Puji syukur, Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul “DETEKSI
PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTAMADYA SURABAYA”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya Prof._Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Dr. Endang Suprihati, drh., MS selaku Pembimbing Utama dan Sunaryo Hadi Wardito, drh., MP selaku Pembimbing Serta yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan membantu selama penelitian hingga tulisan skripsi ini diselesaikan.
Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP., Nusdianto Triakoso, drh., MP. dan Lianny Nangoi, drh., MS selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi selama proses penulisan skripsi.
Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya atas wawasan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Kedua orang tua penulis yang tercinta, ayah H. Nuryadi dan ibu Mas „Ulah yang telah memberikan segala dukungan moril dan materiil serta nasehat, bimbingan, motivasi, semangat serta doa yang tak pernah putus dalam penyusunan skripsi ini, begitu juga dengan adik saya Bahruddin Rohimiy dan Primadani Wibisono selaku calon suami sekaligus sahabat terdekat saya yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa yang tak pernah berhenti selama proses penyusunan skripsi. Kalian luar biasa.
Sahabat-sahabat tercinta Dyah Eka, Megan Reinata, Reno Boma, Yonatan Dimas, Reinata Saras, Ellen Wahyu, Ridho, Ardi dan teman-teman kelas A angkatan 2011 serta seluruh rekan yang selalu memberikan semangat, keceriaan dan cintanya serta teman-teman angkatan 2011 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Mas Yoga selaku laboran Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas bantuan teknik dalam proses penelitian ini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini.
Penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses pengumpulan sampel feses kucing yang digunakan pada penelitian untuk skripsi ini.
yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga hasil yang dilahirkan dalam skripsi ini bermanfaat sebaik-baiknya.
DAFTAR ISI
2. 5. Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing ... 11
2.5.1. Genus Eimeria ... 11
a. Morfologi ... 11
b. Siklus Hidup ... 12
b. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 15
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing
Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36
4.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36
4.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 40
4.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya ... 41
4.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya ... 43
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 46
5.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 47
5.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 51
5.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya ... 53
Gambar Halaman
2. 1 Saluran Pencernaan Kucing ... 9
2. 2 Morfologi Ookista Eimeria sp. yang Telah Bersporulasi ... 12
2. 3 Siklus Hidup Eimeria sp. ... 12
2. 4 Morfologi Ookista Isospora sp. ... 15
2. 5 Morfologi Stadium Entamoeba histolytica Perbesaran 1700x ... 17
2. 6 Gambar Mikroskopik Toxoplasma gondii ... 20
2. 7 Morfologi Stadium Tropozoit dan Kista Balantidium coli ... 23
2. 8 Morfologi Giardia sp. ... 25
2. 9 Bentuk Tropozoit Trichomonas ... 26
2. 10 Gambar Mikroskopik Cryptosporidium sp. ... 27
2. 11 Siklus Hidup Cryptosporidium ... 28
3. 1 Alur Penelitian Deteksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Surabaya ... 35
4. 1 Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing .. 39
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4. 1 Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36 4. 2 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada
Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya ... 38 4. 3 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada
Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 38 4. 4 Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan
pada Kucing Peliharaan di Komatadya Surabaya ... 41 4. 5 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada
Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Umur ... 41 4. 6 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada
Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Sistem Pemeliharaan .... 43 4. 7 Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi
Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan
di Kotamadya Surabaya ... 43 4. 8 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada
Kucing Berdasarkan Kondisi Feses ... 44 4. 9 Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Pemeriksaan Protozoa ... 70
a. Natif ... 70
b. Apung ... 70
c. Sedimentasi ... 70
2. Pewarnaan Asam Kinyoun ... 72
3. Data dan Hasil Pemeriksaan Protozoa Saluran Pencernaan pada Sampel Feses Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 73
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
cm = sentimeter
µm = mikrometer
mg = miligram
rpm = rotasi per menit K2Cr2O7 = Kalium Bikromat NaCl = Natrium Clorida o
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Kucing merupakan salah satu hewan yang mempunyai daya eksotik tertentu sehingga banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat (Arimbi, 2010). Sistem pemeliharaan kucing yang diterapkan masyarakat berbeda-beda, menurut Hildreth et al. (2010) ada tiga macam sistem pemeliharaan: (1) kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya (2) kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya (3) kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja.
umumnya memperlihatkan gejala klinis diare. Diare adalah manifestasi dari defekasi abnormal yang ditandai dengan abnormalitas frekuensi, konsistensi dan volume feses yang diakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam feses. Penyebab diare umumnya karena infeksi virus, bakteri, maupun parasit saluran pencernaan (protozoa, cacing dan lain-lain) (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013; Pabundu, 2007).
Infeksi protozoa pada saluran pencernaan tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis, hanya pada infestasi yang berat yang dapat menyebabkan diare, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun, serta gangguan pertumbuhan pada hewan usia muda. Beberapa jenis protozoa saluran pencernaan yang dapat menyerang kucing adalah genus Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Isospora, Eimeria, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium
(Soulsby, 1986; Levine, 1995).
mengamati infeksi cacing pada saluran pencernaan, teknik pemeriksaannya adalah dengan membedah dan mengamati seluruh organ saluran pencernaan kucing. Faktor-faktor yang diamati adalah angka prevalensi infeksi protozoa dan cacing saluran pencernaan, pengaruh perbedaan jenis kelamin serta pengaruh perbedaan wilayah di Surabaya.
Sedangkan studi penilitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menemukan infeksi protozoa saluran pencernaan kucing sebanyak 31,3 % dari 80 ekor kucing yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan terhadap 40 ekor kucing liar dan 40 ekor kucing peliharaan yang terdapat di kota Denpasar, Bali. Pada kucing yang dipelihara, dari 40 sampel yang diperiksa sebanyak 9 sampel (22,5%) terinfeksi protozoa saluran pencernaan, Sedangkan kucing yang hidup liar, didapatkan 16 sampel (40 %) terinfeksi protozoa saluran pencernaan. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah Giardia felis, Cryptosporadium felis, Sarcocystis spp, Hammondia hamondi,
Toxoplasma gondii dan Isospora spp.
1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Seberapa besarkah prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing
peliharaan di Kotamadya Surabaya ?
2. Protozoa apa sajakah yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ?
3. Apakah perbedaan umur kucing berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ? 4. Apakah perbedaan sistem pemeliharaan berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ?
5. Apakah ada perbedaan infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya?
1. 3. Landasan Teori
berasap dari genus Isospora, Eimeria, Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999).
Genus Isospora, Eimeria, Toxoplasma dan Cryptosporidium mempunyai bentuk ookista yang dapat ditemukan dalam feses, karena pada siklus hidupnya ookista yang dihasilkan protozoa tersebut akan keluar dari rongga usus yang selanjutnya akan terbawa oleh feses (Soulsby, 1986).
Berbeda dengan keempat genus diatas, genus Entamoeba, Balantidium dan Giardia dapat ditemukan dalam feses kucing berupa kista dan tropozoit, karena
pada siklus hidupnya hanya terjadi dua fase tersebut. Sedangkan genus Trichomonas hanya dapat ditemukan dalam bentuk tropozoit, karena dalam siklus
hidup Trichomonas hanya mempunyai satu fase yaitu tropozoit (Soulsby, 1986; Prasetyo, 2004).
Bentuk-bentuk protozoa yang keluar bersama feses kucing tersebut dapat menjadi sumber penularan penyakit protozoa pada kucing lain, karena dapat mencemari tanah, air dan pakan kucing. Sedangkan pada kucing muda penularan dapat terjadi secara vertikal yakni melalui air susu induk yang sering disebut dengan penularan transmammary (Soulsby, 1986; Levine, 1995).
1. 4. Tujuan Penelitian
2. Mengetahui jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.
3. Mengetahui pengaruh perbedaan umur kucing terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 4. Mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan terhadap prevalensi infeksi
protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 5. Mengetahui adanya infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing
peliharaan baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya.
I. 5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi besar prevalensi dari jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan kucing peliharaan Kotamadya Surabaya.
2. Memberikan informasi jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang menginfeksi kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.
3. Memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi besar prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Klasifikasi Kucing
Kucing merupakan salah satu hewan liar yang sudah mengalami domestikasi. Kucing pertama kali didomestikasi oleh nenek moyang orang Mesir (Anonim, 2002). Kucing sudah tersebar di seluruh dunia. Kucing mengalami perubahan bentuk tubuh pada saat domestikasi dan adaptasi sesuai lingkungan baru mereka (Norsworty, 1993).
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Karnivora Famili : Felidae Genus : Catus
2. 2. Saluran Pencernaan Kucing
Sistem pencernaan kucing terdiri dari kelenjar pencernaan dan organ pencernaan yang diawali dari rongga mulut sampai anus. Rongga mulut pada kebanyakan kucing domestik berukuran pendek dan lebar, begitu juga dengan esofagusnya. Ukuran esofagus kucing relatif lebar dan dapat otomatis melakukan dilatasi saat terjadi penyempitan pada rongga esofagus (Getty, 1975).
Lambung kucing memiliki ukuran yang relatif besar untuk menyimpan makanan dalam jumlah yang sangat banyak. Bagian kanan lambung lebih besar dan berbentuk membulat, sedangkan bagian kirinya lebih kecil dan berbentuk silinder. Ketika lambung terisi penuh, maka lambung akan otomatis bergerak secara piriform. Namun ketika lambung kosong atau mendekati kosong, bagian kiri lambung akan berkontraksi dengan sangat kuat (Getty, 1975).
Usus halus kucing memiliki panjang rata-rata empat meter dan menempati sebagian besar cavum abdomen. Usus halus kucing dibagi menjadi tiga bagian, yakni duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum menempati urutan pertama bagian usus halus dan memiliki ukuran paling pendek diantara yang lainnya. Posisi duodenum terletak setelah pilorus. Berbeda dengan duodenum, jejunum memiliki ukuran terpanjang diantara bagian usus halus. Sedangkan ileum adalah bagian akhir dari usus halus yang berjalan sepanjang sekum dan merupakan awal dari usus besar pada bagian akhir ileum. Lapisan otot pada dinding ileum relatif tebal dan terdapat papil di sepanjang dinding ileum yang disebut dengan ileal papilla. Namun perbedaan antara jejunum dan ileum tidak dapat terlihat secara
merupakan bagian dari usus besar yang memiliki panjang 12,5 – 15 cm. Gerakan fleksor sekum dipertahankan oleh peritonium yang menempel juga pada ileum. Kolon juga termasuk dalam bagian usus besar. Kolon dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian ascending (naik), transverse (melintang), dan descending (turun). Bagian ascending memiliki ukuran yang sangat pendek, ujung kolon bagian ascending yang membelok ke kiri dan melintasi bidang median perut kucing disebut kolon bagian transverse. Sedangkan kolon bagian descending letaknya condong ke arah bidang median perut kucing yang kemudian dilanjutkan dengan rektum (Getty, 1975).
Gambar 2.1 Saluran pencernaan kucing (sumber: Allen et al., 2011)
2. 3. Diare
peningkatan jumlah cairan feses. Diare merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan dan muncul secara konsisten pada anjing atau kucing yang menderita penyakit atau gangguan intestinal (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013).
Berbagai penyebab dapat mengganggu proses fisiologis normal intestinal sehingga dapat meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi cairan dan ion oleh intestinal. Oleh karena itu, diare dapat dan sering menjadi satu-satunya tanda klinis yang dapat dikenali pada hewan yang mengalami gangguan atau menderita penyakit pada saluran pencernaan (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013).
2. 4. Parasit pada Saluran Pencernaan Kucing
Istilah parasit berasal dari bahasa Yunani yang artinya “makan di meja orang lain”. Namun, setelah mengalami beberapa kali penyempurnaan maka oleh beberapa penulis disepakati bahwa arti parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain yang lebih besar untuk mendapatkan makanan. Organisme yang lebih besar selanjutnya disebut induk semang atau inang atau hospes (Noble and Noble, 1989).
Noble, 1989).
Endoparasit adalah parasit yang hidup pada tubuh induk semangnya. Protozoa adalah parasit yang tergolong endoparasit karena predileksinya berada di dalam tubuh induk semang (Noble and Noble, 1989).
Seperti hewan lainnya, kucing pun bisa terinfeksi berbagai jenis parasit. Begitu juga endoparasit yang menyerang saluran pencernaan (Nealma dkk., 2013).
2. 5. Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing
Protozoa tersusun dari organel-organel yang merupakan deferensiasi dari satu sel. Protozoa termasuk eukariotik, dimana inti sel mempunyai membran atau selaput yang memisahkan dari sitoplasmanya (Levine, 1995).
Berbagai genus protozoa dapat tersebar dan menginfeksi seluruh tubuh kucing. Namun, hanya beberapa jenis protozoa dapat menyerang saluran pencernaan kucing, yakni dari genus Eimeria, Isospora, Entamoeba, Toxoplasma, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999).
2.5.1. Genus Eimeria
a. Morfologi
Beberapa spesies mempunyai mikrofil yang tertutup oleh microphile cup (Levine, 1995).
Gambar 2.2 Morfologi ookista Eimeria sp. yang telah bersporulasi (sumber: Levine, 1995)
Siklus hidup dimulai dari tertelannya ookista infektif yakni ookista yang berspora oleh induk semang. Selanjutnya di dalam usus induk semang, dinding ookista pecah oleh tekanan dinding usus dan enzim tripsin yang dibebaskan ke dalam usus, hal ini menyebabkan terbebasnya sporokista. Selanjutnya sporokista yang pecah karena proses pencernaan akan membebaskan sporozoit. Sporozoit yang bebas akan bergerak dan menembus sel epitel usus halus. Parasit akan mengadakan reproduksi secara seksual dan aseksual di dalam sel epitel usus (Levine, 1995).
Sporozoit yang berada dalam sel epitel usus halus akan membulat dan menjadi meront atau skizon generasi pertama. Oleh suatu proses reproduksi aseksual atau yang disebut dengan skizonogi setiap meront akan membentuk 900 merozoit yang panjangnya masing-masing dua sampai tiga mikrometer. Selanjutnya meront generasi pertama akan membentuk 200 – 350 merozoit yang panjangnya kira-kira 16 µm dengan cara multiple fission atau pembelahan banyak (Levine, 1995).
c. Patogenesis dan Gejala Klinis
Hewan muda lebih peka dibandingkan hewan tua. Periode prepaten masing-masing spesies berbeda tergantung proses perkembangan protoza di dalam sel induk semang. Rata-rata perkembangan Eimeria sp. selama tiga minggu tergantung spesies. Gejala klinik yang terlihat adalah anoreksia, tubuh hewan terinfeksi menjadi lemah, dan sedikit mengalami peningkatan suhu tubuh yang diikuti dengan diare yang bercampur darah atau bahkan kematian. Induk semang tampak anemia karena terjadi pendarahan usus. Kematian induk semang dapat terjadi pada hari ke tujuh setelah gejala klinik timbul. Namun waktu yang dibutuhkan untuk kembali normal sangat lama (Levine, 1995; Noble and Noble, 1989).
2.5.2. Genus Isospora
a. Morfologi
Gambar 2.4 Morfologi ookista Isospora sp. (sumber: Soulsby, 1986) b. Patogenesis dan Gejala Klinis
Koksidia adalah penyakit yang disebabkan mikroskopik parasit yang hidup disaluran pencernaan dari anjing dan kucing. Penyakit ini seringkali ditemukan, tetapi sangat jarang menyebabkan gejala pada hewan dewasa. Pada anak anjing dan kucing, gejala yang sering adalah diare atau bahkan bisa menyebabkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari Genus Isospora (Levine, 1995; Subronto, 2006).
2.5.3. Genus Entamoeba
Entamoeba histolytica adalah spesies yang paling patogen dari genus Entamoeba dan sebagai penyebab dari disentri amuba pada manusia, primata, anjing, kucing, dan tikus. Entamoeba histolytica merupakan spesies patogen karena dapat menyebabkan kelemahan dan disentri yang fatal (Leventhal and Cheadle, 1996; Chessbrough, 1998).
a. Morfologi
Tropozoit Entamoeba histolytica berukuran 10 – 60 µm, berinti bulat dengan diameter empat sampai tujuh mikrometer. Membran intinya berupa garis dan mempunyai kromatin, sehingga inti terlihat seperti cincin. Sitoplasma Entamoeba histolytica terbagi menjadi dua, yakni ektoplasma dan endoplasma yang di dalamnya terdapat vakuola makanan yang berisi eritrosit, bakteri dan reruntuhan sel. Isi pada vakuola makanan inilah yang membedakan spesies yang patogen dan non patogen. Terdapat juga pseudopodia yakni alat gerak semu yang bentuknya seperti jari tangan (Soulsby, 1986).
Gambar 2.5 Morfologi stadium Entamoeba histolytica perbesaran 1700x (sumber: Levine, 1995)
A: stadium tropozoit; B: stadium kista b. Siklus Hidup
Induk semang tertular parasit karena menelan bentuk kista dewasa. Kista dalam lumen usus mengalami ekskistasi. Setiap inti mengadakan pembelahan ganda. Selanjutnya bentuk ini disebut dengan metakista (Levine, 1995).
c. Patogenesis dan Gejala Klinik
Amoebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari genus Entamoeba. Entamoeba histolytica marupakan spesies dari genus Entamoeba yang bersifat pathogen. Parasit ini dapat menyerang manusia, kera, anjing, kucing, tikus dan babi (Levine, 1995; Soulsby, 1986).
Penyakit ini menyebabkan diare dan merusak dinding sekum dan kolon. Parasit masuk ke dalam mukosa kemudian berkembang biak dan membentuk koloni, selanjutnya meluas ke sub mukosa sampai ke muskularis usus. Patogenitas Entamoeba diperkuat akibat masuknya bakteri saat infeksi, yakni Escherihcia coli
dan Aerobacter aerogenes. Kedua bakteri memperparah rusaknya jaringan predileksi parasit, yakni dengan membentuk ulkus dan peradangan (Soulsby, 1986).
2.5.4. Genus Toxoplasma
Spesies Toxoplasma gondii merupakan satu-satunya spesies dari genus Toxoplasma sebagai parasit penyebab toksoplasmosis. Protozoa ini merupakan parasit intraseluler obligat. Kucing dan bangsa feline merupakan induk semang utama, sedangkan yang bertindak sebagai induk semang antara adalah manusia, mamalia lainnya dan burung (Gandahusada dkk., 1998).
a. Morfologi
dan berkembang, serta melakukan reproduksi dalam jaringan. Bila sel terinfeksi telah penuh dengan takizoit, maka sel akan pecah dan takizoit yang terbebas akan menginfeksi sel lain di sekitarnya (Gandahusada dkk., 1998; Suwanti dkk., 1999). Pada tubuh kucing, perkembangan takizoit terjadi pada lamina propria, limfonodus mesenterika, jejunum, dan illeum. Sedangan pada hewan lain, bentuk takizoit didapat setelah tertelannya ookista berspora (Soulsby, 1986; Dubey et al, 1998).
Stadium bradizoit merupakan stadium istirahat karena perkembangannya yang sangat lambat dalam kista jaringan, umumnya ditemukan dalam keadaan penyakit yang sudah kronis dan sudah terbentuk antibodi dalam tubuh induk semang. Kista jaringan mempunyai ukuran 200 µm dan berisi sekitar 60.000 bradizoit. Kista jaringan mampu bertahan hidup sampai beberapa tahun dan bahkan bisa bertahan beberapa hari pada induk semang yang mati (Soulsby, 1986; Sasmita, 2006).
masing-masing mengandung empat sporozoit. Ukuran ookista mencapai 11 – 14 x 9 – 11 µm (Levine, 1995).
Gambar 2.6 Gambar mikroskopik Toxoplasma gondii yang ditemukan pada feses kucing (sumber: Soulsby, 1986).
A: Stadium kista yang belum bersporula; B: Stadium kista yang telah bersporula
b. Siklus Hidup
Menurut Sasmita (2006) siklus hidup Toxoplasma gondii dibagi menjadi dua siklus, yakni seksual dan aseksual. Siklus seksual lazim disebut dengan siklus intraintestinal dan berlangsung dalam tubuh induk semang utama. Sedangkan siklus ekstraintestinal terjadi di luar tubuh kucing maupun induk semang lainnya. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa hewan selain induk semang utama dan hewan berdarah panas dapat bertindak sebagai induk semang antara dan siklus aseksual hanya terjadi pada tubuh induk semang antara.
dari merozoit tersebut akan memproduksi gamet, yakni mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina). Mikrogamet akan membuahi makrogamet dan menghasilkan zigot yang selanjutnya disebut dengan ookista. Ookista akan terlepas dari lumen usus dan keluar bersama feses kucing (Soulsby, 1986; Dubey et al., 1998).
Pada siklus aseksual, sporozoit dan bradizoit yang telah terbebas akan menembus dinding usus dan membelah secara endodiogeni dalam lamina propria menjadi takizoit. Takizoit membelah diri dengan cepat yang selanjutnya akan menginfeksi organ dan menembus sel. Akumulasi takizoit berbentuk kelompok atau koloni yang disebut dengan rosset berisi delapan sampai 16 takizoit, setelah mencapai jumlah tersebut rosset akan pecah bersamaan dengan pecahnya sel induk semang yang terinfeksi (Soulsby, 1986; Suwanti, 1999; Sasmita, 2006). c. Patogenesis dan Gejala Klinis
Toxoplasma gondii adalah penyebab utama terjadinya penyakit
serangan Toxoplasma gondii tergantung pada umur, virulensi, jumlah parasit dan organ yang diserang (Gandahusada dkk., 1998; Soulsby, 1986).
Gejala klinis dapat berupa enteritis yang disertai ulser dan pada kebanyakan kasus ditemukan adanya lesi atau perlukaan pada kelenjar limpa, otak dan hati. Infeksi pada kucing muda bisa menyebabkan diare (Soulsby, 1986). 2.5.5. Genus Balantidium
a. Morfologi
Gambar 2.7 Morfologi stadium tropozoit dan kista Balantidium coli (sumber: Levine, 1995).
A dan B: Stadium tropozoit; C dan D: Stadium kista. b. Siklus Hidup
Infeksi Balantidium coli terjadi dengan memakan bentuk kista melalui makanan atau minuman yang tercemar. Pada usus halus kista akan mengalami eksistasi yakni proses keluarnya tropozoit dari kista. Bentuk tropozoit ini akan bermultiplikasi dengan cara konjugasi di dalam lumen ileum dan sekum. Selanjutnya di dalam kolon bentuk tropozoit akan mengalami enkistasi yakni proses pembentukan kista dari fase tropozoit. Selanjutnya kista akan dikeluarkan bersama tinja (Yulfi, 2006).
c. Patogenesis dan Gejala Klinis
abses dan ulkus di mukosa dan submukosa usus besar. Infeksi kronis dapat timbul tanpa terlihat gejala. Insiden balantidiasis cukup rendah, walaupun organisme ini tersebar di seluruh dunia. Balantidium coli juga dapat menghasilkan hyaluronidase yang dapat mempermudah spesies tersebut masuk ke dalam jaringan (Yulfi, 2006; Levine, 1995; Soulsby, 1986).
2.5.6. Genus Giardia
a. Morfologi
Bentuk tropozoit dari genus Giardia adalah piriform sampai elipsoid, dan simestris bilateral, tampak depan terlihat seperti buah pir. Tropozoit Giardia memiliki panjang 10 – 18 µm dengan ketebalan 2 – 4 µm. Ujung anterior berbentuk bulat dan melebar sedangkan ujung posteriornya meruncing. Memiliki cakram penghisap yang berada di sisi ventral. Terdapat dua inti anterior, dua axostyle serta terdapat delapan flagela yang letaknya rata pada permukaan epitel (Levine, 1995; Ford, 2005; Prasetyo, 2004).
Gambar 2.8 Morfologi Giadia sp. (sumber: Prasetyo, 2004)
A: stadium tropozoit; B: stadium kista; a: axostyle; b: blefaroplast; c.w.: dinding kista; d:batil isap; l.f.: flagel lateral; n: inti; p.b.: benda parabasal; p.f.: flagel posterior; p.fib.: serabut parabasal; r: rhizoplast; s: perisai; v.f.: flagel ventral.
b. Siklus Hidup
keluar bersamaan dengan keluarnya feses. Sedangkan tropozoit yang berada pada lumen usus halus akan tetap berada disana dan melakukan perkembangbiakan aseksual dengan cara pembelahan (Ford, 2005; ESCCAP, 2011).
c. Patogenesis dan Gejala Klinis
Giardiosis adalah penyakit yang disebabkan protozoa dari genus Giardia. Kebanyakan infeksi Giardia tidak memperlihatkan gejala klinis, namun pada sebagian kecil spesies yang terinfeksi akan menampakkan gejala yakni diare menahun. Penyebaran giardiosis yang berasal dari air menjadi perhatian yang terus meningkat (Levine, 1995).
2.5.7. Genus Trichomonas a. Morfologi
Siklus hidup Trichomonas sangat sederhana, genus Trichomonas tidak memiliki bentuk kista pada siklus hidupnya. Trichomonas berkembang biak dengan cara pembelahan secara longitudinal di dalam tubuh induk semang, khususnya di dalam sekum atau kolon pada hewan peliharaan (Prasetyo, 2004; Levine, 1995)
c. Patogenesis dan Gejala Klinis
Infeksi Trichomonas pada kucing bersifat non-patogen. Namun pada infeksi berat dapat berbahaya bagi induk semang (Soulsby, 1986).
2.5.8. Genus Cryptosporidium
a. Morfologi
Pada pemeriksaan tinja Cryptosporidium sp. ditemukan dalam bentuk ookista yang berukuran 3 – 5 µm, memiliki dinding tebal dan memiliki empat sporozoit (Levine, 1995).
b. Siklus Hidup
Siklus hidup Cryptosporidium dimulai dari tertelannya bentuk ookista infektif pada induk semang. Selanjutnya ookista tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan dan melepaskan sporozoit, sporozoit-zporozoit tersebut akan menginfeksi sel epitel usus halus induk semang dan melakukan perkembangbiakan melalui proses skizogoni (Prasetyo, 2004).
c. Patogenesis dan Gejala Klinis
Cryptosporidium awalnya diketahui sebagai protozoa usus yang
menyebabkan diare pada hewan mamalia (sapi, domba, babi, mencit, kelinci, monyet, anjing dan kucing), aves dan reptil (Prasetyo, 2004).
Kemudian diketahui pula dapat menimbulkan diare bahkan diare kronis pada manusia khususnya dengan imunitas yang sangat rendah (seperti penderita AIDS) (Prasetyo, 2004).
2. 6. Diagnosa Penyakit
Secara umum akibat yang ditimbulkan infeksi atau infestasi parasit tidak begitu jelas atau bersifat asimptomatis. Infeksi yang ditimbulkan berupa infeksi subklinik, maka untuk menentukan diagnosa tidak cukup hanya dengan melihat gejala klinis yang timbul, namun juga harus dilakukan pemeriksaan laboratorium, yakni dengan pemeriksaan feses (Sudrajat, 1991).
2. 7. Pencegahan Penyakit Protozoa pada Kucing
mentah, (5) penanganan yang tepat pada tempat pembuangan feses kucing, (6) peralatan yang baru digunakan untuk mengolah daging harus dicuci, (7) dan sebelum makan tangan harus dicuci dengan sabun sampai bersih (Brown, 1979; Soulsby, 1986).
2. 8. Pengobatan Penyakit Protozoa
Terapi pemberian mepacrine dengan dosis 0,01 gram per kilogram berat badan sangat efektif untuk kasus koksidiosis pada kucing yakni yang disebabkan spesies dari genus Eimeria dan Isospora. Penggunaan nitrofurazone dengan dosis rata-rata 15,4 mg/kg berat badan, pemberian selama tiga sampai sepuluh hari. Pengobatan untuk stadium awal dapat diberikan sulphadimidine satu gram per lima kilogram berat badan atau zoaquin dengan dosis satu gram per 50 kg berat badan diberikan selama satu sampai tiga hari (Mufasirin dkk., 2012; Soulsby, 1986).
penyakit toksoplasmosis yang disebabkan Toxoplasma gondii. Pengobatan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama dengan menggunakan Pyrimethamine atau Sulfonamide atau bisa dipakai secara bersamaan karena kedua obat tersebut dapat bekerja sinergisme. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa antibiotik seperti Spiramisin juga dapat diberikan namun bersifat kurang toksik dibanding Sulfonamide. Antibiotik lain seperti Klindamisin juga dapat digunakan untuk pengobatan toksoplasmosis akut maupun kronis dan dapat mengurangi pengeluaran ookista dari kucing yang terinfeksi, akan tetapi klindamisin dapat menyebabkan kolitis ulceratif, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin (Soulsby, 1986; Gandahusada, 1992).
Pengobatan untuk infeksi akut penyakit balantidiasis yang disebabkan oleh protozoa dari genus Balantidium dapat dilakukan dengan pemberian tetracycline atau dengan pemberian carbazone dengan dosis 250 mg per hari selama 10 hari (Soulsby, 1986).
BAB 3
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya, Jawa Timur dan untuk pemeriksaan feses lebih lanjut dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama satu bulan dimulai bulan November 2014 sampai Februari 2015.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian berupa sampel feses kucing peliharaan, larutan kalium bikromat (K2Cr2O7) 2%, NaCl 0,9%, air, methanol, kinyoun, alkohol 50%, asam sulfat (H2SO4) 1%, methylen blue dan minyak emersi.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pot salep sebagai tempat sampel feses, kertas label untuk melabeli dan memberi keterangan sampel yang sudah diambil. Selain itu alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lidi atau gelas pengaduk, saringan teh, pipet, kaca obyek, kaca penutup, tabung sentrifus, alat sentrifus, rak tabung, sarung tangan dan masker.
3.3. Metode Penelitian
1). Serta dilakukan pewarnaan menggunakan metode asam kinyoun (lampiran 2).
3.4. Pengambilan Sampel
Jenis penelitian ini dilakukan dalam bentuk survey dengan metode pengambilan sampel secara acak pada feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari tanpa batasan jumlah. Sampel feses kucing peliharaan yang diambil dimasukkan dalam pot salep yang telah berisi larutan kalium bikromat 2%. Selanjutnya beri etiket pada pot salep yang sudah berisi sampel feses, dalam etiket tercantum nama hewan, umur hewan, jenis kelamin hewan, kondisi feses, serta tempat dan tanggal pengambilan sampel. Setelah itu sampel feses yang diperoleh, dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga untuk diperiksa. Jika dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya stadium protozoa atau didiagnosa adanya stadium protozoa namun belum bisa diindentifikasi, maka sampel tersebut didiamkan selama satu sampai tiga hari agar terjadi proses sporulasi yang bertujuan untuk mempermudah identifikasi bentuk kista dan ookista protozoa.
Sampel diperoleh dengan mengambil langsung feses segar dari tempat hewan defekasi.
Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya. Sistem pemeliharaan tipe (2) yaitu kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya. Sedangkan sistem pemeliharaan tipe (3) adalah kelompok kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja (Hildreth et al., 2010).
3.5. Pengumpulan Data
Sampel feses yang diperiksa dinyatakan positif apabila ditemukan tropozoit, kista, atau ookista protozoa pada salah satu metode pemeriksaan (lampiran 1).
3.6. Analisa Data
Identifikasi data hasil pengamatan penelitian ini dinyatakan positif bila sampel feses yang diamati ditemukan adanya tropozoit, kista, atau ookista berdasarkan ukuran dan morfologi (Chessbrough, 1998). Angka prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Surabaya dihitung berdasarkan rumus Murtidjo (1994) sebagai berikut:
Jumlah sampel positif
Prevalensi = X 100%
Jumlah seluruh sampel
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode natif, sedimentasi dan apung terhadap 100 sampel feses kucing yang diambil dari beberapa lokasi di Surabaya yaitu selama bulan November 2014 – Februari 2015. Empat belas sampel feses dinyatakan positif, dan 86 sampel feses dinyatakan negatif. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel feses yang positif, diperoleh angka prevalensi sebesar 14%. Hasil tersebut bisa dilihat di tabel 4.1.
Tabel 4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Hasil Jumlah Sampel Persentase (%)
Positif 14 14%
Negatif 86 86%
Total 100 100%
4.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
protozoa saluran pencernaan yang ditemukan serta konsultasi dengan dosen pembimbing dan dosen protozoologi. Pengukuran bentuk kista dan ookista dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer dan mikroskop yang menggunakan program Optilab Imagescaster.
Protozoa yang ditemukan berasal dari genus Isospora dengan ukuran diameter ookista Isospora felis 42,72 µm, berbentuk oval, memiliki dinding yang tipis dan halus, tidak memiliki mikropil dan mengandung dua sporokista. Sedangkan ukuran diameter ookista Isospora rivolta 27,78 µm, berbentuk lebih bulat dari Isospora felis, berdinding tipis dan halus, terdapat mikropil dan mengandung dua sporokista. Tropozoit Balantidium coli yang ditemukan pada penilitian kali ini masih aktif bergerak dengan cepat pada pemeriksaan mikroskop. Tubuhnya tertutupi oleh silia. Selanjutnya ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan berwarna merah pekat pada pewarnaan asam kinyoun dan berukuran 3,01 µm. gambaran jenis-jenis protozoa hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2.
sedangkan wilayah barat Kotamadya Surabaya tidak terdapat infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan. Prevalensi setiap spesies pada wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.2. Sedangkan prevalensi setiap spesies di seluruh wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.3.
Tabel 4.2. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya. Wilayah Jumlah
Sampel
Sampel
Positif Prevalensi (%) Spesies
Utara 27
Tabel 4.3. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya.
Spesies Sampel Positif Jumlah Sampel Prevalensi (%)
Balantidium coli 1 100 1 %
Cryptosporidium sp. 7 100 7 %
Gambar 4.1 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: (A) Isospora rivolta (400x); (A1) Isospora rivolta (100x) menggunakan mikroskop mikrometer; (B) Isospora felis (400x); (B1) Isospra felis (400x) menggunakan mikroskop mikrometer; (C) Cryptosporidium sp. (pewarnaan asam kinyoun; 1000x); (C1) Cryptosporidium sp. menggunakan mikroskop dengan program optilab imagecaster
Gambar 4.2 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: Balantidium coli (100x)
4.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.4.
Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium sp. dengan angka prealensi tertinggi 8,51% diikuti Isospora felis dengan angka prevalensi 6,38%, selanjutnya Isospora rivolta dengan angka prevalensi 4,26% dan Balantidium coli dengan angka prevalensi terendah 2,13%. Sedangkan protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 5,66%, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 1,89%. Prevalensi setiap spesies berdasarkan perbedaan umur kucing tertera pada tabel 4.5.
Tabel 4.4. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Umur Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%)
≤ 12 bulan 53 9 16,98%
> 12 bulan 47 5 10,64%
3 Isospora felis 47 6,38%
2 Isospora rivolta 47 4,26%
1 Balantidium coli 47 2,13%
> 12 bulan 3 Cryptosporidium sp. 53 5,66%
1 Isospora felis 53 1,89%
4.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin, kucing tersebut juga tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya, dapat diketahui bahwa perbedaan sistem pemeliharaan kucing berpengaruh terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya, seperti terlihat pada tabel 4.7.
Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (1) hanya Balantidium coli dengan angka prevalensi 2,27%. Berbeda dengan sistem pemeliharaan tipe (1), sistem pemeliharaan tipe (2) ditemukan dua spesies protozoa saluran pencernaan yakni Isospora felis dengan angka prevalensi 2,94% dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 11,76%. Sedangkan pada sistem pemeliharaan tipe (3) ditemukan tiga spesies protozoa saluran pencernaan, yakni Isospora felis dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 13,64%, sedangkan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 9,09%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan berdasarkan sistem pemeliharaan tertera pada tabel 4.6.
4 Cryptosporidium sp. 34 11,76%
3
3 Isospora felis 22 13,64%
2 Isospora rivolta 22 9,09%
3 Cryptosporidium sp. 22 13,64%
Tabel 4.7. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Sistem Pemeliharaan Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%)
1 44 1 2,27%
2 34 5 14,70%
3 22 8 36,36%
4.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya
Balantidium coli dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi terendah yakni 1,85%, selanjutnya Isospora felis dengan angka prevalensi 7,41% dan angka prevalensi tertinggi 9,26% yakni Cryptosporodium sp. Sedangkan pada kucing yang tidak mengalami diare ditemukan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4,35% dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 2,17%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan yang ditemukan berdasarkan kondisi feses tertera pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Kondisi Feses
Kondisi Feses Jumlah Sampel Infeksi Protozoa Prevalensi Infeksi Protozoa (%)
Diare 54 11 20,37%
Tidak Diare (Feses Normal)
PEMBAHASAN
5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Berdasarkan hasil penelitian dari 100 sampel yang diambil dari beberapa wilayah di Surabaya, didapatkan 14 sampel feses positif ditemukan ookista, kista atau tropozoit protozoa saluran pencernaan, dapat diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing adalah 14%. Angka prevalensi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) di Denpasar yang melaporkan prevalensi protozoa saluran pecernaan pada kucing lokal sebesar 31,3%. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan jenis kucing yang diteliti. Penelitian deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di kotamadya Surabaya menggunakan kucing peliharaan sebagai sampel, sedangkan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menggunakan kucing yang hidup liar dan kucing peliharaan sebagai sampel, sehingga angka prevalensinya lebih tinggi.
ikut meningkatkan angka prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing lokal di Denpasar.
5.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan jenis-jenis protozoa saluran pencernaan kucing yang berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, Balantidium yakni Balantidium coli dan Cryptosporidium. Penentuan jenis protozoa tersebut berdasarkan morfologi dan ukuran dari kista, ookista ataupun tropozoit yang ditemukan.
aktif bergerak dengan cepat pada pemeriksaan mikroskop. Tubuhnya tertutupi oleh silia yang merupakan alat gerak, hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Soulsby (1986) dan Levine (1995) yang menyatakan bahwa bentuk tropozoit Balantidium coli dapat bergerak bebas dan sangat cepat pada lapangan pandang mikroskop dan permukaan tubuhnya oleh deretan silia longitudinal yang berbentuk agak miring yang merupakan alat gerak.
Ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan pada penelitian ini memiliki bentuk bulat dengan ukuran 3,01 µm dan berwarna merah pekat pada pewarna asam kinyoun.
Pada penilitian ini didapat angka prevalensi infeksi Isospora felis sebesar 4%, infeksi Isospora rivolta sebesar 2%, infeksi Cryptosporidium sp. sebesar 7% serta infeksi Balantidium coli sebesar 1% dari 100 sampel feses kucing peliharaan yang diperiksa di Kotamadya Surabaya. Angka ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) yakni 8,9% infeksi oleh Isospora rivolta dan 5,3% infeksi oleh Isospora felis. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Abel-Maksoud dan Ahmed (1999) di Aswan ditemukan sebanyak 20% kucing positif terinfeksi Cryptosporidium sp., namun kejadian infeksi Balantidium coli pada kucing sangat jarang dilaporkan. Adanya perbedaan angka prevalensi ini mungkin disebabkan karena perbedaan jenis kucing, sistem pemeliharaan, umur, kondisi wilayah serta waktu penelitian yang berbeda.
Transylvania. Adanya perbedaan angka prevalensi dengan penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) kemungkinan disebabkan olehperbedaan lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) dilakukan di Transylvania yang merupakan kota yang terletak di Rumania, negara bagian Eropa yang mempunyai suhu rata-rata 17oC namun suhu terendah pada kondisi normal dapat mencapai suhu 6oC. Berbeda dengan Rumania, Surabaya memunyai suhu rata-rata 27oC dengan suhu minimum 23oC. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan adanya perbedaan angka infeksi protozoa saluran pencernaan karena ketahanan tubuh kucing terhadap suhu ekstrim terbatas (Puspita, 2013).
berada di wilayah utara Kotamadya Surabaya adalah Cryptosporodium sp. yang memiliki angka prevalensi tertinggi yakni 22,22%, diikuti oleh infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 7,40% dan infeksi terendah oleh Balantidium coli dengan angka prevalensi sebesar 3,70%. Kejadian tersebut dikarenakan beberapa kemungkinan, yang pertama karena mayoritas kucing yang terinfeksi dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (2) dan (3) yang cenderung membebaskan kucing berkeliaran di luar rumah pemiliknya, yang kedua karena adanya proses skizogoni pada siklus hidup protozoa yang termasuk golongan koksidia, dalam proses skizogoni, koksidia dapat menghasilkan ratusan merozoit yang selanjutnya akan berkembang biak menjadi gamet, lalu gamet tersebut akan melakukan perkembangbiakan seksual dan terbentuklah zigot yang akan menjadi ookista, ookista kemdian keluar bersama feses dan menjadi sumber penularan bagi hewan lain (Levine, 1995). Sedangkan infeksi oleh Balantidium coli terjadi pada kucing muda berumur tiga bulan yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (1), hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan kucing tersebut bermain dengan kecoa atau serangga lain yang menjadi induk semang perantara Balantidium coli (Rahayu, 2008).
tersebut dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (3), selain itu Isospora felis dan Isospora rivolta adalah protozoa yang termasuk dalam golongan koksidia yang pada siklus hidupnya dapat menghasilkan ratusan merozoit, sehingga ookista keluar bersama feses juga banyak yang menyebabkan banyaknya pula sumber penularan.
Sedangkan pada wilayah barat Kotamadya Surabaya tidak ditemuan adanya infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan, hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan di wilayah barat Kotamadya Surabaya pemilik kucing banyak yang menerapkan sistem pemeliharaan tipe (1), sehingga kebersihan lingkungan dan kesehatan hewan peliharaan dapat terjaga dengan baik.
5.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
Kucing yang berumur di bawah 12 bulan, lebih banyak terinfeksi protozoa saluran pencernaan dibandingkan kucing yang berumur di atas 12 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan kucing yang berumur di bawah 12 bulan belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang sempurna (Levine, 1995). Selain itu sifat aktif yang dimiliki kucing muda dapat menjadi kemungkinan penularan protozoa saluran pencernaan, karena dapat saja kucing muda tersebut bermain di tempat kotor yang menjadi sumber penyakit.
rendah adalah infeksi Balantidium coli dengan angka prevalensi 2,13%. Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan tubuh kucing muda belum memproduksi hormon estradiol yang membantu pembentukan antibodi terhadap parasit, selain itu infeksi tunggal oleh genus Isospora dapat menghasilkan kekebalan yang sangat kuat terhadap infeksi ulang, inilah yang menyebabkan kucing tua seringkali resisten terhadap infeksi berikutnya. Kucing tua yang resisten terhadap infeksi Isospora merupakan sumber infeksi bagi hewan muda, atau sering disebut dengan carier (Yudhie, 2010). Sifat aktif kucing muda kemungkinan dapat menjadi penyebab penularan Balantidium coli. Kucing muda kerap aktif bermain dengan serangga yang berperan sebagai induk semang antara Balantidium coli, hal tersebut mendukung teori yang ditulis Rahayu (2008).
Rahayu (2008) mengatakan bahwa cara lain penularan endoparasit, termasuk protozoa saluran pencernaan adalah melalui plasenta, kolostrum, menembus melalui kulit dan adanya induk semang antara (serangga dan arthropoda).
Koksidiosis adalah penyakit yang salah satunya disebabkan oleh genus Isospora merupakan salah satu masalah utama hewan muda karena pada hewan
kecenderungan ingin memiliki daerah kekuasaan yang lebih luas, terlebih jika kucing tersebut dipelihara dengan cara dibiarkan hidup bebas diluar rumah pemilik kucing. Karena kecenderungan tersebut, kucing mempunyai potensi penularan yang lebih banyak pula disebabkan perilaku kucing yang melakukan kontak langsung dengan lingkungan yang kemungkinan terkontaminasi oleh Cryptosporidium sp..
5.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya
maka bisa menjadi tempat penularan pada manusia, mengingat penyakit protozoa saluran pencernaan kucing ada yang bersifat zoonosis. Perilaku pemilik hewan yang terkadang mencium, menggendong, membersihkan kandang serta berbagai bentuk kontak dengan kucing dapat menjadi sumber penularan penyakit protozoa saluran pencernaan. Sistem pemeliharaan dan lingkungan berpengaruh terhadap penularan penyakit protozoa, kucing dengan sistem pemeliharaan tipe (2) dan (3) rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit protozoa saluran pencernaan yang berbahaya dan dapat ditularkan pada hewan lain dan manusia, karena pemilik kucing tidak pernah tahu apa yang dilakukan kucing peliharaannya saat berada di luar rumah. Kucing biasanya mencari makan di tempat sampah, memangsa tikus, rodensia dan hewan lain yang terinfeksi penyakit protozoa saluran pencernaan (Hildreth et al., 2010). Sebaliknya, kucing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (1) mendapat pakan, minum dan tempat tinggal yang terjamin kebesihannya, serta penggunaan pendingin ruangan membuat kucing lebih nyaman dan tidak mudah stres sehingga tidak mudah tertular penyakit protozoa (Suwed, 2006)
prevalensi 13,64%, karena penularan Cryptosporidium sp. terjadi melalui berbagai macam media seperti tanah, air, pakan, minum dan kontak langsung dengan feses yang terkontaminasi. Tingginya tingkat resistensi ookista Cryptosporidium sp. terhadap desinfektan memungkinkan Cryptosporidium sp. untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Cryptosporidium sp. juga dapat menular melalui pakan hewan yang mentah, atau bahan pakan yang telah dicuci dengan air yang terkontaminasi Cryptosporidium sp.. Selain itu kebiasaan kucing makan rumput-rumputan yang bertujuan untuk membersihkan saluran pencernaannya juga menjadi salah satu penyebab tertularnya Cryptosporidium sp., karena kemungkinan rumput yang berada di alam bebas telah terkontaminasi oleh feses kucing lain yang terinfeksi Cryptosporidium sp.. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan Cryptosporidium sp. adalah kurangnya air bersih, sanitasi lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, letak tempat tinggal, musim serta resiko individu seperti status gizi yang kurang baik (Medema et al., 2006). Cryptosporidium sp. juga merupakan protozoa saluran pencernaan yang bersifat zoonosis yang dapat menimbulkan diare bahkan diare kronis pada manusia khususnya dengan imunitas yang sangat rendah (Prasetyo, 2004). Orang-orang yang memelihara kucing dengan sistem pemeliharaan (2) dan (3) beresiko terhadap penularan penyakit protozoa, khususnya Cryptosporidium sp. mengingat angka prevalensi yang cukup tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan Samie et al. (2013) di Afrika Selatan ditemukan sebanyak 32% kucing yang positif
Cryptosporidium sp. dari 25 sampel yang diperiksa, sedangkan pada penelitian
Penularan dapat dicegah dengan menghindari kontak secara langsung dengan hewan, menjaga sanitasi lingkungan dan diri serta menjaga kesehatan kucing peliharaan (Brown, 1979; Soulsby, 1986).
Spesies dari genus Isospora yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Isospora felis ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (2) dengan angka prevalensi 2,94% dan (3) dengan angka prevalensi 13,64%. Sedangkan Isospora rivolta hanya ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (3) dengan angka prevalensi 9,09%. Protozoa yang berasal dari genus Isospora bersifat spesies spesifik, yakni tiap spesies hanya akan menginfeksi satu macam induk semang. Infeksi primer oleh Isospora felis dan Isospora rivolta biasanya melalui indukan yang menyusui anaknya pada usia tiga hingga delapan minggu, sehingga pada kebanyakan kasus Isospora felis dan Isospora rivolta ditemukan pada kucing usia di bawah satu tahun. Selain itu penularan Isospora felis dan Isospora rivolta juga dipengaruhi oleh lingkungan, karena ookista dari Isospora felis dan Isospora rivolta dapat bertahan selama beberapa bulan pada lingkungan yang mendukung
yang kotor merupakan agen penularan berbagai penyakit, termasuk penyakit protozoa saluran pencernaan (Sucitrayani dkk., 2014). Kebiasaan kucing makan rumput-rumputan yang bertujuan untuk membersihkan saluran pencernaannya juga menjadi salah satu penyebab tertularnya Isospora, karena kemungkinan rumput yang berada di alam bebas telah terkontaminasi oleh feses kucing lain yang terinfeksi Isospora. Hal tersebut perlu diwaspadai mengingat penyakit koksidiosis (penyakit protozoa saluran pencernaan yang disebabkan genus Isospora) yang menyerang kucing muda memperlihatkan gejala yang serius
(Levine, 1995). Kejadian infeksi protozoa dari genus Isospora menunjukkan angka prevalensi 3% dari 1355 kucing yang diperiksa oleh Tzannes et al. (2008) di Inggris, sedangkan angka prevalensi lebih tinggi didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) yakni 8,9% infeksi oleh Isospora rivolta dan 5,3% infeksi oleh Isospora felis dari 414 sampel feses kucing yang diperiksa di Transylvania. Namun penularan dapat dicegah dengan memperhatikan sanitasi lingkungan, mengganti pasir kucing setiap hari, menyemprotkan desinfektan pada kotak pasir kucing, kandang serta lantai tempat kucing tinggal dan yang paling penting adalah menjaga kebersihan diri dan individu setiap kucing (ESCCAP, 2011).
mengatakan bahwa cara lain penularan endoparasit, termasuk protozoa saluran pencernaan adalah melalui plasenta, kolostrum, menembus melalui kulit dan adanya induk semang antara (serangga dan arthropoda). Kejadian infeksi ini kemungkinan juga disebabkan kucing tersebut belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kompleks dikarenakan belum dewasa kelamin, sehingga belum terbentuk pula hormon estradiol yang merupakan faktor pemicu peningkatan sistem kekebalan tubuh pada hewan betina yang telah dewasa. Walaupun kejadian Balantidium coli pada kucing sangat sedikit dilaporkan, namun penyakit yang
disebabkan protozoa ini perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan gejala klinis diare disertai darah pada hewan terinfeksi (Levine, 1995; Soulsby, 1986). Penularan dapat dicegah dengan selalu memperhatikan sanitasi lingkungan.
5.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya
Yuniarti, 2013), mengingat hampir semua predileksi protozoa saluran pencernaan berada di daerah intestinal. Namun pada kasus diare yang terjadi, tidak sepenuhnya disebabkan oleh penyakit protozoa saluran pencernaan.
memudahkannya masuk ke dalam jaringan (Soulsby, 1986).
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1) Angka prevalensi infeksi protozoa pada kucing-kucing yang dipelihara di Surabaya adalah 14%
2) Protozoa yang ditemukan menginfeksi kucing-kucing yang dipelihara di Surabaya berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, dari genus Balantidium yakni
Balantidium coli serta dari genus Cryptosporidium.
3) Umur kucing berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan. Kucing yang berumur di bawah 12 bulan lebih banyak terinfeksi protozoa saluran pencernaan dibandingkan kucing yang berumur di atas 12 bulan.
kucing.
5) Gejala klinis diare pada kucing tidak selalu disebabkan oleh infeksi protozoa saluran pencernaan, namun mayoritas kucing yang terinfeksi menandakan gejala klinis diare. Hanya beberapa kucing yang terinfeksi protozoa saluran pencernaan tidak menunjukkan gejala klinis diare.
6.2. Saran
Melalui penelitian mengenai prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing yang dipelihara di Surabaya, adapun saran yang diberikan adalah:
1) Pemeriksaan prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing yang dipelihara di Surabaya sebaiknya dilakukan secara berkala, sehingga infeksi protozoa saluran pencernaan dapat dikendalikan penyebarannya.
2) Memberikan edukasi mengenai penyakit protozoa saluran pencernaan kepada para pemilik kucing di Surabaya sehingga dapat meminimalisir infeksi protozoa pada kucing yang dipelihara tersebut, mengingat adanya penyakit protozoa saluran pencernaan kucing yang bersifat zoonosis.
mengalami diare), termasuk status hewan tersebut telah bebas dari penyakit baik yang bersifat zoonosis maupun tidak. Begitu juga dengan kondisi kesehatan hewan tua hewan carier penyakit protozoa saluran pencernaan sehingga dapat menjadi sumber penularan pada hewan lain dan hewan muda. Maka pemeriksaan oleh dokter hewan secara berkala penting untuk dilakukan, mengingat penyakit protozoa saluran pencernaan kucing tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis.
Nur Shofa ‘Afiyah. Kucing merupakan salah satu hewan yang mempunyai daya eksotik tertentu sehingga banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat, khususnya masyarakat di Kotamadya Surabaya. Sistem pemeliharaan kucing yang diterapkan masyarakat berbeda-beda, menurut Hildreth et al. (2010) ada tiga macam sistem pemeliharaan: (1) kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya (2) kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya (3) kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja.
Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Isospora, Eimeria, Giardia, Trichomonas
dan Cryptosporidium. Beberapa protozoa saluran pencernaan juga bersifat zoonosis (Soulsby, 1986; Levine, 1995).
Penelitian ini menggunakan 100 sampel feses kucing peliharaan yang tersebar di berbagai wilayah di Kotamadya Surabaya, yaitu wilayah Utara, Selatan, Barat dan Timur. Sampel feses diperiksa dengan menggunakan metode natif, apung, sedimentasi serta pewarnaan asam kinyoun. Pada sampel yang positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan, dilakukan identifikasi terhadap jenis protozoa. Selanjutnya perhitungan prevalensi menggunakan rumus prevalensi dan penyajian data berupa tabel.
Hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode natif, apung, sedimentasi serta pewarnaan asam kinyoun terhadap 100 sampel feses kucing menunjukkan 14 sampel positif dan 86 sampel negatif. Angka prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya adalah 14%. Protozoa yang ditemukan yaitu Isospora felis, Isopora rivolta, Balantidium coli serta Cryptosporidium sp..
Abdel-Maksoud, N. M. and M. M. Ahmed. 1999. Hygienic Surveillance of Digestive Disorders of Cats. //http.www.merckmanuals.com. [17 Juni 2014].
Anonim. 2002. Pocket Reference Book Cats. Paragon. United Kingdom.
Arimbi. 2010. Studi Kasus : Suspec Feline Infectious Peritonitis (FIP) Pada Kucing Ras di Surabaya. Case Study : Suspec Feline Infectious Peritonitis (FIP) of Cat in Surabaya. Veterinari Medika. Vol:3(2).
Artama, I. K., U. Cahyaningsih dan E. Sudarnika. 2005. Prevalensi Infeksi Cryptosporodium parvum pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Chessbrough, M. 1998. Entamoeba Histolytica. District Lab. Practice in Tropical Countries. Part I. Cambridge University Press. United Kingdom.
Dubey, J. P., D. S. Lindsay and C. A. Speer. 1998. Structures of Toxoplasma gondii Takhizoites, Bradyzoites and Sporozoites and Biology and Development of Tissue Cysts. Clin. Mikrobiol. Rev. 267 – 299.
ESCCAP. 2011. Control of Intestinal Protozoa in Dogs and Cats. ESCCAP Guideline 06 First Edition. ESCCAP 2011©.