PERAN INTELEKTUAL MUSLIM
MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL BAGI
MASYARAKAT DI TENGAH SISTEM
KAPITALISTIK
PENGANTAR
Siapakah Intelektual
Intelektual : 1 n cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 n (yg) mempunyai
kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3 n totalitas pengertian
atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman.
Dikatakannya, bahwa interlegos merupakan asal kata dari
intelektual. Jadi, interlegos sama saja artinya dengan
intelektual. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Badudu, et. al, 1996), intelektual diidentikkan dengan
kaum intelek, kaum terpelajar. Sedangkan di dalam Kamus
Bahasa Inggeris-Indonesia (John M.Echols, et. al, 1989),
PENGANTAR
3 fondasi pokok seorang Intelektual
Pertama, paham secara mendalam. Menggunakan kecerdasan untuk menganalisa berbagai masalah. Ketajaman pisau critical thinking-nya ditumbuhkembangkan, misalnya bagaimana mendeskripsikan (describe) suatu permasalahan dengan baik, bagaimana menganalisa
(analyse), membandingkan (compare), membuat sintesis (synthesise), serta melakukan evaluasi (evaluate) terhadap suatu permasalahan.
Kedua, prihatin sepenuh hati. Seorang intelektual sejati tidak mejadikan dirinya eksklusif dan terangsing dari lingkungannya. Sebaliknya, dia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Berbekal kebiasaannya untuk selalu mengasah dan mengisi diri, maka ia mampu melihat persoalan-persoalan pada berbagai aspek kehidupan dengan lebih lengkap dan tajam. Tidak cukup dengan melihat fenomena-fenomena yang tampak di permukaan, dia juga melihat akar permasalahannya. Tidak hanya bertanya ‘apa’ yang terjadi, bahkan juga ‘mengapa’ dan
‘bagaimana’ sesuatu permasalahan itu muncul. Sang intelektual mengambil sikap proaktif terhadap permasalahan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab sosial (social responbility)-nya di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, tergerak ingin memperbaiki. Seperti dikemukakan tadi, permasalahan yang terjadi membuat sang intelektual prihatin. Akan tetapi, dia tak berhenti sampai di situ. Iapun tergerak untuk mengambil langkah-langkah untuk mencari solusinya. Untuk menyelesaikan masalah itu, ia selalu berpikir jauh ke depan, melihat dampaknya di masa datang. Juga, tidak sekadar
KRISIS LEGITIMASI
Gelombang globalisasi dengan berbagai ajarannya telah membawa dampak begitu besar
dalam kelangsungan sebuah negara dan kehidupan masyarakat. Bagi negara, krisis
legitimasi menjadi sangat memungkinkan dihadapi. Pasalnya, negara akan diklaim gagal memenuhi kebutuhan hajat dari rakyatnya setelah orientasinya lebih beralih kepada mekanisme ekonomi pasar. Orientasi itulah yang kemudian mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi atau moneter yang puncaknya pada 1997. Hingga sekarang krisis itu masih terasa dampaknya.
Krisis ekonomi diramalkan oleh Jurgen Habermas akan melahirkan krisis legitimasi.
Kondisi ini (legitimation crisis) dijelaskan oleh Habermas melalui pendekatan konsep adaptip (Adaptation), pencapaian tujuan (Goal Attainment), integrasi (Integration), dan pola pemeliharaan (Latency) atau dikenal AGIL yang dikembangkan oleh pemikir
sebelumnya, yaitu Talcott Parsons.
Adaptation adalah fungsi bagi sebuah sistem yang menjamin terpenuhinya apa yang
dibutuhkan dari lingkungan dan mendistribusikannya. Sistem ini mengambil bentuknya pada sistem ekonomi. Goal Attainment adalah fungsi yang menjamin bagi terpenuhinya tujuan sistem yang diwakili oleh sistem politik atau pemerintahan. Integration adalah fungsi dari sebuah sistem yang menjamin berlangsungnya hubungan antarindividu yang diwakili oleh komunitas sosial. Latency adalah prasyarat yang menunjuk pada cara
KRISIS LEGITIMASI
Legitimasi merupakan output yang lahir dari komunitas sosial meliputi kepercayaan
sosial (social trust) dan solidaritas. Pengakuan yang lahir dari masyarakat terhadap pemerintah merupakan input, masukan dari fungsi yang dimainkan sendiri oleh
pemerintah sebagai penjamin tercapainya tujuan dari sistem masyarakat. Keberadaan negara diakui sejauh memberikan sumbangan positif bagi pelindungan hak-hak
ekonomi warga dalam memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, bila tidak mampu melindungi pengakuan dan kepercayaan itu akan luntur.
Dalam konteks ini bagaimana pun menurut Habermas negara tidak dapat terlepas dari
perannya terhadap ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan pengakuan politik dari masyarakat. Begitupun sebaliknya krisis ekonomi yang akan terjadi pun akan menjadi krisis politik. Keadaan ini pada gilirannya akan memaksa negara untuk menghimpun berbagai resources dari sistem sosial budaya untuk memulihkan
keseimbangan fungsi.
Akan tetapi karena krisis politik itu sekali lagi mencerminkan konfik kepentingan
KRISIS LEGITIMASI
Ramalan Habermas mendapat artikulasinya dalam bentuk yang lebih konkrit pada krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia yang puncaknya pada 1997. Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak kepada kepentingan pasar ternyata harus mengaku kalah dari kekuatannya konsekuensinya adalah krisis moneter yang berkepanjangan. Kedudukan pasar yang begitu besar dalam menentukan kehidupan masyarakat pada satu sisi, dan lemahnya sistem pengaturan negara pada sisi yang lain, maka berakibat kuat pada munculnya destruksi pasar terhadap rakyat kecil atau para pemilik modal kecil.
Negara diklaim tidak mampu menjaga kestabilan harga dan melindungi warganya yang
memiliki kapital kecil dari hisapan kapital besar. Puncaknya adalah hilangnya trust masyarakat terhadap pemerintah. Kondisi menghilangnya trust kemudian berakibat lanjut pada krisis legitimasi terhadap pemerintah. Fakta ini dapat kita saksikan dari munculnya sejumlah aksi demontrasi menentang setiap kebijakan pemerintah, bahkan beberapa bulan yang lalu sempat muncul “cabut mandat” yang dilakukan oleh
sejumlah tokoh nasional terhadap pemerintah yang tengah berjalan sekarang.
Masyarakat seakan berjalan masing-masing, tanpa kendali pemerintah. Masyarakat
KRISIS LEGITIMASI
Pada dimensi yang lain, ternyata pengaruh itu tidak berjalan mulus, ekspansi pasar
yang begitu besar dalam menentukan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata
melahirkan destruksi bagi munculnya krisis dalam bentuk lain, yaitu krisis solidaritas dan krisis identitas.
Masyarakat civil society, dengan berbagai sub sistem di dalamnya memiliki fungsi
perlindungan dan jaminan bagi terjadinya keberlangsungan dan kesinambungan tindakan setiap komponen di dalamnya agar sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Melalui norma maupun aturan yang diciptakan baik dari konvensi maupun secara formal, maka civil society saling memperkuat di antara mereka. Ikatan yang kuat di antara mereka sendiri melahirkan solidaritas sosial yang berfungsi memiliki sistem integratif di dalamnya.
Ikatan-ikatan solidaritas tersebut akan berada di dalam ancaman, di mana antara
masyarakat akan dengan mudah terjadi pertentangan. Solidaritas adalah hasil dalam bentuknya yang normatif dari sebuah hubungan antarmasyarakat yang diatur
berdasarkan sebuah norma. Ikatan-ikatan lama yang mewujud pada terjalinnya
KRISIS LEGITIMASI
Konsekuensi ekonomi pasar dalam masyarakat berakibat pada tergantikannya modus
relasi antara masyarakat yang sebelumnya diukur berdasarkan solidaritas primordial dan kekeluargaan kemudian diganti oleh pola hubungan yang lebih didasarkan modus produksi ekonomi. Logika-logika ekonomi pasar seringkali digunakan oleh kebanyakan masyarakat kita dalam membangun hubungan di antara sesamanya. Institusi-institusi kultural tidak luput dari pengaruh ini, bahkan hingga ke subsistem yang paling
terkecil dalam masyarakat, seperti keluarga.
Krisis identitas mengambil bentuknya yang lain yang terjadi di masyarakat. Berbagai
ragam nilai dan produk yang ditawarkan oleh pasar, dan masyarakat memungkinkan mendapat akses secara bebas terhadap produk-produk itu Nilai-nilai yang lebih
mengedepankan kebebasan, seperti konsumerisme, instans, dan serba cepat
kerapkali direspons secara berlebihan dari masyarakat. Globalisasi yang menawarkan sejumlah nilai itu pada akhirnya menimbulkan gagap. Komunitas mengalami
DEMOKRASI DAN PERAN
INTELEKTUAL
Berbagai dampak yang dilahirkan dari fundamentalisme pasar itu secara tidak
langsung pada kenyataannya melahirkan ancaman cukup serius bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Meski diramalkan Francis Fukuyama bahwa terdapat korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dengan keberhasilan demokrasi.
Karena tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan mekanisme pasar sangat
kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas
menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong demokrasi. Tapi pada kenyataannya masyarakat semakin menemukan dirinya ada dalam berbagai krisis, dan menjadi ancaman bagi demokrasi.
Pada konteks ini penting melihat peran intelektual dalam melakukan penguatan civil
society dalam mengawal proses transisi demokrasi. Menurut Mohammad Hatta, demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa kunjung didiamkan,
melainkan harus dirubah ke arah yang lebih baik, dan pada posisi ini kaum intelegensia berperan.
Kaum intelegensia didefnisikan Hatta sebagai sosok yang intelektual dan bermoral, di
DEMOKRASI DAN PERAN
INTELEKTUAL
Dalam terminologi yang berbeda, Edward Said mengatakan, bahwa kaum intelektual memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat. Mereka bertugas memberikan penyadaran dan
memperkuat nilai lokal kultural dan kebangsaan di masyarakat. Dalam pengertian Antonio Gramsci, model intelektual yang seperti ini disebut sebagai intelektual organik.
Kaum intelektual Indonesia hubungannya dengan penguatan ide-ide demokrasi serta meminimalisir dampak negatif kapitalisme pasar dimungkinkan dapat bergerak di wilayah kultural. Muhammad AS Hikam menjelaskan pada ranah kultural dapat dilakukan dengan cara melakukan proses penyadaran bagi masyarakat tentang realitas yang dihadapi.
Mereka dapat menjadi counter balancing bagi kemungkinan terjadinya otoritarianisme negara. Cendikiawan merupakan pelopor bagi terwujudnya sebuha wilayah publik yang bebas (a free public sphere) yang pada gilirannya menjadi landasan bagi sebuah civil society yang mandiri.
Selain itu peran yang dilakukan bisa dalam bentuk pembentukan historical bloc, di antara
masyarakat agar cita-cita demokrasi akan dengan cepat tercapai. Intelektual memang lebih berperan pada wilaya-wilayah kultural masyarakat dalam melakukan proses koinsistensi atau penyadaran, di samping juga melakukan tekanan kepada pemerintah terhadap sejumlah kebijakan yang merugikan rakyat.
PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM
DI INDONESIA
Pada era 1970-an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi
muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan
kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama. Mereka tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufstik kemudian lebih tertarik dengan
pemahaman keislaman yang berdasarkan kepada pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat
digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa:
“Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper
role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society.”
Tidak dapat disangkal bahwa perubahan visi dan orientasi itu sejalan dengan masuknya
pengaruh pembaharuan Islam, yang utamanya, dibawa oleh kelompok Muslim modernis "generasi kedua" ini. Namun demikian, jelas sekali bahwa perkembangan wacana intelektual Islam seperti yang dimaksud oleh Martin, Woodward dan Atmaja di atas sudah memasuki babak baru, karena sudah menyangkut metodogi yang lebih empirik dan historis yang
PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM
DI INDONESIA
Dalam sebuah penelitiannya, Karel Steenbrink, sarjana Belanda yang pernah menjadi
dosen tamu di UIN Yogyakarta, mengatakan bahwa khususnya sejak dibukanya program pascasarjana di lingkungan UIN pada tahun 1982, pengaruh pendekatan historis dan empiris seperti ini sudah sedemikian nyata.
Dalam konteks seperti ini, UIN dapat dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan
tinggi Islam yang memberikan "wadah" dan kesempatan bagi kalangan Muslim terpelajar untuk mengembangkan tradisi studi Islam yang empiris dan tidak lagi normatif.
Dengan demikian, kita bisa melihat adanya pergeseran orientasi dan visi yang
signifkan di dalam mendekati, memahami dan mengkaji Islam di kalangan terpelajar Muslim Indonesia ini. Perkembangan ini menunjukkan semakin menguatnya
PERAN EKONOMI SYARIAH
Dalam pengembangan sektor riil ini, faktor lain muncul, yaitu sumberdaya manusia (humanresource). Dalam dua bukunya, “Intellectual Capital: The New Wealth of Organization” (1998) dan bukunya yang lebih baru “The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First Century Organization” (2001), Thomas A. Stewart menyabut beberapa jenis modal (capital), misalnya, tanah (land), pabrik-pabrik (factories), alat-alat (equipment), uang tunai (cash) dan kepandaian (intellectual) .
Identifkasi Stewart tersebut bisa dikelompok-kelompok kan ke dalam berbagai jenis modal yang kini beragam itu. Tanah (pertanian dan pertambangan) termasuk kedalam modal alam, pabrik-pabrik dan alat-alat (termasuk mesin) ke dalam modal material (material capital), uang tunai ke dalam modal fnansial (fnancial capital) dan kepandaian termasuk ke dalam modal intellectual (intellectual capital). Stewart dalam kedua bukunya mengatakan, bahwa di zaman modern abad ke 21 ini, peranan modal intelektual sangat penting.
Secara khusus ia menyabut peranan pengetahuan (knowledge), informasi (information) , hak milik intelektual (intellectual property) dan pengalaman kolektif (collective experience) yang kesamuanya merupakan unsurp-unsur modal intelektual. Semua jenis modal itu adalah merupakan sumber penciptaan kekayaan (wealth).
Mengikuti konsep pembangunan Samir Amin yang sebenarnya pernah dikemukakan pula oleh Bung Hatta dan diulangi oleh Sritua Arief, maka yang perlu dilakukan oleh umat Isloam dan
PERAN EKONOMI SYARIAH
Indonesia dan Dunia Islam dewasa ini baru dalam taraf memperhatikan modal manusia
yang unsur utamanya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill). Modal manusia yang dibutuhkan adalah wiraswasta, tenaga teknik dan manajer. Hanya saja pengembangan SDM ini membutuhkan waktu lama, karena itu perlu ditemukan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih praktis misalnya sistem magang sebagaimana
dikembangkan di Jerman sejak abad pertengahan. Pendidikan turun menurun, melalui keluarga memerlukan perhatian dan karena itu perlu mendapatkan perhatian
pemerintah.
Modal yang dimiliki oleh umat Islam dewasa ini adalah modal natural dan dalam
batas-batas tertentu, modal fnansial. Dalam hal ini, perlu diperhatikan temuan De Soto yang mengatakan bahwa sebenarnya penduduk negara-negara sedang berkembang yang dianggap miskin itu sebenarnya sangat besar, tapi puso (idle). Salah satu langkah yang dianjurkan adalah pengembangan hak-milik (property right).
Program yang sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia, adalah sertifkasi tanah. Jika
tanah-tanah sudah disertifkasi, maka nilai modal natural akan meningkat secara
PERAN EKONOMI SYARIAH
Berdasarkan teori De Soto, perlu dikembangkan harta agama, khususnya zakat,
sadaqah, infaq dan wakaf. Bank bisa berperan membantu usaha-usaha mobiklisasi dana ini. Baru-baru ini, oleh Prof. A. Mannan, telah dikembangkan produk wakaf tunai (cash wakaf). Berdasarkan perhitungan di atas`kertas, wakaf tunai ini sangat besar potensinya dan merupakan sumber modal fnancial yang sangat potensial. Namun sekali lagi hal ini memerlukan dukungan modal manusia dan modal intelektual.
Salah satu modal lain yang perlu diperhatikan adalah modal sosial yang
dipropagandakan oleh Fukuyama. Sebenarnya, ajaran Islam merupakan sumber modal sosial ini, misalnya dalam ajaran amanah (trust) ta’awwun (cooperation) , saling mengenai (ta’aaruf) dan banyak lagi. Hanya saja ajaran-ajaran itu belum diinterpretasikan sejalan dengan pemikiran ekonomi dan pembangunan.
Sekali lagi disini sangat penting peranan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan