IMPLIKASI HIJAB TERHADAP AKHLAK MUSLIMAH MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan kepada
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
MARIYATUL KHIBTIYAH D01212030
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Mariyatul Khibtiyah (D01212030), Implikasi Hijab terhadap Akhlak Muslimah
menurut Murtadha Muthahhari , Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Keyword: Implikasi, Hijab, Akhlak Muslimah, Murtadha Muthahhari.
Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab, dan bagaimana implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap akhlak muslimah.
Pelaksanaan penelitian pada skripsi ini dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan fokus
penelitiannya adalah implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut Murtadha
Muthahhari yang membahas tentang pengaruh batasan-batasan prilaku seorang
muslimah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode tematik.
Hasil analisis tentang implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut
Murtadha Muthahhari setelah diadakan kajian penelitian menunjukkan bahwa hijab
memiliki dampak positif terhadap akhlak seseorang. Hijab dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat diantaranya: menjaga kehormatan diri, kesopanan mengendalikan hawa nafsu, mengajarkan hidup secara sederhana, mendidik rasa malu. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan berhijab dengan batas-batas yang telah disebutkan diatas, hal ini menyebabkan penghormatan yang lebih besar, sehingga dapat menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ... 7
1.5. Penelitian Terdahulu ... 8
1.6. Definisi Operasional ... 10
1.7. Metodologi Penelitian... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi Hijab ... 23
2.2. Alasan Perkembangan Hijab dalam Islam ... 27
2.3. Batas Hijab Dalam Islam ... 31
2.4. Definisi Akhlak... 35
2.5. Pembagian Akhlak ... 39
2.5.1. Akhlak Terhadap Allah... 40
2.5.2. Akhlak Terhadap Manusia ... 43
2.5.3. Akhlak Terhadap Lingkungan ... 45
2.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak 55
BAB III BIOGRAFI SOSIAL MURTADHA MUTHAHHARI 3.1. Daftar Riwayat Hidup Murtadha Muthahhari ... 62\
3.2. Daftar riwayat pendidikan ... 64
3.3. Karir Murtadha Muthahhari... 66
3.4. Karya-karya Murtadha Muthahhari ... 71
3.5. Pemikiran-Pemikiran Murtadha Muthahhari ... 75
MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI
4.1. Definisi hijab menurut Murtadha Muthahhari ... 79
4.2. Implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut Murtadha
Muthahhari... 86
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ... 109
5.2. SARAN ... 110
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk hamba-Nya dengan
perantaraan Muhammad SAW, yang berisi petunjuk dan pelajaran untuk
pegangan hidup agar berbahagia di dunia-akhirat. Islam datang untuk
mematahkan ikatan dan kendala-kendala yang menjerat masyarakat saat itu di
dalam segala bidang, di antaranya adalah persoalan wanita.
Islam menganjurkan wanita untuk berhijab, sebagaimana difirmankan
dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59.
Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:" Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi maha
penyayang.1
Ayat di atas menuntut kaum wanita untuk mengulurkan jilbabnya ke
tubuh pada waktu keluar rumah supaya mereka berbeda dari wanita budak dan
tidak seorangpun yang mengganggu mereka.
2
Ayat-ayat yang berhubungan dengan hal ini tidak merujuk kepada kata
hijab. Ayat-ayat yang merujuk kepada masalah ini, yaitu surat An-Nur ayat 32
dan surat Al-Ahzab ayat 33 dan ayat 53. Kedua surat di atas telah menyebutkan
batasan penutup dan kontak-kontak antara laki-laki dan wanita tanpa
menggunakan kata hijab.2 Ayat yang menggunakan kata hijab merujuk istri-istri
Nabi s.a.w. adalah ayat-ayat yang menjadi khalab dari ayat-ayat tersebut.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka menyeru
kebangkitan wanita melalui permissivisme (serba boleh) tanpa memperdulikan
nilai-nilai akhlak. Keadaan semacam ini membuat para wanita merasa berhak dan
bebas melakukan segala aktivitasnya, salah satu contonya ialah dengan
mengumbar auratnya di tempat umum.
Pada dasarnya aurat adalah sesuatu yang malu bila dilihat. Menurut
pandangan Islam aurat adalah sesuatu yang haram di tampakkkan karena aurat
bisa memancing hafsu birahi. Daya tarik aurat tak jarang seseorang
mendewakannya dan tak jarang seseorang hancur kariernya karena aurat. Bila
aurat bebas terbuka dan berjalan kemana-mana, maka tunggulah hancurnya mala
petaka hidup.
Pada saat ini manusia mengalami suatu masalah yang tidak menghiraukan
nilai-nilai moral, sehingga menimbulkan kehidupan yang serba permissiv atau
2 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah
3
serba boleh, yang ditandai adanya akibat munculnya aborsi, pornografi, dan
sebagainya.
Selain itu salah satu faktor ialah Budaya barat yang telah merambah di
kalangan generasi Islam, khususnya dalam aspek interaksi pria dan wanita,
namun sayangnya para generasi Islam tidak menyadari bahwa itu bertentangan
dengan nilai-nilai dan kebudayaan Islam dan justru sebaliknya mereka malah
mengikuti dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka
sadari.3
Dunia semakin maju tetapi di sisi lain manusia kian terbelakang.
Ironisnya demikian melanda para generasi Islam yang merupakan tulang
punggung perjuangan Islam di kemudian hari, sebab tidak semua kemajuan
tersebut berdampak positif bagi generasi Islam.
Di Indonesia dikenal dengan pakaian penutup kepala yang lebih umum
disebut kerudung, tetapi tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab pada
masa Nabi Muhammad ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan
dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Sedangkan di beberapa negara Islam
pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti cadar di Iran,
pardeh di India dan Palestina, charshaf di Turki. Pergeseran makna hijab dari
semula tabir berubah menjadi pakaian penutup aurat perempuan.4
3 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) h.
386
4
Telah banyak budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya timur yang
berusaha merusak moral bangsa dan masyarakat. Sebagaimana yang telah
dipahami bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama
teknologi informasi, ternyata tidak diikuti dalam bidang akhlak.
Maka jelaslah peran hijab zaman dahulu berperan sebagai penentu bagi
maju-mundurnya suatu bangsa karena setidaknya hijab mencerminkan
kepribadian akhlak atau moral penduduk suatu bangsa ketika itu, terutama para
generasi mudanya. Bahkan lebih jauh, pemakaian hijab pada wanita dapat
menanamkan pendidikan akhlak pada pemakaiannya. Salah satu tokoh terkenal
yang menyerukan digalakkan pemakaian hijab adalah Murtadha Muthahhari.
Hijab yang diperintahkan Islam kepada kaum wanita menurut Murtadha
Muthahhari bukanlah tetap tinggal di dalam rumah dan tidak pernah keluar
darinya, karena tidak ada di dalam Islam indikasi yang mengajak untuk
mengurung wanita. Hijab bagi wanita dalam Islam yang dimaksud adalah agar
wanita menutup badannya ketika berbaur dengan laki-laki, tidak
mempertontonkan kecantikan dan tidak pula mengenakan perhiasan.5
Hijab di dalam Islam berakar pada sebuah masalah yang lebih umum dan
mendasar. Yaitu, ajaran Islam bertujuan membatasi seluruh bentuk pemuasan
seksual hanya pada lingkungan keluarga dan perkawinan di dalam ikatan
pernikahan, sehingga masyarakat hanya merupakan sebuah tempat untuk bekerja
dan beraktivitas. Hal ini berlawanan dengan sistem Barat dewasa ini yang
5
membaurkan pekerjaan dengan kesenangan seksual. Islam memisahkan
sepenuhnya kedua lingkungan ini.6
Hijab mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, sebagaimana di ceritakan Al Alamah Larus bahwa dahulu para wanita
Romawi memakai kerudung bila keluar. Mereka menutupi wajah-wajah mereka,
akan tetapi manakala wanita Romawi tidak berhijab lagi dan mulai meninggalkan
rumahnya, Imperium Romawi mengalami kemunduran hebat.7
Semakin maraknya penyimpangan prilaku yang terjadi dan persoalan lain
berkait dengan wanita telah menjadi sarana baik para prilaku kerusakan untuk
menyerang agama Islam yang suci untuk memicu malapetaka dengan segala
macam bentuk propaganda yang licik yang mempengaruhi terhadap generasi
muda yang lemah dalam aspek agamanya disebabkan mereka belum
mendapatkan tuntunan agama sebagaimana lazimnya.8
Mereka mengatakan bahwa semua aturan dan hukum di dunia sebelum
abad ke dua puluh di dasarkan pada pandangan bahwa laki-laki disebabkan oleh
jenis kelaminnya, lebih mulia dari wanita dan bahwa wanita diciptakan
semata-mata untuk kemanfaatan dan kegunaan kaum laki-laki. Bahwa Islam tidak
mengakui wanita sebagai wanita yang sempurna dan bahwa Islam tidak
menetapkan hukum bagi wanita, yang diperlukan seorang manusia. Mereka
6Ibid,. h. 19.
7 Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani,
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h, 37
8 Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab.cet 1, terj. Nashib Mustafa (Jakarta: Lentera,
6
menambahkan sekali pun Islam adalah agama persamaan dan mengajarkan
persamaan dalam hal-hal lain, namun dalam masalah wanita dan laki-laki, Islam
tidak melaksanakannya. Mereka mengatakan bahwa Islam memberikan hak-hak
deskriminatif dan memihak kepada kaum laki-laki.9
Wanita menjadi mitra kaum laki-laki pada setiap aktivitas dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan dan pemikiran. Kemudian wanita dibedakan dari
laki-laki dengan pemberian kefiminiman serta unsur pesona yang dijadikan Allah
sebagai jalan kebahagiaan di antara mereka (wanita dan laki-laki). Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa tempat kembali kebahagian dan stimulasi ini adalah naluri
yang ditiupkan pada tabiat mereka, bukan pada bagian kerja sama yang
mengumpulkan mereka dalam pemikiran dan semangat untuk melaksanakan
aktivitas-aktivitas sosial, keilmuan, dan kebudayaan.10
Jadi, laki-laki menerima wanita sebagai mitra tolong menolong pada
bidang pemikiran dan pergerakan untuk membangun masyarakat serta peradaba,
dan secara naluriah laki-laki menemukan hal-hal menarik dari kefiminan dan
kesempurnaan yang dititipkan pada perempuan.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka
merupakan suatu alasan yang mendasar mengapa penulis membahas
permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul “Implikasi Hijab Terhadap
Akhlak Muslimah Menurut Murtadha Muthahhari.”
9 Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 71-72 10 Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Perempuan dalam pandangan hukum barat dan
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi
masalah pokok dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab?
2. Bagaimana implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap
akhlak muslimah?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari ke tiga poin yang menjadi rumusan penelitian ini, maka penelitian
ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab.
2. Untuk mengetahui implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap
akhlak muslimah.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari pembahasan skripsi ini diharapkan berguna untuk:
1. Bahan pengalaman bagi penulis dalam penyusunan karya tulis dan
sekaligus sebagai sumbangan pemikiran dalam meningkatkan mutu
akhalak bagi para perempuan.
2. Bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam mengadakan penelitian
yang berkaitan dengan implikasi hijab terhadap akhlak muslimah.
3. Informasi bagi pembaca dalam rangka meningkatkan mutu akhlak untuk
8
1.5. Penelitian Terdahulu
Sudah banyak kajian dan penelitian yang membahas pemikiran Murtadha
Muthahhari dari berbagai aspeknya. Namun dalam masalah hijab sejauh penulis
mengetahui hanya beberapa dari skripsi terdahulu yang membahas masalah hijab.
Dan tidak banyak dari penulis-penulis sebelumnya yang mengambil dari
pemikiran Murtadha Muthahhari. Adapun pembahasan mengenai masalah hijab
wanita dalam skripsi-skripsi sebelumnya adalah:
1. “Eksistensi Hijab Wanita menurut Murtadha Muthahhari” oleh Naila
Rahmatika Alif, jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin 2012.
Dalam skrispsi tersebut penulis menjelaskan tentang batasan-batasan
dalam Islam yang menimbulkan syahwat agar terhindar dari sikap negatif
dan pelecehan seksual, sehingga tetap terjaga kehormatan wanita dan
mengutip beberapa pemikiran Murtadha Muthahhari.
2. “Hijab Dalam Hukum Islam dan Relevansinya Dengan Hak-hak
Perempuan” oleh Muhammad Riyadi Nur Husni, jurusan Ahwalus
Syakhsiyah fakultas Syariah 2000. Dalam skrispi tersebut penulis
menjelaskan tentang peran wanita dalam masyarakat dan pendidikan bagi
wanita. Seperti masalah penutup muka, dan masalah perkawinan yang
meliputi poligami dan talak.
3. “Hijab Menurut Konsepsi Al-Qur’an” oleh Masruroh, jurusan Tafsir
9
menjelaskan tentang tinjauan sosiologis pelaksanaan hijab, pandangan
Al-Qur’an tentang hijab dan mengutip beberapa pemikiran Murtadha
Muthahhari
4. “Hak-hak Wanita dalam Islam (study komparatif Murtadha Muthahhari
dan Fatimah Mernissi) oleh Khairrunnisa’, jurusan Ahwalus Syakhsiyah
fakultas Syariah 2000. Dalam skripsi tersebut penulis membahas tentang
persamaan kedudukan wanita dalam Islam yang tertelak pada pengakuan
otoritas suami dalam menjatuhkan talak dan pengakuan eksistensi dalam
khuluk sebagai salah satu alat dalam pelaksanaan pemutusan perkawinan.
5. “Pemikiran Sayyid Amir Ali dan Murtadha Muthahhari tentang
kedudukan perempuan dalam Islam” oleh Siti Rofiqoh, jurusan Aqidah
Filsafat fakultas Ushuluddin 2005. Dalam skripsi tersebut penulis
membahas tentang kedudukan wanita dalam Islam menurut Murtadha
Muthahhari dilihat dari hak-hak wanita yang terletak pada warisan,
lamaran, mahar, nafkah, dan poligami. Sedangkan menurut Sayyid Amir
Ali dilihat dari sejarah pada masa pra Islam selalu direndahkan dan
wanita sebagai objek pelampiasan seksual.
Dari beberapa buku diatas telah banyak menjelaskan tentang pentingnya
keberadaan hijab. Maka dalam penelitian ini penulis lebih mengkhususkan pada
hijab menurut Murtadha Muthahhari dan implikasinya terhadap akhlak
10
1.6. Definisi Operasional
Demi mempermudah dalam memahami judul skripsi ini dan mengetahui
arah dan tujuan pembahasan skiripsi ini, maka berikut ini akan dipaparkan
definisi operasional sebagai berikut:
1.6.1. Implikasi
Implikasi berarti mengandung dampak atau pengaruh terhadap
sesuatu.11 Sesuatu yang dimaksud adalah konsekuensi langsung temuan yang
dihasilkan dari suatu penelitian, atau bisa dikaitkan dengan kesimpulan
temuan dari suatu penelitian.
1.6.2. Hijab
Hijab dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki tiga makna,
yaitu: (1). Dinding yang membatasi sesuatu yang lain, (2). Dinding yang
membatasi hati manusia dengan Allah, (3). Dinding yang membatasi hati
seorang untuk mendapatkan harta warisan.12
Makna hijab dapat juga diartikan sebagai pembatas antara bidang satu
dengan bidang yang lain. Jika hijab digunakan pada makna wanita maka
difokuskan pada aurat yang seharusnya ditutupi.
11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departeman
11
Jadi makna hijab dapat diartikan sebagai penutup aurat. Yang mana
orang lain ketika memandang tidak bisa secara langsung. Oleh karena itu,
wanita harus menutup tubuhnya didalam pergaulannya dengan laki-laki yang
menurut hukum agama bukan muhrimnya.
1.6.3. Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa arab (akhlaqun), jamak dari kholaqa,
yang secara etimologi berasal dari “budi pekerti, tabiat, perangai, adat
kebiasaan, perilaku, dan sopan santun”.13
Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan
ibadah, karena iman dan ibadah manusia tidak sempurna kecuali dari situ
muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman
dan takwa dan mempunyai tujuan langsung yang dekat, yaitu harga diri, dan
tujuan jauh, yaitu ridha Allah.14
Jadi akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam kebiasaan. Merupakan suatu kehendak yang membawa
kecenderungan kepada pemilihan kebiasaan yang benar (akhlak terpuji) atau
kebiasaan yang jahat (akhlak tercela).
Sebagai makhluk sosial, akhlak dibutuhkan dalam berinteraksi dengan
masyarakat. Akhlak terpuji menjadi tolak ukur manusia dalam bersosial.
13 Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bakarndung: Remaja Rosdakarya, 2013) h.
140
12
Akhlak terpuji menjadikan keharmonisan dalam berhubungan dengan sesama
manusia yang berbagai macam karakter dan pandangan hidupnya.sedangkan
akhlak tercela juga menjadi penilaian tersendiri dalam pandangan masyarakat.
Sebab manusia yang memiliki akhlak tercela, tentunya akan membawa
dampak yang dapat merugikan orang di sekitarnya.
1.6.4. Muslimah
Secara harfiah “muslim” itu artinya “berserah diri”. Namun secara
istilah “muslim” adalah orang yang beragama Islam. Berarti muslim adalah
orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, serta
berserah diri kepada-Nya.Sedangkan muslimah adalah sebutan untuk wanita
muslim, yaitu wanita yang beragama islam.
Jadi yang dimaksud dengan akhlak muslimah adalah sifat seorang
wanita yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan, baik perbuatan terpuji atau tercela.
1.6.5. Murtadha Muthahhari
Murtadha Muthahahari adalah salah seorang arsitek utama
kesederhanaan baru Islam di Iran, lahir pada tanggal 2 Februari 1919 di
Fariman, sebuah dusun - kota sebuah praja – yang terletak 60 km dari
Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum syiria yang besar di Iran Timur.
13
terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir
dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman.15
Ia dibesarkan dalam asuhan ayahnya yang bijak hingga usia dua belas
tahun. Pada usia itu Murtadha Muthahhari mulai belajar agama secara formal
di lembaga pengajaran di Marsyhad, yang pada waktu itu sedang mengalami
kemunduran, sebagian karena alasan-alasan intern, dan sebagai karena alasan
eksteren, yaitu tekanan-tekanan Rezalkhan, Otokrat pertama Pahlevi, terhadap
semua lembaga ke Islaman. Tetapi di Masrsyhad Muthahhari menemukan
kecintaan besarnya kepada filsafat, teologi, dan tasawuf.16
Jika dikaitkan dari pengertian diatas mengenai hijab dan akhlak
muslimah maka hijab akan membentuk kepribadian muslimah yang ideal. Di
antaranya:
1) Kokoh pada rohaniyahnya: yakni, akan menghasilkan sebuah
akhlak yang terpuji, sebab rohani manusia sebagai tempat dasar
ditanamkannya ajaran agama. Jika rohaniyahnya kokoh dan baik
maka ajaran agama yang ditanamkan menjadi bermanfaat untuk
dirinya dan orang lain..
2) Kokoh ilmu pengetahuannya: yakni, ilmu sebagai petunjuk untuk
menyuburkan rohani dan keimanan.
15 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015),
h. 389
14
3) Kokoh fisiknya: yakni, badan atau jasmani yang sehat dapat
memaksimalkan kerja organ tubuh yang akan membawa
pengaruh positif terhadap kerja rohani.
Dengan demikian, hijab mampu mengantarkan potensi rohaniyah yang
ada dalam diri manusia untuk membentuk akhlak terpuji. Oleh karena itu, akhlak
adalah hasil usaha pembinaan dan bukan terjadi dengan sendirinya.
1.7. Metodologi Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Kajian ilmiah skripsi ini termasuk jenis penelitian kualitatif yaitu
dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi
yang terdapat dalam kepustakaan buku.
Dari segi obyek penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian
historis, yaitu berupa penelaahan dokumen secara sistematis. Penelitian ini
mengambil obyek studi tentang pemikiran seorang tokoh, tentu saja penelitian
ini berdasarkan dokumen-dokumen karya tokoh yang bersangkutan maupun
tulisan-tulisan mengenai tokoh tersebut yang ditulis penulis lain.
1.7.2. Jenis data dan sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
15
1.7.2.1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya.
Dalam hal ini penelitian memperoleh data dengan cara melalakukan
pengamatan, pembacaan, pengkajian, pencatatan serta penganalisis
terhadap teks-teks, dokumen-dokumen, buku majalah17 yang
membahas tentang implikasi hijab terhadap pendidikan akhlak menurut
Murtadha Muthahhari.
a) Buku Hijab gaya hidup wanita Islam yang dikarang oleh Murtadha
Muthahhari diterbitkan oleh PT Mizan di kota Bandung pada
tahun 1997.
b) Buku Islam dan tantangan zaman yang dikarang oleh Murtadha
Muthahhari diterbitkan oleh Pustaka Hidayah di kota Bandung
pada tahun 1996.
c) Buku hak-hak wanita dalam Islam yang dikarang oleh Murtadha
Muthahhari diterbitkan oleh Lentera di kota Jakarta pada tahun
1995.
d) Buku kritik atas konsep Moralitas Barat Falsafah Akhlak yang
dikarang oleh Murtadha Muthahhari dterbitkan oleh Pustaka
Hidayah di Bandung pada tahun 1995.
17 Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi, (Bandung:
16
e) Buku Jejak-jejak Ruhani yang dikarang oleh Murtadha
Muthahhari diterbitkan oleh Pustaka Hidayah di Bandung pada
tahun 1996.
f) Buku Wanita dan Hijab yang dikarang oleh Murtadha Muthahhari
diterbitkan oleh Lintera Basri Tama di Jakarta pada tahun 2000.
1.7.2.2. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah informasi yang tidak secara
langsung mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap
informasi yang ada padanya. 18Data sekunder adalah data penunjang
dari data primer. Data ini peneliti peroleh dari dokumen-dokumen,
buku-buku, karya ilmiah, jurnal, surat kabar, dan lain sebagainya, yang
ada hubungan dan relevansinya dengan penulisan karya ilmiah
(skripsi) ini.
a) Buku Pemikiran Pendidikan Islam yang dikarang oleh Abu
Muhammad Iqbal diterbitkan oleh Pustaka Pelajar di Yogyakarta
pada tahun 2015.
b) Khazanah Pendidikan Agama Islam dikarang oleh Khozin yang
diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya di Bandung pada tahun
2013.
18Ibid, h. 42
17
c) Buku Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern yang dikarang oleh
Abdul Rasul Abdul Hassan Al-Ghaffary diterbitkan oleh Pustaka
Hidayah di Bandung pada tahun 1995.
d) Buku Ilmu Pendidikan Islam yang dikarang oleh Abuddin Nata
yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Grup di Jakarta
pada tahun 2010.
e) Buku Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan
Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier dikarang
oleh Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi diterbitkan oleh Amzah di
kota Jakarta pada tahun 2005.
f) Buku Anggun Berjilbab dikarang oleh Nina Surtiretna diterbitkan
PT Mizan di kota Bandung pada tahun 1997.
1.7.3. Teknik Analisis Data
Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan model content
analysis (analisis isi), yakni investigasi teksual melalui analisis ilmiah
terhadap isi pesan suatu komunikasi sebagaimana tertuang dalam
literatur-literatur yang memilki relevansi dengan tema penelitian ini.19 Model
penelitian ini digunakan untuk mengkaji tentang pemikiran seorang tokoh,
yakni pemikiran-pemikiran tentang hijab yang diperoleh dari beberapa karya
Murtadha Muthahhari dengan teknik analisis data yaitu :
19 Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
18
1.7.3.1. Deduktif
Dari pengertian umum dibuat eksplisitasi dan penerapan lebih
khusus. Dapat dibedakan dua tahap:
a) Dari pemahaman yang telah digeneralisasi (transendental) dapat
dari yang umum tadi; tetapi segi-segi khusus ini masih tetap
merupakan pengertian umum.20
b) Akhirnya yang umum itu semua harus dilihat kembali dalam yang
individual (‘aku’, atau ‘si anu’). Oleh pemahaman universal tadi
individu disoroti dan dijelaskan. Dengan demikian generalisasi
yang dikaji kembali apakah memang sesuai dengan kenyataan
real; kemudian direfleksi kembali.
1.7.3.2. Induktif
Induktif pada umumnya disebut generalisasi. Ilmu eksakta
mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar data itu
menyusun suatu ucapan umum. Dalam penelitian ilmu sosial dan
lebih-lebih ilmu humanistik (humaniora) induksi ini semakin menjadi
case-study. Kasus-kasus manusia yang konkret dan individual dalam
jumlah terbatas dianalisis, dan pemahaman yang ditemukan di
dalamnya dirumuskan dalam ucapan umum. Titik pangkal penelitian
filsafat mengenai hakikat manusia juga selalu ditemukan pada
19
kenyataan sendiri, atau pada pengalaman yang konkret dan individual.
Fakta-fakta yang ditemukan di dalam dan dari yang singular.21
Pengertian ini memiliki beberapa sifat:
a) Bukan subjektivistis, sampai menjadi tergantung dari perasaan dan
keinginan pribadi, melainkan mengenal objek dalam dirinya
sendiri; meskipun demikian, pengertian ini memang tetap
subjektif, sebab berupa pengalaman si peneliti pribadi;
b) Bukan pragmatis, sampai mencari untung atau kegunaan praktis
tetapi melihat objek menurut adanya; meskipun demikian,
pengertian ini mempunyai konsekuensi praktis bagi seluruh hidup;
c) Bukan abstrak, sampai terjadi hal konkret dan individu tidak
digubris lagi, tetapi justru situasi dan lingkungan konkret
dipahami; meskipun demikian kasus individual dilihat dalam
kebersamaannya dengan seluruh kenyataan di sekitarya.
1.7.3.3. Interpretasi
Dalam pelaksanaan segalam macam penelitian seorang peneliti
akan berhadapan dengan kenyataan. Dalam kenyataan itu dapat
dibedakan beberapa aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu perbuatan
atau kejadian (dari kata latin facere, artinya membuat atau berbuat).
Bisa berbentuk data, yaitu pemberian, dalam wujud hal atau peristiwa
yang disajikan; atau pula dalam wujud sesuatu yang tercatat tentang
20
hal, peristiwa, atau kenyataan lain yang mengandung pengetahuan
untuk dijadikan dasar keterangan selanjutnya (dari kata latin dare,
artinya memberi). Mungkin juga kenyataan berbentuk gejala, yaitu
sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa atau kejadian.
Ketiga aspek tersebut akan mendapat titik berat yang berbeda menurut
masing-masing disiplin ilmu.22
1.7.3.4. Komparasi
Pemahaman manusia hanya mungkin dengan melihat hubungan,
tidak hanya di antara ide-ide, melainkan juga dengan manusia terutama
bersifat vital dan komunikatif; yang satu mempengaruhi yang lain.
Memahami sesuatu itu terjadi, sebab peneliti mengerti relasi-relasi dan
fungsi-fungsinya terhadap lingkungannya. Namun walaupun tidak ada
hubungan vital dengan banyak hal atau orang disekitarnya, hanya
membuat komparasi sudah cukup membantu untuk lebih memahami
objek penelitian.
Dalam penelitian, komparasi dapat diadakan di antara tokoh, atau
naskah dan dapat diadakan di antara sistem atau konsep. Perbandingan
hanya dilakukan dalam dua hal atau di antara yang lebih banyak.
Mereka dapat sangat serupa atau berbeda sekali. Selain itu masih
banyak lagi kemungkinan-kemungkinan variasi yang dapat diadakan.23
22Ibid, h. 41
21
Dalam komparasi tersebut ini sifat-sifat hakiki dalam objek
penelitian dapat menjadi lebih jelas dan tajam. Justru perbandingan itu
memaksa untuk dengan tegas menentukan kesamaan dan perbedaan
sehingga objek dipahami dengan semakin murni.
1.8. Sistematika Pembahasan
Suatu sistematika dalam karya ilmiah yang disajikan akan bervariasi
sesuai dengan aspirasi penulis. Penulis mencoba mendeskripsikan sistematika
pembahasan yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut :
Bab pertama memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian, kajian
terdahulu, dan sistematika pembahasan.
Bab dua kajian teori tentang hijab dan akhlak dengan sub, a) Definisi
tentang hijab, b) Alasan perkembangan hijab dalam Islam, c) Batas Hijab dalam
Islam, d) Definisi akhlak, e) Pembagian akhlak, dan f) Faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak.
Bab tiga memuat tentang biografi sosial Murtadha Muthahhari dengan
sub, (a) daftar riwayat hidup,(b) daftar riwayat pendidikan, (c) karir, (d)
karya-karya, dan (e) pemikiran-pemikirannya.
Bab empat memuat tentang definisi hijab menurut Murtadha Muthahhari,
22
Bab lima memuat tentang pembahasan seluruh skripsi ini ditutup dengan
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab II ini akan dikaji secara teoritis tentang hijab dan akhlak dengan
sub, a) Definisi tentang hijab, b) Alasan perkembangan hijab dalam Islam, c)
Batas Hijab dalam Islam, d) Definisi akhlak, e) Pembagian akhlak, dan f) Faktor
yang mempengaruhi pembentukan akhlak. Selanjutnya akan dijelaskan lebih
detail dalam bab ini.
Wanita sebelum masuk Islam tidak memiliki peranan apa pun. Dirampas
haknya, diperjual-belikan seperti budak, dan diwariskan tetapi tidak mewarisi.
Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus menerus dan menganggap
wanita tidak punya ruh, hilang dengan kematian dan tidak tunduk pada syariat,
berbeda dengan laki-laki.24
Ketika Islam datang, hijab merupakan tradisi murahan yang diwariskan
secara turun-temurun tanpa diketahui tujuannya secara pasti. Islam kemudian
meredefinisi pengertian hijab dengan pengertian yang baru untuk menghapus
pemahaman sebelumnya yang tidak diketahui tujuannya. Pemberian nama baru
ini tanpa tendensi atas bentuk penguasaan laki-laki terhadap wanita. Hijab
menjadi bentuk pengejewantahan sopan santun yang wajib dikenakan oleh
wanita. Baik laki-laki maupun wanita diharuskan menerimanya sebagai bentuk
24
tata-krama dan budi pekerti.25 Perihal mengenai hijab dan kebebasan,
orang-orang dahulu kerap melakukan kezhaliman terhadap kaum wanita. Jika mereka
mencintai seorang wanita, maka mereka akan mengurungnya seperti burung
dalam sangkar, tetapi apabila mereka akan menghinakannya, mereka akan
melepaskannya dan menjadi bahan olokan seperti binatang.
Pada masa sekarang ini tampaknya ada kecenderungan di kalangan
masyarakat , khususnya para muslimah menyebut pakaian yang sesuai syariat
dengan hijab, dan menyebut penyandangnya dengan kata muhajjabah (
perempuan yang mengenakan hijab). Meskipun tidak ada kesetiaan dalam
menggunakan istilah tersebut, karena kadang-kadang istilah hijab dan jilbab
dipakai secara bergantian. Padahal sebenarnya terdapat perbedaan penggunaan
istilah hijab yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan istilah hijab
dalam pengertian baru, yaitu yang bermakana sebagai pakaian muslimah atau
jilbab.26
Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang definisi hijab
ini akan dijelaskan sebagai berikut.
2.1. Definisi Hijab
Di dalam Lisan al-‘Arab Ibnu Manzhur mengatakan al-hijab
(sekat/penghalang) berarti al-satr (sekat pembatas). Sebuah benda betul-betul
menjadi sekat dan penghalang benda yang lain. Hijab al-jawf misalnya, adalah
25 Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat,
(Jogjakarta: Darus Salam, 2004), h. 166
25
sekat antara rongga dada dan perut. al-Azhari mengatakan bahwa hijab al-jawf
adalah kulit ari antara hati dan isi perut. Dan hijab sendiri artinya adalah sesuatu
yang dipakai untuk menyekat. Dan segala sesuatu yang terletak di antara dua
benda adalah hijab. Bentuk jamak al-hijab adalah al-hujub, bukan yang lain.27
Murtadha Muthahhari berpendapat bahwa hijab wanita dalam Islam yang
dimaksud adalah kewajiban seorang wanita agar menutup badannya ketika
berbaur dengan laki-laki yang menurut agama bukan muhrim dan tidak
dipertontonkan kecantikannya, dan tidak pula mengenakan perhiasan.28
Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk menyebut wanita yang
haram dinikahi oleh pria.29 Dan selanjutnya sebagai penunjang penjelasan
pengertian mahram lebih banyak lagi maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa
pendapat para mujtahid sebagai berikut:
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua
orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan
dan pernikahan.” Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahram wanita adalah
suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab
nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang
lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”.30
27
Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h, 35
28 Murtadha Muthahhari, Wanita Dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, tt) h. 60 29Abdurrahman Ghazali. Fiqh Munakahat, (Bogor: Prenada Media,2003).h.124
30
26
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti
bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan.
Namun hijab juga bisa disebut dengan “ satr ” (penutup) atau bisa
diartikan penghalang, yaitu menyembunyikan atau menghalangi dari pandangan
orang lain dimana pada zaman sekarang dikenal dengan jilbab.31
Pengertian hijab identik dengan makna jilbab, jilbab sendiri mempunyai
makna pakaian gamis atau pakaian yang lebar. Maksudnya adalah pakaian
panjang berbentuk baju kurung yang longgar yang dapat menutupi kepala, dada
dan sebagainya (kecuali yang diperbolehkan tampak). Dapat disimpulkan bahwa
hijab yang digunakan sebagai pembatas atau tirai antara laki-laki dan wanita
yang bukan mahramnya, yaitu sejenis baju karung yang lapang yang dapat
menutupi kepala, leher, dan dada wanita.
Namun sebenarnya hijab bagi wanita tidak dipersyaratkan harus seperti
‘aba’ah (yang terbuat dari kain wol) yang berlaku di Irak. Hijab yang
dimaksudkan dalam bahasan ini memiliki bentuk yang bermacam-macam, sesuai
adat dan tradisi suatu masyarakat. Yang penting tidak keluar dari apa yang
dimaksudkan, yaitu penutup tubuh wanita dan bagian tubuh yang dapat
membangkitkan syahwat dan menggairahkan nafsu seksual.32
31
Munawwar khalil, Nilai wanita, (Solo, Romadhoni, 1994) h. 256.
32
27
Kesimpulan dari keseluruhan definisi hijab yang telah diuraikan adalah
sebagai penutup aurat. Yang mana orang lain ketika memandang tidak bisa
secara langsung. Oleh karena itu, wanita harus menutup tubuhnya didalam
pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrimnya.
2.2. Alasan Perkembangan Hijab dalam Islam
Orang-orang yang tidak setuju dengan hijab tidak mengakui adanya
perbedaan antara hijab dalam Islam dan non-Islam. Mereka mengatakan hijab
dalam Islam seakan muncul dari kondisi yang rusak tersebut, antara lain:
Pertama, Alasan Filosofis. Persoalan hijab berpusat pada kecenderungan ke arah kerahiban dan perjuangan melawan kesenangan-kesenangan dalam upaya
menaklukan ego.33 Jika seorang laki-laki dan wanita bercampur dan bergaul
bersama-sama maka keduanya pasti akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan
kesenangan dan kenikmatan, secara sadar atau tidak sadar.
Oleh karena itu dengan mengikuti filsafat rahbaniah (yang menganggap
bahwa wanita adalah kenikmatan terbesar manusia) dan untuk menciptakan
lingkungan yang tenang, maka mereka menggunakan hijab. Maka munculnya
hijab berdasarkan teori ini, karena adanya pandangan bahwa perkawinan sebagai
suatu hal yang kotor, sedangkan membujang sebagai hal yang suci.34
33
Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahmab, (Bandung: Mizan, 1990) h. 36
34
28
Kedua, Alasan Sosial. Penyebab lain bahwa hijab muncul dikarenakan
semakin tidak adanya rasa aman.35 Ketidakadilan dan ketikdak amanan telah
melanda masa-masa zaman dahulu. Hanya orang kuat dan para penguasa yang
mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupan mereka. Sehingga bagi
siapa saja yang memiliki sedikit harta harus menyembunyikannya dari
pandangan orang lain dengan menguburnya ke dalam tanah.36
Hilangnya rasa aman yang dulu menyertai harta kekayaan juga menimpa
para wanita. Jadi, barang siapa yang mempunyai istri cantik juga harus
disembunyikan dari mata-mata yang selalu mengintainya karena apabila
pengintai itu melihatnya, pasti akan merampas dari suaminya.
Ketiga, Alasan Ekonomi. Perlakuan hijab di dalam kehidupan wanita bertujuan untuk mencari keuntungan dari pihak wanita. Pria menempatkan
wanita di belakang tirai dan menjaganya agar tidak keluar masuk, membuat
wanita dapat melakukan pekerjaan rumah yang telah diberikan kepadanya secara
lebih baik. Hal ini sama dengan ketika memenjarakan budaknya dan tidak
memperbolehkan budak itu keluar agar dapat melakukan pekerjaan majikannya
dengan lebih baik.37 Jadi hijab hanya untuk mengeksploitasi terhadap wanita.
Keempat, Alasan Etis. Alasan ini berasal dari sikap egoistis dan kecemburuan oleh pihak pria. Munculnya hijab karena adanya kekuasaan
35 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Ibid, h. 47
36Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) h.
27
37
29
laki atas wanita. Kaum laki-laki menetapkan hijab dan memenjarakannya adalah
kerena kecenderungannya untuk memilikinya secara pribadi.Dia tidak suka ada
laki-laki lain bercampur dengan wanita yang menjadi miliknya walau hanya
sebatas berbicara.38
Kelima, Alasan Psikologis. Alasan ini berasal dari adanya perasaan rendah diri wanita terhadap pria.Dengan keberadaannya wanita dinomor duakan
dalam memperoleh hak-haknya. Perasaan rendah diri ini muncul karena adanya
dua hal,yaitu : (a) Adanya perbedaan dalam fisik dan karakter antara wanita dan
pria. (b) Adanya kebiasaan seorang wanita mengalami pendarahan pada masa
menstruasi dan pada masa melahirkan anak.39 Menstruasi yang dialami
perempuan merupakan proses biologis yang kodrat dan memiliki implikasi
terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial budaya, dan notasinya antara
pria laki-laki dan perempuan.
Inilah lima alasan-alasan perkembangan hijab yang tidak sesuai dengan
Islam. Dalam perkembangannya hijab Islam tidak memiliki alasan-alasan diatas.
Jadi, Islam memiliki alasan tersendiri dan tidak dapat membedakan dengan lima
alasan diatas, yaitu: kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat.40
Bahwasanya manusia menginginkan sesuatu yang dilarang dan yang
mengakibatkan gairah, tetapi jika tidak ditonjol-tonjolkan maka tidak begitu
bernafsu. Begitu pula, dalam pergaulan bebas, semakin banyak rangsangan,
38Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, h. 42 39
30
semakin berkeinginan seseorang untuk memenuhinya, pada akhirnya akan
membuat seorang kecewa atau frustasi.
Dengan demikian, perlu adanya suatu pembatas, dan nafsu seksual hanya
dapat dipenuhi di dalam lingkungan pernikahan. Dalam keluarga, usaha-usaha
harus diciptakan sedemikian sehingga hubungan pernikahan menjadi kian baik.
Dan adapun merusak hubungan harus ditiadakan.
Pembatas pemenuhan kebutuhan seksual hanya pada pernikahan, apapun
bentuk pemenuhannya menyebabkan hubungan istri kian harmonis karena suami
menjadi sumber kesenangan dan kenikmatan.
Kaitannya dalam masyarakat, hijab Islam tidak mengatakan bahwa
manusia tidak boleh meninggalkan rumah, dan juga tidak mengatakan bahwa
wanita tidak berhak melakukan pekerjaan yang sifatnya sosial atau ekonomi.
Akan tetapi, wanita boleh meninggalkan rumah asal tidak merangsang pria lain
atau tidak menarik perhatian pria lain kepda dirinya.
Ini merupakan kewajiban khusus bagi wanita. Dan tidak ada seorang pria
pun yang berhak memandang dengan nafsu wanita yang meninggalkan
rumahnya. Ini kewajiban khusus bagi pria.41 Jadi masyarakat hanya dapat
dijadikan sebagai tempat beraktivitas dan bekerja.
31
2.3. Batas Hijab Dalam Islam
Batas Hijab dalam Islam meliputi dua hal, antara lain:
Pertama, Permintaan izin ketika akan memasuki rumah seseorang.Orang-orang Arab pada masa jahiliyah tidak mengenal adanya budaya minta ketika akan
memasuki rumah orang lain, karena pintu-pintu masuk rumah arab selalu dalam
keadaan terbuka, maka budaya minta izin ketika hendak memasuki rumah orang
lain dianggap suatu penghinaan. Kemudian Islam datang dan mencela kebiasaan
tersebut.
Islam memerintahkan agar jangan memasuki rumah-rumah yang
berpenghuni tanpa minta izin, di karenakan ada dua perkara, yaitu: (a).
Menyangkut soal kehormatan dan terhijabnya seorang wanita. (b). Setiap orang
ketika di dalam rumahnya, ada hal-hal yang terkadang tidak suka dilihat orang
lain, meskipun terhadap sahabat-sahabat karib. Karena bisa saja dua orang yang
bertenu sejalan dalam segala hal, akan tetapi barang kali masing-masing mereka
mempunyai rahasia tertentu yang tidak ingin diketahui orang lain.42 Maka
permintaan izin tidak hanya berlaku terhadap rumah-rumah yang terdapat wanita
didalamnya, akan tetapi merupakan hukum umum.
32
Dalam Surat an-Nur ayat 28 menyebutkan bahwa :
Artinya: jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Apabila dengan permintaan izin, tetapi tidak seorangpun menjawabnya,
dan kita mengetahui rumah tersebut kosong, maka kita tidak diperbolehkan untuk
masuk kedalamnya kecuali telah mendapatkan izin sebelumnya dari
penghuninya. Di sisi lain, jika penghuni enggan memberi izin karena ada suatu
halangan, maka kembali dan jangan tersinggung.43
Agama Islam bukannya agama yang memberatkan dalam surat an-Nur
ayat 29 terdapat adanya pengecualian.
Artinya: tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan
untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.
Di sini terdapat pengecualian. Dapat dipahami dari ayat ini bahwa hukum
meminta izin hanya berlaku bagi rumah-rumah yang berpenghuni, yaitu
43
33
tempat tertentu di mana terdapat kehidupan manusia yang bersifat khusus dan
tempat bersendiri. Sedangkan jika kondisinya tidak seperti demikian dan
merupakan tempat lalu lalang masyarakat umum serta dibolehkan buat semua
orang, maka hukum ini tidak berlaku sekalipun ia dikhususkan untuk
orang-orang lain.44
Misalnya, jika ingin masuk ke sebuah perusahaan atau toko untuk
membeli sesuatu atau memenuhi kebutuhan tertentu maka tidak diharuskan
berdiri di pintu dan meminta izin untuk masuk, demikian pula halnya wc, wc
umum yang pintunya terbuka. Jadi tidak ada salahnya memasuki rumah yang
tidak berpenghuni tanpa izin bila disana terdapat kebutuhan.
Dari keterangan “di dalamnya ada keperluanmu” bahwa masuknya
seorang ke dalam tempat-tempat ini dibolehkan selama ada keperluannya di sana.
Jika tidak, dia tidak boleh mengganggu pemilik tempat-tempat itu dengan
kehadirannya yang hanya iseng.
“Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang
kamu sembunyikan”. Artinya, Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati
kamu dan tujuan kamu, ketika kamu masuk ke rumah-rumah dan tempat-tempat
lain.
Dengan demikian, permintaan izin hanya berlaku bagi rumah-rumah yang
berpenghuni, yaitu tempat-tempat tertentu yang dimana terdapat kehidupan
44
34
manusia dan jika kondisinya tidak seperti demikian itu merupakan tempat lalu
lalang masyarakat umum misalnya: wc umum.
Kedua, tata cara hubungan antara pria dan wanita, yaitu: Menjaga pandangan, menjaga kesucian diri dengan menutup aurat di hadapan orang lain,
dan larangan memperlihatkan perhiasan. Pada dasarnya ada dua pandangan,
pandangan yang pertama adalah melihat orang lain dengan perhatian seakan-akan
sedang menilai penampilan dan cara berpakaiannya, yang kedua memandang
orang lain ketika berbicara dengan orang sebab memandang itu diperlukan dalam
bercakap-cakap.45
Bahwa pandangan yang pertama adalah pandangan liar (bebas),
pandangan yang kedua adalah pandangan yang berlangsung antara kedua belak
pihak dinamakan kekeluargaan. Larangan memandang dengan pandangan liar
yang hanya bertujuan untuk mendapatkan kesenangan, tidak hanya berlaku bagi
bukan muhrim tetapi berlaku bagi yang muhrim. Dan memandang yang di
bebaskan hanya kepada istri atau suaminya.
Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan sekedar
perhiasan. Islam mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutup anggota
tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya. Langkah pertama yang diambil
Islam dalam usaha mengkokohkan bangunan masyarakatnya adalah melarang
bertelanjang, dan menentukan aurat laki-laki dan wanita. Jadi, menghindari
45I
35
pandangan dan menjaga kesucian dengan menutup aurat merupakan kewajiban
bagi pria dan wanita.
Tata cara hubungan antara pria dan wanita yang lainnya adalah larangan
memperlihatkan perhiasan. Yang dimaksud ialah para wanita tidak boleh
“memperlihatkan perhiasan mereka”, yang pertama adalah “kecuali sesuatu yang
nampak”, dan yang kedua adalah “kecuali terhadap suami mereka”.46
Pengecualian yang pertama, diperbolehkan wanita untuk membuka
wajahnya dan kedua telapak tangan. Pengecualian itu mengandung makna bahwa
menutupinya cukup memberatkan, karena hal itu sangat sulit bagi wanita dalam
menjalankan aktivitasnya, seperti: dalam kesaksian, pemeriksaan pengadilan dan
dalam perkawinan yang menutup adanya keterbukaan antar kedua anggota badan
tersebut.47
Pengecualian yang kedua “janganlah memperlihatkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka”. Ayat ini menjelaskan bahwa hanya orang-orang
tertentu boleh bagi wanita menampakkan perhiasannya di hadapan mereka secara
mutlak.48
46
Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) h. 125
47Ibid, h. 127 48
36
2.4. Definisi Akhlak
Uraian di atas telah menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu
masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ditekankan karena di
samping akan membawa kebahagiaan bagi individu juga membawa kebahagiaan
bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang
ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk orang yang berkaitan.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai akhlak berikut ini.
Akhlak baik atau budi pekerti luhur merupakan hal yang sangat penting
dalam ajaran agam Islam. Buktinya, kehadiran al-Qur’an sebagai rujukan utama
manusia baik dalam berinteraksi baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama
makhluk-Nya, banyak meberikan pedoman tentang masalah ini. Sebagai seorang
muslim, teladan yang sangat penting untuk dijadikan sebagai panutan dalam
pribadi dan akhlak sehari-hari adalah Nabi Muhammad saw. 49
Akhlak dalam islam jauh lebih sempurna ditimbang akhlak yang lainnya.
Sebab akhlak dalam islam sangat komprehensif, meyeluruh dan mencakup
berbagai makhluk yang diciptakan Allah. Hal yang demikian dilakukan karena
secara fungsional seluruh makhluk satu sama lain saling membutuhkan. Dengan
demikian, masing-masing makhluk akan merasakan fungsi dan eksistensinya di
dunia ini.
49
37
Secara etimologis, kata Akhlak berasal dari Bahasa Arab yang merupakan
bentuk jama’ dari kata (khuluq) yang artinya: (a) tabiat, budi pekerti, (b)
Kebiasaan atau adat, (c) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, (d) agama, dan (e)
kemarahan (al-ghadab).50
Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa
memerlukan pemikiran ataupun timbangan.51 Sedangkan menurut Ibnu
Miskawaih definisi akhlak ialah keadaan jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan.52
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam mu’jamu al-wasith,
Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.53 Selanjutnya di dalam kitab dairotu
al-ma’arif secara singkat, Abdul al-Hamid menjelaskan tentang akhlak adalah
sifat-sifat mannusia yang terdidik.54
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam kebiasaan. Jadi, merupakan suatu kehendak yang membawa
50 Ensiklopedi Islam, Akhlak (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2015), h. 130 51 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III (Mesir: Isa Bab al-Balaby, tt), h. 53
52Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), h.
25
38
kecenderungan kepada pemilihan kebiasaan yang benar (akhlak terpuji) atau
kebiasaan yang jahat (akhlak tercela).
Pengertian akhlak lebih tepat difokuskan pada substansinya bahwa akhlak
adalah sifat yang telah terpatri dan melekat dalam jiwa seorang manusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan secara sponstan dan mudah, tanpa dipaksa atau
dibuat-buat. Sejatinya, akhlak manusia mencakup tentang kesadaran diri,
terutama tentang cara merefleksikan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini ke
dalam kehidupan kesehariannya.55
Jika dikaitkan pada konteks kehidupan sosial, maka terdapat manusia
yang berakhlak baik dan terdapat pula yang berakhlak buruk, bergantung pada
baik dan buruknya perbuatan yang dilakukan oleh mereka.
Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang
bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Secara
substansial tampak saling melengkapi. Dan dari definsi tersebut dapat dilihat
lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak:56
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
55 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf , ibid, h. 4
56
39
atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat
akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu, perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek
seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan
dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang
melakukan perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan,
tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke
dalam akhlak dari orang yang melakukannya.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sesungguhnya, bukan main-main atau karena sandiwara. Jika kita menyaksikan
orang berbuat kejam, sadis dan jahat, tapi kita lihat perbuatan tersebut kita lihat
dalam film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak.57
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata
karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau kaena ingin mendapatkan
sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena
Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.
57
40
2.5. Pembagian Akhlak
Sasaran perbuatan akhlak atau muara akhlak adalah ruang lingkup
pelaksanaan akhlak, yaitu tujuan dimanifestasikannya perbuatan akhlak. Secara
kategoris ruang lingkup atau muara pelaksanaan perbuatan akhlak itu ada 3
(tiga): (1) akhlak terhadap Allah, (2) akhlak terhadap sesama manusia, (3) akhlak
terhadap lingkungan. Adapun ulasan detail muara akhlak tersebut dapat
diperhatikan sebagai berikut:58
2.5.1. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada tuhan
sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan
akhlaki sebagaimana telah disebutkan diatas.Sekurang-kurangnya ada empat
alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah.
Pertama, karena Allah lah yang menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan ke luar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk.
Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Thariq ayat 5-7:
5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?
6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
41
7. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Dengan demikian sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya
berterima kasih kepada yang menciptakanNya.
Kedua, karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, di
samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Nahl ayat 78:
Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Ketiga, karena Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan
makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
sebagainya. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat
al-Jatsiyah ayat 12-13:
42
12. Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.
13. dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Keempat, Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan
diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.59 Sebagaimana yang
telah difirmankan Allah dalam surat al-Isra’ ayat 70: