BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu,
hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara
pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,
praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,
penangkapan, penahanan dan lain-lain, diberi definisi dalam Pasal 11
KUHAP.Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak diberikan oleh
para sarjana.
Andi Hamzah (2002: 2), memberikan penjelasan mengenai istilah
hukum acara pidana yang diuraikan sebagai berikut:
Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah
“hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda
memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan
menjadi tuntutan pidana, bukannya istilah strafprocesrecht yang
padanannya acara pidana. Istilah itu menurut Menteri Kehakiman
parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh karena
itu, menurut pendapat penulis istilah Inggris Criminal Procedure Law
lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah
strafvordering sudah memasyarakat maka tetap digunakan.Orang
Perancis memakainya dan menamainya Coded' Instruction Criminelle.
Sedangkan istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah
Criminal Procedure Rules. Digunakan istilah rules karena di Amerika
Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber hukum
formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan
sebagai himpunan hukum.
Menurut Andi Hamzah (2002: 6), dinyatakan bahwa Ilmu Hukum
Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,
karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:
a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan
kalau perlu menahannya;
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan
hakim tersebut;
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
denda atau tindakan tata tertib;
f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
g. Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib;
h. Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang mengatur tentang
cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi
keputusan itu harus dilaksanakan.
Menurut Wiryono Prodjodikoro (1974: 15) memberikan batasan
hukum acara pidana sebagai berikut:
“Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum
pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana,
jadi jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk
menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara
bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan
didapat suatu putusan pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu
putusan pengadilan, yang menjatuhkan suatu hukuman pidana; harus
dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan ini lah yang
dinamakan hukum acara pidana.”
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, hukum acara pidana
merupakan hukum yang menggerakkan negara melalui alat-alatnya menyidik
kebenaran.Dalam hal ini sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya, serta
mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan
hakim tersebut. Melalui hukum acara pidana pula hakim memberi keputusan
tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan
untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib.
Simons dan J.M. Van Bemmelen menganggap tujuan hukum acara
pidana sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga
kebenaran formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Lilik
Mulyadi(2012:12) juga menyatakan bahwa:
Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan
hukum acara pidana guna “... mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil rasanya kurang sepadan dan selaras
dengan ketentuan hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan
hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga mencari,
mendapatkan, serta menemukan “kebenaran materiil”. Jadi, bukanlah
untuk” setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.
Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara
pidana ini merupakan manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu
sebagai berikut:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pemberian keputusan oleh hakim; dan
Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan
ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga dapat dikatakan sekali lagi merupakan
"hakikat kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan "mendekati kebenaran
materiil" atau terlebih lagi bukan "setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil". Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
2. Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana
a. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocene)
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara
pidana. Ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum
angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, danatau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih
lanjut selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, dan mahkamah agung Republik Indonesia) dan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka
terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak
pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus
mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak
untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak
segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan
putusan seadil-adilnya, hak untuk mendapatkan juru bahasa, hak untuk
memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya.
b. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf e
KUHAP. Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan dilakukan
peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan agar
terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut,
kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses
administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya.
c. Asas Hak Ingkar
Hak ingkar diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang
hakim yang mengadili perkaranya.
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het
process) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini
secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang
No. 48 Tahun 2009, penjelasan umum angka 3 huruf I KUHAP dan
diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa:
“untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua siding membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atas terdakwanya anak-anak”.
e. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran
Terdakwa
Asas ini termaktub dalam ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat (2),
dan Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang
No. 48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan
secara biasa (pid. B) dan singkat (pid. S), dengan asas kehadiran terdakwa
ini, maka pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal
dalam tindak pidana khusus (ius singulare, ius speciale, atau bijzonder
strafrecht) pada tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 20 Tahun
2001) dan tindak pidana pencucian uang (Undang-undang No. 7 Drt.
Tahun 1955) dalam konteks ini tidak diperkenankan kecuali dalam acara
Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya diperlemah
dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
di mana menurut Pasal 12 ayat (2) undang-undang tersebut bahwa:
“dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri
terdakwa”.
f. Asas Equal Before The Law
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum
(rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang
di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian,
elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan
hukum (equal protection under the law) dan mendapatkan keadilan yang
sama di depan hukum (equal jucstice under the law).
g. Asas Bantuan Hukum
Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka 3
huruf f KUHAP:
“setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan memproleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.
Adapun asas bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dirumuskan bahwa:
“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
h. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dari Lisan
Pada asasanya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan
persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan
saksi-saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa Indonesia.
Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan
perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis
sebagaimana halnya dalam hukum perdata, implementasi asas ini lebih
luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal
154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.
i. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Apabila seseorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, atau
diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan,
baik mengenal orangnya maupun penerapan hukumnya, wajib
memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrispraak)
atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)
sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan
harkat serta martabatnya”.
j. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa (Bab XIX,
dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan
oleh ketua pengadilan negeri yang didelegasikan kepada hakim yang
diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
dan pengamatan. Dalam praktik hakim tersebut lazim disebut sebagai
“hakim wasmat” atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP,
Bab VI Pasal 55 Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 1985 tanggal 11
Februari 1985).
k. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan
Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap
tingkat pemeriksaan telah dibatasi (Lilik Mulyadi, 2012: 13-19).
B. Tinjauan Umum tentang Praperadilan
1. Pengertian Praperadilan
Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang
tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga praperadilan untuk setiap
warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah
(cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang. Lembaga Praperadilan
merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1
Andi Hamzah (2002: 183) menyatakan bahwa :
Di Eropa dikenal lembaga praperadilan, tetapi fungsinya memang
benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim
komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d'
In-struction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena
selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan,
juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan
bahwa tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang
menjamin hak asasi manusia di dalam HIR, yang dibentuk dengan
berorientasi atas kekuasaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda.
Praperadilan, pada prinsipnya, bertujuan untuk melakukan pengawasan
horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak
hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar
tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan
perundang-undangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu
sendiri. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri,
tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang
dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama
Pengertian Praperadilan Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP yang
berbunyi: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut umum demi tegaknya hukum dan keadilan;
3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah menguji dan
menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti
kerugian dan rehabilitasi. Praperadilan merupakan tiruan dari Rechter
Commisaris di Negeri Belanda (Andi Hamzah, 2002: 183). Lembaga Rechter
Commisaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul
sebagai wujud dari peran serta keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah
memberikan peranan ”Rechter Commisaris” suatu posisi yang mempunyai
kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan,
penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat-surat.
Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang
melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa
dimaksud adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum
melaksanakan wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum
tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi
tersangka atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan meyimpang yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, ia
berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi (Alfiah, 1986: 75).
P.A.F Lamintang dan Theo F Lamintang (2010: 223) menyatakan
bahwa:
Wewenang memeriksa dan memutus tuntutan ganti rugi merupakan
sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya tuntutan
ganti rugi, baik itu ditujukan kepada perseorangan maupun kepada
pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu
diperiksa dan diputus oleh hakim perdata.Apalagi wewenang untuk
memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi, karena selama ini
orang mengetahui bahwa wewenang untuk memberikan rehabilitasi itu
menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan
wewenang Presiden.
Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara
peraturan itu sendiri lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun
menggantikan produk perundang-undangan zaman kolonial yakni Herziene
Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui
(RIB) dengan produk Indonesia merdeka. HIR atau RIB itu dinilai sudah
usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang
ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak
membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap kali dapat
diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya
kesempatan untuk didampingi oleh penasihat hukum pada pemeriksaan
pendahuluan oleh Penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati
hak-hak tersangka (Darwan Prinst, 1993: 2).
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atau terdakwa, oleh keluarga
tersangka atau terdakwa oleh kuasanya harus telah diajukan ke pengadilan
negeri selambat-lambatnya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah
putusan pengadilan mengenai sah tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan telah diberitahukan kepada pemohon.
Menurut KUHAP, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas
itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau
tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Acarapraperadilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah
pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat
tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan (Pasal 81 KUHAP).
Objek atau cakupan dari praperadilan seperti yang sudah diuraikan
diatas menjadi semakin luas dengan dikeluarkannya putusan dari Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang pada inti nya
Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan, termasuk dalam objek
atau ruang lingkup praperadilan.
2. Para Pihak yang Dilindungi dalam Praperadilan
Tersangka/ terdakwa atau keluarganya atau advokat yang
mewakillinya adalah menjadi salah satu pihak pemohon dalam mengajukan
permohonan gugatan praperadilan (Pasal 79 KUHAP). Bila permohonan itu
adalah tentang sah/ tidaknya penangkapan/ penahanan, maka yang menjadi
pihak lawannya selaku termohon adalah institusi penyidik yang melakukan
penangkapan/ penahanan. Akan tetapi bila yang hendak diuji di praperadilan
adalah sah/ tidaknya penghentian penyidikan, maka sesungguhnya yang
paling dirugikan adalah saksi korban atau pelapor, sebab dengan
dihentikannya penyidikan perkara itu, maka kasus yang dilaporkan akan
menjadi tidak berlanjut ke persidangan pengadilan untuk memperoleh putusan
hukum. Penting dan perlu adanya putusan hukum pidana, selain untuk
kepastian keadilan yuridis, tetapi juga secara praktis akan dapat bermanfaat
terdakwa. Kesalahan itu menjadi alasan perdata untuk mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, atau
sekurang-kurangnya putusan pidana itu menjadi bukti hukum yang
menyatakan terdakwa/ terpidana benar bukan orang (beritikad) baik. Akan
tetapi, pihak korban/ saksi pelapor dalam kasus pidana adalah diwakili
kepentingannya oleh JPU, maka yang akan menjadi pemohon untuk
permohonan praperadilan adalah JPU, sedangkan yang menjadi pihak
termohon adalah intitusi penyidik yang melakukan penghentian penyidikan
(Pasal 80).
Posisi hukum JPU selaku pemohon dan penyidik selaku termohon
seperti diatas itu adalah juga merupakan konsekuensi mekanisme saling
kontrol horizontal diantara kedua institusi, itulah sebabnya SPDP (surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan) wajib disampaikan oleh
penyidik kepada JPU. Bilamana ternyata penyidikan itu dihentikan,
maka harus ada alasan yang hukum yang bisa dipertanggungjawabkan
juga oleh JPU agar perkara itu tidak perlu lagi dijadwalkan untuk
persidangan pengadilan. Putusan praperadilan itu sendiri akan menjadi
sebentuk pertanggungjawaban hukum bagi kedua institusi. Atas cara
itu, KUHAP menyebutkan ini sebagai bagian dari sarana pengawasan
3. Acara Praperadilan
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemeriksaan sah tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP),
pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat
tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian
penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditemukan beberapa hal berikut:
a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan atau
penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sah tidaknya penghentian penyidikan
atau penuntutan dan ada benda yang disita tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengarkan keterangan baik tersangka atau
pemohon, maupun dari pejabat yang berwenang;
c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusannya;
d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
e. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru;
f. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan dalam ketiga hal
tersebut di muka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya;
g. Selain daripada yang tersebut , putusan hakim harus memuat pula:
1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan
tersangka;
2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan
terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah
dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita (Andi Hamzah, 2008: 191-193).
Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan
banding, dikecualikan putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan ,untuk hal itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi di daerah hukum nya (Pasal 83
KUHAP).
4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini. Rehabilitasi adalah hak seseorang
untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan
harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan,
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Terhadap penggabungan ganti rugi merupakan ketentuan baru dalam
hukum acara pidana, sebagaimana yang ditentukan ganti rugi dari korban,
akibat dilakukan tindak pidana yang sifatnya perdata, digabungkan dalam
perkara pidana. Penggabungan ini dimaksudkan untuk mempercepat
penyelesaian tuntutan ganti rugi, sehingga dapat menghemat waktu, biaya,
tenaga karena gugatan perkara diperiksa dan diputus sekaligus dengan perkara
pidana yang bersangkutan
Pengadilan negeri sebelum memeriksa penggabungan perkara gugatan
ganti kerugian atas permintaan seseorang harus mempertimbangkan:
a). Tentang kewenangan mengadili;
b). Kebenaran dasar gugatan;
c). Tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan.Ganti
kerugian meliputi kerugian material dan immaterial (Syaiful Bakhri, 2009:
230-232).
C. Tinjauan Umum tentang Penyidik
1. Pengertian Penyidik
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh
lanjut diatur oleh Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia, sebagaimana dalam bab mengenai tugas dan wewenang
kepolisian; Pasal 13 tugas pokok kepolisian Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam praktiknya, kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas
selaku alat negara penegak hukum, memelihara serta meningkatkan tertib
hukum, melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom masyarakat bagi
tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, bersama-sama dengan
komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya, membina
ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan
dan ketertiban masyarakat, membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi
yang menunjang keadaan yang lebih kondusif (Syaiful Bakhri, 2009: 96-97).
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13, kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaraan lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarkat,
kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memeihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/ atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/ atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian;
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Andi Hamzah secara global menyebutkan beberapa bagian hukum
acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan;
b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik;
c. Pemeriksaan ditempat kejadian;
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
e. Penahanan sementara;
f. Penggeledahan;
g. Pemeriksaan atau interogasi;
h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat);
i. Penyitaan;
j. Penyampingan perkara;
k. Perlimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan (Lilik Mulyadi, 2012: 44).
2. Fungsi dan Wewenang Penyidik
Menurut ketentuan Pasal 7 KUHAP, fungsi dan wewenang penyidik
dapat berupa:
a. Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia karena kewajibannya
mempunyai wewenang:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9) Mengadakan penghentian penyidikan;
10)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang berdasarkan Pasal 7 ayat (2) mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP
3. Penyidik Pembantu
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
“Pasal 10: penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat pasal ini. (2) syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal11: penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal12: penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut
umum”.
Latar belakang atau pertimbangan diaturnya pejabat penyidik
pembantu ini adalah terbatasnya tenaga penyidik yang berpangkat tertentu
sebagai penyidik terutama di daerah kepolisian yang terpencil, karena
dipersyaratkan penyidik berpangkat sekurang-kurangnya Ajudan Inspektur
Dua (AIpDa) Polisi, maka akan terjadi hambatan dalam pelayanan
masyarakat, yakni dibidang tugas preventif, tugas yang bersifat melindungi
adanya tindak pidana, dan tugas represif yakni yang sifatnya memberantas
peristiwa tindak pidana. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penyidik
pembantu berwenang melakukan tugasnya yang sama dengan penyidik,
kecuali dalam hal penahanan yang memerlukan pelimpahan wewenang dari
penyidik, karena harus diberikan kepada penyidik, kecuali yang mendesak,
keadaan yang diperlukan terdapat hambatan berhubungan di daerah terpencil
Penyidik pembantu ketika sebelum berlakunya KUHAP, diemban oleh
pejabat kepolisian, dan sebagai penyidik uatamanya adalah penyidik
kejaksaan (Syaiful Bakhri, 2009: 106-107).
D. Tinjauan Umum tentang Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” berasal dari Bahasa
latin: Corruptio = penyuapan; Corruptore = merusak, gejala dimana para
pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah korupsi
merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Korupsi memiliki arti
yang sangat luas, yaitu:
a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;
b. Korupsi: busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi)(Evi Hartanti, 2005: 8).
Menurut Chaerudin, Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan
hak-hak dari pihak-hak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya
berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak pihak lain (Chaerudin, dkk,
2009: 2).
Menurut Dani Krisnawati arti kata korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta
dalam kamus umum Bahasa Indonesia korupsi adalah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya (Dani
Krisnawati, dkk, 2006: 36).
Korupsi memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
a. Korupsi yang bermotif terselubung, yakni korupsi secara sepintas
kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya
bermotif mendapatkan uang semata;
b. Korupsi yang bermotif ganda, yaitu seseorang melakukan korupsi secara
lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi
sesungguhnya bermotif lain yakni kepentingan politik.
Unsur-unsur korupsi sebagaimana terdapat dalam Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, antara lain:
a. Tindakan seseorang atau badan hukum secara melawan hukum;
b. Tindakan tersebut menyalah gunakan wewenang;
c. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain;
d. Tindakan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
e. Memberikan hadiah atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
f. Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya, dilakukan dalam jabatannya;
g. Memberi atau menjanjikan kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
h. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
i. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
j. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, keselamatan negara
k. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan
atau POLRI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang;
l. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI
dan Atau POLRI dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
m. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi;
n. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatan, atau membiarkan sementara waktu, dengan
sengaja menngelapkan uang atau surat berharga atau digelapkan oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;
o. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat
barang tidak dapat dipakai, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusak, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar
merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau
daftar tersebut;
p. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan.
2. Bentuk-bentuk korupsi
1) Perbuatan melawan hukum, memperkaya diri, orang/ badan lain yang
merugikan keuangan negara;
2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/ kedudukan yang dapat
merugikan keuangan/ perekonomian negara;
3) Penggelapan dalam jabatan;
4) Pemerasan dalam jabatan;
5) Tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan;
6) Delik gratifikasi.
3. Ciri-ciri korupsi
Korupsi memiliki ciri-ciri sebagaiberikut:
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran
hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat);
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
4. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika;
b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak mengunggah kesetiaan dan
kepatuhan yang diperlakukan untuk membendung korupsi;
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya kasus-kasus korupsi yang
terjadi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki
kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga
alasan ini dikatakan kurang tepat;
d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi di Indonesia pelakunya bukanlah dari
e. Tidak adanya sanksi yang keras;
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi;
g. Struktur pemerintahan;
h. Perubahan radikal;
i. Keadaan masyarakat.
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan
moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan
intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang
dapat menjinakkan korupsi walaupun tidak akan memberantasnya:
a. Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta
tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;
b. Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari
mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan
sumber-sumber korupsi;
c. Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
d. Berfungsinya suatu system yang antikorupsi;
e. Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan
intelektual yang tinggi (Evi Hartanti, 2005: 10-12).
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja
dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur
dengan undang-undang.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
apparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) (Pasal 11 Undang-Undang No. 32 tahun 2002).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada:
a. Kepastiah hukum: asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK;
b. Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap
tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Kepentingan umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas,
wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK (Evi Hartanti, 2005:
67-68).
KPK mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
Visi KPK: “mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi”
Visi tersebut merupakan suatu visi yang cukup sederhana namun mengandung
pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK
untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut
KKN. Pemberantasan korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan,
namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis.
Misi KPK: “penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang
antikorupsi”
Misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu
lembaga yang dapat “membudayakan” antikorupsi di masyarakat, pemerintah,
dan swasta di Indonesia. Komisi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan
komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya
partisipasi seluru lapisan masyarakat tersebut, dalam beberapa tahun
mendatang Indonesia akan bebas dari KKN.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
6. Tindak pidana korupsi yang dapat ditangani KPK
1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaraan negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggaraan negara;
2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
3) Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000
(satu miliar rupiah).
E. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan
1. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang
ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih
berperan dalam menegakkan supermasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) (Evi Hartanti, 2005: 32).
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa
Agung. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk
dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki. Demi
keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa
melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,jaksa senantiasa
bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa
menjaga kehormatan dan martabat profesinya.Dalam hal melaksanakan tugas
penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung (UU No. 16 Tahun
2004).
2. Penuntut Umum
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Selaku lembaga yang menjalankan fungsi penuntutan, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang sebagai
berikut:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. Mengadakan penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan/ atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
ditimpahkan ke pengadilan;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah
ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Apabila telah menerima berkas perkara dari penyidik, jaksa segera
pelajari dan menelitinya dan dalam tenggang waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum. Pengertian “meneliti” menurut ketentuan pasal 138 ayat (1)
KUHAP adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan
apakah orang atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai
ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka
pemberian petunjuk kepada penyidik. Menurut ketentuan Pasal 138 ayat (2)
KUHAP, apabila menurut penelitian penuntut umum berkas perkara belum
lengkap, penuntut umum harus segera mengembalikan berkas disertai
petunjuk dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus segera menyampaikan kembali berkas itu kepada penuntut
umum. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu 7 (tujuh) hari
atau belum sesuai apa yang diatur dalam Pasal 138 (2) KUHAP. Yang perlu
diteliti oleh penuntut umum atas berkas perkara yang diserahkan oleh
penyidik ialah kelengkapan formil dan kelengkapan materiil.
Kelengkapan formil berarti kelengkapan administrasi teknis yudisial
yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus
ditempuh oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75
KUHAP termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh
instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktik penegakan
hukum.
Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan
tersangka antara lain fakta-fakta yang dilakukan tersangka, unsur tindak
pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan, cara tindak pidana dilakukan,
waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (Harun M. Husein, 1991:
245-246).
Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap,
penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan.
Jika penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP.
Akan tetapi, apabila penuntut umum berpendapat sesuai dengan Pasal
140 ayat (2) huruf a KUHAP bahwa:
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana (kejahatan
atau pelanggaran);
c. Perkara ditutup demi hukum,
Maka penuntut umum menghentikan penuntutan dan menuangkan hal
tersebut dalam suatu penetapan (Lilik Mulyadi, 2012: 48-49)
3. Prapenuntutan
Prapenuntutan adalah merupakan suatu lembaga hukum baru yang
kedudukannya sejajar dengan praperadilan sebagai kewenangan dari penuntut
umum (Pasal 14 KUHAP), dikaitkan dengan Pasal 110 KUHAP dalam fase
penyelidikan dan Pasal 138 KUHAP dalam tingkatan prosedural pada
penuntut umum (Oemar Seno Adji, 1988: 108).
Demikian juga pengertian yang dinyatakan oleh Djoko Prakoso
mengenai prapenuntutan yang menyatakan bahwa “Prapenuntan adalah
wewenang penuntut umum dalam hal apabila dari hasil penelitian penuntut
umum berpendapat bahwa hasil suatu penyidikan ternyata belum lengkap,
maka ia akan segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh penyidik dalam
rangka melengkapi berkas perkara” (Djoko Prakoso, 1986: 115).
Sedangkan pengertian prapenuntutan menurut Harun M. Husein
adalah tindakan penuntut umum meneliti/mempalajari berkas perkara hasil
penyidikan guna menentukan apakah hasil penyidikan tersebut telah lengkap
penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dan meminta agar
tersangka dan barang bukti diserahkan kepadanya. Sebaliknya dalam
penelitian itu ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan
petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut ( Harun M. Husein, 1991:
245).
Untuk mempermudah pelaksanaan mempelajari dan meneliti berkas
perkara, dalam praktik digunakan sarana bantu berupa check list penelitian
berkas perkara tahap pertama. Check list tersebut berupa daftar formil dan
syarat materil yang harus dilengkapi oleh suatu berkas perkara pada bagian
kirinya, sedangkan pada bagian kanan berisi keterangan tentang ada tidaknya
data dan fakta yang merupakan kelengkapan berkas perkara tersebut;
a) Penelitian kelengkapan syarat formil
Kelengkapan syarat formil adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam melakukan tindakan-tindakan dalam penyidikan. Syarat
ini berupa prosedur dan tata cara yang harus dipenuhi untuk keabsahan
tindakan penyidik. Syarat-syarat tersebut adalah:
Setiap tindakan harus dituangkan ke dalam berita acara yang
dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan
dan ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan semua pihak
yang terlibat dalam tindakan tersebut. Berita acara tersebut sesuai dengan
1) Berita acara pemeriksaan tersangka;
2) Berita acara penangkapan;
3) Berita acara penahanan;
4) Berita acara penggeledahan;
5) Berita acara pemasukan rumah;
6) Berita acara penyitaan benda;
7) Berita acara pemeriksaan surat;
8) Berita acara pemeriksaan saksi;
9) Berita acara di tempat kejadian;
10)Berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan;
11)Berita acara pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini (Harun M. Husein, 1991: 247).
b) Kelengkapan syarat materiil
Penelitian atas syarat meteril dalam suatu berkas perkara meneliti:
1. Adanya perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan pengertian
perbuatan melawan hukum dengan mempedomani unsur-unsur delik
yang dipersangkakan;
2. Adanya kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian dengan
unsur-unsur delik yang bersangkutan;
3. Adanya minimal dua alat bukti yang sah yang dapat mendukung
4. Adanya alat bukti yang menunjukkan tempos delicti, sehingga dapat
diketahuidaluarsa atau tidaknya hak untuk melakukan penuntutan dan
apa delik yang disangkakan merupakan delik yang berkualifikasi atau
delik biasa serta mengetahui terkena tidaknya perbuatan ketentuan
normatif hukum pidana setelah dilakukan delik;
5. Adanya alat bukti yang menunjukan locus delicti, sehingga dapat
diketahui keberlakuan hukum pidana positif dan untuk menentukan
kejaksaan mana/pengadilan negeri mana yang berwenang melakukan
penuntutan/mengadili perkara yang bersangkutan (kompetensi relatif);
6. Kejelasan tentang peran pelaku dan atau para pelaku serta kualitasnya,
begitu pula kejelasan tentang tingkat pelaksanaan/penyelesaian delik
sehingga jelas pertanggungjawaban tersangka/para tersangka. Kualitas
pelaku/pera pelaku perlu jelas sehingga dapat ditentukan pengadilan
yang berwenang mengadili (kompetensi absolut) (Harun M. Husein,
1991: 249).
Ketentuan dalam Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP menyatakan
sebagai berikut:
Ayat (3): “dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum”
Ayat (4): “penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14
(empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tenteng hal itu dari penuntut umum kepada
Selanjutnya dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan
Ayat (1): “penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik, apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum”
Ayat (2): “dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkata
itu kepada penuntut umum”.
Apabila penuntut umum menerima hasil penyidikan yang telah
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu
sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan seperti apa yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP yang isinya
sebagai berikut:
“setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan”.
Di sini dibutuhkan ketelitian penuntut umum dalam menerima
berkas perkara, apabila sudah menyatakan hasil penyidikan telah lengkap
berarti harus tidak ada kekurangannya apabila perkara tersebut diajukan