• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PROTOZOA PARASITIK DARAH DAN SALURAN

PENCERNAAN PADA ULAR SAWAH (

PTYAS CORROS

) DI

KABUPATEN NGAWI

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH. Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH and ARYANI S. SATYANINGTIJAS

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai protozoa parasitik darah dan saluran pencernaan pada ular sawah (Ptyas corros). Ular sawah yang diteliti berjumlah 10 ekor dan diperoleh dari desa Alas Pecah kabupaten Ngawi. Tiap individu ular diambil sampel darah untuk dibuat preparat ulas darah dan feses seminggu sekali selama 3 minggu. Preparat ulas diwarnai dengan zat warna Giemsa, sedangkan pemeriksaan feses dilakukan secara natif. Identifikasi parasit dilakukan dengan menggunakan pendekatan morfologi melalui mikroskop. Hasil identifikasi menunjukkan adanya 5 macam parasit yang terdiri dari 4 genus parasit pencernaan (Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp., Cryptosporidium sp.) dan 1 genus parasit darah (Plasmodium sp.). Seluruh ular yang diteliti terinfeksi oleh Plamodium sp. Selain itu, presentase hewan terinfeksi Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp.dan Cryptosporidium sp. berturut-turut adalah 90%, 80%, 80%, dan 70% dari 10 ekor ular yang diteliti.

Kata kunci: Darah, saluran pencernaan, protozoa, Ptyas corros

ABSTRACT

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH. Parasitic Protozoan in Blood and Intestinal Tract from Chinese Ratsnake (Ptyas corros) at Ngawi-East Java. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and ARYANI S. SATYANINGTIJAS

The purpose of this study is to give information about blood parasitic protozoan and gastrointestinal tract protozoan from Chinese Ratsnake (Ptyas korros). Ten Chinese Ratsnake that collected from Alas pecah village at Ngawi district used in this study. Faecal and blood sample were collected weekly for three weeks. Blood sample were stained by Giemsa and faecal sample were natively examined. Parasites were identified using morphological approach under microscope. The results showed that 5 parasites type had found on Chinese Ratsnake. They were consist of 4 intestinal parasites types (Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp., Cryptosporidium sp.) and blood parasites type (Plasmodium sp.). Those parasites can be potentially zoonotic. All snakes were infected by Plasmodium sp. Meanwhile Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp.dan Cryptosporidium sp. of the snake had been founded by number of 90%, 80%, 80% and 70% respectively.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PROTOZOA PARASITIK DARAH DAN SALURAN

PENCERNAAN PADA ULAR SAWAH (

PTYAS CORROS

) DI

KABUPATEN NGAWI

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi

Nama : Fajar Sakti Nur Hardiansyah NIM : B04080136

Disetujui oleh

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing 1

Dr drh Aryani Sismin S, MSc Pembimbing 2

Diketahui oleh

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(8)

PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini adalah Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS dan Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing yang selalu membina dan mengarahkan saya sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Orang tua saya yaitu, Alm. Soehardi dan Sri Sutarsih yang selalu menjadi motivasi. Serta istri saya tercinta, Ambar Hanum Melati Ramadhani yang selalu memberikan suntikan semangat dan menjadi inspirasi dalam perjalanan hidup saya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

TINJAUAN PUSTAKA 1

Taksonomi dan Karakteristik Biologi Ptyas corros 1

Parasit Darah 2

Parasit Saluran Pencernaan 3

Giardia sp. 3

Balantidium sp. 4

Entamoeba sp. 6

Cryptosporidium sp. 6

METODE 8 Hewan Percobaan 8

Pengambilan Sampel 8

Proses Identifikasi Endoparasit 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Parasit Saluran Pencernaan 9

Giardia sp. 10

Balantidium sp. 11

Entamoeba sp. 12

Cryptopsoridium sp. 13

Parasit Darah 14

Plasmodium sp. 14

SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Macam-macam parasit yang menyerang Ptyas corros dan

jumlah kejadiannya pada 10 ekor ular yang diamati 9

DAFTAR GAMBAR

1 Ptyas corros 2

2 Hepatozoon sp. pada eritosit, 1) Siamese Spitting Cobra, 2) Ptyas mucosus, 3) king cobra, 4) Banded krait, 5)

mask-faced water snake, 6) mangrove pit viper 2

3 Siklus hidup Giardia sp. 3

4 Sketsa morfologi Balantidium sp. 4

5 Siklus hidup Balantidium spp. kista mengalami ekskistasi dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit membelah diri dan

menghasilkan kista kembali 5

6 Ilustrasi Balantidium menginvasi mukosa dan submukosa

usus 5

7 Siklus hidup dan cara infeksi Cryprosporidia sp. 7 8 Patologi anatomi pada usus ular yang terkena

Cryptosporidia sp. 7

9 Histologi usus normal pada ular (kiri), mukosa usus mengalami hipertropi, proliferasi sel mukus pada kelenjar

pencernaan, dan atropi sel granular (kanan) 8

10 Giardia sp. pada: 1). manusia (Min et al. 2013) dan 2). Ptyas

corros (hasil pengamatan) 10

11 Balantidium sp. pada: 1). kera (Katerina et al. 2010) dan 2).

Ptyas corros (hasil pengamatan) 11

12 Entamoeba sp. pada: 1). Manusia dengan pengecatan jodium

(Zaman 1997) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan) 12 13 Cryptosporidia sp. pada: 1). kura-kura darat, diamati

menggunakan kontras mikroskop (Xiao et al. 2004) dan 2).

Ptyas corros (hasil pengamatan) 13

14 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). Plasmodium falciparum tropozoit dini (Zaman 1997), dan 2). Plasmodium sp. tropozoit

dini (hasil pengamatan) 15

15 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1) gametosit Plasmodium falciparum (Assafa et al. 2004), dan 2). gametosit Plasmodium

(11)

PENDAHULUAN

Ptyas corros merupakan ular sawah yang banyak terdapat di Kabupaten Ngawi. Ptyas corros merupakan ular terrestrial dan diurnal yang seperti namanya sering ditemukan di area persawahan. Ular ini mempunyai nama lokal lain seperti ular tikus dan ular jali. Racun dari ular ini tidak mematikan, dan tergolong ular yang bertipe non-venomous. Predator ini sering memakan hewan-hewan rodensia dan amphibia (NDF Case Study 2008). Habitat ular ini adalah di areal persawahan, karena di areal ini banyak terdapat makanan alaminya yaitu katak sawah, tikus sawah dan terkadang burung pemakan padi/belalang. Areal persawahan biasanya bersifat basah dan banyak air, namun sebenarnya ular ini tidak tertarik pada habitat dengan air yang menggenang namun lebih tertarik pada areal yang sedikit air hingga kering. Keberadaan ular ini tersebar luas di daerah asia terutama Cina dan Asia Tenggara (NDF Case Study 2008).

Berbagai penelitian tentang ular kini banyak dilakukan. Salah satunya adalah endoparasit, literature mengenai endoparasit ular masih sangat terbatas, terutama literatur mengenai protozoa pada ular di wilayah Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui macam-macam protozoa parasitik pada saluran pencernaan dan pada darah yang terdapat pada Ptyas corros. Informasi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Dan Karakteristik Biologi Ptyas Corros

Klasifikasi ular ini adalah berasal dari filum Chordata, kelas Reptilian, ordo Squamata, famili Colubridae, genus Ptyas, dan spesies Ptyas corros. Ular ini memiliki panjang hingga 2 meter. Dorsal tubuhnya berwarna coklat muda kekuningan hingga abu-abu kehitaman. Bagian anterior berwarna lebih terang dari pada bagian ekornya yang berwarna lebih kehitaman. Sisik-sisik di atas ekor bertepi hitam. Ventral tubuhnya berwarna kekuningan sampai kuning terang dan memiliki mata yang berukuran besar (Auliya 2010). Kerabatnya yang mirip adalah Ptyas mucosus, dibedakan dengan adanya loreng-loreng hitam di bibirnya dan di tubuh bagian belakang.

(12)

2

Parasit Darah

Parasit darah yang biasa menginfeksi ular diantaranya adalah Trypanosoma sp., Hepatozoon sp., Hemogregarine sp., dan Plasmodium sp. Parasit-parasit tersebut ditularkan melalui vektor invertebrata seperti nyamuk. Hemogregarine sp. ditemukan pada reptil yang hidup di daerah berarair. Hepatozoon sp. ditemukan pada reptil yang hidup di darat. Infeksi parasit-parasit tersebut pada reptil dapat berakibat patogen maupun non-patogen (Jarernsak et al. 2001). Paparan kronis dapat mengakibatkan anemia akibat terjadinya hemolysis, bahkan dapat disertai hepatitis granulomatosa (Wozniak et al. 1998).

Gambar 1 Ptyas corros (gambar pribadi)

(13)

3 Plasmodium sp. merupakan parasit yang dapat menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Penyebarannya di bantu oleh peranan nyamuk betina (Safar 2010). Infeksi Plasmodium sp. dapat terjadi melalui 2 cara yaitu : 1) melalui vector nyamuk yang mengandung sporozoit Plasmodium sp. dan 2) melalui induksi, stadium aseksual dalam eritrosit tidak sengaja masuk kedalam badan inang melalui suntikan, transfusi atau secara kongenital (Saleha 2011).

Parasit Saluran Pencernaan

Secara umum, parasit pada saluran pencernaan dapat masuk kedalam tubuh secara peroral dalam bentuk kista. Reseptor kista menerima sinyal-sinyal kimia yang terdapat pada saluran pencernaan sehingga kista tersebut berubah menjadi stadium infektifnya dan menginvasi saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan, setiap parasit memiliki perbedaan stadium infektif seperti tropozoit dan kista. Gejala umum yang sering ditimbulkan akibat masuknya parasit pencernaan adalah anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, dan emetika (Karen et al. 1996).

1. Giardia sp.

Giardia sp. dapat ditemukan di lebih dari 40 spesies inang (Xiao dan Fayer 2008) seperti tikus, anjing, kucing dan manusia (Gupta et al. 2008). Secara morfologi, Giardia sp. berbentuk seperti buah pir yaitu bagian depan lebih lebar daripada bagian belakangnya. Di dalam usus, Giardia sp. membentuk stadium trofozoit. Tropozoit ini memiliki dua nukleus dan empat pasang flagel. Kista Giardia sp. mempunyai dinding tebal dan oval atau elips dengan panjang rata-rata 10 mikron. Kista Giardia sp. memiliki ukuran yang berbeda-beda pada masing-masing spesies. Kista yang telah tua mengandung empat inti (Tampubolon 2004). Kista dan tropozoit menunjukkan deretan vakuol di perifer, jika dilihat pada elektron mikroskop (Zaman 1997).

Gambar 3 Siklus hidup Giardia sp.(CDC 2013).

(14)

4

membentuk kista yang akan dikeluarkan kembali bersama feses (Tampubolon 2004).

2. Balantidium sp.

Balantidium sp. merupakan protozoa yang diklasifikasikan kedalam kelas Kinetofragminophora. Parasit ini memiliki flagel yang berfungsi untuk menangkap dan menelan makanan. Ukuran Balantidium sp. berbeda tiap spesiesnya. Bentuk dewasa (trofozoit) rata-rata berukuran 50-60, sedangkan bentuk kistanya berukuran 40-60 mikron (Tampubolon 2004). Bentuk kista merupakan bentuk yang siap dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses. Kista Balantidium sp. dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu, bentuk kista yang keluar bersama feses memudahkan parasit ini untuk menginvasi spesies lain melalui makanan atau minuman yang tercemari oleh kista tersebut. Kista Balantidium sp. memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya terdiri dari dua lapis (Levine 1995).

Gambar 4 Sketsa morfologi Balantidium sp. (Chiodini et al. 2001).

Balantidium sp. memiliki dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan kista. Kista merupakan bentuk dari Balantidium sp. yang dapat melakukan transmisi ke spesies lain. Kista yang tertelan oleh induk semang akan berubah menjadi tropozoit dan melisiskan membran kistanya. Proses lisisnya membran kista disebut dengan ekskistasis dan proses ini berlangsung di usus halus. Tropozoit yang terbentuk dari kista dapat bermigrasi dan menginvasi usus besar. Di dalam usus, Balantidium sp. menyerap eritrosit, leukosit jaringan granula tepung dan sisa lain. Kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan yang cukup, membuat tropozoit memperbanyak diri dengan cara membelah diri atau konjugasi sebelum keluar dari usus dan membentuk kista kembali (CDC 2013)2.

Parasit ini dapat ditemukan di saluran pencernaan, terutama menginvasi diantara lapisan mukosa dan submukosa colon sehingga dapat mengakibatkan ulser pada kolon tersebut dan diare berdarah (Stephen dan Dwight 2006). Infeksi sekunder akibat dari adanya ulser kolon menjadi faktor pendukung patogenitas yang disebabkan oleh parasit ini.

(15)

5

Rusaknya mukosa dan submukosa usus dilakukan dengan bantuan fermen sitolitik dan penerobosan secara mekanik. Pergerakan Balantidium sp. mirip dengan gerakan bor, sehingga mukosa usus dapat dengan mudah ditembus. Invasi Balantidium sp. membentuk sarang dan abses kecil yang mudah rusak sehingga membentuk ulkus. Sel-sel radang berkumpul di sekitar ulkus sehingga pada gambaran histopatologi terlihat adanya hemoragi, invasi parasit, dan sel-sel berinti polimorf (apabila terdapat infeksi sekunder). Gejala klinis yang dapat diamati saat terjadi Balantidiosis (penyakit akibat Balantidium sp.) adalah diare yang disertai lendir, darah, atau nanah. Efek sekunder akibat penyakit ini adalah mual, muntah, anoreksia, dan kekurusan. Terkadang infeksi parasit ini tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas pada hewan. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut telah menjadi carier bagi Balantidium sp. (Tampubolon 2004).

Gambar 6 Ilustrasi Balantidium sp. menginvasi mukosa dan submukosa usus (Chiodini et al. 2001).

(16)

6

3. Entamoeba sp.

Entamoeba sp. merupakan parasit yang hidup pada habitat yang mendukung kehodupan seperti, air, tanah, bahan tanaman yang membusuk, dan tempat pembuangan kotoran. Selain itu, tempat yang mengandung bakteri juga merupakan daerah yang mendukung kehidupan parasit ini. Entamoeba sp. dapat ditemukan pada bagian tubuh yang menjadi tempat bersarangnya bakteri seperti mulut, usus besar, dan sekum. Entamoeba memiliki beberapa spesies dan hanya satu yang patogen, yaitu Entamoeba histolytica. Beberapa spesies lain diantaranya adalah Entamoeba coli, Entamoeba gingivalis, Dientamoba fragilis, Endolimax nana, dan Iodamoeba dutschii. Semua spesies parasit ini berhabitat pada usus besar, kecuali Entamoeba gingivalis yang berhabitat pada mulut (Tampubolon 2004).

Perkembangan Entamoeba sp. terdiri dari beberapa stadium, yaitu tropozoit, prakista, kista, dan metakista. Masing-masing stadium memiliki bentuk, ukuran, dan ciri khas yang berbeda. Secara umum, tropozoit merupakan bentuk vegetatif dan bersifat patogen. Stadium ini berbentuk tidak tetap dan bergerak dengan menggunakan pseudopodia. Stadium prakista adalah tahapan Entamoeba sp. untuk membentuk kista. Pada tahapan ini, dinding kista masih belum terbentuk dan masih memiliki pseudopodia yang pasif. Bentuk prakista lebih kecil dari bentuk tropozoit namun lebih besar dari bentuk kistanya. Kista yang telah terbentuk berbentuk bulat dan memiliki beberapa inti. Kista yang telah tua akan menunjukkan berinti 4. Kista sesampainya di usus akan mengalami ekskistasi dan mengeluarkan metakista. Metakista berisi komponen yang sama dengan kista, namun bentuknya telah berubah karena sudah tidak dibatasi oleh dinding kistanya. (Tampubolon 2004).

4. Cryptosporidium sp.

Cryptosporidia sp. merupakan parasit yang sering menyerang reptil. Parasit ini memiliki habitat pada saluran pencernaan dan sering berakibat kronis dan berakhir dengan kematian apabila menyerang ular (Xiao et al. 2004). Tercatat lebih dari 150 spesies telah terinfeksi oleh parasit ini, termasuk juga manusia. Cryptosporidia sp. memiliki lebih dari 20 spesies dengan berbagai spesies induk semang dan ciri khas masing-masing spesies. Tahun 2004, Xiao et al. menambah daftar spesies Cryptosporidia sp. dengan menemukan spesies Cryptosporidia sp. baru. Spesies tersebut adalah Cryptosporidia saurophilum. Secara morfologi, ukuran Cryptosporidia saurophilum lebih kecil daripada ukuran Cryptosporidia serpentis yang sering menyerang ular.

(17)

7 membedakan masing-masing spesies harus menggunakan sequencing DNA atau dapat juga menggunakan PCR (Robinson et al.2008).

Gambar 7 Siklus hidup dan cara infeksi Cryprosporidia sp. (CDC 2013)3 Cryptosporidia sp. merupakan parasit yang menyerang saluran pencernaan. Parasit ini akan membentuk tropozoit, kemudian bersarang didalam mukosa usus dan berkembang biak. Sarang tersebut akan menyebabkan luka pada mukosa usus dan mengakibatkan peradangan sebagai reaksi dari luka tersebut atau biasa disebut dengan gastritis. Ular yang terinfeksi parasit ini akan mengalami gejala seperti anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, emetika, midbody swelling, dan terdapat ookista dalam jumlah besar pada feses yang dikeluarkannya (Karen et al. 1996).

Gambar 8 Patologi anatomi pada usus ular yang terkena Cryptosporidia sp. (Brownstein 1977).

(18)

8

pada pengamatan histopatologi berupa penebalan/hipertropi serta proliferasi sel mukus pada kelenjar pencernaan.

Gambar 9 Histologi usus normal pada ular (kiri), mukosa usus mengalami hipertropi, proliferasi sel mukus pada kelenjar pencernaan, dan atropi sel granular (kanan) (Brownstein 1977).

METODE

Hewan Percobaan

Ular sawah yang diteliti berjumlah 10 ekor dan dipesan dari pengepul ular di desa Alas Pecah, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi. Ular-ular tersebut kemudian diadaptasikan selama seminggu dan dipelihara dengan memberi pakan 1-2 ekor katak/minggu. Pembersihan kandang dilakukan setelah ular defekasi untuk menjaga kebersihan dan mencegah terjadinya infeksi berulang.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel protozoa parasotik dari darah dan feses ular dilakukan disetiap akhir pekan selama 3 minggu. Pengambilan feses ular dilakukan segera setelah ular defekasi. Hal ini karena proses defekasi pada ular tidak dilakukan setiap hari. Feses dimasukkan kedalam kantong plastik. Pengambilan sampel

darah dilakukan melalui “ventral caudal vein” dengan menggunakan jarum syringe berukuran 22-gauge (Jarernsak et al. 2001). Darah yang di dapat kemudian dibuat preparat ulas darah tipis dan difiksasi dengan metanol dan diwarnai dengan Giemsa.

Proses Identifikasi Endoparasit

(19)

9 yang dikoleksi dilakukan diagnosa tentang keberadaan protozoa parasitik. Identifikasi protozoa dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi di bawah mikroskop yang disesuaikan dengan buku-buku dan jurnal-jurnal terkait. Besarnya presentase infeksi akibat parasit dihitung dengan cara:

X 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parasit yang didapat pada ular sawah dari penelitian ini berupa 5 macam parasit yang terdiri atas 4 genus parasit saluran pencernaan dan 1 genus parasit darah. Parasit dari saluran pencernaan meliputi Balantidium sp., Giardia sp., Criptosporidia sp., dan Entamoeba sp. Sedangkan Plasmodium sp. merupakan parasit yang ditemukan pada sampel darah. Identifikasi yang dilaksanakan masih terbatas pada tingkatan genus yang diamati berdasarkan morfologi. Tabel 1 menyajikan parasit-parasit yang ditemukan dari sampel feses dan darah sekaligus jumlah kejadiannya pada 10 ekor ular yang diamati.

Parasit Saluran Pencernaan

Secara umum, parasit pencernaan dapat masuk kedalam tubuh secara peroral dalam bentuk kista. Reseptor kista menerima sinyal-sinyal kimia yang terdapat pada saluran pencernaan sehingga kista tersebut berubah menjadi stadium infektifnya dan menginvasi saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan, setiap parasit memiliki perbedaan stadium infektif seperti tropozoit, merozoit, dan kista. Tabel 1 Macam-macam parasit yang menyerang Ptyas corros dan jumlah kejadiannya

pada 10 ekor ular yang diamati

No. Ular

Jenis Parasit

Saluran Pencernaan Darah

Giardia Balantidium Entamoeba Cryptosporidia Plasmodium

1 √ √ √ √ √

(20)

10

Mayoritas parasit pencernaan memiliki stadium infektif pada stadium tropozoit. Gejala umum yang sering ditimbulkan akibat masuknya parasit pencernaan adalah anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, dan emetika (Karen et al. 1996).

1. Giardia sp.

Giardia sp. pada Ptyas corros ditemukan dalam stadium kista. Kista tersebut memiliki karakteristik yaitu berbentuk seperti buah pir dengan bagian depan membulat luas, bagian belakang meruncing, memiliki 2 inti, aksostil terlihat, dan berdinding tegas. Menurut Tampubolon (2004), karakteristik kista Giardia sp. memiliki dinding yang tebal, berbentuk oval atau elips, mengandung 2-4 inti dan aksostil. Safar (2010) mengatakan bahwa kista yang memiliki 2 inti menunjukkan bahwa kista tersebut berumur muda. Protozoa ini ditemukan pada 9 ekor dari 10 ekor hewan yang diamati, sehingga protozoa ini memiliki presentase hewan yang terinfeksi sebesar 90%.

Adanya Giardia sp. pada Ptyas corros disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah Ptyas corros meminum air yang tercemari oleh kista Giardia sp. Kista Giardia sp. pada air tersebut dapat berasal dari individu lain Ptyas corros atau dapat juga berasal dari feses tikus. Selain dikarenakan meminum air yang mengandung kista, kehadiran Giardia sp. pada Ptyas corros dapat disebabkan kerena ular ini memakan tikus sawah yang mengandung Giardia sp. Ptyas corros akan mengeluarkan enzim sitolitik untuk mencerna tikus yang dimakannya. Dinding kista Giardia sp. tidak tahan terhadap kondisi asam (Assafa et al. 2004), sehingga proses mencerna tikus sawah juga disertai dengan pencernaan dinding kista Giardia sp. Pencernaan kista ini dimanfaatkan oleh Giardia sp. untuk ekskistasi dan melakukan infeksi pada saluran pencernaan Ptyas corros.

Gambar 10 Giardia sp. pada: 1). Manusia (Min et al. 2013) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan). Ket: (a) aksostil, (b) nukleus

(21)

11 Tropozoit juga dilengkapi dengan sucker-disk yang berfungsi sebagai alat pelekat pada permukaan sel epitel usus dan untuk mengambil makanan dari sel usus halus dengan cara melisiskan sel epitel tersebut. Selain itu, Giardia sp. mengeluarkan toksin yang dapat bercampur dengan bahan makanan dalam usus dan menyebabkan kerusakan bahan makanan yang akan diserap tubuh (Tampubolon 2004). Kejadian-kejadian tersebut akan menimbulkan gejala pada penderita berupa muntah, kembung, dan diare (Zaman 1997).

2. Balantidium sp.

Balantidium sp. yang ditemukan memiliki karakteristik yaitu, berbentuk bulat atau elips dan terlihat makronukleus. Vakuola dan mikronukleus tidak dapat diamati. Hal ini dikarenakan sampel feses yang diperiksa tidak diberikan bahan kontras yang berguna untuk memperjelas pengamatan. Levine (1995) mengemukakan bahwa kista Balantidium sp. memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya terdiri dari dua lapis. Jumlah ular yang terserang Balantidium sp. adalah 8 ekor, berarti presentase balantidiosis pada ular ini adalah 80%.

Balantidium sp. sering ditemukan pada manusia. Organisme dengan bentuk morfologi yang mirip dengan Balantidium sp. (Balantidium like paracites) dapat ditemukan pada berbagai macam mamalia seperti tikus, simpanse, orang hutan, anjing dan kucing. Selain itu, beberapa spesies lain dari Balantidium sp. pernah ditemukan pada babi, kecoa, burung, ikan dan amfibi (Schuster dan Avila 2008). Adanya Balantidium sp. pada Ptyas corros dapat disebabkan kerena beberapa faktor diantaranya adalah meminum air yang tercemar kista Balantidium sp. atau memakan mangsa yang terinfeksi oleh Balantidium sp. Seperti halnya Giardia sp., kista Balantidium sp. juga tidak tahan terhadap rendahnya pH lambung. Paparan asam lambung akan membuat kista Balantidium sp. melakukan ekskistasi dan mengeluarkan tropozoit.

Gambar 11 Balantidium sp. pada: 1). kera (Katerina et al. 2010) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan). Ket: (a) dua lapis dinding sel

Balantidium sp. memiliki 2 macam stadium dalam siklus hidupnya, yaitu stadium kista dan stadium tropozoit. Bentuk kista merupakan bentuk yang siap dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses. Kista Balantidium sp. dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu, bentuk kista yang keluar bersama feses memudahkan parasit ini untuk menginvasi spesies lain melalui makanan atau minuman yang tercemari oleh kista tersebut.

2

1

(22)

12

Stadium tropozoit berhabitat pada lapisan mukosa dan submukosa colon. Kehadiran parasit ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada epitel tersebut (Stephen dan Dwight. 2006). Rusaknya mukosa dan submukosa usus dilakukan dengan penerobosan secara mekanik dengan bantuan zat sitolitik. Hal ini dapat mengakibatkan ulkus hingga gangren (Safar 2010). Selain itu, gejala klinis yang dapat diamati saat terjadi Balantidiosis adalah diare yang disertai lendir, darah, atau nanah.

3. Entamoeba sp.

Penelitian ini menemukan Entamoeba sp. dalam stadium kista. Kista tersebut memiliki karakteristik yaitu berbentuk bulat, berukuran kecil, dinding kista jelas, dan berinti 4. Kista yang ditemukan merupakan kista matang. Kista matang dapat diketahui dengan menghitung inti kista yang berjumlah 4 buah. Karakteristik tersebut sesuai dengan karakteristik kista Entamoeba sp. yang di kemukakan oleh Safar (2010) dan Zaman (1997). Kista Entamoeba sp. ditemukan pada 8 ekor dari 10 ekor ular yang diamati, sehingga presentase amobiasis pada populasi yang diamati adalah sebesar 80%.

Gambar 12 Entamoeba sp. pada: 1). Manusia dengan pengecatan jodium (Zaman 1997) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan). Ket: (a) nukleus.

Entamoeba sp. dapat ditemukan diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub tropis dengan kondisi sanitasi yang kurang baik (Umair et al. 2008). Adanya Entamoeba sp. pada Ptyas corros lebih banyak disebabkan oleh waterborne transmission. Kista Entamoeba tahan terhadap kondisi asam lambung sehingga, proses ekskistasi terjadi didalam usus. Ekskistasi dapat terjadi karena dinding kista yang mengandung galaktosamin dicerna oleh usus-usus ular. Hilangnya dinding kista menyebabkan pengeluaran tropozoit-tropozoit yang mengandung enzim histolisin. Enzim ini berfungsi sebagai zat pembantu untuk penetrasi kedalam mukosa usus dengan cara melisiskan sel-sel usus tersebut (Sehgal et al. 1996).

Patogenesa dari gangguan pencernaan yang ditimbulkan oleh Entamoeba sp. berawal dari kista yang masuk kedalam pencernaan. Tropozoit membentuk sarang di mukosa usus dengan gerakan yang dibuat oleh pseudopodia dan berkembang biak di daerah tersebut. Akibatnya, epitel usus mengalami nekrosa. Infiltrasi Entamoeba sp. ke dalam mukosa usus menyisakan sebuah saluran yang dapat dimasuki oleh koloni bakteri (infeksi sekunder), sehingga dapat menimbulkan abses-abses di saluran limfe dan menimbulkan ulkus-ulkus. Tropozoit juga dapat

a

a

(23)

13 menginfiltrasi usus hingga menembus lapisan otot hingga ke serosa usus, dengan begitu kerusakan jaringan tampak semakin parah. Adanya kerusakan jaringan ini, menstimulasi tubuh untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak, sehingga akan teramati suatu penebalan fibrotik dari dinding usus (Tampubolon 2004). Selain itu, Entamoeba sp. juga dapat masuk kedalam saluran sirkulasi dan menyebar menuju hati dan menyebabkan Amebic liver abcess (Davis et al. 2006).

4. Cryptosporidia sp.

Cryptosporidia sp. pada pengamatan mikroskop terhadap feses akan menghasilkan gambaran kista yang berbentuk bulat dan bergranul. Hal ini terjadi karena di dalam kista tersebut terdapat sporozoit-sporozoit yang nantinya akan menginfeksi usus. Hasil identifikasi Cryptosporidia sp. menunjukkan bentuk kista yang bulat, memiliki 2 granul dan berukuran lebih kecil dari kista Entamoeba sp. Jenis Cryptosporidia sp. yang menyerang ular adalah Cryptosporidia serpentis (Xiao et al. 2004). Kriptosporidiosis menyerang 7 dari 10 ekor ular yang diamati (70%). Kriptosporidiosis memiliki prevalensi terendah daripada infeksi parasit yang lain. Cryptosporidia sp. banyak ditemukan pada reptil (Xiao et al.2004). Selain itu, cryptosporidia sp. pernah ditemukan di 150 inang diantaranya adalah lembu, ayam, anjing, kucing, burung, babi, kalkun, ular tikus (Elaphe

Cryptosporidia sp. memiliki beberapa bentuk perkembangan dalam siklus hidupnya. Bentuk yang pertama adalah ookista yang dikeluarkan bersama feses dari hewan atau manusia yang terinfeksi. Bentuk ini berisi 4 sporozoit dan memiliki membran yang berguna untuk melindungi sporozoit tersebut. Ookista akan hanyut bersama aliran air hingga mendapatkan inang baru yang dapat dijadikan media untuk berkembang.

Kista Cryptosporidia sp. yang masuk melalui peroral akan mengeluarkan sporozoit dan berkumpul pada mukosa usus dalam bentuk tropozoit. Kumpulan tropozoit tersebut akan menyebabkan luka pada mukosa usus dan mengakibatkan peradangan (Karen et al. 1996). Tropozoit dalam mukosa usus memperbanyak diri

(24)

14

dengan cara asexual. Hasil pembelahan tropozoit menghasilkan merozoit-merozoit yang memiliki makrogamet dan mikrogamet yang berfungsi untuk perkembangan sexual dan menghasilkan zigot. Zigot akan diubah menjadi ookista dengan 2 tipe yaitu, ookista berdinding tipis dan ookista berdinding tebal. Ookista berdinding tipis akan menginfeksi mukosa usus sedangkan ookista berdinding tebal akan dikeluarkan bersama feses (CDC 2013)3.

Cryptosporidia sp. dapat masuk kedalam tubuh melalui air minum yang terkontaminasi atau makanan yang bahan-bahannya dicuci menggunakan air mengandung ookista parasit ini (Robinson et al. 2008). Kondisi lingkungan dan higiene personal turut mempengaruhi dalam proses transmisi penyakit ini kepada manusia. Spesies Cryptosporidia sp. yang zoonotik adalah Cryptosporidia parvum pada sapi (Smith et al. 2007). Cryptosporidia serpentis pada ular tidak dilaporkan sebagai parasit zoonotik.

Parasit Darah

Parasit darah merupakan parasit yang memiliki habitat pada darah. Parasit ini dibedakan menjadi parasit eksoeritrosit dan parasit intraeritrosit. Parasit eksoeritrosit memiliki habitat pada plasma sel darah. Contoh parasit eksoeritrosit adalah Leucocytozoon sp. dan Trypanosoma sp. Parasit intraeritrosit merupakan parasit yang memiliki habitat didalam eritrosit. Contoh parasit intraeritrosit adalah Plasmodium sp., Babesia sp., dan Anaplasma sp. parasit darah memiliki siklus hidup yang berbeda dengan parasit pencernaan. Parasit-parasit ini memerlukan vektor didalam penyebarannya sebelum mencapai induk semang. Vektor tersebut dapat dibagi menjadi vektor mekanis maupun vektor biologis. Vektor biologis terjadi proses perkembangan dan proses seksual yang menghasilkan stadium infektif untuk induk semang. Contoh vektor yang dapat menyebarkan parasit darah adalah nyamuk dan caplak. Perubahan bentuk yang terjadi pada parasit di dalam induk semang meliputi perubahan aseksual yang meliputi perbanyakan diri serta pembentukan makro dan mikro gamet. Efek umum yang ditimbulkan akibat infestasi parasit ini adalah terjadi anemia, haemolisis, dan demam (Tampubolon 2004).

1. Plasmodium sp.

(25)

15

Gambar 14 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). Plasmodium falciparum tropozoit dini (Zaman 1997), dan 2). Plasmodium sp. tropozoit dini (hasil pengamatan). Ket: (a) Plasmodium tropozoit dini.

Gambar 15 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). gametosit Plasmodium falciparum (Assafa et al. 2004), dan 2). gametosit Plasmodium (hasil pengamatan). Ket: (a) gametosit Plasmodium

Gejala akibat Plasmodium sp. sama seperti gejala umum akibat parasit darah pada umumnya. Lesio yang dapat diamati pada induk semang adalah adanya hepatomegali, splenomegali, pendarahan subcutan, dan pembendungan pada pembuluh darah (Tampubolon 2004). Hepatomegali dan splenomegali terjadi akibat siklus skizogonic yang terjadi pada sel-sel hati. Pendarahan subcutan dan pembendungan pembuluh darah terjadi akibat siklus eritrositik. Siklus ini terjadi didalam eritrosit dan mengakibatkan eritrosit ruptur dan mengakibatkan pembendungan. Namun, pada ular yang diamati, tidak terlihat gejala fisik yang dapat diamati karena nafsu makan dan perilaku ular ini tetap aktif seperti biasanya.

a

a

1

2

(26)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada ular Ptyas corros ditemukan protozoa parasitik yang terdiri atas 5 macam parasit yaitu 4 genus parasit pada saluran pencernaan dan 1 genus parasit pada darah. Parasit pada pencernaan ular meliputi Balantidium, Giardia, Criptosporidia, dan Entamoeba. Plasmodium merupakan parasit yang ditemukan pada darah ular. Presentase hewan terinfeksi Giardia, Balantidium, Entamoeba dan Cryptosporidium berturut-turut adalah 90%, 80%, 80%, dan 70%. Plasmodium menginfeksi seluruh ular yang diamati.

Saran

Penelitian ini adalah penelitian dasar berupa sebuah proses identifikasi. Penelitian lanjutan diperlukan untuk identifikasi parasit yang lebih spesifik hingga ke tingkat spesies dengan PCR dan DNA sequence. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan juga untuk mengetahui potensi zoonosis akibat protozoa parasitik pada Ptyas corros.

DAFTAR PUSTAKA

Assafa D, Kibru E, Nagesh S, Gabreselassie S, Deribe F, Ali j. 2004. Medical Parasitology. Ethiopia

Aulia M. 2001. Rediscovery of the Indochinese Rat Snake Ptyas korros (Schlegel, 1837) (Serpentes: Colubridae) in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 50(1): 197-198

Auliya M. 2010. Conservation Status and Impact of Trade on the Oriental Rat Snake Ptyas mucosa in Java, Indonesia. Selangor: TRAFFIC Southeast Asia [CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20

April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/giardia/biology.html [CDC]1 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20

April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/balantidium/ biology.html

[CDC]2 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20 April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/balantidium/

[CDC]3 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 3juli 2013. Tersedia pada: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Cryptosporidiosis. htm

Brownstein DG, Stranberg JD, Montali RJ, Bush M, Fortner J. 1977. Cryptosporidium in Snakes with Hypertropic Gastritis. Vet. Pathol. 14:606. DOI:10.1177/030098587701400607

(27)

17 Davis PH, Schulze J, Stanley SL. 2006. Transcriptomic Comparison of Two Entamoeba histolytica Strains With Defined Virulence Phenotypes Identifies New Virulence Factor Candidates And Key Differences In The Expression Patterns Of Cysteine Protease, Lectin Light Chains, and Calmodulin. Molecular & Biochemical Parasitology 151:118-128. doi:10.1016/j.molbiopara. 2006.10.014

Gupta N, Gupta DK, Shalaby S. 2008. Parasitic Zoonotic Infections In Egypt And India: an Overview. J Par Disease 32:1-9

Jarernsak S, Chaleow S, Nual-Anong N, Lawan C, Nirachra R, Piyawan S. 2001. Hematozoa of Snake in Queen Saovabha Memorial Institute. Thailand.

Karen YC, Oberst RD, Upton SJ, Mosier DA. 1996. Biliary Cryptosporidiosis in two corn snakes (Elaphe guttata). J Vet Diagn Invest 8:398-399.

Katerina P, Klara JP, Ilona P, Jana P, David M. 2010. Discrepancies in the Occurrence of Balantidium coli Between Wild and Captive African Great Apes. J Parasitol. 96(6): 1139-1144. doi: 10.1645/GE-2433.1

Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Di dalam : Soekardono, penerjemah ; Brotowidjoyo, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology.

Min DY, Ahn MH, Ryu JS. 2013. Web Atlas of Medical Parasitology. [diunduh tanggal 20 September 2013]. Tersedia pada: http://atlas.or.kr/atlas/include/view Img.html?uid=640

NDF WORKSHOP CASE STUDY. 2008. Reptiles And Amphibians Case Study 4 Ptyas mucosus. Mexico. Hal: 2-3

Palmer CJ et al.. 2003. Cryptosporidium Muris, a Rodent Pathogen, Recovered From a Human in Peru. Emerging Infectious Disease vol 9.

Robinson G, Elwin K, Chalmers RM. 2008. Unusual Cryptosporidium Genotypes in Human Cases of Diarrhea. Emerging Infectious Diseases 14:1800-1802. DOI:10.3201/eid1411.080239

Safar R. 2010. Parasitologi Kedokteran. Bogor (ID): Yrama Widya

Saleha S. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta (ID): Badan Penerbit FKUI Companian: Canine and Feline Infectious Disease and Parasitology. USA: Blackwell Publishing.

Tampubolon M. 2004. Protozoology. Bogor (ID). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Dierektorat Jendral Pendidikan Tinggi; Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor

Umair S, Maqbool A, Shabbir Z, Ahmad MD. 2008. Amoebic Dysentry In Dogs And Dog Owners. J Par Disease 32:74-76

(28)

18

Southern Water Snake (Nerodia Fasciata pictiventris). J. of Zoo and Wildlife Med. 29(1):68-71

Xiao L et al. 2004. Genetic Diversity of Cryptosporidium spp. in Captive Reptiles. Applied and Environmental Microbiology 891-899. doi:10.1128/AEM.70.2.891 -899.2004

Xiao L, Fayer R. 2008. Molecular Characterisation of Spesies and Genotypes of Cryptosporidium and Giardia and Assessment of zoonotic Transmission. International Journal for Parasitology 38:1239-1255. doi:10.1016/j.ijpara. 2008.03.006

(29)

19 RIWAYAT HIDUP

Fajar Sakti Nur Hardiansyah adalah seorang mahasiswa muslim di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang masuk pada tahun 2008. Dia lahir di kota Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Oktober 1989 dan berdomisili di Jl. S. Parman no. 23 Ngawi 63216. Riwayat pendidikannya antara lain, SDN Margomulyo III Ngawi pada tahun 1996-2002, SMPN 2 Ngawi tahun 2002-2005, dan SMAN 2 Ngawi tahun 2005-2008. Beberapa prestasi yang pernah diraih diantaranya adalah Juara I paduan suara SMA tk. Kab Ngawi tahun 2005, Juara II pengembaraan V gerakan Pramuka Kwarcab Ngawi tahun 2005, Juara II dimas diajeng Kab Ngawi tahun 2007, Paskibraka Nasional di Istana Negara tahun 2007, Duta belia Indonesia untuk negara Vieatnam dan Thailand tahun 2007, Peraih the best humor film dalam festival film Smada tahun 2008, Peraih SMADA Awards kategori Bela Negara tahun 2008, Paskibra IPB tahun 2009, Juara II lomba nasyid Al-Huriah tahun 2008, dan Penerima proposal PKM didanai DIKTI tahun 2012.

Gambar

Gambar 2  Hepatozoon sp. pada eritosit, 1) Siamese Spitting Cobra, 2) Ptyas
Gambar 3  Siklus hidup Giardia sp.(CDC 2013).
Gambar 5 Siklus hidup Balantidium sp. kista mengalami ekskistasi dan
Gambar 8  Patologi anatomi pada usus ular yang terkena Cryptosporidia sp.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul Parasit Saluran Pencernaan pada Kucing Liar di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor adalah benar karya saya dengan

Jenis dan jumlah cacing parasitik yang ditemukan pada organ insang dan saluran pencernaan (usus) ikan bawal air tawar (C. macropomum) umur 5-6 bulan pada kolam budidaya di

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik pada insang dan pencernaan ikan patin ( Pangasius

Perlu dilakukan pengendalian penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa saluran pencernaan pada Anjing Kintamani Bali yang bermanfaat untuk kesehatan anjing tersebut

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi dan data tentang cacing parasitik dan bakteri yang ditemukan pada insang serta saluran pencernaan ikan nila BEST

Jenis dan tingkat serangan cacing parasitik lebih tinggi pada organ insang daripada organ saluran pencernaan (usus) ikan patin (Pangasius djambal) pada kolam budidaya

Bakteri Dan Cacing Parasitik Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin (Pangasius djambal).. Bogor: Institut

1) Pemeriksaan prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing yang dipelihara di Surabaya sebaiknya dilakukan secara berkala, sehingga infeksi protozoa