• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis, baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis, baik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis, baik yang sudah lapuk maupun belum. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama karena proses dekomposisi yang terhambat kondisi an aoerob (Hardjowegeno, 1986). Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara 10.000-5.000 tahun silam. Gambut dataran pesisir di kawasan Asia Tenggara terbentuk antara 6.000 tahun silam, sedangkan pembentukan gambut di Indonesia terjadi antara 4.200-6.800 tahun yang silam (Andriesse,1988).

Dalam konteks lingkungan, ekosistem gambut berfungsi sebagai pengatur air atau hidrologi, sarana konservasi keragaman hayati, serta penyerap dan penyimpan karbon yang mampu meredam perubahan iklim global (Najiyati dkk., 2005). Sebagai pengatur tata air, ekosistem gambut mampu menahan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar hingga 0,8-0,9 m3/m3 (Mudiyarso dkk., 2004). Dengan demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan sehingga menahan banjir dan mengeluarkannya pada musim kemarau. Ekosistem gambut memiliki nilai konservasi keragaman hayati yang tinggi, karena beberapa jenis kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi ditemukan dalam hutan gambut diantaranya jelutung (Dyera costulata), kempas (Koompassia malaccensis), pulai rawa (Alstonia pneunatophor), nyatoh (Palaquium spp), terantang (Campnospermum sp), bintangur (Calophyllum sp), ramin (Gonystylus bancanus), belangeran (Shorea belangeran), meranti (Shorea spp), dan

(2)

sungkai (Penorema canescens). Selain itu pada ekosistem gambut juga ditemukan fauna spesifik di antaranya orang utan (Pongo pygmaeus), kera ekor panjang (Macaca irus), beruang madu (Helarctos malayanus), owa (Hylobates moloch), burung pecuk ulur (Anhinga melanogaster), burung cangak merah (Ardea purpurea) (Wibisono dkk., 2005a). Ekosistem gambut menyimpan karbon yang cukup besar. Karbon yang tersimpan di lapisan gambut dapat 10 kali lebih besar dibandingkan karbon di atas permukaan (Notoprawiro, 1998). Di Indonesia akumulasi cadangan karbon dalam ekosistem gambut diperkirakan berkisar antara 59-118 gC/m2/th (Neuzil, 1997) jauh lebih besar dibandingkan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis yang berkisar antara 8-80gC/m2/th (Harden dkk., 1992). Besarnya cadangan karbon yang tersimpan dalam ekosistem gambut akan dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 dan NH4 ke atmosfer (Page dkk., 2002).

Ekosistem gambut bersifat rapuh. Kegiatan penggunaan lahan gambut yang tidak dikelola secara bijaksana menjadi sumber kerusakan hutan gambut yang berakibat pada kerugian sosial ekonomi dan budaya masyarakat disekitarnya maupun bagi lingkungan yang lebih luas. Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar untuk pertanian di Kalimantan Tengah tahun 1995 pada kawasan gambut seluas 1.457.300 ha, dengan pembuatan drainase yang membelah kubah gambut menimbulkan kerusakan hutan gambut yang luar biasa. Proyek PLG ini dihentikan pelaksanaannya berdasarkan Keppres No. 80 tahun 1998. Hutan gambut yang masih baik di kawasan eks PLG seluas 555.000 ha (Tim Master Plans PLG, 2008). Bagi masyarakat di sekitarnya, dampak yang dirasakan akibat kerusakan hutan gambut di kawasan eks PLG, antara lain: berkurangnya kayu pertukangan untuk membangun rumah, hilangnya mata pencaharian

(3)

untuk kegiatan berburu, mencari rotan, menyadap getah jelutung, getah damar, tumbuhan obat, dan lain-lain. Sedangkan dampak bagi lingkungan, rusaknya ekosistem gambut adalah hilangnya vegetasi dan satwa yang khas hutan gambut dan menjadi salah satu sumber emisi CO2 (Rieley dkk., 2008) yang menyebabkan perubahan iklim global. Hasil perhitungan Suryadiputra (2010), luas PLG yang terdrainase 1 juta hektar dengan kedalaman drainase rata-rata 60 cm, dalam 1 tahun diemisikan 50 juta ton CO2. Kerusakan gambut akibat PLG di Kalimantan Tengah berkontribusi menyumbang 47,67 % bagi peningkatan emisi CO2 di Indonesia (Kinsey, 2009).

Untuk menangani kawasan eks PLG yang dihentikan pelaksanaannya, pemerintah telah mengeluarkan Keppres No. 80 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan PLG di Kalimantan Tengah. Salah satu sasaran dari Keppres No. 80 tersebut adalah penyiapan konsep rehabilitasi kawasan eks PLG dengan titik berat pada upaya pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi di dalam kawasan. Dalam Inpres No. 2/2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan eks PLG di Kalimantan Tengah memberikan beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk rehabilitasi kawasan lahan gambut tersebut, antara lain: (1) membangun kembali hutan alam dengan permudaan alami; (2) membangun perkebunan rakyat; dan (3) membangun hutan rakyat. Menurut Dirjen RLPS No 028/KPTS/V/2001 tanggal 17 Juli 2001 yang dimaksud dengan hutan rakyat adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon di atas tanah hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha dan ditandai dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 % dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang pohon/ha.

(4)

Berdasarkan definisi hutan rakyat tersebut di atas, maka hutan rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat yang dikenal dengan sebutan berbeda-beda, misalnya di Jawa disebut dengan talun,

tembawang di Kalimantan Barat, dan rempong damar di Krui Lampung. Di dalam kawasan eks PLG Kalimantan Tengah juga ditemui hutan rakyat dari budidaya tanaman berkayu yang oleh masyarakat lokal disebut kabun. Umumnya kabun merupakan rotasi perladangan yang didominasi oleh tanaman karet (Hevea brasilliensis) bercampur dengan tanaman jenis buah-buahan seperti rambutan (Nephelium mutabile), durian (Durio zibentinus), cempedak (Arthocarpus sp.), duku (Lansium domesticum corr.), petai (Parthia speciosa) dan lain-lain. Rakyat telah memanfaatkan kawasan gambut dengan menggunakan pola tanam yang mereka aplikasikan sesuai dengan karakteristik lahan yang dihadapinya. Selain itu, pengembangan wilayah di kawasan gambut eks PLG Kalimantan Tengah untuk transmigrasi membuat masyarakat pendatang (transmigran) yang memang sebelumnya memiliki keahlian bertani di daerah asalnya, memanfaatkan kawasan gambut menggunakan pola tanam tetapi disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi di tempatnya sekarang. Pola tanam itu adalah pola agroforest yang dibangun rakyat sesuai dengan tujuan pemenuhan kepentingan mereka dan sejalan dengan tingkat pengetahuan yang ada.

Informasi pengelolaan hutan rakyat di kawasan gambut sangat terbatas. Pemanfaatan lahan gambut untuk hutan rakyat dalam hal pengolahan lahan berbeda dengan pengolahan lahan hutan rakyat di lahan mineral. Pengolahan lahan untuk kegiatan penanaman di habitat gambut relatif lebih sulit dibandingkan lahan mineral. Hal ini disebabkan habitat gambut yang kurang subur (miskin hara), sifat kemasaman yang tinggi (pH 3-5), ketebalan gambut yang sangat bervariasi dari yang dangkal sampai dengan yang dalam, kondisi dan tingkat pelapukan gambut serta penggenangan air akan

(5)

memberikan perlakuan yang bermacam-macam dalam teknik penyiapan lahan, teknik penanaman maupun pemeliharaannya. Oleh karena itu, hutan rakyat yang dibangun masyarakat lokal dan transmigran di kawasan gambut eks PLG ini dapat menjadi kajian yang menarik untuk penyiapan konsep strategis rehabilitasi kawasan lahan gambut eks PLG Kalimantan Tengah yang telah mengalami kerusakan.

Dalam merencanakan pembangunan hutan rakyat, pengelolaan hutan seharusnya mengacu pada peningkatan produktivitas dan keberlanjutan ekologis (Simon, 2007; Charnley dan Poe, 2007). Kegagalan pencapaian tujuan rehabilitasi hutan dan peningkatan pendapatan masyarakat dari pembangunan hutan rakyat disebabkan orientasi tujuan pembangunan hutan rakyat yang tidak berlandaskan pada permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagai contoh, tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri kayu dan kebutuhan masyarakat terhadap kayu pertukangan mempertinggi kemungkinan terjadinya illegal logging dan kerusakan hutan yang lebih luas (Simon, 2010). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah (2009), hasil operasi pengamanan hutan terpadu terhadap illegal logging di Kalimantan Tengah tahun 2008 diperoleh sebesar 14.362.041 m3. Di kawasan PLG sendiri hasil operasi terhadap

illegal logging diperoleh sebesar 4.921,41 m3 untuk kayu bulat dan 818,28 m3 untuk kayu olahan. Produktivitas hutan rakyat di kawasan gambut Kalimantan Tengah masih belum diketahui secara pasti. Diduga rendahnya produktivitas hutan rakyat menjadi salah satu penyebab tingginya illegal logging di kawasan gambut Kalimantan Tengah.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba mengungkap praktek hutan rakyat di kawasan gambut eks PLG Kalimantan Tengah. Apakah praktek pola tanam masyarakat lokal dan masyarakat transmigrasi di kawasan gambut eks PLG ini bisa

(6)

dipakai sebagai baseline strategy untuk rehabilitasi dalam rangka membangun kembali penutupan vegetasi di kawasan gambut yang mengalami kerusakan?. Apakah praktek hutan rakyat di kawasan eks PLG masih ada kelemahan-kelemahan dan masih perlu diperbaiki terutama keefektifan dari sisi produksi untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dan kebutuhan masyarakat terhadap kayu pertukangan, maupun protektif (terhadap ekosistem gambut) sebagai penyerap emisi CO2.

Pendekatan penelitian untuk rumusan strategi pembangunan hutan rakyat di kawasan eks PLG menggunakan strategi kehutanan sosial yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya dan permasalahan kehutanan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan dasar strategi pembangunan hutan rakyat alternatif yang lebih adaftif terhadap kondisi fisik kawasan gambut dan perilaku masyarakat yang melakukannya.

1.2. Perumusan Masalah

Masih banyak yang belum diketahui secara spesifik hutan yang dibangun rakyat pada kawasan gambut yang mereka hadapi. Karakteristik penduduk transmigran (Bali dan Jawa) dan penduduk lokal (Dayak Ngaju) yang berada di kawasan gambut eks PLG ini berbeda dalam hal pengolahan lahan karena kondisi fisik kawasan gambut dan pengetahuan bertani. Untuk membatasi masalah yang diteliti, spesifikasi hutan rakyat yang dilakukan oleh rakyat di kawasan gambut ini didekati dengan mencoba membedakan atas dasar: (a) pola tanam, mulai dari pengolahan lahan, penanaman, dan pemeliharaan; (b) produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (dari aspek produktivitas); (c) struktur dan komposisi vegetasi; dan (d) besaran emisi CO2 sebagai akibat cara pengolahan lahan (dari aspek konservasi gambut) pada 3 tingkat kedalaman kawasan gambut.

(7)

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola tanam, struktur dan komposisi vegetasi, produksi kayu dan HHBK, dan besaran emisi CO2 hutan rakyat berdasarkan tingkat kedalaman gambut di kawasan eks PLG Kalimantan Tengah?

2. Apakah pola tanam, struktur dan komposisi vegetasi, produksi kayu dan HHBK, dan besaran emisi CO2 hutan rakyat dapat digunakan sebagai konsep rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah?

3. Bagaimana strategi pembangunan hutan rakyat sebagai konsep rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah dengan pendekatan kehutanan sosial? 1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan hutan rakyat dari sisi pola tanam, struktur dan komposisi vegetasi, produksi kayu dan HHBK, dan besaran emisi CO2 berdasarkan tingkat kedalaman gambut di kawasan eks PLG Kalimantan Tengah;

2. Menganalisis hutan rakyat dari sisi pola tanam, produksi kayu dan HHBK, struktur dan komposisi vegetasi, dan emisi CO2 di kawasan eks PLG untuk identifikasi kelemahan-kelemahan dan masih perlu diperbaiki sebagai konsep rehabilitasi lahan gambut di kawasan eks PLG Kalimantan Tengah;

3. Menyusun strategi pembangunan hutan rakyat sebagai konsep rehabilitasi lahan gambut di kawasan eks PLG Kalimantan Tengah dengan pendekatan kehutanan sosial.

(8)

1.4. Alur Pikir dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mendukung kebijakan penyiapan konsep rehabilitasi lahan gambut di kawasan eks PLG Kalimantan Tengah. Penelitian ini juga merupakan evaluasi terhadap kecendungan pemanfaatan dan pengembangan wilayah khususnya di kawasan lahan gambut.

Berdasarkan kedalamannya, kawasan gambut dapat dibagi dalam 4 tingkat kedalaman (Tim Master Plans Eks PLG, 2008), yaitu : (1) kedalaman gambut dangkal, dimana lapisan gambut ≤ 50 - 100 cm merupakan daerah pasang surut dari proses fluvial (natural levee); (2) kedalaman gambut sedang, dimana lapisan gambut 100 – 200 cm; (3) kedalaman gambut agak dalam, dimana lapisan gambut 200 – 300 cm merupakan kawasan gambut peralihan atau proses alluvial; dan (4) kedalaman gambut dalam, dimana lapisan gambut ≥ 300 cm merupakan peat dome dengan gambut berpasir (peat sandy terrace). Dalam penelitian ini, kedalaman gambut hanya dibagi dalam 3 tingkat, yaitu : (1) kawasan gambut dangkal (≤ 50-100 cm); (2) kawasan gambut sedang (100-300 cm); dan (3) kawasan gambut dalam (>300 cm).

Batasan hutan rakyat dalam penelitian ini adalah hutan rakyat yang didasarkan atas kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini. Dan, sesuai tujuan yang ingin dicapai, maka ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) pola tanam hutan rakyat, meliputi: penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan; (2) vegetasi penyusun, meliputi: struktur dan komposisi vegetasi, produktivitas kayu dan HHBK; dan (3) mengukur emisi CO2 sebagai peran hutan rakyat di lahan gambut dalam menyerap CO2 dari atmosfer. Secara sederhana ruang lingkup penelitian dinyatakan seperti pada Gambar 1.

(9)

Gambar 1. Ruang lingkup penelitian strategi pembangunan hutan rakyat untuk rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, yaitu: menambah khasanah bentuk pengelolaan hutan rakyat yang berkembang di Indonesia sekarang ini yang berlandaskan kearifan lokal masyarakat setempat khususnya di kawasan lahan gambut, dan 2. Manfaat bagi kelestarian lingkungan, yaitu: keragaman jenis vegetasi hutan

rakyat memberikan informasi untuk menentukan strategi pembangunan hutan rakyat yang tepat dan bijaksana dengan mempertimbangkan aspek sosial,

(10)

ekonomi, budaya maupun fungsi ekologis dalam menjaga kelestarian hutan rawa gambut yang lebih luas.

3. Manfaat bagi pengembangan wilayah, yaitu: memberikan informasi dengan mengambil contoh pembangunan hutan rakyat yang sudah ada di kawasan gambut bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk digunakan dalam pengambilan kebijakan menentukan pengembangan wilayah yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan khususnya di lahan gambut.

4. Manfaat bagi pendapatan dan kekuatan masyarakat, yaitu: pola pengelolaan hutan rakyat yang tepat baik dari sisi pola tanam dan revegetasi hutan rakyat dengan jenis pohon asli hutan gambut yang bernilai ekonomi tinggi akan meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang dan penguatan kemampuan masyarakat dalam membangun dan menjaga kelestarian hutan di kawasan gambut.

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian di lahan gambut lebih banyak difokuskan pemanfaatan lahan gambut untuk usaha tani, perkebunan, dan HTI dan implikasinya terhadap perubahan iklim. Rumbang (2009) melakukan penelitian mengukur besarnya emisi CO2 pemanfaatan lahan gambut untuk lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan karet, lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dan di Kalimantan Tengah dengan menggunakan analisis gas infrared (PP-System, model EGM-4) metode chamber silinder yang terbuat dari alumunium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya emisi CO2 lebih dipengaruhi oleh tingginya permukaan air tanah, dan lamanya lahan gambut dikelola. Perumusan strategi pembangunan hutan tanaman dengan pendekatan kehutanan sosial dilakukan oleh Bahdarsyah (2010) tentang pelaksanaan HTI Pulp di Distrik Malako, Area Pelalawan PT Arara Abadi Riau Propinsi Riau dan interaksi dengan masyarakat tempatan.

(11)

Penelitian Rochmayanto dkk. (2010) tentang perubahan stok karbon dan nilai ekonominya pada konversi hutan rawa gambut menjadi hutan tanaman industri-pulp di Riau menunjukkan peningkatan simpanan karbon vegetasi pada HTI Pulp yang dibangun dari hutan rawa gambut terdegradasi tidak mampu mengimbangi tingginya laju emisi karbon dari tanah gambut. Malassaman (2006) melakukan penelitian potensi hutan rakyat kawasan di kabupaten Toraja, memberikan model pengelolaan hutan rakyat pinus di kabupaten Toraja dalam 4 Satuan Pengelolaan Hutan Rakyat (SPHR), yaitu: (1) SPHR-I; (2) SPHR-II; (3) SPHR-III; dan (4) SPHR IV, untuk menjamin effektivitas dan keberlanjutan produksi kayu. Pembagian SPHR tersebut didasarkan atas wilayah (kecamatan di kabupaten Toraja), potensi tegakan pinus, dan alokasi penebangan. Laiho (2006) melakukan penelitian perubahan fungsi ekosistem gambut melalui perubahan penggunaan lahan menunjukan bahwa penurunan tingkat muka air menyebabkan percepatan dekomposisi bahan organik gambut. Kodir (2009) melakukan penelitian keanekaragaman dan bioprospek jenis tanaman dalam sistem kebun talun di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka.

Penelitian tentang hutan rakyat di lahan gambut secara spesifik belum dilakukan terutama yang mendeskripsikan variabel-variabel pola pengolahan lahan, produktivitas, struktur dan komposisi vegetasi penyusun dan besaran emisi CO2. Perumusan strategi pembangunan hutan rakyat untuk strategi kehutanan sosial dengan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dari variabel-variabel pembangunan hutan rakyat yang ada di kawasan gambut (pola tanam, struktur dan komposisi vegetasi, produktivitas kayu dan non kayu, serta besaran emisi CO2) menjadi salah satu kebaharuan penelitian ini.

Gambar

Gambar  1.  Ruang  lingkup  penelitian  strategi  pembangunan  hutan  rakyat  untuk  rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah

Referensi

Dokumen terkait

Destilasi uap dengan rimpang jahe kering tidak dapat menghasilkan minyak secara maksimal dikarenakan terhalang oleh kendala teknis serta titik didih jahe yang

Terbentuknya sudut datang gelombang akan mempengaruhi nilai arus sejajar pantai dimana dapat memungkinkan sedimen dasar berpindah sepanjang pantai dan terendapkan

Nama perusahaan ini adalah Karoongindo, arti kata Karoongindo tersebut diambil dari kata karoong dengan maksud karung dalam bahasa Indonesia dan karung juga

Dengan hasil tersebut, maka hipotesis penelitian H1 yang menyatakan bahwa Intellectual Capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Keuangan

2012 Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi (dana Tugas Pembantuan/TP dan Dekon) melalui program pengelolaan.. Upaya yang telah dilakukan Direktorat Budidaya Aneka

Pada Bulan September Tahun 2013, PKH mulai aktif di Kabupaten Sukoharjo dan dapat diakses di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sejumlah 12 kecamatan dan 128

DAS Cikapundung Hulu merupakan wilayah yang meskipun didominasi oleh kawasan hutan dan perdesaan namun karena posisinya yang merupakan bagian dari salah satu pusat pertumbuhan

Cocokan atas bukti pemotongan dan bukti surat setoran pajak dengan saldo di buku besar serta lakukan vouching Lakukan rekonsilisasi antara total objek dengan tarif pajaknya