• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN DALAM ERA POSTMODERN - ISI Denpasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN DALAM ERA POSTMODERN - ISI Denpasar"

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)

i

684 / Seni Murni (seni lukis)

LAPORAN KEMAJUAN (70%)

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN

DALAM ERA POSTMODERN

DRS. I WAYAN MUDANA, M.PAR NIDN. 0010096307

(2)
(3)

iii 4.1. Bentuk Transformasi Seni lukis Wayang Kamasan ... 21

4.1.1. Perubahan Produksi ... 24

4.1.2. Perubahan Distribusi ... 56

4.1.3. Perubahan Konsumsi ... 79

4.2. Faktor-Faktor Pendorong Transformasi Seni lukis wayang Kamasan .. 103

4.2.1. Motivasi Ekonomi: Untuk Meningkatkan Kesejahteraan ... 106

4.2.2. Sebagai Identitas Diri: Prinsip yang Berkelanjutan ... 118

4.2.3. Kreativitas Melukis: Menciptakan Produk kreatif ... 127

4.2.4. Globalisasi: Sistem Tunggal Bersekala Dunia ... 137

4.2.5. Pariwisata ... 149

4.3.Implikasi Transformasi Seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasan Klungkung Bali... 162

4.3.1. Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Tradisi Lokal ... 164

4.3.2. Peningkatan Kesejahteraan ... 173

4.3.3. Terpasungnya Kebebasan Melukis ... 179

4.3.4. Meluasnya Distribusi dan Konsumsi Sosial ... 185

4.3.5. Munculnya Pelukis Perempuan ... 188

(4)

iv BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan ... 205 5.2. Temuan ... 207 5.3. Saran-Saran ... 209

(5)

v

DAFTAR GAMBAR BAGAN

Halaman 1. Gambar Bagan 3.1. Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan

(6)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran 1. Anggaran Biaya ... 217

2. Lampiran 2. Surat Pernyataan Penelitian ... 219

3. Lampiran 3. Surat Keterangan Promotor... ... 220

4. Lampiran 4. Jadwal Penelitian ... 221

(7)

vii RINGKASAN

Seni lukis wayang Kamasan (SLWK) merupakan karya seni tradisional yang berkembang subur di Desa Kamasan Kabupaten Klungkung Bali, sangat terikat dengan pakem serta memiliki kandungan estetika sangat tinggi. Penelitian bertema “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern”, dikaji dari sudut culture studies dengan mengangkat tema fenomena sosial masyarakat yang terpinggirkan. Diskursus yang berkembang SLWK sudah mengalami perubahan dikomersialisasi Oleh kaum kapitalis (pariwisata) sehingga terjadi transformasi.

Featherstone (2001: 122) menyatakan; transformasi berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodern berimplikasi munculnya teknik-teknik produksi dan reproduksi budaya yang mentransformasikan berbagai pengalaman serta praktik keseharian dan mempertanyakan tentang penandaan budaya untuk modernitas dimana pengetahuan itu diberi status fondasional yang bersifat humanis. Akibat dari tuntutan hidup masyarakat yang begitu kompleks SLWK mengalami perubahan dari sakral ke profan, dari produsen ke konsumen. Proses perubahan itu terjadi secara bertahap-tahap, dari tradisi lama dengan motivasi persembahan (form pollow meaning) menuju Modernisme (form pollow fuction) sebagai bentuk identitas, dan menjadi seni produk dalam era postmodern (form pollow fun) yang berorientasikan pasar. Fenomena perubahan ini dipersepsikan sebagai gejala postmodern yang terjadi sangat dahsyat dan cepat. Dalam proses produksi dan distribusi konsumen dengan kekuasan kapitalnya sudah mampu mengatur dan menentukan jenis-jenis produksi industri kreatif dan mendistribusikan produk-produk tersebut ke pasar.

Hal-hal yang dapat disoroti dari transformasi SLWK berupa (1) bentuk transformasi SLWK yang berhubungan dengan (a) perubahan produksi, (b) perubahan distribusi, dan (c) perubahan konsumsi. (2) faktor-faktor pendorong transformasi SLWK (a) motivasi ekonomi, (b) identitas diri (c) kreativitas, (d) globalisasi, dan (e) pariwisata. (3) Implikasi transformasi SLWK di desa Kamasan Klungkung Bali, (a) lunturnya nilai-nilai tradisi lokal, (b) meningkatkan kesejahteraan, (c) terpasungnya kebebasan melukis, (d) meluasnya distribusi dan konsumsi, (e) kesetaraan gender, (f) berkembangnya industri kreatif. Untuk menganalisis permasalahan “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam era Postmodern” digunakan teori praktik, teori komodifikasi, dan teori estetika diterapkan secara ekkliktik. Metode yang digunakan adalah metode kritis yang bersifat emansipatoris, humanis, dan interpretatif. Penelitian emansipatoris adalah mencari data dilapangan di desa Kamasan Klungkung Bali dengan melibatkan partisipasi masyarakat, tokoh-tokoh desa, cendikiawan, seniman dan pekerja seni, pengusaha bergerak dalam bidang seni, yang mengetahui tentang latar belakang dan perkembangan SLWK dengan teknik observasi, wawancara, kepustakaan, dan kajian dokumen.

(8)
(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Program doktor merupakan salah satu jenjang pendidikan tinggi secara formal yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dalam pendidikan program doktor, seorang dosen harus dapat menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan kemampuan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang telah ditetapkan. Untuk mendukung sistem Pendidikan Nasional pada jenjang pendidikan tinggi saya mengambil Program Doktor Kajian Budaya di Universitas Udayana dengan disertasi “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern”.

Kesenian di Bali sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat yang aktivitasnya senantiasa dilekatkan dengan kegiatan Agama Hindu, adat istiadat dan kebudayaan (Picard, 2006: 252). Seni lukis wayang Kamasan merupakan karya seni tradisional yang tumbuh dan berkembang sangat subur di Desa Kamasan Kabupaten Klungkung Bali memiliki identitas sangat khas dan unik. Secara spesifik lukisan tersebut memiliki identitas sangat artistik didalamnya terkandung nilai-nilai filsafat yang bersifat simbolik dan indah yang sering dihubungan dengan kehidupan manusia terhadap Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam (tri hita karana). Sebagai karya simbolik wayang Kamasan sering digunakan sebagai pencerahan dan bayangan dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat .

(10)

2

proses pengerjaan yang sifatnya sangat mengikat dan baku. Secara simbolik lukisan wayang Kamasan digunakan sebagai sarana pelengkap dalam ritual Agama Hindu untuk menyatakan sujud bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa. Masyarakat Kamasan sangat mempercayai bahwa keterampilan melukis yang dimiliki merupakan kodrat secara turun-temurun. Lebih lanjut Kanta, (1977/1978: 9) juga menyatakan, melukis wayang Kamasan merupakan kelanjutan dari melukis

wong-wongan. Masuknya budaya Barat di Bali membawa angin segar bagi pelukis ditandai dengan terjadinya komersialisasi. Peristiwa Puputan Badung Tahun 1906 dan Puputan Klungkung Tahun 1908, ditandai dengan kerajaan Klungkung dengan Ibu Kota Semarapura secara resmi berada dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Semenjak itu budaya modern diperkenalkan dengan sistem pemerintahan oleh Raja diganti dengan sistem pemerintahan sipil sehingga muncul elite-elite baru dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pariwisata sebagai sektor pekerjaan baru. Masyarakat Bali didorong tidak bergantungan hidup dari pekerjaan sebagai petani mengingat luas tanah di Bali sangat sempit dengan jumlah penduduk sangat padat. Untuk menunjukan kepedulian Belanda terhadap masyarakat Bali yang miskin secara ekonomi dan kaya dengan seni dan budaya, maka didoronglah pariwisata sebagai sektor baru untuk meningkatkan kesejahteraan (Gouda, 1995: 35). Seni lukis wayang Kamasan sangat potensial dikomersialkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Promosi wisata dilakukan secara gencar dengan mengundang dan melibatkan para ilmuwan untuk melakukan penelitian tentang seni dan budaya Bali. Hasil-hasil penelitian tentang keberadaan Bali kemudian didistribusikan kembali sebagai sarana promosi budaya.

Meningkatnya kunjungan pariwisata ke Bali untuk melihat dari dekat bagaimana atraksi pembuatan lukisan wayang Kamasan sehingga terjadi relasi antara pelukis dengan wisatawan. Stephen Clot, seorang antropolog Negara Belanda menyatakan,

(11)

3

Belanda. Banyak terjadi penyederhanaan bentuk dan mengurangi tingkat kerumitan sehingga pengerjaan menjadi lebih mudah dan cepat. Motivasi penciptaan cendrung mengarah pada kebutuhan finansial (komersial) semata. (Arimbawa, 2013: 310).

Sebagaimana yang dikatakan Arimbawa tentang realitas komersialisasi yang dibangun para pelukis dengan kaum kapital menurut Clot, mengakibatkan terjadi perubahan dalam proses produksi dan reproduksi mengarah pada kebutuhan pasar. lukisan wayang Kamasan yang menjunjung tinggi idealisme pakem, norma, nilai, proses pengerjaan yang sifatnya mengikat dan baku berubah menjadi idealisme individu dengan menonjolkan identitas pribadi yang rasional meskipun secara umum masih mangacu pada identitas kelompok. I Nyoman Mandra seorang pelukis senior di Desa Kamasan mengatakan, melukis baginya selain diperuntukan untuk ngayah

(persembahan) juga sebagai profesi untuk mendapatkan uang berupa penghasilan sehingga dapat menafkahi keluarga. Meskipun demikian ketika pelukis diberi kesempatan untuk ngayah untuk kebutuhan ritual, pelukis merasa mendapatkan kehormatan yang tidak ternilai harganya. Pelukis akan menunda semua pekerjaan yang bersifat pribadi serta mendahulukan ngayah. Pelukis dengan senang hati mendapatkan kesempatan ngayah meskipun tanpa imbalan berupa uang (Wawancara dengan I Nyoman Mandra, tgl 19 September 2011). Mandra juga mengatakan, semakin banyaknya wisatawan yang tertarik terhadap seni lukis wayang Kamasan dalam era globalisasi sehingga terjadi relasi antara industri pariwisata dengan pelukis untuk menjadikan seni lukis wayang Kamasan sebagai komoditi berupa sovenir dan barang kerajinan. Produk-produk komoditi seni lukis wayang Kamasan dikomodifikasi, diproduksi secara massa untuk didistribusikan ke pasar.

(12)

4

tentang bagaimana barang-barang tersebut dapat didistribusikan dan dikonsumsi oleh konsumen di pasar. Fenomena komodifikasi ini berimplikasi terjadi transformasi yang berimplikasi perubahan dari produksi ke konsumsi, produsen ke konsumen. Fenomena pemaknaan idealisme juga berubah menjadi makna seni populer dalam bentuk seni kemasan massa untuk memenuhi kebutuhan pasar. Konsumen memiliki peranan sangat penting dalam pertukaran produksi dan reproduksi massa (mass product populer culture) karena memiliki modal dan jaringan untuk mengendalikan keinginan-keinginan produsen dalam menciptakan produk industri kreatif (Lee, 2006: 92).

Lebih lanjut, Graburn (2000: 339), mengasumsikan faktor pendorong terjadinya komersialisasi sehingga terjadi transformasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; motivasi ekonomi, identitas diri, kreativitas, globalisasi, dan pariwisata. Julia Komersialisasi mengakibatkan terjadi transposisi proses being dan becoming

yang bersifat subyektif berkaitan dengan identitas, mobilitas, perlawanan dan keharusan ber-interrelasi (Kristeva,2009: 292). Pembabakan transformasi bersifat

linier hierarkis berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodernisme (Featherstone, 2001: 122). Lebih lanjut Giddens (2005: 49) dalam “Refleksivitas Modernitas” mengatakan; tradisi tidak sepenuhnya statis, tradisi tidak terlalu melawan perubahan. Sedangkan Kayam (1989 : 1) menyatakan; transformasi merupakan proses pengalihan total dari suatu bentuk ke sosok bentuk yang baru yang mengalami proses tahapan-tahapan panjang dari pra-modern/tradisional, modern, dan postmodernisme.

(13)

5

information terhadap karya seni didaerah pariwisata hingga mengalami perubahan. Feterstone (2001: vii), kesalahan persepsi bukan terletak pada wujud benda, tetapi persepsi orang yang melihat.

Diskursus yang berkembang di Desa Kamasan, transformasi berimplikasi terjadi perubahan dari idealisme yang terikat pakem, menjadi provan, rasional, universal, dan aisketis, mengikuti perkembangan pasar. Arimbawa juga mengatakan, masih ada yang mempertahankan idealisme mengacu pada pakem, tetapi sebagian besar telah mengalami perubahan sebagai akibat dari komersialisasi. Wilard Anna (1989) mengatakan seni yang bermutu tinggi potensial dikomersialkan untuk meningkatkan kesejahtraan pelukis, disatu sisi bila dilakukan secara berlebihan akan terjadi penurunan kualitas (Shaw dan William,1997: 109; Picard, 2006: 176 ). Dalam proses produksi dan reproduksi kapitalisme sudah mampu mendominasi pelukis untuk mewujudkan mimpi-mimpi, ide-ide-nya untuk menciptakan seni kreatif melalui proses komodifikasi, diproduksi secara massa untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Produk komoditas seni lukis wayang Kamasan dijadikan produk pastiche sebagai pencitraan budaya tinggi (hight culture) dan adiluhung. Sachari (2006: 66) ideom-ideom estetika postmodernisme berupa pastiche, kitch, parodi, camp, dan

skizoprenia,

(14)

6

Postmodernisme sangat peduli terhadap seni tradisi tetapi tidak mau terbelenggu oleh ketentuan yang sifatnya mengikat dan baku. Ngurah Bagus (1988) menyatakan, dalam budaya terjadi beberapa pola perubahan, satu diantaranya adalah inovasi. Dengan memberikan sentuhan inovasi dan kreativitas berupa sisipan, tambahan serta tempelan-tempelan sehingga terciptalah struktur baru dengan standarisasi serta idealisme baru yang semu. Ketika lukisan wayang gaya Kamasan ditempatkan pada tempat suci akan bermakna sebagai persembahan bersifat simbolik (form follows meaning) juga berfungsi sebagai penghias dan sekaligus sebagai sistem kontruksi (form follow function) tetapi ketika ditempatkan di toko, galeri, sudah dipersepsikan sebagai barang-barang komoditas (pencitraan), berupa barang dagangan dengan standarisasi dan idealisme semu. Dipersepsikan seni lukis wayang Kamasan sudah kehilangan aura idealisme digantikan dengan realisme berupa seni produk kemasan massa.

Implikasi transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme diasumsikan berubah dari sakral menjadi provan. Makna lukisan wayang sebagai bayangan yang mencerminkan kehidupan manusia berubah (change) dikaburkan dari makna simbolis yang dilekatkan dengan ajaran etika, moralitas, berubah menjadi makna ekonomi, target, dan kebutuhan pasar untuk memperoleh keuntungan uang. Sistem kerja yang bersifat kolektif dan komunal berubah menjadi individual dengan orientasi target (ekonomi), dari yang bersifat produksi untuk persembahan menjadi konsumsi pemenuhan kebutuhan pasar, industri kreatif berkembang sangat cepat memproduksi produk-produk baru untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Makna simbolik berubah menjadi absurd (tidak jelas, bricolage) memproduksi makna-makna baru dalam kontek yang lebih segar, dengan kata lain terjadi pemakna-maknaan ulang (re-signification)

(15)

7

dengan, teori komodifikasi, dan teori estetika postmodernisme. Penelitian dilakukan di Desa Kamasan Klungkung dari Tahun 2002 sampai Tahun 2014. Menggunakan metode kritis (culture studies) yang bersifat emansipatoris melibatkan pelukis, masyarakat bisnis (industri pariwisata), ilmuwan, seniman, dan budayawan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1. Bagaimana bentuk transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme ?

1.2.2. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme ?

1.2.3. Bagaimana implikasi transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme di Desa Kamasan Klungkung ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1.3.1 Secara umum

Penelitian ini ingin mengungkap transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era posmodernisme, serta mampu melakukan pencegahan dengan melakukan keberpihakan terhadap para seniman sebagai masyarakat yang terpinggirkan.

1.3.2 Secara khusus

(16)

8

(c) ingin mengetahui implikasi transformasi seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasn Klungkung.

1.4. Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah perbendaharaan teori sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia akademik sesuai dengan bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang dapat disumbangkan secara teoritis antara lain: (1) Untuk menambah wawasan dan pembendaharaan pengetahuan akademik tentang bagaimana proses terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era posmodernisme, (2) Bagi perkembangan ilmu Kajian Budaya, dapat bermanfaat untuk mengembangkan Kajian Budaya menuju

culture studie, (3) Bagi ISI Denpasar, bermanfaat untuk memahami bahwa seni merupakan bagian dari budaya yang dapat dikaji dari proses, ilmu seni, artefak seni. Oleh sebab itu dikatakan ruang lingkup Kajian Budaya itu sangat luas.

1.4.2. Manfaat Praktis

(17)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1. TinjauanPustaka

Untuk mengungkap fenomena-fenomena yang terjadi ditengah masyarakat serta asumsi-asumsi yang terjadi di lapangan, secara culture studies ada beberapa studi dijadikan acuan sebagai kajian untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penelitian ini.

I Made Kanta (1977/1978:9), dalam buku “Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan” membahas tentang asal usul dan bentuk seni lukis wayang Kamasan. Sebagai tradisi, seni lukis tradisional kamasan merupakan kelanjutan dari melukis wong-wongan pada zaman prasejarah di-goa-goa. Sedangkan Ngurah TY (2007:105), dalam Tesisnya tentang “ Rerajahan” menyatakan seni lukis tradisional Bali merupakan kelanjutan dari kebiasaan melukis rerajahan yang biasa digunakan dalam pembuatan kajang, kereb, kober, dan ulap-ulap dalam ritual Agama Hindu. Lebih lanjut, Wiwana (2008: 97) dalam tesisnya tentang “Prasi” mengatakan, seni lukis wayang Kamasan pada awalnya digunakan sebagai gambar ilustrasi dalam lontar-lontar yang sering disebut prasi ditandai dengan 2 (dua) buah karya lukisan pada lontar oleh Gede Modara (1870-an) berjudul “Lubdaka” dan “Sutasoma”. Selanjutnya Anthony Forge (1978 : 3), dalam bukunya, “Balinese Traditional Painting” menghubungkan seni lukis kamasan dengan relief pewayangan yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur. Mudana (1990) dalam Skripsinya “Seni Wayang Kulit Bali” mengatakan; wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia ditandai dengan penyebutan tokoh pewayangan seperti: Twalen, Wredah, Sangut, dan Delem. Menurut Ekasupriyani Y dan Nunung Nurjanti (2006), dalam bukunya, ”Vibrasi Seni Lukis Kamasan di Bali Indonesia”. Hubungan agama dan kesenian di Bali sangat erat. Kesenian merupakan alat atau sarana beribadah. Dalam perkembangannya makna tradisi sudah dikaburkan, diganti dengan makna baru yaitu makna komersial dengan target-target ekonomi dalam industri kreatif.

(18)

10

Kebayantini (2013) dalam penelitiannya berjudul “Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali” diuraikan tentang bentuk komodifikasi yang berkaitan dengan produk, distribusi, dan konsumsi. Kabayantini juga membahas habitus, modal, ranah, dan praktik. Perbedaan penelitian Kabayantini dengan penulis terletak dalam menyikapi proses komodifikasi yang sangat erat terkait dengan produksi dan reproduksi melalui tahapan-tahapan panjang dengan memberikan inovasi-inovasi baru yang mencerminkan kebebasan, fleksibel, efektif, dan efisien.

I Dewa Made Pastika (2009) tentang “Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pitamaha”, diungkapkan eksistensi seni lukis Pitamaha yang didirikan pada tahun 1939 memberikan perubahan secara estetis terhadap penggunaan bahan, tema-tema lukisan dan pasar. Penggunaan bahan sudah menggunakan warna pabrikan, sedangkan tema-tema lukisan tidak saja mengangkat tema pewayangan juga mengangkat tema kehidupan sehari-hari dengan memperkenalkan anatomis. Menurut Gouda “Pitamaha” didirikan tahun 1930-an (1995: 235--237) oleh Cokorda Gede Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Ciri-ciri lukisan Pitamaha terletak pada teknik melukis, bahan dan peralatan, serta nilai estetis. Spies dan Bonnet memberikan warna baru pada perkembangan seni lukis Bali tanpa menghilangkan identitas yang sudah ada. Dalam bidang organisasi tiap-tiap distrik dikepalai oleh seorang koordinator. Untuk koordinator pelukis di Kamasan ditunjuk I Wayan Seken/Pan Sumari mewilayahi daerah Klungkung dan sekitarnya.

2.2. Konsep Transformasi

(19)

11

Proses transformasi terjadi secara revolusioner saling pengaruh mempengaruhi antar unsur dalam suatu ideal type masyarakat. Transformasi mesti dipahami lewat suatu ideal type masyarakat yang sengaja diciptakan sebagai suatu model dan paradigma. Sebagai contoh Max Weber menyimpulkan transformasi masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis karena didalam tubuh budaya masyarakat Eropa, sudah terkandung “bumbu-bumbu”, ingredients, budaya yang akan melahirkan semangat kapitalis (Sachari, 2002: 68). Transformasi dapat pula diandaikan sebagai bagian dari proses linier-hierarkis yang menekankan perubahan proses produksi. Pembabakan transformasi linier hierarkis adalah pembabakan transformasi yang ditawarkan oleh Featherstone dalam “Postmodern dan Budaya Konsumen” berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodernisme. Sedangkan ciri-ciri transformasi, menurut Tabrani (2006: 260) adalah; merupakan manifestasi pribadi korperatif (gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Bila kelayakan estetis belum berani melewati batas-batas, maka transformasi justru berani melakukannya demi terciptanya sesuatu yang baru, yang bukan hanya iseng, baru atau layak tetapi mencapai sesuatu yang integral dan jujur (truth). Transformasi tidak lagi tunduk pada norma, atau situasi dan kondisi, mengintegrasikan beberapa norma sesuai dengan fleksibelitas dan kebebasan yang mendukung.

Gambar Bagan 2.1

Konsep transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern

A B

(20)

12 Keterangan Gambar

(1) A = Kabupaten Klungkung (2) B = Desa Kamasan

(3) C = Budaya Tradisi (4) D = Masyarakat Kapital (5) E = Transformasi

2.3. Landasan Teori

Untuk menganalisis permasalahan “Transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era Postmodern” digunakan teori praktik bersipat ekletik didukung dengan beberapa teori yaitu, teori komodifikasi, dan teori estetika.

2.3.1. Teori Praktik Sosial

Pierre Bourdieu, menjelaskan tentang penekanan keterlibatan subjek (masyarakat pelaku kebudayaan) dalam proses kontruksi budaya sebagai praktik sosial bertalian erat dengan habitus, modal dan ranah. Bourdieu mengatakan interaksi antara manusia dengan kebudayaan terjadi secara terus-menerus dalam usaha pembentukan simbol-simbol budaya untuk kepentingan kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Richard Jenkins, 2004: 95-124). Bourdieu mewariskan konsep-konsep seperti

habitus, modal, dan ranah, sebagai kreativitas yang mempengaruh sumber daya dan komunitas. Keempat jenis modal (sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik) tersebut oleh Fashri dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya (2004: 95-149).

2.3.2 Teori Komodifikasi

(21)

13

hubungan ekploratif yang disebut Marx dengan fitisisme komoditas (Barker, 2004 : 14 ; 2005 : 517). Lebih lanjut, Fairclough (1995) menyatakan:

“Commodification is the process whereby social domainsand institutions,

whose concern is not producing commodities in the narrower economic sence

of goods for sale, come nevertheless to be organized and conceptualized in

term of commodity production, distribution, and consumtion (komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjual belikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi).

Dari uraian tersebut dapat dikatakan transformasi terjadi akibat adanya proses dominan sosial dalam tatanan masyarakat sosial untuk menciptakan perubahan secara bertahap dengan mempertimbangkan mata pencaharian, eksistensi, pleksibelitas, efektif, efesien, dan mencerminkan kebebasan berekpresi dan berkreatifitas dalam era postmodernisme. Produksi postmodernisme berdasarkan atas permintaan pasar melalui proses dipesan terlebih dahulu (made to order) untuk tujuan dipasarkan kembali pada pasar yang sesungguhnya.

2.3.3. Teori Estetika

(22)

14

menggunakan prinsip bentuk mengikuti fungsi (form follow function) sehingga karya seni yang diciptakan lebih berdasarkan pada fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat. Selanjutnya estetika postmodern dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follow fun), yakni lebih mengedepankan asfek-asfek ‘gelitikan’ sehingga karya seni yang diciptakan lebih mengutamakan permainan-permainan yang bebas dalam memberikan tanda-tanda estetis (Sachari, 2006:66).

Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen, seorang kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah pengabdian, suatu kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah persembahan kepada Tuhan. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana bersatu dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan istilah ‘manunggal’. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan maupun kedengaran dipandang sebagai ‘wadah’ bagi dewa keindahan (Djelantik, 1992:22). Dalam proses kerjanya seniman Bali tradisional menikmati rasa indah yang disebut kelangen. Kuatnya intensitas kelangen

itu bertaraf, kemudian bila mencapai puncak dirasakan sebagai ‘taksu’ seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberi keberhasilan istimewa. Disamping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa dirinya bersatu (manunggal) dengan obyek yang dikerjakan.

Pada zaman modern, ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan pandangan dunia yang mekanistis dengan penggunaan teknologi komputer, pandangan-pandangan tentang estetika dalam kesenian bergeser lebih kearah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukan dimensi hidup, tetapi justru merupakan pendukung wacana mapan. Memang pada saat itu aktivitas seni tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai eksperimen tersebut dilakukan untuk kepentingan pasar sehingga memicu munculnya oposisi-oposisi dalam seni seperti; seni serius-seni pasar, seni elitis-seni rakyat, seni ekpresif-seni fungsional, ekpresif-seni tradisional-ekpresif-seni modern (Sachari,2006:30).

(23)

15

Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika dari atas diperoleh dari renungan suci. Estetika modern dicermati mulai dari bawah dengan menggunakan pengamatan secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah mengapa orang menyukai sesuatu yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai yang lain (Parmono, 2009:27-28). Konsep estetika positivistik seperti ini berimplikasi pada munculnya berbagai standar dan aturan-aturan dalam menilai karya seni.

(24)

16 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini secara khusus membahas bagaimana proses terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme, sehingga menghasilkan karya-karya kemasan baru dengan idenditas baru. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses transformasi adalah komonitas pekerja seni Desa Kamasan Klungkung Bali, para pengelola industri pariwisata seperti, pemilik artshop, gallery, serta pihak-pihak yang dianggap tau tentang proses terjadinya transformasi seperti para cendikiawan dan budayawan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Propensi Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan terkait dengan permasalahan yang berkenaan fokus penelitian, bahwa telah terjadi transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme. Penelitian ini dilakukan antara Juli tahun 2013 sampai juli tahun 2016.

3.3.Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data yang digali dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan berupa ungkapan kata-kata. Data tersebut diproleh dari hasil wawancara, observasi dan beberapa sumber data yang terkait langsung dengan para tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, seniman, para pekerja dan para pengelola usaha yang dianggap mengetahui latar belakang dan perkembangan seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasan Klungkung, yang selanjutnya disebut data primer. Sedangkan data sekunder adalah data yang diolah oleh peneliti yang bersumber dari sejumlah kajian dokumen tertulis dan gambar serta lukisan.

(25)

17 3.4. Penentuan Informan

Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan memilah informan yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai terhadap subjek penelitianuntuk tujuan tertentu. Informan yang dipilih dengan kriteria mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang keberadaan dan perkembangan seni lukis wayang Kamasan. Dalam penelitian ini, yang bertindak sebagai informan adalah ; seniman/pekerja seni, aparat pemerintah, budayawan, ilmuwan, pelaku bisnis, dan tokoh masyarakat.

3.5. Insrumen Penelitian

Dalam kegiatan penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara, yaitu berupa daftar pertanyaan terbuka (interview guide). Seperti dikatakan Nasution (1990), instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penulis sendiri sebagai instrumen utama, didukung pedoman wawancara dan catatan kecil observasi (field notes). Pedoman wawancara sebagai pertanyaan terbuka dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk cross check. Pengambilan gambar dan suara dalam kegiatan wawancara dibutuhkan kamera untuk pemotretan dan tape recorder sebagai alat perekam

Begitu juga, agar kualitas lebih valid maka dilakukan observasi, yakni dengan menemui pekerja yang sedang melakukan kegiatan. Di samping itu, untuk mendapatkan data pergulatan identitas tradisi dengan industri pariwisata, peneliti berbaur sebagai pekerja dimasyarakat Desa Kamasan untuk mendengarkan keluh kesah para pekerja secara langsung.

(26)

18 3.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

(a) Studi Kepustakaan, (b) Observasi, (c) Pencatatan, (d) Wawancara, (e) Dokumentasi.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretative menggunakan teori praktik sosial, teori komodifikasi, dan teori estetika. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman wawancara, data kepustakaan, kemudian memformulasikan secara deskriptif, selanjutnya memproses data dengan tahapan reduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan. Miles dan Herberman (dalam Putra, 2009: 53) menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu (1) mereduksi data, dengan cara pemilahan dan konversi data yang muncul dilapangan (2) penyajian data, yaitu dengan merangkai dan menyusun informasi dalam bentuk satu kesatuan, selektif dan dipahami, dan (3) perumusan dalam simpulan, yakni dengan melakukan tinjauan ulang di lapangan untuk menguji kebenaran dan validitas makna yang muncul di sana. Hasil yang diproleh diinterprestasikan, kemudian disajikan dalam bentuk naratif.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Teknik penyajian analisis data secara sistematis diuraikan dari bab per bab sebagai berikut:

Pada bab I. Pendahuluan: Menguraikan secara umum topik penelitian dari latar belakang, hingga ditemukan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

(27)

19

digunakan sebagai alat analisis untuk membedah permasalahan-permasalahan yang ditemui dilapangan.

Pada bab III. Metode Penelitian: Sebagai gambaran langkah-langkah penelitian yang diawali dari rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, subyek penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis data.

Pada bab IV. Tinjauan Umum Desa Kamasan Sebagai Kampung Seni dan Profil Lukisan. Letak dan monografis desa Kamasan, Struktur seni lukis wayang Kamasan, Bahan dan peralatan, proses melukis wayang kamasan,

Pada bab V. Latar Belakang Transformasi seni lukis wayang Kamasan. Diawali dengan pembahasan (1) motivasi ekonomi, (2) identitas diri, (3) kreativitas, (4) globalisasi, dan (5) pariwisata.

Pada bab VI. Bentuk Transformasi Seni lukis wayang Kamasan DalamEra Postmodernisme: Diawali dari pembahasan tentang; (1) perubahan produksi (2) perubahan distribusi , (3) perubahan konsumsi.

Pada bab VII: Implikasi Transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era Postmodernisme di Desa Kamasan Klungkung. Diuraikan dari pembahasan tentang; (1) lunturnya nilai-nilai tradisi budaya lokal (2) peningkatan kesejahtraan (3) meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, (4) munculnya pelukis perempuan, (5) berkembangnya industri kreatif.

Pada bab VIII. Penutup : Menyimpulkan pembahasan yang telah dianalisis melalui proses penelitian, temuan serta dan saran-saran.

(28)

20 3.9. Gambar Bagan Penelitian

Gambar Bagan 2.2

Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam era Postmodern

Bagan 2.1 Model Penelitian

Transformasi Seni lukis wayang Kamasan Dalam Era Postmodern

Masyarakat Kamasan

*Motivasi Ekonomi *Identitas Diri *Kreativitas

Modernisme

*Globalisasi *Pariwisata

TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN DALAM ERA

POSTMODERN

Bentuk Trasformasi Faktor-Faktor Pendorong Transformasi

Implikasi Transformasi di Desa Kamasan Klungkung

(29)

21 BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Bentuk Transformasi Seni lukis Wayang Kamasan

Karya seni selalu berhubungan dengan bentuk dan isi (Sumardjo, 2000: 115--120). Nilai bentuk berhubungan dengan indrawi dan nilai isi berada di balik indrawi. Bentuk juga berhubungan dengan bahan atau medium seperti, kanvas, papan, warna, sketsa/garis, tektur, dan bangun tertentu. Penghayatan bentuk dan isi bersifat sangat subjektif sesuai dengan interpretasi tiap-tiap individu. Pemuja isi dinamai kaum “philistin” sedangkan pemuja bentuk (estetik) disebut kaum “formalis”. Seorang

philistin, mencari karya seni sesuai dengan minat praktis yang lebih mementingkan kontek, dan bobot isi. Sebaliknya kaum formalis tidak pernah peduli pada apa yang dibicarakan oleh sebuah karya seni. Yang dipedulikan hanyalah bagaimana seorang pelukis berhasil menghadirkan bentuk-bentuk seni baru yang menarik dan mengagumkan. Kaum pemuja bentuk sering disebut kaum “estet”, yang hanya peduli pada penciptaan unsur medium pewarnaan, pembagian ruang, cara menyusun irama, sketsa, tema-tema lukisan, dan penyajian. Santayana, menyatakan bentuk adalah kontruksi imajinasi aktivitas pikiran (Ratna, 2007: 82). Motivasi mengerjakan bentuk karya persembahan adalah ngayah (gotong royong) untuk memohon keselamatan, kedamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan.

Semakin banyaknya permintaan konsumen terhadap produk-produk

soevenir yang beridentitaskan seni lukis wayang Kamasan maka seni lukis wayang Kamasan dikomodifikasi menjadi produk penunjang pariwisata diproduksi secara massa sehingga terjadi transformasi yang berimplikasi terjadi perubahan. Bentuk perubahan transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme berupa produk kemasan baru yang berorientasi pasar. Orientasi perubahan transformasi dalam memenuhi kebutuhan konsumen di pasar adalah perubahan produksi, distribusi, dan konsumsi. Featherstone (2001: 122), mengatakan transformasi merupakan proses perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang baru

(30)

22

bersifat linier dan hieraskis ke arah perubahan produksi. Featherstone (2008: 35) juga menyoroti mode-mode konsumsi berhubungan dengan mimpi-mimpi, image dan kesenangan mengonsumsi. Perubahan ini ditandai dengan terjadinya peralihan dan pergeseran kegiatan sektor primer ke sektor sekunder. Seni lukis wayang Kamasan yang awalnya difungsikan sebagai persembahan berubah dikomodifikasi menjadi produk pasar diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Produk-produk yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi oleh pasar berupa produk yang cepat laku, produk pajangan untuk di rumah tinggal,

gallery,dan artshop.

Komodifikasi diasumsikan sebagai kapitalisme yang memiliki kemampuan mengubah obyek, kualitas, dan tanda menjadi komoditas (Barker, 2004 : 14). Fairclough (1995) dalam “Discours and Social Change”, mengatakan komodifikasi sebagai berikut.

Commodification is the prosess whereby social domains and institution, whose concern is not producing commodities in the narrower economic sense of goods for sale, come nevertheless to be organized and conceptualized in term of commodity production, distribution, and consumptions (Fairclough,1995: 207).

Komodifikasi dalam pandangan Fairclough, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit terhadap barang yang diperjualbelikan, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi hingga dapat memuaskan konsumen. Lebih lanjut Fairclough (1995) juga mengatakan, komodifikasi merupakan petanda kedinamisan tradisi yang harus dibaca ulang oleh setiap generasi baru dengan identitas dan makna baru untuk memberikan kesejahteraan pada pelukis dan kepuasan terhadap konsumen. Komodifikasi dapat melahirkan budaya massa dan masyarakat konsumen atau masyarakat komoditas sehingga menyebabkan munculnya budaya konsumen.

(31)

23

“...produksi lukisan driki (disini) wenten (ada) pakem dalam melukis yang mengandung filsafat sangat simbolik....untuk persembahan. Proses melukisnya diawali dengan ngedum karang, molokan,

ngereka/neling, mewarna, nyawi, ngampad, muluhin, nyoca, meletik, dan

ngerus. Bahan dan peralatan digunakan diambil dari alam...warna dari pere,

mangsi, tulang, daun-daunan....peralatan berupa penelak yang dibuat dari bambu atau yip....mangkin (sekarang) sudah banyak digunakan warna dari pabrik karena lebih praktis. Mungkin disebabkan oleh tuntutan hidup titiang nenten uning taler (saya tidak tau juga). Becik taler (bagus juga) banyak yang mendapatkan pekerjaan dari melukis...” (Wawancara dengan Nyoman Mandra, 2013 di Kamasan).

Sebagaimana yang dikatakan Mandra, bentuk seni lukis wayang Kamasan bersifat simbolik sebagai pelengkap sarana persembahan dalam ritual agama Hindu dan sangat terikat oleh pakem, norma, ketentuan-ketentuan bersifat mengikat dan baku. Mandra juga mengatakan, seni lukis wayang Kamasan dikomersialkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga bertransformasi dari sektor primer ke sektor sekunder. Uang yang diperoleh dari melukis dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan di dapur, menyekolahkan anak, membangun rumah dan kebutuhan sosial lainnya. Bahan yang digunakan dalam proses produksi lebih banyak warna pabrikan yang bervariasi, seperti warna arylic, Remrant sampai menggunakan warna poster. Penggunaan warna pabrikan disebabkan karena bahan ancur (bahan perekat) menghilang di pasar. Sebagai penggantinya digunakan warna pabrikan yang kualitasnya tidak sebaik warna yang diproses secara tradisi. Warna pabrikan sangat bervariatif sangat disukai oleh konsumen. Ciri-ciri transformasi adalah manifestasi pribadi korporatif (gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Karya-karya yang bertransformasi sangat fleksibel, kritis dan bebas sehingga tidak terikat oleh norma tetapi dapat membentuk norma baru ke arah produksi pasar (Tabrani, 2006: 260).

Pandangan yang sama juga dikatakan Ni Made Suciarmi (pelukis senior perempuan), seperti di bawah ini.

(32)

24

menghasilkan karya tidak serius...pelukis melihatnya upah bukan lukisannya” (Wawancara dengan Ni Made Suciarmi, 2013 di Kamasan).

Sebagaimana yang dikatakan Suciarmi, pelukis sekarang lebih banyak berorientasikan untuk memperoleh uang dibanding dengan mempertahankan idealisme. Pemilik uang mampu mengatur pelukis, mengarahkan, dan menjalankan perintah-perintahnya untuk memproduksi produk-produk pasar dengan cara

meenggal-enggalan, mecepet-cepetan dengan target-target untuk memperoleh uang. Lukisan yang dikerjakan dengan meenggal-enggalan, mecepet-cepetan menghasilkan karya hafal-hafalan yang diproduksi dan reproduksi dengan cara menghafal semata-mata hanya untuk mengejar target-target dan order-order kapitalisme untuk mendapatkan upah yang lebih besar.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan, bentuk transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodern di Klungkung, Bali, sudah berubah diprofanisasi menjadi produk massa untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah (1) perubahan produksi, (2) perubahan distribusi, dan (3) perubahan konsumsi.

4.1.1 Perubahan Produksi

(33)

25

Kamasan dikomersialkan menjadi produk baru untuk menunjang pariwisata, diproduksi secara massa untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Gambar 4.1 Seni Sakral Dokumen: I Wayan Mudana, 2014

Untuk memenuhi kebutuhan pariwisata sesuai dengan gambar 4.1. seni lukis wayang Kamasan sebagai simbol-simbol sakral seperti kober dan payung pagut,

pengider-ider yang dihias dengan lukisan wayang diprofanisasi menjadi produk penunjang pariwisata berupa soevenir. Profanisasi merupakan ciri dari kapitalisme yang mampu mengkonsumsi seni sakral menjadi produk profan sehingga terjadi pencitraan. Transformasi sangat korporatif dapat menghasilkan produk-produk baru yang kreatif, efektif, efisien, dan ekonomis melalui proses komodifikasi sehingga terjadi pergulatan antara struktur lukisan idealisme tradisi yang terikat pakem dengan realitas idealisme pasar untuk mendapatkan uang. Karya-karya tradisi yang bersifat simbolik dikomodifikasi menjadi komoditas, diproduksi secara massa untuk meningkatkan nilai jual dengan cara mempertukarkan nilai sakral menjadi nilai-nilai uang melalui permainan simulasi. Simbol dewa-dewa yang sangat disakralkan dalam pandangan agama Hindu diproduksi untuk menghias produk souvenir berupa dompet, tas, tempat tisu, sehingga terjadi desakralisasi.

Menyoroti praktik-praktik transformasi menjadi produk massa I Wayan Puspa seorang pelukis Kamasan mengatakan sebagai berikut.

(34)

26

profesi melukis karena faktor keturunan. Selain bentuk lukisan di atas kanvas, lukisan telurnya sangat dikagumi di Kamasan...dulu sangat gampang menjual lukisan dan sangat laku...karena bersaing dengan pemilik modal besar...secara tidak sadar Puspa...mengikuti keinginan konsumen dan harus menjemput bola untuk melayani order-order pasar meskipun kecil ia layani untuk kepuasan konsumen” (Wawancara dengan I Wayan Puspa, 2014 di Kamasan).

Puspa, meyakini adanya takdir untuk menjalankan amanat leluhur untuk menekuni profesi sebagai pelukis. Dalam memasarkan produknya, Puspa memberikan pelayanan terbaik pada konsumen dengan cara menjemput bola. Persaingan di pasaran sekarang sangat ketat tidak seperti dulu pembeli yang datang ke Kamasan memesan lukisan. Kini dalam memenuhi kebutuhan hidup secara tidak sadar pelukis bersaing untuk mengikuti keinginan-keinginan konsumen. Kalau pelukis tidak berani menjemput bola dan hanya tinggal menunggu di rumah cenderung maklar-maklar yang mendapatkan keuntungan, sedangkan pelukis diperas hanya mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang tidak seberapa.

Kekuasaan dan jaringan yang dimiliki kapital berhasil memenangkan pertarungan dalam memproduksi dan mereproduksi seni sakral menjadi souvenir

untuk didistribusikan ke pasar. Pertarungan logika simbolik dengan logika ekonomi merupakan hasrat yang dijadikan topeng untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan dengan cara mengaburkan struktur lukisan idealisme tradisi menjadi produk baru yang semu sehingga berimplikasi terjadi perubahan. Oleh sebab itu Bourdieu (2010: v) menganalisis profanisasi sebagai logika ekonomi terbalik yang dimenangkan “pecundang” karena keberhasilan ekonomi.

(35)

27

massa sangat miskin rangsangan namun kaya fantasi, mampu membalikkan logika dan bujuk rayu yang autentik.

Pada era postmodern rangsangan pelukis secara kritis mengikuti perkembangan pasar dan aktif menawarkan komersialisasi berupa produk-produk baru sehingga terjadi gerakan ganda. Sesungguhnya pelukis di Kamasan sebagian besar ingin bekerjasama dengan kapital, di lain pihak ada kekhawatiran idealisme melukis ditinggalkan. Adi Susilo (2004) mengatakan, di Eropah rangsangan berinovasi untuk melahirkan produk-produk baru merupakan gerakan ganda, dijadikan kritik dari kesewenang-wenangan modernisme yang lebih mengedepankan rasionalisme, individualisme, serta meninggalkan tradisi. Berbeda dengan praktik-praktik komersialisasi seni lukis wayang Kamasan di Klungkung, Bali dapat berjalan sangat fleksibel serasi, seimbang, dan berkesinambungan.

Berdasarkan struktur pertarungan hasrat dalam ranah produksi kultural Suciarmi, menyatakan dulu dia harus belajar sendiri dengan tekun dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan dalam melukis tradisi dari ngedum karang, ngereka,

ngewarna, neling, nyawi, ngampad, buluhin, nyoca, dan meletik. Ia juga sangat bersyukur diberikan kesempatan oleh pamannnya untuk mengembangkan bakat-bakat melukis yang dimiliki. Sebagaimana yang dikatakan dalam wawancara Nurdjanti dalam penelitian“Vibrasi Seni lukis wayang Kamasan, Bali, Indonesia”, tahun 2006 sebagai berikut.

“...yen melajah memasak anak aluh....yan yem jangin uyah...yan pakeh jangin yeh...yan ngalih pipis mare keweh. Artinya, kalau belajar memasak sangat gampang kalau tidak terasa garamnya ditambah garam, kalau terlalu asin, ditambah air...yang susah adalah mencari uang” (Wawancara dengan Suciarmi, 2006 di Banjar Sangging).

(36)

28

(2010), bahwa produksi kultural merupakan permainan homologi habitus berupa kebiasaan-kebiasaan melukis masyarakat Kamasan yang memiliki keinginan (ranah) untuk meningkatkan kesejahteraan. Ranah digambarkan sebagai logika permainan sebuah rasa praksis yang melahirkan praktik dan persepsi mengontruksi objek-objek kreatif melalui proses komodifikasi. Relasi produksi kultural dalam arena kekuasaan muncul hampir sempurna di antara dua struktur yang bersilangan. Konsep habitus

merepresentasikan niat untuk memperoleh keuntungan (Bourdieu, 2010: xv). Dalam permainan arena kekuasaan Bourdieu juga mengatakan bahwa arena permainan produksi kaum kapital melalui perpanjangan tangan para agen yang berusaha mendominasi perajin untuk memproduksi keinginan-keinginan mereka sendiri dengan meminjam keterampilan perajin untuk melakukan komodifikasi dengan cara mendaur-ulang dan permainan simulasi.

Hasrat kapitalisme dalam permainan simulasi mentransformasikan ide-ide mendaur-ulang menjadi produk-produk baru untuk didistribusikan ke pasar. Produk baru yang didistribusikan di pasar berorientasi ekonomi dengan pertimbangan standarisasi uang. Semakin tinggi standarisasi yang ingin dikonsumsi konsumen menunjukkan semakin tinggi pula uang yang dipertukarkan untuk memperoleh produk yang distandarkan. Produk standarisasi pasar sangat dinamis dan variatif. Produk hand made dengan struktur idealisme tradisi terikat pakem sangat langka di pasar karena bahannya sulit diperoleh, prosesnya sangat panjang, dan beberapa bahan dasar cendrung menghilang dipasaran.

(37)

29

Gambar wayang dengan tokoh para dewa, sesuai gambar 4.2 digunakan untuk menghias souvenir, seperti map, tempat tisu, dan dompet sebagai gambar pencitraan untuk meningkatkan nilai jual dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Citra yang dilekatkan pada pada gambar wayang bukan merupakan representasi realitas, melainkan citra yang dikonstruksi melalui mekanisme terjadinya transformasi dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Citra merupakan salinan realitas di luar dirinya, yang disebut Baudrillard sebagai simulakra. Realitas citra produk kultural yang dijual di pasar ditandai dengan keautentikan belaka dengan cara mengaburkan estetika tinggi dengan estetika rendah, yang oleh Piliang (2008: 290) disebut sebagai permainan simulasi. Keautentikan gambar wayang dikaburkan dengan cara menyederhanakan bentuk, mengurangi kerumitan diganti dengan memanfaatkan medium-medium baru dan permainan simulasi sesuai dengan order-order pasar. Andy Warol, seorang pelukis berkebangsaan Amerika Serikat tokoh pergerakan seni postmodern dalam menyoroti proses kreativitas mengatakan, ia tidak senang lukisannya hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu. Ia lebih suka mengopi lukisannya menjadi produk massa dengan tidak mengurangi kualitas sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat luas (Bourdieu, 2010 dalam Strinati, 2004: 134).

Pandangan yang sama juga diutarakan oleh Made Puspa yang sering menerima orderan pasar dengan ketentuan-ketentuan yang sudah tertuang dalam model. Ia tidak berdaya menolak keinginan pengelola industri karena dapat mempekerjakan banyak orang khususnya para ibu rumah tangga. Kalau tidak dilayani membuat sketsa-sketsa pasar ia pun khawatir akan terjadi banyak pengangguran sebab pekerja-pekerja ini memiliki keterampilan yang sangat terbatas. Puspa sangat gembira melihat ibu-ibu di Desa Kamasan bekerja sangat ulet bergabung untuk mengerjakan produk-produk yang dijual di pasar tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai seorang ibu.

(38)

30

tergantung pada kemampuan konsumen membeli. Pembeli yang berani membayar mahal mendapatkan karya yang bagus, baik dari penggarapan maupun dari sisi penggunaan bahan. Di lain pihak dari kalangan pasar kelas ekonomi menengah juga harus digarap karena merupakan pasar sangat potensial. Dari wawancara yang dilakukan secara terpisah dengan Mangku Gina, Mastra, dan Made Darmanta, yang menyatakan diri sebagai pelukis pasar mengatakan sebagai berikut.

“...sesungguhnya kalau mendapatkan kesempatan, ia dapat melukis tradisi wayang Kamasan sama baiknya dengan teman-temannya. Di tahun 1980-an ia belajar melukis bersama teman-temannya pada Nyoman Mandra. ...memang tidak semua yang belajar melukis saat itu mengambil profesi sebagai pelukis. ... secara teknis kemampuan melukis teman-temannya tidak jauh berbeda dengan yang lain, hanya faktor nasiblah yang menunjukkan perbedaan itu” (Wawancara secara terpisah dengan Mangku Gina, Mastra, dan Made Darmanta, 2014 di Kamasan).

Pada dasarnya orang-orang yang pernah belajar melukis pada Nyoman Mandra memiliki kemampuan teknis melukis hampir sama karena diajar teknik-teknik melukis secara bersama-sama. Kalaupun ada perbedaan lebih banyak disebabkan oleh suratan takdir sehingga ada pelukis yang terpinggirkan. Menurut Mastra, pelukis yang terpinggirkan ini kalau mendapatkan kesempatan mampu menghasilkan karya lukisan dengan idealisme tradisi yang menjunjung pakem. Ia bersama teman-temannya sering membantu mengerjakan order-order dari Nyoman Mandra yang di fungsikan untuk menghias bangunan suci, bangunan hotel dan menghias bangunan rumah tinggal. Artinya, kemampuannya melukis sudah tidak diragukan oleh gurunya. Akibat dari kebutuhan hidup yang begitu kompleks ia merelakan idealismenya memproduksi produk lukisan pasar untuk melayani order-order dari pemilik gallery, artshop, dan pemilik modal.

(39)

31

memberikan lapangan pekerjaan baru sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Pola-pola produksi yang dikembangkan memproduksi produk pasar dikaburkan dengan teknik hafal-hafalan dengan memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kemampuan menghafal dimanfaatkan oleh pemilik modal sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang mirip dan sepadan. Teknik menghapal pelukis sangat khas dan unik, Van Peursen (1976: 120) dalam “Strategi Kebudayaan”, mengatakan bahwa teknik merupakan suatu kelanjutan dari badan manusia yang alamiah, sebagai contoh perkembangan alat fotografi sebagai “camera obscura” (bilik gelap) maka disadari bahwa matanya sendiri juga berfungsi diproyeksikan ke dalam alat foto. Sebaliknya teknik ngeblad digunakan untuk menggandakan sketsa-sketsa dengan menggunakan bantuan kaca tembus (nyuluh) dan pantulan sinar.

Bentuk transformasi yang diproduksi menggunakan teknik ngeblad adalah

(40)

32

Perubahan produksi idealisme tradisi ketika diprofanisasi menjadi produk massa untuk didistribusikan ke pasar berimplikasi terjadi desakralisasi. Pelukis pasar merupakan gerakan massa baru postmodern (new-age) yang berkembang sangat subur di Desa Kamasan. Sebagian besar pelukis sudah terjebak oleh permainan kapitalisme dengan alasan meningkatkan kesejahteraan dan kreatifitas. Tetapi tidak dipungkiri industri kreatif mampu memberikan lapangan pekerjaan baru untuk meningkatkan kesejahtraan keluarga, meluasnya distribusi dan konsumsi dan munculnya pelukis perempuan. Simbol-simbol agama yang diprofanisasi menjadi produk massa seperti dompet, tempat tisu, tas sangat disadari kalau tidak diawasi dengan baik dapat melunturkan nilai-nilai tradisi budaya lokal dan terpasungnya kreativitas melukis. Meskipun demikian desakralisasi yang terjadi belum bersifat radikal.

Arena bermain-main, sebagai daya tawar untuk menentukan harga.

(41)

33

Perubahan produksi seni lukis wayang Kamasan yang dapat disoroti ketika mengalami transformasi adalah bentuk estetika, pembagian ruang, sketsa, pewarnaan, tema, penyelesaian, dan penyajian.

1. Bentuk Estetika

Nilai-nilai mitos yang dilekatkan pada lukisan wayang dapat membayangkan hakikat kehidupan. Manusia dibayangkan memiliki karakter seperti dewa, sebagai binatang dengan ekspresi marah, galak, sedih, dan meditasi. Simbol-simbol yang ditangkap melalui penyerahan diri ditransformasikan dalam bentuk lukisan untuk selanjutnya oleh penguasa dipakai sebagai sarana pencerahan kepada umat. Estetika pencerahan memiliki ketentuan sangat mengikat dan baku dimulai dari

(42)

34

Bentuk Estetika Seni lukis wayang Kamasan

Atma Prasangsia “ estetika pencerahan

pramodern

“Wejangan Drona” Bentuk estetika semantik

dan pragmatis era modern

Produk pasar estetika oposisi era postmodern

Gambar 4.3

Perubahan bentuk estetika, pramodern, modern dan postmodern. Dokumen I Wayan Mudana 2014.

Untuk menunjukan identitas diri, Gouda (1995) dalam “Dutch Culture Overseas”, (Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942) Gubernur Jendral De Joeng menunjuk Walter Spies dan R. Bonnet melakukan pembinaan terhadap pelukis Bali. Dalam pembinaan tersebut diperkenalkan estetika barat tentang teknik-teknik melukis modern seperti (1) stilirisasi, (2) komposisi, (3) proporsi, (4) ekpspresi, persfektif dan (5) penyajian. Mengingat sebagian dari warna Bali seperti geluga

sangat dop (kurang cerah) maka didatangkan beberapa warna, seperti kencu, tinta Cina, atal, perada gede, dan ancur dari negeri Cina. Semua teknik dan warna Bali yang sudah baik terus dilanjutkan. Semua teknik dan warna tersebut untuk selanjutnya diintegrasikan sebagai teknik dan warna tradisi yang memiliki identitas sangat khas dan unik. Pelukis juga didorong untuk menunjukan identitas diri.

(43)

35

dikembangkan selain ingin menunjukkan aktualisasi diri dengan mempertahankan teknik-teknik melukis tradisi yang terjadi secara turun-temurun juga dikomersialkan menjadi produk penunjang pariwisata. Untuk mengembangkan estetika yang efektif, efisien, dan ekonomis digunakan bahan dan peralatan pabrikan. Ratna (2011: 235) dalam “Estetika sastra dan Budaya”, mengatakan, pemikiran manusia modern sangat dinamis, universal dan individualisme menyebabkan imajinasi penciptaan bergeser dari yang berorientsi memohon, menunggu, pasrah berubah menjadi lebih aktif dan memberikan penjiwaan berupa ekspresi. Sebagaimana dengan lukisan yang berjudul “wejangan Drona” yang dilukis oleh Wayan Puspa diangkat dari cerita Mahabharata. Kepekaan intuisinya mengantarkan ia berhasil memberikan jiwa seolah-olah lukisan yang dibuatnya tampak hidup. Menurut Crose (1866-152) dalam Ratna (20011: 83), intuisi dianggap sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui daya khayal. Itu berarti bahwa Puspa sudah mampu mentransformasikan karakter diri berupa daya khayal ke dalam bentuk lukisan. Kemampuan mengekspresikan daya khayal ke dalam satu bentuk lukisan merupakan identitas modern yang bersifat subjektif.

(44)

36

Gambar 4.4 Estetika Oposisi Seni lukis wayang Kamasan dalam bentuk payung, angklung, tas dll. Dokumen: I Wayan Mudana, 2014)

(45)

37

Karena uang aktivitas transformasi tumbuh lebih bebas dan fleksibel sarat dengan kepentingan sehingga memicu munculnya produk-produk kreatif berupa produk baru dengan cara meniru. Kemampuan meniru yang dimiliki perajin-perajin Desa Kamasan dimanfaatkan sebagai modal oleh kapitalisme untuk memproduksi keinginan-keinginannya melalui permainan simulasi untuk memproduksi produk baru. Kemampuan kapital yang dimiliki oleh kapitalisme secara halus mampu mendominasi pelukis dengan deposit-depositnya sehingga pelukis tidak berdaya menolak keinginan-keinginan pemilik modal untuk melakukan profanisasi lukisan wayang menjadi produk pasar.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bentuk estetika seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodern sudah berubah dari estetika pencerahan menjadi pencitraan untuk menggambarkan dimensi hidup yang mapan dan bersifat hedonistik. Dalam perubahan tersebut idealisme pakem cenderung dipinggirkan dengan kepentingan ekonomi yang mengakibatkan uang menjadi sangat berkuasa sehingga terjadi pemujaan terhadap “uang”.

2. Pembagian Ruang

Pembagian ruang dalam melukis wayang Kamasan disebut ngedum karang.

Ngedum bahasa Bali berarti membagi, sedangkan karang berarti halaman atau bidang. Ngedum karang menurut N. Mandra, berarti membagi ruang atau bidang atau dapat juga diartikan sebagai pembatas/batas limit dari ruang atau bidang. Ruang merupakan wujud tiga matra yang mempunyai panjang lebar dan tinggi (Kartika, 2004: 53). Lebih lanjut Kartika mengatakan, ruang dalam seni rupa dibagi atas dua

(46)

38

adanya batas agar ruang dapat dilihat. Ruang tidak dapat dijamah, tetapi dapat dimengerti (Soecipto dan Widodo, 1990: 22).

Ngedum karang atau pembagian ruang juga disebut membuat komposisi lukisan agar memperoleh gambar-gambar yang harmonis antara besar kecilnya wayang dengan luas bidang yang dilukis. Walter Spies dan R Bonnet ketika ditugaskan oleh Gubernur Jendral De Joeng melakukan pendampingan terhadap pelukis Bali tahun 1930-an khususnya di Desa Kamasan memperkenalkan teknik-teknik membuat komposisi, proporsi, dan menstilir bentuk untuk dituangkan dalam satu ruang atau bidang. Secara tradisi pembagian ruang mengikuti pola pemikiran “bentuk mengikuti makna” (form follow meaning). Makna yang digambarkan dalam visual lukisan wayang harus mengikuti cerita yang terdapat pada karya-karya sastra, seperti Ramayana, Mahabharata, Sutasoma dan Tantri. Ruang juga dapat terbentuk melalui susunan elemen-elemen dengan cara mengkomposisikan objek-objek dari alam bawah (bur), alam tengah (buah), dan alam atas (swah). Dalam perspektif

hierarkis pembagian ruang dapat menggambarkan tingkatan dan status dari pertokohan yang divisualkan menjadi gambar wayang. Seperti penggambaran dewa dilukiskan pada posisi yang tertinggi makin kebawah diikuti oleh tokoh yang statusnya lebih rendah dengan cara menumpuk tokoh-tokoh wayang dari tingkatan paling bawah ketingkatan paling tinggi. Gambar wayang yang tertumpuk hanya memperlihatkan beberapa bagian yang menonjol, seperti bagian badan dan kepala. Sedangkan wayang yang digambarkan secara utuh merupakan bagaian dari inti cerita yang dijadikan pusat pandangan. Untuk memperoleh pembagian ruang yang harmonis selalu dimunculkan tokoh punakawan atau penyeroan untuk memberikan narasi terhadap terhadap pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pelukis.

(47)

39

proporsi; proporsi rentet, nyepek, dan lanjar. Teknik-teknik tersebut disarikan dari teknik melukis tradisional untuk selanjutnya diintegrasikan menjadi teknik melukis tradisi wayang Kamasan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seni lukis wayang Kamasan ketika masuknya pengaruh Barat sebagai tanda mulainya peradaban modern sangat bersifat adaptif terhadap nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan tradisi melukis di desa Kamasan. Kebiasaan-kebiasaan tradisi yang khas dan unik tetap dipertahankan sebagaimana dengan pembagian ruang yang disebut ngedum karang.

Pembagian ruang dibagi menjadi beberapa adegan dengan mempertimbangkan ruang atau bidang. Pembagian adegan merupakan ruang untuk mengomunikasikan tema-tema cerita. Setiap adegan terdapat beberapa tokoh wayang yang memerlukan ruang atau bidang. Wayang dari pihak kebajikan diberi ruang disebelah kanan, sedangkan tokoh yang mewakili kebatilan diberikan ruang di sebelah kiri. Dalam komposisi horizontal yang memanjang biasanya mengangkat cerita kolosal dibutuhkan ruang sebagai pembatas lebih banyak. Ruang digunakan juga digunakan sebagai pembatas untuk membedakan adegan cerita yang satu dengan cerita yang lain.

(48)

40

Pembagian ruang, sesuai dengan gambar 4.5, tidak lagi mencerminkan struktur idealisme tradisi tetapi sudah berubah menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan konsumen berupa order-order pasar dan pencitraan, “bentuk mengikuti keinginan konsumen” (form follow fun). Lukisan yang dibangun dalam ruang-ruang pencitraan diproduksi melalui kesepakatan-kesepakatan harga antara produsen dengan konsumen. Setiap ruang atau bidang lukisan yang diterapkan pada produk pasar dihitung karena ketika diproduksi membutuhkan biaya produksi. Hitungan-hitungan yang dilakukan dalam proses produksi sangat ditentukan oleh standarisasi dan kesepakatan harga. Semakin tinggi standar yang ingin dikonsumsi oleh konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih besar karena konsumen ingin mendapatkan kualitas produksi yang lebih baik. Ruang dan bidang dalam lukisan pasar dikaburkan antara sakral dan profan diganti dengan ruang-ruang semu dari permainan simulasi yang iseng dan tidak serius sehingga ruang terisi penuh dengan hitung-hitungan yang dibungkus dengan pencitraan.

Ruang pencitraan (pastiche) dalam produksi kultural bersifat hafal-hafalan, sebagaimana yang dikatakan pelukis senior Ni Made Suciarmi, yaitu melukis

Ruang Negatif Ruang Pencitraan

Ruang Positip RuangPertokohan

Ruang Pembatas

Gambar 4.5 Pembagian Ruang Dokumen: I Wayan Mudana, 2015

(49)

41

meenggal-enggalan atau mecepet-cepaten. Pigur wayang yang ditampilkan dalam ruang pencitraan sangat ngawur (brecolage) tidak mencerminkan hierarkis idealisme tradisi pakem tetapi merupakan ruang parodi, kitsch, camp, skizoprenia, untuk melakukan tawar menawar dalam menetapkan standarisasi dan mementaskan idealisme semu. Sifat-sifat ruang dalam produksi hafal-hafalan semata-mata bertujuan untuk mengejar target-target untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak, lebih besar, dan lebih cepat. Pembagian ruang yang dibuat berdasarkan target-target uang menghasilkan produk yang tidak serius dan iseng.

Ruang juga merupakan arena bermain untuk melakukan tawar-menawar sehingga diperoleh kesepakatan harga. Pembagian ruang dalam produk pasar lebih berorientasikan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan target-target dibandingkan dengan mempertimbangkan harmonisasi. Ruang positif dan negatif dikaburkan menjadi karya-karya produksi dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari konsumen. Ruang-ruang yang tersedia lebar seringkali diberikan hiasan tidak serius dengan pengulangan-pengulangan yang membosankan (menoton). Pembagian ruang yang diproduksi tidak berdasarkan keseriusan tetapi bersifat pesanan dan hafalan-hafalan disebut ruang semu karena dibuat untuk mengejar target-target komersialisasi. Ketika terjadi ruang-ruang kosong pada sudut-sudut yang layak diberikan perhatian, pada saat itu pula diberikan tempelan-tempelan berupa hiasan yang iseng untuk mengaburkan kesan harmonis.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembagian ruang dalam produksi kultural sudah berubah dikaburkan dengan ruang-ruang semu yang penuh dengan perhitungan untung dan rugi. Pembagian ruang dijadikan arena simulasi dan pencitraan untuk melakukan tawar-menawar harga sehingga berimplikasi terbentuk pembagian ruang yang tidak serius (brecolage) dan tidak memiliki aura.

3. Sketsa

(50)

42

disebut molokan dan ngereka, juga disebut “ngorten”. Dewa Batuan (alm) seorang pelukis tradisi Ubud mengatakan ngorten artinya “ngorte” (bercerita). Untuk memberikan penghayatan mendalam tentang cerita yang ditransformasikan dalam bentuk lukisan, pelukis harus ngorte (bercerita) dengan bidang, ruang, alam, dan dengan diri sendiri. Oleh sebab itu, ketika ngorten, tidak jarang pelukis menirukan suara monyet ketika melukis wayang Hanoman atau berakting sebagaimana orang kuat ketika melukis wayang Bima. Itu berarti bahwa pelukis betul-betul menghayati cerita dan tokoh-tokoh dalam pewayangan.

Unsur dominan yang terkandung dalam sketsa menurut Mandra adalah garis seperti: garis lurus, lengkung, patah-patah, dan zigzag. Penggunaan garis dalam membuat sketsa sering dikombinasikan antara garis lurus, lengkung, dan putus-putus agar tidak terkesan menoton. Garis berperan dalam pengungkapan bentuk, pembatas ruang dan bidang, motif-motif, dan membuat hiasan penunjang. Garis juga berperan sebagai kontur pada figur-figur bentuk atau objek yang akan dilukis. Setelah proses pewarnaan dilanjutkan dengan memberikan kontur-kontur berupa ornamen yang menghias bidang-bidang pada bagian gelung, atribut, dan busana. Kontur yang menghias bidang disebut “nyawi” atau “nyawis” yang berarti selesai atau menyelesaikan.

Gambar

Gambar Bagan 2.1
Gambar 4.1 Seni Sakral
Tabel 6.1
Gambar 4.3 Perubahan bentuk estetika, pramodern, modern dan postmodern.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tersebut maka motif pelukis wanita dalam mengkespresikan diri melalui seni. lukis dibagi menjadi dua

Sementara bagaimana konsep tersebut digubah menjadi bahasa visual seni lukis kontemporer tentu membutuhkan metode, pada konteks inilah teori ‘art practice as a

Proses penciptaan suatu karya seni diawali dengan inspirasi dari pengalaman cinta yang mendorong pencipta dalam berkarya.. Dengan demikian karya lukis

Konsep ini kemudian diterjemahkan ke dalam karya seni lukis kontemporer yang memadukan antara adegan kepahlawanan pada relief Yeh Pulu, dengan konstruksi figurasi gaya baru,

PERANAN PELUKIS ADE MOELYANA DALAM MENGEMBANGKAN SENI LUKIS DARI LIMBAH PELEPAH PISANG DI CIMAHI: (Kajian historis dari tahun 1969-2010).. U niversitas Pendidikan Indonesia

Skripsi dengan judul “Lembaga Seniman Yin Hua: Media Aktualisasi Seni Lukis Etnis Tionghoa dan Perannya dalam Kehidupan Pelukis Tionghoa Tahun 1955-1965”

Penciptaan karya seni lukis pada Tugas Akhir ini terinspirasi dari kehidupan dalam keluarga pengkarya yang percaya bahwa keceriaan anak-anak adalah sesuatu yang