• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang - 14. Factoring dalam Perspektif Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Latar Belakang - 14. Factoring dalam Perspektif Hukum"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

FACTORING DALAM

PERSPEKTIF HUKUM

PENDAHULUAN

Dalam kegiatan masyarakat mungkin jarang kita temukan istilah factoring akan tetapi pembiayaan ini sudah lama dilaksanakan cukkup lama. Sebagai sebuah pembiayaan factoring

memang dibutuhkan terutama oleh pelaku usaha agar dapat memperlancar kegiatan usahanya dengan menjual piutangnya kepada pihak lain maka akan mempermudah aliran dana untuk produksi. Sehingga kemajuan perusahaan akan lebih lancar termasuk bagian produksi.Dalam prakteknya factoring seringkali merupakan pembiayaan yang efektif akan tetapi juga mengandung resiko tinggi bilamana piutang tersebut tidak terbayar maka pihak yang membeli piutang tersebut akan mendapatkan tanggungan resiko bila tidak diperjanjikan lain hanya selesai pada jual-beli saja. Makalah ini menerangkan jenis-jenis factoring dan juga perspektif hukum sehingga dapat menjadi gambaran mengenai kegiatan factoring.

Latar Belakang

Bagaimanakah hukum mengatur mengenai factoring dan bagaimanakah factoring dalam perspektif hukum ?

PEMBIAYAAN FACTORING DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS

A.Pengertian

Salah satu bentuk perjanjian dan kontrak perjanjian yang belum diatur dalam BW (KUHPerdata) namun kenyataannya ada dan berkembang dalam masyarakat adalah pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan financial, di samping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Dengan kemajuan kegiatan bisnis, terutama sejak orde reformasi, telah tumbuh lembaga bisnis yang berkaitan dengan lembaga cessie, yakni lembaga anjak piutang (factoring). Lembaga anjak piutang adalah salah satu upaya pem-biayaan jangka pendek untuk transaksi perdagangan dalam negeri dan luar negeri.

(2)

Yang menjadi dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri. Selanjutnya, terdapat berbagai perundang-undangan tentang factoring dan pengaturan tentang pengalihan

(cessie) dalam KUH Perdata, dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan. Perjanjian Anjak Piutang itu mengandung resiko yag besar dan untuk mengurangi resiko tersebut, biasanya factor meminta adanya pengaturan mengenai aliran arus keuangan terhadap pencairan dan pembayaran piutang dagang. Pengertian resiko menurut Subekti (1992) adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, dan siapa yang wajib memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang dinamakan resiko. Persoalan resiko itu berpangkal pada kejadian yang dinamakan keadaan memaksa. Persoalan resiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa.

B. Jenis-Jenis Factoring

Adapun jenis-jenis factoring adalah sebagai berikut:

( 1 ) Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien masih bertanggung jawab).

( 2 ) Non-Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien tidak bertanggung jawab lagi.

( 3 ) Domestic Factoring (factoring semua pihak berada dalam 1 (satu) Negara).

( 4 ) International Factoring (Factoring di mana pihak costumer-nya berada di luar negeri). ( 5 ) Factoring dengan Account Receivables (factoring di mana yang dialihkan adalah bukti tagihan berupa invoice dagang )

Perbedaan antara anjak piutang dengan pinjaman bank. Antara lain adalah :

1. Penekanan anjak piutang adalah pada nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan. 2. Anjak piutang bukan merupakan suatu pinjaman, melainkan anjak piutang berarti

membeli suatu asset yang berupa piutang.

3. Pinjaman bank melibatkan dua pihak, yaitu bank dan penerima kredit, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak yaitu pihak yang menjual piutang, lembaga anjak piutang dan pihak yang harus membayar piutang.

(3)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni: (1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide Pasal 613 KUH Perdata; (2) Ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan seterusnya yang mengatur tentang “subrogasi” (pergantian hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang), serta (3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang, yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal 1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal 177. Kegiatan factoring juga memiliki dasar hokum yang bersifat administrative yaitu: (1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006).

Dari penelitian terhadap 39 Putusan Mahkamah Agung yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa hakim-hakim lebih merupakan mazhab konvensional yang hanya menerapkan arti cessie menurut BW (KUH Per-data). Namun dengan telah berkembangnya Hukum Bisnis yang timbul dari perjanjian, saat ini telah timbul mazhab transisi yang telah mampu mengaitkan lembaga cessie sebagaimana dinyatakan dalam KUH Perdata dengan berbagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk factoring/anjak piutang. Pertanyaan penting adalah apakah suatu sahnya penyerahan/pengalihan utang tergantung pada sahnya pengalihan barang jaminan? Dalam Putusan MA No. 148 K/Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007, MA RI menyatakan bahwa perjanjian pengalihan barang jaminan telah memenuhi ketentuan tentang sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian jual-beli kredit sehingga perjanjian pengalihan dalam kasus ini adalah sah. Dengan kata lain, jika perjanjian pengalihan barang jaminan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka penyerahan piutangnya melalui lembaga cesssie juga tidak sah.

Seperti yang telah disebutkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pihak yang terlibat dalam yang pada umumnya adalah jual-beli. Dalam praktik biasanya akta yang dibuat adalah Perjanjian Jual-Beli Piutang. Perjanjian ini baru menimbulkan kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian Obligatoir ini harus ditindaklanjuti dengan penyerahan (transfer of ownership) sehingga piutang yang semula milik kreditur lama sekarang menjadi milik kreditur baru.

(4)

Dengan demikian keabsahan cessie sangat bergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir yang mendahuluinya, yakni perjanjian jual-beli piutang. Apabila perjanjian jual-beli piutangnya sah maka perjanjian cessie yang dibuat juga sah, sebaliknya bila perjanjian jual-beli piutang yang dibuat tidak sah maka perjanjian cessie-nya juga tidak sah. Akan tetapi, ada juga ajaran yang memisahkan kedua peristiwa hukum tersebut. Ajaran ini dikenal sebagai Teori Abstraksi. Menurut teori ini maka sah tidaknya cessie tidak bergantung pada sah tidaknya perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya. Dengan kata lain, meskipun perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya tidak sah, perjanjian cessie-nya tetap dianggap sah; yang dengan demikian tetap dianggap telah terjadi alih kepemilikan hak tagih atas piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru. Menurut pasal 613 KUH Perdata, penyerahan piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat “akta” (otentik atau dibawah tangan), yang disebut dengan “akta cessei”yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada oarang lain. Penyerahan itu tidak akan ada akibatnya bagi yang berhutang sebelum penyerahan itu (1) diberitahukan kepadanya, atau (2)disetujui secara tertulis, atau (3) diakuinya. Sementara itu, penyerahan surat-surat hutang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya dan penyerahan surat hutang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endorsemen surat itu.

KESIMPULAN

1. Yang menjadi dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri.

2. Anjak Piutang (factoring) adalah pembiayaan jangka pendek tanpa kolateral. Pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan/pengambilalihan, serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan, tagihan mana berasal dari transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.

3. Kegiatan factoring juga memiliki dasar hukum yang bersifat administrative yaitu:

(1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006).

Dasar hukum substansif procedural dari kegiatan factoring adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni:

(1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide Pasal 613 KUH Perdata;

(5)

(3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang, yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal 1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal 177.

Anjak piutang

Anjak piutang (bahasa Inggris: factoring) adalah suatu transaksi keuangan sewaktu suatu perusahaan menjual piutangnya (misalnya tagihan) dengan memberikan suatu diskon. Ada tiga perbedaan antara anjak piutang dan pinjaman bank. Pertama, penekanan anjak piutang adalah pada nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan. Kedua, anjak piutang bukanlah suatu pinjaman, melainkan pembelian suatu aset (piutang). Terakhir, pinjaman bank melibatkan dua pihak, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak.

Tiga pihak yang terlibat dalam anjak piutang adalah penjual, debitur, dan pihak yang membiayai (factor). Penjual adalah pihak yang memiliki piutang (biasanya untuk layanan yang diberikan atau barang yang dijual) dari pihak kedua, debitur. Penjual selanjutnya menjual satu atau lebih tagihannya dengan potongan atau diskon ke pihak ketiga, suatu lembaga keuangan khusus untuk mendapatkan uang dalam bentuk kas. Debitur akan membayar langsung ke perusahaan pembiayaan dengan jumlah penuh sesuai nilai tagihan.

Manfaat Anjak Piutang adalah:

 Menurunkan biaya produksi

 Memberikan fasilitas pembayaran di muka  Meningkatkan daya saing perusahaan klien

 Meningkatkan kemampuan perusahaan klien memperoleh laba  Menghindari kerugian karena kredit macet

 Mempercepat proses ekonomi

______________________________________

DAFTAR PUSTAKA

1 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119

2 Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59

(6)

4 Budhi Wibowo dan Adi Kusrianto, Menembus Pasar Ekspor,2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal.64-65

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga diatur dalam Pasal 245 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai

Karena Sasol dan anak perusahaannya tidak dapat mengantisipasi atau mengontrol semua kondisi di mana produk mungkin ditangani, digunakan dan diterima di tempat kerja, maka

Dengan perhitungan yang sama seperti pada tangki air filter ( TP-104) maka diperoleh spesifikasi sebagai berikut:. Tabel

Mengingat sebagian besar pedet betina diperlukan sebagai calon pengganti maka peternak umumnya sudah puas bila program pemberian air susu yang dipilihnya berhasil :

Pelaporan hasil tes yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan level pencapaian kompetensi siswa terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) laporan kepada sekolah yang meliputi:

Dalam kaitan dengan keterampilan, identifikasi terhadap upaya yang telah dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya telah memiliki kebijakan

Meskipun sebelumnya terjadi masalah multikolinearitas solusi untuk mengatasinya dengan menghilangkan empat variabel yang mempunyai korelasi tinggi yaitu Nilai Tukar,

Penelitian ini dilakukan di Koperasi Agroniaga Indonesia (KANINDO) syari’ah Malang, adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Bukti langsung (tangibles )