• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transfer of the proteinase inhibitor II gene into soybean through Agrobacterium tumefaciens vector for pod borer resistance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Transfer of the proteinase inhibitor II gene into soybean through Agrobacterium tumefaciens vector for pod borer resistance"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Pod borer (Etiella zinckenella Tr.) is one of the most important pests in soybean and still difficult to be managed conventionally. The use of resistant cultivars is the best strategy and relative safe, but the source of resistance gene to pod borer is not found in soybean germplasm so far. The development of transgenic soybean resistant to pod borer is an alternative way to solve the problem. The objectives of this research were to obtain the best protocol for soybean transformation through Agrobacterium tumefaciens and soybean plants resistant to pod borer. On the first experiment, young embryos and cotyledons of soybean explants cv. Wilis and Tidar were inoculated with A. tumefaciens strain EHA 105 contained plasmid pCambia 1301 with gus gene in T-DNA region. The treatments were included an optical density, inoculation time, cocultivation time, and type of explant. Result indicated that the best protocol for inoculation was using young cotyledon as explants with 1 x 108 cell/ml of A.

tumefaciens for 90 minutes inoculation and 5 days cocultiva-tion. On the second experiment, 1,539 young cotyledon explants from Wilis and 984 explants from Tidar were inoculated with A. tumefaciens contained pinII gene on plasmids pGApinII construct. Result indicated that Wilis was better than Tidar. Wilis explants produced eight plants (AW1 -AW8), while Tidar only produced one plant (AT1) on media with 200 mg/l kanamycine. Molecular analysis using PCR indicated that only event AT1 was positive (containing pinII gene), while eight plants from event AW were all negative. Bioassay of first generation of event AT1 (AT1R1) to pod borer larvae indicated that transformed plants showed a lower in pod damages (58.8%) compared to control plants (95.5%). [Keywords: Glycine max, gene transfer, Agrobacterium tumefaciens, pest resistance, Etiella zinckenella]

ABSTRAK

Penggerek polong (Etiella zinckenella Tr.) merupakan salah satu hama penting kedelai dan masih sulit dikendalikan secara konvensional. Penggunaan varietas tahan merupakan strategi terbaik dan relatif aman, tetapi hingga saat ini sumber gen

ketahanan tersebut belum ditemukan pada plasma nutfah kedelai yang ada. Perakitan tanaman kedelai transgenik tahan penggerek polong merupakan alternatif terbaik untuk meng-atasi masalah ini. Penelitian bertujuan mendapatkan protokol terbaik untuk transformasi kedelai melalui Agrobacterium tumefaciens dan tanaman kedelai tahan penggerek polong. Pada percobaan I, eksplan embrio dan kotiledon muda varietas Wilis dan Tidar diinokulasi dengan A. tumefaciens strain EHA105 dengan plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen gus pada bagian T-DNA. Perlakuan meliputi kerapatan bakteri, lama inokulasi, lama kokultivasi, dan jenis eksplan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol terbaik untuk inokulasi adalah menggunakan eksplan kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 108 sel/ml selama 90 menit dan

5 hari kokultivasi. Selanjutnya, pada percobaan II 1.539 eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan 984 Tidar di-inokulasi dengan A. tumefaciens pGApinII yang mengandung gen pinII. Hasil regenerasi dan seleksi dengan kanamisin 200 mg/l menunjukkan bahwa Wilis lebih baik daripada Tidar, karena Wilis dapat menghasilkan 8 planlet/tanaman (AW1 -AW8) sedangkan Tidar hanya satu planlet/tanaman (AT1). Analisis molekuler terhadap sembilan tanaman tersebut me-nunjukkan bahwa hanya event AT1 yang positif mengandung gen pinII, sedangkan delapan tanaman dari event AW hasil-nya negatif. Bioasai pada tanaman generasi pertama dari event AT1 (AT1R1) terhadap larva penggerek polong menunjukkan bahwa tanaman AT1R1 memiliki persentase kerusakan polong yang lebih rendah (58,8%) dibandingkan tanaman kontrol (95,5%).

[Kata kunci: Kedelai, transfer gen, Agrobacterium tumefaciens, ketahanan terhadap hama, Etiella zinckenella]

PENDAHULUAN

Penggerek polong (Etiella zinckenella Treitschke)

merupakan hama penting pada kedelai. Rata-rata luas areal serangan hama ini mencapai 11.000 ha setiap tahun dengan kehilangan hasil berkisar 20-40%. Intensitas serangan bahkan dapat mencapai 90% jika tidak dilakukan upaya pengendalian (Nurdin et al. 1995).

Transfer gen

proteinase inhibitor

II pada kedelai

melalui vektor

Agrobacterium tumefaciens

untuk ketahanan terhadap

hama penggerek polong (

Etiella zinckenella

Tr.)

Transfer of the proteinase inhibitor II gene into soybean through Agrobacterium tumefaciens vector for pod borer resistance

Saptowo J. Pardal1, G.A. Wattimena2, Hajrial Aswidinnoor2, M. Herman1, Edy Listanto1, dan Slamet1

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,

Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, Indonesia

2Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,

(2)

Penggunaan varietas kedelai tahan hama penggerek polong merupakan alternatif pengendalian yang potensial. Namun, perakitan varietas kedelai tahan melalui persilangan konvensional menghadapi ken-dala dengan belum ditemukannya varietas kedelai yang betul-betul tahan terhadap penggerek polong untuk digunakan sebagai sumber gen ketahanan. Delapan varietas kedelai yang dinyatakan relatif tahan terhadap penggerek polong (diuji di Mojokerto, Jawa Timur), setelah diuji ulang tidak satu pun menun-jukkan ketahanan tinggi terhadap hama tersebut (Tengkano dan Soehardjan 1985). Djuwarso et al. (1994) yang melakukan seleksi ketahanan terhadap 339 galur kedelai dalam dua musim kemarau berturut-turut di daerah Lampung (1991-1992) juga tidak mendapatkan galur yang memiliki ketahanan terhadap penggerek polong (rata-rata mengalami kerusakan polong > 60%).

Gen proteinase inhibitor(pin) merupakan gen yang dapat menghasilkan senyawa antinutrisi yang dapat menghambat kerja enzim proteolitik (proteinase)

dalam perut serangga (Ryan 1990). Gen ini dapat di-gunakan untuk merakit tanaman transgenik tahan hama. Apabila gen ini berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresikan dengan baik, maka serangga yang memakan tanaman tersebut akan terganggu sistem pencernaannya, terhambat per-tumbuhannya dan akhirnya mati jika tingkat peng-hambatannya tinggi (Jhonson et al. 1990). Serine proteinase inhibitors (tripsin dan kimotripsin inhibi-tor) telah menunjukkan keefektifannya menghambat perkembangan larva beberapa jenis Lepidoptera, di antaranya Ostrinia nubilalis (Steffens et al. 1978),

Manduca sexta (Shukle dan Murdock 1983), Heliothis zea, dan Spodoptera exigua (Broadway dan Duffey 1986). Transformasi dengan gen pin telah berhasil dilakukan, di antaranya pada padi (Xu et al. 1996) dan ubi jalar (Newell et al. 1995) menggunakan gen tripsin

inhibitor cowpea, kemudian pada tembakau meng-gunakan gen pinI dan II (Jhonson et al. 1990).

Metode transfer gen pada tanaman yang paling ba-nyak digunakan adalah dengan vektor Agrobacterium. Metode ini sangat sederhana dan murah, karena pada prinsipnya gen interest disisipkan ke plasmid T-DNA

Agrobacterium lalu diinokulasikan ke jaringan target yang telah dilukai. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat diinfeksi oleh Agrobacterium sehingga aplika-sinya terbatas pada beberapa jenis tanaman saja (Hinchee et al. 1988).

Penelitian bertujuan untuk melakukan transfer gen

pinII kentang ke dalam tanaman kedelai melalui vektor

Agrobacterium tumefaciens. Melalui penelitian ini

diharapkan diperoleh protokol terbaik untuk trans-formasi kedelai dan dapat dihasilkan tanaman kedelai hasil transformasi yang mengandung gen pinII dan tahan terhadap hama penggerek polong.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Mole-kuler dan Fasilitas Uji Terbatas (FUT), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Penelitian menggunakan dua varietas kedelai yang sudah populer di petani, yaitu Wilis dan Tidar. Dua varietas ini dipilih karena memiliki daya regenerasi in vitro

yang cukup baik pada penelitian sebelumnya dan peka terhadap penggerek polong. Sebagai vektor trans-formasi digunakan A. tumefaciens strain EHA 105 dengan plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen

gus dan hph serta strain LBA 4404 dengan plasmid

pGApinII yang mengandung gen pinII dan nptII. Optimasi transformasi dengan gen gus

Benih kedelai Wilis dan Tidar ditanam di rumah kaca. Setelah tanaman mulai berbunga (35-40 hari) dilakukan penandaan bunga yang sedang mekar (anthesis). Polong dipanen pada saat berumur 14-15 hari setelah penandaan. Polong dicuci dengan air sabun dan di-bilas air bersih. Kemudian polong direndam dalam larutan clorox 20% selama 25-30 menit, lalu dibilas dengan akuades steril 3-4 kali.

Eksplan kotiledon dan embrio muda diisolasi dari polong steril ini. Sebelum inokulasi, eksplan diperlaku-kan dengan 1 : 1 cairan bakteri dan medium Luria Bertani (LB). Untuk mencegah pengaruh merusak dari inokulum bakteri dilakukan pembiakan bakteri selama 24 jam, kemudian disentrifugasi dan dimasukkan ke suspensi medium MS (Murashige dan Skoog 1962) + 100 mM sukrosa + 200 M asetosiringon, pH 5,7. Cara inokulasi mengikuti prosedur dari Hinchee et al. (1988) menggunakan strain A. tumefaciens EHA 105 dengan plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen

gus dan hph. Perlakuan inokulasi meliputi kerapatan bakteri (optical density = OD600) yaitu 0,5; 1; 1,5, lama inokulasi (60 dan 90 menit), serta lama kokultivasi (3 dan 5 hari inkubasi). Jumlah eksplan untuk setiap per-lakuan sebanyak lima eksplan.

Uji ekspresi gen gus pada eksplan hasil inokulasi

Agrobacterium dilakukan setelah 3 dan 5 hari inkubasi menggunakan prosedur dari Jefferson (1987). Uji GUS positif jika terjadi bercak biru pada jaringan eksplan.

(3)

Makin tebal dan banyak warna biru, makin tinggi ekspresi gen gus.

Transformasi dengan gen pinII

Eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar di-inokulasi dengan A. tumefaciens strain pGApinII (membawa gen pinII dan nptII) pada OD600= 1 (setara 108 sel/ml) selama 90 menit shaker (protokol terbaik).

Eksplan yang telah diinokulasi selanjutnya dikering-kan pada cawan petri yang telah diberi alas kertas saring steril, lalu dipindahkan ke medium kokultivasi (MS + vitamin B5 + asetosiringon 20 mM). Kultur diinkubasi dalam ruang gelap selama 5 hari.

Eksplan dicuci dengan larutan Cefotaxime 200 mg/l, lalu dikulturkan pada media seleksi I1 yang terdiri atas medium MS + vitamin B5 (Gamborg et al. 1968) + NAA 10 mg/l + L-glutamin 30 mg/l + L-asparagin 30 mg/l + sukrosa 5 mg/l (Pardal et al. 1997) ditambah kanamisin 200 mg/l. Pada 4-6 minggu kemudian, eksplan yang tumbuh dan mengalami embriogenesis dipindahkan ke medium seleksi I1-1 yaitu medium I1 dengan kadar NAA 1 mg/l + kanamisin 200 mg/l. Embrio somatik yang telah dewasa/sempurna dikecambahkan pada medium G01 (MS + vitamin B5 + GA3 0,1 mg/l). Planlet yang dihasil-kan dipindahdihasil-kan ke medium 1/2 MS + vitamin B5 + IBA 1 mg/l untuk inisiasi perakaran selama 2-3 minggu, kemudian diaklimatisasi ke media tanah dalam pot. Analisis molekuler tanaman hasil transformasi Prosedur isolasi DNA dan PCR menggunakan proto-kol dari ICI Seeds Co. USA (Listanto et al. 1996). Sampel DNA hasil isolasi dari daun muda sebanyak 4 µl dimasukkan ke dalam tabung PCR 0,5 ml, kemudian ditambahkan 2,5 µl 10 x bufer PCR (Promega), 2 µl campuran dNTPs (2,5 mM setiap dNTP, Promega), 1 µl masing-masing primer untuk pinII, 10,33 µl ddH2O dan

0,175 µl Taq polymerase (total volume 25 µl). Tabung sampel ditambah satu tetes minyak mineral lalu ditutup dengan selotip tahan panas.

Program PCR yang digunakan yaitu tahap satu (inisiasi denaturasi) pada 94oC selama 5 menit, tahap

dua (denaturasi) pada 94oC selama satu menit, tahap

tiga (annealing) 55oC satu menit, dan tahap empat

(pemanjangan) satu menit pada suhu 72oC. Tahap 2-4

diulangi 35 siklus, lalu dilanjutkan ke tahap lima (inkubasi) pada suhu 72oC selama 5 menit. Produk PCR

di-loading pada 1% agarosegel yang mengandung ethidium bromida bersamaan dengan sampel DNA tanaman kontrol dan DNA standar (gen pinII). Gel hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV dan

difoto dengan film polaroid. Data berupa pita-pita DNA dianalisis berdasarkan ada tidaknya DNA pinII sebesar 600 bp.

Bioasai tanaman hasil transformasi terhadap larva

E. zinckenella

Pengujian dilakukan di FUT BB Biogen dengan me-tode infestasi langsung (in vivo) larva umur satu hari

(neonate). Tanaman yang diuji adalah kedelai ke-turunan pertama dari event AT1. Tiga puluh benih kedelai AT1R1 dan Tidar nontransgenik sebagai kontrol ditanam dalam pot dan dipelihara di rumah kaca. Setelah tanaman mulai berpolong (50 hari), setiap tanaman dipilih 10 polong yang berbeda tempatnya, lalu setiap polong diinfestasi dengan 3 ekor larva

Etiella sp. Selanjutnya polong ditutup dengan kan-tung plastik berlubang untuk mengisolasi larva. Pengamatan dilakukan setelah tanaman dipanen untuk mengetahui persentase serangan larva pada polong dan biji. Pengelompokan kriteria ketahanan tanaman kedelai terhadap hama penggerek polong mengacu pada hasil penelitian Akib dan Baco (1985) sebagai berikut: tanaman tahan jika serangan polong 0-10%, agak tahan 11-30%, agak peka 31-50%, peka 51-70, dan sangat peka 71-100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi transformasi melalui Agrobacterium

Eksplan embrio dan kotiledon muda kedelai sangat responsif terhadap infeksi A. tumefaciens. Ketiga perlakuan kerapatan bakteri dapat menghasilkan bercak biru pada semua eksplan, namun OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml) memberikan persentase

gus positif terbaik pada kedua jenis eksplan. Lama inokulasi 90 menit memberikan hasil terbaik untuk kedua jenis eksplan dan kokultivasi di ruang gelap selama 5 hari lebih baik daripada 3 hari (Tabel 1).

Keberhasilan infeksi dan transfer gen oleh A. tumefaciens antara lain ditentukan oleh jenis dan kondisi eksplan, ada tidaknya luka/pelukaan, kerapat-an bakteri, lama inokulasi, dkerapat-an lama kokultivasi (Hinchee et al. 1988). Untuk jenis eksplan, semakin muda jaringan eksplan akan semakin mudah diinfeksi oleh bakteri. Hal ini ditunjukkan pada penelitian ini; dua jenis eksplan yang digunakan, yaitu kotiledon dan embrio muda, dapat diinfeksi oleh A. tumefaciens. Uji GUS pada kedua jenis eksplan tersebut mem-berikan hasil yang positif (ada bercak biru) pada jaringan eksplan. Luka pada jaringan eksplan sangat

(4)

mempengaruhi infeksi bakteri. Luka akan meng-hasilkan senyawa fenolik, misalnya asetosiringon, yang merangsang kerja gen virulen dan gen chv(gen

chromosomal) dari bakteri A. tumefaciens sehingga terjadi infeksi dan transfer gen (T-DNA) (Zambryski et al. 1989). Oleh karena itu, pada media kokultivasi selalu ditambahkan asetosiringon untuk meningkat-kan daya infeksi bakteri pada sel-sel eksplan.

Kerapatan bakteri juga menentukan keberhasilan infeksi. Jumlah bakteri yang diperlukan dalam proses infeksi suatu eksplan harus tepat. Jika jumlahnya kurang, proses infeksi tidak efektif, sebaliknya jika jumlah bakteri terlalu banyak akan terjadi pertumbuh-an bakteri ypertumbuh-ang berlebih (overgrowth). Akibatnya tingkat kompetisi bakteri sangat tinggi dan per-tumbuhan eksplan terhambat atau mati sehingga proses infeksi tidak efektif (Siswanto et al. 1997). Ketiga perlakuan kerapatan bakteri (OD600) yang di-gunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil uji GUS yang positif, artinya ketiga kerapatan bakteri tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri ke dalam sel-sel eksplan kedelai. Namun, perlakuan OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml)

me-rupakan kerapatan bakteri A. tumefaciens yang ideal

untuk infeksi eksplan kedelai. Pada OD ini, semua perlakuan menghasilkan persentase GUS positif yang selalu tinggi dibandingkan OD lainnya, baik pada eksplan kotiledon maupun embrio muda (Tabel 1).

Lama inokulasi juga menentukan keberhasilan in-feksi bakteri. Semakin lama waktu inokulasi, peluang infeksi semakin tinggi. Untuk eksplan yang berukuran besar, tebal, dan tua seperti pada penelitian ini diperlukan waktu inokulasi yang lebih lama. Inokulasi selama 90 menit menunjukkan hasil uji GUS yang lebih baik dibandingkan selama 60 menit (Tabel 1).

Lama kokultivasi (inkubasi) antara bakteri dan eksplan juga sangat mempengaruhi keefektifan infeksi bakteri. Inkubasi yang terlalu cepat menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik, sehingga belum mampu menginfeksi sel-sel eksplan dengan sempurna. Sebaliknya, jika inkubasi terlalu lama akan terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berlebihan sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan eksplan. Kokultivasi 5 hari ideal untuk infeksi A. tumefaciens pada eksplan kotiledon muda kedelai daripada inkubasi 3 hari (Tabel 1).

Dari dua jenis eksplan yang digunakan, embrio muda memberikan persentase GUS positif yang lebih tinggi

Tabel 1. Persentase gus positif pada eksplan embrio dan kotiledon muda kedelai Wilis hasil transformasi dengan

Agrobacterium tumefaciens.

Table 1. Gus positive percentage on immature embryo and cotyledon explants of Wilis transformed with Agrobacterium tumefaciens.

Jenis eksplan/ Jumlah Lama inokulasi 60 menit Lama inokulasi 90 menit

kerapatan bakteri eksplan Inoculation time (60 min) Inoculation time (90 min) Explant type/ Explant

3 hari kokultivasi 5 hari kokultivasi 3 hari kokultivasi 5 hari kokultivasi bacterial density number

3-day cocultivation 5-day cocultivation 3-day cocultivation 5-day cocultivation (OD600) Embrio muda Immature embryo 0 , 5 6 2 2 1 1 (33,3) (33,3) (16,7) (16,7) 1 6 3 4 4 5 (50) (66,7) (66,7) (83,3) 1 , 5 6 0 1 3 1 ( 0 ) (16,7) (50) (16,7) Kotiledon muda Immature cotyledon 0 , 5 6 0 1 0 4 ( 0 ) (16,7) ( 0 ) (66,7) 1 6 3 3 3 3 (50) (50) (50) (50) 1 , 5 6 0 4 4 6 ( 0 ) (66,7) (66,7) ( 1 0 0 )

Keterangan: OD600 = 1 setara dengan 1 x 108 sel/ml. Angka dalam kurung adalah persentase.

(5)

daripada kotiledon muda. Namun, bercak biru yang terjadi pada eksplan embrio muda terletak pada bagian bekas potongan kotiledon, bukan pada mata tunas (Gambar 1). Hal ini kurang baik untuk menghasilkan tanaman transgenik, karena regenerasi tunas/tanaman pada eksplan embrio berasal dari multiplikasi (organo-genesis) mata tunas, sehingga tanaman yang dihasil-kan tidak berasal dari jaringan yang tertransformasi. Transformasi dengan gen pinII

Hasil transfer gen pinII pada eksplan kedelai melalui

Agrobacterium menunjukkan bahwa varietas Wilis memberikan jumlah planlet dan tanaman yang lebih banyak (8 tanaman) daripada Tidar yang hanya meng-hasilkan 1 tanaman (Tabel 2). Hal ini disebabkan embrio somatik yang dihasilkan dari eksplan Wilis berukuran lebih besar dan bentuknya lebih sempurna sehingga mudah dikecambahkan menjadi planlet/ tanaman (Gambar 2). Embrio dari eksplan Tidar, walau-pun jumlahnya lebih banyak daripada Wilis, tetapi ukurannya lebih kecil dan kurang sempurna sehingga banyak yang gagal berkecambah dan akhirnya hanya diperoleh satu tanaman saja (Gambar 3). Tanaman hasil regenerasi berhasil diaklimatisasikan dan tum-buh normal di rumah kaca serta menghasilkan polong yang berbiji (fertil).

Keberhasilan penelitian transformasi kedelai sangat ditentukan oleh metode regenerasi dan transformasi yang digunakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah

Tabel 2. Hasil regenerasi dan seleksi tanaman dari eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar yang diinokulasi dengan Agrobacterium tumefaciens yang mengandung gen pinII.

Table 2. Plant regeneration of immature cotyledon explants of Wilis and Tidar inoculated with Agrobacterium tumefaciens containing pinII gene.

Varietas Jumlah eksplan Jumlah embrio somatik Jumlah planlet Jumlah tanaman Kode tanaman Varieties Explant number Somatic embryo number Plantlet number Plant number Plant code

Wilis transformasi 1 . 5 3 9 1 7 1 5 8 AW1-8

(1,1) (0,9) (0,5)

Wilis nontransformasi + 3 0 1 1 0

-kanamisin 200 mg/l (3,3) (3,3) ( 0 )

Wilis nontransformasi 3 0 1 6 9 4 AWO1-4

tanpa kanamisin (53,3) (30) (13,3)

Tidar transformasi 9 8 4 2 1 3 1 AT1

(2,1) (0,3) (0,1)

Tidar nontransformasi + 3 0 0 0 0

-kanamisin 200 mg/l ( 0 ) ( 0 ) ( 0 )

Tidar nontransformasi 3 0 2 4 1 6 6 ATO1-6

tanpa kanamisin (80) (53,3) (20)

Keterangan: Angka dalam kurung adalah persentase. Notes: Numbers in parantheses are percent.

Gambar 1. Hasil uji GUS pada eksplan kedelai hasil trans-formasi dengan Agrobacterium tumefaciens; tampak bercak biru pada eksplan embrio (kiri) dan kotiledon muda (kanan).

Fig. 1. The result of GUS test on soybean transformants through Agrobacterium tumefaciens; blue spot on trans-formant of immature embryo (left) and cotyledon (right).

Gambar 2. Pertumbuhan embrio somatik dari eksplan

kotiledon muda kedelai varietas Wilis (kiri) dan Tidar (kanan) hasil transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens pada media seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l.

Fig. 2. Development of somatic embryo of soybean trans-formant of Wilis (left) and Tidar (right) through Agrobacterium tumefaciens on selection medium containing 200 mg/l kanamycine.

(6)

Gambar 3. Perkecambahan embrio somatik dan aklimatisasi tanaman kedelai Tidar (AT1) hasil transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens; a = planlet, b = aklimatisasi dalam pot, c = tanaman AT1 di rumah kaca.

Fig. 3. Development of somatic embryo and acclimatization of soybean Tidar transformant (AT1) through Agrobacterium tumefaciens; a = plantlet, b = pot acclimatization, c = AT1 plant.

berasal dari sel-sel permukaan (apikal) dan hanya sedikit sel yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik (Finer 1988). Namun, embrio somatik kedelai tidak selalu berasal dari sel-sel apikal. Pembentukan embrio somatik primer bergantung pada jaringan eks-plan dan kadar auksin pada media induksi (Hartweck

et al. 1988).

Dalam induksi embriogenesis, hormon auksin berperan sangat penting. Penggunaan auksin yang tinggi akan mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk (Mariska et al. 2001). Jenis auksin yang biasa digunakan untuk induksi embriogenesis adalah 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan naphthalene acetic acid (NAA). Hormon 2,4-D cenderung menginduksi embrio somatik secara tidak langsung melalui fase kalus sehingga jumlah embrio yang dihasilkan cukup banyak. Namun, embrio yang dihasilkan banyak yang abnormal dan sulit dikecambahkan menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan relatif normal dan mudah dikecambah-kan menjadi planlet/tanaman, tetapi jumlahnya sedikit. Penggunaan NAA 10 mg/l pada penelitian ini mampu menginduksi terjadinya embriogenesis pada eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar, tetapi kualitas dan jumlah embrio somatik yang dihasilkan berbeda. Eksplan kotiledon muda Wilis yang ukurannya lebih besar dapat menghasilkan embrio somatik lebih besar dan normal sehingga mudah dikecambahkan menjadi planlet. Sebaliknya, eksplan kotiledon muda Tidar yang berukuran lebih kecil menghasilkan embrio somatik lebih kecil dan abnormal sehingga sulit di-satu hambatan besar dalam transformasi kedelai

adalah respons tanaman kedelai pada manipulasi kultur in vitro (Finer 1988). Parrott et al. (1989), misalnya, telah menghasilkan kedelai transgenik primer melalui transformasi A. tumefaciens pada eksplan kotiledon muda. Namun, dari kultur ini hanya diperoleh beberapa embrio dan akhirnya hanya ber-kembang menjadi tiga tanaman transgenik.

Kedelai pada dasarnya dapat diregenerasikan me-lalui organogenesis dan embriogenesis. Meskipun dua cara ini sistemnya berbeda, keduanya sangat dipengaruhi oleh genotipe/kultivar tanaman (cultivar-specific responses). Beberapa galur lebih responsif terhadap media kultur dibanding galur lainnya (Pardal

et al. 1994). Galur yang dapat membentuk sejumlah besar embrio somatik selama tahap induksi, mungkin tidak dapat memberikan pertumbuhan/proliferasi yang cepat. Oleh karena itu, kondisi kultur jaringan yang optimum untuk masing-masing galur/kultivar harus ditentukan sesuai dengan metode regenerasinya. Pada penelitian ini, varietas Wilis lebih responsif terhadap media regenerasi daripada Tidar. Eksplan kotiledon Wilis yang ditransformasi dapat membentuk delapan tanaman regeneran, sedangkan dari Tidar hanya satu tanaman (Tabel 2).

Embriogenesis somatik merupakan jalur regenerasi tanaman yang banyak digunakan dalam rekayasa genetika karena tanaman yang dihasilkan dapat ber-asal dari satu sel. Secara genetis, tanaman regeneran yang berasal dari satu sel lebih stabil dibandingkan dengan dua jalur regenerasi lainnya (Ignacimuthu 1997). Studi histologi terhadap kultur jaringan embrio-genik kedelai menunjukkan bahwa proliferasi embrio

(7)

kecambahkan menjadi planlet (Tabel 2). Menurut Finer dan Nagasawa (1988), eksplan kotiledon kedelai dapat menghasilkan banyak embrio somatik dan mudah di-kecambahkan. Namun, jumlah embrio yang dihasilkan setiap eksplan berbeda-beda yang kemungkinan di-sebabkan oleh perbedaan kemampuan regenerasi jaringan dari setiap eksplan (Pardal et al. 1994). Hal yang sama juga terjadi pada penelitian ini, di mana satu eksplan kotiledon muda dapat menghasilkan lebih dari satu embrio somatik dan jumlahnya berbeda antareksplan (Gambar 2).

Analisis molekuler tanaman kedelai hasil transformasi

Transformasi kedelai dengan gen pinII melalui Agro-bacterium menghasilkan delapan tanaman Wilis (AW1-AW8) dan satu tanaman Tidar (AT1). Kesembilan tanaman R0 tersebut selanjutnya diambil contoh daunnya untuk dianalisis DNA-nya dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer spesifik untuk gen pinII. Hasil analisis molekuler menunjukkan bah-wa hanya satu sampel tanaman yang menghasilkan pita sebesar 600 bp (positif), yaitu AT1 (Tidar), se-hingga tanaman ini kemungkinan besar mengandung gen pinII. Delapan sampel tanaman Wilis (AW1-AW8) tidak satu pun menghasilkan pita 600 bp (negatif), sehingga tanaman tersebut kemungkinan besar tidak mengandung gen pinII (Gambar 4). Walaupun ke-delapan tanaman tersebut telah lolos pada media seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l, ke-mungkinan besar tanaman tersebut escaped atau terhindar dari seleksi. Hal ini dimungkinkan karena regenerasi pada proses ini melalui embriogenesis somatik dan media yang digunakan berbentuk padat. Embrio somatik dapat berasal dari satu sel yang ke-betulan tidak terseleksi oleh kanamisin, lalu tumbuh menjadi embrio dan berkembang menjadi planlet/ tanaman.

Bioasai tanaman kedelai AT1 R1 terhadap Etiella sp. Uji bioasai dimaksudkan untuk mengetahui ekspresi gen sisipan pada tanaman hasil transformasi. Makin tinggi tingkat ekspresi gen sisipan, makin tinggi tingkat ketahanan tanaman terhadap hama/penyakit target.

Tiga puluh tanaman kedelai AT1R1 (progeni dari

event AT1) dibioasai terhadap larva penggerek polong yang baru menetas. Secara umum, tanaman AT1R1 tergolong peka terhadap serangan Etiella sp. dengan rata-rata polong terserang 58,8% dan biji terserang 84,3% (Tabel 3). Namun apabila dibandingkan dengan tanaman kedelai Tidar nontransgenik (kontrol), tanaman hasil transformasi masih sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong.

Serangga dari ordo Lepidoptera bergantung pada

serine proteinase (tripsin, kimotripsin, dan estalase)

Tabel 3. Hasil uji bioasai tanaman kedelai R1 (WP2 dan AT1) terhadap larva Etiella zinckenella di FUT BB-Biogen.

Table 3. Bioassay on AT1R1 soybean plants to Etiella zinckenella larvae in the biosafety containment of BB-Biogen, Bogor.

Jumlah Jumlah sampel Rata-rata polong Rata-rata biji Rata-rata ketahanan Event

Kode tanaman tanaman polong terserang terserang tanaman terbaik

Plant code Plant Number of Average of Average of Average of Best

number pod sample infected pod infected seed plant resistance event

(%) (%)

AT1 3 0 2 0 58,8a 84,3b Peka AT1-11

Tidar nontransformasi 3 1 0 95,5 80,3 Sangat peka

Keterangan: Korelasi serangan polong dan biji pada AT1 negatif (α > 0,05).

Notes: Correlation between pod and seed damages on event AT1 were negative (α > 0.05 ).

Gambar 4. Hasil PCR sampel DNA tanaman kedelai R0 hasil transformasi dengan gen pinII melalui Agrobacterium tume-faciens; M = 1kb, 1 = air, 2 = AT1, 3-10 = AW1-AW8, 11 = gen pinII, 12 = Tidar nontransformasi, 13 = Wilis non-transformasi.

Fig. 4. PCR product of plant DNA of Ro soybean transformant containing pinII gene through Agrobacterium tumefaciens; M = 1kb, 1 = water, 2 = AT1, 3-10 = AW1-AW8, 11 = pinII gene, 12 = Tidar nontransformant, 13 = Wilis nontransformant. M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3

(8)

Gambar 5. Hasil bioasai tanaman kedelai AT1R1 terhadap larva Etiella zinckenella; a = polong yang telah diinfestasi larva Etiella sp., b = polong tanaman R1 yang tidak terserang, c = polong tanaman kontrol yang terserang.

Fig. 5. Bioassay of soybean AT1R1 using Etiella zinckenella larvae; a = pod infested with Etiella sp., b = healthy pod (no damages), c = damaged pod on control plant.

KESIMPULAN

Transfer gen pinII pada tanaman kedelai telah berhasil dilakukan melalui A. tumefaciens dengan dihasilkan-nya satu event tanaman AT1 (Tidar) yang menunjuk-kan hasil PCR positif terhadap gen pinII. Protokol terbaik untuk transformasi kedelai melalui A. tumefa-ciens adalah menggunakan eksplan kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 108 sel/ml, lama inokulasi

90 menit, dan lama kokultivasi 5 hari. Tanaman kedelai AT1R1 (Tidar) hasil transformasi melalui A. tumefaciens

sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong daripada tanaman kedelai nontransgenik (konrol).

DAFTAR PUSTAKA

Akib, W. dan D. Baco. 1985. Ketahanan varietas kedelai ter-hadap penggerek polong Etiella zinckenella (Trietsche). Prosiding Simposium Hama Palawija. Perhimpunan Ento-mologi Indonesia Cabang Bandung. Balai Penelitian Ta-naman Pangan Sukamandi. hlm. 58-62.

Bahagiawati, A.H. 2000. Peranan dan potensi dietary insecticidal protein dalam rekayasa genetika tanaman tahan hama. Buletin Agro. Bio. 3(2): 74-79.

Broadway, R.M. and S.S. Duffey. 1986. The effect of dietary protein on the growth and digestive physiology of larval Heliothis zea and Spodoptera exigua. J. Insect Physiol. (32): 673-680.

Djuwarso, T., D.M. Arsyad, Asadi, and A. Naito. 1994. Evalu-ation of soybean resistance to Etiella podborer. In Effec-tive Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Report on CRIFC-JICA Research Cooperation Program 1991-1994. Bogor Research Institute for Food Crops-JICA. p. 21-32.

Finer, J.J. 1988. Apical proliferation of embryogenic tissue of soybean (Glycine max [L.]Merril). Plant Cell Rep. (7): 238-241.

sebagai proteinase utama untuk mendapatkan asam amino dari protein yang dimakannya. Enzim proteinase

mengkatalis pemecahan protein yang dimakan oleh serangga untuk mendapatkan asam amino yang pen-ting bagi pertumbuhan normal serangga (Bahagiawati 2000). Proteinase inhibitor II (pinII) merupakan salah satu contoh senyawa penghambat (inhibitor) kerja enzim serine proteinase khususnya tripsin dan kimotripsin dari serangga Lepidoptera (Bahagiawati 2000). Jhonson et al. (1990) dan Ryan (1990) me-laporkan bahwa apabila gen pinII berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresi-kan, maka serangga yang memakan bagian dari ta-naman transgenik tersebut akan terganggu sistem pencernaannya, terhambat pertumbuhannya dan a-khirnya mati jika tingkat penghambatan pencernaan protein relatif tinggi.

Gambar 5 menyajikan perbedaan antara polong kedelai yang sehat (tahan) dan yang terserang (peka) larva penggerek polong. Polong yang tahan memper-lihatkan biji yang utuh, tanpa ada bekas gerekan larva (Gambar 5b), sebaliknya pada polong yang peka, bijinya rusak atau hampir habis dimakan oleh larva penggerek polong (Gambar 5c). Mekanisme kerja gen

pin berbeda dengan protein racun pada gen cry (Bt). Gen pin hanya menghambat pertumbuhan serangga, bukan meracuni seperti pada gen Bt. Oleh karena itu, untuk mematikan larva Etiella sp. diperlukan ekspresi gen pinII yang sangat tinggi. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata ketahanan dari individu tanaman AT1R1 hanya memperlihatkan ketahanan peka walau-pun kedua event ini telah menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen pinII. Diduga tingkat ekspresi gen pinII pada event ini sangat rendah.

(9)

Finer, J.J. and A. Nagasawa. 1988. Development of an em-bryogenic suspension culture of soybean (Glycine max). Plant Cell, Tissue and Organ Culture (15): 125-136. Gamborg, O.L., R.A. Miller, and K. Ojima. 1968. Nutrient

require-ments of soybean root cells. Exp. Cell Res. (50): 151-158. Hartweck, L.M., P.A. Lazzeri, D. Cui, G.B. Collin, and E.G.

Williama. 1988. Auxin orientation effect on somatic em-bryogenesis from immature soybean cotyledons. In Vitro Cel. Dev. Biol. (24): 821-828.

Hinchee, M.A.W., D.V. Connor-Ward, C.A. Newell, R.E. Mc Donell, S.J. Sato, C.S. Gasser, D.A. Fischoff, D.B. Re, R.T. Fraley, and R.B. Horsch. 1988. Production of transgenic soybean plants using Agrobacterium mediated DNA transfer. Bio. Tech. 6: 915-922.

Ignacimuthu, S. 1997. Plant Biotechnology. Science Publish-ers Inc. Hampshine. p. 204-208.

Jefferson, R.A. 1987. Assaying chimeric genes in plants: the GUS gene fusion system. Plant Mol. Biol. Rep. 5: 387-405. Jhonson, R., J. Narvaez, Ang, and C.A. Ryan. 1990. Expres-sion of proteinase inhibitors I and II in transgenic tobacco plants: effects on natural defence against Manduca sexta larvae. Proc. Natl. Acad. Sci. USA (86): 9871-9875. Listanto, E., S.J. Pardal, and K. Wang. 1996. A simple method of

DNA isolation from transgenic maize plant for polymerase chain reaction. Indon. J. Agric. Biotechnol. 1(1): 33-38. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, and Y. Supriyati. 2001. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. Proceedings of Workshop on Soybean Biotechnology for Al Tolerant in Acid Soils and Disease Resistance. Central Research Institute for Food Crops Biotechnology, Bogor. p. 34-45.

Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bio-assays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant (15): 473-497.

Newell, C.A., J.M. Lowe, A. Merryweather, L.M. Rooke, and W.D.O. Hamilton. 1995. Transformation of sweet potato (Ipomea batatas [L.] Lam.) with Agrobacterium tumefaciens and regeneration of plants expressing cowpea trypsin inhibitor and snowdrop lectin. Plant Sci. (107): 215-227. Nurdin, F., F. Artati, dan Atman. 1995. Hama penggerek

polong kedelai (Etiella spp.): Biologi, serangan dan

pe-ngendaliannya. Buletin Teknik Sukarami, Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami (8): 9-18.

Pardal, S.J., G.A. Wattimena, M.F. Masyhudi, dan S. Harran. 1994. Pengaruh umur embrio dan genotipe tanaman ter-hadap pertumbuhan kultur embrio muda kedelai. Zuriat 5(2): 51-56.

Pardal, S.J., D.R Untari, A. Sisharmini, D. Rijadi, dan M. Herman. 1997. Regenerasi kedelai secara in vitro. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI), Surabaya. PBPI, Bogor. hlm. 27-38.

Parrott, W.A., L.M. Hoffman, D.F. Hildebrand, E.G. Williams, and G.B. Collins. 1989. Recovery of primary transformant soybean. Plant Cell Rep. (7): 615-617.

Ryan, C.A. 1990. Proteinase inhibitors in plants: genes for improving defenses against insects and pathogens. Ann. Rev. Phytopathol. (28): 425-449.

Shukle, R.H. and I.L. Murdock. 1983. Lypogenase, trypsin inhibitor, and lectin from soybeans: Effect on larval growth of Manduca sexta (Lepidoptera: Sphingidae). Environ. Entomol. 12: 787-791.

Siswanto, A. Budiani, T. Chaidamsari, dan A. Darussamin. 1997. Ekspresi gen transien GUS pada tahap awal trans-formasi genetik tanaman kopi melalui Agrobacterium tumefaciens. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. Surabaya. hlm. 149-157.

Steffens, R., F.R. Fox, and Kassell. 1978. Effect of trypsin inhibitors on growth and metamorphosis of corn borer larvae, Ostrinia nubilalis (Hubner). J. Agric. Food Chem. (26): 170-174.

Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Xu, D., Q. Xue, D. Mc Elroy, Y. Mawal, V.A. Hilder, and R. Wu. 1996. Constitutive expression of cowpea trypsin inhibitor gene, CpTi, in transgenic rice plants confers resistance to two major rice insect pests. Mol. Breed. (2): 167-173. Zambryski, P., J. Tempe, and J. Schell. 1989. Transfer and

function of T-DNA genes from Agrobacterium Ti and Ri plasmid in plants. Cell 50: 193-201.

Gambar

Table 1. Gus positive percentage on immature embryo and cotyledon explants of Wilis transformed with Agrobacterium tumefaciens.
Gambar 1. Hasil uji GUS pada eksplan kedelai hasil trans-
Gambar 3. Perkecambahan embrio somatik dan aklimatisasi tanaman kedelai Tidar (AT 1 ) hasil transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens; a = planlet, b = aklimatisasi dalam pot, c = tanaman AT 1  di rumah kaca.
Table 3. Bioassay on AT 1 R 1  soybean plants to Etiella zinckenella larvae in the biosafety containment of BB-Biogen, Bogor.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, reaktor sistem constructed wetland yang digunakan dalam penelitian ini belum efektif dalam mengolah air limbah laundry

Penerapan algoritma winnowing digunakan pada sistem rekomendasi penentuan dosen pembimbing untuk memberikan perhitungan kesamaan antara topik penelitian mahasiswa

Dari hasil evaluasi penggunaan antibiotik yang tepat indikasi sebanyak 24 kasus (63,20%), yang memenuhi kriteria tepat pasien berjumlah 37 pasien (97,4%), yang memenuhi kriteria

[r]

Ordinat titik N dicari dengan membuat garis putus-putus yang sejajar dengan sumbu Y.. Titik pada sumbu X yang dipotong oleh garis itu

Objective : To investigate the implementation of physiotherapy in reducing pain, increasing range of motion and increase muscle strength in the case of low back pain

Karena keindahan dan keunikannya membuat saya tertarik untuk menjadikannya inpirasi untuk membuat rancangan karya fashion dari rupa visual burung eksotis seperti Spix’s Macaw

1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa - siswanya selama proses pembelajaran IPS menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament (TGT).