan dari orang tua,

kelurga dekat maka pembagiannya kembali kepada keluarga asal apabila

perkawina terputus.

4. Sedangkan harta yag diperoleh sesudah berada dalam hubungan perkawinan

berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka

disebut Harta Pencaharian. Maka pembagiannya secara berimbang

segendong sepikul (jawa barat), dua berbanding satu (Jawa Timur), atau

mungkin sama banyaknya, dilihat dari sudut banyak sedikitnya atau besar

kecilnya usaha mereka suami istri masing- masing.

Dalam Hukum islam tidak membicarakan secara rinci tentang harta bersama.

Dalam hukum islam dijelaskan bahwa dalam perkawinan laki-laki berkewajiban

memberi nafkah kepada wanita dan keluarganya. Dan wanita wajib menjaga apa

yang telah diberikan laki-laki (suami) kepadanya dengan sebaik mungkin. Sekali

mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka

semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Demikian pula halnya

bilamana suami saja yang bekerja, berusaha dan mendapat harta, tidak dapat

dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami melainkan harta suami istri, hal ini

(16)

8

…”

ِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

ا ا

َْبَسَتْك

“…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …” 15

Tidak perlu diringi dengan adanya perkongsian antara suami istri (syirkah{),

sebab perkawinan dengan ijab qabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya

seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah dan I’llanun Nikah (Pemberitahuan

Perkawinan) sudah dianggap syirkah antara suami istri itu.16

Berdasarkan KHI pasal 97 dinyatakan bahwa, “ Janda atau duda cerai hidup

masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan

lain dalam perjanjian perkawinan”. Artinya dalam kasus perceraian jika ada

perjanjian perkawinan, penyelesaian pembagian harta bersama ditempuh

berdasarkan ketentuan di dalamnya. Jika tidak ada perjanjian perkawinan,

penyelesaiaanya berdasarkan pada ketentuan dalam pasal 97.

Mereka yang berpendirian bahwa harta bersama harus dibagi dua, tentulah

dengan dasar pemikiran yang wajar kalau saham suami istri itu dianggap sama

besarnya dalam proses pengumpulan harta bersama. Kompilasi Hukum islam

menetapkan setengah dari harta bersama adalah milik istri, manakala terjadi cerai

mati atau hidup.

Dasar Pemikirannya adalah kurang tepat mengukur bagian istri dalam hal-hal

tersebut dengan nilai saham istri dalam mengumpulkan harta bersama itu dengan

15Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 83.

(17)

9

keharusan hasil usaha nyata seperti halnya suami. padahal fungsi dan kedudukan

suami-istri adalah seimbang. Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah sekulum

senyum istri yang menyambut sang suami pulang dari pekerjaan mencari nafkah

telah merupakan modal yang tidak ternilai dalam menumbuhkan semangat kerja

sang suami. Hal itu merupakan saham sang istri yang tidak dapat dinilai dengan

uang dan harta. Maka, aneh kalau pembagian harta bersama diukur dengan ukuran

kongsi dalam perdangangan karena perkawinan dalam islam adalah Mi>s|a>qan

Gali>z}han, perjanjian hukum yang kokoh.17

Kenyataan lain terjadi di Pengadilan Agama Mojokerto dalam menyelesaikan

harta bersama antara Supriyono (Penggugat) melawan Titik wijayati (Tergugat).

Dalam putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr, hakim memutuskan bagian Titik

wijiati (Tergugat) 2/3 dan bagian Supriyono (Penggugat) 1/3. Dengan

pertimbangan kesusahan yang ditanggung oleh Tergugat yaitu memelihara dan

membiayai 2 orang anak-anak masing-masing berumur 17 tahun dan 13 tahun

tersebut yang sudah semestinya ditanggung oleh Penggugat. Sedangkan mengenai

tanggung jawab terhadap anak pasca perceraian dengan harta bersama adalah dua

hal yang berbeda. Apabila yang dimaksud pertanggungjawaban utang oleh suami

adalah ketika si mantan suami tidak bisa memenuhi kewajibannya berupa nafkah

anak pasca sudah diputusnya dalam perceraian dan diambilkan dari harta bersama

maka hal tersebut akan bertentangan dengan pasal 35 ayat (2) Undang-undang

No. 1 Tahun 1974. Mengingat nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu.

(18)

10

Pemeliharaan anak akibat terjadi perceraian dalam bahasa fikih disebut

dengan (had}a>nah ). Al-Shan’ani mengatakan bahwa had}a>nah adalah

memelihara seseorang anak yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan

memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan

mendatangkan madlarat kepadanya. Dalam Pasal 41 Undang-undang No. 1

Tahun 1974 dinayatakan:18

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak\ bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan member keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesutau kewajiban bagi bekas istri.

Disini terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat

material dan bertanggung jawab pengasuhan. Jika ketentuan Pasal 41

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bersifat material yang menjadi beban suami atau

bekas suami jika mampu.19

Pengadilan Agama sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 jo to No. 50 Tahun 2009, bahwa pengadilan Agama

sebagai tempat para pencari keadilan harus bisa memberikan rasa keadilan, dalam

(19)

11

hal ini adalah mantan suami maupun mantan istri pada kasus harta bersama. Ini

tertuang dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam bahwa “ Hakim dalam

menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan

dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.

Orang dapat menganggap bahwa keadilan adalah suatu hasrat naluri yang

diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Mengadopsi pendapat dari Aristoteles,

sebagaimana dikutip oleh Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan

Pengantar Tata Hukum Indonesia, mengemukakan bahwa keadilan yaitu “

memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Berbeda dengan

John Rawls, keadilan adalah Kejujuran (Fairness).

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis perlu mengkaji kembali

putusan hakim yang membagi harta bersama dengan pembagian 2/3 untuk istri

dan 1/3 untuk suami dengan alasan kelalaian tanggung jawab suami. Oleh karena

itu, penulis dalam skripsi ini akan menganalisa yang berjudul “Analisis Yuridis

Terhadap Putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA.Mr Tentang Pembagian Harta

Bersama Di Pengadilan Agama Mojokerto”.

B. Identikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

(20)

12

2. Ijtihad hakim dalam menangani kasus ini yang bertentangan dengan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menyelesaikan pembagian harta

bersama dalam putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr.

4. Relevansi pertimbangan dan dasar hukum hakim pembagian harta bersama

dalam putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan

Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229

Kompilasi Hukum Islam.

Berangkat dari identifikasi masalah tersebut, penulis perlu membatasi masalah

yang akan diteliti dengan tujuan agar penulis dapat mencapai sasaran penelitian

dan tidak terjadi kesimpang siuran dalam menginterprestasi masalah yang ada.

Adapun masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu :

1. Pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam menetapkan putusan No.

0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr.

2. Relevansi pertimbangan dan dasar hukum dalam menetapkan No. 0042/Pdt.

G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan pasal 45 UU No. 1 Tahun

1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, dapat

(21)

13

1. Bagaimana pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam menetapkan putusan

No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA. Mr tentang pembagian harta bersama di

Pengadilan Agama Mojokerto?

2. Bagaimana Relevansi pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam

menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA. Mr dengan pasal 35, pasal

41, dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156,

dan 229 Kompilasi Hukum Islam ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini pada dasarnya untuk mengetahui

perbedaan dari penelitian sebelumnya.

Permasalahan tentang pembagian harta bersama sesunggunhnya telah banyak

di bahas, diantaranya :

1. Skripsi yang disusun oleh Nanang Ahmadi (2002) yang berjudul studi

analisis atas kasus No. 283/Pdt.g/1992/PA. Pas Tentang Ketidakadilan

Hakim dalam Proses Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Hukum Islam

dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989”. Dalam skripsi ini pokok kajiannya

tentang tata cara pembagian harta bersama dalam perkawinan, hendaknya

ditaksir terebih dahulu berapa harga harta yang ada dan ditanyakan dulu

mana harta bawaan masing-masing untuk memudahkan hakim dalam

menentukan bagian masing-masing agar tidak ada pihak yang dirugikan,

(22)

14

tidak adil ini yang disebabkan kurang cermatnya dalam memeriksa kasus

menghasilkan keputusan yang merugikan salah satu pihak, lebih-lebih pihak

yang lebih besar penghasilannya. Dan ini merupakan suatu sikap yang

menyalahi perundang-undangan yang ada.20

2. Skripsi yang disusun oleh Nur Salamah (2000) yang berjudul, “ Eksekusi

Putusan Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Gresik”. Dalam

skripsi ini pokok kajiannya tentang ekseskusi putusan pembagian harta

bersama ketika terjadi perceraian telah sesuai dengan hukum acara peradilan

agama, hanya saja pada pemanggilan peringatan yang tidak dihadiri oleh

termohon eksekusi tanpa alasan yang patut, masih dilakukan pemanggilan

ulang dengan alasan prikemanusiaan.21

3. Skripsi yang disusun oleh lilik Nafisah (2013), yang berjudul, “Analisis

Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Pengadilan Agama No: 238/ Pdt. G/

2009/ PA. Lmg oleh PTA No. 124/ Pdt. G/ 2011/ PTA. SBY tentang

Pembuktian dalam Perkara Harta Bersama”. Dalam skripsi ini pokok

kajiannya tentang sengketa harta bersama yang berupa tuntutan harta bersama

yang diperoleh selama perkawinan baik berupa barang bergerak atau tidak

bergerak. Disamping itu juga mempunyai tanggungan berupa hutang kepada

pihak ketiga. Berdasarkan kesepkatan Majelis Hakim maka PTA Surabaya

20 Nanang Ahmadi, Analisis atas Kasus No. 283/Pdt.g/1992/PA. Pas Tentang Ketidak adilan Hak im

dalam Proses Pembagian Harta Bersama Berdasark an Huk um Islam dan Undang -Undang No. 7 Tahun 1989, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002).

(23)

15

telah memisahan sengketa harta bersama dengan tanggungan yang berupa

hutang bersama tersebut. Tanggungan yang telah didalihkan oleh tergugat itu

juga merupakan tanggungan penggugat dan tergugat. Jadi bukan hanya harta

bersama saja yang dipersengketakan tetapi tanggungan hutang juga

merupakan sengkera harta bersama. Majelis Hakim PTA mengabulkan gugatn

penggugat tentang sengketa harta harta bersama karena menurut pasal 89-90

dan pasal 92 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jadi sengketa harta bersama

disini bukan hanya harta benda saja, akan tetapi jika memiliki hutang selama

perkawinannya juga merupakan harta bersama dan harus diselesaikan bersama

pula. Tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu sebagaimana pada pasal 165

HIR dan Pasal 1865 BW. 22

4. Skirpsi yang disusun oleh Zulfa Aminatuz Zahro’ (2014), yang berjudul,

Analisis Yuridis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan

Harta Bersama tanpa adanya Perceraian di PA Malang (studi kasus Perkara

No. 2198/ Pdt. G/ 2012/ Pa. Mlg). Dalam skirpsi ini pokok kajiannya tentang

pembagian harta bersama itu hanya bisa ditetapkan ketika terjadi perceraian

sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

Pasal 66 ayat 5 dan pasal 86 ayat (1) dan berdasarkan buku pedoman

pelaksanaan tugas dan adiministrasi Peradilan Agama yang dikeluarkan oleh

MA RI dan dirjen Peradilan Agama yang menyatakan “ pembagian harta

22 Lilik Nafisah, Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan PA No. 2368/ Pdt.G/ 2009/ PA. Lmg

(24)

16

bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian”. Jadi hanya

dapat dilakuakan penyitaan saja dalam hal perkara permohonan izin poligami

yang fungsinya untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan

keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab tanpa

dilakukan pembagian harta bersama. Dan dari ke tiga hakim yang

diwawancarai memberikan pendapat hampir sama bahwa penetapan harta

bersama merupakan keharusan dalam perkara izin poligami karena telah

menjadi hukum acara sejak berlakunya buku II Pedoman Administrasi

Peradilan Agama Revisi 2010. 23

5. Skripsi yang disusun oleh M. Sapuan ( 2009 ), yang berjudul, “ Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Sengketa Harta Bersama ( Studi Putusan Pengadilan

Agama Yogyakarta Nomor160/Pdt. G/ 2005/ PA. Yk). Dalam skripsi ini pokok

kajiannya tentang pertimbangan hakim yang membagi harta bersama yang

sesuai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Bukti-bukti yang diajukan

penggugat dan berdasarkan pengakuan tergugat dipersidangan menguatkan

gugatan penggugat. Selain itu juga, dalam penyelesaian pembagian harta

bersama ini hakim juga langsung melihat obyek sengketa. Dalam

23Zulfa Aminatuz Zahro’, Analisis Yuridis Terhadap Dasar Pertimbangan Hak im dalam Menetapk an

(25)

17

peninjauannya hakim menemukan fakta-fakta yang menguatkan gugatan

penggugat.24

Secara umum, pembahasan dalam skripsi yang telah disebutkan di atas

membahas masalah harta bersama. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti

lebih lanjut mengenai harta bersama dari segi Yuridis tentang asas keadilannya.

penelitian ini juga memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya,

antara lain:

1. Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto yang

sebelumnya belum pernah di bahas.

2. Dalam penelitian ini mengkaji dengan menggunakan “Analisis Yuridis

Putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama

Di Pengadilan Agama Mojokerto.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dirumuskan diatas, pembahasan ini

bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan

putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr tentang pembagian harta bersama di

Pengadilan Agama Mojokerto.

24M. Sapuan, Tinjauan Huk um Islam Terhadap Sengk eta Harta Bersama ( Studi Putusan Terhadap

(26)

18

2. Mengetahui Relevansi pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam

menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41,

dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan

229 Kompilasi Hukum Islam.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan mempunyai nilai guna dan dapat

bermanfaat, sekurang-kurangnya dalam dua hal di bawah ini:

1. Kegunaan teoretis : untuk mengembangkan khazanah intelektual pada

umumnya dalam rangka menambah wawasan tentang pembagian harta

bersama terutama yang mempunyai relevansi dengan skripsi ini.

2. Kegunaan praktis : untuk bahan pertimbangan dan Menambah wawasan

dengan menerapkan teori dan praktek dalam lingkungan Pengadilan Agama

dan juga sebagai sumbangan informasi kepada masyarakat yang memerlukan.

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap skripsi ini, maka penulis

menganggap perlu untuk menjelaskan maksud dan istilah dalam penelitian ini,

diantaranya :

Yuridis : peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974

(27)

19

Harta Bersama : harta yang diperoleh oleh suami-istri selama

perkawinan. Tanpa mempersoalkan atas nama

siapapun kecuali hibah atau warisan.

Putusan Pengadilan Agama Mojokerto No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr

: putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama

Mojokerto untuk memutuskan perkara pembagian

harta bersama ( harta gono-gini) antara Supriyono

(penggugat) melawan Titik Wijayanti (Tergugat)

bahwasanya selama proses perceraian sampai sekarang

sudah menanggung beban pengusahan dan biaya hidup

anak yang mestinya ditanggung oleh penggugat

sehingga hakim memutuskan istri mendapatkan bagian

lebih besar dari pada suami dengan dasar yang

digunakan adalah asas keadilan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk mencari,

mencatat, merumuskan dan menganalisis suatu yang diteliti sampai menyusun

laporan. Dalam metode penelitian ini penulis mencantumkan antara lain :25

1. Data yang dikumpulkan

(28)

20

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang

pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan harta bersama PA

Mojokerto Nomor: 0042/Pdt. G/2016/PA. Mr.

2. Sumber data

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini terdiri atas :

a. Sumber Data primer

Sumber data primer adalah sumber yang bersifat utama dan penting

yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang

diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.26 Dalam hal ini adalah data

yang diperoleh dari berkas putusan hakim mengenai harta bersama nomor

perkara 0042/ Pdt. G/ 2016/ PA. Mr.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan

mengenai bahan primer.27 Penulis menggunakan wawancara sebagai data

sekunder karena wawancara dapat menunjang dan mendukung data

primer. Wawancara dalam penelitian ini adalah majelis hakim yang

menangani perkara harta bersama nomor 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr.

Majelis hakim dalam hal ini adalah Bapak H. Ali Hamdi, S.Ag, M.H

sebagai ketua Majelis. Drs. H. Ah. Thoha, S.H, M.H dan H. Sofyan Zefri,

S.HI, M.Si sebagai Hakim Anggota.

(29)

21

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode sebagai berikut:28

a. Metode interview, yaitu termasuk bentuk komunikasi langsung antara

peneliti dengan Ketua Pengadilan Agama atau Hakim Pengadilan Agama

Mojokerto dan Sekretaris Pengadilan Agama Mojokerto.

b. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara mempelajari berkas perkara dan

mengambil data yang diperoleh melalui dokumen atau data tertulis

tersebut. dalam hal ini dokumen terkait putusan Pengadilan Agama

Mojokerto Nomor: 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul baik dari lapangan maupun dari pustaka, diolah

dengan menggunakan teknik :29

1) Editing, yaitu memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi

yaitu, kesusuian, kelengkapan, kejelasan, relevansi dan keseragaman

dengan permasalahan.

2) Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sehingga menghasilkan

bahan untuk menyususun laporan skirpsi ini.

5. Teknik Analisis Data

(30)

22

Sesuai dengan arah studi yang dipilih maka teknik analisis data yang

digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif analisis

dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan secara sistematis mengenai

penetapan gugaatan harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto No.

0042/Pdt, G/2016/PA. Mr, sehingga menghasilkan pemahaman yang konkrit,

kemudian dikemukakan teori-teori yang bersifat umum tentang harta bersama

dan undang-undang yang berlaku untuk selanjutnya di terapkan di pola khusus

berupa data yang diperoleh dari penetapan putusan Hakim terhadap gugatan

bersama di Pengadilan Agama Mojokerto Nomor: 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr.

yang menetapkan bagian istri mendapatkan lebih besar karena kelalaian

tanggung jawab suami dalam pembagian harta bersama tersebut.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi ini maka

penulis akan menguraikan pembahasan ini kedalam beberapa bab yang

sistematika pembahasannya sebagai berikut:

Bab pertama merupakan penduhuluan yang berisikan tentang latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan landasan teori yang membahas tentang harta bersama

(31)

23

macam-macam harta dalam lembaga hukum, pembagian harta bersama. Serta

tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian.

Bab ketiga merupakan data hasil penelitian yang menjelaskan tentang

struktur organisasi Pengadilan Agama Mojokerto, wilayah kekuasaan Pengadilan

Agama Mojokerto, duduk perkara dan landasan hukum yang dipakai Hakim

Pengadilan Agama Mojokerto dalam putusan No. 0042/Pdt. G/2016/PA.Mr.

Bab Keempat merupakan kajian analisis atau jawaban dari rumusan

permasalahan dalam penelitian ini meliputi, analisis terhadap pertimbangan dan

dasar hukum hakim Pengadilan Agama Mojokerto dalam putusan No. 0042/Pdt.

G/2016/PA.Mr dan relevansinya dengan pasal 35, pasal 45, pasal 47 dan pasal 49

UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 98, pasal 105, pasal 106 dan 226

Kompilasi Hukum Islam.

Bab lima merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari jawaban

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA, PEMELIHARAAN ANAK (HAD{ONAH) DAN ASAS ULTRA PETITA PARTIUM

A. Pengertian Harta Bersama

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Harta bersama

adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak

perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya

perkawinan akibat perceraian, kematian atau putusan pengadilan.

Harta bersama meliputi:

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian, atau warisan apabila

tidak ditentukan demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yag

merupakan harta pribadi masing-masing suami-isteri.1

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama

terdiri dari dua kata yaitu, harta dan bersama.2 Harta adalah barang-barang,

uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Sedangkan bersama adalah

seharta, semilik. Jadi, pengertian harta bersama menurut terminologis adalah

1 Rosnidar Sembiring, Huk um Keluarga (harta-harta benda dalam Perk awinan), ( Jakarta: Rajawali

Pers, 2016), 91

(33)

26

barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh

suami-isteri secara bersama-sama dalam perkawinan.

Menurut pasal 35 ayat (1) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

bahwa harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang

diperoleh suami-isteri sepanjang perkawinan sehingga yang termasuk harta

bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan isteri.3

Dalam istilah Fikh muamalat, harta bersama dapat dikategorikan dengan

Syirkah atau join antara suami isteri. Syirkah menurut bahasa adalah

al-ikhtilat (percampuran), sedangkan menurut istilah adalah akad anatara 2

orang arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. 4Secara umum,

beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian, sedangkan istri sebagai

rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi

rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan tuntutan

perkembangan, istri juga dapat melakukan pekerjaan yang mendatangkan

kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan ke dalam syirkah al-abdan, modal

dari suami, istri andil jasa dan tenaganya. Yang kedua, dimana masing-masing

mendatangkan modal, dikelola bersama, disebut dengan syirkah ‘inan.

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah

semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan

(34)

27

perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan

yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta peninggalan sendiri, harta

pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah.

Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat

dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami isteri bersangkutan.5

Sesungguhnya harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang

dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup

sehari-hari suami isteri dan anak-anaknya didalam satu “somah” (serumah).6

Dalam hukum adat yang berlaku di beberapa lingkungan hukum daerah

tertentu, meski secara materiil dikenal harta masing-masing suami atau isteri

dan harta bersama, istilah yang digunakan berbeda-beda. Di jawa misalnya

harta benda yang diperoleh sebagai warisan atau turun-temurun, disebut

dengan harta gono-gini atau gawan, di sumatera disebut pusaka, dan di

Sulawesi disebut sisila. Harta tersebut tidak dapat dibagi secara

perseorangan.7

Jadi, tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui

persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami isteri

selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut

5 Hilman Hadikusumo, Huk um Perk awinan adat, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), 156. 6 Ibid.

(35)

28

diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian

juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah mejadi

harta bersama, tidak menjadi masalah juga apakah istri maupun suami

mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus

didaftarkan.

B. Dasar Hukum Harta Bersama

Perkawinan yang dilangsungkan antara suami isteri memiliki 3 (tiga)

akibat hukum, yaitu: pertama, akibat dari hubungan suami isteri. Kedua,

akibat terhadap harta perkawinan; dan ketiga, akibat terhadap anak yang

dilahirkan. Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena

salah satu faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau

tidaknya kehidupan rumah tangga terletak pada harta benda. Walaupun

kenyataan sosialnya menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah

tangga bukan disebabkan harta benda, melainkan faktor lain. Harta benda

merupakan penopang dari kesejahteraan tersebut.8 Hukum harta bersama

sering kali kurang mendapat perhatian yang saksama dari para ahli hukum,

terutama para praktisi hukum yang semestinya harus memperhatikan hal ini

secara serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat

besar pengaruhnya dalam kehidupan suami isteri apabila ia telah terjadi

perceraian. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini

(36)

29

biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami isteri, atau pada saat

proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama, sehingga timbul

berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya

menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.9

Pada dasarnya tidak ada pencampuran harta kekayaan dalam perkawinan

antara suami isteri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat

istiadat atau tradisi yang berkembang di Indoensia.10 Yang kemudian konsep

ini didukung oleh Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Negara

Indonesia.

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui

Undang-Undang dan peraturan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 31 ayat (1)

disebutkan bahwa yang dimasksud dengan harta bersama adalah “harta

benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan

yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta

bersama.

2. Kompilasi Hukum Islam pasal 85 disebutkan bahwa, “adanya harta

bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya

harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan

9 Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata, (Jakarta: Kencana, 2006), 103.

(37)

30

adanya harta bersama dalam perkawina, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.

Sedangkan dalam Hukum islam tidak membicarakan secara rinci tentang

harta bersama. Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab

hukum fiqh, harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya

seolah-olah harta bersama kosong dan vakum dalam hukum islam. Namun dalam

hukum islam dijelaskan bahwa dalam perkawinan laki-laki berkewajiban

memberi nafkah kepada wanita dan keluarganya. Dan wanita wajib menjaga

apa yang telah diberikan laki-laki (suami) kepadanya dengan sebaik mungkin.

Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri

maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Demikian

pula halnya bilamana suami saja yang bekerja, berusaha dan mendapat harta,

tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami melainkan harta

suami istri, hal ini sebagaimana termaktub dalam firman allah Q.S. An-Nisa’:

32

… “

َْبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

“…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …”

C. Konsepsi Harta Bersama 1. Berdasarkan hukum adat

Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk

(38)

31

dapat digolongkan ke dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah

ini:11

a. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan,

yaitu “harta bawaan”.

Dalam hal ini harta bawaan ini dapat dibedakan antara harta

bawaan suami dan harta bawaan isteri, yang masing-masing masih

dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta

hibah/wasiat. Dan harta pemberian/hadiah.

a) Harta peninggalan adalah harta harta atau barang-barang yang

dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal

dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan

pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris

bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi

kepada setiap ahli waris. Para ahli waris hanya mempunyai hak

memakai, seperti haknya “ganggam bauntui” terhadap harta

pusaka di Minangkabau atau juga di Ambon.

Di daerah Lampung beradat pepaduan didalam perkawinan

anak tertua lelaki (“anak punyimbang”) akan selalu diikut sertakan

dengann harta peninggalan orang tua untuk mengurus dan

membiayai kehidupan adik-adiknya. Demikian pula dengan

kedudukan seorang isteri sebagai “tunggu tubing” di daerah

(39)

32

Semendo. Apabila harta peninggalan itu karena sesuatu kebutuhan

hidup yang mendesak akan dijual, maka yang menguasai harta

harus meminta pendapat dan persetujuan dari ahli waris yang

lain.12

b) Harta warisan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang

yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang

berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki

secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga

(“pimbit”, Daya Ngaju; “sisila”, Ujungpandang; “babaktan”, Bali;

“gawan”, “gana”, Jawa; dll.).

Barang-barang bawaan isteri berasal dari pemberian

barang-barang warisan orang tuanya seperti “sesan” di Lampung, didalam

bentuk perkawinan jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh

suami untuk dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah

tangga keluarga.13

Di daerah Pasemah harta asal warisan yang diikutsertakan

orangtua pada mempelai wanita ke dalam perkawinan nampaknya

tetap menjadi hak penguasaan dan pemilikan isteri untuk

diwariskan pada anak-anaknya. Jika ia meninggal sebelum

mempunyai keturunan maka barang bawaan ini dapat diwarisi oleh

(40)

33

suaminya, tetapi jika bercerai maka barang-barang itu dibawanya

kembali ke tempat asalnya. Di daerah lampung dan Batak yang

melarang terjadinya perkawinan perceraian dari suatu perkawinan

jujur, amak isteri tidak berhak membawa kembali barang-barang

pemberian orang tua dan erabatnya yang telah masuk daam

perkawinan. Apabila kerabat isteri meminta kembali

barang-barang bawaan itu, berarti menghendaki pecahnya hubungan

kekerabatan antar besan, maka uangjujur harus juga dikembalikan

lagi. Apabila hal ini sampai terjadi maka pertentangan akan terjadi

berlarut-larut, dan kerabat bersangkutan dapat didenda oleh

masyarakat adat dikarenakan merusak adat.14

c) Harta hibah/wasiat yang dimaksud disini adalah harta atau

barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan

yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat, misalnya

hibah/wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunanya putus.

Harta bawaan hibah/wasiat ini dikuasai oleh suami atau isteri yang

menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah

tangga dan lainnya sesuai dengan “amanah”, Lampung, “weling”,

Jawa) yang mempunyai harta itu. Harta hibah/wasiat ini kemudian

(41)

34

dapat diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum

adat setempat.15

d) Harta pemberian/hadiah adalah harta/barang-barang yang dibawa

oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari

pemberian/hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang

lain karena hubungan baik. Misalnya ketika akan melangsungkan

perkawinan anggota kerabat member mempelai pria ternak untuk

dipelihara guna bekal kehidupan rumah tangganya, atau anggota

kerabat wanita memberi mempelai wanita barang-barang perabot

rumah tangga untuk dibawa kedalam perkawinan sebagai barang

bawaan (“sesan”, Lampung).16

Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang

dikuasai atau dimiliki suami istrei yang berasal dari warisan

terpisah kedudukannya dari yang berasal dari hibah, sampai

barang-barang tersebut dapat diteruskan pada anak-anak mereka.

Oleh karena kedudukan barang warisan itu adalah hak penguasaan

dan pemilikan suami atau istrei bersangkutan dalam hubungan

dengan pewarisnya. Jadi jika suami dan isteri putus perkawinan

karena salah satu wafat atau karena cerai hidup tanpa

meninggalkan anak, maka harta bawaan asal warisan itu harus

(42)

35

kembali keluarga asal, sedangkan harta bawaan asal hibah akan

dikuasai oleh ahli waris dari yang wafat.17

Pendapat demikian tentunya tidak sesuai dengan kedudukan

harta perkawinan dalam susunan masyarakat adat yang patrinial

yang menganut adat perkawinan jujur seperti yang berlaku

dikalangan masyarakat adat lampung pepadun, oleh karena disini

pada dasarnya baik isteri maupun harta bawaannya setelah masuk

dalam ikatan perkawinan manejadi milik bersama yang dikuasai

oleh suami dan diatur serta dimanfaatkan bersama dengan isteri.

Tegasnya dikalangan masyarakat lampung beradat pepadun tidak

dibolehkan adanya cerai isteri dan cerai harta perkawinan. Begitu

pula sebaliknya dalam susunan kekarabatan matrinial dengan

bentuk perkawinan semenda pada dasarnya semua harta

perkawinan itu dikuasai isteri dan dimanfaatkan bersama-sama

dengan suami.18

Ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur dengan suami

mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya

(“Tanoh sesan”, Lampung; ‘Tano atau Saba Bangunan”, “Tano

Pauseang” atau “indahan arian”, Batak). Barang tetap seperti ini

walaupun sudah menjadi barang bawaan, namun oleh karena

(43)

36

letaknya masih ditempat kerabat isteri, maka pengawasannya

masih dipengaruhi oleh kekuasaan kerabat isteri. Dengan demikian

penguasaan suami atas tanah tersebut masih dibatasi oleh

kekuasaan kerabat isteri.19

b. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istrei secara perseorangan

sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”.

Adakalanya suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan

telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa

barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat mereka dari hasil

usaha dan tenaga fikiran sendiri, termasuk juga hutang piutang

perseorangannya. Adanya harta atau barang hasil usaha sendiri ini

tidak saja terdapat di kota-kota dikalangan anggota masyarakat yang

telah maju, tetapi juga terdapat dikalangan masyarakat tani di daerah

pedesaan. Harta peninggalan pribadi ini terlepas dari pengaruh

kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas

harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah denga para anggota

kerabat yang lain.20

Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi isteri akan

bertambah dengan adanya pemberian barang-barang dari suami

sebagai “pemberian perkawinan”, seperti “jiname” di Aceh, “hook” di

(44)

37

Minahasa atau “sunrang” di Sulawesi Selatan, serta “mas kawin” pada

umumnya berlaku dikalangan masyarakat beragama islam; termasuk

pemberian-pemberian yang bersifat peibadi lainnya dan juga mungkin

“barang-magis” atau “denda adat” yang harus dibayar suami kepada

isteri, seperti terdapat di Kalimantan.21

Di daerah Sumatera selatan harta kekayaan penghasilan suami

sebelum perkawinan disebut “harta pembujangan”, sedangkan harta

isteri sebelum perkawinan disebut “harta penantian”. Di bali agaknya

tidak dibedakan apakah hasil isteri atau suami sebelum perkawinan,

kesemuanya disebut “guna kaya”. Di Aceh setelah perkawinan

adakalanya suami mendapat penghasilan sendiri dari hasil usahanya

sendiri, terpisah dari harta pencaharian, apabila dalam ia berusaha itu

isteri tidak memberikan dasar modal-kebendaan, misalnya hasil yang

didapat dari pergi merantau berdagang, yang ketika kepergiannya itu

tanpa dibekali modal dari istreinya.22

Di jawa Tengah dalam bentuk perkawinan “manggih kaya” semua

hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan

milik suami itu sendiri, oleh karena suami seorang kaya sedangkan

istrei miskin. Walau[un istrei ikut membantu suami dalam

(45)

38

melaksanakan uasaha itu, tetapi ia tidak berhak atas penghasilannya, ia

hanya kan mendapat pemberian dari suami atas dasar belas kasih.23

c. Harta yang diperoleh/dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama

perkawinan, yaitu “harta pencaharian”.

Setelah perkawinan dalam usaha suami isteri membentuk dan

membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka

berusaha dan mencari rezeki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja

sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil

pencaharian bersama, yang dalam hal ini kita sebut dengan “harta

pencaharian”. Tidak merupakan persoalan apakah dalam mencari harta

kekayaan itu, suami aktif bekerja sedangkan isteri mengurus rumah

dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat suami isteri itu

adalah hasil pencaharian mereka yang berbentuk, “harta bersama

suami isteri” (“harta suarang”, Minangkabau; “harta perpantangan”,

Kalimantan Selatan; “Cakkara”, Bugis Ujungpandang, “druwe gabro”,

Bali; “barang gini”, “gana-gini”, Jawa; “guna kaya”, sunda;).24

Adakalanya dalam melaksanakan usaha bersama suami isteri

mencari hasil pencaharian mereka bersifat saling bantu mebantu,

misalnya suami mencangkul, isteri menanam bibit; suami berbelanja

mencari barang dagangan, isteri menunggu di took dll. Atau bukan

(46)

39

saja bantu membantu tenaga melainkan saling memasukkan modal

kerja yang mungkin berasal dari harta bawaan mereka masing-masing,

guna mendapatkan keuntungan dari usaha bersama itu. Di dalam

melaksanakan usaha dan memanfaatkan harta pencaharian selanjutnya

suami isteri bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan

bersama. Keputusan yang diambil oleh suami tisak semua harus

dianggap telah disepakati isteri, oleh karena keputusan suami dapat

ditolak oleh isteri dengan nyata dikarenakan ia tidak setuju.25

Jadi, menurut hukum adat ada kemungkinan isteri ikut bertanggung

jawab atas hutang suami, bahkan adakalanya anggota kerabat yang

lain ikut pula menanggung hutang itu, tetapi kebanyakan juga berlaku

isteri tidak dapat diikut sertakan bertanggung jawab atas hutang suami

yang tidak diketahui dan disetujuinya. Di lingkungan masyarakat adat

kekerabatan yang kuat pengaruhnya hutang suami atau hutang isteri

merupakan hutang bersama, sedangkan di lingkungan masyarakat adat

yang tidak bersendikan kekerabatan hal itu perlu ada pemisahan.

d. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan

sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.

Semua harta asal pemberian ketika upacara perkawinan

merupakan hadiah perkawinan, baik yang berasal dari pemberian para

anggota kerabat maupun bukan anggota kerabat. Tetapi dilihat dari

(47)

40

tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu, maka harta hadiah

perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai pria,

yang diterima oleh mempelai wanita dan yang diterima kedua

mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.26

Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara

perkawinan, misalnya berupa uang, ternak dll., dapat dimasukkan

dalam harta bawaan suami, sedangkan yang diterima mempelai wanita

sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan isteri. Tetapi

semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai duduk

bersanding dan menerima ucapan selamat dari para hadirin adalah

harta bersama kedua suami isteri, yang terlepas dari pengaruh orang

tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan

hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.27

Hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk

dimanfaatkan kedua suami isteri dalam pergaulan adat dan atau untuk

dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga.

Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat

ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersama suami isteri. Di

(48)

41

daerah-daerah lain barang-barang hadiah perkawinan bercampur

dengan harta pencaharian.28

Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami

kepada isteri pada saat pernikahan yyang dalam hal ini merupakan

“pemberian perkawinan suami”, seperti “jinamee” (Aceh), “sunrang”

(Sulawesi Selatan) atau “Hoko” (Minahasa) begitu pula pemberian

perhiasan dari suami kepada isteri di Tapanuli, maka kedudukan

pemberian suami ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik

dari isteri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang

tersebut tanpa ada persetujuan dari isteri.

2. Berdasarkan hukum islam dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta bersama diartikan sebagai

harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka terikat

oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta

bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara

suami isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang

lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.29

Di dalam kitab-kitab fiqih bab khusus tentang pembahasan syarikat

yang sah dan yang tidak sah. Di kalangan madzah Syafi’I terdapat empat

28 Ibid., 166.

(49)

42

macam yang disebutkan harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan

syirkat ), yaitu :30

(1) Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu,

misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan

keuntungannya untuk mereka.

(2) Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing

mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upahnya)

untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti

tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu, dan kegiatan

seperti menghasilkan lainnya.

(3) Syarikat muwafadhoh, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih

untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya

masing-masing di antara mereka mengeluarkan modalnya, menerima

keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan

tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain;

(4) Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta,

yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada

mereka.

(50)

43

Terhadap pembagian harta syarikat sebagaimana tersebut diatas,

hanya syarikat ‘inan yang disepakati oleh semua pakar hukum islam,

sedangkan tiga syarikat lainnya masih diperselis

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengaman rumah ini memiliki beberapa bagian penting untuk mengamankan rumah seperti sensor ultrasonic sebagai pendeteksi, alarm, modem wavecom dan kamera CCTV

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul penggunaan LKS komik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa

Mulyadi (2010:18) Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi, yang

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Pengujian ketiga variabel bebas X (NPL, LAR, dan LDR) berpengaruh signifikan terhadap variabel Keputusan Pemberian Kredit (Y) sehingga hipotesis yang diajukan terbukti.

Penelitian dan data terkait faktor risiko terhadap status kontrol glikemik pada kehamilan dengan DM masih sangat jarang, sedangkan mema-hami faktor risiko status

Hasil analisis terhadap sektor industri pengolahan di Provinsi Jambi menemukan bahwa: 1) Industri pengolahan yang memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan terbesar

Pengembangan sumber energi memerlukan waktu yang cukup lama serta biaya yang besar, maka perlu dilakukan dengan perencanaan yang baik serta ditopang dengan kebijakan dibidang