• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRESS REPORT #1

MONITORING PENGADILAN

HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM

ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia

Tel : (62-61) 797 2662, 791 92564 Fax : (62-61) 791 92519

(2)

Progress Report # 1

Monitoring Pengadilan Ham Ad hoc

Terhadap Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur April- September 1999

1. Pendahuluan

Pengadilan HAM ad hoc yang tengah mengadili perkara kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pada masa pra dan paska jajak pendapat ( April-September 1999) masih terus berlangsung. Sampai saat ini pengadilan ini tengah menyidangkan tiga berkas perkara masing-masing yaitu satu berkas perkara atas nama Abelio Soares (mantan Gubernur Timtim), satu berkas untuk lima terdakwa masing-masing drs Herman Sedyono (mantan Bupati KDH Tk II Covalima Timor Timur), Lieliek Koeshadianto (mantan Komandan Distrik Militer/DANDIM 1635 Suai), drs. Gatot Subiyaktoro (Mantan Kapolres Suai), Achmad Syamsudin (Mantan Kasdim 1635 Suai) dan Sugito (Mantan Danramil Suai). Sedangkan berkas ketiga menghadapkan terdakwa atas nama drs Timbul Silaen (mantan Kapolda Timtim). Ketiga berkas perkara ini mencakup peristiwa pelanggaran berat ham pada masa pra dan paska jajak pendapat yang terjadi dalam periode April – September 1999 dengan locus delicti di Liquisa, Suai dan Dili.

Semenjak awal pembentukannya, pengadilan HAM ad hoc mengundang banyak respon. Pemilihan hakim, jaksa penuntut umum sebagai alat penting dalam peradilan Sejak bulan desember 2001 baru pada akhir bulan Januari presiden mengeluarkan SK. Beberapa nama hakim yang memiliki catatan yang buruk menambah pesimisme publik akan pengadilan ham. Sampai beberapa saat sebelum dimulai bekerja, perangkat-perangkat penunjang belum juga diselesaikan seperti instrumen hukum mengenai perlindungan dan saksi. Pada saat terakhir muncul dalam bentuk PP No 2 tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dan PP No 3 Tahun 2002 tentang kompensasi terhadap korban.

Selain itu, kemampuan hakim dan jaksa untuk memahami dan menggunakan pengertian kejahatan kemanusian dan genosida merupakan titik krusial perhatian publik. Pengertian dan pemahaman akan bentuk kejahatan ini menjadi kemampuan yang mendasar mengingat klausul yang diatur dalam ps 7 dan 9 UU No 26 tahun 2000 ini sebenarnya diadopsi dari Statuta Roma dengan beberapa distorsi yang justru semakin melemahkan konsepnya dan mempersulit proses pembuktiannya. Padahal, pengadilan HAM ad hoc ini merupakan pengadilan yang pertama berhadapan dengan bentuk extra ordinary crimes dan hasil serta proses yang terjadi akan menjadi acuan bagi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran ham yang terjadi di Indonesia. Berkaitan dengan itulah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menganggap perlu adanya sebuah pengamatan terhadap proses pengadilan. Pengamatan dalam bentuk monitoring ini dilakukan berdasarkan rangkaian pemeriksaan dalam proses persidangan. Dalam laporan berkala yang pertama ini, titik utama diletakkan pada materi surat dakwaan dan nota keberatan terdakwa serta keputusan hakim sela atas nota keberatan tersebut.

(3)

2. Dakwaan

Dua berkas dakwaan untuk Abilio Jose Osorio Soares dan drs Timbul Silaen disusun dalam bentuk kumulasi dan berkas dakwaan untuk masing-masing drs. Herman Sedyono ( mantan bupati KDH TK II Covalima Timor Timur), Liliek Koeshadianto (mantan PLH Dandim 1635 Suai Timor Timur ), drs. Gatot Subiyaktoro ( Mantan Kapolres Suai Timor Timur), Achmad Syamsudin (Mantan Kasdim 1635 Timor Timur dan Sugito ( mantan Danramil Suai Timor Timur) dalam bentuk subsidair/alternatif.

Ketiga berkas dakwaan berisi dakwaan untuk bertanggung jawab secara pidana atas pelanggaran ham berat yang dilakukan bawahannya (tanggung jawab komando). Sebagai atasan tidak melakukan pengendalian efektif secara patut dan benar (pasal 42) dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya melakukan/baru saja melakukan pelanggaran ham berat (pasal 42 ayat 1(a) untuk komando militer dan ayat 2 (a)) untuk pejabat sipil, serta tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan untuk menghentikan perbuatan tersebut (ps 42 ayat 1 (b) dan 2(b)). Adapun pelanggaran ham berat yang didakwakan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7 UU No 26 Tahun 2000) berupa pembunuhan (pasal 9(a)dan penganiayaan (9 h). Wilayah terjadinya kejahatan kemanusiaan meliputi Dili, Liquisa, dan Covalima (Suai). Terjadi selama kurun waktu sebelum jajak pendapat berlangsung pada bulan April 1999 dan sesudah pengumuman jajak pendapat September 1999.

Dalam dakwaan, penuntut umum mencoba menunjukkan unsur sistematik dengan menyusun rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dapat ditemukan dalam seluruh berkas dakwaan yang mencoba merangkaikan seri penyerangan yang terjadi secara beruntun. Pada berkas Abilio, peristiwa penyerangan terjadi dalam bulan April pada tanggal 3,4,5,6 April 1999 yang dirangkaikan dengan penyerangan serupa pada tanggal 17 April dan 4-6 September 1999. Bentuk serupa digunakan dalam berkas dakwaan terhadap penyerangan yang terjadi di sekitar wilayah Suai, Covalima, dan Liquisa untuk berkas dakwaan terhadap mantan Kapolda Timtim drs. Timbul Silaen.

Sementara itu unsur widespread (meluas) ditunjukkan perluasan locus geografis dan massivitas korban. Ini dilakukan dengan serangan yang diawali pada satu locus tertentu yang kemudian meluas pada wilayah lain dalam satu region yang sama. Seperti tampak dalam berkas Abilio,

locus delicti tempat kejadian perkara (TKP) meluas dari kompleks gereja Liquisa tepatnya kediaman pastor Rafel Santos kemudian juga meliputi kediaman uskup Bello dan meluas sampai kompleks gereja Ave Maria. Dalam keseluruhan peristiwa tersebut ditemukan jumlah korban yang massif yang secara umum merupakan penduduk sipil. Sekurang-kurangnya jumlah korban dari tiga tempat yang berbeda tersebut mencapai 47 orang.

Tabel 1: Detail dakwaan dan pasal yang dipergunakan sebagai dasar dakwaan Nama

(4)

Abilio Jose Osorio Soares

Dakwaan I

Pembunuhan Dakwaan II Penganiayaan

Pasal yang

diancamkan Pasal 42 ayat (2) a dan b; Jis Pasal 7 huruf b; Pasal 9 huruf a; Pasal 37

Pasal 42 ayat (2) a dan b; Jis Pasal 7 huruf b

Pasal 9 huruf h; Pasal 40

Tempat kejadian perkara

Komplek gereja Liquisa; komplek gereja Ave Maria Kabupaten Covalima; kediaman uskup Belo, Aleandro Isaac dan Manuel Viegas Carrascalao Kabupaten Dilli; atau setidak-tidaknya dalam wilayah propinsi Tim-Tim

Tempus

Delicti 3,4,5,6 April 1999; 17 April 1999; 4,5,6 September 1999; (atau pada waktu-waktu dalam bulan April dan September 1999)

3,4,5,6 April 1999; 17 April 1999; 4,5,6 September 1999; (atau pada waktu-waktu dalam bulan April dan September 1999)

Jumlah Korban

1. Di komplek gereja Liquisa : 22 orang

2. Kediaman Manuel Viegas

Carascalao :12 orang

3. Kediaman uskup Bello : 10 orang

4. Komplek gereja Ave Maria : 27

orang

5. Di Diosis Dilli : 46 orang

1. Komplek gereja Liquisa : 21

orang

2. Kediaman Manuel Viegas

Carascalao :4 orang

(5)

Isi Dakwaan

1. bertanggungjawab secara

pidana terhadap pelangaran HAM berat yang dilakukan bawahannya.

2. Mengetahui atau secara jelas

mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru melakukan pelanggaran HAM berat

3. Tidak mengendalikan

bawahannya secara patut dan benar.

4. Tidak melakukan atau tidak

mengambil tindakan yang layak dan diperlukan seperti koordinasi dengan aparat yang berwenang untuk mencegah atau menghentikan perbuatan bawahannya tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenag untuk dilakukan penyelidikan-penyidikan dan penuntutan sehingga terjadi penyerangan pada penduduk sipil

1. Bertanggungjawab secara

pidana terhadap pelangaran HAM berat yang dilakukan bawahannya.

2. Mengabaikan informasi yang

secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru melakukan pelangaran HAM berat

3. Tidak mengendalikan

bawahannya secara patut dan benar.

4. Tidak melakukan atau tidak

mengambil tindakan yang layak dan diperlukan seperti koordinasi dengan aparat yang berwenang untuk mencegah atau menghentikan perbuatan bawahannya tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenag untuk dilakukan penyelidikan-penyidikan dan penuntutan sehingga terjadi penyerangan pada penduduk sipil

Drs. Timbul

Silaen Pasal Yang diancam Pasal 42 ayat (2) a dan b; Jis Pasal 7 (b); Pasal 9 huruf a; Pasal 37 Pasal 42 ayat (2) a dan b; Jis Pasal 7 (b); Pasal 9 huruf h; Pasal 37

Locus Delicti

Komplek gereja Liquisa; Kompleks gereja Ave maria Kab. Covalima; Kediaman Aleandro Isaac dan Manuel Viegas Carrascalao kab Dili; (atau setidak-tidaknya dalam wilayah propinsi Tim-Tim)

Komplek gereja Liquisa; Kompleks gereja Ave maria Kab. Covalima; Kediaman Aleandro Isaac dan Manuel Viegas Carrascalao kab Dili; (atau setidak-tidaknya dalam wilayah propinsi Tim-Tim)

Tempus

Delicti 6 dan 17 April 1999; 5 dan 6 September 1999; (atau pada waktu-waktu dalam bulan April dan September 1999)

6 dan 17 April 1999; 5 dan 6 September 1999;

(atau pada waktu-waktu dalam bulan April dan September 1999

(6)

Jumlah Korban

1.Komplek gereja Liquisa : 22

orang

2.Kediaman Manuel Viegas

Carascalao :12 orang

3.Komplek gereja Ave Maria : 27 orang

Isi Dakwaan 1. Tidak melaksanakan dengan

semestinya wewenang dan tanggung jawabnya menjaga dan melaksanakan keamanan dan ketertiban masyarakat

2. Bertanggung jawab atas

pembunuhan yang dilakukan oleh bawahanya yang berada di bawah kekuasaan dalam pengendaliaanya yang efektif

3. Tidak melakukan pengendalian

terhadap bawahannya secara patut dan benar

4. Mengetahui atau secara sadar

mengabaikan informasi yang telah jelas-jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.

5. Tidak mengambil tindakan yang

layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

1.Tidak melaksanakan dengan

semestinya wewenang dan tanggung jawabnya menjaga dan melaksanakan keamanan dan ketertiban masyarakat

2.Bertanggung jawab atas

pembunuhan yang dilakukan oleh bawahanya yang berada di bawah kekuasaan dalam pengendaliaanya yang efektif

3.Tidak melakukan pengendalian

terhadap bawahannya secara patut dan benar

4.Mengetahui atau secara sadar

mengabaikan informasi yang telah jelas-jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.

5.Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Drs. Herman Sedyono, Liliek Koeshadia Bentuk dakwaan SUBSIDAIR/ALTERNATIF PEMBUNUHAN Penganiayaan Pasal yang

(7)

nto Tempat kejadian

perkara

Tempus

Delicti 6 September atau setidak-tidaknya dalam bulan September 1999

Jumlah Korban

Gereja Ave Maria Suai = 27 orang

Isi Dakwaan

Tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya/pasukannya. Mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya/pasukannya baru saja melakukan pelanggaran berat ham Tidak mengambil tindakan pencegahan atau menghentikan perbuatan tersebut dan membawa pelakukanya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

Mencermati dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum, sangat mengherankan bahwa jaksa hanya memfokuskan dakwaan pada peristiwa yang terjadi dalam periode april-September 1999 tanpa menghubungkan peristiwa tersebut dengan peristiwa yang sebelum-sebelumnya. Hal ini dapat menjadi titik lemah dari dakwaan mengingat pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari penyerangan terhadap warga sipil yang bersifat meluas atau sistematik. Meluas mengacu pada besaran luasan geografis atau massivitas korban sedangkan sistematik mengacu pada adanya kebijakan yang tersistematisir yang membiarkan atau bahkan menganjurkan terjadinya pelanggaran berat HAM. Unsur-unsur ini akan sulit dipenuhi jika peristiwa pelanggaran berat ham yang terjadi tersebut dilepaskan dari dinamika perkembangan persoalan Timor Timur. Upaya menghubungkan dengan dinamika perkembangan persoalan Timor Timur sebelumnya ini sebenarnya penting untuk menjelaskan mengapa peristiwa yang terjadi di tiga kabupaten tersebut (seluruh Timor Timur berjumlah 14 kabupaten) dapat mencukupi syarat meluas dan sistematik. Jika hal ini tidak dilakukan, maka lebih lanjut peristiwa yang terjadi akan menjadi sangat kasuistik sifatnya.

Perspektif yang digunakan dalam dakwaan ini justru menghilangkan keterkaitan kelompok-kelompok milisi sipil dengan aparatus opresif negara, TNI dan Polri. Dengan hilangnya konteks kelahiran kelompok-kelompok milisi sipil pro integrasi yang menjadi pelaku langsung dengan kehadiran dan policy keamanan dari militer sehingga konteks peristiwa bergeser menjadi konflik horizontal antara kelompok sipil. Kehadiran milisi dipaparkan sebagai sesuatu yang terpisah dari institusi militer. Bahkan pengertian milisia sipil ini tidak ditemukan dalam dakwaan, kelompok ini diindetifikasi sebagai salah satu pihak dari pertentangan horinsontal pro dan anti kemerdekaan. Ini mengakibatkan dakwaan tidak dapat memperlihatkan

(8)

kemunculannya sebagai kelompok yang “sengaja” dibentuk sebagai bagian dari policy

keamanan di Timor Timur.

Konteks ini dapat menyebabkan putusnya mata rantai untuk memperlihatkan hubungan langsung peran militer dan pejabat sipil pemerintahan dalam pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh milisi sipil pro integrasi tersebut. Pemutusan keterkaitan pelanggaran berat HAM dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya menyebabkan tidak munculnya sejumlah peristiwa kekerasan yang dilakukan pejabat militer dan kelompok-kelompok milisi sipil bentukannya. Sebaliknya rumusan dakwaan kemudian justru memunculkan konteks persoalan di Timor Timur sebagai ketegangan dan konflik horizontal antara kelompok pejuang kemerdekaan dengan kelompok pro integrasi yang tidak puas dengan proses jajak pendapat. Akibat penggunaan perspektif tersebut, juga mempengaruhi kemampuan dakwaan untuk secara tajam mendukung dakwaan command responsibility. Titik terpenting dalam dakwaan ini adalah upaya menunjukkan ukuran yang tepat untuk membuktikan bahwa tindakan atau kebijakan yang dilakukan pemegang otoritas (sipil atau militer) dapat dikatakan sebagai bentuk pengabaian informasi, tidak efektif, secara patut dan benar. Hal ini berkaitan langsung dengan pengertian omission (pembiaran) dan commission (perintah). Namun dalam dakwaan tersebut tidak terdapat beberapa data penunjang penting seperti struktur komando, garis kebijakan dan pengendalian, serta besar dan jumlah dan perbandingan petugas yang tersedia dengan besaran wilayah dan populasi serta hubungan antara kelompok-kelompok milisi sipil dengan TNI/ABRI. Dengan demikian ini mempersulit rumusan tindakan dari pejabat sipil/militer yang dapat dikategorikan sebagai bentuk commission.

Meskipun beberapa poin dalam surat dakwaan dapat menjadi permulaan yang membantu

hakim dalam pembuktian khususnya mengenai bentuk omission dan commission dengan

menyertakan tindakan pejabat sipil/militer berupa dukungan aktif, pembiaran, atau bahkan bantuan pada tindakan yang dilakukan kelompok milisi sipil pro integrasi.1

3. Eksepsi/Nota keberatan dan keputusan sela

Terhadap dakwaan ini pengacara para terdakwa melalui nota keberatannya meminta pengadilan menghentikan pemeriksaan. Penghentian di dasarkan pada beberapa keberatan atas surat dakwaan berisi sejumlah keberatan meliputi:

1 Lihat berkas surat dakwaan pada drs Herman Sedyono, liliek koeshadianto, dll hal 2; Lihat juga berkas dakwaan Timbul Silaen hal.3. Dalam berkas dakwaan ini bahkan diuraikan bahwa sebagai pemegang otoritas terdakwa tidak melakukan pencegahan terhadap kata-kata yang diucapkan Eurico Guteres dalam apel akbar Pam Swakarsa pada tanggal 17 April 1999 yang diduga menyebabkan anggota Aitarak dan Besi Merah Putih melakukan penyerangan pada penduduk sipil yang diduga sebagai massa pro kemerdekaan. Dalam surat dakwaan yang sama dibagian lain juga disebutkan Abilio selaku gubernur propinsi Timor timur mengadakan pertemuan dengan para bupati menganjurkan pembentukan organisasi politik guna menghadapi pelaksanaan jajak pendapat dengan nama Forum Persatuan demokrasi dn Keadilan ( FPDK) dan Barisan rakyat timor timur ( BRT) dan organisasi PAM SWAKARSA di masing-masing dati II untuk menampung aspirasi masyarakat yang pro Integrasi. Adapun dukungan finansial diperoleh dari penggunaan dana APBD .

(9)

1. Latar belakang persoalan Timtim adalah perang saudara yang dimulai sejak tahun 1974 sampai terjadinya jajak pendapat 1999.

Persoalan timor timur merupakan persoalan yang telah ada sejak tahun 1974 terutama antara kelompok yang menginginkan berdiri sendiri dan kelompok pro integrasi. Apa yang terjadi dalam rentang waktu pra dan paska jajak pendapat merupakan reaksi spontan yang muncul karena kelompok pro integrasi menemukan kecurangan dalam proses jajak pendapat yang dilakukan oleh UNAMET sehingga apa yang terjadi tidak dapat dikategorikan dalam pelanggaran berat ham seperti diatur dalam UU NO 26 tahun 2000. 2. Yurisdiksi /kewenangan pengadilan

Berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan, terdapat dua jenis keberatan yang diajukan dalam nota keberatan para terdakwa:

1. Persoalan yang diajukan ini bukan merupakan pelanggaran berat HAM sebagaimana

diatur dalam UU No 26 tahun 2000 sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara.

2. Peristiwa pelanggaran berat ham ini terjadi di wilayah Timor Timur. Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 jo Keppres 56 tahun 2001 maka pengadilan HAM ad hoc tidak memiliki kompetensi relatif untuk mengadili perkara tersebut.

3. Penggunaan asas retroaktif

Penggunaan asas retroaktif merupakan pengabaian terhadap prinsip legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege). Berdasarkan UU No 26 tahun 2000, pengadilan HAM ad hoc mempergunakan asas retroaktif untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Penggunaan asas retroaktif dalam UU no 26 tahun 2000 ini dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam amandemen pasal 18 (i) UUD 1945 dan UU no 39 tahun 1999 pasal 18 (2) tentang

HAM.2 Dengan demikian jika pemeriksaan diteruskan pengadilan justru melakukan

pelanggaran HAM.

4. Pertanggung jawab komando yang berarti meminta seseorang untuk bertanggung jawab

terhadap perbuatan yang tidak dilakukannya secara langsung (dilakukan oleh bawahannya) bertentangan dengan prinsip dasar pemidanaan menurut hukum pidana, karena pertanggungjawaban pidana bersifat individual bagi orang yang melakukannya.3

5. Proses beracara tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Penyidikan dan penuntutan pihak kejaksaan yang melanggar batas waktu yang ditentukan undang-undang sehingga materi dakwaan dengan sendirinya batal demi hukum.4

6. Syarat-syarat formil dalam surat dakwaan tidak terpenuhi.

Beberapa keberatan yang berhubungan dengan syarat formal surat dakwaan sebagaimana diatur dalam pasa; 143 ayat 2 KUHAP, berupa:

1. error in persona (penulisan identitas terdakwa dalam surat dakwaan keliru)5

2 Muncul dalam keseluruhan berkas nota keberatan terdakwa. 3 Lihat nota keberatan Abilio Jose Osorio Soares

4 Lihat berkas nota keberatan untuk terdakwa drs. G Timbul Silaen; Penyidikan dimulai sejak tanggal 18 April 2000 dan surat dakwaan baru dibuat pada tanggal 19 Februari 2002. berdasarkan ketentuan UU No 26 tahun 2000 lama jangka waktu penyidikan maksimal adalah 240 hari

(10)

2. Dakwaan kabur (obscuur libelle)

Fakta-fakta yang dipergunakan jaksa penuntut umum dalam penyusunan dakwaan saling bertentangan sehingga dakwaan menjadi tidak jelas.6

3. Pengadopsian pasal 55 KUHP oleh jaksa penuntut umum merupakan sebuah kesalahan, sebab seharusnya hanya mendasarkan diri pada UU No 26 than 2000.7

Terhadap eksepsi dari terdakwa, majelis hakim pengadilan ad hoc yang menangani ketiga berkas perkara seluruhnya memutuskan menolak permintaan terdakwa dan sebaliknya memutuskan untuk meneruskan proses persidangan pada pemeriksaan pokok perkara.

Berkaitan dengan keberatan terhadap kompetensi absolut dan kompetensi relatif, Majelis hakim memandang bahwa pengadilan HAM ad hoc memiliki kompetensi absolut untuk mengadili pelanggaran berat ham yang terjadi sebelum dibentuknya pengadilan ham berdasar UU No 26 tahun 2000 (ps43 UU No 26 tahun 2000). Sementara mengenai kompetensi relatif, majelis juga memandang pengadilan negeri Jakarta pusat berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah Indonesia (pasal 86 KUHAP). Selain itu, kompetensi relatif ini juga dituangkan dalam Pasal 2 Keppres No 96 Tahun 2001 yang memberi kewenangan kepada pengadilan HAM ad hoc untuk memutus dan memeriksa perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pada bulan April-September 1999 dan di Tanjung Priok pada bulan September 1984.8

Tabel 2 : keputusan sela dan dasar pertimbangan yang dipergunakan

Keberatan yang diajukan dalam eksepsi

Berkas perkara

Pertimbangan hakim atas keberatan terdakwa 1. Berkaitan dengan kompetensi

1. Kompetensi Absolut Herman

Sediyono dkk9

Dakwaan terhadap Sugito merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematik dimana perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan

2. Kompetensi relatif Timbul Silaen

Abilio Jose Osorio Soares Herman Sediyono, dkk.

Tim penasehat hukum kurang cermat membaca isi UU No 26/2000 khususnya pasal 43 ayat 2&3 yang

mengatur mengenai pengadilan HAM Ad hoc.10

Berdasarkan ketentuan pasal 5 UU No 26/2000 pengadilan ham ad hoc berhak mengadili perkara pelanggaran berat HAM di luar wilayah Indonesia yang pelakunya adalah warga negara Indonesia.

5 Dalam dakwaan terhadap drs. Timbul Silaen

6 Lihat nota keberatan Abilio Jose Soares, drs Timbul Silaen, drs Herman Sedyono, dkk. 7 lihat dakwaan terhadap terdakwa Sugito.

8 Pembacaan Amar Putusan Sela terhadap drs. Herman Sedyono, Lilik Koeshadianto, dkk tanggal 9 April 2002.

9 Lih. Eksepsi Herman Sediyono, dakwaan terhadap Sugito adalah tindak pidana umum dan bukan pelanggaran ham berat

(11)

Berdasar pasal 86 KUHAP PN Jakarta wenang mengadili tindak pidana diluar negeri.11

2. Berkaitan dengan UU No

26/2000

1. berkaitan dengan asas legalitas karena penggunaan asas retroaktif Timbul Silaen Abilio Herman Sediyono, dkk.

Berdasar prinsip keadilan impunity terhadap pelanggaran berat ham dirasakan tidak adil jika dibandingkan dengan tidak menerapkan asas legalitas, dalam praktek hukum internasional seperti perkara Nuremberg, Tokyo, Rwanda berlaku asas Nulum delictum noella poena sine lege iure, kejahatan ham berat adalah perbuatan yang mengguncang nilai kemanusiaan dan mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Keterkaitan pasal 18 UU no 39/1999 dan pasal 28i UUD 45 secara sepenggal-sepenggal akan menimbulkan kekeliruan, pasal 28i harus dihubungkan dengan pasal 28j seperti terdapat dalam penjelasan UU no 26/2000, bahwa terhadap kejahatan HAM berat dapat diberlakukan asas retroaktif dengan pembatasan sebagaimana tercantum dalam pasal 28j UUD 45. Asas retroaktif merupakan ius cogens yang harus dipatuhi tanpa memerlukan ratifikasi.

2. kekuatan hukum UU 26/2000 kabur dan kontradiktif

Abilio Jose

Osorio Soares Hakim tidak memiliki kewenangan menguji UU kecuali berdasar ketentuan pasal 26 UU No 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman. UU dibentuk dengan tata cara yang sah dan mengikat secara hukum. Berdasarkan ketentuan pasal 24 (1) amandemen kedua UUD 45 bahwa mahkamah konstitusi utuk menguji uu sampai saat ini belum terbentuk. Penggunaan asas retroaktif dalam UU ini merupakan pengecualian yang secara sadar dilakukan oleh pembuat UU.

3. Proses penyidikan

1. penyidikan melampaui batas

waktu Timbul Silaen12

Herman Sediyono

Alasan ini menjadi tidak penting setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Tidak cukup untuk menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.

2. penggunaan ketentuan yang dianggap tidak lagi memiliki kekuatan hukum

Herman sediyono dkk13

Dengan ditolaknya perpu 1/199 tentang pengadilan HAM oleh DPR, penyidikan yang telah berlangsung berdasarkan perpu tersebut tetap berlaku sepanjang

11 Lih. Putusan sela Abilio Osorio Soares

12 Lih. Berkas Timbul Silaen; Penyidikan atas terdakwa dimulai sejak tanggal 18 April 2000 dan seharusnya telah selesai pada bulan Desember 2000

13 Lih. Eksepsi Herman Sediyono, dkk. Penydidikan dianggap tidak sah karena menggunakan perpu No 1 tahun 1999 yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum

(12)

tidak bertentangan dengan UU No 26/2000 sampai tidak dinyatakan berlaku lagi oleh UU No 26/2000.

5.Dakwaan

1. penggunaan pasal 55 KUHP

dalam dakwaan Herman Sediyono,

dkk.14

Penggunaan pasal ini tidak bertentangan dengan hukum karena hanya merupakan ketentuan umum yang menyebutkan mengenai peran dari masing-masing terdakwa

2. kesalahan penyebutan identitas pelaku dalam dakwaan

Herman Sediyono15

Perubahan ini tidak masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud dalam pasal 144 (2) KUHAP yang mengakibatkan kerugian di pihak terdakwa, sehingga belum cukup mengakibatkan tidak diterimanya dakwaan

3. dakwaan tidak cermat,

obscure libel, kontradiktif, Timbul Silaen Herman Sediyono, dkk.

Surat dakwaan telah memenuhi ketentuan pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP dengan telah mencantumkan waktu tindak pidana, menguraikan perbuatan materiil yang didakwakan, surat dakwaan telah lengkap memuat unsur-unsur yang ditentukan undang-undang. Pengadilan memutuskan hal tersebut merupakan perkara yang harus dibuktikan dalam pemeriksaan.16

4. error in persona Timbul

Silaen17

Herman Sediyono, dkk.18

Keberatan diluar ketentuan pasal 156 KUHP sehingga bukan merupakan keberatan yang sah menurut hukum.

Keberatan telah memasuki pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan.19

5. lalai mencantumkan pasal 43

UU No 26/2000 Drs. Herman Sediyono, dkk Alasan tidak dpaat digunakan unutk menyatakan dakwaan batal demi hukum. Meskipun tidak mencantumkan pasal tersebut, peristiwa yang didakwakan telah cukup jelas, bahkan dicantumkan ketentuan pemidanaan lain diluar pasal 43.

6. para pelaku penyerangan

belum pernah di periksa Herman Sediyono, dkk Ini bukan merupakan alasan penyebab tidak diterimanya dakwaan penuntut umum karena tidak

14 Lih. Berkas Herman Sediyono, jaksa penuntut Umum Ad hoc mengadopsi pasal 55 ayat 1(2) KUHP untuk menunjuk peran terdakwa sebagai penganjur perbuatan pidana.

15 Lih eksepsi Herman Sediyono dkk, Jaksa keliru menyebut identitas terdakwa, seharusnya beragama Islam dalam dakwaan tertulis beragama Kristen.

16 Lih. Putusan sela untuk Herman Sediyono, dkk.

17 Lih. eksepsi timbul silaen; Dakwaan error in persona sebab sejak tanggal 4 September telah terjadi pengalihan kewenangan dari POLDA ke TNI, sedangkan pelaksanaan tugas pengamanan sebelum tanggal tersebut telah mendapat pengakuan dari utusan PBB Jamseed Marker atas keberhasilan pengamanan pelaksanaan jajak pendapat.

18 Lih berkas herman sediyono, dakwaan atas drs. Gatot Subyaktoro dianggap error in persona karena terdakwa bukan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban Polda Timtim

(13)

dan diadili ada ketentuan yang mengatur siapa yang harus didahulukan dalam pemeriksaan dan diputus perkaranya.

7. keberatan atas tidak

dipenuhinya “command

rensposibility

Herman Sediyono, dkk.

Keberatan tersebut harus dibuktikan dalam pemeriksaan materi perkara sehingga alasan ini tidak perlu dibahas lebih lanjut.

8. keberatan terhadap penggunaan Keppres 3 tahun 1999 yang batal demi hukum

Drs. Herman

Sediyono Pencantuman Keppres 3/1999 merupakan kekeliruan ketik belaka karena dalam keterangan selanjutnya menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Keppres 43/1999. Hal ini tidak menyebabkan batalnya dakwaan 9. Keberatan terhadap kekeliruan tanggal mengenai diumumkannya jajak pendapat Drs. Herman Sediyono, dkk

Pengadilan menganggap ini termasuk pokok perkara

10. surat dakwaan tidak sah karena berdasarkan pada Perpu No 1 Tahun 1999 yang tidak berlaku saat ini

Herman

Sediyono, dkk Pendapat penasehat hukum terdakwa bahawa perpu tersebut tidak berlaku adalah tidak benar, sebab merkipun perpu tersebut ditolak oleh DPR, perpu tersebut masih memiliki kekuatan hukum sampai berlakunya RUU yang diajukan pemerintah sebagai pengganti Perpu, sehingga tidak terdapat kekosongan hukum. Sehingga penyidikan yang telah berlangsung masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU no 26 tahun 2000.

Penggunaan asas retroaktifitas dipandang sebagai bentuk penyimpangan, bukan berupa

pelanggaran melainkan bentuk pengecualian yang memang dikenal dalam ilmu hukum.20

Selain itu penggunaan asas ini bukan merupakan pengabaian atas asas legalitas dalam hukum pidana. Majelis hakim menegaskan bahwa penggunaan asas retroaktif didasari oleh prinsip pencarian keadilan lebih utama dari upaya penegakan kepastian hukum. Sebab kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bentuk extra ordinary crime yang diakui secara universal sebagai musuh bersama umat manusia yang harus diadili dan sihukum. Penegakan asas legalitas tidak boleh menjadi sarana impunity bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu berdasarkan praktek-praktek peradilan pidana internasional dimulai dari pengadilan internasional terhadap penjahat perang di Nuremberg, Tokyo, Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda, pengadilan distrik Jerusalem untuk pelanggaran berat HAM genosida pada Adolf Eichman ternyata penggunaan asas retroaktif disimpangi demi tegaknya keadilan.21 Bersamaan dengan hal itu praktek peradilan internasional juga

mengembangkan penggunaan yurisdiksi internasional terhadap pelanggaran berat HAM, yang pada gilirannya juga menyimpangi penggunaan asas nebis in idem, karena dengan adanya yurisdiksi internasional setiap negara bahkan wajib mengadili pelaku kejahatan tanpa melihat kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun korban. Apabila penyelesaian di tingkat nasional

20 Lihat amar putusan sela terhadap Abilio Jose Osorio Soares yang dibacakan pada tanggal 4 April 2002 21 ibid

(14)

tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan independen dan tidak memihak, kehadiran peradilan internasional untuk menegakkan keadilan dapat menjadi bentuk penyimpangan asas

nebis in idem dalam hukum pidana.22

Pertimbangan hakim ini merupakan sebuah langkah maju mengingat keseluruhan klausul mengenai kejahatan berat kemanusiaan yang menjadi dasar persidangan diadopsi dari Statuta Roma. Dan oleh karenanya, di tingkat nasional Indonesia belum memiliki pengalaman yang dapat dirujuk sebagai acuan bagi hakim. Upaya melihat praktek pengadilan di tingkat internasional yang menggadopsi klausul yang sama dari statuta roma merupakan pilihan yang tak terhindarkan. Selain itu, mengadili para pelanggar HAM berat dan extra ordinary crimes

telah merupakan sebuah ius cogens yaitu norma hukum yang harus dipatuhi dan diikuti tanpa diratifikasi sehingga semua negara secara hukum terikat untuk melaksanakannya (obligatio erga omnes), dan jika perlu mengabaikan asas legalitas dan aturan hukum nasional, termasuk diantaranya asas ne bis in idem dan asas retroaktifitas.

Patut menjadi catatan bahwa sesungguhnya terdapat sumber-sumber sebagai acuan yang sampai saat ini belum dimanfaatkan baik oleh hakim ataupun jaksa. Salah satunya adalah hasil pengadilan serupa atau setidaknya yang berkaitan dengan perkara yang tengah disidangkan yang berasal dari pengadilan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di timor timur, seperti dalam pengadilan kasus di Los Palos oleh pemerintahan transisi PBB untuk Timor Lorosae.23

Upaya yang telah dilakukan oleh jaksa penuntut umum ad hoc dengan menggali unsur-unsur dalam kejahatan kemanusian dalam dakwaan yang disusun haruslah menjadi dasar pemeriksaan yang akan dilakukan pada pokok perkara. Sebab upaya pembuktian unsur-unsur dalam kejahatan kemanusiaan yang penting seperti unsur serangan terhadap penduduk sipil, meluas dan sistematik membutuhkan ketelitian dan kerja keras dari majelis hakim ad hoc yang mengadili perkara.

4. Proses Persidangan

Dalam proses persidangan ditemukan beberapa persoalan dalam administrasi pengadilan berkenaan dengan akses informasi mengenai persidangan. Antara lain tidak ditemukan adanya pemberitahuan resmi mengenai jadual persidangan dalam papan publikasi resmi pengadilan. Sehingga publik tidak dapat mengetahui secara persis di mana dan kapan akan dilakukan sidang. Selain itu juga tidak terdapat tata cara atau mekanisme yang mengizinkan publik untuk mengakses sejumlah dokumen mendasar seperti dakwaan.

Berkaitan dengan suasana persidangan, kehadiran kelompok-kelompok yang patut diduga diorganisir secara rapi turut menimbulkan rasa tidak aman pada publik yang akan mengikuti jalannya sidang. Kelompok-kelompok ini antara lain Front Pembela Bangsa Indonesia (FPBI), Kelompok-kelompok orang Timor Timur yang mengenakan kostum bertuliskan “korban

22 Lihat amar putusan sela untuk drs. Herman Sedyono, lilik Koesdiyanto, dkk.

23 Kasus ini menyidangkan beberapa anggota milisi pro integrasi yang tertangkap ketika sedang menunggu kapal penjemput untuk dibawa ke wilayah timur barat. Mereka mengakui keterlibatannya dalam sejumlah pembunuhan dan penganiayaan warga sipil di timor timur. Beberapa memberikan testimony yang mengungkapkan peran TNI/ABRI dalam pembentukan kelompok-kelompok milisia.

(15)

penipuan PBB”, beberapa kelompok dari TNI/ABRI dan polisi berpakaian preman yang secara bergiliran memenuhi tempat duduk pengunjung yang tersedia. Kehadiran kelompok-kelompok ini terkadang membuat gaduh ruang sidang, beberapa bahkan merokok dan menghidupkan alat komunikasi.

Sementara itu hakim sendiri tidak terlalu memberikan perhatian untuk menegakkan tata tertib sidang sehingga hampir di setiap sidang suasana ini terus berlangsung. Pengunjung sering memberi semangat dan tepuk tangan disertai teriakan bila pengacara terdakwa dan saksi yang dihadirkan mengucapkan kata-kata yang menunjukkan simpati pada TNI/ABRI sebagai pejuang pembela keutuhan bangsa. Suasana persidangan yang semacam ini semestinya dapat merupakan indikasi adanya contempt of court terhadap persidangan. Apabila suasana sidang seperti ini, akan sangat menyulitkan jaksa apabila harus menghadirkan saksi korban ke depan sidang pengadilan.

Jakarta, April 2002

Tim Monitoring Pengadilan HAM

Gambar

Tabel 2 : keputusan sela dan dasar pertimbangan yang dipergunakan  Keberatan yang diajukan dalam

Referensi

Dokumen terkait

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2015 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Faktor Eksternal, total nilai bobot faktor yang tertinggi untuk peluang (opportunities) adalah pemeriksaan dilakukan secara periodik yaitu 12 bulan hingga 4 tahun,

Pada tabel di atas nilai sig variable DPK = 0.7675 > 0.05 sehingga H0 tidak ditolak, yang berarti variable independen DPK secara parsial tidak berpengaruh signifikan

Perluasan infeksi odontogenik hingga ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus servikal, sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis dapat menyebabkan kematian jika

Sungai Mahakam menggunakan 2 mesin pompa menuju ke Instalasi Pengolahan Air/bak koagulasi. 3) Kemudian di bak koagulasi ini akan dilakukan penuangan bahan kimia yaitu berupa

Tandakan (√) pada aktiviti fizikal yang dapat meningkatkan kapasiti aerobik dan (X) pada aktiviti yang sebaliknya..

layout design Cost, quality, delivery and reliability 5 Lean tools for improving the layout Flexibility, cost, quality, delivery and reliability Table 2 Leanness assessment

JOGLOSEMAR (2011), Direktur Utama PD BPR BKK Tasikmadu, Sugimin mengungkapkan BPR BKK Tasikmadu mempunyai pekerjaan rumah untuk membereskan kredit macet yang