• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN BUKU KEJAGUNG 18.08.2017. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGAWASAN BUKU KEJAGUNG 18.08.2017. pdf"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DUNIA perbukuan Indonesia memasuk babak baru dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan sebagai inisiatif dari DPR. Sistem perbukuan didefinisikan sebagai tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungiawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku. Adanya poin pengawasan buku tidak terlepas dari dinamika dalam perumusan RUU terkait terbitnya buku-buku berkonten tidak patut yang meresahkan masyarakat, bahkan membahayakan negara.

Sebelumnya, Indonesia pernah memiliki UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sebagai dasar dilakukannya pengawasan buku oleh Kejaksaan Agung. Namun, pada 13 Oktober 2010, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010 telah membatalkan UU tersebut karena dianggap melanggar kebebasan berkspresi serta bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun demikian, MK tidak mengabulkan pernyataan inskonstitusional terhadap Pasal 30 ayat (3) terhadap UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Frasa “pengawasan” dalam Pasal 30 ayat (3), menurut

majelis, tidak boleh dimaknai sebagai “pengamanan” atau “pelarangan” sebagaimana tertera dalam

Pasal 1 ayat (1) UU No 4/PNPS/1963. Pengawasan dapat merupakan penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan dan penyidangan yang kesemuanya dalam konteks due process of law.

(3)

BAB XI PENGAWASAN Pasal 69

1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku perbukuan, dan masyarakat melakukan pengawasan atas Sistem Perbukuan.

2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjamin agar Sistem Perbukuan terselenggara dengan baik.

3) Kejaksaan Republik Indonesia turut melakukan pengawasan terhadap substansi Buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum.

4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi dan berkreasi.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Di dalam penjelasan Pasal 69 tersebut diterangkan bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dimaksudkan sebagai pencegahan terjadinya tindak pidana dalam rangka mendukung penegakan hukum, baik preventif maupun edukatif di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan sehingga tercipta ketertiban dan ketenteraman umum. Dengan demikian, keterlibatan Kejaksaan RI menjadi penting dalam penerbitan dan peredaran buku-buku di Indonesia, baik buku terbitan lokal maupun terbitan internasional.

Makalah ini menjadi pengantar pembahasan lebih lanjut tentang pengawasan terhadap buku-buku yang dilakukan oleh Kejaksaan RI bersama-sama dengan unsur pemerintah lainnya dan masyarakat. Penulis mengistilahkan buku-buku berbahaya dengan frasa ‘buku berkonten tidak

patut’ yang dampaknya membahayakan baik bagi masyarakat maupun bagi negara. Untuk itu, perlu

didalami berbagai latar belakang munculnya buku-buku berkonten tidak patut tersebut.

Munculnya penolakan masyarakat terhadap buku anak yang memuat konten tidak patut pada akhir Februari 2017 lalu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, seperti KPAI, Kemenko PMK, Kemendikbud, dan juga Kemenkominfo. Kasus buku berkonten tidak patut ternyata telah terjadi berkali-kali dalam satu dekade terakhir ini yang menunjukkan adanya kecenderungan pelanggaran dan pengabaian terhadap norma yang dilakukan oleh para pelaku perbukuan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Di sisi lain, lemahnya pengawasan juga menjadikan aktivitas penerbitan buku pada beberapa kasus menunjukkan tidak terkontrol dengan baik.

(4)

Asas kepatutan sebuah konten buku termasuk dalam ranah penilaian editing terhadap naskah buku, di samping asas lainnya, yaitu 1) keterbacaan; 2) ketaatasasan; 3) kebahasaan; 4) kejelahan gaya bahasa (penyajian); 5) ketelitian data dan fakta; dan 6) kelegalan (legalitas). Segi kepatutan jika dilanggar oleh pencipta ataupun pengembang konten (substansi) maka dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi para pembaca, termasuk konsekuensi hukum bagi para pelakunya.

Ketidakpatutan sebuah buku dapat dinilai dari muatannya (konten) yang ditujukan untuk pembaca sasaran tertentu. Selain itu, ketidakpatutan juga dapat dinilai dari penggunaannya. Dalam konteks makalah ini yang akan disoroti adalah asas kepatutan buku dari sisi kontennya.

Kategori konten tidak patut yang harus dihindarkan dalam sebuah naskah buku, yaitu

1. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap agama, kitab suci, atau tokoh suci dalam agama; 2. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap suku, ras, atau golongan tertentu (SARA); 3. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap simbol-simbol negara;

4. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap profesi tertentu;

5. penyajian pornografi dan sejenisnya, termasuk penyimpangan seksual; 6. penyajian ekstremisme, sadisme, dan radikalisme;

7. penyajian bias gender;

8. penyajian dan penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, dan ujaran kebencian;

9. penyajian dan penyebaran propaganda/ideologi/paham berbahaya bukan dalam konteks kajian akademis;

10. penyajian dan penyebaran sejarah yang tidak benar (penyesatan sejarah);

11. penyajian dan penyebaran rahasia negara atau hal yang membahayakan pertahanan dan keamanan;

12. pelanggaran hak kekayaan intelektual dan hak cipta.

Beberapa kasus buku berkonten tidak patut yang pernah terjadi di Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut.

Kasus Buku Penerbit Tindakan

Adik Baru: Cara Menjelaskan Seks kepada Anak

Midas Surya Grafindo Buku hasil terjemahan ini dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung dengan keputusan Nomor 012/J.A./2/1989 atas protes masyarakat karena dianggap mengandung pornografi meskipun buku ini ditujukan sebagai panduan orangtua untuk pendidikan seks. 5 Kota Paling Berpengaruh Gramedia Pustaka

Utama

(5)

dengan protes kaum Muslim terhadap konten yang berisikan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw.

Why: Puberty Pubertas Elexmedia Ditarik dari peredaran oleh penerbitnya atas desakan masyarakat karena mengandung konten tidak patut yaitu tentang lesbian, gay, biseksual, dan trasgender (LGBT). Terjadi tahun 2014

.

Saatnya Aku Belajar Pacaran Brilian Internasional Buku yang diperuntukkan bagi remaja dengan kategori psikologi remaja ini memancing reaksi masyarakat karena mengandung konten yang menganjurkan seks bebas. Penulis dan penerbitnya dilaporkan ke polisi. Penulisnya meminta maaf melalui Facebook dan berjanji menarik bukunya

.

Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta untuk Kelas 2 SD

Yudhistira Buku ditarik oleh penerbitnya dari peredaran karena memuat cerita rakyat “Bang Maman dari Kalipasir” yang berisikan istilah dan peristiwa tidak patut dalam buku teks siswa SD.

Jokowi Undercover: Melacak Jejak Sang Pemalsu Jatidiri

Diterbitkan sendiri Penulisnya, Bambang Tri Mulyono, diamankan oleh Bareskrim Polri. Buku ini berisikan data dan fakta

yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta menjurus pada penghinaan simbol negara dan ujaran kebencian.

Aku Bisa Tidur Sendiri: Aku Belajar Mengendalikan Diri

Tiga Ananda (Tiga Serangkai)

(6)

seks setelah mendapat gelombang protes dari masyarakat, KPAI, Kemenko PMK, dan Kemendikbud.

Munculnya fenomena buku-buku berkonten tidak patut umumnya terjadi karena laporan pengguna/pembaca dan masyarakat. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa rendahnya sensitivitas para penulis, editor, dan penerbit sehingga menyebabkan terbitnya buku-buku yang berpotensi menimbulkan masalah pada pembaca. Terbitnya buku berkonten tidak patut ini bukan hanya terjadi pada buku yang diterbitkan oleh swasta, melainkan juga terjadi pada buku yang diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud.

Masalah buku berkonten tidak patut yang dikhawatirkan terjadi pada pembaca, terutama pembaca usia anak-anak dan remaja, di antaranya

1. terjadi penyesatan pemikiran, pemahaman, ataupun keyakinan;

2. terjadi penghasutan, ajakan, atau dorongan untuk melakukan hal-hal tidak patut atau melanggar hukum;

3. terjadi penyerapan informasi yang tidak benar sehingga memengaruhi pola pikir dan mental; 4. terjadi penyusupan kosakata, peristiwa, dan pemikiran tidak senonoh;

5. terjadi pergeseran terhadap nilai-nilai yang telah dipegang teguh oleh masyarakat.

Dengan demikian, penyebaran buku-buku berkonten tidak patut akan berdampak pada tumbuh kembang mental dan spiritual, terutama bagi generasi muda. Karena itu, tersebarnya konten-konten tidak patut melalui buku harus dicegah dalam bentuk pengawasan. Selain itu, penyebaran buku berkonten tidak patut semestinya berkonsekuensi pada hukum yang berlaku sehingga para pelakunya dapat diberikan sanksi, baik sanksi administratif, perdata, maupun pidana untuk menimbulkan efek jera.

Beredarnya banyak buku berkonten tidak patut dalam hipotesis penulis adalah disebabkan beberapa hal berikut ini:

1. belum adanya aturan tentang pendirian penerbit sehingga setiap orang dapat menerbitkan buku secara bebas, baik dalam bentuk usaha maupun secara perseorangan (self-publisher);

2. belum adanya sertifikasi dan akreditasi di dunia penerbitan sehingga penerbit banyak yang terbentuk dengan mengabaikan pemenuhan personel penerbitan yang terstandardisasi;

3. belum adanya organisasi profesi untuk semua pelaku perbukuan sehingga tidak ada penerapan terhadap kode etik profesi;

4. belum diketahui/dipahaminya standar prosedur operasional sebuah penerbitan buku yang melibatkan beberapa pelaku perbukuan;

(7)

7. belum adanya kesadaran pelaku perbukuan bahwa buku adalah produk budaya yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir, mental, dan spiritual generasi muda.

Asumsi yang mengatakan bahwa para penulis dan penerbit adalah “orang-orang

cerdas/pintar” juga tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya banyak orang yang menjadi penulis atau penerbit karena faktor bisnis semata, faktor keterpaksaan, faktor kenekatan, dan faktor-faktor lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, terutama dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, organisasi bagi para pelaku perbukuan juga dapat dikatakan minim. Dari kalangan penerbit kini terdapat Ikapi dan APPTI (yang menaungi penerbit perguruan tinggi), tetapi tidak semua penerbit menggabungkan diri kepada Ikapi atau APTTI, bahkan banyak penerbit merupakan penerbit mandiri (self-publisher) yang dijalankan perseorangan.

Gejala vanity publisher (penerbit bersubsidi) juga berkembang di Indonesia yaitu penerbit yang menyediakan jasa penerbitan (editing, desain, ISBN) kepada para penulis yang membutuhkannya. Penerbit semacam ini umumnya juga menarik keuntungan dari pencetakan buku dengan tidak benar-benar memperhatikan segi editorial. Penerbit Brilian Internasional yang menerbitkan buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge adalah contoh vanity publisher. Penerbit seperti ini terkadang tidak jelas badan hukumnya, kantornya, dan juga personelnya.

Sebagai dasar atau landasan hukum Satuan Kerja Pencegahan Buku Berkonten Tidak Patut, yaitu

1. KUHP;

2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 3. UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;

4. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 5. UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; 6. UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;

7. UU Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;

8. UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

9.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial; dan

10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan pada Satuan Pendidikan.

(8)

adapun sanksi pidana telah diakomodasi di dalam UU lain. Pada tanggal 8 Oktober 2015, Kapolri juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) dengan nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech).

Sebuah contoh pelarangan penyebaran konten tidak patut dapat diambil dari UU No. 8/2014 tentang Hak Cipta.

Setiap orang dilarang melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Ciptaan yang bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan negara.

Dengan demikian, konten tidak patut di dalam buku yang dapat memberi dampak berbahaya dan berkonsekuensi hukum dapat dirumuskan dalam bagan berikut ini.

FAKTOR kesengajaan dan ketidaksengajaan terhadap terbitnya buku berkonten tidak patut sulit untuk diidentifikasi karena harus dilakukan investigasi terhadap proses penerbitan buku secara

(9)

menyeluruh. Faktor kesengajaan tentunya faktor yang sangat diwaspadai karena kesengajaan berkolerasi dengan tindakan merusak. Kategori kesengajaan dapat diklasifikasi sebagai berikut:

1. keisengan dengan maksud bercanda;

2. sabotase dengan maksud merugikan penulis/penerbit;

3. merusak pemikiran pembaca dengan latar belakang maksud tertentu, seperti bisnis, politis, dan ideologis atau bagian dari agenda perang asimetris.

Adapun faktor ketidaksengajaan biasanya terkait dengan

1. keteledoran karena kelemahan manajemen editorial, termasuk menentukan jenis buku dan pembaca sasaran buku;

2. ketidaktahuan penulis/editor (penerbit) terhadap dampak konten buku tidak patut; 3. ketidakkompetenan penulis/editor (penerbit) untuk menerbitkan buku yang layak baca; 4. ketiadaan komunikasi yang optimal antara penulis dan penerbit.

RENDAHNYA kompetensi seorang penulis dapat menjadi jalan terbitnya buku-buku berkonten tidak patut. Banyak penulis dengan keterbatasan wawasan pengetahuannya tidak memiliki kendali diri terhadap masuknya konten-konten tidak patut ke dalam tulisannya atau juga dapat dikatakan secara nekat menulis sesuatu yang tidak dikuasainya dengan baik. Sang penulis menyangka bahwa konten atau substansi naskahnya masih pada taraf kewajaran, termasuk ketika dia mengutip suatu sumber untuk naskahnya.

Di Indonesia memang belum ada sebuah standar yang dapat menjadi indikator kelayakan atau kepatutan seseorang menulis buku, apalagi menulis untuk pembaca sasaran anak-anak. Para penerbit juga sering merekrut penulis atau menugaskan suatu proyek penulisan hanya dengan melihat portofolio karya penulis tanpa mempertimbangkan kompetensi penulis.

Karena itu, adanya SKKNI bidang penerbitan, khususnya penulisan, sudah sangat mendesak untuk diadakan. SKKNI akan melahirkan program sertifikasi penulis. Selain itu, pelatihan-pelatihan untuk penulis bersertifikat juga perlu digalakkan, baik oleh asosiasi penerbit maupun asosiasi penulis dengan dukungan pemerintah tentunya. Pelatihan-pelatihan sebaiknya berfokus pada penguatan kompetensi penulis di bidang penyuntingan (editing) untuk membangun “alarm

(10)

SETALI tiga uang dengan kondisi para penulis, kondisi editor-editor di penerbit juga lemah karena sebagian besar editor adalah autodidak dan belum pernah mendapatkan pendidikan editing, termasuk secara nonformal. Para editor yang ada banyak hanya mengandalkan kemampuannya mengedit materi sesuai dengan bidang ilmunya, terutama editor buku teks. Adapun terkait unsur kepatutan, mereka sering luput melakukan pengeditan.

Dalam ilmu editing dikenal 7 fokus pengeditan, yaitu 1. keterbacaan;

2. ketaatasasan; 3. kebahasaan;

4. kejelahan gaya bahasa; 5. kelegalan dan kepatutan; 6. ketelitian data dan fakta; 7. ketepatan rincian produksi.

Poin nomor 5 adalah poin yang tidak boleh luput karena menyangkut keamanan bagi penulis dan penerbit serta masyarakat pembaca. Dalam beberapa kasus, penarikan buku yang bermasalah atau berkonten tidak patut sering sulit dilakukan jika sudah tersebar pada masyarakat pembaca. Jadi, penyesalan yang sering terjadi setelah buku beredar memang tiada guna karena daya buku sangat tinggi memengaruhi pembacanya, apalagi yang masih anak-anak.

Pada sisi penerbit sendiri, idealnya editing naskah dilakukan berlapis minimal sebanyak tiga kali sebelum editor kepala (chief editor) mengeluarkan keputusan naik cetak dan buku sudah dapat dipublikasikan. Dalam terminologi ilmu editing dikenal istilah comprehensive editing ‘editing

menyeluruh’. Editing menyeluruh dilakukan oleh seorang editor pengelola (managing editor) atau editor kepala dengan mencermati seluruh aspek editorial mulai awal hingga akhir. Dalam melakukan editing menyeluruh, seorang editor kepala dapat mengeluarkan keputusan “radikal” seperti menghentikan pencetakan buku atau mencegah buku beredar. Salah satu pertimbangan comprehensive editing adalah asas kepatutan.

(11)

Sangkuriang tidaklah patut menjadi cerita anak-anak karena ada peristiwa Sangkuriang hendak menikahi ibu kandungnya. Contoh lain adalah dongeng Jaka Tarub dan 7 Bidadari yang juga mengandung konten dewasa.

Di negara seperti Eropa, cerita rakyat yang juga bukan dimaksudkan sebagai cerita anak didekonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang layak dikonsumsi oleh anak-anak. Jadi, salah satu yang patut dicermati pada buku-buku yang tersebar adalah penyajian konten dongeng atau cerita rakyat pada buku-buku anak di Indonesia dengan embel-embel diceritakan kembali— apakah penceritaan kembali ini dengan dekonstruksi (modifikasi) atau apa adanya?

Buku lain yang sering tersisipi konten tidak patut adalah buku-buku sejarah, baik itu penyajian data dan fakta yang dibelokkan atau penyajian versi sejarah yang tidak standar sehingga memengaruhi pemahaman pembacanya, terutama anak-anak terhadap kebenaran sejarah. Penyesatan sejarah ini dapat dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Dalam menimbang kelayakan sebuah buku memang ada jenis-jenis buku tertentu yang harus diberi perhatian lebih oleh penulis atau editor penerbit terkait potensi termuatnya konten tidak

patut. Jenis-jenis buku itu di antaranya 1. buku dongeng/cerita rakyat; 2. buku sastra atau fiksi; 3. buku teks/nonteks sejarah;

4. buku biografi/autobiografi/memoar; 5. buku teks/nonteks religi (agama); 6. buku teks/nonteks PPKn;

7. buku teks/nonteks pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (termasuk psikologi); 8. buku nonteks pendidikan seks (pubertas, kesehatan reproduksi);

9. buku ideologi dan politik; 10. buku gaya hidup modern; 11. komik anak dan remaja; dan

(12)

Terkait dengan PENCEGAHAN BUKU BERKONTEN TIDAK PATUT dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini sebagai sebuah sistem.

Peraturan adalah perangkat hukum yang digunakan untuk mencegah munculnya buku-buku

berkonten tidak patut. Dalam hal ini, beberapa UU, PP, ataupun Permen dapat menjadi dasar hukum. Terkait dengan hal tersebut RPP dari UU No. 3 Tahun 2017 dapat dirumuskan secara detail untuk membangun sistem pengawasan terhadap buku-buku berkonten tidak patut.

Pembinaan adalah aktivitas yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan para pelaku

perbukuan yang dapat diinisiasi oleh asosiasi profesi ataupun bekerja sama dengan pemerintah. Pembinaan bertujuan meningkatkan kompetensi, kapasitas, dan profesionalitas pelaku perbukuan dalam menangani naskah, termasuk kesadaran buku sebagai produk budaya yang harus terjaga dari konten-konten tidak patut. Dalam kategori pembinaan juga termasuk sosialisasi kepada para penerbit terkait imbauan untuk memperkuat manajemen editorial dan konsekuensi hukum apabila hal-hal sensitif terkait konten diabaikan.

Penilaian dan Pengesahan adalah aktivitas yang sudah berjalan selama ini di Kemendikbud

untuk mendorong penerbit menilaikan buku teks/nonteks sehingga mendapatkan rekomendasi layak pakai dari pemerintah. Program ini semestinya dapat lebih digiatkan dengan penyelengaraan penilaian secara triwulan atau caturwulan sehingga buku yang dinilai dan disahkan penggunaannya meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Walaupun demikian, faktor paling penting adalah menyiapkan tim penilai yang berkompeten, terutama dalam substantive editing (penilaian substantif).

Pencegahan

Buku Berkonten

Tidak Patut

Peraturan

Pembinaan

Penilaian &

Pengesahan

Pelaporan

(13)

Terkait penilaian dan pengesahan, Kemendikbud juga dapat menetapkan adanya buku-buku berkonten tertentu yang wajib dinilaikan dan disahkan penggunaannya oleh pemerintah meskipun masuk kategori buku umum. Jika ke depan akan diadakan oleh suatu lembaga perbukuan, ketentuan ini sangat relevan. Contoh konten buku yang wajib dinilai dan disahkan adalah pendidikan seks untuk anak-remaja dan cerita rakyat.

Pelaporan adalah memberi akses kepada masyarakat pembaca untuk melaporkan buku berkonten tidak patut yang beredar di masyarakat. Bagaimanapun fungsi pengawasan lebih efektif jika melibatkan masyarakat luas. Pembukaan akses pelaporan dapat dilakukan dengan pengadaan hotline ataupun fitur pelaporan pada situs internet atau aplikasi yang dikembangkan. Dengan adanya

akses pelaporan yang terbuka maka akan membuat pelaku perbukuan semakin berhati-hati untuk memublikasikan buku-bukunya.

Sertifikasi dan Akreditasi adalah upaya paling relevan yang dapat dilakukan terkait penilaian terhadap kompetensi penulis dan editor. Dengan demikian, penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia bidang penerbitan sudah mendesak untuk dilakukan, khususnya bagi penulis buku anak, penulis buku teks, editor buku anak, dan editor buku teks. SKKNI menjadi dasar diadakannya program sertifikasi. Kemendikbud bersama-sama dengan kementerian lain seperti Kemenkominfo atau Bekraf dapat menginisiasi pembahasan SKKNI ini (prakonvesi dan konvensi) untuk menyegerakan sertifikasi para pelaku perbukuan. Lebih jauh Kemendikbud juga dapat mengembangkan program akreditasi penerbit buku pendidikan dengan kriteria tertentu seperti yang dilakukan LIPI melalui program akreditasi penerbit buku ilmiah. Sertifikasi dan akreditasi dapat menjadi filter agar tidak semua orang dapat mengaku sebagai penulis, editor, dan penerbit buku pendidikan.

SUNGGUH diperlukan keseriusan untuk membangun sistem pengawasan terhadap buku-buku berkonten tidak patut mengingat penerbitan buku adalah aktivitas bebas bagi semua orang di Indonesia yang menjadi bagian dari industri kreatif. Sering kali kata ‘kreativitas’ menjadi dasar terbitnya sebuah buku berkonten tidak patut yang dimaknai sebagai sebuah terobosan pendidikan untuk masyarakat, terutama generasi muda serta kebebasan berekspresi. Namun, jika lebih dicermati, dasar kreativitas sering hanya menjadi tameng untuk berlindung dari keteledoran melakukan manajemen editorial yang standar di dalam penerbitan atau bahkan kesengajaan untuk merusakkan generasi muda.

(14)
(15)

Soal buku berkonten tidak patut telah menjadi kajian penulis dalam bentuk artikel di blog/situs. Berikut ini terlampir dua tulisan yang terbit berdekatan pada tahun 2013. Ini pandangan penulis pada empat tahun lalu.

Bambang Trim | Manistebu.com 12 Juli 2013

UNTUK kesekian kalinya dunia pendidikan kita didera buku bermasalah, terutama terkait muatan (konten) buku tersebut. Beberapa waktu lalu terjadi di Jawa Barat ketika sebuah buku berbahasa Sunda berjudul Ngeunah Keneh Inem dianggap mengandung konten pornografi dan tidak tepat pembaca sasaran. Sang penulis berkilah bahwa buku tersebut bukan ditujukan untuk siswa, melainkan untuk para guru. Alhasil, buku yang telah dinyatakan lolos sebagai buku muatan lokal yang layak digunakan oleh para siswa dengan SK Gubernur Jabar itu mencuatkan pertanyaan tentang mekanisme penilaian buku itu sendiri.

Selanjutnya, yang terbaru adalah kasus buku pelajaran berjudul Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia, untuk SD MI kelas 6 terbitan Graphia Buana. Nama penulis jelas tercantum, termasuk

nama editornya. Buku ini memuat sebuah cerpen yang mengandung konten dewasa pada halaman 57-60 dari cerita “Anak Gembala dan Induk Serigala”. Tampaknya kisah di dalamnya hasil copy paste dari cerpen dewasa karya orang lain yang tidak berhubungan dengan judul. Entah ini disengaja atau keteledoran semata.

Belajar dari banyak kasus serupa seperti kasus istilah “istri simpanan” dalam buku mulok

untuk DKI Jakarta yang termuat dalam cerita Bang Maman dari Kalipasir memang terdapat pengabaian faktor kesopanan atau asas kepatutan dalam penggarapan sebuah buku pendidikan (edukasi) untuk pembaca sasaran tertentu. Pelanggaran ini dapat terjadi karena keteledoran beberapa pihak yang terlibat dalam sebuah proses penerbitan buku: penulis, editor, penataletak/desainer, dan juga termasuk penilai buku. Pelanggaran utama adalah pengabaian terhadap ketepatan sebuah muatan/konten terhadap pembaca sasaran yang dituju.

(16)

Karena itu, mengapa dapat terjadi sebuah buku yang seharusnya ditujukan untuk pembaca dewasa malah dinilaikan untuk pembaca yang masuk dalam kategori anak-anak atau remaja? Di sisi lain mengapa masih ada penulis dan editor yang tidak peka terhadap muatan/konten sebuah buku sehingga mereka memilih materi-materi yang tidak tepat untuk pembaca sasaran tertentu? Lagi-lagi hal ini dapat dikaitkan dengan profesionalitas penanganan sebuah buku karena penerbitan buku termasuk industri kreatif yang melibatkan beberapa profesi dengan tugas yang saling mengait antara satu dan lainnya.

Sejak setahun lalu, rentetan kasus buku pendidikan yang bermasalah patut menjadi cerminan kita. Berikut ini beberapa kasus yang sempat mencuat dengan indikasi kesalahannya.

1. Kasus pemuatan kisah Bang Maman dari Kalipasir dalam buku pendidikan untuk SD adalah

ketidakcermatan pemilihan kata (diksi) “istri simpanan” serta pemuatan peristiwa hingga melanggar kesopanan norma dan ketidaktepatan disajikan kepada pembaca sasaran siswa SD. 2. Kasus pemuatan soal dengan kunci jawaban yang mengarahkan pada jawaban ideologi komunis

dalam buku LKS adalah ketidakcermatan menyajikan pilihan jawaban dan verifikasi silang kunci jawaban sehingga melanggar kepatutan yang membahayakan ideologi negara.

3. Kasus pemilihan gambar dengan menampilkan gambar artis porno asal Jepang meskipun dalam konteks berpakaian sopan dalam buku LKS bahasa Inggris adalah ketidakcermatan (kesengajaan) pemilihan gambar yang kerap dilakukan penulis, editor, atau layouter dengan mengambil sumber internet secara sembarangan sehingga kasus ini pun berkembang melanggar kesopanan hingga ditengarai mengandung unsur pornografi.

4. Kasus buku pengayaan fiksi bermuatan konten dewasa disebabkan salah peruntukan dalam proyek pengadaan buku dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk siswa SMP, padahal lebih tepat kepada siswa SMA.

5. Kasus buku pengayaan bermuatan religi Islam yang memuat ilustrasi Nabi Muhammad saw merupakan ketidakcermatan penanganan oleh editor maupun ilustrator terkait norma penyajian buku-buku bermuatan religi Islam yang melarang penggambaran sosok Nabi Muhammad saw. 6. Kasus buku belajar membaca untuk SD yang mengandung pilihan kata “waria” pada contoh

kata-kata yang dimulai dengan huruf /w/ adalah ketidakcermatan dalam pemilihan kata-kata (meskipun kata waria sendiri adalah akronim) yang dihubungkan dengan pembaca sasaran sehingga berkembang melanggar kesopanan dalam konteks kepatutan sesuai dengan norma di dalam masyarakat.

(17)

pencantuman kata ‘waria’ dalam buku belajar membaca ada indikasi faktor kesengajaan dari keisengan pihak-pihak yang terlibat dalam penggarapan buku. Namun, tentu ini kesengajaan yang tidak lucu dan fatal bagi sebuah eksistensi penerbit dan juga dunia pendidikan. Kita tentu masih ingat kasus buku rapor di Jawa Barat yang di dalamnya tercantum pilihan status “anak haram”; terindikasi keisengan dari layouter yang kemudian lupa menghapus dan akhirnya tercetak massal.

Hal yang perlu disoroti adalah pertanggungjawaban profesional dalam penggarapan sebuah buku karena penulis buku adalah sebuah profesi mulia, begitupun editor buku, layouter/desainer buku, ilustrator, dan penerbit. Kesemuanya berusaha untuk menyajikan bahan bacaan yang sehat sekaligus mencerdaskan untuk anak bangsa.

Tidak boleh ada materi buku yang error dari segi bahasa karena bahasa menunjukkan bangsa sehingga soal tata bahasa menjadi perhatian utama para editor. Sebuah buku pun tidak boleh mengandung kekeliruan dari sisi fakta dan data (Ingat, dulu ada kasus buku pelajaran yang menyatakan Gedung Sate berada di Kabupaten Bandung). Hal yang paling penting juga bahwa sebuah buku tidak boleh mengandung materi yang membahayakan dari sisi ideologi, budaya, religi, dan karakter mulia bangsa Indonesia, apalagi buku-buku itu berlabel buku pendidikan.

Lalu, bagaimana tanggung jawab profesional penggarapan buku itu dapat tercirikan? Berikut beberapa upaya kecil yang bermanfaat.

Dari sisi penulis adalah sebuah kelaziman dalam prakata buku disebutkan untuk siapa buku itu ditulis atau disusun. Gambaran pembaca sasaran yang tepat menunjukkan profesionalitas penulis terhadap bahan yang ditulisnya, apalagi dalam konteks pendidikan. Misalnya, untuk buku SD dari sisi usia dapat dibedakan siswa SD kelas rendah (7-9 tahun) dan siswa SD kelas tinggi (10-12 tahun), muatan yang disajikan untuk kedua segmen pembaca sasaran ini akan berbeda dari sisi kedalaman atau kompleksitas konten, bahasa dan pilihan kata, serta termasuk juga pilihan contoh-contoh pengayaan seperti cerita. Konten cerita seperti Sangkuriang walaupun merupakan foklor (cerita rakyat) tidaklah tepat untuk disajikan kepada anak-anak SD karena mengandung konten dewasa.

Masalahnya, kebiasaan menyebutkan siapa pembaca sasaran sebuah buku, terutama terkait usia tampaknya masih jarang dilakukan penulis maupun penerbit. Para penilai buku pun dapat

kehilangan orientasi terhadap sebuah buku karena dapat “mengecoh” mereka dari segi tampilannya

seolah-olah untuk anak-anak atau remaja.

(18)

pelanggaran SARA, dan masuknya ideologi yang membahayakan stabilitas negara. Kasus buku-buku edukasi yang bermasalah umumnya berada pada area pelanggaran kesopanan atau asas kepatutan terkait dengan pembaca sasaran.

Editor akan menjadi “palang pintu” terakhir bagi penulis dan penerbit. Editor dapat mengusulkan hal yang dapat memudahkan banyak pihak, termasuk calon pembaca yaitu mencantumkan kategori usia pembaca sasaran di halaman belakang buku seperti yang lazim juga dilakukan para penerbit buku edukasi luar negeri. Dengan demikian, ada pertanggungjawaban profesional bahwa buku edukasi tersebut memang cocok dan tepat untuk anak atau remaja usia tertentu.

Dari sisi penerbit tentulah penting melakukan pembinaan terus-menerus kepada stakeholders utamanya yaitu para penulis dan juga editor. Penerbit jangan pelit untuk mengirimkan para penulis dan editor mengikuti pelatihan-pelatihan teknis di bidang penulisan, editing, dan penerbitan buku karena teknologi serta informasi terus berkembang sedemikian rupa. Hal utama bagi para penerbit juga adalah memahami secara utuh proses kreatif sebuah penerbitan buku yang melibatkan banyak profesi. Ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam penanganan sebuah buku secara profesional, seperti faktor kelelahan/kejenuhan editor dan layouter, faktor munculnya keisengan editor dan layouter (kadang menjadi sangat membahayakan seperti pemilihan foto, memasukkan satu kata yang tidak sopan, dsb.), faktor wawasan editor dan layouter, serta kemampuan teknis editing dan tata letak yang mereka kuasai.

Dari sisi penilai buku tentu memang harus mengedepankan profesionalitas penilaian dengan benar-benar membaca keseluruhan isi buku, meneliti daftar isi, dan menaruh perhatian terhadap judul-judul materi yang tampaknya kurang tepat untuk pembaca sasaran buku. Adanya syarat melengkapi buku dengan anatomi buku standar seperti halaman pendahulu (prelims) dengan

mencantumkan “pengantar penerbit” dan “prakata”, serta menyebutkan di dalamnya kategori

pembaca sasaran akan menjadi satu bentuk pertanggungjawaban profesional penerbit dan penulis terhadap jaminan konten buku tepat dan aman untuk pembaca sasaran usia tertentu. Jadi, tidak akan ada lagi kilah bahwa buku tersebut memang tidak ditujukan untuk siswa SD atau siswa SMP, sedangkan di sisi lain buku itu justru turut dinilaikan sebagai buku pengayaan siswa kategori tertentu.

***

Bukunya (baca: konten) mungkin tidaklah salah, yang salah adalah peruntukan pembaca sasarannya. Namun, dapat terjadi juga materi/konten bukunya memang benar-benar tidak tepat atau salah untuk pembaca sasaran tertentu. Di sinilah profesionalitas penulisan, penerbitan, dan pengedaran sebuah buku, apalagi buku pendidikan sangat dipertaruhkan karena menyangkut masa depan anak bangsa.

(19)

dapat direspons bahwa sebaiknya pemerintah yang menyiapkan buku sendiri untuk buku pelajaran, terutama pada momentum Kurikulum 2013. Apakah pemerintah juga bisa menjamin profesionalitas menangani sebuah penerbitan buku sementara pemerintah tidak memiliki pengalaman soal itu?

Tentu masih ada penerbit yang profesional dan kasus ini menyebabkan para penerbit profesional juga terkena getahnya. Soal profesionalitas inilah yang semestinya diatur negara. RUU

Perbukuan yang sudah mengendon di DPR tidak kunjung diselesaikan. Lalu, DPR pun “naik darah”

dan mengancam Kemendikbud. Padahal, di dalam draf RUU Perbukuan itu jelas diatur siapa yang disebut penerbit dan tentu akan ada konsekuensinya jika penerbit dan pemangku kepentingan melakukan pelanggaran. Jika memang tidak ada undang-undang yang mengatur, semua orang berhak membuat penerbit dan mengedarkan buku.

(20)

Bambang Trim | Manistebu.com 16 Juli 2013

Tokoh Azzam di sinetron PPT edisi VII tampak gundah gulana. Pasalnya, buku yang dia terbitkan mengandung kesalahan fatal yaitu kesalahan penulisan khat Arab pada surah al-Fatihah. Hanya salah penempatan tanda dan mengubah makna secara drastis.

Azzam gundah apakah harus menarik seluruh buku-bukunya di toko buku yang sudah tersebar dan dicetak 10.000 eksemplar. Sebenarnya kegundahan tokoh Azzam ini yang bahkan didramatisasi dengan permintaan sang ibu agar segera menarik bukunya dan Azam masih berkilah, tampak lebay bagi saya. Ingin sekali saya masuk ke meeting-nya Azam dan timnya, tetapi jelas tidak bisa :).

Dalam kasus seperti ini, apalagi Quran, tidak ada kata lain keputusan yang diambil adalah menarik seluruh buku dan memperbaiki halaman yang salah dengan cara menghapus titik atau mencetak ulang halaman yang benar dan menyisipkannya. Kita memang tidak hidup seperti zaman dulu yang bisa menyisipkan secarik kertas bertuliskan ralat atau errata maka masalah akan selesai.

Jangankan Quran, bahkan teks-teks pada buku religi pun sangat sensitif jika berubah. Dalam kasus lain di MQS, saya pun pernah memerintahkan penarikan dan perubahan semua buku karena pada satu halaman ada judul yang salah. Itu bukunya Kang Abik dan pada salah satu tulisan ada judul Kalimat Pengusir Malaikat. Judul sebenarnya adalah Kalimat Pengusir Maksiat. Semua pasti setuju

bahwa berbeda jauh makna malaikat dan maksiat dan mengapa pula malaikat harus diusir. Buku itu kalau tidak salah sudah dicetak 5.000 eksemplar dan akhirnya dibongkar ulang di percetakan.

Kesalahan konten semacam ini bisa disebabkan keteledoran editor atau keteledoran layouter dan juga terlewatnya penyelia (supervisor) untuk memeriksa hasil pekerjaan keduanya. Editor kadang bisa tergelincir karena sibuk memperhatikan hal kecil (teks), lupa pada hal besar yaitu judul bab sendiri. Kadang bisa terjadi sebuah kover berbeda antara judul kover dan judul di dalamnya. Ternyata judul di dalamnya sudah direvisi, tetapi editor lupa menginformasikannya kepada desainer kover.

***

Kita beralih ke kasus lain….

Berita tentang buku pelajaran berkonten porno dari Penerbit Graphia Buana jelas menyinggung-nyinggung editornya. Tentulah yang berprofesi sebagai editor buku juga ikut tersentil jika sesama orang yang seprofesi ada yang tergelincir.

(21)

ketelitian data dan fakta; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian produksi. Poin nomor 5 dan 6-lah yang sensitif jika mengandung kesalahan dibandingkan poin lain seperti bahasa atau konsistensi.

Belum lama terjadi juga ada kasus konten tidak layak tentang Nabi Muhammad saw di buku 5 Kota Paling Berpengaruh karya Douglas Wilson terbitan Gramedia. Gramedia tidak mau ambil risiko

dan membakar semua sisa stok dan buku yang ditarik. Buku itu tak hendak diterbitkan ulang. Editor nya pun terkena sanksi dan konon memang baru dua bulan menjadi editor.

Lebih jauh ke belakang, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika menjadi manajer penerbitan. Salah seorang editor saya di penerbit buku pelajaran tergelincir karena kesalahan konten data dan fakta atau lebih tepatnya salah dalam rumus hitungan. Buku pelajaran matematika untuk SD justru mengandung kesalahan hitung dan sangat berakibat fatal jika beredar di pasar. Alhasil, buku tersebut harus ditarik dari pasar setelah dicetak 10.000 eksemplar dan diperbaiki ulang. Tentulah ada hitungan kerugian untuk ini.

Pertanyaannya mengapa editor bisa tergelincir? Banyak faktor yang ditengarai bisa menjadi penyebabnya. Ada faktor kelelahan juga manakala penerbit tidak memperhatikan pekerjaan yang dibebankan kepada editor dan tenggat (deadline) yang ditetapkan. Bukan rahasia lagi jika di sebuah penerbit buku pelajaran yang hanya memiliki editor minim, para editor itu diberi tugas mengedit 2-3 judul buku untuk dikerjakan secara simultan. Di satu sisi kemampuan mereka sangatlah minim untuk melakukan 2-3 pekerjaan sekaligus.

Dari informasi saya ketahui bahwa editor buku bermasalah dari Graphia Buana itu juga mengedit buku PPKn, IPA, dan Matematika untuk SD. Bayangkan, super sekali editor yang melakukan hal ini sendirian dengan berbagai objek editing yang berbeda dari bahasa ke sosial dan dari sosial ke sains. Apakah dia memang sempat mengedit dengan sebenar-benar mengedit?

Kedua, bisa juga faktor nonteknis yang sepengalaman saya juga dapat ditemukan pada editor yang bekerja. Contohnya, bentrok dengan teman sekantor, impitan ekonomi, menyambi pekerjaan lain di luar kantor. Hal ini kadang mengganggu konsentrasi si editor dan bisa berakibat fatal pada hasil editing. Karena itu, dalam banyak kasus, saya memberlakukan editing silang untuk menjaga kualitas editing dan para kabag editor (managing editor) harus melakukan lagi pemeriksaan hasil pekerjaan editor di bawahnya.

Dalam sebuah organisasi penerbit buku pelajaran jelas harus dipisah antara editor buku sains, editor buku sosial, dan editor buku bahasa. Pemisahan objek editing berdasarkan latar belakang ilmu yang mereka miliki ini juga penting untuk meminimalkan kesalahan. Jangan samakan editor dengan guru SD yang bisa mengajar pelajaran apa pun.

(22)

untuk editor yang bekerja lembur, mengadakan dialog (personal touch) ketika melihat ada editor yang kurang berkonsentrasi, serta juga meningkatkan kesejahteraannya.

Jangan anggap sepele persoalan toilet atau kamar mandi di ruangan editorial. Jika toilet cuma satu dan para editor itu harus mengantre, itu mengganggu konsentrasi. Demikian pula jika mereka harus bekerja lembur, tetapi tidak tersedia sarana buat mandi yang menyenangkan. Alamat editor akan makin stres dan kuyu sepulang dari kantornya.

Editor itu bukan profesi sekonyong-konyong yang bisa dikerjakan seseorang asalkan punya ijazah sarjana, apalagi S1 atau S2 dalam suatu bidang. Editing adalah sebuah ilmu sekaligus seni bagaimana menyajikan sebuah tulisan/naskah menjadi nyaman dibaca sekaligus aman buat pembaca sasarannya. Dalam hal ini tentulah diperlukan pendidikan bagi seorang editor pemula di bidang publishing science dan editologi. Hal lain bahkan editor itu pun semestinya bisa menulis buku.

Saya melihat keremehan memandang hal ini bagi penerbit sering berbuah celaka, salah satunya adalah kasus buku pelajaran berkonten tidak patut yang berkali-kali terjadi. Profesi editor sepertinya rentan mendapatkan celaan karena sebenarnya editor tersebut belumlah layak disebut editor. Namun, para penerbit memaksakan mereka bisa menjadi editor tanpa latar belakang wawasan editorial sedikit pun.

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2013 ini mulai menggencarkan pelatihan untuk para editor. Namun, tingkat partisipasi penerbit anggotanya masihlah kecil untuk mau mengirimkan editornya berlatih dan mendapatkan ilmu editing yang standar. Namun, pada setiap musyarawah kerja sering didengungkan pentingnya pendidikan untuk para editor, tetapi giliran pendidikan dan pelatihan itu sudah ada dan para penerbit memang harus berinvestasi untuk itu, kebanyakan enggan melakukannya.

Tentulah lebih mending jika di dalam suatu penerbit terdapat editor senior sehingga ia bisa mengadakan pelatihan internal di penerbitnya untuk para editor pemula. Namun, kebanyakan penerbit memang tidak memiliki sistem pendidikan dan pelatihan seperti ini untuk editornya. Editor-editor yang direkrut dibiarkan berkembang begitu saja tanpa perlu dibina.

(23)

Selain mendorong segera diberlakukannya UU Perbukuan Nasional, kita juga perlu memikirkan standar kompetensi sehingga seseorang layak disebut editor dan bagaimana penerbit memahami profesi ini dalam pengaturan pekerjaannya. Membuat buku memang tidak seperti membuat kue bolu, dapat sehari sekali jadi.

Sah-sah saja penerbit itu berburu tenggat (deadline) karena momentum tertentu dan mendesak editornya bekerja secepat mungkin. Hal ini biasa, tetapi penerbit perlu melihat kompetensi editornya; apakah ia bisa bekerja cepat tanpa cacat atau ia malah akan keteteran dan mengambil jalan pintas asal jadi. Memaksakan editor pemula untuk bekerja layaknya editor terlatih adalah sebuah keputusan fatal yang dapat melahirkan kesalahan fatal pula.

***

Catatan pagi ini memang saya buat karena terganggu pikiran soal editor dan bagaimana editor itu paling mudah disalahkan seperti kenyataan berikut: “Apabila ada buku bagus dan sukses, penulislah yang dielu-elukan. Namun, apabila ada buku mengandung kesalahan, editorlah yang dikeluhkan.”

Kita memang tidak memerlukan sorak sorai untuk hasil pekerjaan kita. Editor adalah tokoh di belakang layar. Namun, jika Anda ke Frankfurt Book Fair dan menyebut diri Anda seorang editor, para tuan rumah booth di sana akan memandang Anda dengan penuh hormat–beberapa di antara mereka juga ada yang editor. Mereka tahu ini adalah profesi yang tidak gampang dan penuh kehebatan untuk melakoninya.

Kita tidak boleh membiarkan diri kita sebagai editor tergelincir ataupun membiarkan para editor muda atau pemula itu tergelincir karena memang tidak tahu apa itu editing sebenarnya. Cukuplah kasus-kasus buku pelajaran tak layak itu hanya sampai pada kasus Graphia Buana dengan penghujatan juga kepada penulis dan editornya. Editor di negeri ini haruslah dibina.

Referensi

Dokumen terkait

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus, Jakarta: Balai Pustaka, p.. Selain itu juga, ketika belajar menari bersama orang tuanya sang

Keputusan akan pengobatan yang mereka ambil sangat kompleks, yaitu berusaha untuk menyeimbangkan kesehatan dan mengambil segi keuntungan dari pengobatan tersebut yang

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengguna, ditemukan beberapa masalah pada tampilan desain antarmuka situs web SMK Negeri 1 Bangsri yang mempengaruhi usability situs

[r]

Dari sudut pandang biaya lingkungan (environmental cost) dan manfaat biaya (cost benefit) pene- rapan akuntansi lingkungan akan meningkatkan usaha pengelolaan lingkungan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhao, Zhang & Xu (2016) yang menemukan bahwa seseorang yang memiliki skor tinggi pada Dark

Bab ini akan membahas sedikit tentang model persediaan [ 1 ] dan juga membahas tentang model matematika untuk model persediaan spare part dengan mempertimbangkan terjadinya

Setelah dilakukan wawancara terhadap beberapa anak ternyata salah satu faktor penyebab hasil belajar mereka rendah salah satunya dikarenakan pola asuh orang tua