• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana - ALIM MUSTOFA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana - ALIM MUSTOFA BAB II"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu,

hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan

haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara

pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,

praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,

penangkapan, penahanan dan lain-lain, diberi definisi dalam Pasal 11

KUHAP.Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak diberikan oleh

para sarjana.

Andi Hamzah (2002: 2), memberikan penjelasan mengenai istilah

hukum acara pidana yang diuraikan sebagai berikut:

Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah

“hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda

memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan

menjadi tuntutan pidana, bukannya istilah strafprocesrecht yang

padanannya acara pidana. Istilah itu menurut Menteri Kehakiman

(2)

parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh karena

itu, menurut pendapat penulis istilah Inggris Criminal Procedure Law

lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah

strafvordering sudah memasyarakat maka tetap digunakan.Orang

Perancis memakainya dan menamainya Coded' Instruction Criminelle.

Sedangkan istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah

Criminal Procedure Rules. Digunakan istilah rules karena di Amerika

Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber hukum

formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan

sebagai himpunan hukum.

Menurut Andi Hamzah (2002: 6), dinyatakan bahwa Ilmu Hukum

Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,

karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:

a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan

kalau perlu menahannya;

d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan

kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan

hakim tersebut;

e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

(3)

denda atau tindakan tata tertib;

f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

g. Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib;

h. Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang mengatur tentang

cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana

materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi

keputusan itu harus dilaksanakan.

Menurut Wiryono Prodjodikoro (1974: 15) memberikan batasan

hukum acara pidana sebagai berikut:

“Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum

pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana,

jadi jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk

menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara

bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan

didapat suatu putusan pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu

putusan pengadilan, yang menjatuhkan suatu hukuman pidana; harus

dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan ini lah yang

dinamakan hukum acara pidana.”

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, hukum acara pidana

merupakan hukum yang menggerakkan negara melalui alat-alatnya menyidik

kebenaran.Dalam hal ini sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

(4)

yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya, serta

mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan

kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan

hakim tersebut. Melalui hukum acara pidana pula hakim memberi keputusan

tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan

untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib.

Simons dan J.M. Van Bemmelen menganggap tujuan hukum acara

pidana sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga

kebenaran formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Lilik

Mulyadi(2012:12) juga menyatakan bahwa:

Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan

hukum acara pidana guna “... mendapatkan atau setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil rasanya kurang sepadan dan selaras

dengan ketentuan hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan

hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga mencari,

mendapatkan, serta menemukan “kebenaran materiil”. Jadi, bukanlah

untuk” setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara

pidana ini merupakan manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu

sebagai berikut:

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pemberian keputusan oleh hakim; dan

(5)

Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan

ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga dapat dikatakan sekali lagi merupakan

"hakikat kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan "mendekati kebenaran

materiil" atau terlebih lagi bukan "setidak-tidaknya mendekati kebenaran

materiil". Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan

dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

2. Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana

a. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocene)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara

pidana. Ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum

angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, danatau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

(6)

Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih

lanjut selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri,

pengadilan tinggi, dan mahkamah agung Republik Indonesia) dan belum

memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka

terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak

pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus

mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak

untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak

segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan

putusan seadil-adilnya, hak untuk mendapatkan juru bahasa, hak untuk

memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya.

b. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2)

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf e

KUHAP. Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan dilakukan

peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan agar

terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut,

kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses

administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya.

c. Asas Hak Ingkar

Hak ingkar diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun

(7)

mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang

hakim yang mengadili perkaranya.

d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het

process) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini

secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang

No. 48 Tahun 2009, penjelasan umum angka 3 huruf I KUHAP dan

diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa:

“untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua siding membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atas terdakwanya anak-anak”.

e. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran

Terdakwa

Asas ini termaktub dalam ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat (2),

dan Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang

No. 48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan

secara biasa (pid. B) dan singkat (pid. S), dengan asas kehadiran terdakwa

ini, maka pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal

dalam tindak pidana khusus (ius singulare, ius speciale, atau bijzonder

strafrecht) pada tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 20 Tahun

2001) dan tindak pidana pencucian uang (Undang-undang No. 7 Drt.

Tahun 1955) dalam konteks ini tidak diperkenankan kecuali dalam acara

(8)

Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya diperlemah

dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

di mana menurut Pasal 12 ayat (2) undang-undang tersebut bahwa:

“dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri

terdakwa”.

f. Asas Equal Before The Law

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum

(rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang

di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian,

elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan

hukum (equal protection under the law) dan mendapatkan keadilan yang

sama di depan hukum (equal jucstice under the law).

g. Asas Bantuan Hukum

Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka 3

huruf f KUHAP:

“setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan memproleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.

Adapun asas bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dirumuskan bahwa:

“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan

(9)

h. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dari Lisan

Pada asasanya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan

persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan

saksi-saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa Indonesia.

Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan

perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis

sebagaimana halnya dalam hukum perdata, implementasi asas ini lebih

luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal

154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.

i. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Apabila seseorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, atau

diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan,

baik mengenal orangnya maupun penerapan hukumnya, wajib

memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrispraak)

atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)

sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan

harkat serta martabatnya”.

j. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa (Bab XIX,

(10)

dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan

oleh ketua pengadilan negeri yang didelegasikan kepada hakim yang

diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan

dan pengamatan. Dalam praktik hakim tersebut lazim disebut sebagai

“hakim wasmat” atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP,

Bab VI Pasal 55 Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Surat Edaran

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 1985 tanggal 11

Februari 1985).

k. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap

tingkat pemeriksaan telah dibatasi (Lilik Mulyadi, 2012: 13-19).

B. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

1. Pengertian Praperadilan

Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang

tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga praperadilan untuk setiap

warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah

(cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang. Lembaga Praperadilan

merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1

(11)

Andi Hamzah (2002: 183) menyatakan bahwa :

Di Eropa dikenal lembaga praperadilan, tetapi fungsinya memang

benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim

komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d'

In-struction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena

selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan,

juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan

bahwa tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang

menjamin hak asasi manusia di dalam HIR, yang dibentuk dengan

berorientasi atas kekuasaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda.

Praperadilan, pada prinsipnya, bertujuan untuk melakukan pengawasan

horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak

hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar

tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan

perundang-undangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu

sendiri. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri,

tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang

dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama

(12)

Pengertian Praperadilan Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP yang

berbunyi: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa

dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut umum demi tegaknya hukum dan keadilan;

3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah menguji dan

menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang

dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti

kerugian dan rehabilitasi. Praperadilan merupakan tiruan dari Rechter

Commisaris di Negeri Belanda (Andi Hamzah, 2002: 183). Lembaga Rechter

Commisaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul

sebagai wujud dari peran serta keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah

memberikan peranan ”Rechter Commisaris” suatu posisi yang mempunyai

kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan,

penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat-surat.

Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang

melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa

(13)

dimaksud adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum

melaksanakan wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum

tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi

tersangka atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan meyimpang yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, ia

berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi (Alfiah, 1986: 75).

P.A.F Lamintang dan Theo F Lamintang (2010: 223) menyatakan

bahwa:

Wewenang memeriksa dan memutus tuntutan ganti rugi merupakan

sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya tuntutan

ganti rugi, baik itu ditujukan kepada perseorangan maupun kepada

pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu

diperiksa dan diputus oleh hakim perdata.Apalagi wewenang untuk

memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi, karena selama ini

orang mengetahui bahwa wewenang untuk memberikan rehabilitasi itu

menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan

wewenang Presiden.

Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara

peraturan itu sendiri lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun

(14)

menggantikan produk perundang-undangan zaman kolonial yakni Herziene

Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui

(RIB) dengan produk Indonesia merdeka. HIR atau RIB itu dinilai sudah

usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang

ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak

membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap kali dapat

diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya

kesempatan untuk didampingi oleh penasihat hukum pada pemeriksaan

pendahuluan oleh Penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati

hak-hak tersangka (Darwan Prinst, 1993: 2).

Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atau terdakwa, oleh keluarga

tersangka atau terdakwa oleh kuasanya harus telah diajukan ke pengadilan

negeri selambat-lambatnya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah

putusan pengadilan mengenai sah tidaknya suatu penangkapan atau

penahanan telah diberitahukan kepada pemohon.

Menurut KUHAP, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas

itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah

tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau

tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.

Acarapraperadilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah tidaknya

suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah

(15)

pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat

tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian

penyidikan (Pasal 81 KUHAP).

Objek atau cakupan dari praperadilan seperti yang sudah diuraikan

diatas menjadi semakin luas dengan dikeluarkannya putusan dari Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang pada inti nya

Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan, termasuk dalam objek

atau ruang lingkup praperadilan.

2. Para Pihak yang Dilindungi dalam Praperadilan

Tersangka/ terdakwa atau keluarganya atau advokat yang

mewakillinya adalah menjadi salah satu pihak pemohon dalam mengajukan

permohonan gugatan praperadilan (Pasal 79 KUHAP). Bila permohonan itu

adalah tentang sah/ tidaknya penangkapan/ penahanan, maka yang menjadi

pihak lawannya selaku termohon adalah institusi penyidik yang melakukan

penangkapan/ penahanan. Akan tetapi bila yang hendak diuji di praperadilan

adalah sah/ tidaknya penghentian penyidikan, maka sesungguhnya yang

paling dirugikan adalah saksi korban atau pelapor, sebab dengan

dihentikannya penyidikan perkara itu, maka kasus yang dilaporkan akan

menjadi tidak berlanjut ke persidangan pengadilan untuk memperoleh putusan

hukum. Penting dan perlu adanya putusan hukum pidana, selain untuk

kepastian keadilan yuridis, tetapi juga secara praktis akan dapat bermanfaat

(16)

terdakwa. Kesalahan itu menjadi alasan perdata untuk mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, atau

sekurang-kurangnya putusan pidana itu menjadi bukti hukum yang

menyatakan terdakwa/ terpidana benar bukan orang (beritikad) baik. Akan

tetapi, pihak korban/ saksi pelapor dalam kasus pidana adalah diwakili

kepentingannya oleh JPU, maka yang akan menjadi pemohon untuk

permohonan praperadilan adalah JPU, sedangkan yang menjadi pihak

termohon adalah intitusi penyidik yang melakukan penghentian penyidikan

(Pasal 80).

Posisi hukum JPU selaku pemohon dan penyidik selaku termohon

seperti diatas itu adalah juga merupakan konsekuensi mekanisme saling

kontrol horizontal diantara kedua institusi, itulah sebabnya SPDP (surat

pemberitahuan dimulainya penyidikan) wajib disampaikan oleh

penyidik kepada JPU. Bilamana ternyata penyidikan itu dihentikan,

maka harus ada alasan yang hukum yang bisa dipertanggungjawabkan

juga oleh JPU agar perkara itu tidak perlu lagi dijadwalkan untuk

persidangan pengadilan. Putusan praperadilan itu sendiri akan menjadi

sebentuk pertanggungjawaban hukum bagi kedua institusi. Atas cara

itu, KUHAP menyebutkan ini sebagai bagian dari sarana pengawasan

(17)

3. Acara Praperadilan

Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemeriksaan sah tidaknya

suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah

tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP),

pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat

tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian

penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditemukan beberapa hal berikut:

a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang;

b. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan atau

penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,

permintaan ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan, akibat sah tidaknya penghentian penyidikan

atau penuntutan dan ada benda yang disita tidak termasuk alat

pembuktian, hakim mendengarkan keterangan baik tersangka atau

pemohon, maupun dari pejabat yang berwenang;

c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya

tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusannya;

d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,

sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum

(18)

e. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada

tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan

permintaan baru;

f. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan dalam ketiga hal

tersebut di muka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya;

g. Selain daripada yang tersebut , putusan hakim harus memuat pula:

1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau

penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada

tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan

tersangka;

2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian

penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan

terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah

besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan

dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah

dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan

rehabilitasinya;

4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang

(19)

bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka

atau dari siapa benda itu disita (Andi Hamzah, 2008: 191-193).

Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan

banding, dikecualikan putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya

penghentian penyidikan atau penuntutan ,untuk hal itu dapat dimintakan

putusan akhir ke pengadilan tinggi di daerah hukum nya (Pasal 83

KUHAP).

4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,

atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini. Rehabilitasi adalah hak seseorang

untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan

harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan,

atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya

atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

(20)

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Terhadap penggabungan ganti rugi merupakan ketentuan baru dalam

hukum acara pidana, sebagaimana yang ditentukan ganti rugi dari korban,

akibat dilakukan tindak pidana yang sifatnya perdata, digabungkan dalam

perkara pidana. Penggabungan ini dimaksudkan untuk mempercepat

penyelesaian tuntutan ganti rugi, sehingga dapat menghemat waktu, biaya,

tenaga karena gugatan perkara diperiksa dan diputus sekaligus dengan perkara

pidana yang bersangkutan

Pengadilan negeri sebelum memeriksa penggabungan perkara gugatan

ganti kerugian atas permintaan seseorang harus mempertimbangkan:

a). Tentang kewenangan mengadili;

b). Kebenaran dasar gugatan;

c). Tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan.Ganti

kerugian meliputi kerugian material dan immaterial (Syaiful Bakhri, 2009:

230-232).

C. Tinjauan Umum tentang Penyidik

1. Pengertian Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh

(21)

lanjut diatur oleh Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia, sebagaimana dalam bab mengenai tugas dan wewenang

kepolisian; Pasal 13 tugas pokok kepolisian Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam praktiknya, kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

selaku alat negara penegak hukum, memelihara serta meningkatkan tertib

hukum, melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom masyarakat bagi

tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, bersama-sama dengan

komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya, membina

ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan

dan ketertiban masyarakat, membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi

yang menunjang keadaan yang lebih kondusif (Syaiful Bakhri, 2009: 96-97).

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13, kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaraan lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarkat,

kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap

(22)

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memeihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/ atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/ atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian;

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

(23)

Andi Hamzah secara global menyebutkan beberapa bagian hukum

acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah:

a. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan;

b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik;

c. Pemeriksaan ditempat kejadian;

d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;

e. Penahanan sementara;

f. Penggeledahan;

g. Pemeriksaan atau interogasi;

h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat);

i. Penyitaan;

j. Penyampingan perkara;

k. Perlimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya

kepada penyidik untuk disempurnakan (Lilik Mulyadi, 2012: 44).

2. Fungsi dan Wewenang Penyidik

Menurut ketentuan Pasal 7 KUHAP, fungsi dan wewenang penyidik

dapat berupa:

a. Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia karena kewajibannya

mempunyai wewenang:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

(24)

3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

9) Mengadakan penghentian penyidikan;

10)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang berdasarkan Pasal 7 ayat (2) mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya

masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah

koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP

3. Penyidik Pembantu

Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik

Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas

(25)

“Pasal 10: penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara

Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat pasal ini. (2) syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal11: penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Pasal12: penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut

umum”.

Latar belakang atau pertimbangan diaturnya pejabat penyidik

pembantu ini adalah terbatasnya tenaga penyidik yang berpangkat tertentu

sebagai penyidik terutama di daerah kepolisian yang terpencil, karena

dipersyaratkan penyidik berpangkat sekurang-kurangnya Ajudan Inspektur

Dua (AIpDa) Polisi, maka akan terjadi hambatan dalam pelayanan

masyarakat, yakni dibidang tugas preventif, tugas yang bersifat melindungi

adanya tindak pidana, dan tugas represif yakni yang sifatnya memberantas

peristiwa tindak pidana. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penyidik

pembantu berwenang melakukan tugasnya yang sama dengan penyidik,

kecuali dalam hal penahanan yang memerlukan pelimpahan wewenang dari

penyidik, karena harus diberikan kepada penyidik, kecuali yang mendesak,

keadaan yang diperlukan terdapat hambatan berhubungan di daerah terpencil

(26)

Penyidik pembantu ketika sebelum berlakunya KUHAP, diemban oleh

pejabat kepolisian, dan sebagai penyidik uatamanya adalah penyidik

kejaksaan (Syaiful Bakhri, 2009: 106-107).

D. Tinjauan Umum tentang Korupsi

1. Pengertian Korupsi

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” berasal dari Bahasa

latin: Corruptio = penyuapan; Corruptore = merusak, gejala dimana para

pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah korupsi

merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Korupsi memiliki arti

yang sangat luas, yaitu:

a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan

dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;

b. Korupsi: busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan

kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan

pribadi)(Evi Hartanti, 2005: 8).

Menurut Chaerudin, Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan

hak-hak dari pihak-hak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya

(27)

berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak pihak lain (Chaerudin, dkk,

2009: 2).

Menurut Dani Krisnawati arti kata korupsi yang telah diterima dalam

perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta

dalam kamus umum Bahasa Indonesia korupsi adalah perbuatan yang buruk

seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya (Dani

Krisnawati, dkk, 2006: 36).

Korupsi memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:

a. Korupsi yang bermotif terselubung, yakni korupsi secara sepintas

kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya

bermotif mendapatkan uang semata;

b. Korupsi yang bermotif ganda, yaitu seseorang melakukan korupsi secara

lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi

sesungguhnya bermotif lain yakni kepentingan politik.

Unsur-unsur korupsi sebagaimana terdapat dalam Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, antara lain:

a. Tindakan seseorang atau badan hukum secara melawan hukum;

b. Tindakan tersebut menyalah gunakan wewenang;

c. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain;

d. Tindakan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

(28)

e. Memberikan hadiah atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

f. Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya, dilakukan dalam jabatannya;

g. Memberi atau menjanjikan kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

h. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi

nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara

yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

i. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang

atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

j. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang

dapat membahayakan keamanan orang atau barang, keselamatan negara

(29)

k. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan

atau POLRI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang;

l. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI

dan Atau POLRI dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang

dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

m. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar

yang khusus untuk pemeriksaan administrasi;

n. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga

yang disimpan karena jabatan, atau membiarkan sementara waktu, dengan

sengaja menngelapkan uang atau surat berharga atau digelapkan oleh

orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

o. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat

barang tidak dapat dipakai, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan

atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena

jabatannya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusak, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar

(30)

merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau

daftar tersebut;

p. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah

atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan.

2. Bentuk-bentuk korupsi

1) Perbuatan melawan hukum, memperkaya diri, orang/ badan lain yang

merugikan keuangan negara;

2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/ kedudukan yang dapat

merugikan keuangan/ perekonomian negara;

3) Penggelapan dalam jabatan;

4) Pemerasan dalam jabatan;

5) Tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan;

6) Delik gratifikasi.

3. Ciri-ciri korupsi

Korupsi memiliki ciri-ciri sebagaiberikut:

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah

(31)

yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk

menyembunyikan perbuatannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang;

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran

hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan

mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh

badan publik atau umum (masyarakat);

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

4. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:

a. Lemahnya pendidikan agama dan etika;

b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak mengunggah kesetiaan dan

kepatuhan yang diperlakukan untuk membendung korupsi;

c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya kasus-kasus korupsi yang

terjadi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki

kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga

alasan ini dikatakan kurang tepat;

d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi di Indonesia pelakunya bukanlah dari

(32)

e. Tidak adanya sanksi yang keras;

f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi;

g. Struktur pemerintahan;

h. Perubahan radikal;

i. Keadaan masyarakat.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan

moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan

intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang

dapat menjinakkan korupsi walaupun tidak akan memberantasnya:

a. Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta

tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;

b. Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari

mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan

sumber-sumber korupsi;

c. Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;

d. Berfungsinya suatu system yang antikorupsi;

e. Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan

intelektual yang tinggi (Evi Hartanti, 2005: 10-12).

5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

(33)

Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan

koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja

dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur

dengan undang-undang.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

apparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) (Pasal 11 Undang-Undang No. 32 tahun 2002).

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada:

a. Kepastiah hukum: asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam

setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK;

b. Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap

tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

(34)

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Kepentingan umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

e. Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas,

wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK (Evi Hartanti, 2005:

67-68).

KPK mempunyai visi dan misi sebagai berikut:

Visi KPK: “mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi”

Visi tersebut merupakan suatu visi yang cukup sederhana namun mengandung

pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK

untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut

KKN. Pemberantasan korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan,

namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis.

Misi KPK: “penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang

antikorupsi”

Misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu

lembaga yang dapat “membudayakan” antikorupsi di masyarakat, pemerintah,

dan swasta di Indonesia. Komisi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan

komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya

(35)

partisipasi seluru lapisan masyarakat tersebut, dalam beberapa tahun

mendatang Indonesia akan bebas dari KKN.

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

6. Tindak pidana korupsi yang dapat ditangani KPK

1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaraan negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau penyelenggaraan negara;

2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

3) Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000

(satu miliar rupiah).

E. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan

1. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang

ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang.Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh

(36)

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan

yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari

pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan

lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih

berperan dalam menegakkan supermasi hukum, perlindungan kepentingan

umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi,

dan nepotisme (KKN) (Evi Hartanti, 2005: 32).

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang

lain berdasarkan undang-undang. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa

Agung. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk

dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki. Demi

keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa

melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,jaksa senantiasa

bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma

keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa

menjaga kehormatan dan martabat profesinya.Dalam hal melaksanakan tugas

(37)

penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang

bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung (UU No. 16 Tahun

2004).

2. Penuntut Umum

Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Selaku lembaga yang menjalankan fungsi penuntutan, maka berdasarkan

ketentuan Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang sebagai

berikut:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. Mengadakan penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan/ atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

ditimpahkan ke pengadilan;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

(38)

terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah

ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Apabila telah menerima berkas perkara dari penyidik, jaksa segera

pelajari dan menelitinya dan dalam tenggang waktu tujuh hari wajib

memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap

atau belum. Pengertian “meneliti” menurut ketentuan pasal 138 ayat (1)

KUHAP adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan

apakah orang atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai

ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka

pemberian petunjuk kepada penyidik. Menurut ketentuan Pasal 138 ayat (2)

KUHAP, apabila menurut penelitian penuntut umum berkas perkara belum

lengkap, penuntut umum harus segera mengembalikan berkas disertai

petunjuk dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,

penyidik harus segera menyampaikan kembali berkas itu kepada penuntut

umum. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik

segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu 7 (tujuh) hari

(39)

atau belum sesuai apa yang diatur dalam Pasal 138 (2) KUHAP. Yang perlu

diteliti oleh penuntut umum atas berkas perkara yang diserahkan oleh

penyidik ialah kelengkapan formil dan kelengkapan materiil.

Kelengkapan formil berarti kelengkapan administrasi teknis yudisial

yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus

ditempuh oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75

KUHAP termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh

instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktik penegakan

hukum.

Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan

tersangka antara lain fakta-fakta yang dilakukan tersangka, unsur tindak

pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan, cara tindak pidana dilakukan,

waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (Harun M. Husein, 1991:

245-246).

Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap,

penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah

memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan.

Jika penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP.

Akan tetapi, apabila penuntut umum berpendapat sesuai dengan Pasal

140 ayat (2) huruf a KUHAP bahwa:

(40)

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana (kejahatan

atau pelanggaran);

c. Perkara ditutup demi hukum,

Maka penuntut umum menghentikan penuntutan dan menuangkan hal

tersebut dalam suatu penetapan (Lilik Mulyadi, 2012: 48-49)

3. Prapenuntutan

Prapenuntutan adalah merupakan suatu lembaga hukum baru yang

kedudukannya sejajar dengan praperadilan sebagai kewenangan dari penuntut

umum (Pasal 14 KUHAP), dikaitkan dengan Pasal 110 KUHAP dalam fase

penyelidikan dan Pasal 138 KUHAP dalam tingkatan prosedural pada

penuntut umum (Oemar Seno Adji, 1988: 108).

Demikian juga pengertian yang dinyatakan oleh Djoko Prakoso

mengenai prapenuntutan yang menyatakan bahwa “Prapenuntan adalah

wewenang penuntut umum dalam hal apabila dari hasil penelitian penuntut

umum berpendapat bahwa hasil suatu penyidikan ternyata belum lengkap,

maka ia akan segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik

disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh penyidik dalam

rangka melengkapi berkas perkara” (Djoko Prakoso, 1986: 115).

Sedangkan pengertian prapenuntutan menurut Harun M. Husein

adalah tindakan penuntut umum meneliti/mempalajari berkas perkara hasil

penyidikan guna menentukan apakah hasil penyidikan tersebut telah lengkap

(41)

penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dan meminta agar

tersangka dan barang bukti diserahkan kepadanya. Sebaliknya dalam

penelitian itu ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan

petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut ( Harun M. Husein, 1991:

245).

Untuk mempermudah pelaksanaan mempelajari dan meneliti berkas

perkara, dalam praktik digunakan sarana bantu berupa check list penelitian

berkas perkara tahap pertama. Check list tersebut berupa daftar formil dan

syarat materil yang harus dilengkapi oleh suatu berkas perkara pada bagian

kirinya, sedangkan pada bagian kanan berisi keterangan tentang ada tidaknya

data dan fakta yang merupakan kelengkapan berkas perkara tersebut;

a) Penelitian kelengkapan syarat formil

Kelengkapan syarat formil adalah syarat-syarat yang harus

dipenuhi dalam melakukan tindakan-tindakan dalam penyidikan. Syarat

ini berupa prosedur dan tata cara yang harus dipenuhi untuk keabsahan

tindakan penyidik. Syarat-syarat tersebut adalah:

Setiap tindakan harus dituangkan ke dalam berita acara yang

dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan

dan ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan semua pihak

yang terlibat dalam tindakan tersebut. Berita acara tersebut sesuai dengan

(42)

1) Berita acara pemeriksaan tersangka;

2) Berita acara penangkapan;

3) Berita acara penahanan;

4) Berita acara penggeledahan;

5) Berita acara pemasukan rumah;

6) Berita acara penyitaan benda;

7) Berita acara pemeriksaan surat;

8) Berita acara pemeriksaan saksi;

9) Berita acara di tempat kejadian;

10)Berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan;

11)Berita acara pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam

undang-undang ini (Harun M. Husein, 1991: 247).

b) Kelengkapan syarat materiil

Penelitian atas syarat meteril dalam suatu berkas perkara meneliti:

1. Adanya perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan pengertian

perbuatan melawan hukum dengan mempedomani unsur-unsur delik

yang dipersangkakan;

2. Adanya kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian dengan

unsur-unsur delik yang bersangkutan;

3. Adanya minimal dua alat bukti yang sah yang dapat mendukung

(43)

4. Adanya alat bukti yang menunjukkan tempos delicti, sehingga dapat

diketahuidaluarsa atau tidaknya hak untuk melakukan penuntutan dan

apa delik yang disangkakan merupakan delik yang berkualifikasi atau

delik biasa serta mengetahui terkena tidaknya perbuatan ketentuan

normatif hukum pidana setelah dilakukan delik;

5. Adanya alat bukti yang menunjukan locus delicti, sehingga dapat

diketahui keberlakuan hukum pidana positif dan untuk menentukan

kejaksaan mana/pengadilan negeri mana yang berwenang melakukan

penuntutan/mengadili perkara yang bersangkutan (kompetensi relatif);

6. Kejelasan tentang peran pelaku dan atau para pelaku serta kualitasnya,

begitu pula kejelasan tentang tingkat pelaksanaan/penyelesaian delik

sehingga jelas pertanggungjawaban tersangka/para tersangka. Kualitas

pelaku/pera pelaku perlu jelas sehingga dapat ditentukan pengadilan

yang berwenang mengadili (kompetensi absolut) (Harun M. Husein,

1991: 249).

Ketentuan dalam Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP menyatakan

sebagai berikut:

Ayat (3): “dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan

tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum”

Ayat (4): “penyidik dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14

(empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tenteng hal itu dari penuntut umum kepada

(44)

Selanjutnya dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan

Ayat (1): “penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik, apakah hasil

penyidikan itu sudah lengkap atau belum”

Ayat (2): “dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkata

itu kepada penuntut umum”.

Apabila penuntut umum menerima hasil penyidikan yang telah

lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu

sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke

pengadilan seperti apa yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP yang isinya

sebagai berikut:

“setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil

penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak

dilimpahkan ke pengadilan”.

Di sini dibutuhkan ketelitian penuntut umum dalam menerima

berkas perkara, apabila sudah menyatakan hasil penyidikan telah lengkap

berarti harus tidak ada kekurangannya apabila perkara tersebut diajukan

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Pendidikan Usia Dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aspek sosial anak yang mengikuti PAUD dan tidak mengikuti PAUD pada usia 3-6 tahun.Penilaian dilakukan dengan

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

siD dur

[r]

Menurut wawancara dengan Bapak Purwanto, seorang budayawan yang tinggal di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, dijelaskan bahwa perkawinan endogami pada

Dari hasil penelitian yang telah diolah data yang didapat dari 135 orang responden pada konsumen dealer Honda PT.Gelora Fajar Perkasa, maka penulis dapat menarik

[r]