• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016

PERIHAL

PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN BUPATI DAN

WAKIL BUPATI KABUPATEN SOLOK SELATAN

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI DAN/ATAU

AHLI PEMOHON, TERMOHON, PIHAK TERKAIT, DAN

PEMBERI KETERANGAN

(III)

(2)

SENIN, 2 FEBRUARI 2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016 PERIHAL

Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Solok Selatan

PEMOHON PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016

1. Khairunas dan Edi Susanto

TERMOHON

KPU Kabupaten Solok Selatan

ACARA

Mendengarkan Keterangan Saksi dan/atau Ahli Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Pemberi Keterangan (III)

Selasa, 2 Februari 2016, Pukul 09.11 – 11.54 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

(3)

Sunardi Panitera Pengganti

Pihak yang Hadir:

A. Pemohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Khairunas

2. Edi Susanto

B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Virza Benzani

2. Mira Widyawati

3. Tasni Yodi

4. Rizki Yuliandri

C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. I Gusti Putu Artha

D. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Abu Dawar

2. Dedi Hermansyah

3. Asdodianto

4. Arjunaedi Pasaribu

5. Rosmani Zar

E. Termohon (KPU Kabupaten Solok Selatan):

1. Isyuliardi Ma’as (Ketua KPU Kab. Solok Selatan)

2. Mulyadi (Anggota KPU Kab. Solok Selatan)

3. Andi Andrawan (Anggota KPU Kab. Solok Selatan)

4. Milza Afrina (Anggota KPU Kab. Solok Selatan)

F. Kuasa Hukum Termohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Hanky Mustav Sabarta

2. Anda Simon

G. Saksi dari Termohon Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Nila Puspita

2. Darminto

(4)

4. Baharudin

5. Jumani

H. Pihak Terkait Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Muzni Zakaria

I. Kuasa Hukum Pihak Terkait Perkara Nomor

72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Refly Harun

2. Bastian Noor Pribadi

3. Khairul Fahmi

4. Muh. Salman Darwis

5. Munafrizal Manan

6. Iwan Satriawan

J. Saksi dari Pihak Terkait Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Jajang

2. Dedi Suprianto

3. Anjar Eka Satria

4. M. Yasin

(5)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sidang dalam Perkara Nomor 72/PHP.BUP-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek lebih dulu kehadirannya. Pemohon, yang hadir siapa?

2. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum. wr. Wb.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Salam sejahtera bagi kita semua. Om Shanti Shanti Shanti Om. Kami sebagai Kuasa Hukum dari Pemohon yang hadir pada saat ini adalah pertama Virza Benzani, Mira Widyawati, Tasni Yodi, Rizki Yuliandri dan pada saat persidangan ini pun juga dihadiri oleh Prinsipal Pemohon, yaitu Bapak H. Khairunas.

Demikian, terima kasih, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih.

Termohon? Siapa yang hadir?

6. KUASA HUKUM TERMOHON: HANKY MUSTAV SABARTA

Terima kasih, Yang Mulia.

Kami Kuasa Termohon hadir dua orang saya Hanky Mustav Sabarta bersama Rekan saya Anda Simon, hadir juga Prinsipal lima orang Komisioner KPU Kabupaten Solok Selatan, Yang Mulia.

Terima kasih, Yang Mulia.

SIDANG DIBUKA PUKUL 09.11 WIB

(6)

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pihak Terkait? Siapa yang hadir? Silakan.

8. PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam.

10. PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Salam sejahtera untuk kita semua. Om Swastiastu.

Kami dari Pihak Terkait, Yang Mulia. Hadir yang paling kanan

Munafrizal Manan, kemudian Khairul Fahmi, kemudian Rekan kami Refly

Harun, kemudian yang di belakang Iwan Satriawan. Ada Prinsipal kami, Yang Mulia, calon Bupati, kemudian Bapak Muzni Zakaria, kemudian Salman Darwis. Saya sendiri Bastian Noor Pribadi, Yang Mulia.

Terima kasih.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih.

Agenda kita pada pagi hari ini adalah untuk pembuktian dengan pemeriksaan Saksi dan Ahli baik untuk Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. Oleh karena itu, kita mulai dulu dengan pengambilan sumpah akan kita periksa Ahli dulu karena kalau Ahlinya terlalu lama di sini kasihan, kasihannya itu kasihan yang lain-lain itu loh kalau kelamaan di sini. Kelamaan, nanti argonya jalan terus, kasihan itu, kita dahulukan.

12. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Majelis Yang Mulia. Mohon maaf, izin.

Sebelum kita lanjut pada pemeriksaan Saksi, perlu mungkin kami juga minta kejelasan, sebagaimana sidang kita sebelumnya bahwa Kuasa dari Pihak Terkait telah menyebutkan telah kami terima Surat Kuasanya atas nama John Matias.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(7)

14. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ini dokumennya. Dan kita juga tahu ketika persidangan sebelumnya pada saat sidang, Prinsipal dari Pihak Terkait mencabut Kuasa ini dan (suara tidak terdengar jelas) ini masih ada pada kami, itu pertama Kuasa, Majelis.

Yang kedua juga, di dalam dokumen perkara yang kami terima, keterangan Pihak Terkait masih mengatasnamakan nama Kuasa dari sebelumnya, apakah ini adalah juga bagian dari berkas perkara kita?

Yang ketiga, pada waktu kita menetapkan tentang pembuktian, di mana telah disepakati ketika itu oleh Kuasa Pihak Terkait yang ditunjuk pada waktu hari persidangan itu, itu adalah sebagaimana yang kami terima seperti ini, namun kami juga bertanya di belakangnya masih ada yang belum ditandatangani oleh Kuasa yang baru.

Demikian. Terima kasih, Yang Mulia.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Jadi memang kita juga menerima pencabutan, jadi sekarang saya akan minta kejelasan dari Prinsipal hadir ya di sini? Prinsipal hadir. Pak H. Muzni Zakaria. Ya.

Pak Muzni ini mengirim surat yang ditandatangani oleh Pasangan Calon mencabut Kuasa dari John Matias dan kawan-kawan, sampai nomor empat itu Udin Wibowo, betul?

16. PRINSIPAL PIHAK TERKAIT: MUZNI ZAKARIA

Benar, Yang Mulia.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kemudian, sekarang memberi kuasa kepada Refly Harun dan kawan-kawan?

18. PRINSIPAL PIHAK TERKAIT: MUZNI ZAKARIA

Betul, Yang Mulia.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Betul, ya. Baik. Jadi, itu yang dipakai sekarang, ya, kuasanya, ya?

20. PRINSIPAL PIHAK TERKAIT: MUZNI ZAKARIA

(8)

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik.

22. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Mohon izin, Yang Mulia. Pihak Terkait.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

24. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Kami ada tambahan Surat Kuasa, Yang Mulia. Untuk atas nama Iwan Satriawan, Khairul Fahmi, Muh. Salman Darwis dan Selamet Santoso. Kami akan serahkan saat ini juga, Yang Mulia.

Terima kasih.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sejak kapan itu tambahannya?

26. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Tambahannya … untuk sidang sekarang ini, Yang Mulia.

27. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sekarang ini?

28. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BASTIAN NOOR PRIBADI

Ya.

29. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, silakan diambil. Tolong itu, Petugas. Baik. Jadi, sudah klir, ya?

30. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Pada waktu sidang kita tanggal 12 tentang daftar alat bukti Pihak Terkait kan telah disampaikan ke kita.

(9)

31. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

32. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Pada waktu itu, Kuasa yang baru menyatakan bahwa ini adalah bukti di dalam persidangan ini. Namun demikian, ketika kami lihat ke belakang, yang menyatakan bahwa ini adalah bukti dalam persidangan ini adalah termasuk Kuasa yang hadir pada saat ini yang di sini tidak ditandatangani. Mohon kejelasannya, Majelis.

Terima kasih.

33. HAKIM KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, itu buktinya gimana?

34. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Mungkin bisa diklarifikasi, ada yang ... yang tidak tanda tangan berapa orang di situ?

35. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ada satu. Izin disebutkan, Majelis.

36. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Jadi kalau yang ada di Pihak Majelis, itu ada bukti PT-1 sampai dengan PT-14, yang tanda tangan Kuasa Pihak Terkait Refly Harun?

37. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya, apa masalahnya?

38. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Di sini PT-5 sampai dengan PT-9B.

39. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(10)

40. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ini yang kita terima dan ini disahkan dalam persidangan kita sebelumnya, Majelis.

41. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya ini juga su ... sudah disahkan, ini. Sekarang yang terakhir saja saya tanya pada Kuasa yang dita ... disahkan yang terakhir adalah PT-1 sampai dengan PT-14.

42. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

43. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya?

44. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Betul, Yang Mulia.

45. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Dan yang tanda tangan adalah Refly Harun.

46. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

47. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya?

48. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

49. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(11)

50. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

51. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ini. Ya ada itu di Berita Acara. Ya, yang disahkan adalah ini.

52. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Mohon izin, Yang Mulia. Pada waktu persidangan tanggal (suara tidak terdengar jelas) yang disahkan termasuk ini, dan itu dibenarkan oleh Bapak Refly Harun.

53. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Gimana? Pak Refly kan ini betul ini ya?

54. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

55. KETUA: ARIEF HIDAYAT

PT-1 sampai dengan PT-15, kan?

56. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya ini kami ada dokumennya, PT-1 sampai PT-14, Yang Mulia.

57. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

58. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya.

59. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya sudah, belum terima ini?

60. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

(12)

61. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Itu yang lama itu mungkin.

62. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ya, ini yang disahkan ketika persidangan (...)

63. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bukti awal, itu bukti awal itu.

64. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

PT-5, Pak. Bukti awal 1, 2 sampai 4, ini PT-5 saja.

65. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, ya, itu bukti awal itu, setelah dilengkapi buktinya sampai PT-14.

66. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Oke.

67. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

68. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Jadi, yang ini bagaimana, ini, Yang Mulia?

69. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nanti di risalah dilihat, itu sidang tanggal 12, pukul 10.35 WIB (...)

70. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Sidang itu dimaksudnya kan? Sidang tanggal 12 itu, maksudnya kan.

71. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

(13)

72. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya itu yang ini, ini ada catatan, nanti dilihat di risalah sidang, ya. Jadi yang disahkan, yang ini. Kalau Anda belum menerima, berarti ya bisa saja nanti kita kasihkan.

73. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Yang kami terima, yang ini, Yang Mulia.

74. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya makanya itu, sekarang dikasih yang baru ini. Ini disahkan ini PT-1 sampai dengan PT-14. Ya? Itu bukti awal pada waktu persidangan, terus kemudian dia menambahkan bukti ini yang disahkan.

75. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Di sini tertulis tanggal 11 Januari diserahkan.

76. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Makanya itu, ini ada yang tertanggal 12 Januari. Ini loh, ini ada catatan, PT-1 sampai dengan PT-14, ya. Kuasa jangan anu ... pakai anunya sendiri, ini kita Mahkamah sudah jelas ini, ya, sudah klir bagi Mahkamah. Yang enggak klir Saudara sendiri.

77. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ya, makanya kami ingin, kami tanyakan, apakah (...)

78. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya ini, sekarang nanti kalau mau anu, kita berikan.

79. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Apakah ini kita jadikan sebagai dom ... dokumen perkara dalam (suara tidak terdengar jelas).

80. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sekarang begini, ini sudah saya katakan. Bahwa bukti Pihak Terkait adalah PT-1 sampai PT-14 dan sudah disahkan pada persidangan tanggal 12. Ya?

(14)

81. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ya.

82. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kalau Anda belum punya bukti ini, nanti bisa dikopikan, ya?

83. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Terima kasih, Majelis.

84. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Bagi Mahkamah sudah jelas, tidak ada yang bermasalah.

Ya baik, silakan, Pak Putu, dan teman-teman Saksi dari Pemohon untuk maju ke depan, diambil sumpahnya.

Pak Putu, di sebelah kiri sendiri sini, oh, atau di sebelah sini, biar di depannya Yang Mulia Pak Palguna.

Abu Dawar, yang mana? Pojok, sini. Dedi Hermansyah? Asdodianto, Arjunaedi Pasaribu. Ya Kristen Protestan sendiri, terus kemudian Rosmani Zar, baik. Kemudian Pak Putu Ahlinya.

Ya, kita sumpah terlebih dahulu. Saya persilakan, Yang Mulia, untuk menyumpah, Ahli.

85. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Saudara Ahli, ikuti lafal sumpah yang saya bacakan.

"Om Atah Parama Wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om Shanti Shanti Shanti Om."

86. AHLI BERAGAMA HINDU:

Om Atah Parama Wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om Shanti Shanti Shanti Om.

87. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih.

88. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(15)

89. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN M.P SITOMPUL

Ya. Saudara Arjunaedi Pasaribu, ya? Ikuti kata-kata saya.

"Saya berjanji sebagai Saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya ... tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya. Ulangi! Semoga Tuhan menolong saya. "

90. SAKSI BERAGAMA KRISTEN:

Saya berjanji sebagai Saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.

91. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN M.P SITOMPUL

Terima kasih.

92. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih.

Sekarang yang Muslim berempat, ya, Saksi ini.

"Bismillahirrahmaanirahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya."

93. SAKSI BERAGAMA ISLAM:

Bismillahirrahmaanirahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.

94. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Kembali ke tempat. Rohaniwan, terima kasih.

Kita mulai untuk meminta keterangan Ahli, Pak I Gusti Putu Artha saya persilakan, dalam waktu yang singkat, untuk memberikan keterangan keahliannya. Silakan.

95. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Terima kasih, Yang Mulia. Om Swastiastu. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Om Namo Buddhaya.

(16)

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2015 diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.

Dari sisi fungsi kelembagaan, dalam penyelesaian pelanggaran pemilihan. Pengaturan melalui Undang-Undang Nomor 15 ini lebih jelas, pelanggaran yang bersifat administratif dan sengketa pemilihan menjadi ranah Bawaslu di semua tingkatan, pelanggaran kode etik menjadi ranah DKPP, sengketa tata usaha negara menjadi ranah PTUN, pelanggaran pidana menjadi ranah Kepolisian Republik Indonesia, dan perselisihan hasil pemilihan menjadi ranah Badan Peradilan Khusus, atau dalam hal ini didelegasikan sementara kepada Mahkamah Konstitusi menurut undang-undang.

Dari perspektif penanganan dan penyelesaian perkara pemilihan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 makin memberi kejelasan, jenis pelanggaran, dan batasan waktu penyelesaiannya. Penyelesaian pelanggaran administrasi misalnya, menjadi ranah Bawaslu dan KPU di semua tingkatan dengan rentang waktu penyelesaian perkara di Bawaslu maksimal 5 hari, dan di KPU dalam tempo 7 hari harus sudah ditindaklanjuti.

Penanganan sengketa pemilihan telah harus diputus oleh Bawaslu dalam tempo 12 hari. Penanganan pelanggaran pidana pemilihan memerlukan waktu 40 hari sejak perkara dilaporkan ke Bawaslu, diteruskan ke kepolisian hingga diputus dan berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan tinggi. Bahkan secara khusus Pasal 150 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menyebutkan, “Putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana pemilihan yang menurut undang-undang ini dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilihan, harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota menetapkan hasil pemilihan.

Penyelesaian sengketa tata usaha negara juga demikian, objek perkara yang paling krusial dijadikan sengketa adalah keputusan KPU provinsi, kabupaten/kota mengenai pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat pencalonan. Undang-Undang Nomor 15 memberikan batas waktu yang amat tegas, sejak laporan sengketa diterima di Bawaslu di semua tingkatan, hingga putusan berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung maksimal dalam tempo 69 hari telah selesai.

Sedangkan Pleno penetapan pasangan calon oleh KPU kabupaten/kota hingga tanggal pemungutan suara, memiliki rentang 105 hari. Dengan term waktu semacam itu, jika pemangku kepentingan konsisten menjalankan undang-undang sesuai dengan tenggat waktu yang diatur, maka seharusnya tidak perlu terjadi seperti sekarang ini pemilihan

(17)

susulan di lima kabupaten dan satu provinsi … di empat kabupaten dan satu provinsi dalam pilkada serentak sekarang ini.

Dengan uraian di atas, saya ingin menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ini sebetulnya telah mengatur secara tegas fungsi-fungsi tiap kelembagaan pemangku kepentingan pemilihan, dengan batasan waktu penyelesaian pelanggarannya.

Dengan demikian, menjadi tepat pula jika badan peradilan khusus yang menangani perselisihan hasil pemilihan yang untuk sementara wewenang itu ditugaskan kepada Mahkamah Konstitusi, memang berfokus pada hasil pemilihan yang sifatnya kuantitatif, mengingat pelanggaran yang bersifat kualitatif menjadi wewenang lembaga lain untuk menyelesaikannya, dan batas waktu perkaranya telah diatur dan selesai sebelum pelaksanaan rekapitulasi suara.

Artinya, konstruksi undang-undang ini sebetulnya ingin menegaskan, tidak berarti Mahkamah kemudian mengabaikan pelanggaran-pelanggaran kualitatif, sama sekali tidak. Tetapi, seluruh pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya kualitatif itu sudah selesai di lembaga lain dan bukti putusan itulah yang dibawa menjadi bukti dalam perkara di Mahkamah Konstitusi ini.

Konstruksinya, sebetulnya oleh undang-undang diatur sedemikian rupa. Sehingga seluruh lembaga, bisa berfungsi secara optimal, dan juga memberikan pembelajaran politik dan hukum kepada para peserta pemilihan dan penyelenggara, untuk mengatur waktu dengan baik dan merespons seluruh permasalahan di bawah dengan baik.

Karena kadang-kadang, Majelis, pengalaman kami di lapangan ada juga jebakan batman, ada dua modus. Pertama, sengaja dibiarkan pelanggaran untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sehingga terkesan masif. Kedua, di banyak tempat terkadang mereka sendiri yang membuat pelanggaran dan jebakan batman, lalu itu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Konstruksi undang-undang ini ingin mendidik kita semua. Kalau memang ada persoalan, silakan bereskan, bawa kemudian dia, terstruktur, masif, dan sistematis misalnya, maka itu akan terbukti dalam seluruh putusan-putusan dari lembaga lain yang akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Persoalan muncul ketika tataran ideal normatif tersebut dalam implementasinya di lapangan sering tidak selaras karena pemangku kepentingan terhadap lahirnya pemilihan yang berkualitas dan berintegritas tidak memiliki derajat pemahaman yang sama, respons yang sebangun, dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjalankan amanat undang-undang.

Derajat paling rendah terjadi pada peserta pemilihan, acapkali terjadi peserta pemilihan sibuk dengan urusan domestik masing-masing, sehingga respons atas tahapan penyelenggaraan pemilihan, termasuk kontrol di dalamnya amat rendah. Soal kualitas daftar pemilih misalnya, tidak ada satu pun pasangan calon di pilkada serentak tahun 2015 ini dalam pengamatan saya kalau itu keliru. Yang menyusun tim hingga level TPS

(18)

untuk mengontrol dan memverifikasi kualitas daftar pemilih. Yang saya lihat baru malah di Karangasem yang ada, menyertakan sampai tiga orang satu bulan diberi kesempatan oleh pasangan calonnya untuk memverifikasi daftar pemilih, sehingga 1.600 ditemukan. Di tempat lain saya kira belum ada, saya searching beritanya.

Akibatnya jika muncul persoalan daftar pemilih, maka kembali hal itu menjadi tanggung jawab peserta pemilihan. Di berbagai daerah peserta pemilihan juga melakukan semacam kegenitan politik dengan mencoba mempengaruhi, mengatur, dan mengintervensi pembentukan dan ritme kerja aparat penyelenggara di level bawah seperti KPPS dan PPK. Tujuannya jelas, agar penyelenggara di level bawah ini bertindak partisan dan menguntungkan peserta pemilihan.

Pada sisi lain, keterlambatan penyusunan undang-undang dan peraturan di bawahnya telah berimplikasi pada keterlambatan penyusunan perangkat penyelenggara hingga level bawah. Persoalannya adalah para penyelenggara di semua level akhirnya dipaksa oleh satu situasi pada waktu yang sama, mereka belajar memahami undang-undang sambil mensosialisasikan regulasi itu kepada pemangku kepentingan. Intinya, ruang dan waktu untuk memahami dan mensosialisasikan aturan amat terbatas.

Akibatnya, kualitas sumber daya penyelenggara terutama di level KPPS masih relatif harus ditingkatkan lagi. Lebih-lebih pada pilkada sekarang ini kalau sudah dua kali jadi KPPS, tidak bisa lagi jadi KPPS, menurut peraturan KPU, sehingga orangnya betul-betul baru. Problem inilah yang menjelaskan sejumlah kesalahan adminstratif pengisian formulir C-1, terutama sertifikat C-1. Belum lagi ada fakta-fakta sejumlah penyelenggara di level bawah, acapkali bertindak partisan terhadap pasangan calon tertentu.

Sehingga kritik saya kepada Pemohon, misalnya dengan uraian saya tadi itu adalah hal-hal yang sifatnya katakanlah saya lihat di permohonan ada soal PNS segala macam, saya kira bukan ranah Mahkamah lagi atau misalnya soal politik uang, bukan lagi misalnya ranah Mahkamah. Silakan dibuktikan putusannya dibawa ke Mahkamah. Kalau saya cek misalnya … apa namanya … permohonan Pemohon.

Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, kembali ke soal penanganan perselisihan hasil pemilihan oleh Mahkamah Konstitusi, menurut pandangan saya, derajat akurasi, sekali lagi saya streaching, derajat akurasi hasil pemilihan itulah yang seyogianya menjadi bahan pengujian dalam persidangan ini. Apakah betul hasil rekapitulasi suara yang telah ditetapkan oleh KPU setempat adalah angkanya akurat dan benar?

Mohon maaf, meminjam isu yang hangat sekarang, ibarat segelas kopi Mahkamah, kalau itu surat suara, kalau itu suara sah seberat kopi, apakah ada sianida atau tidak? Nah, itu kira-kira begitulah. Apakah ada racun atau tidak, hasil suara sah itu, apakah hasil rekapitulasi yang telah ditetapkan itu akurat dan benar? Dan berasal dari bahan baku yang bersih

(19)

atau dari proses pemungutan suara tanggal 9 yang berjalan dengan luber dan jurdil? Sekurang-kurangnya dari masa tenang sampai kemudian proses rekapitulasi. Apakah tidak ada sianida di situ berkeliaran yang membuat kopi ini kemudian menjadi tercemar, walaupun angkanya benar.

Apabila data rekapitulasi suara per-TPS yang dimiliki Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Panwaslih sama, maka hemat saya memang rekapitulasi boleh disebut angkanya benar, akurat. Tetapi persoalannya kemudian, apakah data yang akurat dan benar itu dihasilkan oleh proses pemungutan suara yang luber dan jurdil? Apakah kemudian tidak ada kopi, tidak ada sianida di situ? Siapa Jessicanya? Itu kira-kira begitulah.

Nah, maka tugas Majelis inilah yang kira-kira kemudian punya ruang untuk membuktikannya, artinya tidak berhenti pada data administratif, pada angka kuantitatif, tetapi kualitas angka itu yang harus kemudian diuji.

Tiga isu sentral yang menjadi komplain berkaitan dengan kualitas bahan baku yang menentukan apakah hasil rekapitulasi suara bersih atau agak kotor, sekurang-kurangnya dalam catatan saya adalah kualitas pengisian sertifikat formulir C-1, angka-angka yang berseliweran di situ pengguna hak pilih, surat suara segala macam, distribusi model C-6 surat pemberitahuan memilih, dan jumlah pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lain DPT- B2 yang kemudian di kotak di KPPS 4 dan KPPS 5 ditulis dalam formulir ATB-2.

Tiga isu sentral ini yang punya potensi, yang selain potensi-potensi yang lain, ada orang yang datang menggunakan C-6 milik orang lain, ada orang datang yang memilih lebih dari satu kali yang dicoblos berbarengan yang saya sebut sianida-sianida yang beredar pada tanggal 9.

Mutu anggota KPPS yang relatif rendah dan bimbingan teknis yang kurang berkualitas menyebabkan pengisian Berita Acara, sertifikat, dan lampiran formulir C-1 sering tidak utuh dan keliru.

Di pihak lain, saksi pasangan calon juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan kontrol di TPS atas pengisian formulir tersebut karena tidak memiliki pemahaman yang memadai. Itulah sebabnya mekanisme rekapitulasi suara di jenjang PPK menjadi penting untuk mengoreksi dan menyelaraskannya, sehingga tidak perlu lagi lanjut … tidak perlu lagi berlanjut kasus itu terangkat di Mahkamah Konstitusi. Ketika bicara sertifikat C-1, persoalannya adalah kalau di situ kemudian secara sadar suara digelembungkan, maka pasti akan terlacak di sertifikat. Karena apa? Surat suara yang digunakan, antara pemilih yang datang, suara sah dan tidak sah akan terjadi selisih.

Distribusi model C-6 hampir menjadi masalah di semua daerah yang menggelar pemilihan tahun 2015 ini. Di Kabupaten Karawang ditemukan 38 formulir C-6 di tempat sampah, di Denpasar 6 orang ditangkap karena menggunakan C-6 milik orang lain. Di Karangasem Bali petugas KPPS dipecat karena membagikan C-6 sambil bawa baju kaos milik calon lain. Di Kabupaten Boyolali, seorang KPPS dipecat karena membagikan C-6 sambil

(20)

memberi uang kepada pemilih, dan mengarahkan calon tertentu. Saya kira data-data ini di Bawaslu sangat rekap dengan baik.

Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa formulir C-6 rawan memang disalahgunakan yang berimplikasi menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu. Penyebabnya, dapat karena problem teknis administratif atau problem motif politik. Digolongkan problem teknis administratif, jika formulir itu tidak diberikan karena tidak dibagikan karena amat terlambat diterima KPPS dan tidak cukup waktu lagi membagikannya. Digolongkan motif poliltik, jika ada kesengajaan tidak membagikan dalam jumlah siginifikan, sehingga menyebabkan partisipasi pemilih di TPS itu rendah dengan maksud untuk mengurangi suara pasangan calon tertentu yang menjadi basis suaranya di TPS.

Saya tidak sependapat ketika ada pandangan yang mengatakan bahwa kita kan tidak tahu siapa yang akan memilih di situ. Tetapi, praktik-praktik politik di lapangan orang sudah bisa me-maping tiap TPS dari pemilu ke pemilu, ini kira-kira arahnya ke mana. Lalu orang kemudian pelaku-pelaku, Jessica-Jessica itu kemudian akan bisa memetakan, “Oh, di sini kita kurangnya C6-nya, di sini kita kurangnya C-6 karena potensi suara orang ini bisa masuk di situ.”

Saya sendiri, di rumah saya, Majelis. Tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain memilih. Setelah saya cek, hanya karena kemudian kalau di TPS itu para-para pendatang itu. Saya pendatang di Denpasar dipilihkan, maka calon incumbent-nya bisa kalah dan dia malu. Maka pendatang-pendatang ini disebar memilihnya, kemudian di banyak tempat di sekian-sekian dusun, sehingga semua dusun di situ di kelurahan saya biar bisa menang.

Nah, ini contoh yang kemudian saya temukan di lapangan yang langsung saya rasakan. Jadi jauh sekali memilih. Apa pun motifnya yang sudah jelas adalah jika C-6 tidak terdistribusi, saya tadi sempat bisik-bisik di belakang, sampai ada 500-an C-6 katanya tidak terdistribusi. Itu berarti secara teknis penyelenggara keliru. Saya kritik Termohon sekarang, tidak bisa melaksanakan kewajiban dengan undang-undang diperintahkan H-3 harus sudah terdistribusi.

Sekarang di forum ini adalah tinggal dilakukan cross-check, apakah kemudian tidak terdistribusi dalam jumlah cukup besar itu, kemudian karena motif politik atau semata-mata karena problem administratif. Kalau angka-angka itu menjadi sangat signifikan. Persoalan ini menjadi serius, terutama jika berpengaruh terhadap hasil akhir pemilihan yang berselisih tipis itu.

Dan dalam konteks ini saya kira, forum ini menjadi sangat tepat untuk mengoreksi dan membuka kedok semua pihak yang ada di sini berkaitan dengan C-6. Saya kira Termohon bisa menjelaskan kepada persidangan ini, berapa sebetulnya sampai posisi hari ini C-6 yang ada di tangan Pemohon karena kan sudah masuk sekarang di tangan Pemohon dari … apa ... dari PPS-PPS sudah bisa dikalkulasi ada sekian pemilih,

(21)

100.000 sekian pemilih, berapa C-6 yang ada di KPU Solok Selatan? Dan itu harus dijelaskan di forum persidangan ini C-6 yang signifikan atau tidak signifikan itu kenapa bisa tidak beredar.

Jika tidak dapat surat pemberitahuan, memang betul secara yuridis bisa datang ke TPS membawa KTP, KK, passport … passport atau identitas lain dan dapat menggunakan haknya. Namun, fakta pula di sejumlah daerah dan komunitas informasi tersebut kurang tersosialisasi dan tanpa diberikan, dan kalau tanpa diberikan surat pemberitahuan mereka malu dan enggan ke TPS.

Posisi surat suara di beberapa tempat itu seperti undangan pernikahan. Jadi, kita tahu tetangga kita di ujung gang menikah, tapi kalau tidak dikasih surat undangan, kita malu datang ke situ, dipikir cari makan gratis misalnya.

Nah, ini suasana-suasana psikolog ini di berbagai daerah terjadi, termasuk yang saya alami karena saya (suara tidak terdengar jelas) di beberapa tempat kemarin di Karangasem di beberapa daerah yang sangat kulturnya sangat kuat, dia malu tidak datang ke TPS, datang ke TPS kalau tidak dapat surat undangan. Jika tidak memegang kartu undangan, seseorang merasa malu menghadiri TPS itu.

Itulah sebabnya di masa depan sepertinya, seperti kartu pemilih yang sudah di-delete di undang-undang ini, saya mengusulkan C-6 juga karena punya alat politik yang luar biasa, tidak usah ada lagi di undang-undang pemilu dan pilkada selanjutnya, harus ada model, harus ada model pemberitahuan apakah dengan teknologi seperti sekarang sangat besar. Tidak usah lagi dibawa seperti itu, sehingga tidak rawan kemudian disalahgunakan.

Usulan saya untuk penyempurnaan undang-undang, saya kira, ini juga harus di-delete. Dulu kartu pemilih masalahnya sangat serius juga sudah di- delete, tidak, tidak ada. Harus ada satu mekanisme untuk memberi tahu publik secara kolektif untuk datang tanpa harus bawa C-6.

Soal penggunaan KTP atau indentitas lain di DPTb2, dalam pemilihan juga mengundang tanda tanya dengan proses pemutakhiran daftar pemilih tetap yang dilakukan berulang kali tiap hajatan demokrasi, ditambah lagi setiap proses tahapan sampai tiga kali, DPT kemudian ada DPTb1, kemudian ada DPTb2, jadi sampai hari H sebenarnya orang dimutakhirkan begitu, tetapi toh kenapa juga angka-angka DPTb2 di tiap-tiap TPS menjadi sangat besar.

Padahal, pengalaman saya ketika mengelola pemilu tahun 2009, ketika zaman Pak Mahmud … isu soal KTP ini dibuka oleh MK. Catatan saya hanya ¾ orang per TPS se-Indonesia. Dari waktu itu 620.000 TPS, hanya 400.000 saja TP … tidak sampai satu orang KTP-nya per TPS. Tapi kecenderungan yang sekarang di banyak tempat, di banyak daerah jadi besar.

Nah, penggunaan KTP yang cukup besar per-TPS ini pertama-tama tentu juga seperti halnya kasus C-6, kita persalahkan penyelenggaranya.

(22)

Artinya kalau orang kemudian benar, secara administratif tidak terdaftar, berarti proses pemutakhiran di situ gagal. Pemo … apa namanya ... pasangan calon juga gagal mengawal karena seharusnya pasangan calon semua yang berlaga di situ juga harus punya kontribusi untuk mengawal proses pemutakhiran di sana.

96. HAKIM KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ahli dipersingkat.

97. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Lagi sedikit, Majelis.

Namun, belakangan muncul juga pula tudingan politik atas penggunaan KTP tersebut. Ada dugaan mobilisasi pemilih tidak memenuhi syarat ke TPS dengan menggunakan KTP bekerja sama dengan oknum aparat KPPS 4 dan KPPS 5 untuk menguntungkan pasangan calon tertentu. Agar persoalan penggunaan KTP ini dapat dijelaskan karena problem kualitas DPT yang buruk atau karena motif politik, maka menurut pandangan saya, kita dapat memberikannya dengan menghadirkan formulir model ATB2-KWK di persidangan, terhadap TPS-TPS yang memiliki angka DPTb2 di sertifikat C-1 yang cukup besar, dan itu ada di tangan anggota KPU di semua tingkatan.

Di model ATB-2 inilah yang akan bisa diidentifikasikan sekurang-kurangnya dua hal. Satu, apakah jumlah antara model ATB-2 absen itu dengan di sertifikat sama? Kalau di sertifikat lebih besar, berarti ada mark up di situ karena absennya 10, ternyata sertifikatnya misalnya 40, dari sisi jumlah bisa di cek.

Yang kedua, apakah nama-nama pengguna KTP yang ada di absen itu di ATB-2, betul-betul memang memiliki hak memilih di tempat itu? Ini akan menjawab pertanyaan, apakah ada penyusup di situ dari dua kabupaten, dikirim di situ, bekerja sama dengan KPPS setempat untuk menguntungkan pasangan calon tertentu misalnya. Akan bisa dikoreksi dengan baik, dan dicek satu per satu.

Karena implikasinya sangat serius Pasal 112 mengatakan, “Kalau saja lebih dari satu ditemukan, orang yang tidak punya hak memilih di situ, maka harusnya TPS itu diulang.”

Jadi, demikianlah keterangan saya, Majelis, dalam persidangan ini yang saya pertanggungjawabkan sepenuhnya kepada Tuhan YME. Atas segala kekurangannya, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sekian, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

(23)

98. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Ahli. Dari meja Hakim, ada? Ya, silakan.

99. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua.

Jadi, terima kasih, Saudara Ahli, yang telah memberikan keterangan keahlian kepada kami di sini. Itu menarik karena dipaparkan hampir semuanya berdasarkan pengalaman empirik, dan ... dan pengetahuan, serta pengalaman Saudara selama menjadi Anggota KPU.

Tapi ada satu soal yang kemudian agak “menganggu saya”, begini. Kalau saya mengamati keterangan Saudara Ahli dari awal, Saudara sebenarnya ingin mengatakan dan klir Saudara menyebutkan di awal misalnya soal pidana, soal administratif, itu tidak lagi menjadi persoalan di Mahkamah Konstitusi, kan begitu kan?

100. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Ya.

101. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Ya, tidak boleh, tidak. Itu harusnya sudah selesai di tingkat di bawah, termasuk (suara tidak terdengar jelas). Tapi di dalam uraian berikutnya, ketika Saudara membanding ... mengandaikan misalnya bahwa apakah persoalan jumlah suara itu klop? Ya, misalnya, kalau memang klop, oke. Itu secara formal itu di ... diterima, tapi Saudara menambahkan, lalu satu klausul di situ, tapi mesti diperiksa, apakah ada sianida di situ? Saudara membuat perumpamaan metafor seperti itu.

Nah, seandainya ini kan bisa administrasi, bisa pidana, itu mestinya juga bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi dong, kalau menyelesaikan itu. Tapi Anda mengatakan bahwa di sinilah kesempatan untuk membuka kedok itu. Jadi ini ada, saya melihat ada kontradiksi di situ, bagaimana pemilahan ... pemilahan ... pemilahan anunya itu (...)

102. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Oke.

103. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Pemilahan pemikiran Saudara, di satu pihak Saudara mengatakan itu, bukan lagi kewenangan Mahkamah Konstitusi, tapi Saudara minta,

(24)

Mahkamah Konstitusi ini memper ... memeriksa soal sianida yang tercampur di dalam surat suara itu. Silakan.

104. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Boleh saya langsung jawab, Majelis?

105. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Silakan.

106. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Dari Hakim Pak Manahan, dahulu.

107. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Ya, ya.

108. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN M.P SITOMPUL

Terima kasih.

Sebagaimana tadi sudah dijelaskan oleh Ahli berdasarkan pengalaman-pengalamannya, dan tentunya Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan, baik peraturan undang-undang yang ada sekarang, dengan peraturan-peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh KPU, maka Mahkamah Konstitusi tentu akan mendasari ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan, dan yang ap ... yang up to date tentunya.

Nah, demikianpun juga tentu masalah-masalah yang lalu, baik itu mengenai DPT ataupun mengenai C-6, dan lain sebagainya itu, itu masih tetap menjadi ajang, yang mungkin akan dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan pihaknya.

Nah terkait, dengan C-6, DPT, dan KTP, ini menjadi hal yang sangat krusial menurut saya, nah inilah yang menjadi pertanyaan saya, khususnya kepada Saudara Ahli ten ... yang sudah punya pengalaman banyak menganai hal ini. KTP oleh Mahkamah sudah menentukan bahwa itu dapat digunakan, tapi ada juga pengaturannya di mana tem ... KTP itu harus digunakan di tempat dikeluarkannya. Namun, ada hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, yaitu surat Keterangan Kependudukan, yang belakang ini juga menjadi ajang digunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Nah, ini juga perlu mungkin pengalaman Saudara, perlu kita ketahui bagaimana hal-hal ini bisa ditentukan, dihubungkan dengan peraturan dari Termohon di sini, pihak ... pihak ... KPU yang telah mengeluarkan ketentuan ataupun peraturan mengenai hal itu. Nah, kita di Mahkamah

(25)

mungkin akan tetap merespons itu, namun bila hal-hal itu bisa relevan, ya ada korelasinya dengan penghitungan suara.

Itu barangkali mungkin yang bisa Saudara Ahli jelaskan lebih lanjut, supaya nanti hal-hal ini jangan menjadi persoalan yang sangat alot bagi Pihak-Pihak Pemohon, dan Pihak Terkait, dan pihak ... pihak-pihak lainnya, dalam hal penentuan hak mereka atau menentukan suara-suara yang diperoleh oleh mereka.

Barangkali itu lebih lanjut nanti yang saya mohon dari Saudara Ahli. Terima kasih.

109. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Satu lagi dari saya. Sebelum dijawab, jadi nanti Ahli menjawab sesuai dengan … apa … jatah dari yang lain-lain juga, ya.

Begini, hak pilih itu berangkatnya dari konsepsi hak bukan kewajiban. Sehingga, apakah Saudara Ahli bisa mengatakan, dia dapat C-6 atau tidak dapat C-6 karena itu hak. Maka, itu akan menjadi hak dia untuk datang ke TPS atau tidak, ya? Sehingga kalau misalnya di-mapping bagaimana pun, kalau berangkat dari konsepsi itu hak, saya misalnya simpatisan dari pasangan calon tertentu. Tapi itu karena hak ada kepentingan yang lain-lain, saya enggak perlu datang ke TPS, ngapain repot-repot, gitu.

Berbeda halnya kalau haknya itu kewajiban, ada C-6, ada tidak ada C-6 apa pun itu menjadi kewajiban seorang warga negara yang mempunyai hak pilih datang ke TPS. Nah sebetulnya, ini ada indikator ini atau ada … apa namanya ... “Parameter ini harus juga menjadi ukuran dalam menentukan partisipasi seseorang.” Apakah itu bisa dimainkan untuk kepentingan satu pasangan calon tertentu untuk bermain-main dalam hal ini adalah itu konsepsi itu. Jadi, ini harus juga dipertimbangkan saya kira, ya.

Saya minta, silakan, Saudara Ahli, untuk menanggapi dulu supaya memperkaya persidangan ini.

Terima kasih, silakan.

110. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Terima kasih, Majelis. Saya jawab pertanyaan, Bapak Palguna.

Jadi, sebetulnya tidak ada yang tidak konsisten di situ, maka dalam istilah saya, kita ingin mengecek sianidanya pada kopi tanggal 9 itu siapa yang mengisi? Karena ada sejumlah pelanggaran ... ada sejumlah pelanggaran pada saat proses pemungutan suara itu berlangsung yang baru teridentifikasi kemudian.

Katakanlah saya ingin mengklasifikan adakah pelanggaran sebelum masa tenang yang memang menjadi ranah lembaga lain dan sudah beres? Tapi, kalau ketika berbicara soal C-6 pasangan calon manapun, bahkan

(26)

pasangan calon Termohon tidak akan pernah tahu berapa penggunaan C-6, hanya Termohon yang tahu dan itu baru diketahui pada saat hasil rekapitulasi di kabupaten misalnya atau di bawah. Sehingga itu layak, dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai bahan. Ketika berbicara soal penggunaan DPTb2 misalnya, salah satu kelemahan peraturan KPU adalah memotret C-1 Plano boleh, tetapi kalau memotret DPTb2, itu tidak dibolehkan atau tidak dilarang.

Seharusnya, bagian dari hak DPTb2 salinannya harusnya diberikan kepada … kepada para pihak … kepada pasangan calon seharusnya di peraturan KPU. Karena itulah, saya selalu mengintrodusir kepada kawan-kawan di lapangan, “Potret itu DPTb2, biar punya kopinya.” Kalau tidak demikian, kita tidak bisa mengidentifikasi 10 orang yang datang ini orang yang dari luar gunung apa dari mana ini yang menggunakan KTP, misalnya. Nah, itu salah satu misalnya titik lemah.

Nah, kalau kemudian baru belakangan tahu ketika rekapitulasi baru tahu kemudian, “Oh, ini yang menggunakan KTP orang lain,” maka dia menjadi layak masuk di proses persidangan ini. Karena data-data itu tidak bisa terukur, tidak bisa ditemukan pada saat proses itu berlangsung.

Nah, tetapi ketika berbicara ada, “Di situ ada orang menggunakan hak suara dua kali.” Sudah selesaikan prosesnya di situ. Dibawa ke peradilan, dibawa ke Bawaslu, apakah pidana atau apa silakan. Tapi, ada beberapa elemen, yang memang baru bisa ditemukan setelah rekapitulasi. Sehingga, dalam perspektif ini, saya memahami bahwa itu bisa didorong dan sebagai satu pokok perkara untuk masuk ke Mahkamah Konstitusi. Itu jawaban saya karena urusannya sangat teknis menyangkut masalah … apa namanya … bagaimana berproses di situ.

Nah, kemudian menyangkut masalah KTP yang sifatnya krusial. Saya kira, kita sependapat bahwa ketika Mahkamah memberi ruang, maka ini isu KTP ini sebetulnya kan di beberapa daerah yang saya amati, termasuk di persidangan ini karena di beberapa tempat saya jadi Ahli, ada yang menggunakan surat domisili dan seterusnya. Sebetulnya undang-undang sudah sangat jelas, anda bisa gunakan KTP, tidak punya KTP bawa KK, tidak punya KK bawa paspor, kunci saja di situ tiga di RT, RW, atau sekurang-kurangnya di kelurahan itu.

Nah, kalau pakai surat domisili di berbagai tempat terjadi, saya tinggal di Denpasar besok ada pilkada di Buleleng, tempat kelahiran saya di Buleleng. Saya bisa bikin surat domisili, saya suruh kepala desa bikin bedol desa surat domisili selesai.

Nah, ini … ini yang praktik yang terjadi di lapangan. Sehingga, kita kunci, jangan seharusnya dipakai surat domisili. Sehingga, kalau ada surat domisili harus dinyatakan tidak beralasan hukum atau melanggar. Karena kalau misalnya, menggunakan surat domisili pasti kepala desanya melanggar, aturan kependudukan surat domisili harus 6 bulan minimal tinggal di situ, baru bisa menggunakan surat domisili. Tapi kan sering para pendatang, misalnya orang tinggal di Tangerang nanti di … di … untuk

(27)

pilkada DKI misalnya, bedol desa dari Banten itu bawa surat domisili, kalau itu di kasih masuk, pasti suaranya ada sianida di situ, yang seharusnya tidak punya hak menjadi punya hak di situ.

Ini ketika bicara soal KTP, sehingga saya malah harus mengatakan dengan jujur, sebenarnya ketika Mahkamah memberi ruang KTP ini masuk ada kecenderungan, belakangan ini … ini sering menjadi alat politik … sering menjadi alat politik, daripada kemudian dia memberi ruang untuk masuk. Karena logikanya, menjadi tidak nalar, “Loh kok DPT-nya sudah berulang kali dimutakhirkan kok.” DPT, kemudian ada namanya DPTb1, H-7 sampai sebelum pemungutan suara orang masih bisa masuk. Kok masih ada KTP? Artinya, kalau masih ada KTP di situ, pertama justru justifikasinya penyelenggaranya gagal. Kalau penyelenggaranya gagal, masih bisa dimaklumi itu tidak professional, tapi kalau disitu ada muatan politik untuk menguntungkan calon tertentu, ini yang berbahaya dan sebetulnya itu bisa di-cross-check di DPTb2.

Ketiga, menyangkut masalah hak. Saya sependapat kalau soal hak kemudian boleh dipakai boleh tidak. Tetapi di beberapa kasus yang kemudian saya lihat dan saya tangani, orang sebetulnya ingin datang ke situ, tetapi dia tidak mendapat surat C-6 dan ada persepsi yang keliru termasuk sosialisasi karena tidak dapat C-6 kemudian tidak datang.

Nah, persoalan ini yang yang sering pengalaman saya misalnya di Karangasem, pengalaman saya di Klungkung, ada perasaan-perasaan di sejumlah komunitas kalau tidak dikasih C-6 merasa kurang dihargai, kurang terhormat, ngapain kita datang kesitu, padahal saya ingin memilih itu misalnya. Nah, artinya dalam perspektif ini soal-soal psiko sosial dia menjadi sangat krusial, kecuali kalau undang-undang bisa dibalik besok, sudah, bikin saja kewajiban, sehingga dia tidak menjadi persoalan.

Tapi, poin (suara tidak terdengar jelas)-nya bukan di situ Majelis, tetapi kalau kemudian ada unsur kesengajaan dari pihak penyelenggara, untuk memanfaatkan situasi psiko sosial itu lalu memilih orang untuk memberikan … apa namanya … C-6 atau tidak memberikan C-6, maka ini yang menjadi masalah. Tapi kalau problem teknis semata-mata karena tidak bisa menyampaikan ke situ, itu lebih pada sikap tidak profesionalnya penyelenggara. Dan saya kira forum inilah yang bisa mengurai, mempertajam, membuka kotak pandora itu, ini apa motif politik atau semata-mata problem teknis.

Saya kira demikian jawaban saya, Majelis. Terima kasih.

111. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih.

(28)

112. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ada, Majelis.

113. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ada?

114. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Ada, Majelis.

115. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan, secara ringkas.

116. KUASA HUKUM PEMOHON: VIRZA BENZANI

Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia, terima kasih.

Saudara Ahli, tadi disebutkan tentang distribusi model C-6. Selaku mantan Komisioner KPU yang punya pengalaman banyak Saudara Ahli, ya, apakah persoalan tidak dibagikan C-6 ini merupakan persoalan klasik yang lama, dan berlaku di seluruh Indonesia, dan apakah ya, dengan tidak dibagikan C-6 ini, menurut Ahli, ya, terutama C-6 yang tidak dibagikan kepada tempat-tempat atau basis masa suara pasangan calon itu, akan apakah berpengaruh terhadap perolehan suara atau perolehan hasil suara dari pasangan calon tersebut? Pertanyaan pertama.

Yang kedua, Saudara Ahli, apa pendapat Saudara Ahli? Apakah, ya, dengan kehilangan suara yang diperoleh dikarenakan, ya, pasangan calon itu kehilangan suara dikarenakan basis massanya itu tidak diberikan C-6, apakah menurut Ahli bisa dilakukan atau diselenggarakan pemilihan ulang di tempat tersebut? Demikian dari kami.

117. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Bisa saya langsung jawab, Majelis?

118. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Langsung ke Termohon apa ada? Cukup?

119. KUASA HUKUM TERMOHON: HANKY MUSTAV SABARTA

(29)

120. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan.

121. KUASA HUKUM TERMOHON: HANKY MUSTAV SABARTA

Terima kasih, Yang Mulia.

Saudara Ahli, terima kasih tadi sudah menyampaikan keterangannya, intinya tadi Ahli juga mengatakan bahwa C-6 ini rentan untuk disalahgunakan, baik apakah motifnya administratif atau politik.

Nah, ini menurut saya tadi sepakat dengan apa yang disampaikan Yang Mulia bahwa ini berkaitan dengan partisipasi penggunaan hak tadi. Nah, inikan sudah menjadi momok, ya, momok dari dulu, apa pelaksanaan pemilunya sudah partisipasi ini menjadi momok yang sampai sekarang masih sering terjadi berulang-ulang begitu.

Nah, saya tidak sepakat dengan pendapat Ahli tadi yang mengatakan bahwa ini adalah semacam kelalaian dari penggunaan KTP, dan segala macam itu karena di … untuk penetapan DPT yang sudah pemuktahiran beberapa kali itu, juga diberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak pilihnya kalau tidak terdaftar di DPT. Ada waktu untuk meminta saya masuk, gitu kalau saya tidak terdaftar.

Nah, tadi ini yang saya ingin tanyakan adalah ini pengalaman empirik yang Ahli sampaikan tadi melulu hanya di Karengasem, Bali. Indonesia ini kan luas. Di tempat kita, Sumatera Barat, Yang Mulia, orang lebih sering datang ke TPS itu berpikir, “Apa yang saya dapatkan? Lebih baik saya ke ladang, ke sawah daripada nyoblos.” Ini kan berkaitan dengan hak dan partisipasi tadi. Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah pengalaman empirik Ahli sudah dilakukan secara akademik penelitiannya secara merata di seluruh Indonesia, gitu.

Itu, Yang Mulia, terima kasih.

122. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pihak Terkait?

123. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih juga kepada Ahli Putu Artha. Saya ingin bertanya soal tadi, ya.

Pertama, political mapping itu. Mapping bahwa kalau seandainya kita tidak mendapatkan C-6, lalu kemudian ada tindakan-tindakan tertentu, maka itu bisa dikatakan menguntungkan calon tertentu dan merugikan calon yang lainnya. Kita bisa pahami itu dari sisi analisis, ya. Tetapi kalau misalnya kebutuhannya untuk persidangan di Mahkamah Konstitusi ini, bagaimana membuktikan itu? Apakah cukup dengan omongan begini saja

(30)

ataukah kemudian kita panggil semua orang? Anda mendukung siapa dan lain sebagainya. Jadi, kita kan harus juga kemudian pembuktian yang bernilai dan measurable, bisa diukur. Itu satu.

Yang kedua adalah mengenai penyelesaian tingkat bawah. Tadi Ahli mengatakan bahwa sesungguhnya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang sudah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ini, sudah memberikan penyelesaian yang lebih jelas dan spesifik, administratif ke mana, kemudian penyelesaian sengketa ke mana, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Kami membaca permohonan Pemohon tidak ada upaya itu. Jadi semuanya menjadikan MK sebagai kotak sampah, ada masalah-masalah ini, kemudian mungkin setelah penghitungan, lalu kemudian dibawa semua ke sini. Kalau memang ada, coba tolong buktikan, mana upaya-upaya yang sudah dilakukan di tingkat bawah oleh Pemohon untuk kemudian membuktikan bahwa memang sudah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan dalam permohonan … dalam permohonan.

Nah, itu saya tanyakan juga kepada Ahli, tidak ada upaya di tingkat bawah, tapi kemudian dibawa semua ke MK.

Yang berikutnya adalah soal tidak dapat C-6 karena saya sudah baca tadi lima Saksi itu akan bicara C-6 semua dari Pihak Pemohon. Kalau misalnya, katakanlah ada kelalaian misalnya dari penyelenggara pemilu di tingkat bawah pilkada tidak menyampaikan C-6, tapi kan ada juga soal-soal teknis yang tadi dikatakan bisa terlambat, tidak ada waktu, dan lain sebagainya. Kita bicara tanggung jawab, selain penyelenggara pemilu, ada peserta pilkada. Penyelenggara pilkada, peserta pilkada. Kami Pihak Terkait kan punya tanggung jawab terhadap massa kami, untuk kemudian mengimbau mereka, mengajak mereka untuk kemudian bisa memilih walaupun tidak mendapatkan C-6. Nah, apakah tanggung jawab itu tidak juga bisa diberikan kepada pihak peserta yang lain, begitu. Karena kita bicara mengenai pilkada yang jujur dan adil.

Nah terakhir, saya asumsikan Ahli membaca permohonan ini secara baik. Bisa enggak kira-kira kemudian ada klaim bahwa kami seharusnya mendapatkan tambahan 833 karena perbedaannya memang 501 dan kami menang karena ada massa kami, simpatisan kami yang tidak dapat C-6, dan semestinya dia memilih kami. Apakah klaim itu bisa dibenarkan atau tidak?

Terima kasih.

124. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan, Ahli seluruh yang dipersoalkan dijawab.

125. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

(31)

Pertama dari Pemohon, isu klasik C-6 sekurang-kurangnya di pilkada serentak ini karena saya memantau terus persidangan ini hampir tiap hari dari dismissal, itu menjadi isu yang hangat, dan bahkan dari lima tahun yang lalu saya kira C-6. Jadi, suasana potensi politisasi C-6 saya harus mengatakan karena saya ada di lapangan terus menjadi konsultan pasangan calon itu terjadi. Nah, itu terjadi.

Bahwa kemudian ada di beberapa titik karena problem teknis terlambat percetakan, terlambat pengisian juga ya, maka saya ingin mengatakan khusus kasus Solok Selatan forum inilah yang membuktikan, apa dia problem teknis apa problem politik. Masif terjadi di hampir sejumlah daerah. Apakah kalau tidak dibagikan C-6 akan berpengaruh terhadap perolehan suara calon atau tidak? Dalam konteks seperti kasus Solok Selatan yang selisihnya relatif angka ratusan, maka akan dijawab, bisa dijawab dengan pertanyaan begitu, apakah kemudian problem C-6 itu sangat signifikan atau tidak? Akan dijawab lagi dengan pertanyaan berapa pemilihnya? Termohon berapa? Kemudian gagal membagikan C-6 kalau jumlahnya sampai signifikan, katakanlah 20%, 25% ditelusuri lagi, oh ternyata di berbagai tempat ada nuansa kesengajaan untuk tidak membagikan dari saksi-saksi segala macam, maka ia bisa memengaruhi suara calon. Tetapi kalau kemudian jumlahnya tidak signifikan, dan motifnya sangat teknis, ia tidak akan mempengaruhi suara calon apalagi selisihnya jauh.

Itu yang ingin saya katakan. Pertanyaannya, kalau kemudian demikian halnya ada satu tempat signifikan C-6 nya besar, apa bisa diulang? Kalau merujuk pada undang-undang Pasal 112 soal pembagian C-6 tidak bisa diulang memang, sekali lagi, merujuk teks hukum, tidak bisa diulang, lebih.

Tapi saya ingin memberikan substansi hukumnya seperti ini, ada sat … lebih dari satu pemilih yang kemudian tidak punya hak di situ menggunakan haknya, maka itu diulang, maka dalam kasus hukum kemudian kalau bisa dibuktikan di peradilan ini di satu tempat, satu TPS, dua TPS, ada kesengajaan, Pak. Apa … ada kesengajaan dari penyelenggara cukup signifikan tidak bisa membagikan C-6, maka kualitas konstitusionalitas kasus ini justru jauh lebih besar daripada sekadar dua orang tidak menggunakan hak pilih di situ kemudian masuk, lalu kemudian pemilu ulang.

Ini yang jauh lebih … lebih … lebih rawan dan lebih tinggi nilai konstitusionalitas hak orang kemudian untuk dipotong menggunakan hak pilih.

Jadi, dalam konteks kebenaran substantif, ia melebihi dari pasal itu, sehingga saya harus mengatakan dengan nurani yang paling dalam ketika itu bisa dibuktikan di persidangan ada cukup besar, tempat-tempat yang sampai kemudian orang tidak bisa datang ke tempat itu gara-gara tidak dibagikan C-6. Dan ia berpengaruh kemudian terhadap hasil akhir, rekomendasi saya jelas bisa dilakukan pemungutan suara ulang. Betapa

(32)

pun teks hukum di situ di 112 tidak memberi ruang untuk itu. Tetapi kalau cuma di satu TPS ada 10, 12, 15, kemudian jumlah DPT-nya 500 dan tidak relevan dengan … dengan ... dengan suara dan karena bisa dibuktikan teknis, saya kira tidak. Tidak bisa dilakukan pemungutan suara ulang. Jadi tergantung kasusnya per TPS yang terjadi di tempat itu.

Berkaitan dengan partisipasi soal ... apa namanya ... soal kelalaian, betul, justru itu yang saya heran. Anehnya begini, ketika bicara soal DPT, DPT itu kan sampai tiga kali dimutakhirkan, padahal dengan KTP. Tapi kenapa juga, kemudian sampai orang banyak membawa KTP. Artinya apa? Sebetulnya kontrol dari penyelenggara, yang saya sebut penyelenggara ya KPU dan panwasnya, untuk memastikan orang di situ, kemudian menggunakan hak pilih, itu gagal, sebagai orang yang punya tanggung jawab, tapi saya juga ingin mengatakan bahwa selama ini semua pasangan calon juga tidak memberikan kontribusi positif untuk pemutakhiran DPT itu, itu klir.

Karena itu, dalam konteks persidangan apa pun, saya selalu mengatakan kalau orang membuat dalil soal DPT, tidak lagi tempatnya di sini karena Anda juga bersalah. Tetapi persoalannya kalau kemudian yang lebih seksi, menurut saya adalah justru soal DPTb2 itu, bukan soal DPT karena semua orang punya peran di situ.

Kemudian, menyangkut masalah … apa ... soal motif orang kemudian datang menyoblos diberikan uang atau tidak, saya kira konteksnya bukan pada ... pada ... pada persoalan psikososial, persoalan kultural segala macam, tidak, tetapi lebih pada (suara tidak terdengar jelas)-nya adalah apakah penyelenggara di situ dalam konteks kemudian memberikan … apa … formulir C-6 itu ada niat sengaja dan bisa dibuktikan kemudian, sangat masif terjadi. Betapa pun itu hak, begitu pun kultur, maka ia bisa dikolerasikan ada persoalan-persoalan politik di situ untuk kemudian membuat orang kehilangan haknya.

Jadi bahwa orang kemudian datang mencoblos karena dapat uang karena ingin mendapat calon, itu saya kira, tidak ... tidak ... tidak menjadi concern saya untuk mendikusikan di forum ini, tetapi lebih pada persoalan bagaimana proses distribusi itu terjadi, yang sudah pasti adalah kalau sampai H-3 tidak diberikan dan jumlah signifikan, maka itu kelalaian penyelenggara.

Pertanyaannya, kan peserta bisa ikut membagikan? Tidak. Karena itu hak penyelenggara, KPPS yang bisa. Karena di situ kenapa orang kemudian butuh C-6 sampai saat ini? Karena di situ ada identitas, ada petunjuk, saya Putu Artha, pemilihan di Denpasar ke mana saya harus coblos? TPS mana? Jadi kalau itu tidak dibagikan, dia juga tidak tahu harus ke mana coblos itu, itu jelas. Karena bisa saja bolak-balik, saya harusnya coblos (suara tidak terdengar jelas) bisa sampai dusun lain ditaruh. Jadi C-6 itu memang kunci karena ada petunjuk di situ, coblos di mana.

(33)

Kemudian, untuk Bung Refly, apakah kemudian persidangan ini bisa … apa ... punya nilai ketika bicara soal mapping politic, kebutuhan (suara tidak terdengar jelas), dan seterusnya.

Saya sependapat dengan Anda bahwa itu tidak bisa punya nilai, ketika kemudian ... ketika kemudian persoalan-persoalan itu tidak signifikan, tapi ia menjadi persoalan serius karena saya lihat kasus di sini kan angkanya pada level ratusan. Saya tidak tahu case kasus ini sepenuhnya seperti apa secara menyeluruh karena mungkin Termohon yang bisa menjelaskan. Tapi kalau selisih 500, ternyata dari 110.000 misalnya ada sampai 20.000, 30.000 C-6 tidak dibagikan, menurut saya, itu serius untuk ditelusuri. Kenapa dari angka 500 dan C-6, 30.000, 20.000 misalnya atau apa? Terserahlah Majelis nanti signifikansi itu sampai pada kuantitas berapa begitu.

Saya kira, itu serius untuk ditelurusi. Tapi kemudian kalau case by case tidak … apa … kasus per kasus di tempat itu kemudian tidak signifikan, ya, tidak punya nilai apa pun untuk proses pembuktian di persidangan ini, termasuk soal mapping itu, saya sependapat dengan Anda.

Penyelenggara tingkat bawah sudah punya apa yang disebut dengan mekanisme komplain, penyelesaian komplain di level bawah, betul, itu yang saya sebut tadi beberapa kasus yang terjadi di TPS, kok orang ada mencoblos dua kali, bisa dikomplain. Tapi khusus untuk kasus C-6 dan DPTb2, itu tidak bisa dibuktikan tanggal 9, rekap di kabupaten baru bisa terbukti itu. Karena siapa pun pasangan calon tidak punya datanya, kecuali kalau calon itu cerdas, dia foto itu semua DPTb2 ... DPTb2 itu baru dia punya rekapannya, per TPS, “Oh ini banyak sekali KTP-nya.” Karena peraturan KPU tidak memberi hak kepada semua pasangan calon kepada Saksi untuk mendapat salinan itu, beda dengan C-1 Plano, tidak ada persalinan, boleh difoto, di peraturan KPU jelas, boleh difoto itu oleh para Saksi, oleh para pemantau, sehingga kita tahu kalau selisih suara di C-1 ada masalah, lihat saja C-1 Planonya dengan foto-foto itu kita tahu. Tapi ketika DPTB dan C-6, tidak ada akses untuk pasangan calon mana pun, baik Termohon, Pihak Terkait, maupun Pemohon untuk bisa memperoleh informasi itu kecuali ada di KPU dan itu baru kita tahu pada saat rekapitulasi.

Ada kelalaian dari penyelenggara, saya kira ini konteksnya sama soal tanggung jawab itu, ya, Bung Refly tadi sudah terjawab dengan sendirinya. Bisa tidak ada klaim dapat ... mohon diulangi, barangkali yang terakhir ini saya agak lupa, tulisan saya kayak dokter juga, malah saya tidak bisa baca ini.

126. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

(34)

127. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Yang terakhir ini.

128. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Ya, di dalam permohonan Pemohon dikatakan bahwa mereka seharusnya mendapatkan tambahan 833.

129. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Oke, saya jawab, saya sudah paham.

130. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: REFLY HARUN

Oke.

131. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Jadi kalau kemudian langsung konkret pada angka, saya harus mengatakan bahwa itu tidak bisa dilakukan karena butuh pembuktian. Jadi yang minimal bisa dilakukan di sidang ini adalah tidak … tidak bisa langsung pada klaim angka karena itu agak susah, bagaimana C-6 ini, kemudian bisa mengatakan ini angka sekian, tidak.

Yang bisa dibuktikan di persidangan ini adalah pertama pertanyaannya, signifikan tidak C-6 atau DPD ... DPTb2? Oke signifikan. Hasil dari pemilunya ... pilkadanya seperti apa hasil pemilihan? Oh, tipis. Nah, kalau kemudian bisa dibuktikan di persidangan ini DP-2, DPTb2 yang signifikan ini dan C-6 yang signifikan ini, kemudian punya potensi dan bisa dibuktikan itu ada unsur politik di situ, dan memengaruhi suara calon. Maka pertanyaannya kemudian, di tempat-tempat mana, di TPS mana itu terjadi sangat signifikan. Nah, kalau TPS-TPS itu sangat signifikan, sampai ada 15%, 20%, C-6 nya, maka recomended yang paling bisa dilakukan bukan mengubah angka, tapi wajib di situ dilakukan pemungutan suara ulang di TPS-TPS yang sangat signifikan. DPTb2-nya dan/atau C-6 nya yang sampai besar sekali dibagikan. Maksimum sampai di situ, tidak sampai pada tingkat angka, “Oh ini menang, segala macam.” Tidak bisa dihitung dan susah dibuktikan di persidangan ini. Minimum untuk menjamin rasa keadilan, maksimum untuk menjamin rasa keadilan, rekomendasinya adalah beberapa TPS yang sangat signifikan, kemudian terbukti di persidangan ada kegagalan penyelenggara, sengaja atau tidak, kemudian besar betul C-6 nya tidak dibagikan, dan itu yang paling mungkin dilakukan pemungutan suara ulang.

Sehingga, dengan orang kemudian hadir di situ karena saya juga harus mengatakan dengan berat hati, kok saya tadi cek, ada sampai yang

(35)

35% DPT-nya ada 3.000, yang datang cuma 30% segala macam. Tapi tadi saya cek ada yang menemukan sampai 178 C … C apa itu … C-6 itu, nanti mungkin Saksinya bisa menjelaskan itu saya tadi di … di luar. Begitu saya lihat, “Loh ini rawan ini, kalau sampai barang itu ada.” Dan itu kalau terjadi masif di beberapa TPS sampai C-6 nya memang sangat-sangat besar itu bisa dibuktikan, rekomendasi sajalah bahwa di beberapa TPS yang bermasalah seperti itu seharusnya memang diberikan hak kepada semua pemilih untuk … apa … memberikan hak pilihnya. Dan itu kalau signifikan untuk hasil pemilihan, rekomendasi sajalah, pemungutan suara ulang di beberapa TPS yang signifikan seperti itu. Sekaligus menjawab, tidak bisa membalik angka langsung.

Terima kasih.

132. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Terima kasih, Pak Putu Artha. Silakan, kalau akan meninggalkan ruang persidangan.

133. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Terima kasih, Majelis.

134. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih.

135. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Kopinya mudah-mudahan tidak ada sianida.

136. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, langsung saja tidak usah salaman semua. Mengganggu jalannya revolusi nanti. Ya, jangan sampai ada yang tertinggal itu.

Baik, sekarang kita untuk memeriksa saksi-saksi. Ini lima Saksi akan segera langsung kita periksa, kemudian kita tanya yang menurut anu ... menurut Hakim, dan menurut Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait yang relevan untuk diperdalam. Langsung sekaligus, ya.

Baik, sekarang yang pertama. Saudara Abu Dawar, ya. Silakan, dinyalakan, ya.

Saudara Abu Dawar, alamatnya di mana?

137. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

(36)

138. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Pada waktu pilkada jadi apa?

139. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Saya sebagai tokoh masyarakat saja, Pak.

140. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tokoh masyarakat.

141. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Ya.

142. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tidak ada kaitan dengan pasangan calon?

143. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Waktu itu tidak.

144. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sekarang ada?

145. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Sekarang saya hadir sebagai Saksi.

146. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, Saksi. Jadi, waktu itu tidak sebagai apa-apa? Tim sukses, gitu?

147. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Tidak.

148. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bukan. Dari pasangan calon Pemohon ini enggak ada ya, kaitannya, ya? Baik, apa yang akan Anda sampaikan?

(37)

149. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Terima kasih, Yang Mulia. Pada tanggal … hari Selasa, 8 Desember 2015 saya bersama PPS, Pak Darmito didampingi oleh aparat satu dari Kapolpos, satu dari Koramil. Kami keliling, yang pertama tujuan kami adalah memantau persiapan seluruh TPS.

150. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Posisi Anda ikut memantau sebagai apa itu?

151. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Saya hanya membawa mobil waktu itu, Pak. Sebab, KPU tidak menyiapkan mobil untuk PPS di Nagari Talao.

152. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, jadi Anda sebagai warga negara membantu? Gitu, ya.

153. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Membantu. Sebab, saya di sana adalah Ketua Bimdes.

154. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, ya. Baik, terus?

155. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Kemudian, kami keliling … kemudian, pada tanggal 9, hari Rabu … 12 … Desemb … tanggal … bulan dua belas 2015, setelah saya mencoblos, kami melakukan patroli lagi. Waktu itu saya didampingi oleh wali nagari juga.

156. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Itu, tanggal 9-nya?

157. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

(38)

158. KETUA: ARIEF HIDAYAT

He em, baik.

159. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Kemudian, pada tanggal 9 tersebut malam harinya setelah selesai melaksanakan pencoblosan, malam harinya sekitar pukul 21.00 WIB saya sampai di rumah, saya memeriksa mobil saya, saya temukan ada setumpuk C-6 yang tertinggal dalam mobil saya. Itu tergeletak di atas lantai mobil saya, yang saya kendarai.

160. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, menurut Saudara, siapa yang meninggalkan di situ?

161. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Saya berpendapat waktu itu, sebab yang berangkat sama saya adalah ketua PPS, kemudian didampingi oleh aparat. Saya berasumsi yang tertinggal ini adalah (…)

162. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Saudara tidak bisa berasumsi, yang Saudara tahu saja yang diceritakan. Jadi, sekali lagi ya saya sampaikan. Saksi itu menceritakan apa yang didengar, apa yang diketahui. Kalau Anda ahli, silakan berpendapat, silakan berasumsi. Lain, ya posisinya. Kalau Ahli itu honornya lebih banyak itu daripada Saksi. Jadi lain, jangan bicara asumsi, jangan bicara pendapat Anda. Bicara pendapatan juga enggak boleh, ya. Jadi, apa yang Anda tahu, apa yang Anda dengar. Jadi Anda tidak tahu yang tinggalkan di situ siapa?

163. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Saya tahu yang meninggalkan itu adalah miliknya PPS.

164. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tahunya darimana?

165. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Sebab yang memegang pemilik C-6 ini dikembalikan dari KPPS ke PPS, Pak, Yang Mulia.

(39)

166. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tapi Anda lihat pada waktu ditinggalkan di mobil Anda?

167. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Saya tidak lihat, saya periksa tang ... pas saya turun dari mobil pukul 21.00 WIB, tanggal 9 tersebut barang itu ada di mobil saya.

168. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Karena yang ikut di dalam mobil itu orang-orang itu, kemungkinan, kemungkinan loh.

169. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Pasti punya PPS.

170. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Memastikan darimana Saudara enggak lihat?

171. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Ya, sebab yang dua hari itu saya tidak ada naik sama orang lain, hanya dia pas di bawah tempat duduk beliau.

172. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, itu kan masih anu, ya, dugaan Anda, ya. Silakan diteruskan. Berapa jumlahnya itu C-6 itu?

173. SAKSI DARI PEMOHON: ABU DAWAR

Kalau yang pertama saya temukan lebih 500, tetapi karena sudah lama saya simpan.

174. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Referensi

Dokumen terkait

Sanjaya (2006: 175) mengatakan’ “Yang dimaksud dengan metode ekspositori adalah metode yang digunakan guru dalam mengajar keseluruhan konsep, fakta dan

Publikasi tersebut diberikan kepada BPS RI, BPS Se Provinsi Kalimantan Selatan dan instansi/dinas/badan Pemerintahan yang ada di Kabupaten Tanah Laut berupa soft

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian dari persyaratan yang diperlakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada

Lingkungan bisnis sekarang sangat kompetitif dan turbulen sehingga diperlukan suatu pendekatan manajemen yang dapat mengakmodasi permasalahan tersebut, untuk

kursi pakai tangan, sandaran tinggi, sandaran dan dudukan beralas karet atau busa dibungkus imitalisir atau kain bludru warna coklat atau wam a lain yang

Praktikan melakukan prosedur pengolahan dengan kurang baik dan kurang lancar dengan sedikit kesalahan ketika melakukan persiapan maupun proses pengolahan dan

Berdasarkan lembar angket yang diberikan kepada MIS. MIS memberikan skor jarang pada permasalahan tentang belajar dia di luar sekolah. dan jika dilihat dari

Pada siklus I pertemuan ke 2 guru mulai mencoba menerapkan metode Tanya jawab pada siswa, dengan penggunaan metode Tanya jawab ini siswa terlihat sudah mulai