SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
AYU SITI RACHMA NIM. 6662111633
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. Skripsi. Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA. Pembimbing I: Naniek Afrilla Framanik, S.Sos.,M.Si dan Pembimbing II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah karena individu akan bertemu dengan lingkungan dan budaya baru yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan individu mengalami gegar budaya saat melakukan interaksi antarbudaya di perantauan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan, bagaimana proses interaksi yang terjadi serta upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi gegar budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini menggunakan metode snowball dan purposive sampling dalam mendapatkan informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dengan 5 key informan yang merupakan mahasiswa asal Sumatera yang sedang menempuh studi di Kampus Untirta dan 1 informan pendukung yaitu Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya pada FISIP Untirta dan juga observasi. Penelitian ini menggunakan analisis teori fenomenologi dari Alfred Schutz dan konsep culture
shock dari Kalvero Oberg. Hasil dari penelitian ini yaitu, faktor yang mendorong
mahasiswa melakukan perantauan adalah faktor pendidikan, budaya dan ekonomi. Dalam proses interaksi, mahasiswa asal Sumatera dituntut untuk menyesuaikan diri mulai dari budaya, bahasa, makanan, cuaca, dan kehidupan sosial. Perbedaan yang signifikan ini membuat mahasiswa asal Sumatera mengalami gegar budaya, namun untuk mengatasinya mereka mempunyai cara-cara tersendiri seperti bergabung dengan organisasi maupun komunitas di dalam dan di luar kampus untuk mengisi waktu luang dan berinteraksi dengan mahasiswa lain.
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. The Phenomenological Study of Culture Shock on Students from Sumatera in UNTIRTA. Lecturer I: Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si and Lecturer II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom
Leaving home is not an easy thing to do because people will meet a new environment and different culture. It can cause people to experience culture shock when they do intercultural communication. The purpose of this research is to reveal
what factors that encourage Untirta’s students from Sumatera to leave their
hometowns, how the process of intercultural communication occur and how they overcome the culture shock. This research uses a qualitative research method with phenomenological approach and constructivism paradigm. This research uses snowball and purposive sampling method in selecting the informants. The data collection technique used in this research is interview involving 5 key informants, Sumatera students who are studying in Untirta, and 1 additional informant who is Professor of Cross-Cultural Communication Studies at FISIP Untirta and also observation. The analysis of this research is conducted by applying the phenomenology theory by Alfred Schutz and the concept of culture shock by Kalvero
Oberg.The results from this study reveal that there are 3 factors (education, culture
and economic) that push Untirta student from Sumatera to leave their hometowns. In the process of communication, Untirta students from Sumatera are required to adjust themselves to the new culture, language, food, weather, and social life. The significant difference makes Untirta students from Sumatera experience culture shock, nevertheless they have their own way to overcome the problem such as by joining an organization and a comunity in or outside the college to spend their spare times and to communicate with other students.
Key words: Intercultural communication, culture shock, phenomenon theory.
expect those who believe and do good,
and enjoin on each other truth,
and enjoin on each other patience”
- QS.103: Al-Asr
“You don’t need anybody to tell you
who you are or what you are.
You are what you are!”
–
John Lennon
“Life isn’t how you survive the storm,
but how you dance in the rain”
–
Unknown
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah pada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Dengan usaha diiringi
doa, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun selama menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini banyak sekali mendapatkan
hambatan-hambatan, namun pada akhirnya hambatan tersebut dapat teratasi.
Skripsi yang berjudul “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar strata (S1) Ilmu Komunikasi pada Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari jika penelitian maupun penulisan
skripsi ini masih belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dan juga berharap skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak serta dapat menjadi sumbangsih
yang berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama proses yang cukup panjang,
untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd. selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Ibu Naniek Afrilla F, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I.
Terima kasih atas waktu, kesempatan, bimbingan dan saran serta
6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Sihabudin,, M.Si. yang sudah memberikan
waktu dan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam penelitian
ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
8. Kedua orang tua peneliti, Mama dan Bapak yang yang selalu
memberikan dukungan baik moral maupun materil, doa, motivasi,
kesabaran, nasehat serta kasih sayang yang luar biasa.
9. Saudara-saudaraku tersayang, Kakak Ria, Kakak Kiki, Abang
Bangkit, Kakak Dewi, serta dua keponakan super, Dera dan Yumnaa
yang selalu meramaikan suasana.
10.Alzasya Asdrie Rivaldie yang selalu mendukung dan sudah mau
mendengarkan keluh kesah selama proses penyelesaian skripsi yang
panjang ini.
11.Sahabat-sahabat seperjuangan selama ini, Niken Lestari dan Dwi
Afriani. Terima kasih sudah mau mendengarkan keluhan,
memberikan dukungan serta tawa selama ini.
12.Teman-teman DIOLAS (Monic, Iqbal, Teguh, Dzikri, Fahmi, dll)
yang merupakan teman seperjuangan dalam menempuh studi di
Untirta ini dan seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi 2011.
13.Teman-teman Science+ (Fitri, Fida, Dila, Kiki, Maya, Fulky, Dini)
dan yang lainnya. Terima kasih atas tawa yang tiada ujung setiap
kali bertemu. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam memasuki
tahap selanjutnya.
14.Teman-teman senasib dan seperjuangan semasa bimbingan (Lena,
Isti, Ibos) dan lain-lain yang sudah saling memberikan semangat dan
dukungannya. Kita pasti bakal kangen masa-masa saat menunggu
penulis pengalaman dan ilmu yang begitu berharga serta keluarga
baru yang menyenangkan.
17.Kelima informan dalam penelitian ini (Tami, Risda, Rienny, Aslam
dan Ferdi). Terima kasih sudah mau meluangkan waktu dan bersedia
untuk berkontribusi dalam penelitian ini.
18.Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang penulis buat ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi masukan bagi
perkembangan penelitian ilmu komunikasi di waktu mendatang.
Serang, Februari 2016
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Identifikasi Masalah ... 7
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8
1.5.2 Manfaat Praktis ... 8
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis ... 9
2.1.1 Komunikasi ... 9
2.1.2 Budaya... ... 11
2.1.3 Komunikasi Antarbudaya... 13
2.1.4 Teori Fenomenologi ... 15
2.1.5 Culture Shock ... 22
3.2 Paradigma Penelitian ... 37
3.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 38
3.4 Instrumen Penelitian ... 39
3.4.1 Sumber Data... ... 39
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ... 39
3.5 Informan Penelitian ... 41
3.5.1 Metode Pemilihan Informan... ... 41
3.5.2 Karakteristik Informan ... 42
3.6 Teknik Analisis Data ... 43
3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 45
3.8 Jadwal Penelitian ... 46
BAB IV: HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 47
4.2 Deskripsi Informan Penelitian ... 49
4.3 Analisa Hasil Penelitian ... 56
4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan Perantauan ... 59
4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta ... 72
4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal Sumatera ... 96
BAB IV: PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 105
5.2 Saran ... 106
Daftar Pustaka ... 107
Halaman Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu ... 32
Tabel 3.8 Jadwal Penelitian... 46
Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock... 29
Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... 110
Lampiran 2 Hasil Wawancara Key Informan 1 ... 112
Lampiran 3 Hasil Wawancara Key Informan 2 ... 117
Lampiran 4 Hasil Wawancara Key Informan 3 ... 123
Lampiran 5 Hasil Wawancara Key Informan 4 ... 128
Lampiran 6 Hasil Wawancara Key Informan 5 ... 133
Lampiran 7 Hasil Wawancara Informan Pendukung ... 139
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap individu berhak untuk mendapatkan pendidikan, namun karena
kualitas pendidikan di Indonesia yang belum merata membuat sebagian masyarakat
melakukan perantauan ke luar daerahnya untuk mendapatkan fasilitas pendidikan
yang laik terutama pada tingkat perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), orang yang belajar di perguruan tinggi disebut mahasiswa.
Melakukan perantauan bukanlah satu hal yang mudah, mahasiswa yang
merantau ini harus rela meninggalkan rumah, keluarga, teman dan lingkungannya,
kemudian mereka akan menemui masyarakat dengan latar belakang budaya yang
berbeda jauh dari tempat asal. Perbedaan ini didasari oleh negara Indonesia yang
merupakan republik kesatuan yang terdiri dari 34 provinsi dengan beragama suku
dan budaya. Mulyana dan Rakhmat (2005) menyatakan bahwa salah satu
kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat
wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di
sekelilingnya.1
1 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan
Situasi dan kondisi yang berbeda cukup jauh dari daerah asal
mengakibatkan ketidaknyamanan baik psikis maupun fisik, hal inilah yang
menyebabkan adanya gegar budaya atau culture shock. Mulyana dan Rakhmat
(2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang
muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam
hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara
yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi
sehari-hari.2
Fenomena gegar budaya menjadi persoalan dasar bagi mahasiswa rantau
karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan
penyesuaian diri, apalagi mahasiswa rantau tersebut berasal dari pulau yang
berbeda dengan segala macam perbedaan mulai dari bahasa, budaya, cuaca dan
sebagainya, seperti mahasiswa rantau asal Pulau Sumatera yang sedang menempuh
pendidikan di Kampus Untirta - Banten.
Pulau Sumatera biasa juga dikenal dengan sebutan pulau Andalas. Dalam
Bahasa Sansekerta, pulau Sumatera disebut Suwarnadwipa yang berarti ‘Pulau
Emas’. Memang tepat sekali penamaan ini sebab Pulau Sumatera sangat kaya akan
hasil alam. Terletak di bagian barat gugusan Nusantara dengan posisi koordinat
0°00 LU 102°00 BT. Pulau seluas 470.000 km² ini merupakan pulau keenam
terbesar di dunia.3
2 Ibid. Hal 174
3Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/ diakses pada 25
Suku asli Pulau Sumatera adalah Melayu. Suku Melayu memiliki keunikan
tersendiri dalam hal pernikahan, yaitu pengantin perempuan harus ‘dibeli’ oleh
pengantin dan keluarga laki-laki. Besar nominalnya tergantung pada tingkat
pendidikan, strata sosial dan latar belakang keluarga pihak perempuan. Sementara
Suku Batak lebih dominan di Provinsi Sumatera Utara. Di sini, mayoritas suku
Batak beragama Kristen. Suku Batak memiliki pakaian adat khas yaitu ‘kain Ulos’.
Kain ini selalu digunakan masyarakat Suku Batak dalam upacara-upacara adat
mereka. Bahkan, bagi Suku Batak sumber kehangatan bagi manusia yaitu matahari,
api, dan ulos.4
Suku besar lainnya di Pulau Sumatera adalah Suku Minang, atau juga biasa
disebut Suku Minang Kabau. Suku Minang mayoritas berasal dari
Provinsi Sumatera Barat. Ciri khas dari suku ini adalah penduduknya yang suka
merantau, atau dengan kata lain berpindah ke suatu tempat di luar kampung
halaman mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya Suku Minang di
berbagai tempat dan provinsi di Indonesia. Selain bertani, mayoritas mata
pencaharian masyarakat Suku Minang adalah berdagang. Masakan Padang yang
berasal dari suku Minang sangat terkenal di penjuru dunia. Namun, perpindahan
dan migrasi penduduk mengakibatkan populasi pulau Sumatera kini menjadi multi
etnik. Tidak hanya Suku Melayu, tetapi juga Suku Aceh, Suku Batak, Suku
Minangkabau, Suku Rejang, Suku Banjar, dan Tionghoa.5
Pulau Sumatera terdiri atas 11 provinsi, diantaranya adalah: Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan ibukota Banda Aceh, Provinsi
Sumatera Utara dengan ibukota Medan, Provinsi Sumatera Barat dengan
ibukota Padang, Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, Provinsi Kepulauan
Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, Provinsi Jambi dengan ibukota Jambi,
Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang, Provinsi Bangka
Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, Provinsi Bengkulu dengan
ibukota Bengkulu, dan Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung. Kota
Medan di Sumatera Utara adalah kota terbesar di pulau Sumatera dengan luas
265,10 km².6
Mayoritas penduduk beragama Islam. Bahkan, Nangroe Aceh Darussalam
dinamai sebagai Serambi Mekkah, mengingat letaknya yang terdepan di pulau
Sumatera dan tingginya tingkat ketaatan umat Islam di daerahnya. Dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir ini, Hukum Islam pun turut digunakan sebagai sumber
hukum Provinsi Aceh. Sementara untuk agama Kristen lebih dominan terdapat di
Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Umat Budha dan Hindu juga ada di pulau
Sumatera, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.7
Perbedaan latar belakang budaya yang cukup signifikan membuat
mahasiswa rantau asal Sumatera merasa cemas dan membutuhkan penyesuain diri
di lingkungan barunya yaitu Provinsi Banten. Penulis melakukan wawancara
bersama salah seorang mahasiswi bernama Tami8. Tami menjelaskan bahwa ketika
6 Ibid 7 Ibid
8Mahasiswa komunikasi angkatan 2011 asal Pematang Siantar Sumatera Utara yang sedang
pertama kali tahu dirinya akan merantau ke Serang, ia merasakan kesenangan dan
memiliki semangat yang tinggi untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, namun
ketika sudah pindah ke Serang, ia juga sempat merasakan kecemasan yang cukup
tinggi saat melakukan komunikasi dengan mahasiswa lain yang bukan berasal dari
Sumatera, salah satunya dipengaruhi oleh bahasa. Walaupun sama-sama
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dialek yang digunakan sangat berbeda. Ini
yang membuat Tami cukup berhati-hati ketika berkomunikasi bahkan sempat
membuatnya enggan untuk berkomunikasi di dalam kelas sehingga ia menjadi lebih
pendiam dibanding teman-temannya. Selain itu, adanya perbedaan kebudayaan dan
kebiasaan dari tempat asalnya yaitu Sumatera, walaupun masih dalam satu negara
yang sama. Makanan juga merupakan satu hal yang cukup berbeda dari daerah asal
dimana Tami menganggap makanan di daerah Serang lebih berminyak
dibandingkan di tempat asalnya yang lebih bersantan dan pedas. Butuh waktu
sekitar 1 sampai 2 bulan untuk Tami membiasakan dirinya di lingkungan yang baru.
Menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah salah satu hal yang mau tak
mau harus kita lakukan demi kelangsungan hidup, jika kita tidak bisa
melakukannya maka berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak
mungkin jika dalam berinteraksi kita tidak menciptakan simbol atau makna yang
sama dengan lawan bicara, terutama jika kita memiliki latar belakang budaya yang
berbeda. Sihabudin (2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari
generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.9
Budaya yang kita kenal sejak dalam kandungan hingga kehidupan kita
kedepannya bahkan sampai mati akan terus mempengaruhi kita. Sihabudin (2013)
mengatakan bahwa budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga
berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Artinya
budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Sebenarnya, seluruh perbendaharan
perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Bila budaya beraneka
ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.10
Manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung satu sama lain,
manusia tidak dapat hidup sendirian. Hal ini dipertegas oleh Porter & Samovar
dalam (Sihabudin, 2013: 14), bahwa hampir setiap orang membutuhkan hubungan
sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran
pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia
yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.11
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam
tentang “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta” karena saat ini tidak hanya mahasiswa asal Provinsi Banten saja yang menempuh pendidikan di Untirta, melainkan mahasiswa di luar Banten bahkan di
luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah mahasiswa Sumatera yang memiliki latar
9 Ahmad Sihabudin. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta:
PT. Bumi Aksara. Hal 19
belakang kebudayaan yang cukup jauh berbeda dengan Provinsi Banten, khususnya
Kota Serang dan Cilegon.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah penelitian dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan sebagai berikut:
“Bagaimana Fenomena Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta?”
1.3 IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah penelitian ini adalah:
1. Faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera untuk merantau
dan menempuh studi di Untirta?
2. Bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal Sumatera
ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta?
3. Upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera di Untirta
untuk mengatasi gegar budaya?
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera
untuk merantau dan menempuh studi di Untirta.
2. Mengetahui bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal
3. Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera
di Untirta untuk mengatasi gegar budaya.
1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan
ataupun deskripsi mengenai faktor-faktor apa saja yang mendorong
mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan menempuh studi di
Kampus Untirta Serang. Serta memberikan deskripsi bagaimana proses
interaksi yang terjadi di tengah kebudayaan yang berbeda dan upaya-upaya
apa saja yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi gegar budaya.
1.5.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangsih dari
penulis sekaligus menjadi bahan referensi untuk penelitian-penelitian
mahasiswa khususnya Ilmu Komunikasi di masa yang akan datang
mengenai faktor seseorang melakukan perantauan, fenomena gegar budaya,
proses interaksi, serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Penelitian ini juga
diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang
dipelajari selama mengikuti program perkuliahan, serta membandingkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Komunikasi
Sebagai makhluk sosial, komunikasi merupakan unsur penting
dalam kehidupan manusia. Mulyana (2004: 41) menjelaskan bahwa kata
komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin
communis yang berarti sama, communico, communication, atau
communicare yang berarti membagi atau membuat sama. Istilah communis
seringkali disebut sebagai asal kata dari komunikasi, yang merupakan akar
dari kata-kata Latin yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa pikiran,
suatu makna, atau pesan dianut secara bersama, sehingga menimbulkan
saling pengertian, saling memahami, atau saling percaya.1
Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang
secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Para pakar
mendefinisikan komunikasi sebagai proses karena komunikasi merupakan
kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan, pertukaran, dan
perpindahan.2 Dalam penelitian ini, proses komunikasi lah yang akan
1 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002.
Hal 41.
menentukan bagaimanakah mahasiswa rantau asal Sumatera dapat
menghadapi gegar budaya selama menempuh kuliah di Kampus UNTIRTA.
Effendy (2004:7) mengatakan bahwa yang terpenting di dalam
komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan
komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan.
Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:3
(a) Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang
menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya.
Tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari
komunikan. (b) Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak
kognitif. Tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu,
tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan
iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. (c) Dampak behavioral
yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku,
tindakan dan kegiatan. Dampak-dampak dalam komunikasi dapat kita lihat
dalam penelitian ini ketika mahasiswa asal Sumatera berkomunikasi dengan
mahasiswa non Sumatera yang memiliki perbedaan dalam bahasa dan
budaya karena akan ada banyak hal yang akan diketahui, mengubah
pemikiran atau bahkan perilaku masing-masing.
Hafied (2008:21) mengatakan bahwa komunikasi adalah bentuk
interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya,
sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasinya.4
Oleh karena itu komunikasi yang terjadi antara mahasiswa asal Sumatera
dan non Sumatera tidak terbatas pada bahasa verbal saja namun juga non
verbal.
2.1.2 Budaya
Porter & Samovar dalam (Sihabudin, 2013: 19) menjelaskan bahwa
budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,
merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut
budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekomnomi, politik dan teknologi, semua
itu berdasarkan pola-pola budaya.5 Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat memiliki cara-caranya masing-masing dalam hal apapun. Apa
yang mereka lakukan, bagaimana mereka bertindak, merupakan respons
terhadap fungsi-fungsi budayanya.
Sihabudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antarbudaya
(2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan
dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.6
4 Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 21 5 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. 2011. Hal 19
budaya inilah yang membentuk sebuah bahasa, perilaku, gaya
berkomunikasi dan sebagainya.
Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya juga
berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi
hidup kita. Budaya kita, secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam
kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati, kita dikuburkan dengan
cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dipelajari tidak
diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang
berhubungan antara yang satu dengan lainnya.7 Dalam penelitian ini,
mahasiswa rantau berasal dari satu pulau yang sama yaitu Sumatera namun
berbeda daerah sehingga memiliki ciri khas budaya masing-masing. Ketika
mahasiswa Sumatera merantau ke Pulau Jawa tentu saja perbedaan budaya
makin terlihat signifikan.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya
untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya,
seluruh perbendaharan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita
dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila
budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.8
Perbedaan budaya di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa inilah yang membuat
mahasiswa rantau asal Sumatera melakukan komunikasi dengan mahasiswa
non Sumatera menggunakan cara yang berbeda daripada ketika mereka
berkomunikasi dengan mahasiswa asal Sumatera.
2.1.3 Komunikasi Antarbudaya
William dalam Liliweri (2011:8) menjelaskan bahwa pembicaraan
tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian
kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata
tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, harus dicatat bahwa studi
komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan
pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.9 Menurut Liliweri, definisi
yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata
budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang atau lebih yang
berbeda latar belakang kebudayaan”.10 Komunikasi antarbudaya dapat
didefinisikan lebih sederhana lagi yaitu komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Samovar dan Porter dalam (Liliweri) juga mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima
pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.11 Seperti dalam
penelitian ini ketika mahasiswa Sumatera berinteraksi dengan mahasiswa
9 Dr. Alo Liliweri, M.S. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR. 2011. Hal 8
non Sumatera maka hal ini termasuk ke dalama komunikasi antarbudaya
karena adanya latar belakang budaya yang berbeda.
Menurut Liliweri (2011:12), banyaknya pengertian komunikasi
antarbudaya membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi
antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka
semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu
tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan
terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan maupun non verbal.12 Hal ini
disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari
kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam
sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam
peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak
dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat.
Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi
kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh
nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Di sini kebudayaan yang menjadi
latarbelakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi
manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan
seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan
orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita. Dalam penelitian ini,
proses komunikasi lah yang akan menentukan bagaimana mahasiswa asal
Sumatera berperilaku di perantauan.
2.1.4 Teori Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti
‘menampak’ dan phainomenonmerujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat
lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas
yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari
realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2) menyebutkan bahwa
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh
hubungan kita dengan orang lain).13 Penelitian ini akan mencari tahu
bagaimana fenomena gegar budaya yang terjadi ketika mahasiswa Sumatera
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, apakah akan terjadi
pertukaran makna atau malah sebaliknya.
Kuswarno (2009:2) menjelaskan bahwa pemikiran Weber tentang
tindakan sosial menarik perhatian Alfred Schutz, sosiolog yang lahir di
Vienna tahun 1899, terutama ketika melahirkan pemikiran tentang dasar
metodologis dalam ilmu sosial. Fondasi metodologis di dalam ilmu sosial
berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan studi tentang fenomenologis,
yang sebenarnya tiada lain merupakan kritikan Schutz tentang
13 Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya
pemikiran Weber, selain Husserl tentang sosiologi. Schutz setuju dengan
pemikiran Weber tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia
sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz
menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika
seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor,
dia akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal
demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.14
Craib dalam (Basrowi dan Sudikin, 2002: 39) mengatakan bahwa
Alfred Schutz merupakan ahli teori femenologi yang paling menonjol,
menurutnya tugas fenomenologi menghubungkan antara pengetahuan
ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana
pengalaman dan pengetahuan berakar. Meyakini bahwa dunia yang dialami
atas sebuah kesadaran manusia secara implisit, termasuk terhadap dunia
eksternal, dapat dimengerti karena kesadaran kita dan sepanjang memiliki
makna. Jadi fenomenologi mengidentifikasi masalah dari dunia pengalaman
indrawi yang bermakna kepada dunia yang penuh dengan objek-objek yang
bermakna, suatu hal yang semula terjadi dalam kesadaran individu secara
terpisah dan kemudian secara kolektif di dalam interaksi antara
kesadaran-kesadaran.15
Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba
menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk
14 Ibid. Hal 2.
15 Basrowi dan Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Ritzer & Goodman
(2007:94) mengatakan bahwa Schutz memusatkan perhatian pada cara
orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran
kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk
memahami kesadaran itu dengan konsep intersubjektif, yang dimaksud
dengan dunia intersubjektif ini adalah kehidupan-dunia atau dunia
kehidupan sehari-hari.16
Sendjaja (1994:375) mengatakan bahwa karya Schutz sangat
penting bagi teori komunikasi karena menempatkan komunikasi sebagai
faktor penting bagi realitas yang dialami seseorang. Realitas bagi kita
tergantung pada apa yang kita pelajari dari orang lain dalam komunitas
sosial budaya kita yang terbentuk suatu situasi historis. Seseorang dalam
berbagi waktu dan tempat mengalami realitas yang berbeda.
Bagi Schutz pengetahuan sosial mengandung formula yang
merupakan cara-cara yang sudah dikenal untuk melakukan sesuatu.
Memungkinkan seseorang untuk mengelompokan sesuatu menurut logika
yang sama-sama dipahami dalam menyelesaikan masalah, melakukan
peranan, berkomunikasi dan untuk menyesuaikan perilaku dalam perilaku
yang berbeda. Sebagai fenomenologi sosial, filsafat Schutz memberikan
dukungan bagi aliran pemikiran konstruksi sosial yang mengarahkan
16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2007. Jakarta: Kencana. Hal
pengamatan pada makna-makna yang dibawa oleh orang yang berbeda
dalam suatu komunikasi.
Schutz tidak menjelaskan adanya suatu kesamaan dalam semua
kehidupan manusia yang melewati umur penciptanya. Dalam setiap situasi
fenomenologis yakni konteks, ruang, waktu dan historis yang secara unik
menempatkan individu memiliki dan menerapkan persediaan pengetahuan
yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan
aturan, yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap
pakai yang tersedia bagi kita di dunia yempat kita lahir dan eksis. Sehingga
konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep
yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan
bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat
saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai
macam hubungan dengan orang lain.
Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat
pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan
orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan
akal sehat. Maka tujuan utama analisis fenomenologis adalah
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam
yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan
melakukan interaksi.
Derajat kedua bagi Schutz, yaitu mengkonseptualisasikan
pengamatan yang berhasil diamati oleh panca indera atas sebuah realitas
yang ada, kemudian dikonfirmasikan realitas pengamatan tersebut kepada
pelaku dalam realitas tersebut. Schutz menyetujui pemikiran Weber tentang
penggalan dari perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian sebagai
realitas yang bermakna secara social.
Cuff dan Payne dalam (Kuswarno, 2004:47) menjelaskan bahwa
Schutz menyebutkan manusia yang berperilaku sebagai “aktor”. Ketika
seseorang melihat perbuatan aktor atau mendengar apa yang dikatakan, ia
akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal
demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.17 Maka (Mulyana,
2002: 62) menjelaskan bahwa penelitian sosial adalah usaha untuk
mengembangkan model-model sistem konsep dan relevansi subjek untuk
penelitian oleh karena hal-hal tersebut dapat diamati dalam kehidupan
sehari-hari. Kaum fenomenologis menolak prediksi sebagai tujuan ilmu
sosial, eksplanasi tidak identik dengan prediksi. Karena prediksi dapat
menjadi tujuan hanya bagi fenomena yang memungkinkan penjelasan
kausalitas. Sehingga dengan kata lain fenomenologi adalah mengkonstruksi
17 Engkus Kuswarno. 2004. Dunia Simbolik Pengemis: Konstruksi Realitas Sosial dan Management
dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami
sendiri.18
Kemudian menurut Schutz, bahwa orang-orang begitu saja
menerima dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas
ciri-ciri penting dunia ini. Selain makna “intersubjektif”, dunia sosial menurut Schutz harus dilihat secara historis. Karenanya Schutz
menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi
pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu baik sekarang ataupun
akan datang.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam intersubjektivitas atau
pemahaman kebermaknaan atas tindakan, ucapan, dan interaksi sebagai
anggota masyarakat, yakni situasi pengkhasan. Karena menurut Schutz
tindakan intersubjektif para aktor itu tidak muncul begitu saja, tetapi harus
melalui proses panjang, artinya sebelum masuk pada tataran in order
motive, menurut Schutz ada tahapan because motive yang mendahuluinya.
Sehingga fenomenologi hadir untuk memahami makna subjektif manusia
yang diatributkan pada tindakan-tindakan dan sebab-sebab serta
konsekwensi dari tindakannya. (Basrowi dan Sudikin, 2002: 42).
Penjelasan lain, bahwa Schutz melihat ke depan pada masa yang
akan datang (looking-forward into the future) merupakan hal yang esensial
bagi konsep tindakan atau action (handeln). Tindakan adalah perilaku yang
diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah
ditetapkan (determinate). Kalimat tersebut sebenarnya mengandung makna
juga bahwa seseorang memiliki masa lalu (pastness). Dengan demikian
tujuan tindakan memiliki elemen ke masa depan (futurity) dan elemen ke
masa lalu (pastness).
Dalam menggambarkan bahwa tujuan suatu tindakan sosial
seseorang cukup kompleks, Schutz meminjam istilah tata bahasa dengan
menyebut in the future perfect tense. Sementara itu, suatu tindakan dapat
berupa “tindakan yang sedang berlangsung” (the action in progress), dan
“tindakan yang telah lengkap” (the completed act). Dengan meminjam
istilah dari Heidegger, Schutz menyebutkan bahwa “the complected act thus
pictured in the future perfect tense as the project (Entwurf) of the action”.
Apa yang disebut sebagai suatu “tindakan”, Schutz menjelaskan: “is the act which is the goal of the action and which is brought into being by the
action”.
Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang
kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan
seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama
tindakan in-order-to motivate, yang merujuk pada masa yang akan datang;
dan tindakan because-motive yang merujuk pada masa lalu. Dia
mencontohkan, jika seseorang membuka payung ketika hujan turun, maka
hujan tanpa payung, misalnya digambarkan sebagai pernyataan “agar baju tidak basah”. (Kuswarno, 2004: 48).
Para fenomenolog percaya bahwa mahluk hidup tersedia berbagai
cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang
lain, dan bahwa pengertian pengalaman kisah kitalah yang membentuk
kenyataan. Tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya dari segi
pandangan mereka. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandangan
mereka” menjadi persoalan. Persoalan pokoknya ialah “dari segi pandangan mereka” merupakan konstruk penelitian. Melihat subjek dari segi ide ini
hasilnya barangkali akan memaksa subjek mengalami dunia asing baginya.
(Moleong, 2006: 9).19
2.1.5 Culture Shock
Culture shock mendapat perhatian ilmiah pada awal 1950-an dan
awal 1960-an. Lysgaard, Oberg dan Gullahorn adalah yang pertama untuk
menyajikan fenomena kualitatif sebagai penyesuaian antarbudaya. Definisi
culture shock berkembang seiring berjalannya waktu, dan di sini definisi
Adler disajikan20:
"Culture shock adalah seperangkat reaksi emosional terhadap
hilangnya persepsi dari budaya sendiri terhadap rangsangan
19 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006. 20Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in
budaya baru yang memiliki sedikit atau tidak ada artinya, dan
kesalahpahaman dari pengalaman baru dan beragam. Ini dapat
mencakup perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan
ditipu, terkontaminasi, terluka atau diabaikan "
Culture shock juga dapat diartikan sebagai gegar budaya dan kejutan
budaya. Kalvero Oberg dalam (Mulyana dan Rakhmat, 2005) memberikan
definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut:
“Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari
hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam
hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di
mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan
sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli
sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini
dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau
norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan
menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang
kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua
menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk
tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.”21
21 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gegar budaya adalah
rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda
dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah
melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak
efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana dan
Rakhmat (2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.22
Mulyana dan Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa pada dasarnya
gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan
persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah
dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai
budayanya berbeda dan belum ia pahami.23 Individu pada umumnya
menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang
juga dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Beda halnya ketika
individu memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang
membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsi tersebut, tentang apa
yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan,
kebijakan, dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian
22 Ibid. Hal 174
23 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007.
menimbulkan konflik dalam diri individu serta menyebabkannya individu
merasa tertekan dan menderita. Efek inilah yang disebut gegar budaya.
Taft (dalam Mulyana, 2007: 251) meringkas berbagai reaksi
psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi:
Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit
tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya. Perasaan kehilangan karena
tercerabut dari lingkungan yang dikenal. Penolakan individu terhadap
anggota-anggota lingkungan baru dan perasaan tak berdaya karena tidak
mampu menghadapi lingkungan asing.24 Gegar budaya dalam berbagai
bentuknya merupakan suatu fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yakni
faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) dan faktor
eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki). Tidak
ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu
memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya
yang ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif
untuk mengatasi gegar budaya tersebut.
Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai
kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan
mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya
bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri,
kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian
empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik
pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita,
sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam
bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus
mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.
Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang
memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Seperti yang
dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474),
perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda,
maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat
komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada
dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan bervariasi, seperti turis
dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. 25
Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Mulyana dan Rakhmat
(2005) mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang
dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan
suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik
penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari
situasi-situasi problematik, melainkan suatu problematik tersendiri yang sulit
dikuasai.26 Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak
25 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 474. 26 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
interpersonal yang secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar
belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu biasanya
merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari
lingkungan budaya baru yang ia masuki.
Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara individu yang
satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat
muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi,
antara lain27: permusuhan terhadap lingkungan yang baru, perasaan
disorientasi, perasaan tertolak, sakit perut dan sakit kepala, rindu kampung
halaman, merindukan teman dan keluarga, perasaan kehilangan status dan
pengaruh, menyendiri, menganggap anggota budaya yang lain tidak sensitif.
Selama gegar budaya terjadi, terdapat konsekuensi yang
diidentifikasi dan membentuk pola kurva-U. Pada tahun 1955, Lysgaard
adalah yang pertama mengusulkannya28:
"Penyesuaian sebagai proses dari waktu ke waktu tampaknya
mengikuti bentuk kurva -U: penyesuaian dirasakan menjadi mudah
dan sukses saat memulai; kemudian mengikuti 'krisis' di mana
seseorang merasa kurang disesuaikan dengan baik, agak kesepian
dan tidak bahagia; akhirnya orang mulai merasa lebih baik dengan
penyesuaian kembali, menjadi lebih terintegrasi di luar negeri. "
27 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 476-477. 28Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in
Berdasarkan hipotesis Lysgaard ini, model U-kurva ilustratif
diperpanjang oleh Oberg dan menjadi populer sejak tahun 1960-an dan terus
berada di masa percobaan selama lebih dari 50 tahun. Oberg
menggambarkan empat tahap:29 (1) honeymoon, yang ditandai dengan daya
tarik, kegembiraan, dan optimisme yang berlangsung dari beberapa hari
sampai 6 bulan tergantung pada seberapa cepat seseorang menghadapinya
dan komunikasi dengan budaya baru harus dimulai; (2) kesedihan, yang
ditandai dengan sikap bermusuhan dan emosional stereotip terhadap negara
tuan rumah dan meningkatkan hubungan dengan sesama pendatang; (3)
pemulihan, yang ditandai dengan peningkatan pengetahuan bahasa dan
kemampuan untuk berkeliling di negara tuan rumah, sikap superior terhadap
warga negara tuan rumah, dan meningkatnya rasa humor; (4) penguasaan,
yang berarti penyesuaian diri sudah selengkap mungkin, kecemasan
sebagian besar pergi, dan konvensi baru diterima dan dinikmati.
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur
menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock.
Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat
digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve:30 Fase
Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi
dengan Efektif.
Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock
Fase Kegembiraan merupakan fase pertama yang digambarkan
sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan,
harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya
baru. Kemudian, Fase Kekecewaan, fase kedua dimana masalah dengan
lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa,
kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya
mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya
dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan,
mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock.
Selanjutnya, Fase Awal Resolusi, fase ketiga dimana individu mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap
membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat
dengan Efektif yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U.
Individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola
komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua
budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan
menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup
dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali
2.2 Kerangka Berpikir
Gambar 2.2
Bagan Kerangka Berpikir Ilustrasi Gambar; Olahan Peneliti
Fenomena Gegar Budaya
Teori Fenomenologi
(Alfred Schutz)
1. Paradigma Konstruktivisme 2. Tradisi Fenomenologi 3. Pendekatan Kualitatif
4. Metode Phenomenology Research 5. Teknik Penelitian: wawancara dan
observasi
6. Proses Pencarian Data 7. Proses Analisis Data
Konstruksi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta
Konsep Culture Shock
(Kalvero Oberg)
1. Fase Kegembiraan 2. Fase Kekecewaan 3. Fase Awal Resolusi 4. Fase Berfungsi dengan Efektif
No. Item Emma Violita Pinem Indah Maulidia Muhammad Hyqal Kevinzky 1 Judul Culture Shock dalam Interaksi
Komunikasi Antarbudaya Pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Paradigma sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk dengan baik, dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.
Dalam hal terpaan dan upaya
mengatasinya dipengaruhi oleh 33ias33r jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap. Perempuan lebih tinggi
shock yang tergolong sedang. Hal
Malaysia lebih berbaur dengan atau di luar kampus lebih sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi mereka. Selain itu, lama menetap juga turut mempengaruhi. Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih menyeluruh.
7 Persamaan Meneliti tentang culture shock
Objek penelitian pada mahasiswa
Meneliti tentang culture shock
Objek penelitian pada
8 Perbedaan Teori yang digunakan
Metode penelitian yang digunakan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN
Soehartono (2008:9) mendefinisikan metode penelitian adalah cara atau
strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Metode
penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang
lebih spesifik untuk memperoleh data.1Mengacu pada permasalahan penelitian yaitu
tentang studi fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta,
maka penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis.
Mulyana, (2001: 145-146) menjelaskan bahwa metodologi adalah proses,
prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati suatu masalah dan
mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum
untuk mengkaji topik penelitian.2 Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan
perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara
perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi
yang memungkinkan penulis memahami data dan menghubungkan data yang rumit
1 Irawan Soehartono. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan
Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal 9.
2 Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Hal
dengan peristiwa dan situasi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu
rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif, maka metodologi pun
sebenarnya merupakan suatu rentang juga, dari yang sangat kuantitatif (objektif)
hingga yang sangat kualitatif (subjektif).
Menurut Kriyantono (2006: 56-57), riset kualitatif bertujuan untuk
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data
sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling,
bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah
mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya.3 Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada persoalan
kedalaman (kualitas) bukan pada banyaknya (kuantitas) data. Selain itu, penulis
juga ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan karena dalam riset
kualitatif, periset adalah bagian integral dari data. Dengan demikian, periset
menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini
bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan
Untuk mengetahui fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera,
penulis menggunakan pendekatan fenomenologi, dimana dalam pendekatan ini
penulis langsung meneliti sebuah kesadaran dari pengalaman (awareness of
experience), yaitu keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang
pertama. Jadi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penulis meneliti
secara langsung pada mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA sebagai key informan
penelitian ini.
Little John (2011:65) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis
berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi
pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya.
Pendekatan fenomenologi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui dunia
dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan
dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang dilekatkan
padanya.4
Tidak hanya itu, untuk melengkapi penelitian yang dilakukan, penulis juga
akan melakukan wawancara kepada ahli di bidangnya berkaitan dengan fenomena
gegar budaya dari aspek komunikasi budaya. Wawancara dilakukan kepada Guru
Besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA sebagai informan
pendukung untuk memperkuat dan melengkapi penelitian mengenai studi
fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta.
3.2. PARADIGMA PENELITIAN
Penelitian ini sendiri menggunakan paradigma kontruktivisme dikarenakan
sesuai dengan sifat dan karakter permasalahan data yang diangkat dalam penelitian
ini.Hidayat (2003:3)menjelaskan bahwa paradigma konstruktivisme memandang
bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action
melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang
bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.5
4 Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Theories of Human Comunication),
(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), Hal. 65.
5 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik (Jakarta:
Penulis menggunakan paradigma konstruktivis untuk mengetahui
bagaimanakah fenomena gegar budaya pada mahasiswa asal Sumatera di
UNTIRTA, dengan paradigma konstruktivis ini penulis bisa mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dari individu yang diteliti. Dalam penelitian ini,
penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali sedalam mungkin
ingatan dan pengalaman informan berdasarkan fakta selama menempuh studi di
Kampus UNTIRTA yang memiliki latar belakang budaya dan lingkungan yang
berbeda. Hasil wawancara yang berdasarkan pengalaman informan inilah yang
nanti akan dianalisis dan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis
ataupun tidak. Apakah informan mengalami gegar budaya dan dapat melakukan
interaksi antarbudaya atau malah sebaliknya.
3.3RUANG LINGKUP PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis akan mencantumkan batasan-batasan masalah
sehingga tidak adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi, sekaligus
memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Adapun batasan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penulis memfokuskan
penelitian pada faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera di
UNTIRTA melakukan perantauan. Kedua, bagaimana tahapan-tahapan gegar
budaya yang dialami mahasiswa asal Sumatera. Ketiga, bagaimana proses interaksi
yang terjadi ketika mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan terakhir,
apa saja upaya yang dilakukan mahasiswa asal Sumatera dalam mengatasi gegar
3.4INSTRUMEN PENELITIAN
3.4.1 SUMBER DATA
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dikumpulkan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer menurut Ruslan (2004:29)
adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan
perorangan, kelompok dan organisasi.6 Adapun data yang menjadi sumber
data primer adalah melalui wawancara kepada mahasiswa rantau asal
Sumatera yang sesuai dengan kriteria dalam informan penelitian.
Sedangkan menurut Bungin (2009:122) data sekunder adalah data yang
diperoleh dari sumber kedua atas data yang kita butuhkan7, maka dari itu
data sekunder didapat dari informan pendukung. Selain itu, penulis
melakukan observasi dengan jenis observer as participant, sehingga penulis
akan mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan
bergabung dalam setting kesehariannya.
3.4.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, karena teknik pengumpulan data merupakan faktor yang
sangat penting dalam setiap melakukan penelitian agar berjalan sesuai
6 Rosady Ruslan. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004). Hal
29.
7 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Kencana Predana Grup, 2009). Hal
dengan apa yang diinginkan. Adapun teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Berger dalam Kriyantono (2006: 100) mengatakan bahwa
wawancara adalah percakapan antara periset (seseorang yang berharap
mendapatkan informasi) dan informan (seseorang yang diasumsikan
mempunyai informasi penting tentang suatu objek. Wawancara merupakan
metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya.8 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan
teknik wawancara untuk mendapatkan data. Ada dua jenis informan pada
penelitian ini, yaitu key informan, yang dimana penulis akan meneliti
tentang fenomena gegar budaya dan yang kedua adalah informan tambahan,
dimana penulis akan menggunakan data hasil wawancara sebagai
triangulasi sumber atas data yang penulis peroleh dari key informan.
Penelitian ini menggunakan wawancara semistruktur yang dimana
penulis mempunyai daftar pertanyaan tertulis tapi memungkinkan juga
untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bebas, yang terkait
dengan permasalahan gegar budaya dalam fase kegembiraan, fase
kekecewaan, fase awal resolusi, fase berfungsi dengan efektif, motif
merantau, proses interaksi dan upaya apa saja yang dilakukan untuk
mengatasi gegar budaya.