• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Tween 20 terhadap Disolusi Suppositoria Parasetamol Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh Penambahan Tween 20 terhadap Disolusi Suppositoria Parasetamol Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ERMIN SULISTYOWATI

PENGARUH PENAMBAHAN TWEEN 20

TERHADAP DISOLUSI

SUPPOSITORIA PARASETAMOL

M 1 l 1 K

S R A B

A

v A

f f . H t f / f '

. M L

FAKULTAS FARMASI UN1VERSITAS AIRLANGGA

S U R A B A Y A

(2)

PENGARUH PENAMBAHAN TWEEN 20 TERHADAP

DISOLUSI SUPPOSITORIA PARASETAMOL

SKRIPSI

DIBUAT UNTUK MEMENUHI SYARAT MENCAPAI GELAR

SARJANA FARMASI PADA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

1 9 9 1

o l e h

ERMIN SULISTYOWATI

(3)

K A T A PK NGANTAI t

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami

berhasil menyusun skripsi ini guna memenuhi persyaratan

mencapai gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga.

Dalam skripsi ini merupakan pengalaman belajar

tersendiri karena harus merencanakan, mengerjakan dan

menyusun karya ilmiah sehingga perlu mendapat bantuan

dari beberapa pihak yang lebih berpengalaman.

Untuk itu pada kesempatan ini perkenankanlah kami

mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

- Bpk Drs Soegiharto. H, Apt , Bpk DR Aziz Hubeis, Apt,

Bpk Roesdji Gawai , Apt, SU yang telah membimbing,

memberi saran,mengarahkan serta memberi semangat dan

dorongan moril yang berharga dalam pelaksanaan hingga

penyelesaian skripsi ini dengan penuh kesabaran dan

kebijaksanaan.

- Kepada Bapak Ketua Jurusan Farmasetika Fakultas Farma­

si Universitas Airlangga yang telah memberi perhatian

dan ijin mempergunakan sarana dan fasilitas yang saya

butuhkan dalam penelitian ini.

- Kepada Bapak-Ibu dosen jurusan Farmasetika yang dengan

rasa besar hati telah meluangkan waktu untuk memecah-

(4)

- Kepada seluruh karyawan labo r a t o r i u m Preskripsi-

Formulasi atas bantuan dalam menyediakan bahan serta

alat-alat yang kami butuhkan.

- Akhirnya kepada ayah, ibu, adik-adik dan rekan-rekan

mahasiswa yang memberi dorongan baik moril maupun

materil dalam menyelesaikan peneiitian ini.

Untuk segala kebaikan yang telah kami teriaa itu

semoga Allah SWT melimpahkan balasan rahmat dan hidayah-

nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

ii

Surabaya, Pebruari 1991

(5)

DA FTAK I SI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB :

2. Pelepasan bahan aktif dari suppositoria di rektum... 12

2.1. Anatomi rektum ... 12

2.2. Fungsi rektum ... 12

(6)

4.3. Toksisitas ... ... ... 19

2.1. Uji Kualitatif parasetamol... ...22

2.2. Uji kualitatif tween 2 0 ... ...23

2.3. Formula suppositoria... ...23

2.4. Pembuatan Suppositoria ... .. 24

2.5. Pemeriksaan fisis Suppositoria ... .. 24

2.5.1. Pemeriksaan organoleptis .... .. 24

2.5.2. Pemeriksaan keseragaman bobot ... .. 24

2.5.3. Pemeriksaan waktu lebur... .. 25

2.6. Penentuan kadar parasetamol dalam suppositoria ... .. 27

2.6.1. Pembuatan larutan baku induk parasetamol... .. 27

2.6.2. Penentuan panjang gelombang .. 28

2.6.3. Pembuatan kurva baku ... .. 28

2.6.4. Pemeriksaan keseragaman kadar

parasetamol dalam suppositoria 29

(7)

2.5.5. Pemeriksaan laju disolusi... 30

2.7. Uji kelarutan jenuh parasetamol dalam media disolusi... ... 31

2.8. Analisa data ... ... 32

IV. HASIL PENELITIAN... ... 33

1. Hasil pemeriksaan kualitatif 1.1. Parasetamol... ... 33

1.2. Tween 2 0 ... ..34

2. Hasil pemeriksaan Organoleptis suppositoria... ...36

3. Hasil pemeriksaan keseragaman bobot... ...36

4. Hasil pemeriksaan kekerasan suppositoria.. 37

5. Hasil penentuan panjang gelombang max.... ...38

6. Pembuatan kurva baku...40

7. Hasil pemeriksaan keseragaman kadar parase­ tamol dalam suppositoria. ... ...42

8. Hasil pemeriksaan laju disolusi... ...42

(8)

D A F T A R T A B E L

TABEL I. Formula suppositoria parasetamol... 24

II. Keseragaman bobot suppositoria... ... 36

III. Pemeriksaan kekerasan suppositoria... 37

IV. Nilai serapan larutan parasetamol untuk

penetuan panjang gelombang maximum... 38

V. Nilai serapan laritan parasetamol pada

panjang gelombang 240 n m ... 40

VI. Keseragaman kadar parasetamol dalam

suppositoria... ... 42

VII. Kadar parasetamol terlarut dari

suppositori formula I, II, III... 43

VIII. Kadar kelarutan jenuh parasetamol ... 45

IX. Hasil perhitungan efisiensi disoiusi

suppositoria parasetamol dari ketiga

formula dengan replikasi 3x... 46

X. Ringkasan anova rancangan acak lengkap

dari efisiensi disoiusi suppositoria

parasetamol dari ketiga formula... 46

XI. Nilai selisih rata-rata efisiensi

(9)

D A FT A K GAMBAR

Gambar 1 : Spektrum infra merah parasetamol... 35

2 : Hubungan serapan vs panjang gelombang

larutan parasetamol dengan kadar 5,0

mcg/ml dan 15 mcg/ml untuk penentuan

panjang gelombang maksimum... 39

3 : Kurva baku larutan parasetamol pada

panjang gelombang maksimum 240 n m ... 41

4 : Profil disolusi suppositoria

(10)

LAMPIRAN

Lampiran I : Contoh perhitungan statistik ANOVA... 61

II : Tabel harga F pada derajat

keperca-yaan 5 % ... ...62

III : Tabel harga q pada derajat

keperca-yaan lebih besar 1 X...63

IV : Tabel harga r pada derajat

keperca-yaan 5 % dan 1 % ...64

V : Sertifikat analisa Parasetamol... .. 65

(11)

BAB I

PKNDAHULUAN

•UNIVERSITAS A1RLANGGA’ S U R A B A Y A

Suppositoria berasal dari bahasa latin "Suppositus"

yang berarti lewat bawah (1). Bentuk sediaan supposito­

ria umumnya hanya untuk efek lokal yaitu : wasir Akan

tetapi terlebih penting dari itu ialah bahwa supposito­

ria dapat juga digunakan untuk pemakaian sistemik,

cara pemakaian ini mempunyai beberapa kelebihan dari

pada pemakaian secara oral yaitu (1,2) :

Sediaan suppositoria terdiri atas bahan aktif dan

bahan dasar. Penggunaan bahan dasar suppositoria harus

memberikan pelepasan bahan obat yang memuaskan, inert

dan tidak mengiritasi serta tercampurkan dengan semua

bahan obat. Oleum cacao (lemak coklat) dan beberapa

substansi lemak lain telah diterima sebagai bahan dasar

suppositoria yang paling memuaskan, akan tetapi bahan

(12)

2

1. Obat yang larut dalam lemak jika diberikan dalam

bentuk sediaan suppositoria dengan bahan dasar

lemak cenderung terlepas sangat lambat dari bahan

dasar tersebut.

liki sifat polimorfisa (keberadaan zat tersebut

dalam berbagai bentuk k r i s t a l ). Ada 4 macam

bentuk kristal yang mempunyai titik lebur yang

berlainan. Sifat tersebut menyebabkan kesulitan

dalam pembuatan dan penyimpanan, khususnya di-

daerah tropis ini.

Beberapa keuntungan penggunaan bahan dasar tipe lemak

ini antara lain : tidak mengiritasi,serta tercampurkan

dengan kebanyakan bahan obat (4).

Selain tipe lemak dikenal bahan dasar suppositoria

yang lain seperti gelatin - gliserin dan polietilen

glikoi. Polietilen glikoi merupakan salah satu bahan

dasar suppositoria yang larut dalam air. Berdasarkan

(13)

daiam bontuk cair, pasta dan pactat, becitu pula .iarak

Jebnrnva bervariasi ctxmana makin besar nerat moieKul-

nya, .iarak lehurnva makin meningkat (d ). Atas dasar ini

maka sebagai bahan dasar suppositoria dlgunakan Kombina-

si polietilen glikoi dengan berat molekul yarn? berlai-

nan.

Absorbsi obat melalui rektum pada pemberian obat

dalam bentuk sediaan suppositoria melibatkan 2 tahap (6)

1. Peiepasan bahan obat dari bahan dasar.

2. Absorbsi obat melalui mucosa.

Sedangkan faktor - faktor yang mempengaruhi absorbsi

tersebut adalah <1,3) : 1'aktor-t'aktor fisiologi dan

faktor-faktor fisika - kimia bahan obat dan bahan dasar.

Faktor-faktor fisika-kimia bahan obat dan bahan dasar

sangat berpengaruh terhadap peiepasan bahan obat dari

bahan dasar.Telah banyak dilakukan modifikasi formula

agar peiepasan bahan obat dari bahan dasar dapat

meningkat. Salah satu cara yaitu dengan menambahkan

suatu surfaktan. Hasil penelitian yang telah dilak-

ukan oleh Withworth dan Larrocca menyimpulkan bahwa

penambahan beberapa emulsifying agent seperti tween,

span dan arlacel dapat meningkatkan peiepasan bahan

obat dari bahan dasar oleum cacao (lemak coklat) (3).

Untuk meramalkan kecepatan peiepasan bahan aktif

dari bahan dasar suppositoria secara invitro dapat

(14)

mempe-ntfaruhi kecepatan dAn .iumlah bahan aktif yang diab-

sorbsi•Yudith AN dan kawan - kawan menyimpulkan bahwa

penambahan polisorbat 20 (tween 20) dapat meningkatkan

disoiusi dari asam salisiiat (7).

Sebagai model digunakan parasetamol yang mempunyai

kelarutan dalam air yang kecil. Parasetamol dalam se-

diaan suppositoria umumnya dibuat denean bahan dasar

polietilen elikol (8,9). Berdasarkan peneiitian Plaxco

dan kawan-kawan, penambahan tween 20 memberikan pelepa-

san ephedrine HC1 dari bahan dasar lemak coklat yang

paling baik bila dibandingkan denean penambahan tween

yang lain (10)

Peneiitian ini bertu.iuan untuk mengetahui pengaruh

penambahan tween 20 terhadap profil disoiusi supposito­

ria parasetamol. Penambahan tween 20 tersebut diharapkan

(15)

B A B I X

T 1N J A U A N P U S T A K A

Suppositoria

Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang

dimasukkan dalam lubang tubuh, dimana ia akan mele­

leh, melunak dan melarut serta memberikan efek lokal

maupun sistemik. Suppositoria umumnya dimasukkan

melalui rektum, vagina dan uretra (5,11,12). Adapun

pengertian yang terbatas adalah sediaan padat yang

digunakan melalui dubur umumny berbentuk terpedo,

dapat melarut, melunak maupun meleleh pada suhu tubuh

(13) .

Bentuk sediaan suppositoria sudah dikenal sejak

dahulu oleh orang-orang Asiria +. 2600 SM, orang-

orang Mesir + 1600 SM, orang-orang India juga pada

jaman Yunani dan Romawi kuno (11). Dokter-dokter

Mesir dan India pada masa itu telah menggunakan

suppositoria untuk efek lokal dan sistemik*

l.-l. Bahan dasar suppositoria.

Bahan dasar suppositoria memainkan peranan

penting dalam pelepasan bahan obat yang dikan-

dungnya, dengan demikian juga mem p e n g a r u h i

absorbsinya. Persyaratan utama suatu bahan dasar

suppositoria adalah padat pada suhu kamar tetapi

(16)

6

tubuh. Bahan dasar suppositoriaantara lain dapat

terdiri atas lemak coklat, polietilen glikoi

berat molekul tinggi dan lain-lain. Sedang bila

tidak dinyatakan lain digunakan lemak coklat

(13).

Sebagai bahan dasar suppositoria yang ideal

harus memenuhi beberapa kriteria antara lain

(14,15) :

- Harus dapat meleleh pada suhu tubuh, melarut

dan melunak pada cairan tubuh.

- Stabil pada penyimpanan dan tidak menunjukkan

p erub a h a n warna, bau dan peiepasan bahan

aktif.

- Perbedaan suhu saat bahan dasar mulai melunak

dan meleleh kecil yaitu kurang dari 3° C.

- Tidak toksik dan tidak mengiritasi.

- Harus inert dan tercampurkan dengan bermacam -

macam bahan aktif.

- Dapat raengalami penyusutan volume pada waktu

pendinginan sehingga tak perlu lubrikan.

- Dapat dibuat dengan tangan, tekanan atau

leburan.

Beberapa persyaratan tambahan untuk Sup­

posit o r i a d engan bahan dasar yang berlemak

(17)

- Bilangan asam kurang dari dua.

- Bilangan Iod kurang dari tujuh.

- Bilangan penyabunan antara 200 - 245.

Pemilihan bahan dasar yang digunakan dise-

suaikan dengan sifat fisika-kimia bahan aktif,

untuk bahan aktif yang larut dalam lemak se-

baiknya digunakan bahan dasar yang larut dalam

air. Demikian sebaliknya untuk bahan aktif yang

larut dalam air digunakan bahan dasar yang larut

dalam lemak (15).

Secara garis besar bahan dasar suppositoria

dibagi dalam tiga golongan (12,15) :

- Bahan dasar berlemak.

- Bahan dasar hidrofil.

- Bahan dasar larut air.

- Bahan Dasar Berlemak

Bahan dasar lemak yang sering digunakan

adalah lemak coklat (USP) didefinisikan seba-

(18)

8

trigliserida (campuran gliserin dan satu atau

lebih lemak yang berbeda), oleh karenanya

lemak coklat menunjukkan sifat polimorfisa

atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai

bentuk kristal. Ada 4 macam bentuk kristal

merupakan bentuk yang paling stabil meleleh

pada suhu antara 34° C - 35° C.

- Bahan Dasar Hidrofil

Bahan dasar hidrofil merupakan bahan

dasar yang dapat terdispersi dalam air yaitu

emulsi dan surfaktan non ionik, antara lain :

Polisorbat 61 (tween 61),Polioksi 40 stearat

(19)

Solbase dan Sucrol (1)

2000 berbentuk pasta sedang yang mempunyai

berat molekul lebih besar dari 2000 berbentuk

padat. Kelarutan dalam air : semakin tinggi

berat molekulnya semakin menurun kelarutannya

dalam air. Polietilen glikol bersifat hi-

groskopis, sifat ini akan berkurang dengan

semakin bertambahnya berat molekul. Suhu lebur

polietilen glikol akan naik dengan bertambah­

nya berat molekul.

Sebagai bahan dasar suppositoria PEG mempunyai

beberapa keuntungan :

- Stabil, inert dan tidak memerlukan lubrikan

pada cetakan.

- Dapat diperoleh konsistensi bahan dasar yang

diinginkan dengan roengkombinasi bermacam-macam

jenis PEG.

- Kombinasi ini umumnya memiliki titik leleh

(20)

10

disimpan dalam tempat yang dingin (14).

Sedangkan beberapa kelemahan PEG antara lain :

- Higroskopis, ini menyebabkan sifat iritasi,

akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan

penambahan air + 20 % pada formula atau dengan

menc e l u p k a n k e d a l a m air sebelum digunakan

(14).

- Suppositoria kadang-kadang mengalarai kerapuhan

pada penyimpanan terutama untuk suppositoria

yang bahan dasarnya dikombinasi dengan air.

Hal ini dapat diatasi dengan penambahan propi-

len glikol atau minyak jarak (16).

1.2. Bobot dan bentuk suppositoria

Menurut beberapa pustaka, bobot dan bentuk

suppositoria bermacam-macam tergantung macam

suppositoria (1,12,15,16) :

- Suppositoria rektal :

Bobot : untuk orang dewasa 2 g.

untuk anak-anak 1 g.

Bentuk : umumnya berbentuk terpedo.

- Suppositoria Vaginal :

Bobot : 3 - 5 g .

Bentuk : umumnya berbentuk oval atau bulat.

- Suppositoria Uretral :

(21)

diameter 5 mm.

bentuk terpedo dengan bahan dasar lemak coklat.

1.3. Pembuatan Suppositoria

Pada umumnya cara pembuatan suppositoria

dapat dibuat dengan beberapa metoda (1,14,17) :

- Metoda dingin, dilakukan dengan cara menggu-

lung campuran homogen antara bahan dasar dan

bahan aktif yang telah homogen, kemudian

dipotong-potong sesuai dengan bentuknya.

- Metode p a n a s , yaitu dilakukan dengan cara

melebur bahan aktif yang tahan panas dan bahan

dasar kemudian dituang dalam cetakan. Pada

metode ini pembuatan suppositoria harus dile-

bihkan dua atau tiga suppositoria untuk mence-

gah adanya masa suppositoria yang melekat atau

menempel pada wadah maupun spatel.

Dilebihkan dua atau tiga ini untuk cetakan

(22)

M 1 L I K PERPUSTAKAAN

"UNIVERS1TAS AIRLANGGA* , 2

S U R A B A Y A

Peiepasan bahan aktif dari suppositoria di rektum

2.1. Anatomi rektum (11)

Rektum terdiri atas beberapa lapis. Lapisan

paling luar disebut mucosa yang banyak mengan-

dung sel-sel epitel, lapisan yang lebih dalam di

sebut sub mucosa yang banyak mengandung pembuluh

darah.

P e m b u l u h darah pada rektum mempunyai 3

percabangan yaitu : pembuluh vena hemoroidal

inferior yang letaknya dekat analaspinkter,

pembuluh darah vena hemoroidal middle terletak

pada bagian tengah. Dan percabangan yang terak-

hir adalah pembuluh darah superior yang terletak

pada rektum bagian atas. Pembuluh darah vena

hemoroidal inferior dan middle masuk kedalam

vena cava inferior. Sedang pembuluh darah vena

hemoroidal superior akan menjadi satu dengan

vena mesenterika inferior.

2.2. Fungsi Rektum (11)

Rektum berfungsi sebagai reserfoar sisa-

sisa makanan setelah mengalami absorbsi dilam-

bung dan di usus yang akhirnya dikeluarkan dalam

(23)

2.3. Mekanisme pelepasan bahan obat dari suppositoria

Suppositoria setelah masuk kedalam rektum

akan meleleh, melunak atau melarut yang kemudian

di ikuti dengan pelepasan bahan obat kedalam

cairan mucosa.

Faktor - faktor yang mempengaruhi tahap

pelepasan bahan aktif dari suppositoria adalah :

- Destruksi suppositoria dalam rektum

Destruksi merupakan peleburan senyawa

penyusun bahan dasar suppositoria. Bahan dasar

yang melebur adalah lemak coklat. Sedangkan

bahan dasar yang larut, destruksi merupakan

pelarutan bahan dasar tersebut dalam cairan

rektum.

- Kecepatan melarut bahan aktif

Kecepatan melarut bahan aktif tergantung

pada sifat fisika-kimia bahan aktif meliputi :

- Ukuran partikel

- Polimorfisa

- Sifat bahan aktif terhadap bahan dasar.

Peranan formulasi sedian obat sangat

menentukan kecepatan pelepasan bahan obat dari

sediaan. Terutama untuk bahan obat yang ke-

larutannya sangat kecil, peranan formulasi

sangat besar pengaruhnya terhadap absorbsinya.

(24)

14

peiepasan bahan aktif dari bahan dasar terse-

but. Sediaan - sediaan padat baru dapat diab-

sorbsi setelah berada dalam bentuk larutan,

oleh karena itu untuk meramalkan kecepatan

p e i e p a s a n bahan obat dari sediaan secara

invitro dilakukan dengan pengujian disolusi.

Beber a p a p e n e l i t i a n yang pernah dilakukan

antara lain :

1. Penelitian Withworth dan Larrocca tentang

efek beberapa emulsifyng agent terhadap

p e i e p a s a n bahan obat dari bahan dasar

suppositoria. Diperoleh hasii sebagai

berikut : penambahan tween 61 sebesar 20 %

tanpa penambahan emulsifyng agent. Dari

penelitian itu disimpulkan bahwa penambahan

emulsifyng agent kurang dari 20 % memberi­

kan peiepasan bahan obat kurang dari 30 %

(25)

- 40 % memb e r i k a n pelepasan bahan obat

paling besar serta tween merupakan emulsi-

fyng agent yang sangat baik untuk memberi­

kan pelepasan bahan obat dari bahan dasar

lemak coklat bila dibandingkan dengan span

dan arlacel.

2. Peneiitian Plaxco dan kawan - kawan tentang

efek beberapa surfaktan non ionik terhadap

pelepasan bahan obat dari suppositoria (9).

Plaxco menambahkan bermacam - macam surfak­

tan non ionik seperti span, tween, myrj dan

brij sebesar 5 % pada bahan dasar lemak

coklat dan dengan menentukan jumlah amino-

philin, ephedrine dan ephedrine HC1 yang

terdisolusi secara invitro pada selang

w aktu 30, 60, 90 menit diperoleh hasil

sebagai berikut : dengan menambahkan sur­

faktan - surfaktan tersebut dapat mening-

katkan jumlah aminophilin yang terdisolusi

akan tetapi jumlah maksimum aminophilin

yang terdisolusi diperoleh bila supposito­

ria dibuat dengan menambahkan surfaktan

yang memiliki harga HLB antara 11 sampai

14. Sedangkan untuk ephedrine HC1 penamba­

han surfaktan dapat meningkatkan disolusi-

(26)

16

y memberikan pengaruh yang kecil terhadap

disolusi tersebut. Peningkatan disolusi

terbesar diperoleh dengan menambahkan brij

60 dan tween 20.

2.4. Absorbsi

Setelah bahan aktif mengalami pelepasan

dari bahan dasar supppositoria maka tahap beri-

kutnya adalah absorbsi bahan aktif tersebut pada

mucosa rektum. Tahap ini dipengaruhi oleh be­

berapa faktor yaitu :

- Faktor fisiologi

Faktor fisiologi yang mempengaruhi ab­

sorbsi obat dari rektum antara lain : kandung-

an kolon, jalur sirkulasi, pH dan tidak adanya

kemampuan mendapar dari cairan rektum.

- Faktor fisika - kimia dari bahan obat dan

bahan dasar yang mempengaruhi absorbsi obat

dari rektum yaitu : koefisien partisi lemak -

air, ukuran partikel dan sifat basis.

3. Disolusi

3.1. Batasanf11.18 1

Kecepatan disolusi adalah kecepatan peruba-

han bentuk padat menjadi bentuk terlarut dalam

(27)

3.2. Proses melarut ( 18,19)

Agar terjadi proses melarut, maka molekul

zat terlarut harus terlepas dari permukaannya

kemudian mengadakan transport untuk masuk keda-

lam pelarutnya, sementara molekul pelarut menga-

tur diri sedemikian rupa membentuk lubang.

Berdasarkan tahapan proses melarut dikenal

tiga mekanisme proses melarut dimana zat dapat

melarut dengan salah satu cara atau merupakan

gabungan dari cara-cara berikut (18,20) :

1. Teori film (model lapisan difusi)

Teori ini beranggapan jika suatu bahan

padat dimasukkan kedalam suatu pelarut maka

akan terjadi suatu lapisan tipis (film)

antara pelarut dan zat padatnya, dimana

lapisan tipis ini bersifat diffusion layer,

dengan ketebalan h cm. Cairan pada permukaan

zat padat akan bergerak dengan kecepatan

tertentu kecairan yang kadarnya lebih kecil.

2. Model 11 Interfacial Barier11

Teori ini beranggapan bahwa pada permu­

kaan zat padat terjadi kadar yang dengan

pelarutnya terdapat lapisan batas antar.

3. Model Dankwert

Teori ini beranggapan bahwa transport

(28)

-18

kantong atau macroscopis packets.

4. Parasetamol

4.1. Sifat fisika - kimia (13,16,22)

Parasetamol mempunyai nama lain : asetamia-

setanilida, N (4 hidroksi fenil) asetanilida.

Parasetamol adalah serbuk atau hablur yang

berwarna putih, tidak berbau, rasa pahit, berat

molekul 151,17, mempunyai titik lebur 169° C

172° C. Indeks bias 1,293. Parasetamol larut

dalam 70 bagian air, dalam 20 bagin air panas,

dalam 7 bagian etanol 95% P, dalam 13 bagian

aseton P, dalam 50 bagian kloroform, dalam 40

bagian gliserol P, dalam 9 bagian propilen

glikol P dan larut dalam alkai hidroksida.

Reaksi warna dengan larutan besi (III)

klorida memberikan warna violet.

4.2. Farmakologi [ 2)

Parasetamol termasuk golongan para amino

fenol yang mempunyai khasiat sebagai analgesik

(menghilangkan rasa nyeri) dan antipiretik

(menurunkan suhu tubuh). Mekanisme kerja diduga

rumits bangun : N H C O C H

(29)

berdasarkan efek sentral mirip salisilat.

Parasetamol diabsorbsi dengan cepat dan

sempurna melalui saluran cerna dengan konsentra-

si tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu

kurang lebih 30 menit sampai 2 jam. Dimetabo-

lisme didalam hati dan diekskresi melalui urin

dalam bentuk konjugat glukoronida dan sulfat.

Kurang dari 5% terekskresi tak berubah. Waktu

paruh elminasi bervariasi antara 1 sampai 4

jam. Ikatan dengan protein plasma dapat diabai-

kan pada konsentrasi teraputik biasa tetapi akan

meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi

parasetamol (22).

4.3. Toksisitas (2,22)

Parasetamol dapat menyebabkan terjadinya

anemia hemolitik, terutama pada pemakaian yang

kronik. Akibat dosis toksis yang paling serius

adalah nekrosis hati. Hepatotoksik dapat terjadi

dengan pemberian tunggal sebesar 10 sampai 15

gram (200 - 250 mg/kg B B ) parasetamol. Efek ini

mempunyai peluang yang besar pada sediaan oral

karena parasetamol dikonjugasi dihati. Kerusakan

hepar tidak disebabkan oleh parasetamol sendiri

tetapi oleh suatu metabolit yang sangat reaktif

(30)

20

5. Tween 20 (13,16.22,23)

5.1. Sifat fisika - kimia

Tween 20 mempunyi nama lain : Polioksieti-

len sorbitan (20) monolaurat, Polisorbat 20.

Tween 20 merupakan campuran ester laurat

dari sorbitan dengan mono atau dianhidrida (17).

Merupakan hasil kondensasi larutan dari sorbitan

dan anhidridanya dengan etilenoksi.

Tween 20 merupakan cairan agak kental

tambahkan 10 ml larutan amonium tiosianat kobal-

to nitrat P dan dalam 5 ml kloroform P, kocok

biarkan terjadi warna biru pada lapisan kloro­

form.

5.2. Kegunaan (16,22)

Tween 20 merupakan surfaktan non ionik.

Karena harga HLB 16,7 maka tween 20 merupakan

(31)

sebagai solubilizing agent yaitu untuk mening-

katkan kelarutan bahan aktif yang semula kurang

larut (24). Kombinasi tween 20 dengan tween 80

dapat meningkatkan kelarutan minyak. Penambahan

surfaktan non ionik berguna untuk meningkat­

kan kecepatan pelepasan bahan obat terhadap

(32)

BAHAN A L A T DAN METODOLOG1 PENELITIAN

- Cetakan suppositoria dari logam.

- Erweka Suppositoria Tester type SBT.

- Disolusi Erweka tipe DT.

- Spektrofotometer Shimadzu Double Beem UV-VIS

type 140-02.

- Milipore membrane type filter HA cut nomer

HAWP 01300 lot nomer HOE 62453 B diameter 13

mm ukuran pori 0,45 mikron.

2. Tahapan keria

2.1. U.ii kualitatif Parasetamol (15)

U n t u k uji kualitatif dilakukan sesuai

dengan Farmakope Indonesia edisi III yaitu :

- Pemerian : diperiksa bentuk, warna, bau dan

rasa.

- Identifikasi: reaksi warna dengan besi(III)

(33)

S_U R A B A Y A __ i

klorida, larutan kalium

bikro-mat 0,1 N .

U.il kualitatif Tween 20 (15)

Untuk uji kualitatif tween 20 dilakukan

sesuai dengan Farmakope Indonesia edisi III

yaitu :

- Pemerian : diperiksa bentuk dan warna

- Identifikasi : 2 ml larutan 5 % b/v, tambahkan

10 ml larutan amoniumtiosianat-

kobaltonitrat P dan dalam 5 ml

k l o r o f o r m P, kocok b i a r k a n

terjadi warna biru pada lapisan

kloroform.

Formula suppositoria

Formula suppositoria dibuat dengan beberapa

kriteria yaitu :

- Jumlah Suppositoria dibuat sesuai dengan dosis

lazim anak-anak yaitu 120 mg tiap Suppositoria

- Berat tiap Suppositoria adalah 2 g.

- Pada tiap Suppositoria ditambahkan bahan yang

dapat meningkatkan kecepatan pelepasan bahan

obat yaitu : tween 20 sebanyak 2,5% dan 5 %

- Bahan dasar Suppositoria terdiri atas campuran

(34)

24

Pembuatan Suppositoria dilakukan dengan

cara panas yaitu melebur PEG 4000 sampai meleleh

sambil diaduk. Pada peleburan suhu diatur diba-

wah 60° C. Bahan dasar Suppositoria yang cair

dan Tween 20 digerus dengan bahan obat sampai

homogen dan dituang dalam bahan dasar yang telah

meleleh, diaduk sampai homogen. Kemudian dituang

dalam cetakan secara perlahan - lahan .

2.5. Pemeriksaan fisis suppositoria

2.5.1. Pemeriksaan Organoleptis suppositoria

Dari ketiga formula masing - masing

diambil lima buah suppositoria dan dia-

mati bentuk, warna dan bau dari tiap -

tiap suppositoria.

2.5.2. Pemeriksaan Keseragaman Bobot (26)

(35)

acak selanjutnya ditimbang bobot tiap

Suppositoria kemudian ditentukan bobot

rata - ratanya Britis Pharmcopoeia Gdisi

II men s y a r a t k a n tidak lebih dari dua

.Suppositoria masing - masing bobotnya

menyimpang lebih dari 5% dan tidak lebih

besar dari 10% dari satu Suppositoria

yang mengalami penyimpangan dari bobot

rata - rata.

2.5.3. Pemeriksaan Kekerasan Suppositoria

Dari ketiga formula diambil 3 Sup­

positoria dan masing - masing dilakukan

uji kekerasan dengan menggunakan alat

ERWEKA Suppositoria Tester type SBT.

(36)

Ucuk'Moofeitag

- Suppositoria diletakkan vertikal dengan

ujungnya pada bagian atas pada penahan

yang dibuat dari plastik berwarna merah

(44).

- Ujung suppositoria ditekan dengan

penekan (19) dengan hati-hati. Chamber

uji ini ditutup dengan gelas (28).

Penekan ini mempunyai beban seberat 600

(37)

- Bila penekan tidak turun selama 1 menit

ma k a beban d i t a m b a h lagi d e n g a n 1

lempeng seberat 200 gram , demikian

seterusnya bila setelah 1 menit penekan

tidak turun maka beban ditambah lagi 1

lempeng seberat 200 gram.

- Bila berat beban penekan kurang dari

600 gram dikatakan bahwa suppositoria

terlalu lunak dan tidak dapat diguna­

kan.

2.6. Penentuan kadar parasetamol dalam suppositoria

2.6.1. Pembuatan larutan baku induk dan baku

ker.ia parasetamol

Larutan baku induk parasetamol 250

meg / ml dibuat dengan cara sebagai beri-

kut : ditimbang seksama 125 mg dilarutkan

dalam 10 ml metanol. Encerkan dengan air

suling sampai volume 500,0 ml.

S e l a n j u t n y a l a r u t a n baku k e r j a

parasetamol dibuat dari larutan baku

induk yang diencerkan dengan air suling

sehingga didapatkan kadar yang dikehen-

daki yaitu : 2,5 mcg/ml, 5 m cg/ml, 7,5

mc g /ml, 10 m c g/ml, 12,5 mcg/ml, 15

(38)

28

2.6.2. Penentuan pan.iang gelombang maksimum

- Penentuan panjang gelombang maksimum

dilakukan dengan mengamati nilai sera­

pan larutan parasetamol pada kadar 5

mcg/ml dan 10 mcg/ml (baku kerja) pada

rentang panjang gelombang 220 - 270 nm.

- Tiap - tiap kadar dilakukan pembacaan

nilai serapan dengan replikasi tiga

kali.

- Dari hasil pengamatan dibuat tabel dan

kurva nilai serapan vs panjang gelom­

bang sehingga dengan demikian diperoleh

panjang gelombang maksimum*

2.6.3. Pembuatan kurva baku parasetamol

- larutan baku parasetamol dengan kadar

2,5 mcg/ml, 5 mcg/ml, 7,5 mcg/ml, 10

mcg/ml mcg/ml, 12,5 mcg/ml, 15 mcg/ml

diamati serapannya pada panjang gelom­

bang maksimum.

- Kemudian dibuat kurva baku antara nilai

serapan vs kadar dan dengan perhitungan

regresi diperoleh persamaan garis kurva

(39)

2.6.4. Pemeriksaan keseragaman kadar parasetamol

dalam suppositoria (26)

Pemeriksaan keseragaman kadar para­

setamol dalam Suppositoria dilakukan

dengan mengambil 5 suppositoria untuk

masing-masing formula dengan prosedur

sebagai berikut :

- Sarapel sebanyak 5 Suppositoria dilebur,

dibuat homogen dan didinginkan dalam

cawan dan pengaduk. Ditimbang bobotnya

dengan teliti.

- Sebagian campuran homogen tersebut di­

bang setara dengan 100 mgram parase­

tamol .

- Masing-masing dilarutkan dalam 10 ml

metanol sampai larut. Kemudian diencer-

kan dengan air suling sampai volume

100,0 ml.

- Dipipet 1,0 ml diencerkan dengan air

suling sampai 100,0 ml.

- Diamati serapannya pada panjang gelom­

bang .

- Dihitung kadar parasetamol dengan meng-

gunakan persamaan kurva baku.

(40)

30

2.6.5. Pemeriksaan la.iu disolusi (26)

Dalam hal ini dilakukan pemeriksaan

laju disolusi suppositoria invitro dengan

mengggunakan Erweka tipe DT.

Tahap - tahap pelaksanaan adalah sebagai

berikut :

- Penyiapan rangkaian alat.

- Bejana diisi dengan air suling 900,0 ml

dan suhu diatur pada (37 +. 0,5) C.

- Suppositoria dimasukkan dalam basket,

kemudian basket dimasukkan dalam beja­

na. Jarak basket dan dasar bejana (2,0

- Diamati serapannya dengan menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang

maksimum.

(41)

terla-rut dengan menggunakan persamaan kurva

baku yang diperoleh pada 2.6.3.

- Laju disoiusi dari masing- masing for­

mula dilakukan dengan replikasi 3 kali.

- Dihitung efisiensi disoiusi (Khan).

2.7. U.ii kelarutan .ienuh Parasetamol dalam media

disoiusi

Untuk kelarutan jenuh Parasetamol dalam

media disoiusi dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

- Ditimbang Parasetamol sebanyak 20 gram.

- Masukkan dalam bejana disoiusi yang telah

berisi air suling dan suhu telah mencapai (37

± 0,5)° C.

- Diambil Aliquat sebanyak 5 ml pada jam ke 4,

5, 6, 7, 8.

- Amati serapannya pada panjang gelombang maksi-

mum.

- Pengambilan Aliquat dihentikan bila serapan

telah konstan (kadar Parasetamol terlarut

telah jenuh).

- Data ini digunakan untuk menghitung efisiensi

(42)

32

2.8. Analisa data

Data efisiensi disoiusi yang diperoleh

diolah secara statistik dengan rancangan acak

lengkap andaikata terjadi perbedaan bermakna

dilanjutkan dengan perbandingan berganda metode

(43)

BAIi I V

HASIL PENELITIAN

1. Pemeriksaan Kualitatif Parasetamol dan Tween 20

Hasil identifikasi kualitatif yang dilakukan

adalah sebagai berikut :

1.1. Parasetamol

a. Pemerian :

bentuk serbuk

warna putih

rasa pahit

(sesuai dengan FI ed.III)

b. Reaksi warna dengan larutan FeClj

: timbul warna biru violet (sesuai dengan FI

ed.III)

c. Reaksi warna dengan larutan kalium bikromat

0,1 N.

: timbul warna violet yang tak berubah

menja-di merah (sesuai dengan FI ed.III)

d. Penentuan suhu lebur

169°C

170°C rata-rata 169,33°C

(44)

34

1.2. Tween 20

a. Pemerian :

- bentuk : cairan agak kental

- warna : kuning jernih

(sesuai dengan FI ed.III)

b. Reaksi warna :

2 ml lar. 5% b/v ditambah 10 ml amonium tio

sianatcobaltronitrat P dan 5 ml kloroform,

kocok terjadi warna biru pada lapisan kloro­

form. (sesuai dengan FI ed.III)

Hasil identifikasi dengan menggunakan spektra

infra merah dilakukan dengan cara mem b a n d i n g k a n

dengan pustaka. Hasil tersebut dapat dilihat pada

gambar 1. Tampak pada gambar tersebut adanya pic pada

panjang gelombang 1506, 1657, 1263 dan 1227. Pic-pic

(45)

A. Menurut Pustaka.(28)

Wavcnumber

B. Hasil percobaan.

(46)

36

2. Pemeriksaan Organoleptis Suppositoria

Dari hasil pemeriksaan ketiga formula supposito­

ria diperoleh hasil sebagai berikut :

- Warna : putih

- Bentuk : terpedo

- Bau : tidak berbau

3. Pemeriksaan Keseragaman Bobot Suppositoria

Hasil p e m e r i k s a a n keseragaman bobot ketiga

formula Suppositoria tertera pada tabel II.

(47)

4. Pemeriksaan Kekerasan Suppositoria

Hasil pemeriksaan kekerasan Suppositoria dari

ketiga formula tertera pada tabel III.

TABEL III

PEMERIKSAAN KEKERASAN SUPPOSITORIA

Berat beb&n penahan (gram) pd formula

I II III

1 1100 900 700

2 1100 900 700

3 1100 900 700

X 1100 900 700

(48)

38

5. Penentuan pan.iang gelombang maksimum larutan para­

setamol

Pengamatan nilai serapan larutan parasetamol

pada rentang panjang gelombang 220 - 250 nm. Hasil

tersebut dapat dilihat pada tabel IV gambar 2.

TABEL IV

NILAI SERAPAN LARUTAN PARASETAMOL UNTUK PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM

panjang gelombang

(nm)

nilai serapan

5 mcg/ml 15 mcg/ml

220 0,174 0,535

230 0,261 0,790

235 0,295 0,885

238 0,307 0,910

239 0,309 0,919

240 0,309 0,920

241 0,307 0,919

242 0,305 0,910

245 0,290 0,841

(49)

S

E

P

T

A

P

A

M

tani'ang Gelombang (n m )

□ 5 m cg/ m l t 15 m cg/ m l

(50)

Pembuatan kurva baku larutan parasetamol

Kurva baku yang diperoleh dari hasil pengamatan

nilai serapan larutan parasetamol pada kadar 2,5

mcg/ml, 5 mcg/ml, 7,5 mcg/ml, 10 mcg/ml, 12,5 mcg/ml,

15 mcg/ml tertera pada tabel V dan gambar 3.

TABEL V

NILAI SERAPAN LARUTAN PARASETAMOL PADA PANJANG GELOMBANG 240 NM

Kadar ncg/ml Serapan

2,5 0,165

5 0,328

7,5 0,479

10 0,651

12,5 0,789

(51)

S

E

R

A

P

A

J

I

1

0.9

c.a

0.7

O.b

0.5

0.4

0.3

0 .2

0 . 1

Gambar 3 : kurva baku larutan parasetamol pada pan­ jang gelombang maksimum (240).

6 8

(52)

42

7. P e m e r i k s a a n keseragaman kadar parasetamol dalam

Suppositoria

Kadar rata-rata parasetamol yang didapat dari 5

Suppositoria pada setiap formula tertera pada tabel

VI.

TABEL VI

KESERAGAMAN KADAR PARASETAMOL DALAM SUPPOSITORIA

Formula Kadar rata-rata parasetamol (X)

I 96,3909 + 1,9243

II 97,4566 + 0,4667

III 95,8104 + 0,3963

8. Pemeriksaan la.iu disolusi

Hasil pemeriksaan laju disolusi suppositoria

(53)
(54)

0 5

□ Form ula i

Gambar 4

1 yj 15 —J o> j 4 5 6 0

WaHTu tkm«nif;

■+ Form u'a H </ Form ulo III

: Profil disoiusi Suppositoria parasetamol for-

(55)

9. Hasil pemeriksaan kelarutan .ienuh Parasetamol

Hasil penentuan kelarutan jenuh parasetamol

tertera pada tabel VI.

TABEL VIII

KADAR KELARUTAN JENUH PARASETAMOL PADA JAM KE 8

Replikasi Kadar AUC

1 17989,65937 1349224,452

2 17949,74148 1346230,611

3 18029,65937 1352218,294

X 17989,65937 1349224,452

SD 32,59289288 2444,463131

10. Analisa Data

Seperti telah diuraikan pada bab III 2.8. untuk

membandingkan profil disoiusi suppositoria paraseta­

mol tanpa penambahan Tween 20 dan dengan penambahan

Tween 20 sebanyak 2,5 % dan 5 % dilakukan dengan

cara membandingkan efisiensi disoiusi masing-masing

formula dan diuji dengan statistika secara anova,

kemudian bila perlu d i l a n j u t k a n dengan uji HSD

(Honestly Significant Difference). Hasil perhitungan

(56)

T A BEL I X

RINGKASAN ANOVA RANCANGAN ACAK LENGKAP DARI EFISIENSI DISOLUSI SUPPOSITORIA PARASETAMOL

(57)

17

TABK1. XI

NILAI SELISIH RATA-RAT4 EFISIENSI DISOLUSI

\i xii xiii

xi - 0,03125019 0,03933122

xii 0,008081027

xi i i

-Hasil perhitungan selisih rata - rata antar formula

dibandingkan dengan harga HSD, bila harga selisih rata -

rata tersebut lebih besar dari harga HSD maka formula

tersebut dinyatakan tak berpengaruh secara nyata.

Dari data vane tertera pada tabel IX dihitung

koefisien korelasi antar penambahan .iumlah Tween 20

dengan efisiensi disoiusi dan didapatkan hasil harga r

untuk formula I dan II adalah 0,94401 dengan persamaan

saris Y = 0,01249 X + 0,58675 sedang harga r tabel 0,(566

untuk formula II dan III harga r = 0,50471 dengan persa-

man garis Y = 0,00323 X + 0,6098 sedang harga r tabel

(58)

I*A H V

1 > K M B A II A S A N

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji kualita­

tif, parasetamol yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan serbuk berwarna putih, pahit dan memiliki

titik lebur rata-rata 169,33°C. Hasil identifikasi

dengan larutan FeClg timbul warna biru violet dan dengan

larutan kalium bikromat timbul warna biru violet yang

tak berubah menjadi merah. Dari hasil tersebut dapat

disimpulkan bahwa parasetamol yang digunakan dalam pene­

litian ini memenuhi pers y a r a t a n yang tertera dalam

Farmakope Indonesia edisi III. Hasil spektrum infra

merah setelah dibandingkan dengan pustaka (28) menunjuk-

kan adannya kesesuaian, yaitu pada panjang gelombang

1506, 1657, 1263 dan 1227 timbul pic yang menandakan

bahwa zat tersebut terdapat gugus C-C, C-C, C-N dan C-O.

Demikian juga dengan Tween 20 yang digunakan merupakan

cairan kuning kental, dengan larutan amoniumtiosianatko-

baltonitrat P dan kloroform terjadi warna biru pada

lapisan kloroform. Hasil ini menunjukkan bahwa tween 20

yang digunakan telah memenuhi persyaratan Farmakope

Indonesia edisi III.

Hasil pemeriksaan keseragaman bobot diperoleh bobot

rata - rata untuk formula I adalah 2,0043 sedang untuk

(59)

suppositoria untuk ketiga formula tidak satupun yang

menyimpang lebih dari 5 % dan 10 % dari bobot rata-rata

suppositoria. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam

British Pharmacopoeia volume 2 tahun 1980 yang mensya-

ratkan bahwa tidak boleh lebih dari dua suppositoria

yang bobotnya menyimpang lebih dari 5 % dan tidak boleh

lebih dari satu suppositoria yang bobotnya menyimpang

lebih dari 10 % dari bobot rata - rata.

Menurut pustaka (26) dalam pengujian kekerasan

suppositoria disyaratkan bahwa suppositoria dikatakan

terlalu lunak dan tidak dapat digunakan bila tidak dapat

menahan beban minimal 600 g. Oleh karena itu untuk me-

nentukan formula suppositoria {perbandingan PEG 400 dan

PEG 4000) dilakukan dengan jalan orientasi terlebih

dahulu agar diperoleh suppositoria dengan kekerasan yang

memenuhi persyaratan tersebut. Ternyata kekerasan mini­

mal yang diperoleh adalah dengan komposisi PEG 400 :PEG

4000 = 10 : 90. Dari hasil uji kekerasan tersebut tampak

bahwa semakin bertambahnya jumlah Tween 20 yang ditam-

bahkan, maka suppositoria semakin berkurang dapat mena­

han beban yang diber i k a n padanya. Dengan kata lain

suppositoria semakin lunak. Hal ini disebabkan karena

jumlah bahan yang cair semakin banyak dan jumlah PEG

4000 semakin kecil, sehingga pada formula III hanya

dapat menahan beban sebesar 700 gram sedang untuk formu­

(60)

900 gram (tabel 111 ) .Disarankan untuk diteliti lebih

lanjut apakah ada pengaruh penambahan Tween 20 dengan

kekerasan suppositoria.

Prinsip dasar sediaan suppositoria dengan bahan

dasar PEG adalah tidak melebur ketika terkena suhu tu­

buh, tetapi melarut secara perlahan-lahan dalam cairan

tubuh. Suppositoria pada masing-masing formula memiliki

titik lebur diatas 37° C, oleh karena itu untuk uji

waktu lebur dengan menggunakan alat Erweka suppositoria

melting tester type SSP tidak dilakukan karena prinsip

kerja alat ini adalah menentukan waktu lebur sediaan

suppositoria pada suhu tubuh.

Untuk menentukan jumlah parasetamol yang terdiso­

lusi terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelom-

bang dimana larutan parasetamol m e m b e r i k a n serapan

maksimum. Seperti yang tertera pada tabel III ternyata

serapan maksimum didapatkan pada panjang gelombang 240

nm, sedangkan pada pustaka (24) adalah 244 nm. Perbedaan

ini dise b a b k a n karena perbedaan kepek a a n alat yang

digunakan. Dari data pada tabel IV diperoleh persamaan

regresi Y = 0,06263 X + 0,001233 d engan harga r =

0,99974.

Penetapan homogenitas dalam sediaan suppositoria

dilakukan dengan uji keseragaman kadar masing - masing

(61)

jukkan bahwa kadar parasetamol dalam suppositoria formu­

la I sebesar 96,3909 %, untuk formula II sebesar 97,4566

% dan untuk formula III sebesar 95,8104 %. Hasil ini

telah memenuhi persyaratan untuk sediaan suppositoria

pada umumnya yaitu antara 90 % dan 110 %. Suppositoria

parasetamol masih jarang dijumpai sehingga penetaapan

homogenitas dan persyaratan kadar tidak ditemukan dibeb-

erapa pustaka, oleh karenanya diambil persyaratan kadar

pada umumnya dari berbagai sediaan suppositoria yang

ada.

Dari analisis statistik efisiensi disoiusi dipero­

leh hasil bahwa penambahan Tween 20 sebesar 2,5 % dan 5

% mempengaruhi profil disoiusi suppositoria parasetamol

dengan bahan dasar PEG secara bermakna. Pada penambahan

Tween 20 semakin besar jumlah yang ditambahkan semakin

meningkat pula disoiusi p arasetamol tersebut. Akan

tetapi pada uji statistik secara HSD tampak bahwa seli­

sih harga rata-rata pada formula II dan III lebih kecil

bila dibandingkan dengan harga HSDnya ini berarti bahwa

peningkatan disoiusi pada formula III dari formula II

tidak bermakna. Hal ini mungkin disebabkan karena hampir

semua parasetamol dalam suppositoria tersebut telah

terdisolusi pada penambahan Tween 20 sebesar 2,5 %.

Sedangkan peningkata kadar parasetamol yang terdisolusi

pada penambahan Tween 20 sebesar 5 % dari 2,5 % mungkin

(62)

supposi-toria tidak sama, mungkin pada formula III jumlah para­

setamol dalam suppositoria lebih banyak bila dibanding-

kan dengan formula II sehingga yang terdisolusi juga

lebih banyak. Hal ini tampak pada tabel VIII rata-rata

efisiensi disoiusi formula II dan Formula III tidak

begitu berbeda.

Untuk mengetahui formula mana yang berbeda selain

dengan menggunakan uji HSD dapat pula dilakukan dengan

perhitungan koefisien korelasi antar penambahan Tween 20

dengan harga efisiensi disoiusi. Ternyata harga r (

koefisien korelasi) antara formula I dan II lebih besar

dari r tabel, ini berarti bahwa antara formula I dan II

ada korelasi yang bermakna. Sedangkan untuk formula II

(63)

BAB V 1

K E S I M P t J L A N

1. Penambahan Tween 20 pada suppositoria parasetamol

dengan bahan dasar Polietilen glikol memberikan

pengaruh yang nyata terhadap jumlah parasetamol yang

terdisolusi.

2. Peningkatan jumlah Tween 20 dati 2,5 % menjadi 5 %

tidak memberikan pengaruh yang nyata secara statistik

terhadap parasetamol yang terdisolusi, karena pada

penam b a h a n j umlah Tween 20 sebesar 2,5 % semua

parasetamol dalam suppositoria tersebut telah terdi­

(64)

B A H V 11

SARAN — SARAN

1. Disarankan untuk diteliti lebih lanjut pengaruh pe­

nambahan jumlah Tween 20 dengan kekerasan supposito­

ria.

2. Disarankan untuk dilakukan peneiitian apakah ada

korelasi penambahan Tween 20 antara 0 % sampai 2,5 %

terhadap laju disoiusi suppositoria parasetamol,agar

dapat memprediksi efisiensi disolusinya.

3. Disarankan untuk diteliti lebih lanjut apakah ada

korelasi hasil yang didapat secara invitro dengan

(65)

R I N G K A S A N

Telah dilakukan peneiitian tentang pengaruh penatn-

bahan tween 20 terhadap profil disoiusi suppositoria

parasetamol dengan bahan dasar PEG 400 dan PEG 4000.

Jumlah tween 20 yang ditambahkan sebesar 2,5 % dan 5 %.

Suppositoria parasetamol dibuat dengan 3 macam for­

mula >ian untuk mengetahui mutu fisis sediaan supposito­

ria dilakukan pemeriksaan : organoleptis, keseragaman

bobot dan kekerasan. Dan untuk mengetahui sejauh mana

pengaruh penambahan tween 20 tersebut dilakukan uji

kecepatan disoiusi suppositoria dengan menggunakan alat

Disulusi ERWEKA l.Spe !)T, keinudian ditetapkan kadar para­

setamol yang terlarut dengan menggunakan spektrofometri

pada panjang gelombnng 240 nm.

Kadar parasetamol yang terlarut diamati pada menit

ke 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60 dan 75. Dibuat profil disu­

lusi, untuk menentukan efisiensi disoiusi dilakukan ter-

lebih dahulu uji kelarutan jenuh parasetamol dalam media

disoiusi.

Untuk mengetahuj apakah ada perbedaan secara nyata

diantara profil disoiusi suppositoria tersebut dilakukan

dengan uji statistik dengan jalan membandingkan data

efisiensi disoiusi masing - masing formulasi dengan re-

(66)

dengan uji HSD unt.uk mengetahui formula mana yang ber-

pengaruh.

Dari hasil peneiitian ternyata dengan menambahkan

stmtu surfaktan sebagai solubilizing agent dalam hal ini

adalah tween 20 memberikan pengaruh yang bermakna sta­

tistik* Semakin besar penambahan tween 20 semakin me-

ningkat pula, jumlah parasetamol yang terdisolusi dari

bahan dasar suppositoria. Akan tetapi antara formula II

(67)

K E P U S T A K A A N

Lieberman AH dan Anscel J. The Theori and Practice

of Industrial Pharmacy. Lea and Febiger. Philadel­

phia. 1970. 538 - 562.

Sunaryo. Farmakologi dan Terapi. edisi II. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indone­

sia. 1980. 166 - 168.

Cooper and G u n ’s. Dispensing for Pharmaceutical

Student. 12 edition. Pitman Medical Publishing Co

Ltd. 1975. 232 - 251.

Withworth C W t Larocca JP. A Study of Effect of Some

Emulsifyng Agent on Drug Release from Suppositoria

Doses. J. Am. Pharm.Ass. 1953: 42 : 353 - 355.

Kellaway WI and Mariott C. Corelation Between Phisi-

cal and Drug Release Charcteristic of Polyetilen

Glikol Suppositories. J. Pharm. Sci. 1975 : 64 :

2262 - 2264.

Lewis W. Sprowl American Pharmacy An Introduction to

Pharmaceutical Technologi and Dosage Form. 7 edi­

tion. JB Lipincott Company. Philadelphia. Toronto.

1974. 274 - 296.

Rees AJ and Collett JH. The Dissolution of Salicylic

Acid in Micellar Solution of Polysorbate 20. J.Pharm

Pharmac. 1974 : 956 - 960.

(68)

58

of Acetaminophen Suppositories in Rats. J. Pharm.

Sci. 1979 :68 : 1105 - 1107.

9. Pagay S N , Poust RI and Colaizzi JL. Influence of

Vehicle D i e l e c t r i c Properties on A c e t aminophen

Bioavailability from Polyetilene Glikoi Supposito­

ries. J. Pharm. Sci. 1966 : 55 :

JB Lipincott Company. Philadelphia. Toronto. 1966.

311 - 324.

12. King C J . H u s a ’s Pharmaceutical Dispenshing. 7

edition. Mark Publishing Company. Easton Pensylva-

nia. 1970. 835 - 853.

13. Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope

Indonesia, edisi III. 1978. 82 - 84.

14. Lachman L, Lieberman AH, Kanig JL. The Theory and

Practice of Industril Pharmacy. 2 edition. Lea and

Febiger Philadelphia. 1970. 245 - 255.

15. Aulton EM. Pharmaceutics : The Science of Dosage

Form Design. Churcill Livingstone Edinburg London

Melbourne and New York. 1988. 412 - 422.

16. The Pharmaceutical Codex. 11 edition. The Pharmaceu­

(69)

17. Jankin GL et al. Scoville’s The Art of Compounding.

Sciences Biopharmacetics. Lea and Febiger. Philadel­

phia. 1 9 70. 2 7 fi ■ V 7 9 .

21. Parrot EL. Influence of Particle Size on Rectal

Absorbtionof Aspirin. J. Pharm. Sci. 1975 : 64 :

879‘.

22. The Council of The Pharmaceutical Society of Great

Britain. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28

edition. The Pharmaceutical Press. London. 1982.

268, 376.

23 Parrot EL. Pharmaceutical Technologi Fundmental

(70)

Operating Intruction For Erweka Suppository Tester

Type SBT. model NR 62043. February 1983.

Wurster D E , Taylor P W . Disolution rate. J. Pharm.

Sci. 1965 ; 54 : 2.

Clarke. Isolation and Identification of Drugs. 2

edition. The Pharmaceutical Press. London. 1986.

849-850.

Daniel WW. Biostatistics : A Foundation for Analysis

in The Health Sciences. 2 edition. New York. Chi­

chester Brisbone. Toronto. John Wiley and Sons.

(71)
(72)
(73)
(74)

LAMPIRAN IV

edition, Drug Intellice Publication, Inc,

Hamilton Illinois, 1980 : 369.

(75)
(76)

Gambar

TABEL I. Formula suppositoria parasetamol.........
Gambar 1 : Spektrum infra merah parasetamol........
TABEL IFORMULA SUPPOSITORIA PARASETAMOL
gambar 1. Tampak pada gambar tersebut adanya pic pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan dari metode ini adalah menaikkan kohesifitas dan kompressibilitas serbuk sehingga diharapkan tablet akan dibuat dengan mengempa sejumlah granul pada tekanan kompressi

Produk obat vang diberikan secara per rektal pada umumnya di dalam tubuh akan nrengalanri desintegrasi (ntelarut, nreleleh. dan melunak) disertai pelepasan bahan obat

Dari dispersi padat parasetamol-PVP K-30 1:3, campuran fisis parasetamol-PVP K-30 1:3, dan parasetamol, hasil parameter disolusi %Q menunjukkan adanya perbedaan laju pelarutan,

Pada penelitian ini dibuat lima formula, yaitu formula A dengan qgym!-atry ampas tahu pada fase intemal dan eksternal dengan perbandinlan 0% : 100 %, formula B

Hasil disolusi tablet parasetamol formula kontrol yang dimodifikasi dari penelitian Kulkarni, Patil dan Korwar (2010), menghasilkan persen (%) rata-rata kadar zat terlarut pada

metode eetak langsung pembuatan tablet hanya dilakukan dengan menoetak langsung eampuran serbuk yang terdiri dari bahan obat dan bahan pembantu yang diperlukan (

Bahan-bahan obat yang mud ah teroksidir akan di- pengaruhi oleh Qksigen yang berasal darl udaraf Oksigcn yang berasal dari ruang yang kosong pa- da madah don Qksigen yang larut

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, juga didorong keprihatinan minimnya bahan obat yang diperoleh dari kekayaan alam Indonesia sementara ketergantungan bahan baku obat