BAB V PEMBAHASAN
A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden sebagian
besar sudah menggunakan kondom dengan waktu > 3 bulan dengan hasil tes
IMS 1 negatif yaitu 69 (82.1%) dengan nilai OR 0.11 dan nilai p 0.005, hasil
tes IMS 2 negatif yaitu 68 (81%) dengan nilai OR 8.5 dan p 0.007, sedangkan
sebagian besar yang menggunakan kondom > 3 bulan memiliki IMS yang
tidak berulang yaitu 73 (86.9%) dengan OR 13.27 dan nilai p 0.001 sehingga
H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti ada pengaruh waktu penggunaan
kondom dengan kejadian IMS baik IMS 1,2 dan berulang dimana semakin
lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS.
IMS meningkat pesat karena terbukanya perilaku seks secara komersil
yang didukung dengan pendapatan setiap melayani klien yang tinggi sehingga
banyak wanita yang menjadi Wanita Pekerja Seksual (WPS). WPS 12 kali
lebih beresiko dibandingkan populasi umum untuk terkena IMS. Salah satu
faktor yanag sangat mempengaruhi kejadian IMS adalah perilaku penggunaan
kondom dimana hal tersebut juga menjadi salah satu strategi yang efektif
untuk mencegah peularan dan memberikan perlindungan terhadap kejadian
IMS pada kelompok beresiko termasuk didalamnya adalah WPS kepada mitra
seksualnya. Waktu penggunaan kondom bisa ditanyakan dengan
menggunakan periode recall (penggunaan kondom pada seks terakhir). Tetapi
studi yang melibatkan pekerja seks cenderung mengukur penggunaan
kondom dalam periode waktu yang singkat seperti pada minggu atau bulan
(Bankole et al., 2007; Graham et al., 2014; Fonner et al., 2014).
Hasil penelitian didapatkan bahwa semakin lama menggunakan
kondom akan menurunkan kejadian IMS. Penggunaan kondom merupakan
langkah awal untuk mencegah terjadinya IMS. Banyak WPS yang mengaku
sudah lama menggunakan kondom sehingga banyak dari mereka yang
penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) bahwa prevalensi WPS yang
melaporkan penggunaan kondom dengan mitra terakhir meningkat 50%
menjadi 75% pada survey selanjutnya dimana hal tersebut membuat
prevalensi HIV/ IMS menurun.
Masih adanya WPS yang memiliki hasil IMS yang masih positif
kemungkinan disebabkan karena mereka mengatakan sudah lama
menggunakan kondom, tetapi kenyataannya mereka tidak selalu
menggunakan kondom. Hal tersebut didukung dengan penelitian oleh Fonner
et al (2014) yang melibatkan pekerja seks dalam mengukur periode
penggunaan kondom yang singkat seperti minggu atau bulan dimana hanya
4% responden yang selalu menggunakan kondom dalam transaksi seksual
sesuai dengan lama penggunaan kondom selama ini. Banyak responden sudah
lama menggunakan kondom tetapi tidak semua transaksi seksual dilakukan
dengan selalu menggunakan kondom. Sehingga banyak responden yang
belum konsisten menggunakan kondom yang menyebabkan kejadian HIV dan
IMS masih tinggi.
Kondom merupakan alat kontrasepsi terbaik yang saat ini bisa
digunakan sebagai langkah awal pencegahan IMS walaupun secara teori
kondom tidak bisa 100% dalam memberikan perlindungan itu. Menggunakan
kondom akan lebih memberikan keamanan bagi para WPS dalam melakukan
transaksi seksual dari pada tidak menggunakan sama sekali. Apalagi para
WPS yang sudah memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terjadi IMS seperti
sudah lama bekerja, berumur lebih tua dan jumlah mitra seksual yang banyak.
Selain itu WPS dianggap memiliki resiko jika mereka melaporkan
penggunaan kondom yang tidak konsisten. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang lebih tua,
saat ini menikah, bekerja sebagai WPS dalam waktu lama dengan klien yang
lebih banyak mungkin untuk terlibat dalam praktek seksual berisiko. WPS
dianggap berisiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom tidak
konsisten dengan semua pasangan seks dan melaporkan pengalaman dari
salah satu kerentanan berhubungan seperti seks anal, konsumsi alkohol
Sebagian besar responden pada kedua tempat penelitian sudah
menggunakan kondom yang lama tetapi sebagian besar dari mereka belum
bisa menggunakan kondom secara rutin karena kendala dengan para
pelanggan yang dilayani. Sehingga masih banyak yang hasil tes IMS nya
positif. Ada beberapa WPS yang baru menggunakan kondom dalam waktu 3
bulan padahal mereka sudah bekerja sebagai WPS lebih dari satu tahun. Hal
tersebut karena sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan kondom sama
sekali padahal setiap mau melayani pelanggan para WPS sudah membawa
beberapa kondom di tas mereka tetapi kadang kondom tersebut masih utuh
dalam beberapa hari karena tidak digunakan sama sekali. Selain itu
kebanyakan WPS mengatakan sudah lama menggunakan kondom tetapi
kondom tersebut tidak selalu digunakan. WPS sebenarnya sudah tahu tentang
bahaya jika tidak menggunakan kondom tetapi mereka tidak berdaya dengan
para pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom.
WPS yang menggunkaan kondom dan hasil tes IMS negatif tidak
berulang adalah mereka yang berada di eks Lokalisasi Ngujang. Para WPS
tersebut sudah terjadwal dalam melakukan pengecekan untuk IMS setiap
bulan, selain itu dalam satu hari mereka hanya melayani maksimal 4 orang.
Ada WPS yang mengatakan bahwa dia tidak mau melayani pelanggan apabila
mereka tidak menggunakan kondom sehingga hal tersebut meningkatkan
perilaku penggunaan kondom yang konsisten. Berbeda dengan WPS yang
berada di Gunung Bolo dimana banyak dari mereka yang jarang
menggunakan kondom dan memiliki hasil tes IMS yang positif karena para
WPS tidak pernah secara rutin melakukan pengecekan tes IMS, jumlah mitra
yang dilayani juga sangat banyak bisa mencapai 10 mitra tiap hari dan
didukung oleh para mitra seksual yang kebanyakan tidak mau menggunakan
kondom sehingga lebih beresiko untuk terkena IMS.
B. Pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS
Berdasarkan hasil rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks
rata-rata rasio penggunaan kondom tiap bulan adalah 74.83% dengan SD ±14 dan
rata-rata tiap hari adalah 0.93 dengan SD ±0.3 dengan nilai P < 0.001, pada
tes IMS 2 rata-rata rasio per bulan pada hasil yang negatif adalah 61.19%
dengan SD ±11 dan rata-rata tiap hari adalah 2.20 ±0.5 dengan nilai P 0.001
dan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang dengan
rata-rata rasio per bulan 67.16% dengan SD ±11 dan rata-rata per harinya adalah
2.39 kondom dengan SD ±0.6 dengan nilai P < 0.001 sehingga dapat
disimpulkan bahwa HI diterima dan H0 ditolak sehingga ada pengaruh skala
pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap
kejadian IMS 1, 2 dan IMS berulang. Semakin tinggi rasio penggunaan
kondom akan menurunkan kejadian IMS. hal tersebut juga didukung dengan
data dikotomi dari klien yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki rasio penggunaan kondom ≥ 50% dengan hasil IMS yang mayoritas negatif dan tidak berulang.
Pengukuran penggunaan kondom paling sering menggunakan
dikotomi. Menggambarkan proporsi responden yang melaporkan penggunaan
kondom pada skala ordinal (misalnya, selalu, hampir selalu, kadang-kadang,
hampir tidak pernah, dan tidak pernah) juga digunakan. Lima penelitian
melaporkan penggunaan kondom pada skala kontinyu (misalnya, berapa kali
kondom digunakan dalam jangka waktu tertentu). Lima studi melaporkan
hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan
seks dilindungi dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang
mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama.
Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta
sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks
dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Penggunaan
kondom secara rutin, konsisten dan tepat memang sangat efektif untuk
pencegahan IMS dan efektifitasnya sangat tergantung pada metode penularan
IMS. (Fonner et al., 2014; Widyastuti dkk., 2012).
Rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks sama dengan
mengukur konsistensi penggunaan kondom. Dimana mayoritas responden
yang penggunaannya masih minim. Penggunaan kondom yang tidak
konsisten memang biasanya terjadi pada WPS tidak langsung atau yang
berada pada prostitusi ilegal karena mereka sebagian besar bekerja menjadi
WPS dengan alasan ekonomi sehingga tidak bisa menolak jika para mitra
seksual tidak mau menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh
penelitian dari Li et al (2012) yang menyatakan proporsi yang cukup tinggi
dari WPS tidak langsung (WPS yang biasanya berada pada prostitusi ilegal)
adalah penggunaan kondom yang tidak konsisten.
Penelitian dari Fonner et al (2014) menyatakan dari lima studi
melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah
tindakan seks dilindungi yang dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan
penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode
waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk
mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika
jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak
keseluruhan). Studi intervensi VCT diukur dengan rasio penggunaan kondom
per pasangan. Penggunaan kondom "Regular" didefinisikan sebagai ketika
kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks
dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90. Dan didapatkan kurang dari
setengah dari total responden yang menggunakan kondom secara konsisten
dan memiliki resiko lebih rendah terkena IMS.
Banyaknya responden yang sudah menggunakan kondom karena
didukung dengan mayoritas responden yang sudah pernah mengikuti jenjang
pendidikan walaupun hanya sebatas tingkat SD tetapi hal tersebut membuat
responden tidak kesulitan menerima informasi yang didapat yang mayoritas
berasal dari tenaga kesehatan dimana informasinya bisa berupa penyuluhan
maupun pemberian leaflet yang diperlukan kemampuan membaca dan
memahami. Tetapi penggunaan kondom tidak akan bisa efektif dalam
mencegah IMS apabila penggunaannya tidak secara benar, rutin dan
konsisten. Banyak terjadi pada WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi
hasil tes IMS nya positif karena setelah dicermati mayoritas dari mereka tidak
sehingga rasio antara penggunaan kondom dengan hubungan seksual < 90%.
Sangat sedikit atau bahkan tidak ada responden yang konsisten menggunakan
kondom karena semua responden menggunakan kondom dalam bertransaksi
seksual hanya bila para pelanggan mereka menginginkan atau bahkan
menawarkan sendiri kepada para WPS. Hal tersebut didukung oleh penelitian
oleh Ghimire et al (2011), Sebuah studi kualitatif di Nepal, Alasan untuk
tidak mengunakan kondom dikalangan pekerja seks adalah karena faktor
ketidakberdayaan (low self efficacy) dan kemiskinan yang sering
dilaporkan sebagai alasan yang menyebabkan pekerja seks enggan
mengunakan kondom. Ada pula beberapa WPS yang mencoba menawarkan
penggunaan kondom sebelum bertransaksi seksual kepada pelanggan mereka
tetapi sebagian besar pelanggan banyak yang menolaknya walaupun ada
beberapa yang menyetujui untuk menggunakan kondom.
C. Pengaruh jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden semuanya
menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina yaitu 90 (100%). Rata-rata
WPS yang menggunakan seks vagina dalam 1 bulan yang memiliki hasil IMS
1 positif adalah 23.68±2.52 dan hasil IMS 1 negatif adalah 24.92±2.48 dan
nilai P adalah 0.059. Pada IMS 2 dengan hasil positif didapatkan rata-rata
24.10±2.77 dan hasil negatif adalah 24.81±2.45 dengan nilai P adalah 0.267.
Sedangkan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dengan nilai P
0.45. Sehingga dapat disimpulkan nilai P > 0.05 yang berarti H1 ditolak dan
H0 diterima sehingga tidak ada pengaruh antara jenis kegiatan seksual
terhadap kejadian IMS.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya IMS salah satunya dari
faktor host (individu) yaitu jenis kegiatan seksual. Seks anal merupakan salah
satu jenis perilaku beresiko yang meningkatkan kejadian IMS. Proporsi yang
cukup tinggi dari WPS tidak langsung terlibat dalam seks anal dengan
pelanggan mereka sehingga tidak konsisten dalam menggunakan kondom dan
meningkatkan kejadian IMS. Dijelaskan pula bahwa seseorang yang bekerja
banyak yang kemungkinan dapat terlibat dalam seks anal. Frekuensi jenis
kelamin merupakan salah satu bagian dari dimensi untuk mengukur utilisasi
kondom yang meliputi seks vagina, seks anal, seks oral (Widyastuti dkk.,
2012; Mahaputra et al., 2013; Foner et al., 2012).
Jenis seks yang dilakukan mempengaruhi kejadian IMS. Hasil
penelitian ini didapatkan bahwa jenis seks vagina tidak berpengaruh terhadap
kejadian IMS karena semua respnden yang melakukan seks vagina memiliki
hasil tes IMS yang negatif. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari
Mahaputra et al (2013) bahwa proporsi yang signifikan dengan IMS yang
lebih tinggi terjadi pada WPS yang terlibat praktik seksual beresiko. Dimana
sebagian besar WPS melakukan praktik seks anal pada salah satu kabupaten
yang kejadian IMS nya tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yang
mayoritas menggunakan seks vagina dengan hasil IMS rendah.
Pada penelitian ini semua responden sudah menggunakan jenis
kegiatan seksual per vagina. Tetapi mereka masih merupakan kelompok
beresiko karena selain dari jenis kegiatan seksual juga dipengaruhi faktor lain
yang sangat signifikan mempengaruhi kejadian IMS seperti jumlah pelanggan
dan lama bekerja sebagai WPS sehingga masih ada responden yang memiliki
hasil tes IMS positif. Hal tersebut didukung dari penelitian Mahaputra et al
(2013) yang menyatakan ada empat kriteria WPS yang beresiko tinggi yaitu
umur 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah, bekerja sebagai WPS
selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks dengan tiga atau lebih klien
sehari. Selain itu tidak semua responden yang sudah melakukan seks vagina
juga selalu menggunakan kondom sehingga memungkinkan hasil tes IMS
yang positif. Walaupun mayoritas yang menggunakan kondom sudah
mengidentifikasikan memilih jenis seks vagina dalam melayani mitra seksual.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) juga
menjelaskan bahwa dari jenis seks antara vagina, anal dan oral hanya satu
yang merupakan studi yang mendefinisikan jenis tindakan seks menggunakan
kondom yaitu seks vagina. Walaupun sebagian besar hasil tes IMS negatif
karena mayoritas WPS yang sudah banyak yang menggunakan kondom tidak
sudah menggunakan seks vagina mengaku karena para pelanggan mereka
lebih menyukai jenis kegiatan seks ini dari pada jenis lainnya seperti seks
anal dan oral. Selain itu jenis seks lain juga sangat jarang digunakan terutama
seks anal yang masih tabu dikalangan eks lokalisasi Ngujang dan Gunung
Bolo. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian dari Fonner et al (2014)
yang mengatakan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah
dimana perilaku seks tertentu seperti seks anal masih dianggap tabu, begitu
juga dengan pasangan yang heteroseksual. Peserta yang melaporkan tidak
melakukan seks anal mempunyai arti bahwa semua tindakan penggunaan
kondom hanya dilakukan pada seks vagina saja. Sehingga kejadian IMS pada
seks anal beresiko tinggi menyebabkan IMS dari pada seks vagina. Para
pelanggan lebih memilih seks vagina karena para WPS mengaku jenis seks
tersebut kurang nikmat, ditambah bagi WPS di Gunung Bolo yang dalam
menjajakkan seksnya hanya dalam hitungan menit jadi mereka lebih memilih
seks vagina dan jika mencoba seks lain akan mnghabiskan waktu dan akan
menambah tarif seks serta belum pasti mendapatkan kenikmatan yang sesuai
keinginan.
D. Pengaruh konsistensi penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung
Bolo didapatkan semua responden tidak konsisten menggunakan kondom
yaitu 90 (100%) dengan hasil tes IMS yang mayoritas adalah negatif pada tes
IMS 1 yaitu 71 (78.89%), IMS 2 yaitu 70 (77.78%) dan sebagian besar
responden memiliki hasil tes IMS tidak berulang yaitu 76 (84.44%).
Pemakaian kondom dapat menurunkan penularan IMS meskipun
kondom tidak 100% dapat mencegah IMS namun kondom tetap merupakan
cara terbaik untuk menghindari IMS. Penggunaan kondom pada hubungan
seksual berisiko merupakan salah satu strategi pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko
termasuk kepada WPS dan pelanggannya. Berbagai faktor sangat terkait
dengan kejadian IMS yang masih tinggi di berbagai negara. Pencegahan dan
melatarbelakanginya. Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa banyak
faktor yang sangat mempengaruhi kejadian IMS antara lain perilaku
penggunaan kondom. Sampai saat ini beberapa studi telah berusaha untuk
memeriksa penggunaan kondom yang benar dan konsisten pada orang yang
aktif secara seksual. penggunaan kondom secara benar dan konsisten
diperkirakan memiliki kemungkinan 59% lebih kecil untuk terinfeksi IMS
dalam tiga bulan dibandingkan dengan peserta yang tidak menggunakan
kondom secara benar dan konsisten. Penggunaan kondom yang konsisten
adalah penggunaan kondom yang dilaporkan pada setiap hubungan seks
dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ada beberapa yang mendefinisikan
penggunaan kondom yang konsisten adalah 90-100% dari jumlah hubungan
seksual. Penggunaan kondom didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan
melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua
tindakan seksual) di atas 0,90 (Bankole et al., 2007; Crosby et al 2012;
Fonner et al., 2014).
Semua responden pada penelitian ini tidak menggunakan kondom
secara konsisten tetapi sebagian besar memiliki hasil tes IMS negatif. Hal
tersebut dikarenakan walaupun dikatakan tidak konsisten tetapi penggunaan
kondom mereka sudah mencapai lebih dari 50% dan banyak dari responden
yang mengatakan bahwa sering menggunakan kondom selama tiga kali
berturut turut dalam melakukan transaksi seksual Hal tersebut sesuai
penelitian dari Karyati (2011) didapatkan sebagian besar WPS memiliki
konsistensi kondom yang cukup tinggi yaitu 67% dengan ukuran konsisten
menggunakan skala ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Hal
tersebut juga sesuai dengan penelitian dari Bankole et al (2007) yang
mengatakan utilisasi kondom dapat dilihat dengan penggunaan kondom yang
benar dan konsisten dengan melihat pada orang yang aktif secara seksual
dengan setidaknya pada 2 atau lebih tindakan seksual yang selalu
Ukuran tidak konsisten atau konsisten pada penelitian ini mengacu
pada rasio jumlah kondom yang digunakan dengan jumlah seks yang sudah
dilakukan dengan hasil minimal 90%. Penelitian sebelumnya menunjukkan
hasil yang beragam pada utilitas dari ukuran ini. Penelitian tersebut juga
sesuai dengan penelitian lain dari Sembiring dkk (2012) didapatkan terdapat
korelasi yang kuat antara konsistensi penggunaan kondom dengan
pencegahan IMS dimana pengukuran konsistensi kondom menggunakan
ukuran ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Penelitian lain
menggunakan ukuran konsisten kondom dengan hanya melihat pada seks
terakhir atau penggunaan kondom dikatakan konsisten apabila selama 12
bulan selalu menggunakan kondom. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pengukuran konsistensi yang digabungkan oleh Fonner et al (2014). Dikotomi
penggunaan kondom adalah skala pengukuran yang paling umum digunakan
dalam studi termasuk dalam ulasan ini. Salah satu keuntungan menggunakan
hasil dikotomis adalah bahwa hasil dapat dikonversi menjadi metrik dan
mudah diinterpretasi, seperti OR sehingga lebih mudah disintesis dan juga
dilakukan intervensi dalam meta-analisis. Namun seperti dicatat di penelitian
metodologi sebelumnya bahwa ukuran dikotomi hasil penggunaan kondom
akan kehilangan informasi berharga mengenai frekuensi penggunaan kondom
dan aktivitas seksual yang membantu mencirikan risiko IMS dan ukuran ini
tidak direkomendasikan oleh penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian
telah menunjukkan korelasi yang tinggi antara penggunaan kondom pada seks
terakhir dan penggunaan kondom yang konsisten. Beberapa studi yang
memakai penggunaan kondom pada seks terakhir sebagai bagian dari ukuran
gabungan menilai kondom secara konsisten yang membantu membangun
penailaian yang lebih kuat dari konsistensi. Studi lain menggunakan ukuran
konsisten dengan mengukur penggunaan kondom selama waktu yang lebih
lama dimana literatur menunjukkan bahwa menggunakan periode recall yang
lebih pendek (2-3 bulan).
Mayoritas pelanggan enggan menggunakan kondom karena dianggap
mengurangi kenikmatan, tetapi ada pelanggan yang selalu membawa kondom
pelanggan. Mayoritas WPS terjun ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor
ekonomi karena menjadi tulang punggung keluarga yang didukung mayoritas
pendidikan para WPS yang hanya tamat SD yang tidak berfikir panjang
dalam mengambil keputusan yang dirasa menguntungkan sehingga mereka
lebih mementingkan mendapatkan uang dari pada harus kehilangan
pelanggan hanya karena menuntut menggunakan kondom. Hal tersebut
didukung oleh penelitian dari Mayanja et al (2016) bahwa studi menunjukkan
alasan para wanita menjadi WPS salah satunya adalah terbatasnya akses ke
sumber daya ekonomi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
kurangnya pengetahuan/ ketrampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik dan keperluan mendesak untuk perawatan anak adalah alasan utama para
wanita untuk tetap menjadi seorang WPS. Tetapi masih ada beberapa
responden yang selalu menggunakan kondom atau bahkan mereka tdak mau
melayani jika pelanggan mereka tidak menggunakan kondom. Hal tersebut
biasanya terjadi pada WPS yang justru sudah senior. Hal itu juga sependapat
dengan penelitian dari Hilde et al (2013) yang menyatakan WPS yang sudah
lama bekerja (senior) akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom
karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya
sehingga dapat mengurangi resiko IMS.
E. Pengaruh jumlah kondom terhadap kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung
Bolo didapatkan data dikotomi penggunaan kondom dimana sebagian besar
responden sudah pernah menggunakan kondom dan memiliki hasil IMS 1, 2
yang negatif dan IMS tidak berulang yaitu 71 (78.9%), 70 (78.7%) dan 75
(84.3). Sebagian besar responden yang memiliki hasil IMS 1 positif
mempunyai rata-rata jumlah kondom per bulan adalah 24.37 dengan SD ± 13
dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 20.61 dengan SD±8. Sedangkan Rata-rata
jumlah kondom dengan hasil tes IMS 2 positif adalah 18.65±10.27 dan hasil
tes IMS 2 negatif adalah 15.94±6.15. Untuk rata-rata jumlah kondom (bulan)
yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 44.47±22.99 dan hasil tes IMS
menggunkaan uji t didapatkan nilai p 0.075 dan 0.267 yang berarti > 0.05
sehingga tidak ada pengaruh jumlah penggunaan kondom terhadap kejadian
IMS berulang.
Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat
pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan
kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom
yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal
yang tidak menggunakan kodom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual.
(KPAN, 2010).
Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS yang
positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah kondom
dengan kejadian IMS. WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif
mengaku lebih hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan
menggunakan kondom tetapi hanya selama masa penyembuhan. Setelah
dinyatakan positif maka mereka akan kembali seperti sebelumnya yang asal
menerima pelanggan dan melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan
kondom. Hal tesebut didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013)
yang menemukan pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom
tidak dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi HIV dan IMS (disesuaikan
infeksi atau dari HIV yang terkait dengan penggunaan kondom dengan klien
terakhir yaitu 90%). Sebuah penjelasan ditemukan dalam analisis prediksi
penggunaan kondom. Wanita yang telah diuji untuk HIV dan IMS dilaporkan
lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling,
termasuk konseling HIV dan IMS pada wanita yang sudah terinfeksi mungkin
memiliki dampak positif pada penggunaan kondom.
Banyak dari WPS kadang masih tidak menggunakan kondom dengan
alasan ada beberapa pelanggan yang diyakini tidak akan mempunyai infeksi
sehingga mereka yakin walaupun tidak menggunakan kondom tidak akan
terkena IMS. Biasanya para WPS melihat para pelanggannya dari kebersihan
badan mereka ataupun penampilan dan wajah. Pelanggan yang berpenampilan
menarik, wajah yang lumayan, bersih, wangi dianggap tidak mempunyai
yang menyatakan salah satu alasan pekerja seks maupun pelanggan tidak
menggunakan kondom adalah perasaan, mereka saling percaya dan aman
karena sudah lama berhubungan (Kawangung, 2012). Selain itu kebanyakan
WPS yang enggan menggunakan kondom mempunyai alasan yang
berhubungan dengan keuangan. Dimana mereka takut jika menuntut para
pelanggan menggunakan kondom akan membuat mereka mencari WPS yang
lain sehingga akan mengurangi pemasukan dalam hal finansial. Penelitian
lain yang dilakukan Jie et al (2012) mengatakan tentang hambatan
penggunaan kondom di China dimana asumsi pribadi dan perasaan terhadap
pasangan tetap dan insentif keuangan adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi hambatan penggunaan kondom oleh pekerja seks.
Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam
pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam
berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang
paling efektif selain dengan cara abstain seks. Tingginya angka kejadian
IMS dikarenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan
kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak
memakai kondom.
F. Pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS
Rata-rata jumlah penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes
IMS 1 positif adalah 19.84±6.08 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah
20.97±3.99. Rata-rata penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS
2 positif adalah 20.20±5.95 dan tes IMS 2 negatif adalah 20.89±4.02. Untuk
rata-rata penggunaan kondom baru oleh responden yang memiliki hasil tes
IMS berulang adalah 20.33±6.49 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah
20.81±4.04. Hasil data dikotomi didapatkan sebagian besar responden mempunyai rasio jumlah kondom ≥ 50% dengan sebagian dari WPS mempunyai hasil tes IMS 2 negatif yaitu 63 (87.5%) dengan hasil uji statistik
dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P 0.708 yang berarti tidak ada
Penggunaan kondom baru oleh responden memberikan hasil IMS
yang positif maupun negatif seimbang. Dimana semua responden hampir
seluruhnya sudah menggunakan kondom baru dalam setiap transaksi seksual.
Hal tersebut sudah sesuai dengan penggunaan kondom pada daftar tilik
kondom dimana dijelaskan bahwa harus selalu menggunakan kondom baru
dalam setiap melayani pelanggam. Masih adanya WPS yang memiliki hasil
positif walaupun sudah menggunakan kondom baru karena disebabkan
banyak hal. Diantaranya WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi
mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom. Penggunaan
kondom disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Banyak WPS yang selalu
membawa kondom didalam tas mereka, tetapi kondom tersebut tidak
terpakai. Padahal kondom selalu dibagi secara rutin oleh pengurus
masing-masing dan apabila para WPS sudah kehabisan kondom lebih awal
dipersilahkan segera minta ke pengurus. Tetapi hal tersebut tetap tidak
membuat penggunaan kondom maksimal. Penyebab utamanya adalah
pelanggan.
G. Pengaruh umur terhadap kejadian IMS
Rata-rata umur responden yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah
umur 47 tahun sedangkan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif rata-rata
berumur 38 tahun. Rata-rata umur WPS yang memiliki hasil IMS 2 positif
berumur 45 tahun dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif berumur 38
tahun. Rata-rata umur yang dimiliki oleh WPS yang memiliki hasil tes IMS
berulang adalah berumur 46-47 tahun sedangkan untuk rata-rata umur WPS
yang memiliki hasil tes IMS tidak berulang adalah 36-37 tahun dengan uji
hasil uji statistik menggunakan uji t didapatkan nilai P adalah < 0.001 yang
berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh antara umur dengan kejadian IMS
berulang.
Semakin banyak umur WPS akan semakin meningkatkan kejadian
IMS. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang
beresiko. Dan kemungkinan terlibat dalam seks beresiko yang lebih tinggi
terjadi pada WPS yang memiliki umur > 35 tahun.
WPS yang memiliki umur lebih banyak kemungkinan besar sudah
bekerja dalam waktu yang lama sehingga sudah memiliki jumlah mitra yang
banyak yang menyebabkan mereka sangat rentan untuk terkena IMS. hal
tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang
menyatakan WPS yang memiliki umur lebih tua, sudah menikah, menjadi
WPS dalam jangka waktu yang lama, melakukan hubungan seksual dengan
mitra seksual 3x/ lebih per hari mempunyai perilaku seksual yang beresiko.
Tes IMS pada dua tempat penelitian yang memiliki hasil positif kebanyakan
terjadi pada WPS yang berumur lebih tua, memiliki jumlah mitra seksual
yang banyak dan memiliki penghasilan yang rendah dalam setiap transaksi
seksual. Tetapi penelitian diatas tidak sesuai dengan penelitian dari
Widyastuti dkk (2012) yang mengatakan umur pada kaum muda yang sudah
aktif dalam perilaku seksual secara dini akan lebih besar kemungkinannya
untuk terkena IMS karena wanita muda memiliki tubuh yang belum
berkembang sempurna sehingga lebih mudah terinfeksi. Penelitian ini
didukung oleh penelitian Susan et al (2014) yang mengatakan wanita yang
sudah lama bekerja menjadi WPS memiliki kemampuan untuk
menegosiasikan seks lebih aman kepada pasangan seksualnya sehingga lebih
konsisten dalam penggunaan kondom dibandingkan dengan WPS baru yang
menyebabkan bresiko rendah trekena IMS.
H. Pengaruh jumlah pelanggan seksual terhadap kejadian IMS
Jumlah rata-rata pelanggan WPS tiap bulan yang memiliki hasil tes
IMS 1 positif adalah 94 pelanggan dan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif
adalah 55 pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani oleh WPS
yang menyebabkan hasil tes IMS 2 positif sebanyak 93 tiap bulan dan yang
memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu dengan jumlah pelanggan rata-rata 55
pelanggan. WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang rata-rata memiliki
jumlah pelanggan dalam satu bulan sejumlah 99-100 pelanggan atau rata-rata
berulang memiliki jumlah rata-rata pelanggan sebanyak 55-56 pelanggan per
bulan atau sekitar satu sampai dua pelanggan per hari dengan hasil uji
statistik didapatkan nilai P < 0.001 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh
yang signifikan antara jumlah pelanggan terhadap kejadian IMS dimana
semakin banyak jumlah pelanggan akan meningkatkan kejadian IMS.
Faktor penyebab IMS terdiri dari faktor agent, host (individu) dan
environment (lingkungan). Faktor Agent dapat berupa virus, parasit, bakteri,
dan protozoa. Sedangkan faktor host (individu) salah satunya adalah jumlah
mitra seksual. Jumlah mitra seksual dijelaskan bahwa seseorang yang menjadi
WPS dalam jangka waktu lama akan melakukan hubungan seksual dengan
mitra tiga kali atau lebih per hari yang mempunyai perilaku seksual beresiko
IMS. Mahaputra et al (2013).
Responden pada penelitian ini yang memiliki mitra seksual banyak
dalam tiap harinya seharusnya adalah WPS yang masih muda. Tetapi para
WPS yang masih muda biasanya membatasi sendiri jumlah pelanggannya.
Banyak dari WPS yang jika sudah mendapatkan uang yang dirasa cukup,
maka mereka memilih untuk tidak mau melayani lagi dan menghentikan
transaksi seksual mereka pada hari itu. Kadang setelah pukul 22.00 mereka
WPS muda sudah enggan menerima tamu. Berbeda dengan WPS tua yang
rela menunggu tamu mereka bahkan sampai dini hari. Karena mayoritas dari
pelanggan lebih memilih WPS yang masih muda. Kecuali jika para pelanggan
tidak menemukan dengan alasan para WPS muda sudah tidak ada sehingga
secara tidak sengaja akan mau dilayani oleh WPS yang sudah berumur diatas
40 tahun. Sebagian besar WPS yang masih muda hampir 90% mempunyai
pacar dan pacar mereka yang menyuruh para wanita ini bekerja menjadi WPS
sehingga uang yang didapatkan akan dinikmati berdua untuk
bersenang-senang. Hal tersebut menyebabkan para WPS memiliki pasangan yang non
komersial yaitu pacar atau pasangan hidup bahkan suami dimana mereka
tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks karena sudah
dianggap seperti pasangan hidup. Hal tersebut menyebabkan WPS
Hasil diatas sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) di India
menunjukkan bahwa penggunaan kondom konsisten cukup tinggi dengan
mitra yang komersil dan tetap rendah pada yang non komersil dimana ini
biasanya dilakukan oleh para WPS bersama pacar, suami atau pasangan hidup
mereka. Rendahnya penggunaan kondom dalam hubungan non komersial
dapat disebabkan oleh keintiman dan kepercayaan yang terlibat dalam
hubungan semacam itu. Lebih lanjut, proporsi pada WPS yang terlibat
hubungan secara bersamaan antara komersil dan non komersil dan ditambah
penggunaan kondom yang tidak konsisten khususnya pada pasangan non
komersil dapat menyebabkan transmisi infeksi IMS/ HIV lebih cepat.
Sebagian besar WPS ynag mempunyai hasil tes IMS positif terjadi
pada WPS yang sudah berumur. Dimana mereka tidak memilih pelanggan
karena desakan ekonomi. Selain itu WPS yang sudah berumur khususnya
yang berada di Gunung Bolo bisa mendapatkan pelanggan mencapai 5 orang
per hari dengan tarif seksual yang cukup murah. Hal tersebut menyebabkan
para WPS tersebut lebih rentan untuk terkena IMS. Hal tersebut didukung
dari penelitian dari Graham et al (2014) yang menjelaskan bahwa WPS yang
sudah bekerja lama akan mempunyai mitra seksual yang lebih banyak
sehingga akan lebih memungkinkan melakukan seks beresiko seperti anal
seks.
I. Pengaruh pengetahuan terhadap kejadian IMS
Pengetahuan WPS tentang utilisasi kondom didapatkan bahwa semua
responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu 90 (100) dengan skor > 11.
Pengetahuan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan
untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi
kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan
teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan ketrampilan individu bisa
Semua responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang utilisasi
kondom tetapi masih ada WPS yang mempunyai hasil IMS yang positif.
Pengetahuan tentang utilisasi kondom didapatkan dengan WPS mengisi
lembar kuesioner yang berhubungan dengan utilisasi kondom. WPS mengaku
bahwa mereka sudah tidak asing dengan kondom maupun IMS. Banyak dari
mereka sudah terlalu sering mendapatkan informasi maupun penyuluhan
tentang kondom maupun IMS. Bahkan untuk kondom sendiri sudah
mendapatkan pembagian kondom gratis dari para pengurus. Tetapi para WPS
mengaku tidak bisa berbuat banyak karena meeka bekerja seperti ini demi
mendapatkan tambahan penghasilan yang bisa digunakan untuk keperluan
hidup. Jika mereka menuntut untuk selalu menggunakan kondom maka
mereka takut akan kehilangan para pelanggan mereka yang mayoritas tidak
menghendaki dalam penggunaan kondom karena merasa tidak nyaman.
Penelitian lain juga sependapat dengan hal diatas dimana pengetahuan
WPS tentang kondom sebagian besar cukup baik. Dari hasil analisis diketahui
tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang IMS dengan
konsistensi pemakaian kondom. Hasil penelitian yang sama dikemukakan
oleh Lokollo (2009) yang melaporkan bahwa sebagian besar WPS
mengetahui manfaat menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tetapi
hanya sekitar 50% yang menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
Hal ini terjadi karena adanya alasan klasik pelanggan keberatan akibat merasa
tidak nyaman.
J. Pengaruh keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Mayoritas responden memiliki keterampilan yang baik dengan hasil
tes IMS 1 yang sebagian besar adalah negatif yaitu 50 (86.2%) dan IMS 2
juga sebagian besar negatif yaitu 49 (84.5%) dan hampir seluruhnya tidak
berulang yaitu 51 (87.9%) dengan hasil uji statistik dengan menggunakan
Pearson Chi Square didapatkan nilai P pada IMS 1 dan 2 adalah signifikan <
0.05 sehingga ada pengaruh signifikan keterampilan penggunaan kondom
0.115 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada hubungan antara keterampilan
penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang.
Keterampilan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan
untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi
kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan
teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan keterampilan individu bisa
didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971).
Semakin baik ketrampilan WPS dalam penggunaan kondom akan
menurunkan kejadian IMS. keterampilan WPS sendiri didapat dengan
menggunakan daftar tilik penggunaan kondom yang ditanyakan langsung
kepada WPS. Mereka mengaku sudah lama maengetahui tentang kondom.
Tetapi beberapa dari mereka banyak yang lupa tentang penggunaan kondom
yang baik dan benar. Sebagian besar mereka lupa untuk mengecek tanggal
kadaluwarsa kondom sehingga ada beberapa dari responden yang pernah
menjumpai kondom yang digunakan robek. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan kondom yang sudah kadaluwarsa mudah robek. Jika kondom
robek maka cairan dari alat kelamin dan lesi kulit yang terinfeksi dapat
kontak dengan alat kelamin pasangannya dan menularkan IMS sehingga
kondom menjadi tidak efektif Widyastuti dkk (2012). Kondom yang
kadaluwarsa atau bahkan sampai sobek akan menghambat penggunaan
kondom secara konsisten. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa
sebagian faktor-faktor pada level individual (pengetahuan, motivasi dan
kesiapan menggunakan kondom, niat, keputusan menggunakan kondom,
keterampilan dan self-efficacy) dalam situasi yang memadai menjadi faktor
penggunaan kondom secara konsisten (Aditya, 2012).
Walaupun pada IMS 1 dan 2 keterampilan kondom sangat
berpengaruh, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada IMS berulang yang
pengaruhnya tidak signifikan untuk terjadinya IMS. Walaupun seperti itu, ada
menjelaskan usia, jumlah pelanggan, pengetahuan dan lama kerja
berhubungan dengan kejadian IMS. Sedangkan tingkat pendidikan, sikap,
pencegahan, praktik penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan tidak
berpengaruh terhadap IMS.
K. Pengaruh penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS
Pada penggunaan alkohol dimana rata-rata jumlah responden yang
melakukan hubungan seks dengan konsumsi alkohol yang memiliki hasil tes
IMS 1 positif adalah 0.74±1.37 dan tes IMS 1 negatif 3.96±3.74, hasil IMS 2
positif adalah 1.85±3.08 dan tes IMS negatif adalah 3.69±3.68 serta IMS
berulang 0.87±1.51 dan tidak berulang adalah 3.76±3.73 dan rata-rata yang
tidak mengkonsumsi alkohol saat hubungan seksual dengan hasil IMS 1
positif adalah 23.05±2.51, IMS 1 negatif adalah 20.89±4.04, IMS 2 positif
adalah 22.30±3.25 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 21.07±3.99. serta
rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi alkohol yang memiliki hasil
tes IMS berulang adalah 23.40±2.69 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah
20.93±3.94 dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan
nilai P 0.004 dan 0.023 yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan
penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS 1, 2 dan berulang.
Penggunaan alkohol dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual
karena orang yang biasa minum alkohol menjadi kurang selektif dalam
memilih pasangan sehingga akan sulit memkai kondom dengan benar dan
sulit meminta pasangannya menggunakan kondom.
Semakin banyak menggunakan kondom akan menurunkan IMS. Hal
tersebut disebabkan karena mayoritas WPS yang mengkonsumsi alkohol
adalah yang berada di Eks Lokalisasi Ngujang yang mana pada setiap wisma
disediaka alkohol oleh para mucikari atau germo untuk para pelanggan yang
datang. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo tidak disediakan
alkohol karena tempat transaksi seksual mereka di area makam selain itu
waktu transaksi seksual juga cukup singkat sehingga jumlah mitra seksual
yang didapatkan lebih banyak dari pada yang berada di eks lokalisasi tetapi
15.000-35.000. Penggunaan alkohol sendiri pada WPS tergantung dengan
jenis klien yang melakukan transaksi seksualdengannya. WPS tidak akan
menggunakan alkohol apabila pelanggan mereka tidak mengajak untuk
meminumnya. Kadang ada pelanggan yang mengkonsumsi alkohol tetapi
WPS tetap mempertahankan diri untuk tidak ikut alkohol.
Hasil diatas sesuai dengan studi dari Mahaputra et al (2013)
menemukan bahwa lebih dari setengah dari pekerja seks dikonsumsi alkohol
sebelum seks, yang mirip dengan temuan dari studi India lain. Penelitian
empiris telah berpendapat bahwa penggunaan alkohol tergantung pada jenis
klien dengan siapa WPS berhubungan seks.
WPS dikonsumsi alkohol untuk meningkatkan kenikmatan dan
keterlibatan saat berhubungan seks, sedangkan dengan satu kali klien yang
dikonsumsi alkohol membuat para WPS menjadi sensitif untuk menerima
pelanggan. Temuan penelitian lain juga menunjukkan bahwa WPS yang
berada dilokalisasi atau eks lokalisasi akan mendapatkan pelanggan dari
mucikari yang lebih mungkin untuk mengkonsumsi alkohol. Ini bisa jadi
karena fakta bahwa alkohol tersedia dalam rumah-rumah pelacuran dan di
tempat-tempat terdekat, dan pelanggan membawa alkohol ketika datang
mengunjungi WPS.
Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013), 48% dari WPS
melaporkan bahwa mereka sudah mabuk selama seks dengan klien terakhir
mereka dan wanita-wanita ini yang kurang cenderung menggunakan kondom.
Penyalahgunaan alkohol merupakan halangan penting untuk penggunaan
kondom konsisten dan juga untuk seni kepatuhan. Oleh karena itu sangat
penting bahwa intervensi penargetan WPS dalam memberikan konseling
tentang hubungan seks dengan alkohol dan setelah hubungan seks serta
kecanduan alkohol pada para WPS.
L. Pengaruh konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS
Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata
responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil
positif. Sedangkan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi
obat-obatan NAPZA saat melakukan transaksi seksual yang memiliki hasil
tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan negatif adalah 24.94±2.37.
Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata
responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA dengan hasil IMS
negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS positif
serta rata-rata responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA
yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 24.20±2.61 dan IMS 2 negatif
adalah 24.81±2.40. tidak terdapat responden yang memiliki hasil IMS
berulang dan rata-rata responden yang memiliki hasil IMS tidak berulang
adalah 0.05±0.23 dan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi
obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS berulang adalah 24.20±2.57
dan hasil IMS tidak berulang adalah 24.77±2.43 dengan hasil uji statistik
menggunkaan uji t didapatkan p value 0.410 dan 0.366 yang berarti > 0.05
sehingga tidak ada pengaruh antara konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap
kejadian IMS berulang.
Penggunaan kondom yang tidak konsisten biasanya terjadi WPS yang
mengkonsumsi obat-obatan. Penyalahgunaan obat prinsipnya hampir sama
dengn penggunaan alkohol. Orang yang berhubungan seksual dibawah
pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual
beresiko. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa
seseorang melakukan perilaku seksual. Selain itu, penggunaan obat dengan
jarum suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit
lewat darah, seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat
seks (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013).
Hampir seluruh responden tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA.
Data ini didapat dari hasil observasi langsung dengan lembar diary yang
dilaksanakan setiap hari. Tetapi untuk konsumsi obat-obatan NAPZA
didapatkan jika banyak WPS yang tidak mengetahui tentang hal tersebut.
Walaupun ada beberapa dari mereka yang mengetahui. Kadang penggunaan
obat NAPZA ini identik dengan obat tidur atau obat IMS. Sehingga banyak
Penelitian dari Strathdee et al (2011) menjelaskan setengah dari WPS
melaporkan jika mereka pernah terdaftar dalam program perawatan obat.
Dalam hal lingkungan sosial WPS yang memiliki hubungan yang signifikan
adalah pada WPS dengan HIV pos.itif lebih mungkin untuk melaporkan
sering atau selalu menyuntikkan obat dengan mitra seksual. Hal tersebut juga
didukung oleh penelitian dari Handayani R (2012) didapatkan perilaku
seksual pengguna obat NAPZA dalam satu bulan terakhir
mempunyai kecenderungan beresiko tinggi terhadap penularan
IMS/HIV-AIDS yang berdasarkan data hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial 90.7%, pasangan kasual 74.4% dan pasangan tetap 34,9%,
hal ini juga mencerminkan mereka mempunyai pasangan seksual
lebih dari satu orang sehingga kemungkinan penularan penyakit seksual
semakin tinggi.
M. Pengaruh jenis pembayaran pada transaksi seksual terhadap kejadian IMS
Pada jenis pembayaran transaksi seksual didapatkan semua responden
melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS 1 yang positif
adalah 23.68±2.52 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.44. IMS 2 yang positif
adalah 24.10±2.77 dan IMS 2 negatif adalah 24.87±2.41. Didapatkan semua
responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS
berulang adalah 24.20±2.57 dan IMS tidak berulang adalah 24.80±2.49
dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value 0.399 yang
berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jenis pembayaran transaksi
seksual terhadap kejadian IMS berulang.
Walaupun begitu, jenis transaksi seksual ini sangat erat hubungannya
dengan penggunaan kondom yang konsisten. Karena jika ada pelanggan yang
melakukan transaksi selain cash tidak akan dilaporkan kepada pengurus
karena mereka beranggapan hal itu merupakan urusan mereka dengan para
pelanggan masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan penelitian menurut
Graham et al (2014) didapatkan faktor-faktor kerja sama yang dikaitkan
pembayaran tunai untuk seks) juga dikaitkan dengan beberapa mitra seks.
Wanita yang dikenakan biaya terendah untuk seks cenderung kurang
melaporkan mitra yang dilayani dalam seminggu bekerja yang mungkin
mencerminkan tekanan ekonomi yang lebih besar pada kelompok ini.
Semua responden memiliki jenis transaksi seks secara cash. Dimana
walaupun sudah menggunakan cash tetapi masih ada responden yang
mempunyai hasil IMS positif. Banyak dari responden yang mengaku jika
jenis transaksi tidak mempengaruhi pendapatan maupun penggunaan kondom
yang mereka lakukan. Masih adanya hasil IMS yang positif karena sebagian
responden masih belum menggunakan kondom secara benar, rutin dan
konsisten. Selain itu para WPS lebih mementingkan pendapatan mereka dari
pada harus menggunakan kondom dan kehilangan pelanggan. penelitian lain
dari Graham et al (2014) menjelaskan WPS yang melaporkan mempunyai
mitra seksual dua atau lebih didapatkan pada WPS yang bekerja di klub
malam atau tempat lain dengan jenis transaksi adalah cash transaaction.
N. Pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS
Rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra
seksual dengan hasil tes IMS 1 positif adalah 0.05±0.229 dan hasil tes IMS 1
negatif adalah 0.01 ± 0.12. sedangkan hasil tes IMS 2 positif adalah
0.05±0.224 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 0.01±0.12 dan rata-rata jumlah
responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes
IMS berulang adalah 0.07±0.26 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah
0.01±0.12. Rata-rata jumlah responden yang tidak memberikan informasi
mempunyai hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.47 dan IMS 1 negatif
adalah 24.97±2.50, IMS 2 positif adalah 24.05±2.78 dan hasil tes IMS 2
negatif adalah 24.89±2.45. serta IMS berulang adalah 24.13±2.59 dan IMS
tidak berulang adalah 24.81±2.52 dengan uji statistik menggunkaan uji t
didapatkan p value 0.205 dan 0.345 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada
pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS
Perubahan perilaku penggunaan kondom akan meningkat dengan
konsekuensi para WPS harus memberikan konseling terlebih dahulu pada
pasangannya Susan et al (2014). Wanita yang telah diuji untuk HIV
dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa
konseling, termasuk konseling HIV terinfeksi wanita, mungkin memiliki
dampak positif pada penggunaan kondom. Semua responden tidak
memberikan konseling kepada pelanggan mereka dengan alasan waktu yang
singkat dalam melakukan transaksi seksual. Terutama pada WPS yang berada
di Gunung Bolo yang tidak mungkin bisa memberikan informasi tentang
kondom kepada pelanggan mereka. Untuk WPS di Eks Lokalisasi Ngujag
masih bisa memberikan informasi tetapi untuk konseling belum pernah
dilakukan karena keterbatasan waktu. WPS yang berani memberikan
informasi adalah mereka yang memang sudah bekerja menjadi WPS yang
lama. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Graham et al (2014) yang
menyatakan WPS yang sudah lama bekerja akan meningkatkan perilaku
penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada
pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. hal tersebut
sependapat dengan penelitian dari Mayanja et al (2016) juga sependapat
bahwa WPS melaporkan bahwa mereka tidak berdaya dalam hal tawar
menawar untuk mempertahankan penggunaan kondom yang biasanya
tergantung pada keinginan klien, harga yang ditawarkan dan ketenangan
wanita. Beberapa WPS mengaku ada yang mengancam pelanggan untuk tidak
mau bertransaksi seksual apabila tidak menggunakan kondom. Tetapi hal
tersebut sangat jarang dilakukan oleh para WPS karena takut membuat
pelanggan tersinggung dan tidak memilihnya.
Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Shannon et al
(2009), menunjukkan 205 perempuan yang melaporkan transaksi seksual
dengan klien, 25% melaporkan pernah ditekan oleh klien untuk tidak
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dalam 6 bulan
terakhir. Dalam konteks ini, keterampilan negosiasi penggunaan kondom
sangat penting. Strategi promosi kondom harus diarahkan pada
penggunaan kondom, dan pada tingkat pribadi untuk mengembangkan
ketrampilan pekerja seks' dalam proses negosiasi.
O. Pengaruh tarif pelayanan seksual terhadap kejadian IMS
Tarif pelayanan seksual didapatkan sebagian besar WPS mempunyai
tarif seksual ≥ 80.000 dengan hampir seluruh responden memiliki hasil tes
IMS 1 negatif yaitu 53 (100%). Sebagian besar WPS mempunyai tarif seksual ≥ 80.000 dengan hampir seluruh responden memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu 52 (98.1%). Sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang
yaitu 44 (77.2%) dengan uji statistik menggunakan Pearson Chi Square
didapatkan nilai p 0.001 yang berarti ada pengaruh signifikan antara tarif
pelayanan seksual terhadap kejadian IMS berulang.
WPS yang mempunyai tarif seksual yang tinggi lebih cenderung
memiliki hasil IMS negatif bila dibandingkan WPS yang memiliki tarif
rendah akan cenderung mendapat IMS positif lebih besar. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian Susan et al (2014) dimana penggunaan kondom yang tidak
konsisten biasanya terjadi WPS dengan tarif seksual rendah yang cenderung
beresiko untuk terkena IMS.
WPS yang memiliki tarif seksual yang rendah terdapat pada
responden yang berada di Gunung Bolo dimana dalam setiap transaksi
seksual hanya memiliki tarif 15.000-35.000 dan kebanyakan dari mereka
menggunakan kondom yang tidak konsisten karena alasan ekonomi yang
menjadi penyebab utama mereka terjun ke dunia prostitusi. Sehingga mereka
dengan pasrah menerima pelanggan tanpa menuntut mereka untuk
menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Graham et
al (2014) dimana WPS dengan biaya rendah dan melakukan cash secara tunai
lebih mungkin menggunakan kondom tidak konsisten sesuai dengan riset
kualitatif dalam Mombasa dan tekanan ekonomi menjadi penghalang penting
dalam melakukan seks secara aman.
Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) didapatkan harga
yang lebih rendah per tindakan seks adalah independen yang dikaitkan
tindakan seks juga dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi HIV tetapi
hubungan ini hanya signifikan secara statistik dalam Model 1 (tanpa IMS).
P. Pengaruh lama bekerja menjadi WPS terhadap kejadian IMS
Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki hasil
tes IMS 1 positif adalah 88.42±44.04 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah
43.80±43.80. Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki
hasil tes IMS 2 positif adalah 83.70±44.75 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah
44.51±44.58. Rata-rata lama responden bekerja menjadi WPS yang memiliki
hasil tes IMS berulang adalah 87.20±42.90 dan IMS tidak berulang adalah
46.43±45.40 dengan uji statistik menggunakan uji t didapatkan p value 0.002
yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh lama bekerja menjadi WPS
terhadap kejadian IMS berulang.
Lama bekerja merupakan salah satu faktor host/ individu yang dapat
mempengaruhi kejaidan IMS. Lama bekerja sebagai WPS dijelaskan bahwa
sangat erat hubungannya dengan terjadinya IMS. Pada beberapa orang yang
bekerja dengan kondisi tertentu yang didukung oleh lingkungan akan
memungkinkan terjadinya kontak seksual yang dapat meningkatkan penderita
IMS. Semakin lama seseorang bekerja menjadi WPS akan semakin beresiko
terjadinya IMS (Mahaputra et al., 2013).
Pada penelitian ini WPS yang memiliki masa kerja lebih lama terjadi
pada mereka yang berada di Gunung Bolo, dimana rata-rata WPS merupakan
wanita yang pernah keluar dari eks lokalisasi ataupun wanita yang sudah
berumur yang memerlukan pekerjaan dengan mendapat gaji yang cukup
untuk pemenuhan hidupnya. Alasan mereka memilih Gunung Bolo karena
mereka tidak akan di razia oleh satpol PP dengan alasan Gunung Bolo bukan
eks Lokalisasi berbeda dengan yang berada di Eks Ngujang yang kadang
masih ada razia. Tetapi tarif seksual yang ditawarkan lebih rendah dan lebih
rentan terkena IMS karena kurang pengawasan dan pengecekan rutin dari
tenaga kesehatan bila dibandingkan dengan WPS yang di Ngujang yang lebih
mempunyai penghasilan tinggi, pengawasan yang rutin untuk tes IMS serta
Graham et al (2014) yang mengatakan tempat kerja adalah prediktor sangat
kuat dalam penggunaan kondom yang kurang yang sering terjadi pada
perempuan yang bekerja di prostitusi liar atau ilegal. Temuan ini konsisten
dengan studi pekerja seks perempuan di Nairobi. Tidak jelas apakah akses ke
kondom atau informasi yang bermasalah dalam hal ini atau apakah memang
mitra seksual yang menolak menggunakan kondom. Dari catatan, penggunaan
kondom adalah lebih mungkin dengan cash transaction yang mungkin lebih
umum pada prostitusi umumnya.
Temuan studidari Mahaputra et al (2013) menunjukkan bahwa WPS
yang telah bekerja selama 10 tahun atau lebih dan memiliki tiga atau lebih
klien sehari lebih mungkin untuk terlibat dalam seks anal dari pada
rekan-rekan mereka. Temuan serupa dicatat dalam studi lain yang dilakukan di
Afrika Timur. Hasil analisis menunjukkan bahwa 62% dari WPS yang telah
bekerja selama 10 tahun atau lebih dan berumur 35 tahun atau lebih tua akan
lebih beresiko. Bukti menunjukkan bahwa pekerja seks anak mendapatkan
sedikit klien untuk menghibur dari pada WPS yang muda. Oleh karena itu,
WPS ini menyerah pada tuntutan yang dibuat oleh klien mereka yang
berhubungan dengan jenis seks, terutama anal seks, tempat seks atau
konsumsi alkohol.
Q. Pengaruh Utilisasi Kondom Terhadap Kejadian IMS
Berdasarkan tabel 4.9a didapatkan hasil analisis multivariat yang
dihubungkan dengan kejadian IMS 1 dimana dari tujuh variabel independen
ada tiga yang mempunyai hasil yang signifikan yaitu skala pengukuran rasio
penggunaan kondom dengan nilai p 0.045, jumlah kondom dengan nilai p
0.017 dan jumlah pelanggan seksual dengan nilai p 0.011 yang berarti < 0.05
sehingga ada pengaruh yang signifikan terhadap kejadian IMS. hasil
multivariat terhadap IMS 2 didapatkan dari tujuh variabel independen tidak
ada yang signifikan karena nilai p dari masing-masing variabel > 0.05
sehingga Ha ditolak dan H0 diterima yang berarti tidak ada pengaruh skala
pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah kondom, jumlah kondom
lama bekerja terhadap kejadian IMS 2. Hasil analisis multivariat pada IMS
berulang didapatkan dari enam variabel independen tidak ada yang
mempunyai pengaruh signifikan terhadap kejadian IMS berulang dimana nilai
p dari masing-masing variabel > 0.05 yang berarti Ha ditolak dan H0 diterima
sehingga tidak ada pengaruh skala pengukuran rasio penggunaan kondom,
jumlah kondom, jumlah kondom baru, umur, jumlah pelanggan seksual dan
lama bekerja terhadap kejadian IMS berulang.
Ada beberapa variabel yang harus dikeluarkan dari model karena
mempunyai nilai presisi yang ekstrim sehingga bisa mempengaruhi variabel
lain. Variabel tersebut adalah tarif seksual, periode temporal waktu
penggunaan kondom dan ketrampilan penggunaan kondom. Beberapa
variabel lain tetap dimasukkan walaupun tidak signifikan karena nilai presisi
cukup baik sehingga kemungkinan variabel tersebut tidak signifikan karena
jumlah sampel yang terlalu kecil.
Utilisasi kondom yaitu penggunaan kondom yang benar dan konsisten
dengan melihat pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya
menggunakan kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Penggunaan
kondom pada hubungan seksual berisiko merupakan salah satu strategi
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV
pada kelompok berisiko termasuk kepada WPS dan pelanggannya (KPAN,
2010). utilisasi kondom terdapat 6 dimensi. Dimensi tersebut meliputi jenis
pasangan seks, periode temporal (waktu penggunaan kondom), skala
pengukuran, jenis kegiatan seksual, konsistensi penggunaan kondom dan
penggunaan kondom. Tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan 5
dimensi saja karena untuk jenis mitra seksual tidak digunakan dengan alasan
populasi dalam penelitian ini adalah homogen pada WPS yang mempunyai
jenis mitra seks yang berganti-ganti.
Selain dengan 5 dimensi, ada beberapa faktor yang sangat signifikan
mempengaruhi utilisasi kondom antara lain periode temporal waktu
penggunaan kondom, skala pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah
kondom, penggunaan kondom baru, umur, jumlah pelanggan seksual,
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ada pengaruh yang signifikan
skala pengukuran rasio penggunaan kondom, jumlah kondom dan jumlah
pelanggan seksual terhadap kejadian IMS 1. Pada IMS 2 dan IMS berulang
tidak terdapat variabel yang signifikan. Hal tersebut kemungkinan karena
jarak antara tes IMS 1 dan 2 yang hanya berselang 2 minggu sehingga tidak
terlalu banyak perbedaan dengan IMS pertama. Karena setelah dilakukan tes
IMS, para WPS akan menunggu selama satu minggu untuk mengetahui hasil
tes IMS, baik itu hasil yang positif maupun negatif. Sehingga setelah satu
minggu jika terdapat WPS yang positif hasilnya baru diberikan pengobatan
pada WPS. Hal tersebut membuat para WPS merasa sehat selama proses
menunggu dan mereka tetap melakukan praktik seksual kepada para
pelanggan baik di Eks Lokalisasi Ngujang maupun Gunung Bolo. Hal
tersebut bisa mempengaruhi hasil IMS yang ke 2 karena jika IMS 1 positif
bisa terjadi IMS berulang karena telatnya pegobatan dan kurangnya kesadaran
WPS bahwa mereka mempunyai gejala untuk IMS.
Semakin tinggi rasio penggunaan kondom akan menurunkan kejadian
IMS. Rasio penggunaan kondom didapatkan dari jumlah kondom yang
digunakan dibagi jumlah hubungan seksual dimana rasio tersebut juga bisa
digunakan untuk mengukur konsistensi penggunaan kondom. Hal tersebut
didukung oleh penelitian dari. Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan
prevalensi tinggi pada HIV dan IMS (56.5%) telah mengalami penurunan
yang didukung dengan proporsi WPS yang melaporkan penggunaan kondom
dengan klien terakhir yang meningkat mencapai 75% dan peningkatan
tersebut berkaitan dengan kesadaran WPS tentang HIV/ IMS.
Penggunaan kondom yang ≥ 50% pada WPS didukung oleh sebagian
besar WPS yang pengetahuannya baik tentang utilisasi kondom karena
sebagian besar sudah pernah mendapat informasi dari tenaga kesehatan.
Tetapi masih ada WPS yang penggunaan kondom < 50% kemungkinan
karena kebanyakan WPS yang sudah berstatus janda, lama bekerja menjadi
WPS yang > 12 bulan. hal tersebut sesuai dangan penelitian dari
Vandenhoudt et al (2013) yang menyatakan proporsi yang tinggi WPS
dari perempuan ini kemungkinan besar menjadi janda karena suami mereka
meninggal dunia akibat AIDS dan itu mungkin sudah terinfeksi HIV ketika
memasuki seks sebagai strategi bertahan hidup. Penelitian dari Mahaputra et
al (2013) didapatkan sekitar 51% dari FSWs telah terlibat dalam praktek
seksual berisiko. penelitian ini mengidentifikasi empat sebagian-di risiko
kelompok pekerja seks: 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah,
terlibat dalam seks bekerja selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks
dengan tiga atau lebih klien sehari.
Penggunaan kondom merupakan salah satu yang berperan penting
dalam penurunan resiko IMS/ HIV. Penggunaan kondom yang benar, rutin
dan konsisten sangat efektif dalam pencegahan IMS. Hal tersebut didukung
penelitian dari Graham et al (2014) yang menunjukkan faktor-faktor yang
dikaitkan dengan penggunaan kondom konsisten yaitu tempat klub malam,
pembayaran tunai untuk seks dan dikaitkan dengan beberapa mitra seks.
sekitar sepertiga dari perempuan masih dilaporkan tidak pernah atau tidak
konsisten penggunaan kondom pada kunjungan dalam periode 3 tahun
terakhir.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan semakin banyak jumlah
kondom yang digunakan maka hasil IMS yang positif dan berulang akan
meningkat. Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS
yang positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah
kondom dengan kejadian IMS.
Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat
pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan
kondom 90-100% dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom
yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal
yang tidak menggunakan kondom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual
(KPAN, 2010).
WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif mengaku lebih
hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan menggunakan kondom tetapi
hanya selama masa penyembuhan. Setelah dinyatakan positif maka mereka
melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan kondom. Hal tesebut
didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan
pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom tidak dik