• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA. Preeklampsia (PE) merupakan gangguan multisistem pada kehamilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB2 TINJAUAN PUSTAKA. Preeklampsia (PE) merupakan gangguan multisistem pada kehamilan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia

Preeklampsia (PE) merupakan gangguan multisistem pada kehamilan yang mempengaruhi keadaan ibu dan janin.Perubahan yang terjadi pada ibu meliputi hipertensi dan proteinuria dengan onset setelah minggu ke-20 pada kehamilan. Hal ini juga mempengaruhi kondisi janin sehingga janin berisiko tinggi mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin atau bahkan kematian dalam kandungan (Wagner, 2004).

Insiden Preeklampsia di dunia sekitar 3% sampai 5% dari seluruh kehamilandan diperkirakan menyebabkan 60 000 kematian ibusetiap tahun. Dalam laporanterakhirdariDepartemen Kesehatan Iran, angka kematian ibu diperkirakan menjadi 22,18 per 100 000 (Zibaeenezhad et al, 2010). Di Amerika Serikat, 18% penyebab kematian ibu adalah preeklampsia (Savaj and Vaziri, 2012). Di Indonesia, kasus preeklampsia terjadi 5-10 % dari kehamilan dan masih merupakan penyebab kedua terbanyak kematian pada ibu (Kemenkes, 2011)

(2)

Gambar 2.1 Diagram Penyebab Kematian Ibu Hamil (Kemenkes RI, 2011)

Beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia pada kehamilan adalah riwayat kehamilan, usia ibu terlalu muda (kurang dari 20 tahun ) atau terlalu tua (lebih dari 35 tahun), riwayat keluarga, riwayat penyakit ibu dan obesitas. Frekuensi preeklampsia pada primigravida lebih tinggi dibandingkan pada multigravida, terutama primigravida pada usia muda (Uzan et al, 2011; Mikat et al, 2012; Eiland et al, 2012; ACOG, 2002). Menurut rozhikan (2007), risiko terjadi preeklampsia pada kehamilan pertama sebesar 3,9 % sedangkan pada kehamilan kedua sebesar 1,7% dan kehamilan ketiga sebesar 1,8%.

Faktor risiko preeklampsia yang lain adalah obesitas. Wanita yang memiliki indeks massa tubuh lebih dari 35 sebelum hamil memiliki risiko empat kali lebih tinggi mengalami preeklampsia. Begitu juga dengan wanita yang memiliki indeks massa tubuh kurang dari 20. Kehamilan kembar juga merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia. Ibu hamil dengan penyakit penyerta diabetes melitus juga memiliki risiko preeklampsia lebih besar dibandingkan

(3)

dengan ibu hamil tanpa penyakit penyerta (Matsubara, 2009). Beberapa penyakit penyerta lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia pada kehamilan, seperti hipertensi, gangguan fungsi ginjal, kelainan hematologi, penyakit imunodefisiensi seperti SLE. (Jido and Yakasai, 2013)

Tabel 2.1 Faktor Risiko terjadinya Preeklampsia (ACOG, 2002)

Berdasarkan onsetnya, preeklampsia dibagi dua yaitu early onset yaitu preeklampsia yang terjadi sebelum usia kehamilan 34 minggu dan late onset, yaitu preeklampsia yang terjadi setelah kehamilan 34 minggu (Grill, 2009).

Berdasarkan gejala klinis, preeklamsia dapat dibedakan dalam bentuk ringandan berat.Preeklamsiaringan didefinisikan oleh sistolikTekanan darah> 140 mmHgataudiastoliktekanan darah> 90 mmHg disertai dengan proteinuria sebesar

(4)

pengukuran terpisahdiambilsetidaknya6 jam terpisah.Preeklampsia berat didiagnosis jika ada peningkatan tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg disertai dengan disfungi organ lainnya. Kriteria spesifik yang disepakati dalam American Congress Obstetricians and Gynecologists (ACOG)ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi Preeklampsia (ACOG, 2002)

Sindrom HELLP merupakan varian tertentu dari preeklampsia berat. HELLP adalahakronim untuk hemolisis, peningkatan hatienzim dan nilai trombosit yang rendah.Kriteria dari sindrom HELLP diantaranya adalah anemia mikroangiopati, nilai Aspartat Aminotransferase (AST) > 70, nilai laktatdehidrogenase (LDH)> 600, atau nilai totalbilirubin>1.2, dantrombosit<100.000(Sibai, 2004; Cunningham, 2002).

Beberapa kriteria untuk diagnosispreeklampsia berat digambarkan munculnya berbagai gangguan fungsi organ. Peningkatan proteinuria dan oliguria merupakan gambaran dari disfungsi ginjal. Sakit kepala dan perubahan fugsi visual merupakan bukti dari keterlibatan sistem saraf pusat. Gangguan disfungsi

(5)

hati digambarkan dengan nilai ASTataualanine aminotransferase(ALT)yang melebihi dua kali batas atas normal(ACOG, 2002).

Table 2.3 Kriteria Preeklampsia Berat (ACOG, 2002)

2.2 Patogenesis Preeklampsia

Saat ini telah terdapat kemajuan dalam pemahaman kitatentangpatogenesispreeklampsia. Secara historis, preeklampsia dikenalsebagai"the disease of theory", tetapi baru-baru ini misteritentangpatogenesismolekulpreeklampsiamulaiteruraidenganditemukan

kunci tentangperubahan

faktorantiangiogenikplasenta. Molekuldasar sebagai faktor patogen untukdisregulasiplasentainimasih belum diketahui, dan

(6)

trofoblasmulaidieksplorasi.Faktor antiangiogenik sepertisFLT-1dansoluble endoglin(sEng)menyebabkan disfungsi endotelsistemik, sehingga akhirnya muncullah manifestasi klinis sepertihipertensi, proteinuria, danmanifestasi sistemiklainnya

daripreeklampsia (Gilbert et al, 2008; Karumanchi and Epstein, 2007; Noris, 2005; Robert and Ecsudero, 2012; Wang et al, 2009)

Keadaan Hipoksiajuga dianggap menjadiregulatorpenting. Selain itu,aksis renin-aldosteron-angiotensinII, stresoksidatifyang berlebihandanpuing-puing sinsitiotrofoblas, maladaptasikekebalan tubuh, dan faktor genetik

mungkinjugasemua memilikiperan dalampatogenesis

preeklampsia (Rolfo et al, 2013; Savaj and Vaziri, 2012; Uzan et al, 2012; Zhou et al, 2011)

Patogenesis preeklampsia secaraumum terdiri dari dua tahapan proses. Tahap yang pertama ditandai dengan perkembangan plasenta yang abnormal selama trimester pertama yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan beberapa material plasenta ke dalam sirkulasi maternal. Tahap ini merupakan tahapan asimptomatik. Tahapan selanjutnya merupakan tahapan simptomatik atau tahap sindrom maternal yang ditandai dengan hipertensi, gangguan ginjal dan proteinuria (Mutter and Karumanchi, 2008; Gilbert et al, 2008; Jido, 2013; Pennington et al, 2012)

(7)

Suplai darah uterus difasilitasi oleh arteri uterina yang bercabang menjadi arteri arkuata. Arteri arkuata segera terbagi ke arah anterior dan posterior yang berjalan secara melingkar. Arteri arkuata berlanjut ke arteri radialis menuju ke arah lumen uterus. Arteri ini memperdarahi lapisan basal endometrium dan bagian arteriol spiralis memasok lapisan fungsional endometrium. Arteri spiralis adalah arteri kecil yang memasok darah ke lapisan endometrium uterus (Harris, 2011; Kapiteijn, 2006)

Dalam keadaan tidak hamil dinding arteri spiralis dan arteri radialis berisi jumlah darah yang cukup banyak. Dindingnya terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf otonom. Oleh karena itu, arteri spiralis sangat responsif terhadap rangsangan adrenergik eksogen dan endogen yang akan menimbulkan vasodilatasi ataupun vasokonstriksi (Kapiteijn, 2006)

Sel-sel trofoblas terus menginvasi jaringan desidua (trofoblas interstitial) dan arteri spiralis (trofoblas endovaskular) maternal. Pada awalnya invasi sel-sel trofoblas endovaskuler pada arteri spiralis menyebabkan arteri spiralis tersumbat, sehingga plasenta mengalami hipoksia (Murphy et al, 2012; Rolfo et al, 2013). Keadaan hipoksia ini merangsang se-sel trofoblas memproduksi dan mensekresikan faktor-faktor proangiogenik, diantaranya adalah VEGF dan PLGF. VEGF berikatan dengan reseptornya, yaitu KDR untuk merangsang peningkatan permeabilitas kapiler vili, proliferai dan migrasi sel endotel kapiler vili. Selain itu VEGF berikatan dengan reseptor FLT-1, yang mengatur laju proliferasi sel endotel dan mengorganisasikan pembentukan cabang-cabang kapiler vili baru (Andraweera et al, 2012; Hui et al, 2012; Knofler, 2012). Proses ini terjadi

(8)

selama trimester pertama kehamilan dan sampai akhir trimester pertama terbentuk tangkai vili dan cabang-cabang vilinya.

Setelah minggu ke-12 sumbatan trofoblas endovaskuler pada arteri spiralis mulai terbuka. Invasi sl-sel trofoblas endovaskuler ke dalam arteri spiralis terus berlanjut, pada akhir trimester kedua invasi sel-sel tersebut mencapai sepertiga bagian arteri radialis miometrium. Sel-sel trofoblas endovaskuler menyerupai dan menggantikan sel-sel endotel spiralis maternal. Selamainvasiendovaskular, endoteliumdansel-selotot polos pembuluh darahakan diganti dengantrofoblas (Harris, 2011; Andraweera et al, 2012). Remodelingarterispiralinimenghasilkan pembuluh darah dengan diameter lebih besar dan lebar sehingg mampumemasokcukupdarah maternalke plasentauntuk mengakomodasipeningkatan kebutuhan janin(Knofler, 2012; Uzan et al, 2011).

Gambar 2.2 Perubahan Arteri Spiralis pada Kehamilan Normal (Andraweera et al, 2012)

(9)

Selainremodeling arteri spiralis yang dimediasi oleh trofoblas, perubahan halus dalamstrukturarterispiraldiamatidi awalkehamilan padadesidua(Harris, 2011).Pada saat ini dikaitkandenganmasuknyaleukositke dalamdesiduauterustermasuksel Natural Killer(NK) seldan makrofag. SelNKrahimyang terisolasi daridesidua pada saat trimesterpertama, mensekresikanbanyak faktorpertumbuhan angiogeniktermasukVEGF-A, VEGF- C, danPLGF (Neufeld et al, 1999; Knofler, 2012; Levine, 2006; Noris et al, 2005).Mekanisme molekuler yangmengontrolremodelingarterispiralmasih belumjelas, tetapi diketahuibahwaselamainvasi, sitotrofoblaskehilangan kemampuan mereka untukmembagi danbahwasel-selyanginterdigitateantara sel-selendotelibukehilangankarakteristikepitelmereka

danmemperolehfenotipendoteldalamtransisiproses yang disebutpseudovaskulogenesis. Dalam hal Ini termasukjuga perubahanekspresipadamolekul(Andraweera et al, 2012).

Selamadiferensiasi, sitotrofoblasmengurangi regulasimolekul adhesidiantaranyaintegrina6b4, a5b6dancadherinepitel danmeningkatkan regulasi molekul adhesi yangdiekspresikan padasel-selendoteltermasukintegrinavb3, A1B1, pembuluh darahcadherinendotel, Vascular Cel adhesion Molekul-1 (VCAM-1)danadhesi selendoteltrombosit (Robert and Hubel, 2008; Pennington et al, 2012; Noris, 2005; Harris, 2011).

Arteri spiralis mengalami remodeling menjadi arteri yang kehilangan otot polosnya, sehingga terjadi penurunan resistensi pada arteri spiralis. Karena hal ini

(10)

maka aliran darah uteropalsenta meningkat dan suasana plasenta menjadi normoksia. Pada keadaan ini sekresi VEGF sebagai proangiogenik menurun, sedangkan PLGF meningkat. Ikatan PLGF dengan reseptornya yaitu FLT-1 diketahui dapat meningkatkan efek yang diperantarai oleh ikatan VEGF dengan reseptor KDR. Ikatan ini akan menginduksi proliferasi dan migrasi sel endotel, juga menginduksi pemanjangan cabang-cabang kapiler vili sebelumnya disertai pematangan vili. Vili-vili menajdi tipis dengan ujung yang berdilatasi menjadi vili intermedier matur dan vili terminal. Proses ini berlangsug dari trimester kedua sampai masa aterm (Eiland et al, 2012; Harris, 2011)

Perubahan fisiologis arteri spiralis ibu adalah kunci keberhasilan kehamilan. Pada kehamilan, dinding otot pembuluh darah arteri spiralis mengalami penghilangan sebagian otot polos dan lamina elastis hingga mencapai kedalaman sepertiga lapisan miometrium sehingga diameter pembuluh darah arteri spiralis menjadi berdilatasi, 5-10 kali lipat dari ukuran sebelumnya. Kegagalan perubahan fisiologis ini akan menimbulkan beberapa komplikasi dalam kehamilan. (Cunningham et al.,2008; Harris, 2011; Noris, 2005; Mutter, 2008; Romero and chaiworapongsa, 2013)

2.2.2 Plasentasi Abnormal

Pada implantasi normal, arteri spiralis mengalami remodeling ekstensif karena diinvasi oleh trofoblas endovaskuler (Andraweera et al, 2012; Noris 2005;Savaj and Vajiri, 2012). Sel-sel ini menggantikan lapisan otot dan endotel untuk memperlebar diameter pembuluh darah. Invasi ini menyebabkan arteri

(11)

spiralis mengalami transformasi dari pembuluh darah kecil dengan resistensi yang tinggi menjadi pembuluh darah dengan kapasitas kapiler yang tinggi sehingga mampu memenuhi perfusi plasenta yang adekuat untuk pertumbuhan janin.

Pada preeklampsia, transformasi ini berjalan tidak sempurna. Diduga invasi sitotrofoblas ke dalam arteri spiralis hanya terbatas pada desidua superfisialis dan hanya melibatkan sedikit segmen pada area miometrium. Selama proses invasi, vaskular sitotrofoblas berubah dari fenotip epitel menjadi fenotip endotel (pseudovaskulogenesis/vascular mimicry). Pada preeklampsia, sitotrofoblas gagal melakukan invasi tersebut dan selanjutnya menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi kecil dan pembuluh darah menjadi resisten (Mutter and Karumanchi, 2008; Matsubara et al, 2009; Sibai, 2005; )

Gambar 2.3 Arteri Spiralis pada Kehamilan dengan Preeklampsia

(12)

Kegagalan perubahan arteri spiralis inimenyebabkan plasentasi yang abnormal dan iskemia plasenta. Hal ini menimbulkan keadaan hipoksia (stress oksidatif. Hipoksia plasenta menyebabkan pelepasan berbagai faktor terlarut dari plasenta. Plasenta yang mengalami stres oksidatif menghasilkan protein anti-angiogenik yaitu SFLT-1, prostaglandin dan sitokin seperti NK- cell, TNF- α, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8 ke dalam sirkulasi ibu (Gilbert et al, 2007; Andraweera et al, 2012; Murphy et al, 2012; ).

Sementara, keadaan hipoksia plasenta sendiri menyebabkan pengurangan produksi faktor proangiogenik termasuk faktor pertumbuhan plasenta (PLGF) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Keadaan ini mempengaruhi fungsi endotel (Mutter and Karumanchi, 2008; Shibuya, 2013).

Target organ pertama yang dipengaruhi adalah endotel maternal. Perubahan ini menyebabkan disfungsi endotel dan aktivasi respon inflamasi sitemik. Substansi vasoaktif yang dikeluarkan endotel antara lain nitric oxide (NO), bradikinin, asetilkolin, endothelial-derived relaxing factor (EDRF), endothelial-derived hyperpolarizing factor (EDHF), serotonin dan histamin.

(13)

Gambar 2.4 Diagram Mekanisme Patofisiologi Preeklampsia (Sumber: Norris, 2005)

Respon inflamasi sistemik yang terjadi akibat disfungsi endotel mempengaruhi banyak fungsi organ, diantaranya peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, yang akhirnya terjadi vasokonstriksi, aktivasi kaskade koagulasi sampai akhirnya menimbulkan manifestasi klinis seperti hipertensi, proteinuria, gangguan fungsi hati, gangguan hematologi, gangguan sistem saraf dan gangguan terhadap pertumbuhan janin. (Levine, 2004; Grill et al, 2009)

(14)

2.3 Faktor Angiogenik dan Anti Angiogenik pada Preeklampsia

Pada preeklampsia terjadi ketidakseimbangan faktor proangiogenik dan antiangiogenik. Barton (2008) menyatakan adanya faktor-faktor proangiogenik dan antiangiogenik yang beredar dalam sirkulasi pada saat sebelum onset preeklampsia.

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah kapiler baru dari pembuluh darah yangsudah ada sebelumnya. Proses ini melibatkan interaksi kompleks antara berbgai olekul seperti faktor-faktor proangiogenik dan reseptornya (Kapitejn, 2006; Knofler, 2012).

Tahapan angiogenesis diawali dengan respon jaringan. Jaringan yang rusak memproduksi dan melepaskan faktor pertumbuhan (GF) yang berdifusi ke jaringan sekitarnya. Faktor pertumbuhan angiogenik akan berikatan dengan reseptor spesifik yang terdapat pada sel endotel pembuluh darah terdekat. Setelah itu sel endotel menjadi aktif, memberikan sinyal pertumbuhan. Sel-sel endotel mulai membentuk molekul-molekul baru, termasuk juga mengaktifkan enzim. Enzim akan melarutkan protein dan membentuk lubang-lubang kecil pada membran basal. Melalui lubang-lubang yang dibentuk, sel endotel mulai berproliferasi dan bermigrasi menuju jaringan yang rusak. Dalam proses ini juga diperlukan molekul adhesi atau integrin yang akan berfungsi sebagai kait sehingga pembuluh darah yang baru dibentuk dapat bergerak maju. Enzim lainnya seperti matriks metaloproteinase (MMP) juga diperlukan untuk menghancurkan jaringan di depan ujung mbuluh darah baru yang sedang tumbuh. Sel-sel endotel yang baru akan membentuk gulungan pembuluh darah. Setiap gulungan pembuluh

(15)

darah berhubungan satu dengan yang lain supaya darah dapat mengalir. Selanjutnya dengan bantuan sel-sel otot, pembuluh darah yang baru akan mengalami stabilisasi (Kapitejn, 2006; Knofler and Pollheimer, 2012)

Proses angiogenesis pada kehamilan berperan untuk memastikan suplai oksigen dan nutrisi sampai ke janin. Angiogenesis melibatkan berbagai macam faktor proangiogenik dan antiangiogenik yang bekerja sama dalam plasenta. Faktor proangiogenik yang berperan diantaranya adalah VEGF, PLGF dan Tissue Growth Factor β-1 (TGF β-1)

Gambar 2.5 Family VEGF beserta Reseptornya ( Andraweera, 2012)

Pada preeklampsia terdapat dua protein antiangiogenik yang diproduksi secara berlebihan diantaranya adalah sFLT-1 dan sEng. SFLT-1 merupakan

(16)

menghambat penandaan Transforming Growth Factor β-1 (TGF β-1) di dalam sirkulasi.

Gambar 2.6 Mekanisme Ikatan sFLT-1dengan VEGF pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia (Andraweera et al, 2012)

(17)

Pada Plasenta wanita dengan preeklampsia ditemukan peningkatan produksi protein sFLT-1. Hal ini memberikan kontribusi pada preeklampsia (Levine et al, 2006; Jacobs, 2011; Karumanchi, 2007).

2.3.1 Soluble Fms Like Tyrosine Kinase -1

SFLT-1 juga dikenal dengan soluble vascular endothelial growth factor reseptor -1 (sVEGFR-1), merupakan variasi bentuk dari reseptor FLT-1. Reseptor Flt-1 mengikat VEGF-A, VEGF-B dan PLGF dengan kuat dan diekspresikan pada banyak jaringan, termasuk monosit / makrofag dan trofoblas plasenta. Gen Flt-1 berlokasi di kromosom ke-13. Hasil alternative splicing dari pre-mRNA yang mengkode Flt-1adalah bentuk Flt-1yang kehilangan domain sitoplasmik dan transmembran tetapi masih memiliki domain ligand-binding yaitu bentuk soluble dari Flt-1. Bentuk soluble ini disebut sFLT-1, disekresikan oleh sel endotel, monosit dan plasenta (Shibuya, 2006; Neufeld et al, 1999).

(18)

Protein sFLT-1ini merupakan suatu faktor anti angiogenik yang bekerja sebagai antagonis VEGF-A dan PLGF, menghambat ikatannya dengan reseptor di permukaan sel. Hal ini mengakibatkan fungsi PLGF dan VEGF sebagai faktor proangiogenik terhambat, dan pertumbuhan pembuluh darah tidak terjadi (Rolfo et al, 2013; Romero and Chaiworapongsa, 2013).

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa peningkatan ekspresi dan sekresi sFLT-1 pada sirkulasi maternal memiliki kontribusi terhadap patogenesis preeklampsia. Penelitian yang dilakukan oleh Boyd et al (1987) menyatakan bahwa adanya peningkatan insiden preeklampsia pada ibu hamil dengan janin trisomi 13. Hal ini dikaitkan dengan lokasi gen Flt-1 di kromosom ke-13. Dengan adanya trisomi kromosom ke-13, maka terjadi peningkatan ekspresi gen sFLT-1 sehingga sFLT-1 dalam sirkulasi ibu meningkat. peningkatan sFLT-1 pada serum ibu hamil berhubungan dengan disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia, yang ditandai dengan timbulnya manifestasi klinis (Maynard et al, 2003; Levine, 2006).Menurut Levine et al (2006), sFLT-1 dalam serum ibu hamil dengan preeklampsia tinggit pada usia kehamilan 20 minggu dan meningkat secara signifkan dalam 5 minggu sebelum timbul hipertensi dan preeklampsia.

Mekanisme molekuler yang berperan dalam peningkatan sFLT-1 plasenta pada preeklampsia dan perannya dalam plasentasi belum jelas diketahui. Banyak faktor yang dikaitkan dengan mekanisme molekuler pelepasan sFLT-1 pada preeklampsia. Saat ini dipercaya bahwa keadaan hipoksia merupakan salah satu penyebab mayor lepasnya sFLT-1 (Gu et al, 2008; ). Namun Redman dan Sargent (2009) menyatakan bahwa defek plasentasi primer yang terjadi lebih dikarenkan

(19)

adanya stres oksidatif dibandingkan dengan hipoksia. Mereka menyatakan bahwa stimulus inflamasi yang menyebabkan lepasnya sFLT-1 ke dalam sirkulasi maternal memiliki efek yang lebih besar dibandingkan dengan keadaan hipoksia.

2.3.2 Placental Growth Factor

Faktor pertumbuhan plasenta (PLGF) adalah anggota dari faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yaitu sebuah molekul yang terlibat dalam proses angiogenesis dan vaskulogenesis, khususnya selama embriogenesis. (Levine, 2004; Karumanchi, Maynard, Stillman, 2005)

PLGF berada pada kromosom manusia ke -14 dan terdiri dari tujuh ekson. Alternatif mRNA splicing dari PLGF menghasilkan empat bentuk isoform, diantaranya PLGF-1 (PLGF131), PLGF-2 (PLGF152), PLGF-3 (PLGF203) dan PLGF-4 (PLGF224) (Maglione et al., 1993) yang berbeda dalam ukuran, sifat dan sekresi serta afinitas ikatannya (Ribatti, 2008). Namun PLGF-1 dan PLGF-2 diyakini merupakan isoform utama. PLGF-1 dan PLGF-2 masing-masing terdiri dari 131 dan 152 residu asam amino. PLGF homodimers mengikat FLT-1 dan NRP-1 sementara PLGF / VEGF-A heterodimer mengikat KDR dan FLT-1. heterodimer in vitro. PLGF terutama dapat ditemukan dalam plasenta, jantung dan paru-paru (Neufeld et al, 1999).

Peran dari PLGF masih tidak jelas. Beberapa penelitian menunjukkan peran penting PLGF dalam mengatur angiogenesis dalam kondisi patologis (Sibiude et al, 2012). PLGF sebagai family dari VEGF berperan sebagai faktor angiogenik poten dalam memulai proliferasi, migrasi dan aktivasi sel-sel endotel.

(20)

Beberapa mekanisme yang dilakukan PLGF dalam proses angiogenesis adalah dengan merangsang sel-sel endotel melalui ikatannya dengan reseptor FLT 1, berkompetisi denganVEGF-A untuk berikatan dengan FLT-1, sehingga memungkinkan VEGF-A berperan untuk mengaktifkan KDR, merekrut monosit / makrofag yang berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah (Ribatti, 2008) dan menginduksi sekresi VEGF-A dari monosit.

Dilaporkan bahwa peningkatan PLGF dalam sirkulasi maternal terjadi dari awal kehamilan sampai kepada akhir trimester dua kehamilan selanjutnya mulai dari minggu ke-30 sampai kepada persalinan, PLGF akan mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia ditemukan lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal (Schmidtet al, 2009; Lim et al, 2008; Mcelrath et al, 2012).

Selama kehamilan normal, ada peningkatan PLGF yang stabil dalam serum pada dua trimester pertama, puncaknya pada 29-32 minggu dan akan mengalami penurunan sesudahnya (Levine et al, 2004). Pada wanita yang kemudian mengalami pre-eklampsia, konsentrasi PLGF serum tidak mengalami peningkatan bila dibandingkan pada usia 10-13 minggu kehamilan (Levine et al, 2004) dan mengalami penurunan yang cukup besar 5 minggu sebelum munculnya manifestasi klinis (Levine et al., 2004).

(21)

Gambar 2.8 Proses Mekanisme Disfungsi Endotel pada Preeklampsia (Norris, 2005)

Serum PLGF pada 21-32 minggu kehamilan diketahui lebih rendah pada kasus pre-eklampsia jenis early onset (sebelum 34 minggu) dibandingkan dengan jenis late onset. Begitu juga dengan kasus penyakit berat dibandingkan dengan penyakit ringan dan kasus preeklampsia yang disertai dengan bayi kecil untuk masa kehamilan dibandingkan dengan ukuran yang sesuai untuk bayi usia kehamilan (Levine et al., 2004).

Pada pemeriksaan PLGF urin, hasilnya menunjukkan nilai yang paralel dengan pemeriksaan pada serum dengan kenaikan dua trimester pertama, mencapai puncaknya pada 29-32 minggu dan akan menurun stabil setelahnya.

(22)

Tetapi bagaimana pun juga perkembangan preeklampsia tidak didahului dengan perubahan pada nilai PLGF urin (Savvidouet al., 2009)

2.4 SFLT,PLGF dan Preeklampsia

Keseimbangan antara faktor angiogenik dan faktor antiangiogenik dinilai memegang peranan penting dalam regulasi vaskulogenesis plasenta. Adanya ketidakseimbangan antara VEGF, PLGF sebagai faktor angiogenik poten dalam perkembangan plasenta dengan sFLT-1 sebagai antiangiogenik yang beredar dalam sirkulasi maternal ditunjukkan pada sirkulasi ibu hamil dengan preeklampsia. PLGF serum ibu dikenal sebagai kebalikan dari sFLT-1; semakin tinggi-sFLT-1, semakin rendah PLGF.Didapati adanya peningkatan sFLT-1 dalam serum maternal yang diikuti dengan penurunan kadar VEGF dan PLGF bebas (Levine, 2004; Ahmad and Ahmed, 2004; Anderson et al, 2012; Chen, 2009)

(23)

Gambar 2.9: Gambar Ikatan sFLT-1 dengan PLGF pada Kehamilan Eklampsia (Hagmannet al, 2012)

Ketidakseimbangan faktor angiogenik dengan anti angiogenik yang terjadi memiliki hubungan dengan manifestasi klinik yang timbul pada preeklampsia. Levine (2004) menyatakan bahwa peningkatan sFLT-1 dan penurunan PLGFberhubungan dengan perkembangan preeklampsia. Ohkuchi et al (2010) melakukan pemeriksaan kadar sFLT-1 dan PLGF dalam plasma wanita jepang yang hamil dengan preeklampsia. Didapati bahwa nilai ratiosFLT-1 dengan PLGFdapat digunakan untuk menggambarkan perjalanan penyakit pada preeklampsia. (Ohkuchi et al, 2010). Verlohren et al(2010) menyatakan bahwa

(24)

nilai kadar sFLT-1, PLGF serta ratio sFLT-1/PLGF dianggap dapat digunakan sebagai prediktor pada kasus preeklampsia dan kasus hipertensi kronis yang akan berkembang menjadi preeklampsia (Verlohren, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kim et al (2007), preeklampsia memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan sFLT-1 dan penurunan PLGF dalam plasma ibu hamil trimester dua, bahkan ratio sFLT-1/PLGF dapat digunakan sebagai prediktor preeklampsia.

(25)

Disfungsi Endotel Plasenta Hipoksia

Ketidakseimbangan antara faktor angiogenik

dengan faktor antiangiogenik Stres

Oksidatif Maladaptasiimun Gene

tik

Faktor lain

Kegagalan invasi trofoblas ke dalam arteri spiralis maternal

Pengeluaran sitokin dan mediator inflamasi

sistemik

Hipertensi Proteinuria Liver disfunction Edema cerebral IUGR Preeklampsia Keterangan Gambar:

: Hubungan dalam Kerangka Teori : Keterkaitan Variabel yang diteliti

Gambar 2.10 Bagan Kerangka Teori PLGF

(26)

2.6 Kerangka Konsep

PLGF

sFlt-1

PREEKLAMPSIA BERAT/ EKLAMPSIA

Gambar

Gambar 2.1  Diagram Penyebab Kematian Ibu Hamil (Kemenkes RI, 2011)
Tabel 2.1  Faktor Risiko terjadinya Preeklampsia (ACOG, 2002)
Tabel 2.2 Klasifikasi Preeklampsia (ACOG, 2002)
Gambar  2.2    Perubahan  Arteri  Spiralis  pada  Kehamilan  Normal                   (Andraweera et al, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Harga sewa indekos tidak memoderasi pengaruh fasilitas terhadap keputusan mahasiswa memilih tempat indekos di wilayah Kelurahan Panularan Kecamatan Laweyan Kota

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan saran kepada Dinas terkait khususnya Dinas Koperasi, UMKM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyelenggarakan

Adanya ancaman peringatan ataupun pemberian hukuman merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus dan mengulang sehingga

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Perubahan Peruntukan

Pengamat I, II dan III melakukan diskusi untuk memilah dan melihat kekurangan dan keberhasilan siswa pada siklus I ini agar diperbaiki dan ditingkatkan lagi pada siklus II. Selama

Pada soal disajikan tabel yang berisi volume zat yang digunakan dalam suatu reaksi, kemudian siswa diminta untuk menentukan volume gas yang dihasilkan dari

Analisis biaya korban kecelakaan lalu lintas (BBKO) dengan metode The Gross Output menunjukkan bahwa ruas jalan Timor Raya dengan panjang 11 kilometer merupakan ruas jalan

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar Padepokan Jaranan Pogogan Teguh Rahayu, Eko Kadiyono dan seluruh masyarakat Desa Sugihwaras serta