MENGGUNAKAN METODE WAVELET
Oleh : Imam Pamuji
C64104019
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG,
SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA
MENGGUNAKAN METODE WAVELET
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2008
Imam Pamuji C64104019
Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan Metode Wavelet. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan PARLUHUTAN MANURUNG.
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah ada tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola variasi muka laut di stasiun yang dikaji untuk mengetahui pola rambatannya dan menganalisis periode fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui spektrum densitas energi untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi serta menunjukkan hubungan fluktuasi muka laut antar stasiun melalui spektrum korelasi silang.
Pola variasi muka laut yang terjadi di tiap stasiun ditampilkan dalam
bentuk grafik dengan menggunakan metode wavelet І dimensi pada perangkat
lunak matlab 7.1. Untuk menganalisis variasi muka laut berdasarkan periode
dilakukan analisis spektrum densitas energi, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara muka laut antar stasiun ditunjukkan dengan analisis spektrum
korelasi silang. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak statistica 6.
Secara umum tinggi muka laut di stasiun yang dikaji memperlihatkan
adanya periode tengah tahunan (semi annual), tinggi muka laut mengalami dua
kali maksimum dan dua kali minimum dalam setahun. Terjadinya tinggi
maksimum pada periode bulan April hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan pada bulan November ( musim peralihan 2) di stasiun yang dikaji diperkirakan disebabkan oleh adanya gelombang Kelvin yang terbentuk di Samudera Hindia. Periode fluktuasi spektrum densitas energi muka laut yang ditemukan di tiap stasiun mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman (seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly).
Hubungan yang erat fluktuasi muka laut terdapat pada korelasi silang antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan Padang, Padang dan Cilacap, Cilacap dan Benoa yang mengindikasikan bahwa adanya saling keterkaitan mengenai perubahan muka laut yang terjadi. Hubungan fluktuasi muka laut antara di Padang dan Sibolga sangat erat pada periode 4-6 bulan yang ditunjukkan dengan nilai koherensi sebesar 0,98 untuk periode 4 bulan dan 0,97 untuk periode 6 bulan. Nilai beda fase bernilai negatif yang berarti bahwa fluktuasi muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti fluktuasi muka laut di Sibolga setelah 12 jam untuk periode 4 bulan dan 2 hari untuk periode 6 bulan. Secara fisik ini berarti bahwa perubahan muka laut berupa perambatan gelombang bermula dari Padang menuju ke Sibolga.
MENGGUNAKAN METODE WAVELET
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh : Imam Pamuji
C64104019
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
©Hak cipta milik Imam Pamuji, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Nama Mahasiswa : Imam Pamuji
NRP : C64104019
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Ir. John Iskandar Pariwono Dr. Parluhutan Manurung
NIP 130 536 686 NIP 370 000 662
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Allah SWT , karena atas hidayah-Nya skripsi mengenai Analisis Variasi Muka Laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan Metode Wavelet dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang.
Terakhir penulis mengucapakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir. John Iskandar Pariwono yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam proyek penelitian ini yang bekerja sama dengan BAKOSURTANAL.
2. Bapak Dr Parluhutan Manurung sebagai pembimbing II yang telah
banyak memberikan saran dan arahan dalam skripsi ini.
3. Bapak Yadi Aryadi S.Si yang telah membantu pengolahan data dan
mengajarkan teknis wavelet beserta seluruh staf Pusat Geodesi dan Geodinamika BAKOSURTANAL atas kemudahan dan kerja samanya selama pengerjaan skripsi ini.
4. Bapak Dr.Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si selaku Dosen penguji tamu
dan Bapak Dr.Ir. James P. Panjaitan, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 ITK.
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa, dorongan,
inspirasi dan motivasi.
6. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan ITK 41 atas rasa kekeluargaan yang
telah terjalin selama ini.
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
1. PENDAHULUAN ... 1
I.I. Latar belakang ... 1
I.2. Tujuan ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. Paras laut ... 3 2.2. Gelombang Kelvin ... 6 2.3. Wavelet ... 9 2.3.1. Pengenalan wavelet ... 9 2.3.2. Analisa wavelet ... 10 2.3.3. Transformasi wavelet ... 12
2.3.3.1. Transformasi wavelet diskret ... 14
2.3.3.2. Dekomposisi wavelet ... 15
2.3.3.3. Dekomposisi paket wavelet ... 17
3. BAHAN DAN METODE ... 18
3.1. Lokasi dan waktu penelitian ... 18
3.2. Penentuan data penelitian ... 19
3.2.1. Mekanisme Tide gauge ... 19
3.2.1. Data pasang surut ... 20
3.3. Metode analisis data ... 21
3.3.1.Analis deret waktu... 22
3.3.2.Analisa Spektrum ... 23
3.3.2.1.Spektrum densitas energi ... 23
3.3.2.2.Spektrum korelasi silang ... 24
3.3.3.Diagram alir penelitian ... 28
4.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1.Variasi muka laut ... 29
4.1.1. Variasi muka laut di Sabang ... 30
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga ... 32
4.1.3. Variasi muka laut di Padang ... 33
4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap ... 34
4.1.5. Variasi muka laut di Benoa ... 36
4.2.Spektrum densitas energi muka laut ... 37
4.2.1. Fenomena musiman (seasonal) ... 40
4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal) ... 41
4.2.3. Fenomena dua mingguan (fortnightly) ... 43
5.KESIMPULAN DAN SARAN ... 58 5.1.Kesimpulan ... 58 5.2.Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN ... 64 RIWAYAT HIDUP ... 71
Halaman 1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras
laut beserta periode dan amplitudonya ... 5 2. Periode perekaman data pasang surut di stasiun-stasiun
pasang surut yang dikaji ... 21 3. Komponen analisis spektrum korelasi silang ... 25 4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun
Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa ... 40 5. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode musiman ... 45 6. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode intra musiman ... 51 7. Spektrum korelasi silang muka laut
1. Bentuk gelombang ... 10
2. Translasi pada Wavelet ... 10
3. Perubahan skala pada Wavelet ... 11
4. Korespondensi antara skala pada waktu dengan frekuensi pada Wavelet ... 11
5. Beberapa tipe dari fungsi Wavelet Ψ(x) ... 12
6. Proses dekomposisi Wavelet ... 16
7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet... 16
8. Proses multilevel dekomposisi Paket Wavelet ... 17
9. Peta sebaran stasiun pasang surut di Indonesia ... 18
10. Diagram alir penelitian ... 28
11. Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D ... 30
12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D ... 32
13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D ... 34
14. Variasi muka laut di Stasiun Cilacap dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D ... 35
15. Variasi muka laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D ... 37
16. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sabang periode periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ... 38
17. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sibolga periode periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ... 38 18. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Padang periode
20. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Benoa periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ... 39 21. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Sibolga ... 47 22. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Padang ... 48 23. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sibolga dan Padang ... 50 24. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Cilacap ... 55 25. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Benoa ... 56 26. Spektrum korelasi silang muka laut
Halaman
1. Alat pasang surut ... 65
2. Data tinggi muka laut stasiun Sabang ... 66
3. Data tinggi muka laut stasiun Sibolga ... 67
4. Data tinggi muka laut stasiun Padang ... 68
5. Data tinggi muka laut stasiun Cilacap ... 69
1.1.Latar belakang
Informasi mengenai perubahan muka laut dewasa ini semakin dibutuhkan dan meningkat secara mencolok untuk berbagai kepentingan baik terkait dengan navigasi maupun sampai adanya pendugaan peristiwa perubahan muka laut yang diakibatkan oleh adanya fluktuasi iklim global.
Indonesia telah memiliki jaringan pengamatan pasang-surut laut nasional yang terdiri atas 90 stasiun (yang seluruhnya dioperasikan oleh Bakosurtanal secara terintegrasi) merupakan suatu aset yang dapat memberikan kontribusi penting untuk pemantauan kedudukan permukaan laut dan untuk mengetahui
variasi muka lautnya. (Manurung et al., 2003)
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah ada tersebut.
Pengkajian mengenai perubahan muka laut di sepanjang pantai barat
Sumatera dan selatan pulau Jawa serta selatan pulau Bali mempunyai arti penting dalam hal untuk menganalisis variasi muka laut yang terjadi di daerah
khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah (Pariwono, 1993). Hal ini merupakan akibat perubahan dinamika atmosfer atau lautan yang merambat dari daerah khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah menuju pantai barat Sumatera, sinyal ini akan terekam pada perubahan muka laut yang terjadi di pantainya. Jika sinyal
tersebut cukup kuat maka akan merambat hingga ke arah pantai selatan Jawa bahkan jika lebih kuat lagi dapat mencapai ke arah pantai selatan Bali. Sinyal ini diduga merupakan perambatan dari sinyal gelombang panjang.
Sinyal gelombang panjang ini dianalisis dengan menggunakan metode wavelet. Pengkajian di bidang oseanografi menggunakan metode wavelet masih jarang dilakukan, sehingga dalam penelitian ini digunakan metode wavelet untuk menunjukkan variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut yang dikaji.
Penelitian yang terkait pernah dilakukan oleh Pariwono (1993) mengenai Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi –Luar Pantai Kepulauan Sunda Besar. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai variasi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa.
1.2.Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pola variasi muka laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang,
Cilacap dan Benoa untuk mengetahui pola rambatannya.
2. Menganalisis periode fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui
spektrum densitas energi untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi.
3. Menunjukkan hubungan fluktuasi muka laut antar stasiun melalui
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Paras laut
Sepanjang sejarah bumi paras laut rata-rata tidak pernah berada dalam
keadaan konstan. Pada masa sekarang keadaan paras laut 100 meter lebih tinggi
dari pada masa terakhir zaman es 18.000 tahun yang lalu(National Research
Council,1990).
Perubahan tinggi paras laut merupakan hasil dari beberapa proses yang saling mempengaruhi. Perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang, dari yang bersifat lokal sampai global, dan dari kurun waktu beberapa detik sampai
beberapa ribu tahun (National Research Council,1990). Hasil pengukuran tinggi permukaan laut di dalam suatu periode merupakan interaksi tiga komponen yang terkait di dalamnya yang diformulasikan secara umum (Pugh, 1987) seperti di bawah ini:
X (t) = Zo (t) + T (t) + S (t) ... (1) dimana :
X (t) : Muka laut yang terukur.
Zo (t) : Muka laut rata-rata atau disebut Mean Sea Level (MSL), yaitu kedudukan rata-rata muka laut yang umumnya didasarkan dari hasil pengukuran berinterval 1 jam dalam suatu periode sekurang-kurangnya 1 tahun. T (t) : Pasut, yaitu gerak periodik muka laut dimana amplitudo dan fasenya
berhubungan langsung terhadap gaya geofisika yang periodik, yakni gaya yang ditimbulkan oleh adanya sistem gerak reguler bulan- bumi dan bumi-
matahari. Sistem gerak muka laut yang demikian disebut sebagai
gravitational tides. Komponen pasut yang timbul oleh faktor astronomi
bersifat periodik, sedangkan gangguan faktor meteorologi bersifat
musiman. Apabila tanpa memperhatikan faktor meteorologi, maka elevasi pasut merupakan penjumlahan dari komponen yang membentuknya dan dapat dinyatakan dalam fungsi sinus seperti di bawah ini :
η (t) = SO + ssO +
∑
= − ω N 1 i ) P t cos( Ai i i ... (2)dimana : η (t) = Elevasi pasut fungsi dari waktu
A = Amplitudo komponen ke-i i
ωi = 2π / Ti , Ti = periode komponen ke-i
Pi = Fase komponen ke-i
` SO = Mean Sea Level (MSL)
ssO = Perubahan MSL yang disebabkan oleh efek monsun atau
angin, jadi oleh faktor meteorologi t = Waktu
N = Jumlah komponen
S (t) : Residu meteorologi, yaitu komponen non pasut yang akan terlihat setelah dilakukan pengambilan komponen pasutnya dari suatu analisa. Komponen tersebut terlihat tak teratur, yang merupakan cerminan variasi musim. Komponen residu meteorologi ini juga sering disebut residu gelombang, walaupun istilah gelombang sering digunakan untuk menyebut kejadian khusus terhadap komponen non pasut yang lebih besar. Komponen yang termasuk dalam residu ini adalah antara lain :
1. Angin, arus laut dan perubahan tekanan atmosfer. Variasi tekanan atmosfer akan menghasilkan variasi yang berkebalikan pada tinggi paras laut. Penurunan tekanan atmosfer sebesar 1 mb akan menghasilkan perbedaan tekanan atmosfer sebesar 1 centimeter (National Research Council,1990). Gaya gesekan angin bisa memiliki pengaruh yang penting terhadap perubahan tinggi paras laut. Amplitudo perubahan tinggi paras laut di pantai sebagai respon dari gaya gesekan angin ini memiliki periode beberapa hari, bersifat lokal dan bukan merupakan penyebab utama dari perubahan tinggi paras laut frekuensi rendah .
2. Perubahan jumlah massa air lautan disebabkan karena pencairan es di
kutub atau penambahan massa air laut dari pelepasan sumber air daratan. Naiknya suhu udara yang disebabkan karena bertambahnya konsentrasi
CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya bisa menyebabkan semakin
banyaknya jumlah es di kutub yang mencair. Es yang mencair ini selanjutnya akan mengalir ke lautan dan akan menyebabkan penambahan tinggi paras laut .
3. Perubahan volume air lautan tanpa mengubah jumlah massa air laut yang
merupakan respon dari perubahan suhu dan salinitas. Perubahan tinggi paras laut yang disebabkan karena perubahan suhu dan salinitas massa air akan memiliki periode beberapa hari, bulan atau bahkan beberapa tahun
dengan magnitudo yang bisa mencapai 5sampai 15 centimeter.
4. Perubahan volume lautan dunia yang disebabkan karena gaya-gaya
tektonik seperti seafloor spreading, plate convergence dan pengangkatan
Periode dan besaran sinyal paras laut yang dihasilkan oleh proses
penyebab terjadinya perubahan paras laut ditampilkan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras laut beserta periode dan
amplitudonya
Faktor penyebab Periode
(tahun)
Besaran perubahan
(mm)
Perubahan volume air laut karena perubahan suhu dan salinitas
• Perairan dangkal (0 sampai 500 m)
• Perairan dalam (500 sampai 40000 m)
10-1 sampai 10-2 10-1 sampai 10-4 10 0 sampai 103 100 sampai 104 Pencairan massa es • Gunung es • Massa es di Greenland
• Massa es di Antartika Timur
• Massa es di Antartika Barat
10-1 sampai 10-2 10-2 sampai 10-5 10-3 sampai 10-5 10-1 sampai 10-4 101 sampai 103 101 sampai 104 104 sampai 105 103 sampai 104 Penambahan massa air laut dari sumber air
daratan
• Sumber air bawah tanah
• Danau dan bendungan
102 sampai 105
102 sampai 105
102 sampai 104 100 sampai 102 Perubahan bentuk kerak bumi
• Lithosphere Formation and Subduction
• Glacial Isostatic Rebound
• Continental Collision
• Sea Floor and Continental Epeirogeny
• Sedimentation 105 sampai 108 102 sampai 104 105 sampai 108 105 sampai 108 104 sampai 10 103 sampai 105 102 sampai 104 104 sampai 105 104 sampai 105 103 sampai 105 Sumber : National Research Council (1990)
2.2. Gelombang Kelvin
Gelombang Kelvin merupakan bentuk gelombang gravitasi yang termodifikasi oleh gaya Coriolis sebagai akibat adanya rotasi bumi dan batas lateral, untuk gelombang gravitasi dengan periode (T) mendekati setengah hari
gelombang-gelombang laut dengan periode lebih kecil; seperti gelombang angin dan swell, suku-suku Coriolis dapat diabaikan karena periodenya jauh lebih kecil daripada 2π /f.
Pada persamaan gerak fluida, suku advektif dapat diabaikan karena dianggap sangat kecil, sehingga menjadi :
x g fv t u ∂ η ∂ − = − ∂ ∂ ... (3) y g fu t v ∂ η ∂ − = + ∂ ∂ ... (4)
Untuk persamaan kontinuitas dengan kedalaman rata-rata, h, konstan dan η << h
menjadi : ⎟⎟ ⎠ ⎞ ∂ ∂ + ⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ − = ∂ η ∂ y v x u h t ... (5)
Lord Kelvin menurunkan suatu solusi gelombang dengan cara menerapkan batas lateral (vertikal) terhadap persamaan (3 dan 4) serta (5), yang kemudian dikenal sebagai gelombang Kelvin :
h g u=η , v = 0 dan
(
kx t)
cos c fy exp 0 ⎟ −ω ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − η = η , sin 2 f , cg gh c= = = Ω Φ dan h =konstan ... (6) dimana:η : Elevasi permukaan air u : komponen kecepatan arah x v : komponen kecepatan arah y
h : kedalaman perairan g : percepatan gravitasi
Dari persamaan momentum arah -x dan persamaan kontinuitas, dengan
v = 0, diperoleh bahwa kecepatan penjalaran gelombang (c= gh) tidak
dipengaruhi oleh efek rotasi, melainkan hanya oleh percepatan gravitasi dan kedalaman perairan, sedangkan persamaan momentum arah –y merupakan persamaan geostrofik (Pond,1983).
Gelombang Kelvin menjalar dengan batas (daratan) berada di kiri dari arah penjalaran gelombang untuk Belahan Bumi Selatan, atau di sebelah kanan untuk Belahan Bumi Utara. Amplitudo terbesar berada di batas dan berkurang secara eksponensial ke arah laut lepas. Gelombang Kelvin juga dapat muncul di sepanjang ekuator, dimana f berganti tanda, penjalarannya adalah dari barat ke timur. Tidak ada batasan yang pasti mengenai frekuensi dari Gelombang Kelvin, hanya saja frekuensinya harus cukup rendah sehingga asumsi gelombang panjang dapat terpenuhi.
Clarke dan Liu (1993) mengemukakan bahwa gelombang Kelvin menjalar dari bagian barat Samudera ekuatorial dalam waktu sebulan yang kemudian menabrak pantai barat Sumatera Indonesia yang terletak di atas ekuator.
Gelombang Kelvin membangkitkan gelombang Rossby yang masuk kembali ke
Samudera Hindia yang berpropagansi ke utara dan selatan sebagai Coastally
Trapped Kelvin Wave, yang berhubungan secara langsung dengan pengamatan
2.3. Wavelet
2.3.1. Pengenalan wavelet
Analisis Transformasi Fourier adalah sebuah perangkat matematik untuk mentransformasi sudut pandang kita terhadap sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi, tetapi transformasi Fourier mempunyai kekurangan, yaitu apabila kita melakukan transformasi ke domain frekuensi maka informasi waktu akan hilang. Maksudnya adalah apabila kita melihat transformasi Fourier dari suatu sinyal
maka adalah tidak mungkin untuk mengetahui kapan event itu terjadi.
Sebagai usaha untuk mengurangi kekurangan pada transformasi Fourier yang gagal memberikan informasi waktu dan frekuensi secara bersamaan, Gabor
memperkenalkan teknik STFT (Short Time FourierTransform) yang melakukan
pemetaan sebuah sinyal ke dalam fungsi berdimensi dua, yaitu dalam waktu dan frekuensi. STFT memberikan informasi mengenai kapan dan pada frekuensi
berapa suatu sinyal event terjadi. Tetapi, STFT memiliki keterbatasan bahwa
informasi serentak dalam waktu dan frekuensi dapat dicapai dengan presisi yang
terbatas, dibatasi oleh ukuran jendela (window) yang dipilih. Sekali dipilih
ukuran tertentu dari jendela maka jendela tersebut akan sama untuk frekuensi. Wavelet adalah gelombang kecil yang mempunyai energi terkonsentrasi
dalam waktu yang dapat dipakai sebagai alat analisis fenomena transien,
nonstasioner, atau time varying. Transformasi wavelet menguraikan sinyal
2.3.2. Analisis wavelet
Sebuah gelombang (wave) biasanya didefinisikan sebagai sebuah fungsi
osilasi dari waktu, misalnya sebuah gelombang sinusoidal. Sebuah wavelet
merupakan gelombang singkat (small wave) yang energinya terkonsentrasi pada
suatu selang waktu untuk memberikan kemampuan analisis transien,
ketidakstasioneran, atau fenomena berubah terhadap waktu (time-varying)
(Polikar,1996). Karakteristik dari wavelet antara lain adalah berosilasi singkat, translasi (pergesaran) dan dilatasi (skala). Berikut ini akan diperlihatkan gambar dari sebuah sinyal biasa dan sinyal wavelet.
Sumber : The Math Works Inc (2000) Gambar 1. Bentuk gelombang
(a) Sinyal Sinus (b) Sinyal Wavelet
Secara sederhana, translasi (pergeseran) pada Wavelet bermaksud untuk menggeser permulaan dari sebuah wavelet. Secara matematis, pergeseran sebuah
fungsi f(t) dengan k direpresentasikan dengan f(t-k) (The Math Works Inc, 2000).
Sumber : The Math Works Inc (2000)
Gambar2.Translasi pada Wavelet
Skala (dilatasi) dalam sebuah wavelet berarti pelebaran atau penyempitan wavelet. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:
Sumber : The Math Works Inc (2000)
Gambar3.Perubahan skala pada Wavelet
(a)Nilai skala kecil (b) Nilai skala besar
Sebuah faktor skala dapat dinyatakan sebagai α. Apabila α diperkecil
maka wavelet akan menyempit dan terlihat gambaran mendetail namun tidak
menyeluruh, kebalikannya apabila α diperbesar maka wavelet akan melebar dan
terlihat gambaran kasar, global namun menyeluruh. Dengan menggunakan wavelet pada skala resolusi yang berbeda, akan diperoleh gambaran keduanya, yaitu gambaran mendetail dan menyeluruh. Selain itu, terdapat keterkaitan antara skala pada wavelet dengan frekuensi yang dianalisa oleh wavelet. Nilai skala
yang kecil berkaitan dengan frekuensi tinggi (high frequency) sedangkan nilai
skala yang besar berkaitan dengan frekuensi rendah. Untuk mempermudah pemahaman tentang ini, maka dapat dilihat gambar berikut ini.
Sumber: The Math Works Inc (2000)
Gambar4.Keterkaitan antara skala
Tahap pertama analisis wavelet adalah menentukan tipe wavelet, yang
disebut dengan mother wavelet atau analysing wavelet, yang akan digunakan.
Hal ini perlu dilakukan karena fungsi wavelet sangat bervariasi dan
dikelompokkan berdasarkan fungsi dasar masing-masing. Berikut ini adalah gambar dari beberapa tipe fungsi wavelet :
Sumber: The Math Works Inc (2000)
Gambar 5 Beberapa tipe dari fungsi Wavelet Ψ(x)
2.3.3. Transformasi wavelet
Transformasi wavelet memiliki kemampuan untuk menganalisa suatu data dalam domain waktu dan domain frekuensi secara simultan. Analisa data pada transformasi wavelet dilakukan dengan membagi suatu sinyal ke dalam
komponen-komponen frekuensi yang berbeda-beda dan selanjutnya masing-masing komponen frekuensi tersebut dapat dianalisa sesuai dengan skala
dilewatkan ke dalam filter highpass dan lowpass dan memisahkan komponen
frekuensi tinggi dan frekuensi rendah.
Wavelet merupakan sebuah fungsi variabel real t, diberi notasi dalam Ψt
dalam ruang fungsi L2 (R). Fungsi ini dihasilkan oleh parameter dilatasi dan
translasi, yang dinyatakan dalam persamaan (Wang and Nicholas, 1998) :
( )
;a 0, a b t ta
1/2 b , a ⎟ > ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − Ψ = Ψ − b ε R ... (7)( )
t j/2(
2jt k)
; k ,j =2
Ψ − Ψ j,k ε Z ... (8) dimana : a = parameter dilatasi b = parameter translasiR= mengkondisikan nilai a dan b dalam nilai integer
2j = parameter dilatasi (parameter frekuensi atau skala)
k = parameter waktu atau lokasi ruang
Z = mengkondisikan nilai j dan k dalam nilai integer
Fungsi wavelet pada persamaan (7)dikenalkan pertama kali oleh
Grossman dan Morlet, sedangkan persamaan (8)oleh Daubechies (Polikar,1996).
Pada fungsi Grossman-Morlet, a adalah parameter dilatasi dan b adalah parameter
translasi, sedangkan pada fungsi Daubechius, parameter dilatasi diberikan oleh 2j
dan parameter translasi oleh k. Kedua fungsi Ψ dapat dipandang sebagai mother
∫
+∞ ∞ − = Ψ(x)dx 0 ... (9) yang menjamin terpenuhinya sifat ortogonalitas vektor.Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan nilai parameter translasi dan dilatasinya, yaitu transformasi wavelet
kontinu (continue wavelet transform), dan diskrit (discrete wavelet transform).
Transformasi wavelet diskrit bertujuan untuk mengurangi redundansi yang terjadi pada transformasi kontinu dengan cara mengambil nilai diskrit dari parameter a dan b.
Continous Wavelet Transform (CWT) menganalisa sinyal dengan
perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu
dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar,1996).
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
CWT (a,b) =
∫
f(t) Ψa,b * (t) ... (10)dimana Ψa,b seperti pada persamaan (8), sedangkan transformasi wavelet diskrit
menganalisa suatu sinyal dengan skala yang berbeda dan merepresentasikannya ke dalam skala waktu dengan menggunakan teknik filtering, yakni menggunakan
filter yang berbeda frekuensi cut off-nya.
2.3.3.1. Transformasi wavelet diskrit
Berdasarkan fungsi mother wavelet, bahwa fungsi wavelet penganalisa
Berdasarkan persamaan tersebut, representasi fungsi sinyal f (t) ε L2 (R) dalam
domain wavelet diskrit didefinisikan sebagai (Gonzales et al.,1993) ;
) t ( a ) t ( f ,jk k ,j k ,j Ψ =
∑
... (11)aj,k ini merupakan discret wavelet transform dari fungsi f(t) yang dibentuk oleh
inner product antara fungsi wavelet induk dengan f(t) :
(
,f(t))
a,jk = Ψ,jk ... (12)
sehingga f (t) disebut sebagai inverse discret wavelet transform dapat dinyatakan
dengan : ) t ( ) t ( ) t ( f ,jk ,jk k ,j Ψ Ψ =
∑
... (13) 2.3.3.2. Dekomposisi waveletDalam beberapa aplikasi, kita tidak pernah harus berhubungan secara langsung dengan fungsi penskalaan atau wavelet. seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa pada DWT (Discret Wavelet Transform) suatu resolusi sinyal
dapat diubah dengan menggunakan teknik filtering (analisa filter bank).
Jadi proses transformasi pada wavelet ini pertama kali dapat diwakili dengan
proses melewatkan sinyal asli ke dalam Low Pass Filter (LPF) dan High Pass
Filter (HPF). LPF menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan
komponen sinyal berfrekuensi rendah dan berskala tinggi,sedangkan HPF menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi tinggi dan berskala rendah. Komponen aproksimasi dan detail yang dihasilkan
ini bertujuan untuk menurunkan jumlah sampel yang dihasilkan untuk masing-masing komponen menjadi setengah dari jumlah sampel sinyal asli. Proses ini biasa dikenal dengan istilah dekomposisi wavelet. Proses dekomposisi wavelet
dapat digambarakan sebagai berikut (The Math Works Inc, 2000)
Sumber: The Math Works Inc (2000) Gambar 6. Proses dekomposisi Wavelet
Proses dekomposisi dapat dilakukan berulang kali pada komponen
aproksimasi, sehingga didapatkan banyak komponen resolusi yang lebih rendah dari sebuah sinyal. Proses multilevel dekomposisi ini digambarkan sebagai berikut :
Sumber: The Math Works Inc (2000)
Gambar 7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet Keterangan :
A (A1, A2, A3) = Komponen aproksimasi yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi rendah dan berskala rendah
D (D1, D2, D3) = Komponen detail yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi tinggi dan berskala rendah
2.3.3.3. Dekomposisi paket wavelet
Metode dekomposisi paket wavelet menawarkan jangkauan analisis sinyal yang lebih luas. Pada dekomposisi paket wavelet, proses dekomposisi tidak hanya dilakukan pada komponen aproksimasi tetapi pada komponen detail
juga (The Math Works Inc, 2000). Proses yang terjadi dapat digambarkan sebagai
berikut :
Sumber: The Math Works Inc (2000)
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian yang dikaji adalah stasiun pasang-surut Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Posisi geografis dari masing-masing stasiun akan diuraikan sebagai berikut ; stasiun pasang-surut Sabang terletak pada posisi koordinat 5°50’ LU dan 95°20’ BT, Sibolga pada posisi koordinat1°45’ LU dan 98°46’ BT, Padang berada pada posisi koordinat 0°57’ LS-dan 100°22’ BT, stasiun Sibolga dan Padang merupakan stasiun-stasiun yang terletak di sepanjang perairan barat Sumatra. Cilacap terletak pada posisi koordinat 7°45’ LS-dan 109°01’ BT atau berada di perairan selatan Jawa serta Benoa yang terletak pada koordinat 8°45’ LS-dan 115°13’ BT di perairan selatan Bali.
Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2008, proses pengolahan awal di Laboratorium Pusat Pemantauan Pasang Surut Indonesia, Bakosurtanal selanjutnya dilakukan pengolahan data di Laboratorium Oseanografi, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
3.2. Penentuan data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data pasang surut perairan Indonesia pada tahun 2007 yang diperoleh dari stasiun pasang surut yang dioperasikan oleh Bakosurtanal yang terkonsentrasi di stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Data tersebut diperoleh dari Laboratorium Pusat Pemantauan Pasang Surut Indonesia, Bakosurtanal.
3.2.1. Mekanisme Tide gauge
Perekamanan data pasang surut dalam penelitian ini menggunakan tide
gauge yang mana tersebar di semua lokasi stasiun yang dikaji. Tide gauge
mempunyai tiga sensor utama yaitu encoder (sensor pelampung), sensor pressure
gauge dan radar gauge serta satu sensor tambahan yaitu Switch. Sensor
pelampung bekerja berdasarkan prinsip kontak langsung terhadap naik turunnya permukaan laut melalui pelampung dan gerakan ini direkam dalam bentuk digital.
Sensor pressure gauge bekerja berdasarkan prinsip dari rumus P= ρ g h (dimana P
= tekanan (Pa), ρ = densitas air laut (kg/m3), g = gravitasi (m/s2), h= tinggi muka
air laut (m)) dengan meningkatnya tekanan maka tinggi muka laut akan meninggi,
gelombang radar. Switch berfungsi untuk validasi data, pada saat muka laut naik
atau turun dan melewati Switch, maka waktu saat muka laut lewat Switch tersebut
akan dikirim ke data logger. Adapun software komunikasi yang digunakan untuk
menerima data tinggi muka laut dari data logger adalah Satlink Communicator.
Data tinggi muka laut dikirim setiap 15 menit sekali ke satelit meteosat,
data tinggi muka laut ini kemudian dapat diakses melalui GTS (Global
Telecomunication Satellite) receiver. GTS receiver ini hanya dimiliki oleh BMG
(Badan Meteorologi Geofisika) yang merupakan anggota dari WMO (World
Meteorogycal Organization), sehingga di Indonesia data tinggi muka laut ini
hanya dapat diakses langsung oleh BMG dan selebihnya dapat diakses di internet.
Juga dilengkapi dengan dua receiver GPS untuk sinkronisasi waktu sensor dari
data logger tehadap waktu GPS yang presisi.
3.2.2. Data pasang surut
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, data pasang surut yang terekam di setiap stasiun pasang surut yang dikaji diperoleh dari hasil perekaman
alat pasang surut tide gauge, data tersebut direkam dengan interval satu jam sekali
dengan satuan mm (milimeter). Periode data pasang surut yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
Tabel 2. Periode perekaman data pasang surut di stasiun-stasiun pasang surut yang dikaji
No Nama Stasiun Periode Perekaman
1. Sabang Januari 2007 – Desember 2007
2. Sibolga Januari 2007 – Desember 2007
3. Padang Januari 2007 – Desember 2007
4. Cilacap Maret 2007 – Desember 2007
5. Benoa Januari 2007 – Desember 2007
Dari tabel di atas diperoleh informasi bahwa periode perekaman data pasang surut yang digunakan dalam penelitian ini hampir semuanya dalam satu tahun (tahun 2007), kecuali di stasiun Cilacap dimana data yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember 2007, data yang digunakan tidak penuh satu tahun karena pada stasiun Cilacap terdapat sela
(gap) data akibat alat tide gauge mengalami kerusakan sementara.
3.3. Metode analisis data
Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan cara mengelompokkan terlebih dahulu data tinggi muka laut di setiap stasiun pasang surut, data pasang surut dikelompokkan berdasarkan waktu perekaman, penyusunan data pasang
surut ini menggunakan perangkat lunak Microsoft officeexcel 2007. Setelah itu
untuk melihat pola variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut dapat ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan metode wavelet I dimensi pada perangkat lunak Matlab 7.1. Dalam menggunakan metode wavelet I
dimensiterlebih dahulu harus memilih jenis wavelet yang akan digunakan,
5, karena wavelet daubechius baik dalam kompresi data (Edwards,1991). Wavelet memiliki keterbatasan dalam mengektraksi data residual pasut, sehingga
digunakan program World Tides untuk menghasilkan data tersebut.
Selanjutnya data muka laut di setiap stasiun tersebut perlu dihilangkan pengaruh pasang surut (faktor astronomis) dengan menggunakan program World Tides, program ini menghasilkan data residual (non pasut) dari data pasang surut yang terekam. Data residual (non pasut) ini yang menjadi data dasar dalam penelitian ini.
3.3.1. Analisis deret waktu
Analisis deret waktu (Time series analysis) merupakan analisis yang
didasarkan pada asumsi bahwa nilai-nilai yang berurutan pada berkas data diambil pada pengukuran dengan selang waktu pengukuran yang sama. Analisis deret waktu mempunyai dua tujuan utama :
1. Mengidentifikasi fenomena alam yang diperlihatkan oleh pengamatan
yang berurutan dimana terdapat fenomena-fenomena yang berulang dengan melihat periodisitas dominannya.
2. Memprediksi nilai variabel deret waktu di masa yang akan datang. Salah
satu bentuk analisis deret ukur adalah penggunaannya untuk mengamati
fenomena yang ada seperti variabilitas musiman (seasonal variability)
dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan (Stasoft, 1984) in
3.3.2. Analisis spektrum
Untuk menganalisis variasi muka laut berdasarkan frekuensi atau periode selama waktu pengamatan, maka dilakukan penghitungan nilai spektrum densitas energi dari tiap data muka laut di setiap stasiun. Penghitungan ini menggunakan
perangkat lunak Statistica 6.
Data muka laut (non pasut) dari tiap stasiun terlebih dahulu diubah dari
domain waktu menjadi domain frekuensi dengan menggunakan metode Fast
Fourier Transform (FFT) method berikut ini (Bendat dan Piersol, 1971) :
) N / ) t. k . 2 .i exp(( x t ) f ( X N 1 0 t t k =Δ
∑
− π − = ... (14) Keterangan :X (fk) = komponen Fourier dari data deret waktu (xt) pada frekuensi ke-k (fk)
t
Δ = selang waktu pengambilan data (1 jam)
N = jumlah data
i = √-1 (bilangan imajiner) t = 0, 1, 2, ..., N
3.3.2.1. Spektrum densitas energi
Dari nilai FFT tersebut maka akan didapatkan nilai spekrum densitas energi dari tiap data muka laut di setiap stasiun dengan menggunakan rumus (Bendat dan Piersol, 1971) :
( )
( )
2 k x Xf N t 2 S = Δ ... (15) Keterangan :X (fk) = komponen Fourier dari data deret waktu (xt) pada frekuensi ke-k (fk) ;
diperoleh dari (14)
t
Δ = selang waktu pengambilan data (1 jam)
N = jumlah data
Pada grafik spektrum densitas energi, diplotkan juga garis selang
kepercayaan 95%. Garis tersebut berupa garis putus-putus yang merupakan nilai standar atau signifikan level. Nilai spektrum densitas energi dianggap signifikan jika jarak dari dasar ke puncak kurva lebih besar daripada lebar garis selang kepercayaan yang tepat berada di bawah puncak kurva, sedangkan garis putus-putus vertikal menunjukkan puncak-puncak spektral yang berkorelasi yang diplotkan pada gambar korelasi silang spektrum densitas energi.
3.3.2.2. Spektrum korelasi silang
Untuk mengetahui hubungan antara muka laut di setiap stasiun yaitu stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa maka ditunjukkan dengan analisis spektrum korelasi silang. Analisis spektrum silang ini dilakukan pada stasiun-stasiun yang lokasinya berdekatan yang bertujuan untuk mengetahui pada frekuensi atau periode berapa saja variasi muka laut antar stasiun memiliki nilai
koherensi dan juga dapat diketahui beda fase (phase lag) antara satu stasiun
terhadap stasiun lainnya. Tetapi, khusus untuk analisis spektrum korelasi silang antara stasiun Cilacap dengan stasiun lainnya dilakukan berbeda karena stasiun Cilacap memiliki jumlah deret waktu yang berbeda terhadap jumlah deret waktu stasiun lainnya, sehingga jumlah deret waktu pada stasiun lainnya disesuaikan
Komponen yang dl diperlukan dalam analisis spektrum korelasi silang ini akan adalah variabel (x) dan variabel (y). Variabel (x) merupakan peubah bebas yang akan menjelaskan (y) dan variabel (y) merupakan sebaliknya yaitu peubah yang tidak bebas yang akan dijelaskan oleh (x). Pasangan peubah (x) dan (y) dalam analisis ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Nilai koherensi yang tinggi menunjukkan hubungan yang erat antara satu stasiun terhadap stasiun lainnya dan sebaliknya. Beda fase menunjukkan
informasi mengenai perbedaan waktu antara kedua periode fluktuasi. Beda fase positif menandakan bahwa fluktuasi peubah (x) mendahului fluktuasi peubah (y) dan sebaliknya jika beda fase negatif menandakan bahwa fluktuasi peubah (y) mendahului fluktuasi peubah (x).
Tabel 3. Komponen analisis spektrum korelasi silang
No Peubah (x) Peubah (y)
1. Data muka laut (residual) stasiun Sabang
Data muka laut (residual) stasiun Sibolga
2. Data muka laut (residual) stasiun Sabang
Data muka laut (residual) stasiun Padang
3. Data muka laut (residual)
stasiun Sibolga Data muka laut (residual) stasiun Padang
4. Data muka laut (residual) stasiun Padang
Data muka laut (residual) stasiun Cilacap
5. Data muka laut (residual) stasiun Padang
Data muka laut (residual) stasiun Benoa
6. Data muka laut (residual) stasiun Cilacap
Data muka laut (residual) stasiun Benoa
Rumus matematikanya ditulis oleh Bendat dan Piersol (1971) dengan
lebih dahulu menghitung nilai spektrum densitas energi silang (Sxy(fk) ) dari dua
pasang data deret waktu arus (xt) dan (yt) sebagai berikut :
( ) ( )
k k k y x X f *Yf N t 2 ) f ( S = Δ ...(16)Keterangan :
) f (
Sxy k : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (fk)
k
f : k/Nh, k = 0,1, 2, ..., N-1
( )
f *X k : kompleks conjugate dari X (fk)
( )
fkX : komponen Fourier dari data deret waktu (xt); diperoleh dari ( 14)
( )
fkY : komponen Fourier dari data deret waktu (yt); diperoleh dari ( 14)
Δt : selang waktu pengambilan data (1 jam)
N : jumlah data
Nilai koherensi ditentukan dengan rumus :
( )
) f ( S ) f ( S f S ) f ( k y k x 2 k xy k y x 2 = γ ...(17) Keterangan : ) f ( k y x 2γ : nilai koherensi pada frekuensi ke-k (fk)
( )
k xy fS : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (fk)
( )
k x fS : spektrum densitas energi dari komponen Fourier X (fk)
( )
k y fS : spektrum densitas energi dari komponen Fourier Y (fk)
Beda fase (phase lag) dihitung sebagai berikut :
⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = θ − ) f ( C ) f ( Q tan ) f ( k xy k xy 1 k y x ...(18) Keterangan : y x
θ : beda fase pada frekuensi ke-k (fk)
) f (
) f (
Cxy k : bagian nyata dari Sxy
( )
fkPada perangkat lunak Statistica 6 diperoleh satuan beda fase (θxy) dalam
bentuk tan-1, kemudian satuan ini dikonversi dalam bentuk waktu (jam)
dikarenakan satuan beda fase yang digunakan dalam spektrum korelasi silang muka laut (residual) antar stasiun adalah dalam bentuk jam. Sebelum dikonversi
dalam bentuk jam, terlebih dahulu bentuk tan-1 diubah kedalam bentuk derajat
dengan menggunakan perintah ATAN (θxy (fk))*180/PI() pada Microsoft office
excel 2007, Setelah itu dapat dilakukan konversi kedalam bentuk jam. Rumus
matematikanya sebagai berikut :
beda fase (jam) = periode
360 ) f ( arctg xy k × θ fluktuasi (jam) ...(19)
3.3.3. Diagram alir penelitian :
Gambar 10. Diagram alir penelitian Data pasut Metode Wavelet 1-D Mother Wavelet Daubechies 1 level 5 Transformasi Wavelet (filtering) LPF = A (aproksimasi) HPF =D (detail) Dekomposisi Wavelet Variasi Temporal Residual Pasut
Fast Fourier Transform (FFT) Spektrum densitas energi Spektrum Korelasi Silang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Variasi muka laut
Variasi muka laut di setiap stasiun pasang surut yang dikaji dianalisis dengan menggunakan metode wavelet 1-D, dengan metode ini dapat dilihat variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut sepanjang tahun 2007. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian bahan dan metode (Bab 3) jenis wavelet yang digunakan dalam penelitian adalah wavelet daubechius 1 level 5 sehingga akan diperoleh variabel s, d1, d2, d3, d4 dan a5 di setiap gambar variasi muka laut yang
disajikan yang terjadi di setiap stasiun pasang surut. Variabel s merupakan sinyal
asli yang kemudian pertama kali akan dilewatkan ke dalam Low Pass Filter (LPF)
dan High Pass Filter (HPF) melalui proses transformasi wavelet.
HPF menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi tinggi dan berskala rendah (d1, d2, d3 dan d4) sedangkan LPF menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi rendah dan berskala tinggi (a1, a2, a3, a4 dan a5). Variabel
aproksimasi dan detail yang dihasilkan melalui proses pemfilteran ini kemudian
melewati proses down sampling (telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka di
Bab 2).
Dalam penelitian ini untuk menunjukkan sinyal muka laut dari sinyal asli maka perlu dilakukan proses transformasi wavelet seperti yang diungkapkan di atas karena untuk menghilangkan pengaruh frekuensi tinggi yakni pengaruh pasut harian. Analisis mengenai variasi muka laut dapat dilihat dari variabel a5 yang dihasilkan dari proses transformasi wavelet. Variabel ini diperoleh setelah
menggunakan induk wavelet daubechius 1 level 5. Variabel a5 merupakan turunan terakhir dari induk wavelet daubechius 1 level 5.
Berdasarkan gambar tinggi muka laut di setiap stasiun yang dikaji dalam
penelitian ini secara umum memperlihatkan adanya periode tengah tahunan (semi
annual), dimana tinggi muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali
minimum dalam setahun. Pada stasiun Sibolga dan Padang terlihat jelas periode
tengah tahunan (semi annual) yang terjadi pada perubahan muka lautnya, tetapi di
stasiun-stasiun lainnya tidak terlalu jelas.
4.1.1. Variasi muka laut di Sabang
Variasi tinggi muka laut di stasiun Sabang periode Januari 2007 – Desember 2007 disajikan pada Gambar 11. Pada gambar ini dapat dilihat naik turun perubahan kedudukan muka laut yang terjadi di stasiun Sabang.
Waktu (bulan)
Gambar 11.Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
Muka laut tertinggi (maksimum) di Sabang terjadi sekitar bulan April hingga Mei selanjutnya terjadi pada bulan Agustus dan terjadi lagi pada bulan November. Periode tengah tahunan di Sabang tidak begitu jelas jika
dibandingkan dengan periode tengah tahunan yang terjadi di Sibolga dan Padang. Variasi muka laut maksimum yang terjadi pada bulan April hingga Mei dan bulan Agustus serta bulan November diduga berhubungan erat dengan perubahan muka laut yang terjadi di bagian selatan di daerah khatulistiwa. Perubahan muka laut di daerah khatulistiwa diwakili oleh stasiun Sibolga dan Padang.
Menurut Pariwono (1993), mengikuti teori perambatan dan hukum
kekekalan massa (conservation of mass), maka peninggian muka laut di perairan
pantai barat Sumatera sekitar khatulistiwa akan merambat ke dua arah, selatan dan utara. Perambatan perubahan muka laut akan berbentuk gelombang. Gelombang ini akan merambat sepanjang pantai Sumatera dari Padang ke arah selatan, kemudian berbelok ke timur dengan merambat sepanjang pantai selatan Jawa. Jika energi dari gelombang tersebut masih mampu mengatasi gesekan yang ditemui sepanjang jalur lintasannya, maka gelombang tersebut masih dapat diamati di perairan pantai selatan Jawa. Pada penelitian ini ada dua stasiun yang digunakan untuk keperluan ini, yaitu Cilacap dan Benoa.
Gelombang yang merambat dari khatulistiwa ke arah utara di sepanjang pantai barat Sumatera, juga akan mengalami keadaan yang serupa. Jika energinya masih memungkinkan untuk gelombang tersebut merambat terus ke utara, maka keberadaan gelombang tersebut diduga dapat diamati di daerah Sibolga yang berada berseberangan dengan daerah Padang pada garis khatulistiwa dan Sabang
yang berada di ujung Pulau Sumatera. Stasiun Sabang dan Sibolga ini digunakan untuk melihat kemungkinan tersebut.
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga
Variasi muka laut di Sibolga ditampilkan pada gambar di bawah ini (Gambar 12), berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat perubahan muka laut (variasi muka laut) yang terjadi sepanjang tahun 2007. Variasi muka laut di
Sibolga menunjukkan adanya pola periode tengah tahunan (semi annual) dimana
tinggi muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali minimum. Tinggi muka laut di Sibolga mengalami tinggi maksimum pada periode bulan April hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan terjadi kembali tinggi maksimum pada bulan November (musim peralihan 2).
Waktu (bulan)
Gambar 12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
Terjadinya tinggi maksimum pada musim peralihan 1 dan musim peralihan 2 di Sibolga diperkirakan disebabkan oleh adanya gelombang Kelvin. Menurut
(Wyrtki, 1973) gelombang Kelvin dibangkitkan oleh westerly wind burst di barat
ekuatorial Samudera Hindia pada bulan April – Mei dan Oktober – November.
Hal yang sama mengenai gelombang Kelvin juga dikemukakan oleh Sprintall et
al. (2000) yang menyatakan bahwa Gelombang Kelvin terbentuk akibat gangguan
yang berasal dari Samudera Hindia. Gangguan tersebut berupa angin baratan (westerly wind burst) yang bertiup di bagian barat ekuator Samudera Hindia
sekitar April-Mei dan Oktober-November menghasilkan Coastally Trapped
Kelvin Wave. Gelombang ini menjalar di ekuator lalu menabrak Pulau Sumatera
dalam waktu sekitar sebulan kemudian terpecah ke utara dan selatan.
Karakteristik gelombang di utara ekuator menjalar di kiri daratan sedangkan di
selatan ekuator menjalar di sebelah kanan daratan.
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Wyrtki (1973), Creswell dan
Fieux (1981), maupun Quadfasel (1982) in Pariwono (1993) menjelaskan bahwa
pada musim peralihan ini terjadi arus deras (jet stream) di daerah khatulistiwa dari
lautan Hindia bagian tengah yang mengalir dari barat ke timur. Akibat arus deras ini muka laut di pantai Sumatera bagian barat meninggi.
4.1.3. Variasi muka laut di Padang
Pola variasi muka laut di Padang dapat diamati pada Gambar 13, dari gambar ini dapat dilihat perubahan muka laut di Padang sepanjang tahun 2007. Pola variasi muka laut di Padang hampir sama dengan variasi muka laut yang
terjadi di Sibolga yaitu menunjukkan adanya pola semi annual (periode tengah
minimum dalam periode satu tahun. Tinggi muka laut maksimum di Padang juga terjadi pada bulan April hingga Mei dan terjadi lagi pada bulan November. Hal ini terjadi diduga karena adanya pengaruh dari gelombang Kelvin.
Waktu (bulan)
Gambar 13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
Adanya kesamaan pola variasi muka laut di Padang dan Sibolga atau dengan kata lain terjadinya perubahan muka laut di Padang juga akan ditemui di Sibolga, hal ini terjadi dikarenakan Stasiun Padang dan Sibolga berseberangan pada garis khatulistiwa.
4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa data yang ada di Cilacap tidak sampai satu tahun dikarenakan pada stasiun Cilacap terdapat gap (sela), sehingga analisis variasi muka laut di Cilacap dimulai pada bulan Maret 2007 hingga Desember 2007. Pola variasi muka laut dapat dilihat pada Gambar 14.
Stasiun Cilacap terletak di Pantai Selatan Jawa, dimana diasumsikan bahwa penjalaran gelombang Kelvin akan mengenai perairan selatan Jawa maka stasiun ini masih akan dipengaruhi oleh gelombang Kelvin. Hal ini dapat dilihat dari gambar variasi muka laut yang terjadi di Cilacap, stasiun ini mengalami dua kali puncak maksimum dari tinggi muka laut yaitu terjadi pada bulan April hingga Mei
dan terjadi lagi pada bulan November. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa gelombang Kelvin ini akan merambat sepanjang pantai Sumatera dari Padang ke arah selatan yang kemudian akan berbelok ke timur dengan merambat
sepanjang pantai selatan Jawa, sehingga akan melewati stasiun Cilacap.
Waktu (bulan)
Gambar 14. Variasi Muka Laut di Stasiun Cilacap dari bulan Maret 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
Pada stasiun Cilacap tidak begitu jelas pola semi annual dari variasi muka
pada gambar variasi muka lautnya (Gambar 14) bahwa terjadi dua kali puncak maksimum dari tinggi muka laut di Cilacap.
4.1.5. Variasi muka laut di Benoa
Berdasarkan Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa (Gambar 15) dapat dilihat mengenai variasi muka laut yang terjadi pada sepanjang tahun 2007. Stasiun Benoa yang terletak di selatan perairan Bali diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh perambatan gelombang Kelvin, yang sebelumnya gelombang Kelvin ini merambat melewati pantai selatan Jawa kemudian ke perairan selatan Bali. Ini dapat dilihat pada Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa mengalami peninggian muka laut pada bulan Februari, kemudian terjadi lagi pada bulan April hingga Mei serta pada bulan November. Peninggian muka laut yang terjadi pada bulan April hingga Mei yang merupakan musim peralihan 1 dan bulan November yang merupakan musim peralihan 2, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sprintall et al. (2000), sehingga
diperkirakan terjadinya peninggian muka laut di Benoa dipengaruhi oleh perambatan gelombang Kelvin.
Waktu (bulan)
Gambar 15.Variasi Muka Laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
4.2. Spektrum densitas energi muka laut
Pola fluktuasi berulang yang telah digambarkan pada sebaran temporal muka laut di setiap stasiun yang dikaji kadang tidak begitu jelas sehingga sulit untuk mengetahui periode fluktuasi yang dominan dari data. Untuk mengetahui nilai densitas energi dan periode fluktuasi yang signifikan maka digunakan spektrum densitas energi.
Spektrum densitas energi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa disajikan masing-masing pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Periode fluktuasi dari spektrum densitas energi disajikan pada Tabel 4.
Periode fluktuasi energi muka laut yang ditemukan di tiap stasiun pasut mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman (seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly)
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Periode (jam) 0 2 4 6 8 10 12 14 Spektrum D ensitas Energi [m
/ siklus per jam
] 4380 jam 2920 jam 2190 jam 1752 jam 1251,429 jam 324,4445 jam 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Periode (jam) 0 2 4 6 8 10 12 14 S pekt rum D ensi tas E ner gi [ m / si kl us per j a m] 4380 jam 2920 jam 2190 jam 1752 jam 1095 jam 324.4445 jam
sehingga di bagian sub bab ini akan diuraikan mengikuti fenomena-fenomena tersebut.
Gambar 16. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sabang periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
Gambar 17. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sibolga periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Periode (jam) 0 5 10 15 20 25 30 35 S pekt rum D ensi tas E ner gi [ m / si kl us per j a m] 4380 jam 2920 jam 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 Periode (jam) 0 10 20 30 40 50 60 70 S pekt rum D ensi tas E ner gi [ m / si kl us per j a m] 3672 jam 2448 jam 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Periode (Jam) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 S pekt rum D ensi tas E ner gi [ m / si kl us per j a m] 4380 jam 2920 jam 2190 jam 1752 jam 324,4445 jam
Gambar 18. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Padang periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2
Gambar 19. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Cilacap periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
Gambar 20. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Benoa periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
Tabel 4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa
No Stasiun
Periode
Fluktuasi (jam)
Spektrum Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Keterangan
1 Sabang 4380 12,49 6 bulan 2920 10,54 4 bulan 2190 8,34 3 bulan 1752 4,79 2,4 bulan 1251,43 3,11 1,7 bulan 324,44 1,87 13,5 hari 2 Sibolga 4380 12,60 6 bulan 2920 11,94 4 bulan 2190 2,07 3 bulan 1752 5,86 2,4 bulan 1095 2,07 1,5 bulan 324,44 1,97 13,5 hari 3 Padang 4380 14,91 6 bulan 2920 11,96 4 bulan 2190 9,42 3 bulan 1752 5,14 2,4 bulan 324,44 1,42 13,5 hari 4 Cilacap 3672 44,46 5 bulan 2448 22,49 3,4 bulan 5 Benoa 4380 23,49 6 bulan 2920 12,67 4 bulan
4.2.1. Fenomena musiman (seasonal)
Periode fluktuasi 4,5 dan 6 bulanan yang terdapat pada Tabel 4
dikategorikan ke dalam variasi musiman (seasonal). Secara konsisten variasi
musiman tersebut ditemukan di semua stasiun yang dikaji, sinyal tersebut
menunjukkan adanya kekuatan musim. Fenomena musiman (seasonal) ini
diperkirakan terjadi pada saat pergantian musim baik dari Musim Barat menuju Musim Timur atau sebaliknya, sedangkan untuk periode fluktuasi 4 bulanan
diperkirakan juga berkaitan dengan pergantian musim yakni dari Musim Barat ke peralihan satu, lalu Musim Timur ke peralihan dua.
Nilai densitas energi muka laut pada variasi musiman (seasonal) di tiap
stasiun tidak jauh berbeda, nilai ini dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai densitas energi muka laut yang dominan di Sabang berturut-turut pada periode 6 bulanan dan 4 bulanan sebesar 12,49 m/siklus per jam dan 10,54 m/siklus per jam. Variasi musiman di Sibolga memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar 12,60
m/siklus per jam dan 11,94 m/siklus per jam untuk masing-masing periode 6 bulanan dan 4 bulanan, sedangkan nilai densitas energi muka laut di Padang yang terjadi pada periode yang sama dengan di Sabang dan Sibolga, dengan masing-masing sebesar 14, 91 m/siklus per jam untuk periode 6 bulanan dan 11,96 m/siklus per jam untuk periode 4 bulanan.
Adapun variasi musiman yang terjadi di Cilacap memiliki nilai densitas energi muka laut tertinggi yaitu sebesar 44,46 m/siklus per jam, sedangkan untuk fenomena musiman di Benoa memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar 23,48 m/siklus per jam.
4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal)
Periode fluktuasi selanjutnya yang dominan yang juga ditemukan di tiap stasiun yaitu pada periode 1,5 bulan – 3,4 bulan dengan kisaran nilai densitas energi muka laut masing-masing sebesar 3,11 - 8,34 m/siklus per jam di Sabang, 2,07 - 5,86 m/siklus per jam di Sibolga dan 5,14-9,42 m/siklus per jam di Padang serta di Cilacap sebesar 44,46 m/siklus per jam. Periode ini mengindikasikan
yang diperkirakan terjadi karena mengikuti mekanisme perambatan gelombang Kelvin.
Dari hasil penelitian Iskandar et al. (2004) juga ditemukan adanya Variasi
intraseasonal yang terjadi di sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa.
Iskandar et al. (2004) mengemukakan bahwa terdapat variasi intraseasonal muka
laut dengan periode 20-40 hari dan 60-90 hari di sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa, dimana dalam penelitian tersebut menggunakan data insitu. Hal ini sesuai dengan hasil teoritis yang ditemukan Gill (1982) dan hasil
pengamatan mengenai gelombang internal Kelvin (Wyrtki,1971) in Iskandar et al.
(2004), yang mengemukakan bahwa diduga variasi intraseasonal ini berhubungan
dengan perambatan gelombang Kelvin.
Hal ini juga dijelaskan oleh Clarke and Liu (1993) in Iskandar et al. (2004),
memperkirakan bahwa variasi muka laut di sepanjang batas arah timur Samudera Hindia sebagian besar bergantung pada angin. Untuk mengidentifikasi jenis gaya
atmosferik apa yang berpengaruh terhadap osilasi muka laut, Iskandar et al.
(2004)menggunakan analisis wavelet yang sama terhadap angin jauh (remote
winds) di timur ekuator Samudera Hindia dan angin lokal di sepanjang pantai
Sumatera dan Jawa. Hal ini menghasilkan osilasi intraseasonal dengan periode
20-40 hari selama musim Timur (boreal summer)yang hanya terdapat di timur
ekuator samudera Hindia, ini menunjukkan betapa pentingnya energi angin jauh (remote winds) dalam menjelaskan variasi intraseasonal muka laut di sepanjang
pantai Sumatera dan Jawa. Selama musim Barat (boreal winter), osilasi
intraseasonal dengan periode 60-90 hari ditemukan pada kedua jenis angin, baik
dan Jawa, yang mana merespon spektra intraseasonal dari variasi muka laut.
Oleh karena itu Iskandar et al. (2004) mengemukakan bahwa energi angin jauh
(remote winds) dan angin lokal berperan penting dalam menjelaskan variasi intraseasonal di sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera.
Jadi, yang menyebabkan terjadinya sinyal intraseasonal di sepanjang pantai
adalah energi dari angin, baik angin di sepanjang ekuator maupun di sepanjang pantai. Akan tetapi, angin di sepanjang ekuator yang lebih dominan (Iskandar, 2008, komunikasi pribadi).
4.2.3. Fenomena dua mingguan (Fortnightly)
Selain sinyal musiman dan intra musiman juga ditemukan adanya sinyal dua mingguan di stasiun pasut yang dikaji, hal ini diperkirakan karena kuatnya sinyal pasut (Iskandar, 2008, komunikasi pribadi). Berdasarkan Tabel 4 ditemukan periode fluktuasi 13,5 hari yang mempresentasikan bahwa adanya sinyal pasut dua mingguan. Periode tersebut di temukan di Sabang, Sibolga dan Padang dengan nilai densitas energi berturut-turut sebesar 1,87 m/siklus per jam, 1,95 m/siklus per jam dan 1,42 m/siklus per jam.
4.3. Spektrum korelasi silang muka laut
Analisis spektrum korelasi silang dilakukan untuk mengetahui hubungan muka laut di antara stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Analisis ini dilakukan antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan Padang, Padang dan Cilacap, Padang dan Benoa, Cilacap dan Benoa. Gambar
grafik spektrum korelasi silang antar stasiun masing-masing disajikan pada
Gambar 21, 22, 23, 24, 25 dan 26. Gambar grafik ini terdiri dari tiga bagian yaitu;
a) Spektrum densitas energi korelasi silang, b) Koherensi, c) Beda fase. Nilai
hubungan keeratan dan nilai sela fase (phase lag) antar stasiun dapat dilihat pada
Tabel 5, 6 dan 7.
4.3.1. Fenomena musiman (seasonal)
Berdasarkan dari gambar grafik yang menyajikan spektrum korelasi silang
muka laut antar stasiun dapat dilihat bahwa terdapat variasi musiman (seasonal).
Hal ini diperjelas lagi pada Tabel 5 dimana periode fluktuasi yang dominan terjadi pada periode 6 bulanan, 5 bulanan dan 4 bulanan yang mengindikasikan adanya
variasi musiman (seasonal). Periode-periode tersebut menunjukkan kesamaan
dengan periode musiman yang dihasilkan spektrum densitas energi muka laut di tiap stasiun dan juga secara konsisten variasi musiman tersebut ditemukan disemua stasiun yang dikaji.
Pada Gambar 21 (grafik spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sabang dan Sibolga) periode fluktuasi dominan terjadi pada periode 6 bulan kemudian diikuti periode 4 bulan. Dimana memiliki hubungan yang sangat kuat, yang dapat dilihat pada nilai koherensi (Tabel 5) masing-masing memiliki nilai koherensi sebesar 0,94 dan 0,98. Beda fase yang terjadi pada periode 6 bulan dan 4 bulan bertanda negatif yang berarti bahwa tinggi muka laut di Sibolga akan berubah terlebih dahulu yang kemudian akan diikuti perubahan muka laut di Sabang masing-masing setelah 6 hari dan 3 hari.
Variasi musiman (seasonal) terjadi juga pada spektrum korelasi silang muka
laut antara stasiun Sabang dan Padang (Gambar 22), Periode fluktuasi yang dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4 bulan. Dimana nilai spektrum korelasi silangnya telah disajikan pada Tabel 5. Hubungan keeratan muka laut antara stasiun Sabang dan Padang tinggi, dapat dilihat dari nilai koherensi yang tertera pada Tabel 5 yaitu masing-masing memiliki nilai koherensi sebesar 0,86 untuk periode 6 bulan dan 0,94 untuk periode 4 bulan. Dari nilai sela fase yang ada dapat diketahui bahwa perubahan muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang yang kemudian akan diikuti perubahan muka laut di Sabang dengan kelambatan waktu selama 8 hari untuk periode 6 bulan dan 3 hari pada periode 4 bulan. Tabel 5. Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun dalam periode musiman
No Korelasi Stasiun Periode fluktuasi (jam) Keterangan Spektrum Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Koherensi
Beda fase
(tan-1) Waktu
1 Sabang - Sibolga 4380 6 bulan 11,86 0,94 -0,22 6 hari
2920 4 bulan 10,97 0,98 -0,15 3 hari
2 Sabang - Padang 4380 6 bulan 12,16 0,86 -0,29 8 hari
2920 4 bulan 10,71 0,94 -0,18 3 hari
3 Sibolga - Padang 4380 6 bulan 13,50 0,97 -0,05 2 hari
2920 4 bulan 11,80 0,98 -0,03 12 jam
4 Padang - Cilacap 3672 5 bulan 22,07 0,82 0,12 3 hari
5 Padang - Benoa 4380 6 bulan 9,99 0,52 -0,03 20 jam
2920 4 bulan 9,86 0,51 -0,02 11 jam
6 Cilacap - Benoa 3672 5 bulan 29,96 0,96 -0,03 18 jam
Korelasi selanjutnya dilakukan antara stasiun Sibolga dan Padang, grafik korelasi silang antar kedua stasiun tersebut telah disajikan pada Gambar 23 dan nilainya tertera pada Tabel 5. Pada Gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa periode fluktuasi densitas energi yang dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4
bulan yang mengindikasikan adanya variasi musiman (seasonal). Nilai koherensi
bahwa perubahan muka laut yang terjadi di Sibolga dipengaruhi oleh perubahan muka laut di Padang. Nilai koherensi pada periode 6 bulan sebesar 0,97 dan nilai koherensi pada periode 4 bulan sebesar 0,98. Nilai beda fase yang diperoleh pada periode 6 bulan dan 4 bulan diperoleh nilai negatif yang berarti perubahan muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti perubahan muka laut di Sibolga dengan kelambatan waktu sebesar 2 hari untuk periode 6 bulan dan 12 jam untuk periode 4 bulan.
Periode fluktuasi terjadi pada periode 5 bulan dari korelasi silang densitas energi antara Stasiun Padang dan Cilacap yang mengindikasikan adanya variasi musiman, periode fluktuasi tersebut memiliki nilai densitas energi 22,07 m/siklus per jam. Nilai koherensi diantara kedua stasiun tersebut juga tinggi yaitu sebesar 0,82 ini menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan muka laut di Padang berhubungan erat dengan perubahan muka laut di Cilacap. Beda fase (sela fase) yang diperoleh pada periode 5 bulan bernilai positif ini berarti bahwa fluktuasi muka laut di Padang terjadi lebih dahulu kemudian diikuti fluktuasi muka laut di Cilacap setelah 3 hari.