BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) 1. Sistematika tanaman (Krisnawati, 2010)
Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Subfamily : Faboideae Tribe : Phaseoleae Genus : Psophocarpus Spesies : P. tetragonolobus L.
Di Indonesia, tanaman kecipir dikenal dengan beberapa nama, yaitu kacang botol atau kacang belingbing (Sumatera), jaat (sunda), kelongkang (Bali), dan biraro (Tertane). Sedangkan diberbagai negara, kecipir dikenal dengan nama goa bean, winged bean, four angled bean
(Inggris), dambala (Sinhala, Srilanka), kacang botol (Malaysia), sigarillas
(Tagalog, Filipina), sirahu avarai (Tamil), dan tua phoo (Thailand) (Burkill, 1935).
Tanaman kecipir tumbuh merambat sehingga memerlukan bantuan penopang dalam penanamanya dan panjang tanaman ini dapat mencapai 2-5 m. Batangnya silindris, beruas dan jarang mengayu. Warna batang umumnya hijau. Akarnya berupa akar tunggang dengan akar lateral yang panjang dan menebal dan mampu membentuk umbi. Daun berupa trifoliate (beranak tiga) dengan leaflet atau anak daun umumnya berbentuk deltoid dengan ujung lancip, panjangnya 7-8,50 cm. Bentuk pertualangan daun menyirip, berselang-seling, dan berwarna hijau. Bunga kecipir hampir
sama dengan tanaman kacang-kacangan lainnya yaitu berupa bunga kupu-kupu dengan warna sayap bervariasi biru muda, biru, ungu muda atau ungu. Bunga berjumlah 2-10 buah yang berada dalam tandan di ketiak daun dan kelopak bunga berwarna biru pucat. Buah berbentuk polong persegi empat dengan panjang 15-40 cm. Setiap segi bersayap dan bagian pinggirnya berombak, bergerigi ataupun berlekuk, berwarna kuning-hijau, hijau atau krem dan kadang disertai lurik merah, lebar sayap 30-1 cm. polong muda berwarna hijau deengan ragam merah muda, merah muda, merah sampai ungu dan berubah menjadi coklat dan hitam setelah masak. Polong berisi 5-20 biji. Biji berbentuk bulat dan berkulit sangat keras, panjang biji 0,60-1 cm dan bobot 0,04-0,64 g. Biji berwarna kuning, kehijauan, coklat, putih sampai atau berbintik (Handayani, 2013; Krisnawati, 2010).
2. Kandungan kimia kecipir
Kandungan protein pada biji kecipir lebih besar dibandingkan dengan polong muda, umbi, maupun daunnya. Selain protein, biji kecipir juga mengandung asam amino (Rismunandar, 1986). Kandungan asam amino dari biji kecipir bersifat asam dan basa antara lain prolin, serin, dan
lisin dalam jumlah yang cukup tinggi (Chan & de Lumen, 1982).
Polisakarida salah satu kandungan karbohidrat yang sebagian besar terdapat pada biji kecipir, seperti hemiselulosa dan selulosa yang memiliki rantai panjang sehingga sulit dicerna oleh tubuh. Sedangkan beberapa jenis oligosakarida dan monosakarida seperti sukrosa, stakiosa, rafinosa, arabinosa, dan glukosa mudah dicerna oleh tubuh. Kadar lemak biji kecipir sekitar 15-20,4% (National Academy of Science, 1975). Lemak biji kecipir banyak mengandung tokoferol (vitamin E) yang berfungsi sebagai antioksidan. Beberapa vitamin yang terdapat pada biji kecipir antara lain β-karoten, thiamin, riboflavin, niacin, pyridoxine, folic acid, dan ascorbat acid (Handayani, 2013).
Selain itu, biji kecipir juga mengandung mineral-mineral yang penting bagi tubuh seperti kalsium, Zn, sodium, potassium, magnesium, fosfor dan besi. Zat besi penting untung pembentukan hemoglobin darah, terutama untuk ibu hamil dan menyusui disarankan untuk mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kecipir untuk mencegah anemia akibat kekurangan zat besi (Handayani, 2013).
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyuni (2010) menyatakan bahwa pada biji kecipir diketahui mengandung senyawa isoflavon. Isoflavon merupakan salah satu senyawa flavonoid yang memiliki gugus fenol. Flavonoid dilaporkan memiliki banyak aktivitas farmakologis seperti antivirus, antiplatelet, antiinflamasi, antitumor dan antioksidan. Senyawa isoflavonoid yang banyak ditemukan adalah daidzin dan genistein yang tersebar ditanaman keluarga Fabaceae (Dewick, 2002).
3. Pemanfaatan tradisional kecipir
Semua bagian tanaman kecipir dapat di konsumsi kecuali batangnya dan kecipir kaya akan protein sehingga kecipir disebut dengan tanaman multi fungsi. Polong muda, umbi, daun muda dan bunga dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Biji kering dari kecipir dapat diekstrak minyaknya, diolah menjadi susu, tempe, tahu, miso. Tepung biji kecipir dapat digunakan sebagai sumber protein dalam pembuatan roti (Krisnawati, 2010). Bagian-bagian tanaman kecipir oleh masyarakat digunakan sebagai bahan obat tradisional antara lain untuk penambah nafsu makan, obat radang telinga, obat bisul, dan lain-lain (Handayani, 2013).
4. Aktivitas farmakologi
Penelitian oleh Yoga et al (2007) membuktikan bahwa ekstrak metanol daun kecipir menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap
terhadap Salmonella typhii. Penelitian oleh Sasidharan et al (2008) membuktikan bahwa ekstrak metanol akar kecipir menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Candida albicans dengan kosentrasi hambat 3,13 mg/mL. Penelitian yang dilakukan Dewi (2014) menunjukkan bahwa ekstrak metanol biji kecipir memiliki aktivitas sebagai anti kanker serviks. Penelitian lain oleh Bagarib (2014) juga menunjukkan bahwa fraksi heksana biji kecipir mampu menghambat proliferasi sel kanker payudara.
B. Inflamasi (Radang)
Inflamasi merupakan suatu respon penting terhadap infeksi dan cedera jaringan. Proses inflamasi ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh, dimana tubuh akan berusaha untuk menetralisir dan menghambat agen-agen yang berbahaya. Tanda - tanda terjadinya inflamasi (Kee et al., 2009) adalah : 1. Kemerahan (Eritema) disebabkan karena darah terakumulasi didaerah cedera jaringan yang diakibatkan oleh adanya pelepasan mediator kimia tubuh yaitu kinin, prostaglandin, dan histamin. Histamin ini mendilatasi arteriol.
2. Pembengkakan (Edema) disebabkan karena plasma menembus kedalam jaringan interstisial di tempat cedera. Kinin akan medilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler.
3. Panas (Kalor) disebabkan karena bertambahnya pengumpulan darah dan adanya pirogen yaitu zat yang dapat menimbulkan demam yang akan mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.
4. Nyeri (Dolor) disebabkan karena adanya pembengkakan jaringan yang meradang dan pengeluaran mediator-mediator kimia yang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal sehingga dapat menimbulkan rasa sakit.
5. Hilangnya fungsi/perubahan fungsi (Fungsio laesa) disebabkan karena adanya penumpukan cairan di tempat cedera jaringan dan rasa nyeri yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena.
Respon inflamasi dibagi dalam tiga fase yaitu inflamasi singkat akut, inflamasi sub akut lambat dan inflamasi proliferatif kronis. Inflamasi singkat akut merupakan respon yang ditandai dengan adanya vasodilatasi lokal dan meningkatnya permeabilitas kapiler; respon inflamasi sub akut lambat, tanda yang menonjol dari respon ini adalah infiltrasi sel leukosit dan sel fagosit; dan respon inflamasi proliferatif kronis ditandai dengan adanya kerusakan jaringan dan fibrosis (Gilman, 2012).
Membran sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh adanya stimulus kimiawi, fisik ataupun mekanis. Membran sel yang rusak mengaktifkan enzim fosfolipase untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arakhidonat dan di aktifkan oleh enzim siklooksigenase dan lipooksigenase menjadi bentuk yang tidak stabil (endoperoksida dan asam hidroperoksida) yang akan dimetabolisme menjadi tromboksan, prostacyclin, prostaglandin dan leukotrien. Bagian prostaglandin dan leukotrien ini yang bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan dan nyeri (Tjay & Rahardja, 2007).
C. Antiinflamasi
Tujuan utama pengobatan antiinflamasi adalah untuk meringankan rasa nyeri dan untuk memperlambat atau (dalam teori) membatasi perusakan jaringan. Obat-obat antiinflamasi mempunyai aktivitas menekan atau mengurangi peradangan dengan melalui berbagai cara yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ketempat radang, dan menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme tersebut, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan cara menghambat fostfolipase, enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakhidonat dari membrane lipid. Ketika fostfolipase dihambat maka pembentukan prostaglandin maupun leukotrien dihambat. Contoh golongan obat ini
anatara lain prednison, deksametason, hidrokortison dan betametason (Tjay & Rahardja, 2007).
2. Antiinflamasi non steroid
Obat ini bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Contoh golongan obat ini antara lain Na diklofenak, ibuprofen, indometasin, meloksikam, dan piroksikam (Gunawan, 2007).
Na diklofenak digunakan sebagai kontrol positif dalam penelitian ini, obat ini merupakan derivat fenilasetat yang termasuk NSAID yang memiliki daya antiiradang paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya seperti indometasin, piroxicam (Tjay & Rahardja, 2007). Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim siklooksigenase yang mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Absorpsi obat ini berlangsung cepat dan lengkap yang terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas pertama (first-pass) sekitar 50%. Waktu paruh dalam plasma yaitu 1-2 jam. Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan bahwa efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh tersebut. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis (Gilman, 2012).
D. Metode Uji Antiinflamasi
1. Metode pembentukan eritema
Metode ini didasarkan pada pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang dicukur bulunya dengan suspensi barium sulfat, setelah 20 menit diberikan air hangat (Vogel, 2002).
2. Metode induksi oxazolon edema telinga tikus.
Telinga tikus diinduksi larutan oxazolon 2% sebanyak 0,01 ml pada telinga bagian kanan, setelah 24 jam terjadi inflamasi. Selanjutnya hewan dikorbankan dibawah anastesi dan dibuat preparat dengan diameter
8 mm. Perbedaan berat merupakan indikator dari edema inflamasi (Vogel, 2002).
3. Metode pembentukan edema buatan
Metode ini didasarkan pada kemampuan agen iritan untuk menghambat produksi edema dikaki belakang tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang. Beberapa agen iritan yang digunakan antara lain ragi, formaldehid, dextran, albumin telur, kaolin, aerosol, sulfat seperti karagenan. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagenan volume edema diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji (Vogel, 2002).
Karagenan merupakan salah satu agen iritan yang digunakan untuk pengiduksi inflamasi. Karagenan adalah polisakarida sulfat bermolekul besar sebagai induktor inflamasi yang berasal dari tanaman Chondrus crispus. Karagenan menginduksi cedera sel dengan melepaskan mediator inflamasi. Karagenan sebagai penginduksi edema dapat bertahan selama 6 jam dalam waktu 24 jam. Edema yang ditimbulkan oleh injeksi karagenan diperkuat oleh mediator inflamasi yaitu PGE1 dan PGE2 dengan cara menurunkan permeabilitas vaskuler sehingga protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga menimbulkan edema (Mariappan
et al., 2012).
4. Metode iritasi pleura
Didasarkan pada pengukuran volume eksudat yang terbentuk karena iritasi dengan agen radang. Volume eksudat akan berkurang dengan adanya aktivitas obat yang diuji secara oral (Vogel, 2002).
5. Metode pembentukan kantong granuloma
Metode ini didasarkan pada pengukuran volume eksudat yang terbentuk dalam kantong granuloma (Vogel, 2002).
E. Pengertian Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000). Sedangkan ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Harbone, 1996).
F. Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari dua cara yaitu cara dingin dan cara panas (Depkes RI, 2000).
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruang (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan secara kontinu (terus menerus).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada suhu ruang.
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut sampai pada temperatur didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokhletasi
Sokhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang biasanya dilakukan dengan menggunakan alat khusus sehingga
terjadi ekstraksi berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, biasanya dilakukan pada temperatur 400-500 C.
d. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur 960-980C dalam waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ( ≥ 300C) dan temperatur sampai titik didih air.