• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS - Pengaruh utilisasi kondom terhadap kejadian infeksi menular seksual pada wanita pekerja seks di Kabupaten Tulungagung - UNS Institutional Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS - Pengaruh utilisasi kondom terhadap kejadian infeksi menular seksual pada wanita pekerja seks di Kabupaten Tulungagung - UNS Institutional Repository"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PEMBAHASAN

A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden sebagian

besar sudah menggunakan kondom dengan waktu > 3 bulan dengan hasil tes

IMS 1 negatif yaitu 69 (82.1%) dengan nilai OR 0.11 dan nilai p 0.005, hasil

tes IMS 2 negatif yaitu 68 (81%) dengan nilai OR 8.5 dan p 0.007, sedangkan

sebagian besar yang menggunakan kondom > 3 bulan memiliki IMS yang

tidak berulang yaitu 73 (86.9%) dengan OR 13.27 dan nilai p 0.001 sehingga

H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti ada pengaruh waktu penggunaan

kondom dengan kejadian IMS baik IMS 1,2 dan berulang dimana semakin

lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS.

IMS meningkat pesat karena terbukanya perilaku seks secara komersil

yang didukung dengan pendapatan setiap melayani klien yang tinggi sehingga

banyak wanita yang menjadi Wanita Pekerja Seksual (WPS). WPS 12 kali

lebih beresiko dibandingkan populasi umum untuk terkena IMS. Salah satu

faktor yanag sangat mempengaruhi kejadian IMS adalah perilaku penggunaan

kondom dimana hal tersebut juga menjadi salah satu strategi yang efektif

untuk mencegah peularan dan memberikan perlindungan terhadap kejadian

IMS pada kelompok beresiko termasuk didalamnya adalah WPS kepada mitra

seksualnya. Waktu penggunaan kondom bisa ditanyakan dengan

menggunakan periode recall (penggunaan kondom pada seks terakhir). Tetapi

studi yang melibatkan pekerja seks cenderung mengukur penggunaan

kondom dalam periode waktu yang singkat seperti pada minggu atau bulan

(Bankole et al., 2007; Graham et al., 2014; Fonner et al., 2014).

Hasil penelitian didapatkan bahwa semakin lama menggunakan

kondom akan menurunkan kejadian IMS. Penggunaan kondom merupakan

langkah awal untuk mencegah terjadinya IMS. Banyak WPS yang mengaku

sudah lama menggunakan kondom sehingga banyak dari mereka yang

(2)

penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) bahwa prevalensi WPS yang

melaporkan penggunaan kondom dengan mitra terakhir meningkat 50%

menjadi 75% pada survey selanjutnya dimana hal tersebut membuat

prevalensi HIV/ IMS menurun.

Masih adanya WPS yang memiliki hasil IMS yang masih positif

kemungkinan disebabkan karena mereka mengatakan sudah lama

menggunakan kondom, tetapi kenyataannya mereka tidak selalu

menggunakan kondom. Hal tersebut didukung dengan penelitian oleh Fonner

et al (2014) yang melibatkan pekerja seks dalam mengukur periode

penggunaan kondom yang singkat seperti minggu atau bulan dimana hanya

4% responden yang selalu menggunakan kondom dalam transaksi seksual

sesuai dengan lama penggunaan kondom selama ini. Banyak responden sudah

lama menggunakan kondom tetapi tidak semua transaksi seksual dilakukan

dengan selalu menggunakan kondom. Sehingga banyak responden yang

belum konsisten menggunakan kondom yang menyebabkan kejadian HIV dan

IMS masih tinggi.

Kondom merupakan alat kontrasepsi terbaik yang saat ini bisa

digunakan sebagai langkah awal pencegahan IMS walaupun secara teori

kondom tidak bisa 100% dalam memberikan perlindungan itu. Menggunakan

kondom akan lebih memberikan keamanan bagi para WPS dalam melakukan

transaksi seksual dari pada tidak menggunakan sama sekali. Apalagi para

WPS yang sudah memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terjadi IMS seperti

sudah lama bekerja, berumur lebih tua dan jumlah mitra seksual yang banyak.

Selain itu WPS dianggap memiliki resiko jika mereka melaporkan

penggunaan kondom yang tidak konsisten. Hal tersebut sesuai dengan

penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang lebih tua,

saat ini menikah, bekerja sebagai WPS dalam waktu lama dengan klien yang

lebih banyak mungkin untuk terlibat dalam praktek seksual berisiko. WPS

dianggap berisiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom tidak

konsisten dengan semua pasangan seks dan melaporkan pengalaman dari

salah satu kerentanan berhubungan seperti seks anal, konsumsi alkohol

(3)

Sebagian besar responden pada kedua tempat penelitian sudah

menggunakan kondom yang lama tetapi sebagian besar dari mereka belum

bisa menggunakan kondom secara rutin karena kendala dengan para

pelanggan yang dilayani. Sehingga masih banyak yang hasil tes IMS nya

positif. Ada beberapa WPS yang baru menggunakan kondom dalam waktu 3

bulan padahal mereka sudah bekerja sebagai WPS lebih dari satu tahun. Hal

tersebut karena sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan kondom sama

sekali padahal setiap mau melayani pelanggan para WPS sudah membawa

beberapa kondom di tas mereka tetapi kadang kondom tersebut masih utuh

dalam beberapa hari karena tidak digunakan sama sekali. Selain itu

kebanyakan WPS mengatakan sudah lama menggunakan kondom tetapi

kondom tersebut tidak selalu digunakan. WPS sebenarnya sudah tahu tentang

bahaya jika tidak menggunakan kondom tetapi mereka tidak berdaya dengan

para pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom.

WPS yang menggunkaan kondom dan hasil tes IMS negatif tidak

berulang adalah mereka yang berada di eks Lokalisasi Ngujang. Para WPS

tersebut sudah terjadwal dalam melakukan pengecekan untuk IMS setiap

bulan, selain itu dalam satu hari mereka hanya melayani maksimal 4 orang.

Ada WPS yang mengatakan bahwa dia tidak mau melayani pelanggan apabila

mereka tidak menggunakan kondom sehingga hal tersebut meningkatkan

perilaku penggunaan kondom yang konsisten. Berbeda dengan WPS yang

berada di Gunung Bolo dimana banyak dari mereka yang jarang

menggunakan kondom dan memiliki hasil tes IMS yang positif karena para

WPS tidak pernah secara rutin melakukan pengecekan tes IMS, jumlah mitra

yang dilayani juga sangat banyak bisa mencapai 10 mitra tiap hari dan

didukung oleh para mitra seksual yang kebanyakan tidak mau menggunakan

kondom sehingga lebih beresiko untuk terkena IMS.

B. Pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS

Berdasarkan hasil rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks

(4)

rata-rata rasio penggunaan kondom tiap bulan adalah 74.83% dengan SD ±14 dan

rata-rata tiap hari adalah 0.93 dengan SD ±0.3 dengan nilai P < 0.001, pada

tes IMS 2 rata-rata rasio per bulan pada hasil yang negatif adalah 61.19%

dengan SD ±11 dan rata-rata tiap hari adalah 2.20 ±0.5 dengan nilai P 0.001

dan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang dengan

rata-rata rasio per bulan 67.16% dengan SD ±11 dan rata-rata per harinya adalah

2.39 kondom dengan SD ±0.6 dengan nilai P < 0.001 sehingga dapat

disimpulkan bahwa HI diterima dan H0 ditolak sehingga ada pengaruh skala

pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap

kejadian IMS 1, 2 dan IMS berulang. Semakin tinggi rasio penggunaan

kondom akan menurunkan kejadian IMS. hal tersebut juga didukung dengan

data dikotomi dari klien yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki rasio penggunaan kondom ≥ 50% dengan hasil IMS yang mayoritas negatif dan tidak berulang.

Pengukuran penggunaan kondom paling sering menggunakan

dikotomi. Menggambarkan proporsi responden yang melaporkan penggunaan

kondom pada skala ordinal (misalnya, selalu, hampir selalu, kadang-kadang,

hampir tidak pernah, dan tidak pernah) juga digunakan. Lima penelitian

melaporkan penggunaan kondom pada skala kontinyu (misalnya, berapa kali

kondom digunakan dalam jangka waktu tertentu). Lima studi melaporkan

hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan

seks dilindungi dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang

mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama.

Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta

sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks

dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Penggunaan

kondom secara rutin, konsisten dan tepat memang sangat efektif untuk

pencegahan IMS dan efektifitasnya sangat tergantung pada metode penularan

IMS. (Fonner et al., 2014; Widyastuti dkk., 2012).

Rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks sama dengan

mengukur konsistensi penggunaan kondom. Dimana mayoritas responden

(5)

yang penggunaannya masih minim. Penggunaan kondom yang tidak

konsisten memang biasanya terjadi pada WPS tidak langsung atau yang

berada pada prostitusi ilegal karena mereka sebagian besar bekerja menjadi

WPS dengan alasan ekonomi sehingga tidak bisa menolak jika para mitra

seksual tidak mau menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh

penelitian dari Li et al (2012) yang menyatakan proporsi yang cukup tinggi

dari WPS tidak langsung (WPS yang biasanya berada pada prostitusi ilegal)

adalah penggunaan kondom yang tidak konsisten.

Penelitian dari Fonner et al (2014) menyatakan dari lima studi

melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah

tindakan seks dilindungi yang dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan

penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode

waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk

mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika

jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak

keseluruhan). Studi intervensi VCT diukur dengan rasio penggunaan kondom

per pasangan. Penggunaan kondom "Regular" didefinisikan sebagai ketika

kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks

dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90. Dan didapatkan kurang dari

setengah dari total responden yang menggunakan kondom secara konsisten

dan memiliki resiko lebih rendah terkena IMS.

Banyaknya responden yang sudah menggunakan kondom karena

didukung dengan mayoritas responden yang sudah pernah mengikuti jenjang

pendidikan walaupun hanya sebatas tingkat SD tetapi hal tersebut membuat

responden tidak kesulitan menerima informasi yang didapat yang mayoritas

berasal dari tenaga kesehatan dimana informasinya bisa berupa penyuluhan

maupun pemberian leaflet yang diperlukan kemampuan membaca dan

memahami. Tetapi penggunaan kondom tidak akan bisa efektif dalam

mencegah IMS apabila penggunaannya tidak secara benar, rutin dan

konsisten. Banyak terjadi pada WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi

hasil tes IMS nya positif karena setelah dicermati mayoritas dari mereka tidak

(6)

sehingga rasio antara penggunaan kondom dengan hubungan seksual < 90%.

Sangat sedikit atau bahkan tidak ada responden yang konsisten menggunakan

kondom karena semua responden menggunakan kondom dalam bertransaksi

seksual hanya bila para pelanggan mereka menginginkan atau bahkan

menawarkan sendiri kepada para WPS. Hal tersebut didukung oleh penelitian

oleh Ghimire et al (2011), Sebuah studi kualitatif di Nepal, Alasan untuk

tidak mengunakan kondom dikalangan pekerja seks adalah karena faktor

ketidakberdayaan (low self efficacy) dan kemiskinan yang sering

dilaporkan sebagai alasan yang menyebabkan pekerja seks enggan

mengunakan kondom. Ada pula beberapa WPS yang mencoba menawarkan

penggunaan kondom sebelum bertransaksi seksual kepada pelanggan mereka

tetapi sebagian besar pelanggan banyak yang menolaknya walaupun ada

beberapa yang menyetujui untuk menggunakan kondom.

C. Pengaruh jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden semuanya

menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina yaitu 90 (100%). Rata-rata

WPS yang menggunakan seks vagina dalam 1 bulan yang memiliki hasil IMS

1 positif adalah 23.68±2.52 dan hasil IMS 1 negatif adalah 24.92±2.48 dan

nilai P adalah 0.059. Pada IMS 2 dengan hasil positif didapatkan rata-rata

24.10±2.77 dan hasil negatif adalah 24.81±2.45 dengan nilai P adalah 0.267.

Sedangkan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dengan nilai P

0.45. Sehingga dapat disimpulkan nilai P > 0.05 yang berarti H1 ditolak dan

H0 diterima sehingga tidak ada pengaruh antara jenis kegiatan seksual

terhadap kejadian IMS.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya IMS salah satunya dari

faktor host (individu) yaitu jenis kegiatan seksual. Seks anal merupakan salah

satu jenis perilaku beresiko yang meningkatkan kejadian IMS. Proporsi yang

cukup tinggi dari WPS tidak langsung terlibat dalam seks anal dengan

pelanggan mereka sehingga tidak konsisten dalam menggunakan kondom dan

meningkatkan kejadian IMS. Dijelaskan pula bahwa seseorang yang bekerja

(7)

banyak yang kemungkinan dapat terlibat dalam seks anal. Frekuensi jenis

kelamin merupakan salah satu bagian dari dimensi untuk mengukur utilisasi

kondom yang meliputi seks vagina, seks anal, seks oral (Widyastuti dkk.,

2012; Mahaputra et al., 2013; Foner et al., 2012).

Jenis seks yang dilakukan mempengaruhi kejadian IMS. Hasil

penelitian ini didapatkan bahwa jenis seks vagina tidak berpengaruh terhadap

kejadian IMS karena semua respnden yang melakukan seks vagina memiliki

hasil tes IMS yang negatif. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari

Mahaputra et al (2013) bahwa proporsi yang signifikan dengan IMS yang

lebih tinggi terjadi pada WPS yang terlibat praktik seksual beresiko. Dimana

sebagian besar WPS melakukan praktik seks anal pada salah satu kabupaten

yang kejadian IMS nya tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yang

mayoritas menggunakan seks vagina dengan hasil IMS rendah.

Pada penelitian ini semua responden sudah menggunakan jenis

kegiatan seksual per vagina. Tetapi mereka masih merupakan kelompok

beresiko karena selain dari jenis kegiatan seksual juga dipengaruhi faktor lain

yang sangat signifikan mempengaruhi kejadian IMS seperti jumlah pelanggan

dan lama bekerja sebagai WPS sehingga masih ada responden yang memiliki

hasil tes IMS positif. Hal tersebut didukung dari penelitian Mahaputra et al

(2013) yang menyatakan ada empat kriteria WPS yang beresiko tinggi yaitu

umur 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah, bekerja sebagai WPS

selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks dengan tiga atau lebih klien

sehari. Selain itu tidak semua responden yang sudah melakukan seks vagina

juga selalu menggunakan kondom sehingga memungkinkan hasil tes IMS

yang positif. Walaupun mayoritas yang menggunakan kondom sudah

mengidentifikasikan memilih jenis seks vagina dalam melayani mitra seksual.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) juga

menjelaskan bahwa dari jenis seks antara vagina, anal dan oral hanya satu

yang merupakan studi yang mendefinisikan jenis tindakan seks menggunakan

kondom yaitu seks vagina. Walaupun sebagian besar hasil tes IMS negatif

karena mayoritas WPS yang sudah banyak yang menggunakan kondom tidak

(8)

sudah menggunakan seks vagina mengaku karena para pelanggan mereka

lebih menyukai jenis kegiatan seks ini dari pada jenis lainnya seperti seks

anal dan oral. Selain itu jenis seks lain juga sangat jarang digunakan terutama

seks anal yang masih tabu dikalangan eks lokalisasi Ngujang dan Gunung

Bolo. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian dari Fonner et al (2014)

yang mengatakan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah

dimana perilaku seks tertentu seperti seks anal masih dianggap tabu, begitu

juga dengan pasangan yang heteroseksual. Peserta yang melaporkan tidak

melakukan seks anal mempunyai arti bahwa semua tindakan penggunaan

kondom hanya dilakukan pada seks vagina saja. Sehingga kejadian IMS pada

seks anal beresiko tinggi menyebabkan IMS dari pada seks vagina. Para

pelanggan lebih memilih seks vagina karena para WPS mengaku jenis seks

tersebut kurang nikmat, ditambah bagi WPS di Gunung Bolo yang dalam

menjajakkan seksnya hanya dalam hitungan menit jadi mereka lebih memilih

seks vagina dan jika mencoba seks lain akan mnghabiskan waktu dan akan

menambah tarif seks serta belum pasti mendapatkan kenikmatan yang sesuai

keinginan.

D. Pengaruh konsistensi penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung

Bolo didapatkan semua responden tidak konsisten menggunakan kondom

yaitu 90 (100%) dengan hasil tes IMS yang mayoritas adalah negatif pada tes

IMS 1 yaitu 71 (78.89%), IMS 2 yaitu 70 (77.78%) dan sebagian besar

responden memiliki hasil tes IMS tidak berulang yaitu 76 (84.44%).

Pemakaian kondom dapat menurunkan penularan IMS meskipun

kondom tidak 100% dapat mencegah IMS namun kondom tetap merupakan

cara terbaik untuk menghindari IMS. Penggunaan kondom pada hubungan

seksual berisiko merupakan salah satu strategi pencegahan yang dapat

dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko

termasuk kepada WPS dan pelanggannya. Berbagai faktor sangat terkait

dengan kejadian IMS yang masih tinggi di berbagai negara. Pencegahan dan

(9)

melatarbelakanginya. Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa banyak

faktor yang sangat mempengaruhi kejadian IMS antara lain perilaku

penggunaan kondom. Sampai saat ini beberapa studi telah berusaha untuk

memeriksa penggunaan kondom yang benar dan konsisten pada orang yang

aktif secara seksual. penggunaan kondom secara benar dan konsisten

diperkirakan memiliki kemungkinan 59% lebih kecil untuk terinfeksi IMS

dalam tiga bulan dibandingkan dengan peserta yang tidak menggunakan

kondom secara benar dan konsisten. Penggunaan kondom yang konsisten

adalah penggunaan kondom yang dilaporkan pada setiap hubungan seks

dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ada beberapa yang mendefinisikan

penggunaan kondom yang konsisten adalah 90-100% dari jumlah hubungan

seksual. Penggunaan kondom didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan

melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua

tindakan seksual) di atas 0,90 (Bankole et al., 2007; Crosby et al 2012;

Fonner et al., 2014).

Semua responden pada penelitian ini tidak menggunakan kondom

secara konsisten tetapi sebagian besar memiliki hasil tes IMS negatif. Hal

tersebut dikarenakan walaupun dikatakan tidak konsisten tetapi penggunaan

kondom mereka sudah mencapai lebih dari 50% dan banyak dari responden

yang mengatakan bahwa sering menggunakan kondom selama tiga kali

berturut turut dalam melakukan transaksi seksual Hal tersebut sesuai

penelitian dari Karyati (2011) didapatkan sebagian besar WPS memiliki

konsistensi kondom yang cukup tinggi yaitu 67% dengan ukuran konsisten

menggunakan skala ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Hal

tersebut juga sesuai dengan penelitian dari Bankole et al (2007) yang

mengatakan utilisasi kondom dapat dilihat dengan penggunaan kondom yang

benar dan konsisten dengan melihat pada orang yang aktif secara seksual

dengan setidaknya pada 2 atau lebih tindakan seksual yang selalu

(10)

Ukuran tidak konsisten atau konsisten pada penelitian ini mengacu

pada rasio jumlah kondom yang digunakan dengan jumlah seks yang sudah

dilakukan dengan hasil minimal 90%. Penelitian sebelumnya menunjukkan

hasil yang beragam pada utilitas dari ukuran ini. Penelitian tersebut juga

sesuai dengan penelitian lain dari Sembiring dkk (2012) didapatkan terdapat

korelasi yang kuat antara konsistensi penggunaan kondom dengan

pencegahan IMS dimana pengukuran konsistensi kondom menggunakan

ukuran ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Penelitian lain

menggunakan ukuran konsisten kondom dengan hanya melihat pada seks

terakhir atau penggunaan kondom dikatakan konsisten apabila selama 12

bulan selalu menggunakan kondom. Hasil penelitian ini sesuai dengan

pengukuran konsistensi yang digabungkan oleh Fonner et al (2014). Dikotomi

penggunaan kondom adalah skala pengukuran yang paling umum digunakan

dalam studi termasuk dalam ulasan ini. Salah satu keuntungan menggunakan

hasil dikotomis adalah bahwa hasil dapat dikonversi menjadi metrik dan

mudah diinterpretasi, seperti OR sehingga lebih mudah disintesis dan juga

dilakukan intervensi dalam meta-analisis. Namun seperti dicatat di penelitian

metodologi sebelumnya bahwa ukuran dikotomi hasil penggunaan kondom

akan kehilangan informasi berharga mengenai frekuensi penggunaan kondom

dan aktivitas seksual yang membantu mencirikan risiko IMS dan ukuran ini

tidak direkomendasikan oleh penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian

telah menunjukkan korelasi yang tinggi antara penggunaan kondom pada seks

terakhir dan penggunaan kondom yang konsisten. Beberapa studi yang

memakai penggunaan kondom pada seks terakhir sebagai bagian dari ukuran

gabungan menilai kondom secara konsisten yang membantu membangun

penailaian yang lebih kuat dari konsistensi. Studi lain menggunakan ukuran

konsisten dengan mengukur penggunaan kondom selama waktu yang lebih

lama dimana literatur menunjukkan bahwa menggunakan periode recall yang

lebih pendek (2-3 bulan).

Mayoritas pelanggan enggan menggunakan kondom karena dianggap

mengurangi kenikmatan, tetapi ada pelanggan yang selalu membawa kondom

(11)

pelanggan. Mayoritas WPS terjun ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor

ekonomi karena menjadi tulang punggung keluarga yang didukung mayoritas

pendidikan para WPS yang hanya tamat SD yang tidak berfikir panjang

dalam mengambil keputusan yang dirasa menguntungkan sehingga mereka

lebih mementingkan mendapatkan uang dari pada harus kehilangan

pelanggan hanya karena menuntut menggunakan kondom. Hal tersebut

didukung oleh penelitian dari Mayanja et al (2016) bahwa studi menunjukkan

alasan para wanita menjadi WPS salah satunya adalah terbatasnya akses ke

sumber daya ekonomi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah,

kurangnya pengetahuan/ ketrampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih

baik dan keperluan mendesak untuk perawatan anak adalah alasan utama para

wanita untuk tetap menjadi seorang WPS. Tetapi masih ada beberapa

responden yang selalu menggunakan kondom atau bahkan mereka tdak mau

melayani jika pelanggan mereka tidak menggunakan kondom. Hal tersebut

biasanya terjadi pada WPS yang justru sudah senior. Hal itu juga sependapat

dengan penelitian dari Hilde et al (2013) yang menyatakan WPS yang sudah

lama bekerja (senior) akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom

karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya

sehingga dapat mengurangi resiko IMS.

E. Pengaruh jumlah kondom terhadap kejadian IMS

Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung

Bolo didapatkan data dikotomi penggunaan kondom dimana sebagian besar

responden sudah pernah menggunakan kondom dan memiliki hasil IMS 1, 2

yang negatif dan IMS tidak berulang yaitu 71 (78.9%), 70 (78.7%) dan 75

(84.3). Sebagian besar responden yang memiliki hasil IMS 1 positif

mempunyai rata-rata jumlah kondom per bulan adalah 24.37 dengan SD ± 13

dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 20.61 dengan SD±8. Sedangkan Rata-rata

jumlah kondom dengan hasil tes IMS 2 positif adalah 18.65±10.27 dan hasil

tes IMS 2 negatif adalah 15.94±6.15. Untuk rata-rata jumlah kondom (bulan)

yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 44.47±22.99 dan hasil tes IMS

(12)

menggunkaan uji t didapatkan nilai p 0.075 dan 0.267 yang berarti > 0.05

sehingga tidak ada pengaruh jumlah penggunaan kondom terhadap kejadian

IMS berulang.

Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat

pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan

kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom

yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal

yang tidak menggunakan kodom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual.

(KPAN, 2010).

Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS yang

positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah kondom

dengan kejadian IMS. WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif

mengaku lebih hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan

menggunakan kondom tetapi hanya selama masa penyembuhan. Setelah

dinyatakan positif maka mereka akan kembali seperti sebelumnya yang asal

menerima pelanggan dan melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan

kondom. Hal tesebut didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013)

yang menemukan pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom

tidak dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi HIV dan IMS (disesuaikan

infeksi atau dari HIV yang terkait dengan penggunaan kondom dengan klien

terakhir yaitu 90%). Sebuah penjelasan ditemukan dalam analisis prediksi

penggunaan kondom. Wanita yang telah diuji untuk HIV dan IMS dilaporkan

lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling,

termasuk konseling HIV dan IMS pada wanita yang sudah terinfeksi mungkin

memiliki dampak positif pada penggunaan kondom.

Banyak dari WPS kadang masih tidak menggunakan kondom dengan

alasan ada beberapa pelanggan yang diyakini tidak akan mempunyai infeksi

sehingga mereka yakin walaupun tidak menggunakan kondom tidak akan

terkena IMS. Biasanya para WPS melihat para pelanggannya dari kebersihan

badan mereka ataupun penampilan dan wajah. Pelanggan yang berpenampilan

menarik, wajah yang lumayan, bersih, wangi dianggap tidak mempunyai

(13)

yang menyatakan salah satu alasan pekerja seks maupun pelanggan tidak

menggunakan kondom adalah perasaan, mereka saling percaya dan aman

karena sudah lama berhubungan (Kawangung, 2012). Selain itu kebanyakan

WPS yang enggan menggunakan kondom mempunyai alasan yang

berhubungan dengan keuangan. Dimana mereka takut jika menuntut para

pelanggan menggunakan kondom akan membuat mereka mencari WPS yang

lain sehingga akan mengurangi pemasukan dalam hal finansial. Penelitian

lain yang dilakukan Jie et al (2012) mengatakan tentang hambatan

penggunaan kondom di China dimana asumsi pribadi dan perasaan terhadap

pasangan tetap dan insentif keuangan adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi hambatan penggunaan kondom oleh pekerja seks.

Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam

pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam

berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang

paling efektif selain dengan cara abstain seks. Tingginya angka kejadian

IMS dikarenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan

kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak

memakai kondom.

F. Pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS

Rata-rata jumlah penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes

IMS 1 positif adalah 19.84±6.08 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah

20.97±3.99. Rata-rata penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS

2 positif adalah 20.20±5.95 dan tes IMS 2 negatif adalah 20.89±4.02. Untuk

rata-rata penggunaan kondom baru oleh responden yang memiliki hasil tes

IMS berulang adalah 20.33±6.49 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah

20.81±4.04. Hasil data dikotomi didapatkan sebagian besar responden mempunyai rasio jumlah kondom ≥ 50% dengan sebagian dari WPS mempunyai hasil tes IMS 2 negatif yaitu 63 (87.5%) dengan hasil uji statistik

dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P 0.708 yang berarti tidak ada

(14)

Penggunaan kondom baru oleh responden memberikan hasil IMS

yang positif maupun negatif seimbang. Dimana semua responden hampir

seluruhnya sudah menggunakan kondom baru dalam setiap transaksi seksual.

Hal tersebut sudah sesuai dengan penggunaan kondom pada daftar tilik

kondom dimana dijelaskan bahwa harus selalu menggunakan kondom baru

dalam setiap melayani pelanggam. Masih adanya WPS yang memiliki hasil

positif walaupun sudah menggunakan kondom baru karena disebabkan

banyak hal. Diantaranya WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi

mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom. Penggunaan

kondom disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Banyak WPS yang selalu

membawa kondom didalam tas mereka, tetapi kondom tersebut tidak

terpakai. Padahal kondom selalu dibagi secara rutin oleh pengurus

masing-masing dan apabila para WPS sudah kehabisan kondom lebih awal

dipersilahkan segera minta ke pengurus. Tetapi hal tersebut tetap tidak

membuat penggunaan kondom maksimal. Penyebab utamanya adalah

pelanggan.

G. Pengaruh umur terhadap kejadian IMS

Rata-rata umur responden yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah

umur 47 tahun sedangkan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif rata-rata

berumur 38 tahun. Rata-rata umur WPS yang memiliki hasil IMS 2 positif

berumur 45 tahun dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif berumur 38

tahun. Rata-rata umur yang dimiliki oleh WPS yang memiliki hasil tes IMS

berulang adalah berumur 46-47 tahun sedangkan untuk rata-rata umur WPS

yang memiliki hasil tes IMS tidak berulang adalah 36-37 tahun dengan uji

hasil uji statistik menggunakan uji t didapatkan nilai P adalah < 0.001 yang

berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh antara umur dengan kejadian IMS

berulang.

Semakin banyak umur WPS akan semakin meningkatkan kejadian

IMS. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang

(15)

beresiko. Dan kemungkinan terlibat dalam seks beresiko yang lebih tinggi

terjadi pada WPS yang memiliki umur > 35 tahun.

WPS yang memiliki umur lebih banyak kemungkinan besar sudah

bekerja dalam waktu yang lama sehingga sudah memiliki jumlah mitra yang

banyak yang menyebabkan mereka sangat rentan untuk terkena IMS. hal

tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang

menyatakan WPS yang memiliki umur lebih tua, sudah menikah, menjadi

WPS dalam jangka waktu yang lama, melakukan hubungan seksual dengan

mitra seksual 3x/ lebih per hari mempunyai perilaku seksual yang beresiko.

Tes IMS pada dua tempat penelitian yang memiliki hasil positif kebanyakan

terjadi pada WPS yang berumur lebih tua, memiliki jumlah mitra seksual

yang banyak dan memiliki penghasilan yang rendah dalam setiap transaksi

seksual. Tetapi penelitian diatas tidak sesuai dengan penelitian dari

Widyastuti dkk (2012) yang mengatakan umur pada kaum muda yang sudah

aktif dalam perilaku seksual secara dini akan lebih besar kemungkinannya

untuk terkena IMS karena wanita muda memiliki tubuh yang belum

berkembang sempurna sehingga lebih mudah terinfeksi. Penelitian ini

didukung oleh penelitian Susan et al (2014) yang mengatakan wanita yang

sudah lama bekerja menjadi WPS memiliki kemampuan untuk

menegosiasikan seks lebih aman kepada pasangan seksualnya sehingga lebih

konsisten dalam penggunaan kondom dibandingkan dengan WPS baru yang

menyebabkan bresiko rendah trekena IMS.

H. Pengaruh jumlah pelanggan seksual terhadap kejadian IMS

Jumlah rata-rata pelanggan WPS tiap bulan yang memiliki hasil tes

IMS 1 positif adalah 94 pelanggan dan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif

adalah 55 pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani oleh WPS

yang menyebabkan hasil tes IMS 2 positif sebanyak 93 tiap bulan dan yang

memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu dengan jumlah pelanggan rata-rata 55

pelanggan. WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang rata-rata memiliki

jumlah pelanggan dalam satu bulan sejumlah 99-100 pelanggan atau rata-rata

(16)

berulang memiliki jumlah rata-rata pelanggan sebanyak 55-56 pelanggan per

bulan atau sekitar satu sampai dua pelanggan per hari dengan hasil uji

statistik didapatkan nilai P < 0.001 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh

yang signifikan antara jumlah pelanggan terhadap kejadian IMS dimana

semakin banyak jumlah pelanggan akan meningkatkan kejadian IMS.

Faktor penyebab IMS terdiri dari faktor agent, host (individu) dan

environment (lingkungan). Faktor Agent dapat berupa virus, parasit, bakteri,

dan protozoa. Sedangkan faktor host (individu) salah satunya adalah jumlah

mitra seksual. Jumlah mitra seksual dijelaskan bahwa seseorang yang menjadi

WPS dalam jangka waktu lama akan melakukan hubungan seksual dengan

mitra tiga kali atau lebih per hari yang mempunyai perilaku seksual beresiko

IMS. Mahaputra et al (2013).

Responden pada penelitian ini yang memiliki mitra seksual banyak

dalam tiap harinya seharusnya adalah WPS yang masih muda. Tetapi para

WPS yang masih muda biasanya membatasi sendiri jumlah pelanggannya.

Banyak dari WPS yang jika sudah mendapatkan uang yang dirasa cukup,

maka mereka memilih untuk tidak mau melayani lagi dan menghentikan

transaksi seksual mereka pada hari itu. Kadang setelah pukul 22.00 mereka

WPS muda sudah enggan menerima tamu. Berbeda dengan WPS tua yang

rela menunggu tamu mereka bahkan sampai dini hari. Karena mayoritas dari

pelanggan lebih memilih WPS yang masih muda. Kecuali jika para pelanggan

tidak menemukan dengan alasan para WPS muda sudah tidak ada sehingga

secara tidak sengaja akan mau dilayani oleh WPS yang sudah berumur diatas

40 tahun. Sebagian besar WPS yang masih muda hampir 90% mempunyai

pacar dan pacar mereka yang menyuruh para wanita ini bekerja menjadi WPS

sehingga uang yang didapatkan akan dinikmati berdua untuk

bersenang-senang. Hal tersebut menyebabkan para WPS memiliki pasangan yang non

komersial yaitu pacar atau pasangan hidup bahkan suami dimana mereka

tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks karena sudah

dianggap seperti pasangan hidup. Hal tersebut menyebabkan WPS

(17)

Hasil diatas sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) di India

menunjukkan bahwa penggunaan kondom konsisten cukup tinggi dengan

mitra yang komersil dan tetap rendah pada yang non komersil dimana ini

biasanya dilakukan oleh para WPS bersama pacar, suami atau pasangan hidup

mereka. Rendahnya penggunaan kondom dalam hubungan non komersial

dapat disebabkan oleh keintiman dan kepercayaan yang terlibat dalam

hubungan semacam itu. Lebih lanjut, proporsi pada WPS yang terlibat

hubungan secara bersamaan antara komersil dan non komersil dan ditambah

penggunaan kondom yang tidak konsisten khususnya pada pasangan non

komersil dapat menyebabkan transmisi infeksi IMS/ HIV lebih cepat.

Sebagian besar WPS ynag mempunyai hasil tes IMS positif terjadi

pada WPS yang sudah berumur. Dimana mereka tidak memilih pelanggan

karena desakan ekonomi. Selain itu WPS yang sudah berumur khususnya

yang berada di Gunung Bolo bisa mendapatkan pelanggan mencapai 5 orang

per hari dengan tarif seksual yang cukup murah. Hal tersebut menyebabkan

para WPS tersebut lebih rentan untuk terkena IMS. Hal tersebut didukung

dari penelitian dari Graham et al (2014) yang menjelaskan bahwa WPS yang

sudah bekerja lama akan mempunyai mitra seksual yang lebih banyak

sehingga akan lebih memungkinkan melakukan seks beresiko seperti anal

seks.

I. Pengaruh pengetahuan terhadap kejadian IMS

Pengetahuan WPS tentang utilisasi kondom didapatkan bahwa semua

responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu 90 (100) dengan skor > 11.

Pengetahuan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan

untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi

kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang

diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan

teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang

diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai

mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan ketrampilan individu bisa

(18)

Semua responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang utilisasi

kondom tetapi masih ada WPS yang mempunyai hasil IMS yang positif.

Pengetahuan tentang utilisasi kondom didapatkan dengan WPS mengisi

lembar kuesioner yang berhubungan dengan utilisasi kondom. WPS mengaku

bahwa mereka sudah tidak asing dengan kondom maupun IMS. Banyak dari

mereka sudah terlalu sering mendapatkan informasi maupun penyuluhan

tentang kondom maupun IMS. Bahkan untuk kondom sendiri sudah

mendapatkan pembagian kondom gratis dari para pengurus. Tetapi para WPS

mengaku tidak bisa berbuat banyak karena meeka bekerja seperti ini demi

mendapatkan tambahan penghasilan yang bisa digunakan untuk keperluan

hidup. Jika mereka menuntut untuk selalu menggunakan kondom maka

mereka takut akan kehilangan para pelanggan mereka yang mayoritas tidak

menghendaki dalam penggunaan kondom karena merasa tidak nyaman.

Penelitian lain juga sependapat dengan hal diatas dimana pengetahuan

WPS tentang kondom sebagian besar cukup baik. Dari hasil analisis diketahui

tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang IMS dengan

konsistensi pemakaian kondom. Hasil penelitian yang sama dikemukakan

oleh Lokollo (2009) yang melaporkan bahwa sebagian besar WPS

mengetahui manfaat menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tetapi

hanya sekitar 50% yang menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

Hal ini terjadi karena adanya alasan klasik pelanggan keberatan akibat merasa

tidak nyaman.

J. Pengaruh keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Mayoritas responden memiliki keterampilan yang baik dengan hasil

tes IMS 1 yang sebagian besar adalah negatif yaitu 50 (86.2%) dan IMS 2

juga sebagian besar negatif yaitu 49 (84.5%) dan hampir seluruhnya tidak

berulang yaitu 51 (87.9%) dengan hasil uji statistik dengan menggunakan

Pearson Chi Square didapatkan nilai P pada IMS 1 dan 2 adalah signifikan <

0.05 sehingga ada pengaruh signifikan keterampilan penggunaan kondom

(19)

0.115 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada hubungan antara keterampilan

penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang.

Keterampilan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan

untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi

kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang

diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan

teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang

diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai

mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan keterampilan individu bisa

didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971).

Semakin baik ketrampilan WPS dalam penggunaan kondom akan

menurunkan kejadian IMS. keterampilan WPS sendiri didapat dengan

menggunakan daftar tilik penggunaan kondom yang ditanyakan langsung

kepada WPS. Mereka mengaku sudah lama maengetahui tentang kondom.

Tetapi beberapa dari mereka banyak yang lupa tentang penggunaan kondom

yang baik dan benar. Sebagian besar mereka lupa untuk mengecek tanggal

kadaluwarsa kondom sehingga ada beberapa dari responden yang pernah

menjumpai kondom yang digunakan robek. Hal ini sesuai dengan teori yang

menyatakan kondom yang sudah kadaluwarsa mudah robek. Jika kondom

robek maka cairan dari alat kelamin dan lesi kulit yang terinfeksi dapat

kontak dengan alat kelamin pasangannya dan menularkan IMS sehingga

kondom menjadi tidak efektif Widyastuti dkk (2012). Kondom yang

kadaluwarsa atau bahkan sampai sobek akan menghambat penggunaan

kondom secara konsisten. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa

sebagian faktor-faktor pada level individual (pengetahuan, motivasi dan

kesiapan menggunakan kondom, niat, keputusan menggunakan kondom,

keterampilan dan self-efficacy) dalam situasi yang memadai menjadi faktor

penggunaan kondom secara konsisten (Aditya, 2012).

Walaupun pada IMS 1 dan 2 keterampilan kondom sangat

berpengaruh, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada IMS berulang yang

pengaruhnya tidak signifikan untuk terjadinya IMS. Walaupun seperti itu, ada

(20)

menjelaskan usia, jumlah pelanggan, pengetahuan dan lama kerja

berhubungan dengan kejadian IMS. Sedangkan tingkat pendidikan, sikap,

pencegahan, praktik penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan tidak

berpengaruh terhadap IMS.

K. Pengaruh penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS

Pada penggunaan alkohol dimana rata-rata jumlah responden yang

melakukan hubungan seks dengan konsumsi alkohol yang memiliki hasil tes

IMS 1 positif adalah 0.74±1.37 dan tes IMS 1 negatif 3.96±3.74, hasil IMS 2

positif adalah 1.85±3.08 dan tes IMS negatif adalah 3.69±3.68 serta IMS

berulang 0.87±1.51 dan tidak berulang adalah 3.76±3.73 dan rata-rata yang

tidak mengkonsumsi alkohol saat hubungan seksual dengan hasil IMS 1

positif adalah 23.05±2.51, IMS 1 negatif adalah 20.89±4.04, IMS 2 positif

adalah 22.30±3.25 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 21.07±3.99. serta

rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi alkohol yang memiliki hasil

tes IMS berulang adalah 23.40±2.69 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah

20.93±3.94 dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan

nilai P 0.004 dan 0.023 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan

penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS 1, 2 dan berulang.

Penggunaan alkohol dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual

karena orang yang biasa minum alkohol menjadi kurang selektif dalam

memilih pasangan sehingga akan sulit memkai kondom dengan benar dan

sulit meminta pasangannya menggunakan kondom.

Semakin banyak menggunakan kondom akan menurunkan IMS. Hal

tersebut disebabkan karena mayoritas WPS yang mengkonsumsi alkohol

adalah yang berada di Eks Lokalisasi Ngujang yang mana pada setiap wisma

disediaka alkohol oleh para mucikari atau germo untuk para pelanggan yang

datang. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo tidak disediakan

alkohol karena tempat transaksi seksual mereka di area makam selain itu

waktu transaksi seksual juga cukup singkat sehingga jumlah mitra seksual

yang didapatkan lebih banyak dari pada yang berada di eks lokalisasi tetapi

(21)

15.000-35.000. Penggunaan alkohol sendiri pada WPS tergantung dengan

jenis klien yang melakukan transaksi seksualdengannya. WPS tidak akan

menggunakan alkohol apabila pelanggan mereka tidak mengajak untuk

meminumnya. Kadang ada pelanggan yang mengkonsumsi alkohol tetapi

WPS tetap mempertahankan diri untuk tidak ikut alkohol.

Hasil diatas sesuai dengan studi dari Mahaputra et al (2013)

menemukan bahwa lebih dari setengah dari pekerja seks dikonsumsi alkohol

sebelum seks, yang mirip dengan temuan dari studi India lain. Penelitian

empiris telah berpendapat bahwa penggunaan alkohol tergantung pada jenis

klien dengan siapa WPS berhubungan seks.

WPS dikonsumsi alkohol untuk meningkatkan kenikmatan dan

keterlibatan saat berhubungan seks, sedangkan dengan satu kali klien yang

dikonsumsi alkohol membuat para WPS menjadi sensitif untuk menerima

pelanggan. Temuan penelitian lain juga menunjukkan bahwa WPS yang

berada dilokalisasi atau eks lokalisasi akan mendapatkan pelanggan dari

mucikari yang lebih mungkin untuk mengkonsumsi alkohol. Ini bisa jadi

karena fakta bahwa alkohol tersedia dalam rumah-rumah pelacuran dan di

tempat-tempat terdekat, dan pelanggan membawa alkohol ketika datang

mengunjungi WPS.

Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013), 48% dari WPS

melaporkan bahwa mereka sudah mabuk selama seks dengan klien terakhir

mereka dan wanita-wanita ini yang kurang cenderung menggunakan kondom.

Penyalahgunaan alkohol merupakan halangan penting untuk penggunaan

kondom konsisten dan juga untuk seni kepatuhan. Oleh karena itu sangat

penting bahwa intervensi penargetan WPS dalam memberikan konseling

tentang hubungan seks dengan alkohol dan setelah hubungan seks serta

kecanduan alkohol pada para WPS.

L. Pengaruh konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS

Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata

responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil

(22)

positif. Sedangkan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi

obat-obatan NAPZA saat melakukan transaksi seksual yang memiliki hasil

tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan negatif adalah 24.94±2.37.

Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata

responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA dengan hasil IMS

negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS positif

serta rata-rata responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA

yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 24.20±2.61 dan IMS 2 negatif

adalah 24.81±2.40. tidak terdapat responden yang memiliki hasil IMS

berulang dan rata-rata responden yang memiliki hasil IMS tidak berulang

adalah 0.05±0.23 dan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi

obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS berulang adalah 24.20±2.57

dan hasil IMS tidak berulang adalah 24.77±2.43 dengan hasil uji statistik

menggunkaan uji t didapatkan p value 0.410 dan 0.366 yang berarti > 0.05

sehingga tidak ada pengaruh antara konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap

kejadian IMS berulang.

Penggunaan kondom yang tidak konsisten biasanya terjadi WPS yang

mengkonsumsi obat-obatan. Penyalahgunaan obat prinsipnya hampir sama

dengn penggunaan alkohol. Orang yang berhubungan seksual dibawah

pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual

beresiko. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa

seseorang melakukan perilaku seksual. Selain itu, penggunaan obat dengan

jarum suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit

lewat darah, seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat

seks (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013).

Hampir seluruh responden tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA.

Data ini didapat dari hasil observasi langsung dengan lembar diary yang

dilaksanakan setiap hari. Tetapi untuk konsumsi obat-obatan NAPZA

didapatkan jika banyak WPS yang tidak mengetahui tentang hal tersebut.

Walaupun ada beberapa dari mereka yang mengetahui. Kadang penggunaan

obat NAPZA ini identik dengan obat tidur atau obat IMS. Sehingga banyak

(23)

Penelitian dari Strathdee et al (2011) menjelaskan setengah dari WPS

melaporkan jika mereka pernah terdaftar dalam program perawatan obat.

Dalam hal lingkungan sosial WPS yang memiliki hubungan yang signifikan

adalah pada WPS dengan HIV pos.itif lebih mungkin untuk melaporkan

sering atau selalu menyuntikkan obat dengan mitra seksual. Hal tersebut juga

didukung oleh penelitian dari Handayani R (2012) didapatkan perilaku

seksual pengguna obat NAPZA dalam satu bulan terakhir

mempunyai kecenderungan beresiko tinggi terhadap penularan

IMS/HIV-AIDS yang berdasarkan data hubungan seksual dengan pekerja seks

komersial 90.7%, pasangan kasual 74.4% dan pasangan tetap 34,9%,

hal ini juga mencerminkan mereka mempunyai pasangan seksual

lebih dari satu orang sehingga kemungkinan penularan penyakit seksual

semakin tinggi.

M. Pengaruh jenis pembayaran pada transaksi seksual terhadap kejadian IMS

Pada jenis pembayaran transaksi seksual didapatkan semua responden

melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS 1 yang positif

adalah 23.68±2.52 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.44. IMS 2 yang positif

adalah 24.10±2.77 dan IMS 2 negatif adalah 24.87±2.41. Didapatkan semua

responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS

berulang adalah 24.20±2.57 dan IMS tidak berulang adalah 24.80±2.49

dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value 0.399 yang

berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jenis pembayaran transaksi

seksual terhadap kejadian IMS berulang.

Walaupun begitu, jenis transaksi seksual ini sangat erat hubungannya

dengan penggunaan kondom yang konsisten. Karena jika ada pelanggan yang

melakukan transaksi selain cash tidak akan dilaporkan kepada pengurus

karena mereka beranggapan hal itu merupakan urusan mereka dengan para

pelanggan masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan penelitian menurut

Graham et al (2014) didapatkan faktor-faktor kerja sama yang dikaitkan

(24)

pembayaran tunai untuk seks) juga dikaitkan dengan beberapa mitra seks.

Wanita yang dikenakan biaya terendah untuk seks cenderung kurang

melaporkan mitra yang dilayani dalam seminggu bekerja yang mungkin

mencerminkan tekanan ekonomi yang lebih besar pada kelompok ini.

Semua responden memiliki jenis transaksi seks secara cash. Dimana

walaupun sudah menggunakan cash tetapi masih ada responden yang

mempunyai hasil IMS positif. Banyak dari responden yang mengaku jika

jenis transaksi tidak mempengaruhi pendapatan maupun penggunaan kondom

yang mereka lakukan. Masih adanya hasil IMS yang positif karena sebagian

responden masih belum menggunakan kondom secara benar, rutin dan

konsisten. Selain itu para WPS lebih mementingkan pendapatan mereka dari

pada harus menggunakan kondom dan kehilangan pelanggan. penelitian lain

dari Graham et al (2014) menjelaskan WPS yang melaporkan mempunyai

mitra seksual dua atau lebih didapatkan pada WPS yang bekerja di klub

malam atau tempat lain dengan jenis transaksi adalah cash transaaction.

N. Pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS

Rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra

seksual dengan hasil tes IMS 1 positif adalah 0.05±0.229 dan hasil tes IMS 1

negatif adalah 0.01 ± 0.12. sedangkan hasil tes IMS 2 positif adalah

0.05±0.224 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 0.01±0.12 dan rata-rata jumlah

responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes

IMS berulang adalah 0.07±0.26 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah

0.01±0.12. Rata-rata jumlah responden yang tidak memberikan informasi

mempunyai hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.47 dan IMS 1 negatif

adalah 24.97±2.50, IMS 2 positif adalah 24.05±2.78 dan hasil tes IMS 2

negatif adalah 24.89±2.45. serta IMS berulang adalah 24.13±2.59 dan IMS

tidak berulang adalah 24.81±2.52 dengan uji statistik menggunkaan uji t

didapatkan p value 0.205 dan 0.345 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada

pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS

(25)

Perubahan perilaku penggunaan kondom akan meningkat dengan

konsekuensi para WPS harus memberikan konseling terlebih dahulu pada

pasangannya Susan et al (2014). Wanita yang telah diuji untuk HIV

dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa

konseling, termasuk konseling HIV terinfeksi wanita, mungkin memiliki

dampak positif pada penggunaan kondom. Semua responden tidak

memberikan konseling kepada pelanggan mereka dengan alasan waktu yang

singkat dalam melakukan transaksi seksual. Terutama pada WPS yang berada

di Gunung Bolo yang tidak mungkin bisa memberikan informasi tentang

kondom kepada pelanggan mereka. Untuk WPS di Eks Lokalisasi Ngujag

masih bisa memberikan informasi tetapi untuk konseling belum pernah

dilakukan karena keterbatasan waktu. WPS yang berani memberikan

informasi adalah mereka yang memang sudah bekerja menjadi WPS yang

lama. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Graham et al (2014) yang

menyatakan WPS yang sudah lama bekerja akan meningkatkan perilaku

penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada

pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. hal tersebut

sependapat dengan penelitian dari Mayanja et al (2016) juga sependapat

bahwa WPS melaporkan bahwa mereka tidak berdaya dalam hal tawar

menawar untuk mempertahankan penggunaan kondom yang biasanya

tergantung pada keinginan klien, harga yang ditawarkan dan ketenangan

wanita. Beberapa WPS mengaku ada yang mengancam pelanggan untuk tidak

mau bertransaksi seksual apabila tidak menggunakan kondom. Tetapi hal

tersebut sangat jarang dilakukan oleh para WPS karena takut membuat

pelanggan tersinggung dan tidak memilihnya.

Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Shannon et al

(2009), menunjukkan 205 perempuan yang melaporkan transaksi seksual

dengan klien, 25% melaporkan pernah ditekan oleh klien untuk tidak

menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dalam 6 bulan

terakhir. Dalam konteks ini, keterampilan negosiasi penggunaan kondom

sangat penting. Strategi promosi kondom harus diarahkan pada

(26)

penggunaan kondom, dan pada tingkat pribadi untuk mengembangkan

ketrampilan pekerja seks' dalam proses negosiasi.

O. Pengaruh tarif pelayanan seksual terhadap kejadian IMS

Tarif pelayanan seksual didapatkan sebagian besar WPS mempunyai

tarif seksual ≥ 80.000 dengan hampir seluruh responden memiliki hasil tes

IMS 1 negatif yaitu 53 (100%). Sebagian besar WPS mempunyai tarif seksual ≥ 80.000 dengan hampir seluruh responden memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu 52 (98.1%). Sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang

yaitu 44 (77.2%) dengan uji statistik menggunakan Pearson Chi Square

didapatkan nilai p 0.001 yang berarti ada pengaruh signifikan antara tarif

pelayanan seksual terhadap kejadian IMS berulang.

WPS yang mempunyai tarif seksual yang tinggi lebih cenderung

memiliki hasil IMS negatif bila dibandingkan WPS yang memiliki tarif

rendah akan cenderung mendapat IMS positif lebih besar. Hal tersebut sesuai

dengan penelitian Susan et al (2014) dimana penggunaan kondom yang tidak

konsisten biasanya terjadi WPS dengan tarif seksual rendah yang cenderung

beresiko untuk terkena IMS.

WPS yang memiliki tarif seksual yang rendah terdapat pada

responden yang berada di Gunung Bolo dimana dalam setiap transaksi

seksual hanya memiliki tarif 15.000-35.000 dan kebanyakan dari mereka

menggunakan kondom yang tidak konsisten karena alasan ekonomi yang

menjadi penyebab utama mereka terjun ke dunia prostitusi. Sehingga mereka

dengan pasrah menerima pelanggan tanpa menuntut mereka untuk

menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Graham et

al (2014) dimana WPS dengan biaya rendah dan melakukan cash secara tunai

lebih mungkin menggunakan kondom tidak konsisten sesuai dengan riset

kualitatif dalam Mombasa dan tekanan ekonomi menjadi penghalang penting

dalam melakukan seks secara aman.

Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) didapatkan harga

yang lebih rendah per tindakan seks adalah independen yang dikaitkan

(27)

tindakan seks juga dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi HIV tetapi

hubungan ini hanya signifikan secara statistik dalam Model 1 (tanpa IMS).

P. Pengaruh lama bekerja menjadi WPS terhadap kejadian IMS

Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki hasil

tes IMS 1 positif adalah 88.42±44.04 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah

43.80±43.80. Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki

hasil tes IMS 2 positif adalah 83.70±44.75 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah

44.51±44.58. Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki

hasil tes IMS berulang adalah 87.20±42.90 dan IMS tidak berulang adalah

46.43±45.40 dengan uji statistik menggunakan uji t didapatkan p value 0.002

yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh lama bekerja menjadi WPS

terhadap kejadian IMS berulang.

Lama bekerja merupakan salah satu faktor host/ individu yang dapat

mempengaruhi kejaidan IMS. Lama bekerja sebagai WPS dijelaskan bahwa

sangat erat hubungannya dengan terjadinya IMS. Pada beberapa orang yang

bekerja dengan kondisi tertentu yang didukung oleh lingkungan akan

memungkinkan terjadinya kontak seksual yang dapat meningkatkan penderita

IMS. Semakin lama seseorang bekerja menjadi WPS akan semakin beresiko

terjadinya IMS (Mahaputra et al., 2013).

Pada penelitian ini WPS yang memiliki masa kerja lebih lama terjadi

pada mereka yang berada di Gunung Bolo, dimana rata-rata WPS merupakan

wanita yang pernah keluar dari eks lokalisasi ataupun wanita yang sudah

berumur yang memerlukan pekerjaan dengan mendapat gaji yang cukup

untuk pemenuhan hidupnya. Alasan mereka memilih Gunung Bolo karena

mereka tidak akan di razia oleh satpol PP dengan alasan Gunung Bolo bukan

eks Lokalisasi berbeda dengan yang berada di Eks Ngujang yang kadang

masih ada razia. Tetapi tarif seksual yang ditawarkan lebih rendah dan lebih

rentan terkena IMS karena kurang pengawasan dan pengecekan rutin dari

tenaga kesehatan bila dibandingkan dengan WPS yang di Ngujang yang lebih

mempunyai penghasilan tinggi, pengawasan yang rutin untuk tes IMS serta

(28)

Graham et al (2014) yang mengatakan tempat kerja adalah prediktor sangat

kuat dalam penggunaan kondom yang kurang yang sering terjadi pada

perempuan yang bekerja di prostitusi liar atau ilegal. Temuan ini konsisten

dengan studi pekerja seks perempuan di Nairobi. Tidak jelas apakah akses ke

kondom atau informasi yang bermasalah dalam hal ini atau apakah memang

mitra seksual yang menolak menggunakan kondom. Dari catatan, penggunaan

kondom adalah lebih mungkin dengan cash transaction yang mungkin lebih

umum pada prostitusi umumnya.

Temuan studidari Mahaputra et al (2013) menunjukkan bahwa WPS

yang telah bekerja selama 10 tahun atau lebih dan memiliki tiga atau lebih

klien sehari lebih mungkin untuk terlibat dalam seks anal dari pada

rekan-rekan mereka. Temuan serupa dicatat dalam studi lain yang dilakukan di

Afrika Timur. Hasil analisis menunjukkan bahwa 62% dari WPS yang telah

bekerja selama 10 tahun atau lebih dan berumur 35 tahun atau lebih tua akan

lebih beresiko. Bukti menunjukkan bahwa pekerja seks anak mendapatkan

sedikit klien untuk menghibur dari pada WPS yang muda. Oleh karena itu,

WPS ini menyerah pada tuntutan yang dibuat oleh klien mereka yang

berhubungan dengan jenis seks, terutama anal seks, tempat seks atau

konsumsi alkohol.

Q. Pengaruh Utilisasi Kondom Terhadap Kejadian IMS

Berdasarkan tabel 4.9a didapatkan hasil analisis multivariat yang

dihubungkan dengan kejadian IMS 1 dimana dari tujuh variabel independen

ada tiga yang mempunyai hasil yang signifikan yaitu skala pengukuran rasio

penggunaan kondom dengan nilai p 0.045, jumlah kondom dengan nilai p

0.017 dan jumlah pelanggan seksual dengan nilai p 0.011 yang berarti < 0.05

sehingga ada pengaruh yang signifikan terhadap kejadian IMS. hasil

multivariat terhadap IMS 2 didapatkan dari tujuh variabel independen tidak

ada yang signifikan karena nilai p dari masing-masing variabel > 0.05

sehingga Ha ditolak dan H0 diterima yang berarti tidak ada pengaruh skala

pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah kondom, jumlah kondom

(29)

lama bekerja terhadap kejadian IMS 2. Hasil analisis multivariat pada IMS

berulang didapatkan dari enam variabel independen tidak ada yang

mempunyai pengaruh signifikan terhadap kejadian IMS berulang dimana nilai

p dari masing-masing variabel > 0.05 yang berarti Ha ditolak dan H0 diterima

sehingga tidak ada pengaruh skala pengukuran rasio penggunaan kondom,

jumlah kondom, jumlah kondom baru, umur, jumlah pelanggan seksual dan

lama bekerja terhadap kejadian IMS berulang.

Ada beberapa variabel yang harus dikeluarkan dari model karena

mempunyai nilai presisi yang ekstrim sehingga bisa mempengaruhi variabel

lain. Variabel tersebut adalah tarif seksual, periode temporal waktu

penggunaan kondom dan ketrampilan penggunaan kondom. Beberapa

variabel lain tetap dimasukkan walaupun tidak signifikan karena nilai presisi

cukup baik sehingga kemungkinan variabel tersebut tidak signifikan karena

jumlah sampel yang terlalu kecil.

Utilisasi kondom yaitu penggunaan kondom yang benar dan konsisten

dengan melihat pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya

menggunakan kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Penggunaan

kondom pada hubungan seksual berisiko merupakan salah satu strategi

pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV

pada kelompok berisiko termasuk kepada WPS dan pelanggannya (KPAN,

2010). utilisasi kondom terdapat 6 dimensi. Dimensi tersebut meliputi jenis

pasangan seks, periode temporal (waktu penggunaan kondom), skala

pengukuran, jenis kegiatan seksual, konsistensi penggunaan kondom dan

penggunaan kondom. Tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan 5

dimensi saja karena untuk jenis mitra seksual tidak digunakan dengan alasan

populasi dalam penelitian ini adalah homogen pada WPS yang mempunyai

jenis mitra seks yang berganti-ganti.

Selain dengan 5 dimensi, ada beberapa faktor yang sangat signifikan

mempengaruhi utilisasi kondom antara lain periode temporal waktu

penggunaan kondom, skala pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah

kondom, penggunaan kondom baru, umur, jumlah pelanggan seksual,

(30)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ada pengaruh yang signifikan

skala pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah kondom dan jumlah

pelanggan seksual terhadap kejadian IMS 1. Pada IMS 2 dan IMS berulang

tidak terdapat variabel yang signifikan. Hal tersebut kemungkinan karena

jarak antara tes IMS 1 dan 2 yang hanya berselang 2 minggu sehingga tidak

terlalu banyak perbedaan dengan IMS pertama. Karena setelah dilakukan tes

IMS, para WPS akan menunggu selama satu minggu untuk mengetahui hasil

tes IMS, baik itu hasil yang positif maupun negatif. Sehingga setelah satu

minggu jika terdapat WPS yang positif hasilnya baru diberikan pengobatan

pada WPS. Hal tersebut membuat para WPS merasa sehat selama proses

menunggu dan mereka tetap melakukan praktik seksual kepada para

pelanggan baik di Eks Lokalisasi Ngujang maupun Gunung Bolo. Hal

tersebut bisa mempengaruhi hasil IMS yang ke 2 karena jika IMS 1 positif

bisa terjadi IMS berulang karena telatnya pegobatan dan kurangnya kesadaran

WPS bahwa mereka mempunyai gejala untuk IMS.

Semakin tinggi rasio penggunaan kondom akan menurunkan kejadian

IMS. Rasio penggunaan kondom didapatkan dari jumlah kondom yang

digunakan dibagi jumlah hubungan seksual dimana rasio tersebut juga bisa

digunakan untuk mengukur konsistensi penggunaan kondom. Hal tersebut

didukung oleh penelitian dari. Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan

prevalensi tinggi pada HIV dan IMS (56.5%) telah mengalami penurunan

yang didukung dengan proporsi WPS yang melaporkan penggunaan kondom

dengan klien terakhir yang meningkat mencapai 75% dan peningkatan

tersebut berkaitan dengan kesadaran WPS tentang HIV/ IMS.

Penggunaan kondom yang ≥ 50% pada WPS didukung oleh sebagian

besar WPS yang pengetahuannya baik tentang utilisasi kondom karena

sebagian besar sudah pernah mendapat informasi dari tenaga kesehatan.

Tetapi masih ada WPS yang penggunaan kondom < 50% kemungkinan

karena kebanyakan WPS yang sudah berstatus janda, lama bekerja menjadi

WPS yang > 12 bulan. hal tersebut sesuai dangan penelitian dari

Vandenhoudt et al (2013) yang menyatakan proporsi yang tinggi WPS

(31)

dari perempuan ini kemungkinan besar menjadi janda karena suami mereka

meninggal dunia akibat AIDS dan itu mungkin sudah terinfeksi HIV ketika

memasuki seks sebagai strategi bertahan hidup. Penelitian dari Mahaputra et

al (2013) didapatkan sekitar 51% dari FSWs telah terlibat dalam praktek

seksual berisiko. penelitian ini mengidentifikasi empat sebagian-di risiko

kelompok pekerja seks: 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah,

terlibat dalam seks bekerja selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks

dengan tiga atau lebih klien sehari.

Penggunaan kondom merupakan salah satu yang berperan penting

dalam penurunan resiko IMS/ HIV. Penggunaan kondom yang benar, rutin

dan konsisten sangat efektif dalam pencegahan IMS. Hal tersebut didukung

penelitian dari Graham et al (2014) yang menunjukkan faktor-faktor yang

dikaitkan dengan penggunaan kondom konsisten yaitu tempat klub malam,

pembayaran tunai untuk seks dan dikaitkan dengan beberapa mitra seks.

sekitar sepertiga dari perempuan masih dilaporkan tidak pernah atau tidak

konsisten penggunaan kondom pada kunjungan dalam periode 3 tahun

terakhir.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan semakin banyak jumlah

kondom yang digunakan maka hasil IMS yang positif dan berulang akan

meningkat. Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS

yang positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah

kondom dengan kejadian IMS.

Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat

pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan

kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom

yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal

yang tidak menggunakan kondom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual

(KPAN, 2010).

WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif mengaku lebih

hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan menggunakan kondom tetapi

hanya selama masa penyembuhan. Setelah dinyatakan positif maka mereka

(32)

melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan kondom. Hal tesebut

didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan

pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom tidak dik

Referensi

Dokumen terkait

Mengembangkan Inovasi Membangun Motivasi Kerja Melakukan Komunikasi Menangani Konflik Mengambil Keputusan.. melalui pembelajaran maupun bimbingan baik secara aktif,

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas lahan, biaya pupuk, biaya bahan bakar, dan hasil produksi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pendapatan

“Sejauh ini hubungan kami dengan pihak media sudah sangat baik, meskipun perbedaan orientasi kedua profesi memang ada, seperti media membutuhkan berita yang

Dikarenakan nilai signifikansi lebih kecil dari α (0,05), maka H0 ditolak yang artinya secara simultan terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Prespektif

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat memperbaiki proses

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis , deskriptif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Prinsip

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Bapa di Surga atas rahmat dan kasih karuniaNya yang telah dianugerahkan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan

Ini terlihat masih banyaknya kekurangan dalam pengembangan Heritage Tourism Kawasan Kota Lama, pengembangan aktivitas pariwisata yang mampu menciptakan mata rantai nilai tambah