• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh Juwono Sudarsono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh Juwono Sudarsono"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh Juwono Sudarsono

MALAPETAKA di Bali, yang merenggut lebih dari 180 jiwa pada 12 Oktober 2002, akhirnya menegaskan keberadaan kelompok teror di Indonesia yang terkait dengan terorisme

internasional. Demikian pernyataan resmi Pemerintah Indonesia usai sidang kabinet pada Senin 14 Oktober yang lalu. Yang masih dalam penyelidikan aparat hukum dan keamanan adalah "kelompok teror di Indonesia" yang mana, dan bagaimana "kaitan"-nya dengan "terorisme internasional" yang mana.

Pertanyaan-pertanyaan sekitar peristiwa 12 Oktober 2002 di Bali itu penting bagi kita, karena beragam tanggapan terhadap malapetaka di Bali tidak lepas dari persoalan siapa yang memberi tanggapan, bagaimana yang bersangkutan merumuskan tanggapannya, dan apa maksud menyampaikan tanggapannya itu.

Ragam tanggapan berupa pernyataan, komentar bahkan tudingan-balik telah muncul di

berbagai media sehingga lengkaplah simpang siur pendapat di kalangan masyarakat Indonesia yang dihujani berbagai versi "teori konspirasi" atau "teori dalang" yang amat digemari kalangan media massa, terutama televisi.

Sebagian menanggap di Indonesia, misalnya, berpandangan bahwa ledakan itu adalah

"rekayasa Amerika Serikat (AS)" yang bermaksud untuk "menekan Pemerintah Indonesia" agar menangkap "orang Islam" yang dituduh terkait atau ikut membina "kelompok teroris Islam" yang sudah ditangkap aparat keamanan di Malaysia, Singapura, dan Filipina, sejak akhir tahun 2001.

Sebagian pejabat eksekutif dan legislatif Indonesia menganut pandangan ini, yang berpijak pada keyakinan bahwa Indonesia (dan khususnya umat Islamnya) sengaja disudutkan oleh pemerintah asing, khususnya AS. Sebagian lagi, termasuk mereka yang disebut sebagai "pengamat intelijen", berpendirian bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan CIA (Central Intelligence Agency) dengan maksud "mengadu domba rakyat Indonesia" agar Indonesia "tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi AS".

(2)

"orang-orang Orde Baru dan unsur-unsur mantan TNI" yang "ingin melemahkan pemerintahan Megawati". Ironinya, menuding CIA sebagai dalang di balik setiap peristiwa biasanya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, selama tahun 1948-1967, diteruskan oleh pengamat Marxis dan neo-Marxis tahun 1970-an di AS dan Eropa hingga sekarang.

Oleh karena semua pernyataan, komentar, dan tudingan-balik di Indonesia mengandung unsur spekulasi panas bahwa segala kejadian politik "pasti ada da-langnya", maka tiap pandangan dianggap "masuk akal" dan cepat melayani berbagai selera konsumsi politik Indonesia.

Meskipun dahsyat, menarik dan mengasyikkan, teori konspirasi dan teori dalang sesungguhnya menunjukkan bahwa sebagian bangsa kita masih amat mudah melemparkan kesalahan kepada pihak luar untuk menutupi kelemahan diri kita sendiri.

***

MASALAH bagaimana mengatasi terorisme (baik nasional, regional Asia Tenggara, ataupun global) juga jadi bahan perdebatan di berbagai acara gelar wicara televisi. Sebagian politisi dan pengamat menyalahkan lemahnya aparat intelijen Indonesia, khususnya Badan Intelijen Negara dan Bais (Badan Intelijen Strategis TNI) dalam bekerja sama dengan aparat intelijen negara Asia Tenggara.

Ada yang mengusulkan agar dibentuk badan baru yang dapat menjalin koordinasi dan tindakan intelijen di bawah satu atap. Sebagian lagi mengusulkan agar undang-undang antiterorisme secepatnya diluluskan di DPR.

Ada pula yang berpendapat bahwa ledakan bom di Bali itu terjadi akibat pemisahan Polri dari TNI sehingga koordinasi antar-aparat menjadi lemah, karena itu, katanya, sebaiknya Polri-TNI disatukan lagi.

Semua usulan itu lebih bersifat perubahan bentuk formal yuridis, yang pelaksanaannya secara efektif hanya dapat dijawab dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi obyektif para anggota aparat intelijen berpangkat paling rendah di lapangan: Adakah dia dibekali

dengan pendidikan, latihan, perlengkapan, dan dukungan logistik yang memadai. Pengumpulan data dan operasi intelijen memerlukan ketelitian dan pembiayaan mahal, meski mahal itu relatif kecil dibandingkan dengan nilai penyelamatan nyawa dan harta yang dapat dihindari dari

(3)

tindakan teror.

Bagaimanakah sebaiknya langkah pencegahan melawan terorisme di kemudian hari? Pertama, intelijen negara mana pun tidak mungkin mengantisipasi setiap peristiwa sehingga mencapai 100 % kesempurnaan dalam deteksi dan pencegahan. Di negara-negara maju sekalipun diakui bahwa semahal dan secanggih apa pun intelijen elektronik, tak ada satu pun alat teknologi yang dapat dengan jitu membaca setiap saat motivasi perilaku perorangan atau kelompok orang teroris.

Yang maksimal dapat dilakukan adalah meningkatkan kadar intelijen manusia sehingga perilaku perorangan atau kelompok teror dapat terpantau dan dideteksi melalui intuisi tajam atas dasar pengalaman matang di lapangan. Hal ini terutama berlaku untuk setiap petugas polisi dan tentara, tetapi juga petugas kejaksaan, imigrasi, bea dan cukai, serta aparat lain yang berhubungan dengan lalu lintas darat, laut, dan udara, di dalam dan di luar negeri.

Kewaspadaan harus dipadu dengan daya cipta yang tinggi, sebab peristiwa 12 Oktober 2002 di Bali termasuk di luar jangkauan "masuk akal" yang lazim.

Kedua, harus ada keberanian politik agar temuan intelijen secepat mungkin menjadi bahan verifikasi hukum agar setiap tindakan menghasut, menyebar kebencian, kekerasan, perbuatan menakut-nakuti orang lain apalagi teror, dapat ditindak berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sesung-guhnya cukup banyak

mengandung pasal-pasal yang langsung dapat dikenakan terhadap setiap orang atau kelompok (agama, suku, ras, dan kedaerahan) yang nyata-nyata melanggar ketertiban umum, termasuk perbuatan yang menggunakan kekerasan dan mengganggu kenyamanan masyarakat.

Selama ini, alasan "menunggu payung hukum" berupa undang-undang antiterorisme hanya memperkuat dugaan bahwa aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, kurang memiliki

kemauan politik untuk menindak pelaku tindak pidana tanpa pandang bulu. Tidak ada jaminan bahwa dengan adanya undang-undang antiteror, tindakan polisi dan TNI akan lebih sigap.

***

TIADANYA penindakan tegas terhadap berbagai laskar, front, atau majelis yang

(4)

politis kalangan "Islam mapan" yang berkepentingan dengan perlunya dukungan "Islam jalanan" menjelang pemilihan umum tahun 2004.

Para pemimpin "Islam mapan", baik di pemerintah, MPR/DPR, partai politik, ataupun perhimpunan lain dinilai kurang tegas menegur para pimpinan "Islam jalanan" yang secara nyata melakukan berbagai tindak kekerasan, perusakan terhadap usaha hiburan yang dinilainya maksiat, menakut-nakuti warga lain, merusak tempat ibadah agama lain, bahkan melakukan perbuatan teror terhadap sesama warga Islam sendiri. Ada rasa enggan untuk secara terbuka menyalahkan "sesama orang Islam" meski secara pribadi mengutuk

sekeras-kerasnya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan "rakyat kecil".

Oleh karena itu, jikalau para anggota "Islam mapan" merasa tersandera untuk tidak menegur, menindak atau meluruskan sesama orang Muslim bahwa perbuatan merusak dan

menakut-nakuti warga lain adalah justru bertentangan dengan ajaran Islam yang baik dan benar, maka dunia luar akan sulit percaya bahwa negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini patut menjadi teladan dalam menawarkan jalan keluar dari terorisme internasional.

Bagaimana menyanggah citra Indonesia yang ganas dan tidak berperikemanusiaan kalau sebagian kecil "Islam jalanan" dibiarkan berkeliaran menggunakan tongkat, parang atau pedang samurai sambil membajak ajaran Islam dengan menamakan dirinya sebagai "polisi susila" dan "pembela rakyat kecil"?

Benar bahwa harus ada verifikasi hukum berdasarkan temuan aparat kita tentang ada tidaknya perkaitan teror domestik, teror regional di Asia Tenggara, dan teror internasional yang terkait dengan Al Qaeda. Benar bahwa kedaulatan hukum harus sebagian besar berada di tangan aparat hukum kita.

Para pemimpin "Islam mapan" telah bersikap benar dalam menekankan perlunya pembuktian hukum yang nyata dan jelas dalam upaya membela nama Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam bukanlah "sarang teroris internasional".

Akan tetapi, setiap pemimpin "Islam mapan" di semua lembaga pemerintahan negara maupun swasta juga harus berani secara terbuka menyatakan bahwa premanisme adalah premanisme, pemalakan adalah pemalakan, dan kriminal adalah kriminal, sekalipun memakai kemasan Islam

(5)

dengan gaya laskar, front, ataupun majelis.

Sesungguhnya, keberanian untuk bersikap tegas, sambil menyantun dan mengulurkan tangan kepada para anggota "Islam pinggiran" ke arah jalan yang lurus, yang taat hukum dan yang bersahabat dengan pemeluk agama lain, adalah langkah konkret yang paling ditunggu-tunggu aparat keamanan kita. Langkah demikian pula yang ditunggu-tunggu dunia internasional.

Pada akhirnya, melawan terorisme nasional, regional Asia Tenggara, ataupun internasional, adalah upaya bersama seluruh bangsa dan khususnya para pemimpin Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Merekalah mata, telinga, dan tangan intelijen yang sesungguhnya. Melaksanakan reformasi ekonomi, politik, dan hukum yang menuju keadilan sosial akan meyakinkan dunia luar bahwa umat Islam di Indonesia, termasuk mereka yang sementara masih terpinggirkan,

sungguh-sungguh menempuh amanah Islam sebagai "jalan damai".

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi dan Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah

Dari uraian diatas mengenai program IMC yang telah dilakukan oleh SPC Mobile sebagai bagian dari aktifitas promosi, penulis menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan metode snowball throwing dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan pencapaian KKM mata pelajaran IPS materi

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan

"roses pengeluaran sputum dari paruparu, bronkus dan trakea yang dihasilkan oleh klien "roses pengeluaran sputum dari paruparu, bronkus dan trakea yang dihasilkan oleh

analyze and identify entrepreneur behaviour on business performance especially to Small Medium Enterprise (SMEs) banana processing in South Garut.. The study was

”Penggunaan Limbah Pertanian Sebagai Biofumigan untuk mengendalikan Nematoda Puru Akar (Meloidogynespp.) pada Tanaman Kentang ”. Dibimbing oleh Lisnawita dan

Platform Components Komponen-komponen platform yang digunakan dan standard masing-masing Usage Examples Contoh sistem-sistem yang menggunakan pola ini. Maturity Trend industri, status