• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bea Anggraini dan Sri Wiryanti BU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Bea Anggraini dan Sri Wiryanti BU"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Bramantio

Gayung Kasuma

Muryadi

Shinta Devi Ika Santhi Rahayu

Dewi Puspitasari

”WANITA PUBLIK” DALAM KUASA NEGARA: PROSTITUSI PADA PERIODE KOLONIAL DI SURABAYA - 96

PENGUASA BARU MITOS BARU: STUDI TENTANG PEMANFAATAN MITOS SEBAGAI ALAT LEGITIMASI DALAM SEJARAH KEKUASAAN DI INDONESIA - 106

PENDIDIKAN ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA

DALAM KEKUSAAN REZIM PEMERINTAH KOLONIAL JEPANG TAHUN 1942-1945 - 116

) - 137

ANALISIS KONTRASTIF PEMARKAH ASPEK KONTINUATIF BAHASA INDONESIA DENGAN BAHASA JEPANG (PREFIKS ME ~, TER ~, DAN PARTIKEL TELAH DENGAN SUFIKS ~ TE ARU

BARBIE DALAM CERPEN INDONESIA:

KONSTRUKSI KECANTIKAN DAN PEREMPUAN ARTIFISIAL/FISIKAL/IDEAL - 84

Johny A. Khusyairi

(2)

Hariawan Adji

Dwi Handayani dan.Sri Ratnawati

Ucapan Terima Kasih

KONSEP WAKTU MENURUT PANDANGAN BARAT DAN PANDANGAN TIMUR DAN PERJUMPAANNYA DALAM KEHIDUPAN ORANG JAWA MODERN - 161

(3)

Pendahuluan

Dalam satu dasawarsa terakhir ini, dunia sastra Indonesia tampak begitu hidup. Sejumlah karya sastra, dalam hal ini genre prosa, baik novel maupun cerpen, mampu memberikan warna tersendiri dengan gayanya masing-masing. Di antara karya-karya yang demikian, meskipun tidak dalam jumlah besar, sosok Barbie ternyata muncul menjadi sesuatu yang menarik dan berperan sebagai katalisator yang membangun struktur cerita dan dunia fiktif.

Sejauh ini, ada tiga cerpen yang mengusung Barbie dan telah dimuat di media cetak atau diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen. Cerpen-cerpen yang dimaksud yaitu “Barbie” karya Clara Ng (pernah dimuat di Koran Tempo, Minggu, 9 September 2007, dan diterbitkan kembali dalam buku kumpulan cerpen

pada 2008), “Bercinta dengan Barbie” karya Eka Kurniawan (dalam buku kumpulan cerpen

2005), dan “Barbie dan Monik” karya Teguh Winasho A.S. (pernah dimuat di Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004).

Pada dasarnya, karya sastra tidak hanya berlaku sebagai artefak, tetapi sekaligus sebagai objek estetis. Artefak merupakan dasar material objek estetis, sedangkan objek estetis merupakan representasi artefak di dalam pikiran pembaca. Pembentukan objek estetis yang didasarkan pada artefak terjadi dengan sarana peran aktif pembaca. Jadi, pembacalah yang menciptakan objek estetis. Pembentukan objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya

Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya,

1

Abstract

“Barbie” by Clara Ng, “Bercinta dengan Barbie” (“Making Love with Barbie”) by Eka Kurniawan and “Barbie dan Monik” (“Barbie and Monik”) by Teguh Winasho A.S. are three Indonesian short stories that present Barbie as a catalyst in building the structure of stories and fictional worlds. Those three short stories, based on their ways in presenting Barbie, can be considered as representations of the social and cultural conditions in that time. Women are really adoring physical beauty, and men are examining women by their surface appearances. The ideal women and beauty first of all are examined physically and using western standards, or in other words the ideal women and beauty are they who look like Barbie. Those three short stories are critics on those conditions, whether it is expressed with symbol or irony.

Keyword: barbie, kecantikan, artifisial, fisikal, ideal

* Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, telp (031) 5035676

Jan Mukarovsky, “Asthetische Funktion, Norm und ästhetischer Wert als soziale Fakten,” Mukarovsky 1970, hlm. 7112 dalam Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, terj. Suminto A. Sayuti (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 31.

(4)

konkretisasi. Sebuah artefak tunggal bisa saja menimbulkan beberapa objek estetis dan hal tersebut bergantung sepenuhnya pada pembaca dan cara pembacaannya.

Sebagai sebuah karya sastra, sebuah objek estetis, “Barbie”, “Bercinta dengan Barbie”, dan “Barbie dan Monik” memuat tanda-tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi. Pemaknaan terhadap tanda-tanda tersebut bersifat relatif dan tidak ada sebuah kebenaran mutlak. M akna yang dihasi lkan bergantung pada cakrawala harapan pembaca, yang di dalamnya termasuk kompetensi kesastraan, yang terbentuk

oleh pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang berbeda-beda. Meskipun begitu, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh tidak objektif. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa karya sastra bukanlah suatu bentuk tindak komunikasi yang biasa. Pemahaman yang sesuai dan tepat atas gejala ini tidak mungkin dilakukan tanpa memerhatikan aspek komunikatif karya sastra, atau dengan kata lain, tanpa mendekati karya sastra sebagai tanda atau sebagai gejala 2

3

4

5

6

2)

3)

4)

5)

6)

Istilah ini berasal dari Roman Ingarden dan diperkenalkan secara luas oleh Felix Vodicka. Menurut Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, sekaligus memiliki kemandirian terhadap kenyataan, bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambaran dunia yang sesungguhnya; A. Teeuw,

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 190191; cf. D. W. Fokkema dan Elrud Kunne Ibsch,

J. Praptadiharja dan Kepler Silaban, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 185, mengutip Wolfgang Iser, Die Apellstruktur der Texte:

(Konstanz: Universitätsverlag, 1970), “Teks-teks fiksi tidak identik dengan situasi nyata. Teks-teks itu tidak memiliki pasangan yang pasti di dalam kenyataan. Namun, sebenarnya keterbukaan inilah yang menyebabkan teks-teks itu mampu membentuk berbagai situasi yang dilengkapi oleh pembaca dalam bacaan-bacaan pribadinya. Keterbukaan teks fiksi bisa ditiadakan hanya dalam tindakan pembacaan.”

Juhl menyatakan bahwa interpretasi atas karya sastra tidak menekankan pada benar dan salah, melainkan lebih pada dapat diterima atau tidak; P. D. Juhl,

(Princeton: Princeton University Press, 1980), hlm. 197.

Mengacu pada pendapat Culler, istilah kompetensi kesastraan atau literary competence dapat dipahami sebagai perangkat konvensi untuk membaca teks sastra. Melalui kemampuan sistem konvensi itu kita dapat mengembalikan keanehan-keanehan di dalam karya sastra kepada bentuk yang wajar, yang disebut naturalization; Teeuw, hlm. 103104, mengutip Jonathan Culler,

(London: Routledge and Kegan Paul, 1975). Secara lebih luas, cakrawala harapan bergantung pada statistik personal tentang seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, agama, sikap dan norma pembaca, kompetensi sastra dan linguistiknya, pengalaman analisisnya, luas-sempitnya keakraban dengan pengirim dan sarana, serta situasi resepsi pembaca; Segers, hlm. 42, mengutip Wolfgang Gast, “Text und Leser im Feld der Massenkommunikation: Ûberlegungen zur Wirkungsanalyse von Unterhaltungsliteratur,” 25, 2:108128, 1975.

Senada dengan hal tersebut, Iser menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas dua kutub, yaitu artistik dan estetik. Kutub artistik mengacu pada teks ciptaan pengarang, sedangkan estetik pada konkretisasi atas teks tersebut oleh pembaca. Lebih lanjut, makna sebuah karya bergantung pada kreativitas dan imajinasi pembaca dalam mengisi “ruang-ruang kosong” di dalamnya; Wolfgang Iser,

(Baltimore dan London: The Johns Hopkins University Press, 1980), hlm. 274 dan 279.

Objektivitas cakrawala harapan disusun melalui tiga kriteria, yaitu pertama, konvensi yang berkaitan erat dengan teks yang dibaca pembaca, kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap teks-teks yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, kontras antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang “sempit” dan cakrawala pengetahuan hidupnya yang “luas”; dapat dilihat pada Hans Robert Jauss,

(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1983), hlm. 24.

Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj.

Unbestimmtheit als Wirkungsbedingung literarischer Prosa

Interpretation: An Essay in the Philosophy of Literary Criticism

ibid., Structuralist Poetics

op.cit.,

Wirkendes Wort

The Implied Reader

(5)

semiotik.(Teeuw, 1988: 43).

Cerpen “Barbie” karya Clara Ng dibuka dengan sebuah paragraf yang diawali dengan kalimat “Ini kota luka. Kota duka jika malam tiba. Kota yang hitamnya menganga seperti langit-langit mulut naga. Kota yang sudut-sudutnya ditenun oleh bayangan kelam seperti jaring laba-laba.” Kalimat-kalimat pembuka tersebut yang menggabungkan kata “luka” dan “duka” dalam kalimat yang berurutan memberikan semacam peringatan kepada pembacanya tentang hal-hal yang akan muncul di dalam cerpen ini, yang tentu saja berkaitan dengan sesuatu yang mengerikan. Hal tersebut masih ditambah dengan munculnya “hitam” dan “bayangan” pada dua kalimat sesudahnya, yang berkonotasi dengan hal-hal yang buruk atau negatif.

Cerpen yang mencerit aka n kehidupan di sebuah toko mainan ini memiliki dua tokoh sentral yang sekaligus menjadi pusat penceritaan, yaitu Babi Abu-abu dan Barbie. Cerita dibawakan oleh narator yang berada di luar cerita yang menjalin interaksi dengan pembaca. Hal ini tampak pada bagian-bagian yang secara langsung menyebut pembaca sebagai “kau” serta sejumlah pertanyaan dan komentar tentang yang sedang terjadi pada tokoh di dalam cerita sebagai berikut, “Kau pasti mengenalnya” (Ng, 2008:137) dan “Apakah sesungguhnya dia diselimuti cahaya rupawan ataukah ada yang salah dengan mata Babi Abu-abu?” (Ng, 2008:139). Kalimat-kalimat tersebut dapat dipahami sebagai usaha narator untuk melibatkan pembaca di dalam aktivitas berceritanya, seperti seorang

jurucerita yang sedang bercerita kepada audiens, atau pendongeng yang bercerita kepada anak-anak. Munculnya narator yang demikian memperkuat kesan bahwa cerpen “Barbie” berada di dalam koridor cerita fantastik, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya pun semestinya dibaca sebagai peristiwa fantastik, bukan sebagai peristiwa real. Lebih lanjut, sebagai konsekuensi atas hal tersebut dan dipadukan dengan setting toko mainan yang identik dengan anak-anak, cerpen ini memunculkan asumsi tentang pesan implisit yang diusungnya, hal-hal yang muncul di permukaan mem il iki kem ungkinan m ewakil i gagasan-gagasan yang tidak sekadar berkaitan dengan boneka dan sebuah dunia bernama toko mainan. Relasi antara Babi Abu-abu dan Barbie pun perlu dipahami sebagai bukan sekadar relasi antara dua boneka, tetapi bisa jadi sebagai simbol relasi antarmanusia serta refleksi realitas. Di samping itu, melalui kalimat-kalimat yang dipakai oleh narator tersebut juga dapat dipahami jarak yang dibangun antara narator dengan pembaca, dan dalam hal ini cerpen “Barbie” memiliki jarak yang dekat dengan pembacanya karena secara langsung menggunakan kata ganti “kau”. Dengan adanya jarak yang demikian, sejak awal cerpen ini meskipun di satu sisi tampak sebagai cerita fantastik, di sisi lain justru memperlihatkan kedekatan dengan realitas yang diwakili oleh pembacanya.

Babi Abu-abu adalah tokoh yang merasa terbuang karena ia tidak lagi disukai sebagai mainan dan ditinggalkan karena para pengunjung toko mainan lebih memilih Barbie. Sejak awal cerita Babi Abu-abu dan Barbie ditempatkan Barbie dalam Cerpen “Barbie”

(6)

sebagai dua kubu yang berseberangan, Babi sebagai yang terbuang dan Barbie sebagai yang dicintai. Hal tersebut diperkuat dengan penyebutan warna yang mewakili keduanya, yaitu abu-abu yang identik dengan kesuraman dan secara langsung melekat pada diri Babi sebagai nama belakangnya, dan “dinding yang dicat warna-warni” sebagai tempat Barbie yang tentu saja identik dengan keceriaan dan kebahagiaan.

Munculnya anak-anak sebagai pihak yang memberi nilai kepada Babi dan Barbie dapat dimaknai sebagai bentuk penilaian yang jujur. Dengan bekal pemahaman yang masih sedikit tentang kehidupan, anak-anak di dalam cerpen ini telah membentuk nilainya sendiri tentang yang buruk dan yang baik atau cantik. Yang buruk dan yang cantik di sini pun tampak hanya berkaitan dengan standar-standar fisikal. Barbie dianggap lebih baik d a r i p a d a B a b i A b u - a b u h a n y a berdasarkan “rambut pirangnya yang tergerai memesona, lekuk tubuhnya yang langsing semampai, serta aneka baju indah yang dikenakannya.” Berkaitan dengan standar fisikal tersebut, yang dianggap baik pun adalah “rambut pirang,” “tubuh langsing semampai”, dan “aneka baju indah”, yang tampak sangat Barat. M e s k i p u n d e m i k i a n , Barbie sebagai sosok yang cantik ternyata merasa bosan dengan kondisi tersebut. Ia pun menemui dan berkeluh kesah kepada Babi Abu-abu. Kebosanan Barbie menjadi hal yang mengherankan bagi Babi Abu-abu. Di dalam pernyataan Babi Abu-abu terdapat penegasan tentang cara kota tersebut menilai seseorang, yaitu berkaitan dengan fisik dan materi, bukan sifat dan perilaku, dan hal-hal itulah “yang

(7)

Abu-abu. Hal tersebut terbukti benar ketika pada suatu malam Babi Abu-abu menyaksikan Barbie bersama laki-laki lain. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa Barbie sesungguhnya tidak pernah menganggap istimewa percintaan mereka pada malam sebelumnya. Barbie pun menganggap cinta sebagai sesuatu yang menggelikan atau bahkan memuakkan. Hal-hal fisikal sekali lagi menjadi yang terpenting di dalam dunia Barbie. Hal tersebut diperkuat dengan munculnya laki-laki tinggi besar berotot sempurna sebagai teman bercinta Barbie. Fisik yang tinggi besar dan berotot sempurna merupakan bentuk fisik ideal bagi laki-laki pada umumnya, dan dengan dipertemukannya hal tersebut dengan Barbie sebagai pemilik fisik ideal bagi perempuan, semakin nyatalah kedudukan keindahan fisik sebagai hal terpenting.

Kondisi yang demikian dan perasaan disia-siakan menjadikan Babi abu naik pitam. Amarah Babi Abu-abu tersebut bermuara pada peristiwa mengerikan. Melalui peristiwa tersebut dan berdasarkan rangkaian peristiwa sebelumnya, meskipun tidak ada penyebutan nama, dapat diketahui bahwa perempuan cantik yang menjadi korban mutilasi adalah Barbie, sedangkan pelaku pembunuhan dan mutilasi adalah Babi Abu-abu. Motivasi pembunuhan tersebut adalah perasaan disia-siakan yang dialami oleh Babi Abu-abu sebagai akibat perlakuan Barbie padanya. Di satu sisi, Barbie sebagai pemiliki kecantikan dan fisi k yang di anggap ideal t ela h memandang rendah Babi Abu-abu yang tidak memiliki fisik yang dianggap ideal seperti laki-laki tinggi besar berotot sempurna. Di sisi lain, Babi Abu-abu pun sesungguhnya juga menganggap rendah

Barbie, karena meskipun ia mencintainya, Barbie bagi Babi abu-abu tampak tidak lebih daripada objek untuk dimiliki, s e h i n g g a k e t i k a i a t i d a k d a p a t memilikinya, Barbie pun harus mati.

Akhir cerita yang demikian memperlihatkan bagaimana cerpen ini memandang Barbie. Meskipun pada awalnya Barbie ditempatkan sebagai hal yang tampak positif, melalui cara anak-anak memandang Barbie yang berbeda dengan cara mereka memandang Babi A b u - a b u , B a r b i e l a m b a t l a u n kedudukannya digeser sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang tidak berharga. Ada semacam kritik atas Barbie sebagai perwujudan kecantikan dan perempuan ideal dengan standar Barat. K e m a t i a n B a r b i e d e n g a n c a r a mengenaskan pada cerpen tersebut dapat dipahami sebagai kematian atas simbol kecantikan dan perempuan ideal, dan hal-hal fisikal tidak akan berumur panjang.

(8)

Barbie dalam Cerpen “Bercinta dengan Barbie” Karya Eka Kurniawan Cerpen “Bercinta dengan Barbie” diceritakan oleh narator di luar cerita dengan si lelaki sebagai pusat penceritaan. Sebagai narator yang berada di luar cerita, narator cerpen ini bertindak sebagai yang mahamengetahui tindakan dan pikiran tokoh sehingga peristiwa-peristiwa pun terjadi dengan apa adanya, tidak muncul komentar-komentar yang cenderung memperlihatkan subjektivitas. Teknik seperti ini dianggap mampu mendukung keseluruhan cerpen yang meskipun ada di dalam koridor fantastik tetap memiliki lapisan lain yang berkaitan dengan realitas masyarakat umum.

C e r p e n i n i m e n c e r i t a k a n sepenggal kehidupan seorang lelaki yang memiliki hubungan khusus dengan boneka Barbie. Cerpen ini diawali dengan rangkaian kalimat yang menandai sekaligus memberi pijakan kepada pembacanya dalam menempatkan karya ini sebagai sebuah cerita fantastik, “Suatu malam ia berhasil menemukan mantra yang sanggup membuat boneka Barbie anaknya tumbuh membesar dan hidup” (Kurniawan, 2005:21). Melalui kutipan tersebut, selain memperoleh pijakan awal tentang cerita yang akan dihadapi, di dalam pikiran pembaca juga akan muncul asumsi tentang yang akan terjadi pada Barbie. Barbie di dalam cerpen ini di hi d up ka n t i da k s e ka da r un t u k dihidupkan, tetapi berkaitan erat dengan sosoknya sebagai perempuan yang dianggap ideal, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Yang menjadi motivasi si lelaki menghidupkan boneka Barbie adalah keputusaannya melihat fisik istrinya. Seperti halnya pada

cerpen “Barbie” karya Clara Ng, cerpen ini juga menempatkan Barbie sebagai perwujudan kecantikan dan perempuan ideal, meskipun ia sesungguhnya tidak lebih daripada boneka atau benda artifisial. Fisik alami seorang perempuan, dalam hal ini diwakili oleh istri si lelaki, yang berubah dan berkembang sedemikian rupa dianggap sebagai monster. Lebih parah lagi, si istri dianggap sebagai monster tidak sekadar berkaitan dengan bentuk dan bobot tubuhnya, tetapi juga dalam kaitannya dengan memuaskan nafsu berahi si lelaki. Melalui bagian kecil cerpen tersebut, tampak jelas bagaimana posisi si istri dan Barbie, manusia dan boneka, yang pada hakikatnya memang berbeda tetapi dianggap setara oleh si lelaki dan dibandingkan dalam hal kecantikannya, bahkan Barbie sebagai boneka memiliki kedudukan lebih tinggi daripada si istri.

Lebih lanjut, kesan yang tampak bahwa Barbie di dalam cerpen tidak lebih daripada objek pelampiasan nafsu secara jelas muncul pada bagian berikutnya ketika si lelaki menganggap bahwa Barbie diciptakan tidak sebatas sebagai boneka yang menjadi teman bermain bagi anak-anak perempuan, tetapi lebih daripada itu yaitu sebagai realisasi atas selera seksual yang memadai. Dengan begitu, keindahan fisik Barbie seolah tidak dirancang untuk kepuasan Barbie sendiri, atau dengan kata lain untuk kepentingan perempuan itu sendiri, tetapi lebih pada tujuan untuk memuaskan hasrat lelaki pada umumnya. Hal tersebut senada dengan yang muncul pada cerpen “Barbie.”

(9)

berhubungan seks kapan pun. Ia pun berbagi Barbie dengan lelaki-lelaki lain. Menurut si lelaki, yang dapat dianggap mewakili lelaki pada umumnya, pada zaman ini banyak lelaki yang menderita karena fisik istri mereka. Fisik alamiah perempuan yang menjadi istri mereka dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan bisa berpengaruh buruk pada kehidupan mereka. Perempuan lagi-lagi dinilai berdasarkan fisiknya, dan perempuan bernilai tinggi apabila ia memiliki fisik seperti Barbie. Selain itu, Barbie yang dapat dianggap mewakili perempuan pada umumnya, dianggap tidak lebih daripada komoditas yang dapat diperdagangkan, dihargai dengan materi berdasarkan kemampuan mereka melayani dan memuaskan lelaki, tidak lagi dilihat berdasarkan kepribadian atau sikapnya. Hal tersebut semakin nyata pada bagian selanjutnya yang memperlihatkan bahwa para istri dan perempuan pada umumnya di dalam kehidupan lelaki seolah tidak ada bedanya dengan barang atau materi. Mereka ada untuk dimiliki, dipakai, lalu bisa ditinggalkan atau dibuang begitu saja ketika lelaki bosan.

Meskipun pada awalnya bisnis si lelaki tampak menguntungkan, “Bercinta dengan Barbie” pada akhirnya mendapat reaksi tajam dari para perempuan yang menjadi istri para lelaki pemakai jasa gadis-gadis Barbie. Hal tersebut semakin memperkuat posisi Barbie dan perempuan sebagai materi belaka. Bukan hanya lelaki yang menganggap demikian, para perempuan pun ternyata menganggap Barbie sebagai materi. Hal tersebut tampak pada peristiwa pembunuhan gadis-gadis Barbie yang dilakukan oleh para istri yang cemburu dan marah atas perilaku suami mereka, para istri seolah

tidak lagi menghargai kehidupan gadis-gadis Barbie. Gadis-gadis-gadis Barbie memang berasal dari boneka mati, tetapi pada saat itu mereka telah memiliki kehidupan dan tentu saja dapat dianggap dapat merasakan hal-hal yang terjadi pada mereka. Lebih lanjut, di sisi lain, peristiwa pembunuhan perempuan-perempuan Barbie dapat dianggap sebagai peristiwa pembunuhan atas idealisasi kecantikan dan perempuan, seperti yang juga terdapat pada cerpen “Barbie.” Barbie sebagai simbol kecantikan dan perempuan ideal terbantai habis oleh para istri sebagai simbol kecantikan dan perempuan real.

Peristiwa pembunuhan massal yang terjadi pada gadis-gadis Barbie tersebut ternyata tidak membuat si lelaki menghentikan aktivitasnya untuk memberikan kepuasan kepada orang-orang secara seksual dengan jasa para boneka. Pada bagian tersebut juga terjadi pergeseran bahwa bukan hanya lelaki yang memiliki hasrat bercinta dengan Barbie sebagai perempuan berfisik ideal, tetapi para perempuan pun memiliki berahi untuk berbagi ranjang dengan Ken sebagai lelaki berfisik ideal. Ken dalam kenyataannya diciptakan sebagai pasangan Barbie, dan oleh karena itu ia memiliki fisik yang setara dengan Barbie.

(10)

jalan keluar bagi orang-orang malang itu. Dengan putus asa ia menutup tokonya [...] Semua sudah berakhir, katanya kepada para pelanggan. “Hadapilah kenyataan, tidurlah dengan istri-istri gembrot kalian,” [...] “Hadapilah kenyataan, bercintalah dengan suami-suami kalian, meski tombak mereka tak juga mau bangun” (Kurniawan, 2005:27). Pada kutipan tersebut, meskipun si lelaki menyatakan “hadapilah kenyataan”, pernyataannya tampak tidak tulus dan seolah masih memendam kekesalan atas kegagalannya. Ia meminta para pelanggannya kembali ke realitas dan melupakan manusia-manusia boneka rupawan, tetapi diikuti dengan menyebut “istri gembrot” dan “meski tombak mereka tak juga mau bangun.” Arah yang dibangun cerita untuk kembali ke realitas dan menerima para suami dan istri apa adanya, kembali berbelok dengan munculnya peristiwa di muara cerita, “Ide buruknya seketika muncul, jahat dan tanpa ampun. Ia membacakan mantra itu dan mengubah istrinya menjadi boneka. Ia mengambil boneka-berwujud-istrinya itu dan memberikannya kepada si anak [...] Si anak segera menerima boneka itu namun segera membantingnya ke lantai dan menjerit. Gak mau, ini boneka buruk muka, aku mau Barbieku [...] Boneka sang istri ia buang ke tong sampah sambil berkata, “Bahkan anak-anak pun tak menyukainya” (Kurniawan, 2005:28). Pada kutipan tersebut tampak bagaimana si lelaki tidak kuasa memenuhi kata-katanya sendiri untuk kembali ke realitas. Ia tetap menganggap bahwa fisik ideal Barbie jauh lebih berharga dibandingkan istrinya. Ia pun menyihir istrinya menjadi boneka dan memberikannya kepada anaknya untuk kemudian dibanting

dengan alasan “boneka buruk muka.” Si istri pun, sang perempuan yang sesungguhnya, berakhir di keranjang sampah. Bahkan di akhir cerita hidupnya pun, perempuan tidak mati lalu dikubur, tetapi hanya serupa barang bekas yang rusak dan menjadi konsumsi keranjang sampah untuk digantikan oleh perempuan Barbie.

Cerpen “Barbie dan Monik” dibuka dengan rangkaian peristiwa seorang perempuan bernama Lasmi yang gelisah memikirkan Puput anaknya yang sedang sakit, dan pada saat itu ia juga membutuhkan uang pengobatan. Cerpen ini berbeda dengan “Barbie” dan “Bercinta dengan Barbie” karena ia sepenuhnya ada di dalam koridor realisme. Cerpen ini diceritakan oleh narator di luar cerita dengan Lasmi dan Mantosam sebagai fokus penceritaan yang muncul bergantian. Pergantian fokus ini berimplikasi pada pembentukan suasana di sekeliling Puput yang sakit, yang dilihat melalui perspektif Lasmi sebagai ibu yang begitu mengkhawatirkan Puput, dan Mantosam yang tidak terlalu peduli dan justru asyik dengan urusannya sendiri. Dengan bergerak di dalam koridor realisme, cerpen ini juga tampak lebih tegas dalam mengusung ironi, khusunya di dalam kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah.

(11)

sebagai sesuatu yang memiliki fungsi lain yang lebih signifikan di dalam cerita. Meskipun demikian, pada bagian-bagian berikutnya posisi boneka Barbie akan berubah. Hal tersebut mulai tampak pada bagian berikut ini, “Aroma alkohol mengendap dalam kamar lima kali empat meter […] Laki-laki itu, Mantosam, menggosok-gosok mata baru bangun tidur. Jengah, menggerak-gerakkan tubuhnya yang terasa pegal Mantosam melirik perempuan di sebelahnya […] Perempuan itu, Monik, selimutnya tersingkap hingga p a h a n y a y a n g p u t i h m e n a n t a n g Mantosam. Berkali-kali Mantosam menelan ludah, tak kuat menahan hasrat” ( Wi n a r s h o , 2 0 0 4 ) . P a d a b a g i a n sebelumnya telah diketahui bahwa Mantosam adalah suami Lasmi dan ayah Puput, tetapi pada kutipan tersebut di atas m u n c u l f a k t a b a h w a M a n t o s a n mempunyai hubungan dengan perempuan lain bernama Monik. Seperti halnya yang terjadi pada tokoh lelaki di dalam cerpen “Bercinta dengan Barbie”, kemunculan p e r i s t i w a - p e r i s t i w a y a n g s a l i n g mendukung dan memperkuat asumsi awal seperti ini akan mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa Barbie di dalam cerpen tersebut memiliki kedudukan yang lebih daripada sekadar boneka mainan. Berkaitan dengan hal tersebut, Barbie di dalam cerpen ini dapat dianggap memiliki dua wujud, yaitu boneka Barbie yang sebenarnya yang diidam-idamkan Puput, dan Monik sebagai Barbie mainan Mantosam.

Mantosam pun pada akhirnya mengetahui yang sebenarnya terjadi pada anaknya, dan menyadarai kelalaiannya sebagai seorang ayah yang telah menjanjikan boneka Barbie untuk Puput, “Tapi tiba-tiba Mantosam gugup,

menunduk, sembari menyembunyikan boneka barbienya. Tampak di atas meja boneka barbie cantik ukuran besar. Mantosam tahu siapa yang membawa boneka barbie itu. Darah Mantosam kembali berdesir. Tapi selain menunduk, Mantosam nyaris tak memiliki ruang untuk melepas pandang matanya di kamar yang mulai terasa panas itu. Mantosam tiba-tiba teringat Monik, boneka barbie besarnya yang juga tak kalah cantik… (Winarsho, 2004). Kehadiran Mantosam di rumah sakit menghadirkan perasaan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ia tampak sebagai sosok ayah yang bertanggung jawab, karena meskipun terlambat ia pada akhirnya bisa memenuhi janjinya membelikan boneka Barbie untuk Puput. Di sisi lain ia tidak lebih daripada lelaki hidung belang yang dengan begitu saja membagi hati untuk perempuan lain bernama Monik.

Kedudukan Barbie di dalam cerpen ini pun tampak kontradiktif. Di satu sisi ia adalah semacam kebaikan yang tersembunyi di dalam wujud boneka mati, yang kehadirannya bisa mendatangkan k e g e m b i r a a n d a n m e r i n g a n k a n penderitaan seorang anak bernama puput. Di sisi lain ia adalah metafora dari sosok perempuan yang kehadirannya tidak lebih daripada sebentuk fisik yang berfungsi sebagai pemuas hasrat seksual, semacam barang yang dinilai hanya berdasarkan kegunaannya, bukan berdasarkan hakikatnya sebagai manusia.

(12)

Terlepas dari perasaan bersalahnya karena sempat menelantarkan anak dan istrinya, bagi Mantosan yang lebih penting adalah besar-kecilnya pemberian, bukan makna pemberian itu sendiri yang bisa mendatangkan seulas senyum pada bibir anaknya.

Sebagai salah satu ikon budaya populer, boneka Barbie memiliki jangkauan yang sangat luas. Barbie tidak hanya berkedudukan sebagai sebuah komoditas, baik sebagai boneka itu sendiri maupun menyatu dengan produk-produk lainnya. Barbie telah menjelma sebagai sosok yang mewarnai kehidupan manusia selama kurang lebih setengah abad terakhir. Boneka perempuan berambut pirang dan sejumlah boneka lain yang berkedudukan sebagai teman Barbie adalah produksi Mattel Inc. yang telah mendedahkan sejumlah konsep tentang perempuan ideal, khususnya secara fisik. Kemunculan Barbie di dalam sejarah dunia telah memengaruhi pembentukan gambaran tentang perempuan ideal: berwajah cantik, bertubuh tinggi dan ramping, berambut pirang, berpakaian bagus dengan model-model mutakhir.

Cerpen “Barbie” karya Clara Ng, “Bercinta dengan Barbie” karya Eka Kurniawan, dan “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho A. S. memiliki c a r a n y a m a s i n g - m a s i n g d a l a m menghadirkan Barbie. Ketiga cerpen tersebut juga bergerak pada koridor genre prosa yang berbeda, “Barbie” dan “Bercinta dengan Barbie” berupa cerita fantastik, sedangkan “Barbie dan Monik” berupa cerita realis.

Di dalam ketiga cerpen tersebut,

dalam perspektif Riffeterrian, model-model yang muncul memiliki persamaaan, y a i t u “ B a r b i e , ” “ s e k s u a l i t a s , ” “kesempurnaan fisik,” “komoditas”, dan “dunia anak-anak”. Barbie di dalam ketiga cerpen tersebut secara fisik hadir seperti wujud Barbie yang sebenarnya, yang memiliki kesempurnaan fisik yang bahkan tidak mungkin disamai oleh perempuan mana pun. Barbie tidak lebih daripada perwujudan kecantikan dan perempuan artifisal karena ia adalah boneka. Barbie juga hadir sebagai simbol s eks ua l i ta s per em pua n s eka l igu s komoditas. Seksualitas Barbie bukanlah seksualitas yang apa adanya, tetapi s e k s u a l i t a s y a n g s e p e n u h n y a diasosiasikan dengan pemenuhan hasrat para lelaki. Bukan Barbi e yang memperoleh kepuasan seksual dari berhubungan seks, tetapi lelakilah yang mendapatkannya. Seksualitas Barbie pun adalah seksualitas yang bernilai jual, sebuah komoditas, sesuatu yang ada atau tidak adanya tergantung pada permintaan pasar.

Dunia anak-anak yang pada kenyataannya memang dunia yang mendukung keberadaan Barbie juga muncul di dalam ketiga cerpen tersebut dengan intensitas yang berbeda. Pada cerpen “Barbie” dunia anak-anak diwujudkan dalam bentuk toko mainan tempat Barbie dan Babi Abu-abu hidup, pada cerpen “Bercinta dengan Barbie” dunia anak-anak muncul dalam wujud tokoh anak si lelaki yang darinya ia mengawali obsesinya memiliki Barbie hidup, dan pada cerpen “Barbie dan Monik” dunia anak-anak dihadirkan melalui sosok Puput yang menjadi pusat perhatian Lasmi sebagai ibunya, dan Barbie: Konstruksi Kecantikan dan

(13)

mengingkan sebuah boneka Barbie dari ayahnya. Dunia anak-anak di dalam ketiga cerpen tersebut tampak tidak memiliki peran besar dalam membangun cerita dan makna di baliknya. Dunia anak-anak hanya dijadikan semacam latar belakang bagi Barbie dan para orangtua untuk bermain-main dengan kecantikan artifisial, fisikal, dan sekaligus ideal. Keluguan anak-anak dalam menilai sesuatu pun tampak cemar di dalam ketiga cerpen tersebut. Anak-anak mulai membuat standar tentang yang baik dan yang buruk berdasarkan standar yang lebih besar yang secara tidak disadari telah didedahkan ke dalam pikiran mereka. Mereka sejak dini telah belajar menilai malalui aspek-aspek fisikal yang kasat mata.

Sebagai salah satu ikon budaya p o p u l e r , B a r b i e t i d a k h a n y a berkedudukan sebagai sebuah komoditas, baik sebagai boneka itu sendiri maupun menyatu dengan produk-produk lainnya. Boneka perempuan berambut pirang p r o d u k s i M a t t e l I n c . i n i t e l a h mendedahkan sejumlah konsep tentang perempuan ideal, khususnya secara fisik. Kemunculan Barbie di dalam sejarah dunia telah memengaruhi pembentukan gambaran tentang perempuan ideal: berwajah cantik, bertubuh tinggi dan ramping, berambut pirang, berpakaian bagus dengan model-model mutakhir.

Barbie di dalam cerpen “Barbie” karya Clara Ng, “Bercinta dengan Barbie” karya Eka Kurniawan, dan “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho A. S. hadir seperti wujud Barbie yang sebenarnya, yang memiliki kesempurnaan fisik yang bahkan tidak mungkin disamai oleh

perempuan mana pun. Barbie tidak lebih daripada perwujudan kecantikan dan perempuan artifisal. Barbie juga hadir sebagai simbol seksualitas perempuan sekaligus komoditas. Seksualitas Barbie bukanlah seksualitas yang apa adanya, tetapi seksualitas yang sepenuhnya diasosiasikan dengan pemenuhan hasrat para lelaki. Seksualitas Barbie pun adalah seksualitas yang bernilai jual, sebuah komoditas, sesuatu yang ada atau tidak adanya tergantung pada permintaan pasar. Ketiga cerpen yang sama-sama hadir pada periode 2000-an tersebut, berdasarkan caranya masing-masing dalam mengusung Barbie, dapat dianggap sebagai representasi kondisi sosial budaya masanya. Sudah bukan menjadi rahasia bahwa para perempuan tampak begitu memuja kecantikan dan keindahan fisikal, dan para lelaki menilai perempuan pertama-tama dari penampilan luarnya. Kecantikan dan perempuan yang dianggap ideal cenderung dinilai pertama-tama dari segi fisik dan menggunakan standar Barat, dengan kata lain kecantikan dan perempuan ideal adalah yang seperti Barbie. Ketiga cerpen tersebut tampak sebagai kritik atas kondisi yang demikian, baik dihadirkan secara terbuka maupun melalui simbol-simbol dan ironi.

Fokkema, D. W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998.

J. Praptadiharja dan Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Genette, Gerard. 1986.

O x f o r d : B a s i l Simpulan

DAFTAR PUSTAKA

Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj.

(14)

Blackwell Ltd.

Iser, Wolfgang. 1980.

Baltimore dan London: The Johns Hopkins University Press.

Jauss, Hans Robert. 1983.

Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juhl, P. D. 1980.

Princeton: Princeton University Press.

Kurniawan, Eka. 2005. “Bercinta dengan Barbie,”

Jakarta: Grmedia Pustaka Utama.

Ng, Clara. 2008. “Barbie,”

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riffaterre, Michael. 1978.

Bloomington: Indiana University Press.

Segers, Rien T. 2000.

S u m i n t o A . S a y u t i . Yogyakarta:Adicita Karya Nusa.

Teeuw, A. 1988.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Winarsho, Teguh. 2004. “Barbie dan Monik”, Kompas. 17 Oktober.

The Implied Reader.

Toward An A e s t h e t i c o f R e c e p t i o n .

Interpretation: An Essay in the Philosophy of Literary Criticism.

Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya.

Malaikat Jatuh dan Ceri ta-ceri ta Lainnya.

Semiotics of Poetry.

Evaluasi Teks Sastra, t e r j .

(15)

Pendahuluan

Sistem negara dan penguasanya identik dengan kekuatan yang dapat mengatur segalanya. Rakyat adalah bagian dari objek kekuasaan tersebut, tanpa dapat berbuat banyak dalam hal kebijakan dan mengartikulasikan kepentingannya. Periode kolonial Belanda merupakan rezim imperialisme dengan berbagai mekanisme dan sistem penyelenggaraan telah merenggut hak-hak kebebasan dan demokrasi. Politik liberal dan masuknya kapitalisme tidak memakmurkan masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan yang tidak dapat dinikmati oleh kalangan tertentu berdampak pada gejolak sosial. Akibat terdesak secara ekonomi, ada yang menjadi pencuri, pelacur, (Lombard: 2000) serta banyak keluarga pribumi yang

mempunyai anak wanita secara tidak langsung menjualnya kepada laki-laki Belanda untuk dijadikan gundik atau nyai. Keberadaan gundik atau nyai bagi orang E r o p a l e b i h m e n g u n t u n g k a n dibandingkan pergi ke tempat prostitusi (Abeyasekere: 1987). Sisi lainnya yang mendorong tindakan pergundikan dan prostitusi tersebut disebabkan pada masa itu permintaan pelayanan seks (Hull: 1997) meningkat sejak kedatangan laki-laki Belanda yang tanpa istri atau belum menikah (Soekiman: 2000) ke pulau Jawa. Bentuk dan perilaku prostitusi menurut berbagai pendapat meningkat drastis pada abad ke-19 terutama setelah 1870 sampai menjelang awal abad ke-20 ketika ekonomi kolonial dibuka untuk modal swasta. Ekonomi kolonial untuk modal swasta berupa pengembangan Abstract

Footsteps of prostitution in Surabaya could be traced back related to its position as main road of trade in eastern Indonesia. The development in this area served as primary destination for job searchers from rural areas. In addition, in the period of colonialism government by Netherlands, it has turned into a notable port city, naval basis, army basis and final destination of railroad. It was not surprising, thereby; that if there were many prostitution activities rapidly growth in various places that became the center activities areas. The development of prostitution activities in Surabaya at colonialism period was supported also through new law by the Holland government in 15 July 1852. This law was agreed on sex commercialization, essentially allowed the organized practice of prostitution in Hindia Belanda by requirements and under closed supervision.

Keywords: 'Public Women', Prostitution, Surabaya.

*)

(16)

perkebunan, terutama di Jawa Barat yang penduduknya jarang, industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memerlukan banyak buruh lelaki dari daerah lain. Pengembangan sektor perkebunan diringi juga pembuatan jalan dan rel kereta api yang menghubungkan desa dan kota serta semua areal perkebunan yang dihuni oleh sejumlah besar buruh yang tidak tetap. Para buruh tersebut tidak membawa keluarga mereka, dan dengan uang yang dimiliki mencari wanita di wilayah sekitar tempat t i n g g a l n y a . B e b e r a p a t u l i s a n menjelaskan hal ini, pada tahun 1906 Residen Batavia melaporkan bahwa pelacuran di Krawang meningkat ketika dibangun rel kereta api antara Krawang dan Padalarang (Soekiman: 2000, Hull: 1 9 9 7 ) . B e g i t u j u g a d e n g a n pembangunan jalan kereta api di wilayah Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya tahun 1884 terjadi prostitusi. Lokalisasi ini tidak hanya melayani para pekerja buruh, tetapi juga tiap kota besar yang dilalui j a l a n k e r e t a a p i , p e n u m p a n g berdatangan ada yang tinggal di pe ngi na pan da n s e kal i gu s j uga menyediakan pelayanan seks (Jones, 1995).

Merujuk kenyataan di atas, perubahan yang semakin pesat bagi masyarakat Surabaya dan juga tata ruang kotanya sejak masa kolonial menjadikan kota tersebut sebagai tujuan para pencari kerja dari daerah pedesaan. Terjadinya urbanisasi penduduk dan buruh kerja

menuju ke Surabaya sejak adanya perluasan areal perkebunan swasta tahun 1870-an, p e r k e m b a n g a n i n d u s t r i d a n j a l u r transportasi berdampak berkembangnya praktek-praktek prostitusi. Pendapat ini didukung oleh John Igleson (1986) bahwa sampai pertengahan abad ke-19 para “wanita publik” di Surabaya diijinkan naik ke kapal milik angkatan laut, dengan pertimbangan bahwa lebih baik mengawasi awak kapal melakukan aktivitas pribadinya tetap berada di dalam kapal daripada membiarkan mereka berkeliaran di dalam kota untuk mencari wanita penghibur. Akibatnya banyak kapal barang dan kapal angkatan laut yang memasuki pelabuhan Surabaya dengan segera dikelilingi oleh perahu-perahu kecil yang berisi para pelacur untuk mencari laki-laki yang membutuhkan (John Ingleson, 1986: 126). Berbagai praktek-praktek prostitusi di kota Surabaya terus bermunculan, sejalan dengan pembangunan dan pertumbuhan tata ruang kota yang pesat pada masa k o l o n i a l s a m p a i p e r i o d e a k h i r kekuasaannya.

Ungkapan di atas melukiskan bagaimana merebaknya dunia prostitusi di Surabaya yang telah berkembang pesat dari masa kolonialisme sampai kontemporer.

1)

Jejak Prostitusi Periode Akhir Kolonial di Surabaya

“Tandjung Perak Mas, Kapale Kobong... Monggo Pinarak Mas, Kamare Kosong...” (Dukut Imam W, 2002: 433)

(17)

Jejak prostitusi di Surabaya dapat ditelusuri terkait dengan posisinya sebagai jalur utama perdagangan di Indonesia bagian Timur, perkembangan tersebut menjadi tujuan para pencari kerja dari pedesaan. Selain itu, pada periode pemerintahan kolonialisme Belanda kota ini berkembang sebagai kota pelabuhan terkemuka, pangkalan angkatan laut, pangkalan para tentara garnisun dan sebagai daerah tujuan akhir lintasan kereta api. (Hull, 1997: 7). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila munculnya aktivitas prostitusi di berbagai tempat.

Bentuk-bentuk prostitusi yang berkembang pesat di masyarakat dapat dikategorikan terselebung dan legal (resmi). Prostitusi terselebung yang terjadi adalah pergundikan, nyai, selir dan sejenisnya. Sementara lokalisasi yang resmi, adanya rumah bordil dan tempat-t e m p a tempat-t p e l a c u r a n . S e b a g a i m a n a prakteknya, keduanya sama-sama memiliki unsur keterkaitan dengan watak moral dan kepribadian pelaku. Budaya asing yang datang juga memberikan kontribusi besar terhadap perubahan itu dengan gaya hidup, pergaulan dan cara berpakaian yang semakin terbuka bagi wanita pribumi.

Pada tanggal 15 Juli 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks, tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindak kejahatan yang timbul akibat dari aktivitas prostitusi ini. P a d a m u l a n y a p e r a t u r a n i n i diperuntukkan pada 3 kota besar di Jawa; Batavia, Semarang dan Soerabaya. Selanjutnya menyebar ke seluruh daerah/kepulauan, termasuk Padang dan Ambon.

Peraturan 15 Juli 1852 berbunyi antara lain; bahwa wanita publik diawasi secara langsung dan ketat oleh polisi. Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya panyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya. Apabila ditemukan seorang wanita berpenyakit kelamin, harus segera menghentikan prakteknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga yang didirikan khusus untuk menangani perempuan yang terkena penyakit tersebut.

Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah-rumah bordil. Peraturan tersebut ternyata membingungkan para pelaku di industri seks, termasuk juga pemerintah sendiri. Dampak dari itu, tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan t e r s e b u t d e n g a n m a k s u d u n t u k menegaskan bahwa peraturan tanggal 15 Juli 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah, rumah bordil diidentifikasi sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan “pengakuan” dan “persetujuan” sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. Tanggungjawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sesuai dengan Memory van Toelichting tanggal 1 Januari 1873.

(18)

peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa setempat. Pengalihan tanggungjawab pengawasan rumah bordil tersebut menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan pemukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Aktivitas pelacuran terus meningkat secara drastis meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan.

Sejak diadakannya pembenahan hukum Agraria pada tahun 1870, membuka perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta. (Djoko Utomo, 2001: xix-xxi). Juga masyarakat telah mengenal sistem monetisasi, alat pembayaran dan transaksi berupa uang resmi dari pemerintah. Hal ini juga memudahkan para buruh perkebunan dan pekerja lainnya dapat menggunakan gaji atau upah mereka untuk kebutuhan hidup dan hiburan serta bagi yang masih bujangan pergi ke tempat-tempat pelacuran.

Pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 1884 telah menyuburkankan berkembangnya pelacuran. Keberadaan wanita penghibur seiring dengan pembangunan tempat-tempat penginapan, konstruksi jalan kereta api dan fasilitas lainnya. Perkembangan selanjutnya tidaklah mengherankan bahwa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah

dan Saritem. Di Yogyakarta kompleks pelacuran muncul di daerah Pasar Kembang, Mbalokan, dan Sosrowijayan.

Di kota Surabaya, lokalisasi pelacuran berada di kawasan lampu merah pertama adalah dekat stasiun Semut dan dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes dan Bangunsari. Beberapa lokasi kompleks pelacuran tersebut sampai sekarang masih beroperasi, walaupun keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah. (Hull, 1997: 7).

Laporan dari John Ingleson tidak jauh beda dengan Terence H. Hull maupun Peter Boomgaard yang menggambarkan bagaimana prostitusi di Surabaya sangat kompleks dan popular. Sebagai kota kedua terbesar di Indonesia setelah Jakarta, dan sebagai jalur perdagangan utama di Indonesia Timur.

(19)

pengawasan 18 pemilik rumah bordil. Angka ini meragukan karena dianggap terlalu kecil, dan mungkin hanya menunjukkan banyaknya pekerja seks yang terdaftar secara resmi. (Hull, 1997: 8; Ingleson, 1986; Boomgaard, 1989). Padahal masih banyak yang melakukan prostitusi di jalanan yang berasal dari lokasi setempat.

Pada tahun 1939 ahli penyakit kulit dari Batavia R.D.G. Pl. Simon menerbitkan serangkaian laporan mengenai prostitusi di Hindia Belanda, kebanyakan pengamatannya di kota Surabaya. Laporan tersebut memberi pemahaman yang tajam tentang sisi kehidupan dalam pemerintahan kolonial yang pada umumnya belum diketahui. Simon menganalisa 8 (delapan) kategori prostitusi yang berbeda, pembagian kelas aktivitas ini yang dia temukan di Surabaya, antara lainnya; (1) pelacuran yang ada di cafe-cafe kecil dekat pelabuhan dan di kota pelabuhan itu sendiri; (2) pelacur-pelacur yang beroperasi di jalanan, berasal dari kampung setempat; (3) rumah-rumah pelacuran/bordil di pusat kota dimiliki oleh orang China dan Jepang; (4) lokalisasi rumah-rumah bordil di kampung-kampung di pinggiran kota; (5) jasa pelayanan seks terselebung atau pelayanan khusus oleh pembantu rumah tangga wanita setempat; (6) jasa pelayanan seks tersembunyi wanita Belanda yang terkekang di rumah terhadap laki-laki muda yang belum beristri; (7) pelacur wanita Eropa di rumah-rumah bordil yang terorganisir di daerah tertentu; dan (8) prostitusi homoseksual dan pejantanan. (Hull, 1997: 8)

Pada kelompok pertama tersebut

di atas, yaitu kelompok pelacur yang mangkal-mangkal di kedai-kedai kecil sekitar pelabuhan dan di kota pelabuhan itu sendiri; dapat ditemui di warung-warung kopi di kawasan Tanjung Perak yang berfungsi menyediakan perempuan penghibur, berdansa dan minum-minum. Perempuan penghibur itu tetap berada di warung sampai menjelang fajar, tetapi setelah itu mereka bersedia juga dibawa pulang menemani pelanggan yang menghendaki. Warung-warung kopi yang paling semarak biasanya memberikan layanan khusus dengan menyediakan perempuan-perempuan penghibur yang berasal dari luar Jawa terutama dari Menado.

Pada kelompok kedua, para pelacur yang beroperasi di jalanan seringkali di tangkap polisi; oleh sebab itu mereka seringkali dilindungi oleh germo yang menjamin dan bertanggung jawab mencari para pelanggan potensial. Di Surabaya, sebagian besar pelacur pada kelompok kedua ini hidup dan bekerja di kampung-kampung sepanjang kanal Banyu Urip. Pada kategori ketiga, di rumah-rumah bordil yang dikuasai oleh orang-orang China dan diperuntukkan bagi para pelanggan China. Seorang pelanggan yang bukan China akan diterima hanya apabila diperkenalkan atau di bawa oleh pelanggan China yang jadi temannya. (Hull, 1997: 9)

(20)

jika dibandingkan pelacur pribumi. (Ingleson, 1986: 125-126).

S a ma hal nya di S urab aya , pendatang yang gelandangan tinggal di dekat-dekat pasar dan stasiun kereta api. Menurut i st il ah Denys Lom ba rd menamakan komunitas ini dengan golongan sub-proletar. Golongan ini dalam istilah Jawa disebut; wong ngemis atau wong kere. Akibat terdesak oleh keadaan dan masalah ekonomi, ada di antara mereka yang menjadi pencuri atau pelacur. (Lombard, 1996: 157). Secara statistik tidak ada informasi prosentase k e l o m p o k i n i , n a m u n d e m i k i a n keberadaan mereka juga merupakan b a g i a n d a r i f a k t a s e j a r a h y a n g menunjukkan adanya pelacuran dari para gelandangan.

Keberadaan ”wanita publik” dalam kehidupan sosial masyarakat cukup meresahkan karena berdampak negatif dalam beberapa aspek, terutama masalah kesehatan. Oleh karena itu, negara dalam hal ini pemerintah perlu menindak campur tangan melalui berbagai peraturan.

Sejak mewabahnya penyakit kelamin dan adanya komersialisasi seks dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 15 Juli 1852, pemerintah kolonial Surabaya mengusahakan agar praktek prostitusi di pusatkan 3 (tiga) kampung, yaitu : Bandaran, Sawahan, Nyamplungan. Selain itu, para pelacur dilarang beraktivitas di luar tempat tersebut. Semua pelacur di daerah lokalisasi tersebut dan harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara teratur. Namun, terbatasnya tenaga medis menyebabkan upaya mengurangi praktek prostitusi dan

penyebaran penyakit kelamin tidak berhasil sepenuhnya. Oleh karenanya masalah prostitusi dianggap semakin m e r a j a l e l a , m a k a p e m e r i n t a h menganggap perlu dikeluarkannya peraturan untuk menanggulangi prostitusi. Peraturan mengenai pemberantasan prostitusi, sesuai dengan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Januari 1874 No.14. Peraturan tersebut terdiri dari 23 pasal, (Djoko Utomo, 2001: 11-13) yaitu: (1) para mucikari dan rumah-rumah bordil diawasi oleh polisi; (2) polisi mempunyai wewenang untuk melakukan penyel idi kan; (3) para muc ikar i mempunyai kewajiban memberikan pajak pada polisi; (4) para mucikari wajib melaporkan dirinya dan tiap-tiap daerah harus menuliskan daftar para mucikari yang didaftar oleh kepala pemerintah setempat; (5) semua anggota polisi, terutama Kepala Lingkungan orang-orang E r o p a d a n K e p a l a K a m p u n g berkewajiban memberikan petunjuk k e p a d a w a n i t a y a n g m e l a k u k a n pelacuran; (6) jika ada wanita yang mengakui hidupnya sebagai pelacur, maka harus didaftar; (7) jika tidak mengakui sebagai pelacur, Kepala Kampung memutuskan apakah memang dia itu bukan pelacur dan keputusan diambil dalam waktu 3 hari; (8) masing-masing wanita pelacur yang didaftar akan diperiksa kesehatannya oleh team kesehatan untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi penyakit atau tidak; (9) jika team kesehatan menyatakan bahwa mereka sehat dari penyakit kelamin, mereka harus diberikan kartu; (10) siapa yang menderita penyakit kelamin harus segera di bawa ke tempat khusus untuk pengobatan; (11) semua pelacur tinggal ”Wanita Publik” dalam Kebijakan dan

(21)

kira-kira 6 pal dari tempat pengobatan dan harus memeriksakan dirinya secara teratur pada team kesehatan; (12) semua pelacur wajib menunjukkan kartunya dan boleh saling bertukar; (13) siapa yang sekali lagi menjadi pelacur, polisi akan mencoret: kematiannya, permohonan menikah, dan permohonan meninggalkan profesinya; (14) mengenai ronggeng atau penari yang hanya beroperasi sekali-kali, mereka harus menjadi anggota kelompok di rumah bordil; (15) pelacur yang masuk k e l o m p o k b o r d i l d i u r u s o l e h kelompoknya; (16) tidak ada rumah bordil y a n g d i j i n k a n ; ( 1 7 ) m u c i k a r i berkewajiban tidak meminjamkan kartu pada wanita tuna susila lain di rumah bordil, nama dan nomor yang dimiliki oleh pelacur tersebut diberikan pada polisi; (18) mucikari selanjutnya harus membenahi rumah bordilnya dan selalu diperiksa oleh Dinas Kesehatan; (19) bukti untuk masuk bordil harus ditunjukkan, tidak boleh dipinjamkan. Harus setiap 6 bulan diberikan pada polisi dan diperbaharui 6 bulan kemudian; (20) kepala pemerintahan setempat dan Asisten Residen Bagian Kepolisian, dan untuk pemadat ganja dipisahkan dan tidak diperbolehkan atau bordil ditutup; (21) semua yang melanggar ketentuan ini akan didenda sesuai ketentuan yang berlaku; (22) dari para pelacur dan mucikari dipungut bayaran yang cukup tinggi oleh pegawai dari dinas kesehatan dan didaftar secara tertulis; dan (23) semua mulai berlaku 1 Juli 1874.

Adanya peraturan tersebut di atas, menunjukkan peran negara sangat dominan dalam mekanisme kebijakan untuk mengatur prostitusi tersebut. Laporan-laporan mengenai jumlah orang

terinfeksi penyakit kelamin dari rumah sakit dan tindakan yang diambil bagi pengelola rumah bordil, serta upaya-u p a y a r e h a b i l i t a s i d a n penanggulangannya bahaya penyakit kelamin, banyak terdapat dalam arsip kolonial. Dari arsip tersebut dapat ditelusuri bagaimana berat sebelahnya perhatian pemerintah kolonial mengenai ini. Gejala penyakit kelamin itu menarik perhatian mereka, bukan untuk mengatasi problema masyarakat, tetapi karena kebetulan masalah itu berdampak terhadap aparat kolonial. (Djoko Utomo, 2001: xiv)

T i d a k s e m u a m a s y a r a k a t menerima kenyataan adanya prostitusi yang berkembang di masyarakat. Kenyataan ini membuktikan bahwa masih adanya norma yang membudaya di masyarakat sebagai filterisasi atas tindakan yang tidak bermoral tersebut. Selain peraturan dari pemerintah, ternyata peranan agama atau hukum adat di beberapa tempat di Jawa masih digunakan. Norma inilah yang bertindak mencegah dan mereduksi perilaku seksual tadi.

(22)

merupakan suatu yang sangat penting bagi kesinambungan budaya, karena wibawa moral masyarakat mulai tergusur oleh perubahan zaman sampai memasuki awal abad ke-20. Dalam kenyataan yang telah berubah seperti itu, etika pergaulan hidup sudah barang tentu banyak berubah pula, walaupun naluri seksual yang secara mendasar menguasai pola perilaku laki-laki dan perempuan tidak berubah. Pada masyarakat Jawa, kenyataan ini seiring dengan proses perubahan sosial dari komunitas-komunitas lokal yang relatif tertutup menuju masyarakat perkotaan dan industrialisasi yang lebih terbuka. (Marzuki, dkk., (ed.), 1995: 31-32).

Dampak dari masyarakat yang semakin terbuka tersebut, membuat pemerintah mulai mengambil berbagai kebijakan khusus mengenai prostitusi. Kebijakan demikian untuk menghindari terjadi hal-hal yang negatif dalam masyarakat. Akhirnya pemerintah kolonial mengeluarkan surat keputusan yang dikeluarkan berdasarkan keluhan yang melalui surat dari berbagai residen di Jawa. Surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 15 Juli 1852 No. 1 mengenai p e r a t u r a n u n t u k m e n a n g g u l a n g i penyebaran prostitusi. Surat ini dibuat berdasarkan surat dari residen Batavia tanggal 14 Mei 1846 No. 1656/28 dan 2 Maret 1850 No. 585, surat residen Tegal tanggal 29 September 1849 No. 1900 dan 12 April 1851 No. 700, dari residen Semarang tanggal 5 Nopember 1846 No. 15/1 dan 2 Oktober 1849 No. 22/1, dari residen Surakarta tanggal 16 Nopember 1849 No. 1729, surat residen Bagelen tanggal 5 Nopember 1849 No. 28, surat residen Surabaya Agustus 1846 No. 240/22 dan tanggal 23 Oktober 1849 No.

232/22, surat residen Besuki tanggal 23 Oktober 1849 No. 1495/18, surat dari Departemen Militer tanggal 1 Juni 1847 No. 4 dan tanggal 11 Oktober 1847 No. 2, surat Procureur General Hindia Belanda bulan Juni 1846 No. 916/110, tanggal 25 januari 1847 No. 138/18, 26 Februari 1847 No. 325/43, tanggal 20 Maret 1847 No. 465/58, tanggal 7 April 1849 No. 861/72, 603 dan tanggal 25 Mei 1949 No. 1198/109. 1115, surat dari Kepala Dinas Kesehatan tanggal 15 Desember 1846 No. 2235, tanggal 15 Juli 1847 No. 16, 19 Februari 1849 No. 102, tanggal 30 Juli 1849 No. 341, tanggal 24 Juli 1850 No. 294 dan tanggal 17 April 1851 No. 234. D i t e t a p k a n k e u a n g a n d a r i k a s pemerintahan Hindia Belanda sebesar f 2 0 . 0 0 0 u n t u k m e n a n g g u l a n g i pemberantasan terhadap penyakit syphilis. Surat keputusan ini juga menetapkan mengenai peraturan penanggulangan penyebaran prostitusi.

15 Juli 1852, No. 1). Di Semarang masalah prostitusi diawasi pemerintah dengan ketat. Ada petugas khusus yang mencatat dan menangani masalah prostitusi. Mulai terhitung tanggal 1 Januari 1893 dan merupakan kelanjutan dari Besluit tanggal 2 Juni 1859 No. 29, Juru Tulis yang menangani masalah administrasi prostitusi di Semarang, mendapat tunjangan sebesar f. 360,-perbulan.

3 Juni 1893, No. 16). Hal membuktikan bahwa aktivitas prostitusi di Semarang semakin berkembang dengan maraknya, petugas administrasi yang menerima upah menunjukkan mengurusi masalah ini perlu penanganan khusus. Tunjangan (Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie,

(23)

yang diberikan merupakan dampak bahwa juru tulis tidak mengerjakan aktivitas lain untuk mencari uang, kecuali m e n gu r u s i m a s a l a h a d m i n i s t r a s i prostitusi. Administrasi yang dimaksud adalah mengenai; nama dan tempat tinggal, status mereka, pemeriksaan kesehatan, dan lain-lain.

Memasuki sekitar tahun 1900 pengadilan gabungan Belanda- Indonesia m e n gh uk um un t u k p e r t a m a k al i pelanggaran perzinahan dengan hukuman kerja keras selama enam hari sampai tiga bulan. Pemerintah lokal mengeluarkan aturan yang menentang perzinahan selanjutnya mengawasi agar aturan ini tidak dilanggar oleh pemuda-pemuda, duda atau janda, serta orang-orang yang bercerai. Dalam adat desa di Surabaya, yang dikumpulkan tahun 1910, ditemukan banyak aturan mengenai perilaku sebelum dan di luar nikah. Bagi orang yang belum menikah dan melakukan hubungan seksual dipaksa untuk menikah, pelaku perzinahan dituntut di depan pengadilan dan didenda oleh desa berdasarkan penghasilan mereka, dan laki-laki pemilik tanah yang mempunyai jatah dalam sawah desa akan kehilangan tanah miliknya kalau mereka tidur dengan wanita yang telah berkeluarga. Hal ini juga berlaku kalau ditemukan adanya pelacuran di lingkungan orang yang mempunyai jatah atas sawah desa itu. Kalau seorang wanita yang belum menikah hamil, ia harus membayar denda. Adat desa yang sama melarang wanita muda yang belum menikah untuk meninggalkan desa, dan pemuda lajang untuk meninggalkan rumah pada malam hari. (Boomgaard, 1989: 160-161). Uraian demikian memberikan gambaran bahwa sebenarnya

prostitusi dan perilaku seksual tanpa perkawinan pada kehidupan masyarakat sangat tidak diterima.

Sejak adanya perkembangan sosial-ekonomi berupa industrialisasi, perkebunan besar dan sistem monetisasi berdampak pada pola hidup serta tingkat konsumerisme yang tinggi dalam masyarakat Jawa. Implikasi lainnya karena perkembangan tersebut, aktivitas prostitusi juga semakin meningkat. Prostitusi di Surabaya berkembang pesat sejak pertengahan abad ke-19 seiring dengan perkembangan peran dan fungsi Surabaya sebagai kota pelabuhan, kota dagang, industri, pangkalan militer Belanda, dan jalur perlintasan kereta api di Jawa.

Kuasa negara yang dimotori pemerintah kolonial terlihat dalam ruang prostitusi bagi “wanita publik” di Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Berkembangnya aktivitas prostitusi di Surabaya juga didukung oleh peraturan baru pada tanggal 15 Juli 1852 oleh pemerintah Belanda. Peraturan tersebut mendukung komersialisasi seksualitas yang terorganisir dengan pengawasan pihak terkait pemerintah kolonial. Hal ini bertujuan untuk menekan laju penyebaran penyakit kelamin sebagai akibat maraknya praktek-praktek prostitusi liar yang tidak terkontrol. Selain itu, berdampak terhadap aparat kolonial sendiri karena korban yang paling banyak ditemui adalah tentara atau militernya. Jadi kebijakan bukan pada penyelamatan kemanusiaan semata, tapi lebih kepada kepentingan kolonialisme dengan hegemoni kekuasaan melalui militer dan pejabat kolonialnya.

(24)

Daftar Pustaka Abeyasekere, Susan,

(Singapore: Oxford University Press, 1987

15 Juli 1852, No. 1.

3 Juni 1893, No. 16.

Boomgaard, Peter,

(Amsterdam: Free University Press, 1989

Djoko Soekiman,

Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Djoko Utomo, dkk.,

Penerbitan Naskah Sumber Jakarta:ANRI, 2001.

Dukut Imam Widodo,

Surabaya: Dinas Pariwisata Kota Surabaya, 2002.

Hull, Terence H. dkk.,

Jaka rt a : Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, 1997.

Ingleson, John, “Prostitution in Colonial

Java”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs,

Vi ctoria: Centre of S o u t h e a s t St u d i e s M o n a s h University, 1986.

Jones, Gavin W., “Urbanization Trends in Southeast Asia: Some Issues for

Policy”, no. 1, March

1988. Lombard, Denys,

3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Suparman Marzuki, dkk (ed.),

Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1995.

Jakarta: A History

Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie,

Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie,

Children of the C oloni al State: Populat ion G r o w t h a n d E c o n o m i c Development in Java, 1795-1880

Kebudayaan Indis dan G a y a H i d u p M a s y a r a k a t P e n d u k u n g n y a d i J a w a .

Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial,

Soerabaia Tempo Doeloe Buku II,

Pelacuran di I n d o n e s i a : S e j a r a h d a n P er k emb anganny a.

Nineteenth and Twentieth Century Indonesia, Essays in Honour of Professor J.D. Legge.

JSEAS, XIX,

Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid

(25)

Pengantar

Dalam membicarakan sejarah kekuasaan di Indonesia, suka tidak suka kita akan banyak m embi carakan mengenai sejarah kekuasaan Jawa. Sejarah kekuasaan di Indonesia pada masa lampau seolah-olah didominasi oleh sejarah kekuasaan di Jawa. Sebagai akibatnya sejarah kekuasaan di Indonesia banyak diidentikkan dengan sejarah kekuasaan Jawa. Pandangan yang demikian, cukup beralasan mengingat beberapa hal: pertama, pada masa lampau khususnya pada kerajaan-kerajaan besar yang berkuasa di Indonesia kebanyakan juga berdiri dan berpusat di Jawa. Sebagai contoh pada masa Indonesia dikuasai oleh pengaruh budaya dari India kerajaan yang besar juga berada di Jawa yakni Kerajaan Majapahit. Kondisi serupa juga terjadi pada masa Islam, kerajaan yang besar dan berkuasa juga berdiri di Jawa yakni Kerajaan Mataram Islam. Bahkan kerajaan besar yang berkuasa terakhir juga berada di Jawa, yakni Kerajaan

Mataram Islam. Sebagai kerajaan yang berkuasa terakhir tentu saja pengaruhnya akan lebih terasa dan membekas dibandingkan kerajaan-kerajaan yang sebelumnya. Kedua, pada masa Indonesia merdeka pun pusat pemerintahan juga berada di Jawa, dengan demikian semakin pentinglah wilayah ini bagi sejarah kekuasaan di Indonesia. Ketiga, para penguasa yang memimpin negara Indonesia selama ini juga hampir sebagaian besar berasal dari Jawa, yang kebetulan juga sangat akrab terhadap pemikiran gaya Jawa, bahkan pemimpin atau penguasa yang berasal dari luar Jawa, ketika berkuasa di Indonesia, dia juga berusaha untuk mempraktekkan budaya Jawa, ketimbang mempraktekkan budaya dari daerah asalnya.

Dari Alasan-alasan di atas, tidaklah mengherankan jika meskipun Indonesia sudah merdeka, gaya-gaya kekuasaan yang dipraktekkan masih lekat dan diwarnai oleh gaya Jawa. Mengenai hal ini Fachri Ali (1986), dalam salah satu Abstract

Key words: myth, legitimasi power, Indonesia history

This article study to hit the myth exploiting to give the legitimasi to power. From inferential study result that: (1) myth have been exploited by as legitimasi power since empire epoch till New Order epoch. (2) Besides used to give the legitimasi to new power obtained by power, myth also used to do hegemony.

1)

(26)

bukunya yang berjudul: Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, secara cemerlang membahas mengenai penerapan paham kekuasaan Jawa dalam penyelenggaraan kekuasaan negara pada masa Indonesia merdeka.

Para ahli kebudayaan Jawa, hampir semua sepakat bahwa kebudayaan Jawa sangat kental dengan unsur mitos. Keberadaan mitos dalam masyarakat Jawa tidak sekedar digunakan sebagai cerita untuk meninabobokkan belaka, tetapi juga dimanfaatkan oleh punguasa untuk memberikan legitimasi terhadap kekuasaan yang dipegangnya. Mitos ini selanjutnya akan digunakan oleh p e n g u a s a u n t u k m e n g h e g e m o n i rakyatnya. Menurut Eric Hobsbawn (dalam Purwanto, 2006: 163), untuk mendapatkan legitimasi terhadap k e k u a s a a n n y a n e g a r a b i a s a n y a melakukan ideologisasi dan mitologisasi historis melalui kreativitas penulisan sejarah.

Sementara itu menurut Narwaya, 2010:62), mitos dipahami sebagai ”ceritera yang dianggap benar” tetapi tidak diakui sebagai benar”. Mitos pada awa l nya bis a diga mba rkan pada pemaparan kisah dan kejadian dramatis t e n t a n g k e k u a t a n k e k u a t a n a d i -m a n u s i a w i y a n g b e k e r j a d a l a -m pembentukan alam semesta. Mitos juga bisa berbentuk bangunan metafora untuk mendiskripsikan sesuatu yang dianggap benar meskipun masih bisa diperdebatkan kebenarannya.

M i t os t er se bu t se l a nj ut n ya disebarluaskan ke masyarakat dalam berbagai kesempatan, baik melalui komunikasi-komunikasi sosial sehari-hari maupun melalui dunia pendidikan.

Dengan cara yang demikian akhirnya masyarakat secara sadar maupun tidak sadar menerimanya sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian apa yang dikatakan Gramsci (2001) dengan h e ge m on i , t e l a h t e rj a di m e l a l u i penyebaran mitos ini. Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil m e m p e n g a r u h i k e l o m p o k y a n g didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan melalui penciptaan dan penyebaran mitos tersebut.

Pemanfaatan mitos sebagai alat legitimasi kekuasaan dapat dianalisis dari k e r a n g k a t e o r i h e g e m o n i y a n g dikembangkan oleh Gramsci (2001). Menurut teori ini, negara dan masyarakat selalu berintegrasi. Negara mengeluarkan k e b i j a k a n d a n p e r a t u r a n u n t u k dilaksanakan oleh masyarakat. Agar peraturan ini dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, negara menggunakan dua cara, yaitu pertama, dengan dominasi atau paksaan (koersif), dan kedua, melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Kepemimpinan moral dan intelektual inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai pokok dari Teori Hegemoni. Dengan demikian pemanfaatan mitos selain sebagai alat legitimasi kekuasaan juga digunakan untuk melakukan hegemoni oleh penguasa. Hal ini dikarenakan dalam menggunakan mitos sebagai alat legitimasi tidak dilakukan dengan tindakan paksaan, tetapi lebih ke arah kesepahaman atau konsensus.

(27)

of position” (perang posisi) dan “war of movem ent ” (perang pergerakan). Penciptaan mitos untuk legitimasi kekuasaan dengan demikian sejalan dengan cara “war of position” (perang posisi) karena dilakukan dengan cara untuk memperoleh dukungan melalui sosialisasi kepada rakyat. Sementara itu untuk mengobarkan perang posisi menurut Gramsci diperlukan adanya kaum “intelektual organik”. Dalam kajian ini kaum intelektual organik yang d i m a k su d a da l a h p a r a pu j a n g ga penyusun mitos maupun para sejarawan yang menjadi pendukung penguasa.

Dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, raja maupun penguasa seringkali disamakan dengan negara. Oleh karena itu dalam konteks peranan mitos dalam melegitimasi terhadap p e n g u a s a d a p a t j u g a d i a n a l i s i s menggunakan kerangka pikir yang dikembangkan oleh Louis Althusser (2004), tentang ”Aparatus Represif Negara” (Represif State Apparatus) dan ”Aparatus Ideologi Negara” (Ideologis State Apparatus). Dalam kerangka ini pemanfaatan mitos untuk memberikan legitimasi terhadap penguasa dapat dijelaskan dengan kerangka pikir Ideologi State Apparatus (aparatus ideologi negara) karena dilakukan oleh penguasa dengan memanfaatkan ideologi maupun kebudayaan. Dalam perannya sebagai aparatus negara ideologi secara prinsip negara membangun dukungan-dukungan dan persetujuan-persetujuan yang berjalan tidak langsung. Mengingat karena lebih bersifat tidak langsung dan bekerja pada ranah pengetahuan masyarakat, maka penyebarannya juga sangat ditentukan oleh relasi kondisi

seting sosial historis dan politik masyarakat.

Keberadaan mitos dalam suatu masyarakat seringkali mempunyai jalinan yang saling terkait dengan praktik-praktik kekuasaan yang ada. Mitos dapat digunakan sebagai sarana pendukung ataupun sarana untuk melegitimasi kekuasaan (Trikromo, 2000:4-5)

U n t u k m e n g e s a h k a n kedudukannya penguasa memerlukan adanya legitimasi. Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik tersebut secara keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang lain. Jadi, legitimasi dalam arti luas berarti dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan masyarakat t e r h a d a p p e m e r i n t a h y a n g berwenang.(Surbakti, 1992:93)

(28)

babad atau buku sejarah.

Untuk mensosialisasikan kepada r a kya t , m a ka c a ra - c a ra t e r se bu t diwujudkan dalam bentuk atau model t i n d a k a n y a n g s e c a r a i d e o l o g i s tergambarkan dalam mitos. Model t i n d a k a n y a n g s e c a r a i d e o l o g i s tergambarkan dalam mitos ini akan membangun tatanan yang memberikan pedoman tentang bagaimana relasi kekuasaan harus dijalankan, tentang bagaimana menyeimbangkan kosmos, dan tentang bagaimana seorang manusia s e h a r us ny a be r h ub un ga n d en g a n lingkungannya. Kekuasaan Jawa dalam pandangan orang Jawa mempunyai hubungan relatif erat dengan dunia mitis. Penguasa kraton yang ada di wilayah tersebut, yakni Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta sampai sekarang ini secara periodik masíh menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyeimbangkan kosmos dengan cara menyimpan benda-benda keramat yang digunakan sebagai simbol kekuasaan.(Twikromo, 2000: 5)

Orang Jawa juga percaya bahwa kekuasaan yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Yang Ilahi, sehingga apabila ada penguasa yang bertindak sewenang-wenang, maka sebagai pertanda wahyu kekuasaan yang ada dalam dirinya tidak akan tinggal lama dan penguasa tersebut lama-kelamaan akan hancur dengan sendirinya.

Turunnya wahyu dalam diri atau nenek moyang calon penguasa-menurut pandangan orang Jawa seringkali dijadikan pertanda bagi seorang individu yang akan memegang kekuasaan. Kehadiran wahyu ini pun seringkali harus dipelihara, sehingga orang Jawa

menganggap bahwa penguasa juga harus menjalankan beberapa macam laku prihatin supaya wahyu kekuasaan yang ada dalam dirinya dapat langgeng.

P e n c i p t a a n m i t o s u n t u k m e m b e r i k a n l e g i t i m a s i t e r h a d a p penguasa yang baru saja memperoleh kekuasaan bukanlah barang baru dilakukan di Indonesia (khususnya di Jawa). Mitos-mitos yang berfungsi demikian, banyak ditulis baik dalam hi s t ori o gra fi t ra di si ona l m aupun historiografi kolonial. Pada Kerajaan Mataram, tata kelembagaannya disahkan oleh sebuah alam semesta simbolik, sebagaimana dirumuskan oleh pujangga (penulis sejarah istana), dalam apa yang dinamakan mitos Senopati. Asal-usul Mataram harus disusun dan artinya ditafsirkan dengan menggunakan mitos sebagai bentuk pengesahannya.

(29)

mendapat pilung bearti orang itu mendapat kedudukan.

Dalam Babad Tanah Jawi tertulis bahwa Panembahan Senopati-seorang pendiri Keraton Mataram II-pada masa mudanya tekun melakukan puasa, semadi, dan beberapa laku prihatin lainnya. Mereka telah bertapa dibeberapa tempat yang dianggap wingit dalam konsepsi o r a n g J a w a , s e p e r t i m i s a l n y a Parangkusumo, nDlepih (Wonogiri), dan tempat-tempat lainnya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendiri Kerajaan Mataram tersebut juga dilakukan oleh raja-raja keturunannya, antara lain Sultan Agung.

B a b a d T a n a h J a w i menggambarkan proses turunnya wahyu kekuasaan dalam diri Panembahan Senopati pada waktu bertapa di Lipura, sebagai berikut:

Untuk memperkuat legitimasi di atas, Babat Tanah Jawi juga melukiskan tentang kisah cinta antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian membuahkan kesepakatn saling bantu-membantu antara kedua kerajaan tersebut:

Tiba-tiba ada bintang jatuh dari

langit, bersinar-sianar sebesar kelapa yang masih betabon (berserabut), terletak di dekat kepala Senopati. Ki Juru sangat terperanjat, dan membangunkan putranda. “Tole bangunlah segera. Yang bersinar di dekat kepalamu seperti bulan itu apa?” Senopati terperanjat, segera bangun. Melihat dan bertanya, “Kamu itu siapa, bersinar di atas tempatkan tidur. Selamanya aku belum pernah melihatnya.” Bintang menjawab seperti manusia, ”Ketahuilah, Aku ini bintang, m e m b e r i k a b a r k e p a d a m u , maksudmu bersemadi dengan khusuk, meminta kepada Yang Mahakuasa, sekarang sudah diterima oleh Tuhan. Yang kamu minta diijinkan, kamu akan menjadi raja, menguasai tanah Jawa, turun sampai pada anak cucumu, akan menjadi raja di

M a t a r a m t i d a k a d a bandingannya; sangat ditakuti oleh lawan, kaya dengan emas dan permata. Kelak buyutmu yang akan menjadi raja terakhir di Mataram. Negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Pada setiap malam terlihat bintang kemukus. Gunung meletus. Hujan abu atau lumpur. Itu pertanda negara akan rusak. ”Bintang tadi setelah berbicara demikian, lalu menghilang. Senopati berkata dalam hati, ”Sekarang permohonanku kepada Tuhan telah terkabul, niatku menjadi raja menggantikan rama Sultan, turun sampai anak cucuku, sebagai pelita di Tanah Jawa, orang Jawa semua tunduk.” ( Dikutip dari Twikromo, 2000:28-29).

Gambar

A Sudden move of a an indigenousFigure 1cross the road. The policemanhimselfwas too busy managing the flow of
Figure 3The busy junction of Aloon-aloon
Figure 4Member Card of Java Motor Club in 1914
Figure 5Schema of the growth work field of
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kebaruan hasil penelitian ini adalah dihasilkannya modul pelatihan penggunaan Teknologi Informasi pemasaran produk yang sesuai dengan karakteristik para UMKM Kulit

Hal ini disebabkan karena pengapian semi elektronik double trigger memiliki loncatan bunga api 2 kali percikan dan lebih besar pada setiap putaran mesin sehingga

Dismutase (SOD), TNF-alfa, dan IL-1 beta pada Sputum dan Serum Iin Noor Chozin, dr, SpP DPP 18 Hubungan Antara Kadar Vitamin D Dengan Ekspresi Cytokin Sel Th 17 Pada.. Pasien

Dengan demikian, cerita II Samuel 5:1-5 yang mengatakan bahwa ada semacam perjanjian atau kesepakatan antara Daud dan suku-suku di Israel- yang ditulis oleh

b) mempertahankan keanekaragaman hayati, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya meliputi hutan lindung dan kawasan

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

Penelitian ini mengungkap sejumlah penemuan dan terobosan yang dilakukan oleh Mursi seperti; pembukaan pintu perbatasan di Gaza bagi warga Palestina yang ingin memasuki Mesir,