• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Makalah Ushul Fiqh EKONOMI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas Makalah Ushul Fiqh EKONOMI ISLAM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah: Ushul Fiqh

MUTLAQ, MUQAYYAD, HAQIQAT DAN MAJAZ

Disusun oleh

A.HAMID

Pembimbing

Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA

PASCA SARJANA EKONOMI ISLAM IAIN AR-RANIRY

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Al-qur’an ialah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum yang pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Alqur’an adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya

Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Sebagian bahasa dalam hukum Islamng hadir dalam bentuk mutlaq dan terkadang adapula yang berbentuk muqayyad. Dan pengistilahan mutlaq dan muqayyad kepada Kitabullah tersebut sering dikenal sebagai “Mutlaqu al-Quran wa Muqayyaduh” atau kemutlakan al-qur‟an dan keterbatasanya.

Penanaman suatu lafazh dengan haqiqat dan majaz baru dapat ditetapkan setelah lafazh itu dirangkai dalam suatu kalimat atau dipakai dalam suatu pembicaraan. Untuk mengetahui arti hakikinya suatu lafazh ialah setelah mendengarkan bagaimana para ahli bahasa mengartikannya. Cara yang demikian ini disebut dengan “sama’i” ( hasil pendengaran). Sedangkan untuk mengetahui arti majazinya ialah setelaH meneliti dan menemukan qarinah-qarinah yang menyertainya.

(3)

A. MUTLAQ DAN MUQAYYAD 1. Definisi kata Mutlaq

Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lahazh mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafazh yang memberikan petunjuk terhadap muudhu’nya (sasaran penggunaan lafazh), tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafazh mutlaq sebagai lafazh yang menunjukkan suatu satuan dalam dalam jenisnya. Dengan kata lain lafazh mutlak adalah lafazh yang menunjukkan suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalkan rajulun ( seorang kaki-laki ) rajaalun ( banyak kaki-laki-kaki-laki ), kitabun ( buku-buku)1

Contoh lafazh mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafazh raqqabah yang dalam firman Allah :

          

            

Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Q.S. Al Mujadillah 58 ayat 3).

Ayat ini menjelaskan kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isteri dengan ibu kandungnya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka memerdekakanlah seorang budak ” mengingat lafazh raqqabah ( budak ) merupakan lafazh mutlaq, mka perintah untuk memerdekakan budak sebagai kaffarat zhihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat diatas merupakan bentuk naqirah dalam konteks positif.

Contoh lafazh mutlaq lain:

(4)

       

 …….. 

Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri-isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. ( Q.S Al-Baqarah , 2: 234)

Lafazh azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ii merupakan lafazh mutlaq oleh sebab itu tidak dibedakan apakah wanita itu telah digauli atau belum digauli oleh suaminya, maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut empat bulan sepuluh hari.

Mutlaq ialah lafazh-lafazh yang menunjukkan kepada pengertian yang tidak ada ikatan

( batas ) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti Firman Allah SWT:

…….ةبق ري رحتف…….. Artinya : Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya (Q.S. Mujadalah ayat 3 )

Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin dan hamba sahaya yang mukmin.2

Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan makna secara keseluruhan.رحتف تبق ر رييييي kata yang digarisbawahi adalah kata mutlak. Artinya mencakup budak secara mutlak. Tidak terbatas satu atau lebih dan tidak dibatasi apakah budak mukmin maupun budak bukan mukmin.

Kaidah yang berhubungan dengan mutlak adalah

ه دييقت لع ليل د مقي مل ام هق لط ئع قبى قئطمل ط Artinya : Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakan sebelum dalil yang

membatasinya.

Contoh QS. Nisa / 4; 23

  

(5)

Ayat diatas mengandung makna mutlak, bahwa ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak ibu mertuanya) itu sudah dicampuri atau belum.3

Dililhat secara sepintas lafazh mutlaq mirip dengan lafazh ‘amm, tetapi sebenarnya diantara keduannya berbeda. Pada lafazh ‘amm keumuman bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafazh mutlaq bersifat badali ( menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumumannya yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya. Hanya menggambarkan satuan yang syumuliy . untuk melihat perbedaan antar kedua lafazh ini dapat diamati dari firman Allah SWT dibawah ini.

          

      

Artinya : dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafazh ‘amm yang bersifat syumuliy (melingkupi) yaitu kata dabbah. Lafazh umum ini karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumumman dalam ayat ini ( menafikan sesuatu). Apbila lafazh ‘amm pada ayat itu di takhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang terkandung dalam keumuman lafazhnya. Makna-makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafazh ‘amm bersifat syumuliy.4

2. Definisi Muqayyad

Muqayad adalah suatu lafazh yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti Firman Allah SWT.

..……        .

.………

Artinya : dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (An. Nisa. Ayat

(6)

Disini tidak sembarang hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, hnayalah hamba sahaya yang beriman 5

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi oleh sifat, syarat, dan ghayah. Contohnya ةنم ؤم ةبقر ريرحتف . kata budak dalam ayat ini tidak lagi bersifat mutlak karena sudah dibatasi kata mukmin .

ديقملاهق لط اء ىلع ليل د مقي مل ام ه دييقت ىلع ىق اب

Artinya : Lafazh muttalaq tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakkannya.’’

Contoh kafar zhihar( perkataan suami kepada istri yang menyamakan istri dengan ibunya) yaitu memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu ia harus memberi makan 60 orang miskin ( Q.S Al Mujadallah : 3-4). Ayat tersebut telah dibatasi kemutlakannnya maka harus diamalkan hukum muqoyad-nya.

                                       

             

Artinya : ”orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barang siapa yang tidak kuasa, maka wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”6

(7)

3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad

a. Jika terdapat suatu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafazh dan muqayyad pada lafazh lain, jika keduannya bersesuaian menurut sebab dan hukum. Seperti hadist tentang kifarat puasa.

نيعب اتتم ني رهش مص

Artinya : “Puasalah kamu dua bulan berturut-turut” (H.R Muttafaqun ‘alaihi)

Digabungkan kepadanya hadist:

نيعب اتتم ني Artinya :“ puasa kamu dua bulan”

Hadis yang pertama ditentukan waktunya ( Muqayyad) sedangkan hadist yang kedua tidak ada ketentuannya (Mutlaq), maka dikompromikan antara hadist yang kedua dengan hadist yang pertama, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.

b. Jika tidak bersesuaian menurut sebab, tidak digabungkan mutlhlaq kepada muqayyad. Seperti antara kifarat zhihar dengan kifarat membunuh.

Firman Allah SWT:

          

     Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. (Q.S Mujadalah ayat 3).

Firman Allah SWT

...        ..…

(8)

Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama-sama membebaskan budak), sedang sebabnya berlainnan, yang pertama kapada Zhahar dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, justru itu tidak dapat digabungkan mutlaq dan muqqayad7

Persoalan mutlaq dan muqayyad serupa dengan persoalan umum dan khusus, tetapi umum dan khusus yang berkaitan dengan penerapan hukum, sedangkan mutlaq dan muqqayad berkaitan dengan keadaan yang berbeda-beda dan sifat-sifat hukum itu sendiri. Umum dan khusus menyangkut tatanan yang biasanya meliputi segala bentuk penerapan hukum yang berbeda-beda, yang sebagiannya karena alasan tertentu, merupakan pengecualian dari yang umum. Namun persoalan mutlaq dan muqqayad berhubungan dengan hakikat dan watak dari kewajibanyang harus dilaksanakan oleh sipemikul kewajiban tersebut. Jika hakikat dan watak dari kewajiban itu tidak memiliki syarat tertentu, ia berarti mutlaq, dan jka memiliki syarat tertentu , ia berarti muqayyad 8

4. Membawa Mutlaq ke Muqayyad

Apabila adala lafazh dalam sebuah nash disebut secara mutlaq dan ada pula nash dalam bentuk muqayyad, maka untuk menyelesaikannya dapat dilihat dari empat bentuk, yaitu:

a. Hukum dan sebab yang terkadung dalam mutlaq dan muqayyad adalah sama tegasnya. Ada kesamaan hukum dan sebab yang menimbulkan hukum pada nash berbeda. Dalam kaitan ini, ulama ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa nash mutlaq harus dibawa ke nash muqayyad sehingga pemahaman terhadap nash itu sesuai dengan ungkapan muqayyad. Umpamanya dalam Firman Allah SWT surat Al maidah ayat 5;3:

      .……

Artinya : diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi

Lafazh al-dam (darah) pada ayat ini merupakan lafazh mutlaq karena tanpa membedakan antara darah mengalir dengan darah yang tidak mengalir dalam kesempatan itu.

Allah berfirman pada surat Al-An’am, 6: 145:

              

      .…

(9)

Artinya : Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.

Kata dalam al-damm dalam ayat ini di kaitkan dengan sifat masfutuha ( mengalir ). Kedua ayat ini mengandung hukum yang sama, yaitu haram. Begitu pula dengan sebab yang terdapat pada kedua ayat tersebut sama, yaitu haramnya darah karena mendatangkan mudharat. Mengingat sama hukumnya dan sebabnya, maka untuk ayat mutlaq yang terdapat pada surat Al. Maidah 5:3 diberlakukan ketentuan muqayyad dalam surat Al- An’am 6: 145. Atas dasar ini darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir bukan darah yang tersisa didalam daging dan hati.

b. Hukum dan sebab yang terkandung dalam mutalq dan muqayyad berbeda. Dalam hal ini, ada dua nash yang masing-masing terdiri dari nash mutlaq dan nash muqayyad. Antara dua nash ini berbeda hukum dan sebabnya. Ulama ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa masing-masing nash dipahami secara tersendiri misalnya firman Allah dalam surat Al- Maidah 5; 38.

         

    

Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam Surat Al- maidah 5: 6, Allah berfirman:

        

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,

(10)

al-marafi’ ( sampai kesiku). Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini pun berbeda. Ayat pertama terkait dengan hukum potong tangan sedangkan ayat kedua terkait dengan keharusan membasuh tangan. Sebab berlakunya hukum kedua ayat tersebut juga berbeda. Pada ayat pertama karena pencurian, sedangkan sebab pada ayat kedua ialah berwudhu’ untuk pelaksanaan shalat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak boleh memberlakukan nash muqayyad ( sampai siku) terhadap nash mutlaq. Tegasnya, tidak boleh memotong tangan sampai siku terhadap pelaku pidana pencurian berdasarkan taqyid ayad kedua diatas, karena hukum dan sebab kedua ayat ini berbeda.

Antara nash mutlaq dan muqayyad mempunyai hukum yang berbeda, sedangkan sebabnya sama. Misalnya Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al- Maidah, 5:6;         

   .……

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.

Ayat tersebut menjelaskan tentang membasuh tangan sampai siku dalam hukum muqayyad. Pada lanjutan ayat, Allah berfirman :

            

             Artinya : dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

Ayat itu memerintahkan menyapu tangan ketika melakukan tayamum. Kata tangan disini merupakan bentuk mutlaq. Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini berbeda, yaitu mutlaq untuk kewajiban menyapu tangan dan tayamum dan Muqayyad ada pada kewajiban membasuh tangan dalam berwudhu’. Sebab dalam kedua ayat adalah sama, yaitu keharusan dalam bersuci untuk mendirikan shalat.

c. Ada dua nash mutlaq dan muqayyad yang hukumnya sama, tetapi sebabnya beda. Misalnya firman Allah SWT dalam surat Mujadillah 58:3;

          

(11)

Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, …..

Dalam kafarat zhihar diatas, lafazh raqabah dikaitkan dengan sifat mu’minah. Sementara sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat diatas berbeda, pada lafazh mutlaq pada ayat pertama berkaitan dengan kasus kaffarat zhihar, sedangkan pada muqayyad ayat kedua dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum dalam kedua ayat ini adalah sama yaitu kewajiban memerdekakan budak.

5. Syarat- syarat Membawa Mutlaq kepada Muqayyad

Untuk membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad harus memenuhi sejumlah syarat berikut:

a. Bahwa yang taqyid merupakan sifat dari suatu zat. Syarat itu telah ditetapkan Syekh Abu Hamid Asfaraniy (344-405 H, ahli ushl fiqh mazhab syafi’i), Mawardi ( 364-450 H, ahli ushul fiqh dan fiqih mazhab syafi’i) Rubaniy, Al-Abhari ( ulam mazhab Malikiyyah) Ibn Khairan al- Syafi’i.

b. Mutlaq tersebut hanya satu, seperti syarat adil bagi para saksi. Syarat ini dikemukakan Abu Mansur Al- Harisi, Abu Ishaq Al- syirazi (393-476 H. ahli ushul Mazhab Syafi’i), Al- Mawardi dan Al- Qadhi abd al –Wahab ( ahli Ushul fiqih mazhab Maliki)

c. Mutlaq dalam konteks ammr, bukan naïf dan nahi. Syarat ini di rumuskan oleh Al- Amidi ( Amid- turki, 551 H- Damaskus, 631 H: ahli ushl mazhab syafi’i), dan ibn al-Hajib (570-646 H, ahli ushul fiqh mazhab Mailiki). Menurut Razi dn Al-Asfahani membawa mutlaq kepada muqayyad tidaklah mesti sebatas ammr saja, tetapi juga meliputi nahi dan bentuk-bentuk lainnya.

d. Mutlaq tersebut tidak dalam persoalan-persoalan mubah.

(12)

f. Sesudah penyebutan lafal mutlaq tersebut tidak diiringi dengan penyebutan lafal muqayyad

g. Tidak ada dalil yang menghalangi pen-taqyid-an mutlaq tersebut. 9

.

B. HAQIQAT DAN MAJAZ 1. Definisi Haqiqat

Suatu lafazh yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan dengan peristilahan bidang ilmu disebut “ lafazh haqiqat” (sejati). Oleh karena itu kehaqiqatannya itu dapat dikhususkan dalam bidang ilmu tertentu, maka ia mempunyai nama-nama sesuai dengan ilmu tempat ia dipergunakan, seperti:

a. Haqiqat Lughawiyah’

Jika pemakaianya sesuai dengan istilah-bahasa. Seperti lafazh “insan”(manusia) yang artinya hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapandan tindakan-tindakan sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang Islam dalam menyembah Allah.

b. Haqiqat Syar’iayah

Jika pemakaiannya sesuai dengan istilah syara’ . Seperti Lafazh Shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan yang tindakan-tindakan yang sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang islam dalam menyembah Allah.

c. Haqiqat ‘Urfiah ‘Ammah

Jika pemakaian artinya sesuai dengan istilah adat kebiasaan umum. Misalnya lafazh ‘ dabbah’’ yang dipakai untuk menerjemahkan semua binatang yang berkaki empat.

d. Haqiqat ‘Urfiah Khashshah.

(13)

Jika pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus. Seperti lafazh-lafazh “rafa, nasab dan jarr” dipakai oleh para ahli nahwu (grammarian) dalam pengertian yang khusus perihal perubahan bunyi akhir kata dalam satu kalimat.

2. Definisi dan Macam-macam Majaz

Lafazh yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafazh itu bukanlah diciptakan untuknya. Sebagaimana halnya lafazh haqiqat itu terbagi kepada haqiqat lughawiyah, syari’ah dan “urfiyah, demikian jugalah lafazh majaz. Sebagai contoh Majaz Lughawi seperti lafazh “asad” (singa) yang dipakai memberikan sebutan kepada seorang pemberani. Contoh Lafazh Syar’i seperti lafazh “Shalat”, bila digunakan untuk pengertian “do’a” sebagai ontoh lafazh Majaz ‘Urfi seperti lafazh “dabbah” yang berarti setiap binatang yang melata dipermukaan bumi.

a. Macam-macam Majaz.

1. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Contoh menambahkan kata yang berarti “ seperti” dalam surat As- Syura ayat 11: “ tidak ada seperti semisalnya sesuatupun”, tanpa kata itu pun sebenarnya tidak akan mengurangi artinya.

2. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran maksud lafazh itu terletak pada yang kurang itu. Contohnya dalam surat Yusuf 82 :” tanyalah kampong itu”. Secara makna hakikat adalah “ tanyalah penduduk kampung itu.” Adanya kekurangan kata “penduduk “ dalam kata “ kampong “ itu menjadikannya sebagai majaz.

3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam artian “ menukarkan kedudukan suatu kata”. Contoh dalam surat An Nisa ayat11: “ sesudah mengeluarkan wasiat dan membayar hutang”. Maksud sebenarnya ”sesudah membayar utang dan mengeluarkan wasiatnya.”.

4. Meminjamkan kata atau ‘isti’arab adalah menanamkan sesuatu dengan menggunakan meminjamkan kata lain) seperti memberi nama si A yang pemberani dengan nama singa.10

3. Hukum Haqiqat dan Majaz

(14)

Setiap lafazh haqiqat harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya, baik bersifat amm maupun khash dalam bentuk (fi’il) amr atau nahl.

Misalnya firman Allah :

     

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu ,

Arti yang dimaksud ialah lafadzh “irka’u” dan “usjudu” dalam ayat tersebut adalah ruku’ dan sujud, sebagaimana yang kita kenal . Kedua lafadzh itu adalah khash (keduanya fi’il amr) sedang orang yang diperintahkan melakukannya adalah umum.

Dan firmanNya lagi :

        

Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar…(Al-n Isra’ :33)

Arti membunuh yang terkandung didalam lafazh “ la tatqulu” adalah membunuh yang sebenarnya. Lafazh ini termasuk lafazh khash, karena fiilnya nahyi, sedangkan orang yang menerima khithab larangannya adalah umum seluruh manusia.

Demikian juga setiap lafazh majaz hendaklah diamalkan menurut arti yang dipinjamkan unuknya. Seperti firman Tuhan :

      ..……

Artinya : …….atau kembali dari tempat buang …..( Al-Maidah:6)

Makna majazi rangkaian kalimat ‘’ au ja’a ahadun minkum minal gha’ith” ialah apabila seseorang berhadast kecil” makna inilah yang dikehendaki oleh ayat tersebut, bukan makna yang sebenarnya kembali ketempat buang air.

(15)

 …..     ..…

Artinya:…….."Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur." ……… ( Yusuf:36)

Arti hakiki dalam lafazh “ a’shiru kamran”dalam ayat taersebut ialah “aku memeras khamr”, tetapi artinya yang demikian ini tidak dimaksudkan oleh ayatdan yang dimaksudkan adalah arti majazi yaitu “ a’shiru inaban” aku memeras anggur untuk membuat khamr.

Apabila suatu lafazh dapat diartikan dengan arti yang hakiki dan dapat pula diartikan dengan arti yang majazi, hendaklah diartikan menurut artinya yang hakiki. Karena itulah arti yang asli, sedangkan arti menurut arti yang majazi bukan asli lagi. Akan tetapi lafazh itu sukar diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah diartikan menurut arti yang majazi. Dan apabila sulit diartikan dengan arti yang hakiki dan arti yang majazi, maka hendaklah didamkan (ihmal) lafazh, yang demikian itu disebut lafazh muhmal.11

4. Keumuman lafazh Majaz

Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa suatu lafazh menjadi majaz bila ia sukar diartikan dengan hakikat, sehingga dalalah lafazh kepada maknanya yang majazi itu adalah dadalah dharuriyah (karena terpaksa). Oleh karena itu, ia hanya mencakup arti yang minimal, yang dapat dibenarkan oleh rangkaian kalimat, bukan mencakup keseluruhan arti secara umum. Misalnya sabda Rasulullah SAW:

نيع اصل ا اب ع اصلا ا وعيبتت

Artinya: jangan menjual satu takar dengan dua takar.

Lafazh sha’ yang arti hakikinya suatu wadah untuk menakar, dalam hadist ini di artikan secara majazi” barang-barang yang bila diperjualbelikan dengan ditakar”. Sebab jika yang dilarang itu memperjualkan wadah untuk menakar, maka hal itu bertentangan dengan maksud hadist. Di dalam periwayatan lain diisyaratkan bahwa yang dilarang di perjualbelikam itu ialah sesuatu yang dapat ditakar. Kata Rasulullah SAW

11 Mukhtar Yahya & Fathur Rahman,Dasar-dasar pembinaan hukum fqh islami, Jakarta; ct .

(16)

نيع اصل اب ع اصلا ا وعيبت ت

Artinya : jangan menjual sepenuh satu takar dengan sepenuh dua takar.

Perkataan” sepenuh satu takar” (mil’al-sha) memberi isyarat isi yang ditakar. Sekurang-kurangnya yang dapat diterima oleh pembicaraan sesuatu yang ditakar itu ialah bahan makanan.

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa dalalah lafazh majaz itu bukanlah dalalah darurat , akan tetapi ia merupakan salah cara diantara cara-cara (seni) mendatangkan makna. Bahkan kadang-kadang lafazh majaz itu lebih mengenai daripada lafazh haqiqat. Itulah sebabnya pengunaan lafazh majaz banyak didapati dalam kesusasteraan yang indah-indah dan memenuhi lembaran-lembaran kitab suci Al-Quran. Misalnya :

      ……

Artinya : dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan …. ( Al – Isra : 24)

Penggunaan Lafazh” khafdhul-janah" ( melipat, sayap, menurunkan sayap) sebagai terjemahan pengertian membungkukkan dada, menurunkan tangan, atau memberi penghormatan, untuk memperindah susunan dalam seni sastra. Demikian juga dalam rangkaian firman Tuhan :

      …… 

Artinya : dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah….. ( Hud :44)

Dapat dirasakan betapa indah susunan katanya

(17)

dengan mutu sama. Untuk bahan makanan biarpun dalam transaksi jual-beli menggunakan tidak mencukupi dalam hadist12

5. Mengumpulkan Lafazh Hakikat dan Lafazh Majaz

Menggunakan suatu lafazh dengan makna yang majazi yang tercakup juga maknanya yang hakiki tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam memperbolehkannya. Misalnya menggunakan lafazh ‘umm (ibu) dengan arti yang majaznya yaitu asal usul yang menurunkan seseorang yang mencakup ibu dan ibu dari ibu (nenek) dan lafazh bintun (anak perempuan) yang arti majaznya yakni anak turun perempuan yang dapat mencakup juga anak perempuan kandung, cucu perempuan dari lak-laki ( bintun-ibnin) dan cucu perempuan dari anak perempuan ( bintun bintin).

Adapun yang mereka perselisihkan dalam hal ini ialah jika penggunaan arti kedua-duanya bersama-sama dalam satu ucapan, sedang masing-masing mempunyai ketentuan hukum sendiri- sendiri. Misalnya jika dikatakan uqtul al-asada dikatakan sebagai suatu perintah membunuh singa ( arti haqiqinya) sekaligus dengan membunuh seseorang pemberani ( arti majazinya). Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pertama, Imam Syafi’i, kebanyakan ahli hadist dan sebagaian Mutakallimin, memperbolehkannya. Karena tidak ada penghalang untuk hal itu dan karena seseorang diperbolehkan mengecualikan salah satu arti yang dua macam itu, setelah lafazh itu dipergunakan dalam suatu pembicaraan yang sekaligus dapat mencakup keduanya. Misalnya firman Allah SWT:

…….   ……

Artinya : atau menyentuh perempuan,

Maka tidak ada halangan lafazh ia masa dalam ayat itu diartikan menyentuh dengan tangan, sekaligus diartikan bersetubuh. Dalam pada itu dibenarkan pula mengecualikan salah satu arti dari kedua arti tersebut, seperti bila dikatakan: “ atau kamu menyentuh perempuan , kecuali kalau sentuhan itu dengan tangan”. Akan tetapi, kalau dalam penggunaan kedua makna itu menimbulkan perbedaan ketentuan, maka tidak dibenarkan mengumpulkan kedua arti haqiqi dan majazi dalam satu pembicaraan. Misalkan menggunakan fiil ‘ammr untuk arti mewajibkan

(18)

dan mensunatkan suatu perbuatan atau untuk arti membolehkan atau menghardik suatu tindakan sekaligus dalam suatu percakapan.

Kedua, Fuyafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin melarang menggunakan dua arti sekaligus dalam suatu percakapan. Alasannya karena :

a) Pengumpulan yang demikian itu tidak dikenal dalam pemakaian bahasa. Sebab tidak pernah terajadi dalam percakapan menggunakan lafazh insan untuk bani Adam dan binatang atau menggunakan lafazh himar (keledai) untuk nama hewan dan sebutan orang yang tolol sekaligus.

b) Pemakaian lafazh menurut haqiqat tidak memerlukam qarinah, sedangkan pemakaian lafazh menurut arti majazi memerlukan suatu qarinah. Dengan demikian menggunakan kedua-duanya.

Misalnya Sabda rasulullah SAW:

نم ه و دلج اف رعخلا ب رش Artinya: barang siapa yang meminum khmar deralah dia.(H.R. Ahmad)

Maka makna hakiki dari lafazh khamr, yaitu minuman yang dibuat dari perasan anggur, adalah makna yang sudah disepakati oleh para ulama (sahabat). Tidak dapat disertakan makna majazi sekaligus dalam ucapan. Karena itu, siapa yang meminum minuman yang memabukkan selain khamr tidak dapat diterapi hukuman dera berdasarkan makna majazi dari lafazh khmar tersebut. Kecuali ada dalil lain yang menerangkannya, baik dalil sunnah maupun ijma’13

Begitupun ayat Al-Maidah ayat 6:

……..   ………

Artinya :…...atau menyentuh perempuan, …..(Q.s. Al- Maidah;6)

Makna haqiqi dari lafazh “lamastum” dalam surat al-Maidah ayat 6 tersebut diatas ialah menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazi ialah bersetubuh. Makna terakhir ini (majazi) makna yang dikehendaki oleh ijma’ dan dikuatkan oleh adanya qarinah. Yang digunakan sighat mufa’alah ( musyarakah) untuk lafazh lamasa yang memberi petunjuk saling adanya kerja sama dalam melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh kata kerja ( sentuh

(19)

menyentuh) sedang yang dikendaki oleh lafazh itu maknanya haqiqi, yakni menyentuh dengan tangan, niscaya tidak menggunakan fi’il yang menggunakan fi’il yang bersighat mufa’alah 14

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN……… 1

A. MUTLAQ DAN MUQAYYAD ……… 1

1. Definisi Kata Mutlaq………. 1

2. Definisi Kata Muqayyad……… 4

3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad………. 6

4. Membawa Mutlaq ke Muqayyad……… 7

5. Syarat-syarat Membawa Mutlaq Kepada Muqayyad………. 10

B. HAQIQAT DAN MAJAZ……… 11

(20)

1. Definisi Haqiqat……… 11

2. Definisi dan Macam-macam Majaz……… ……… 12

3. Keumuman Lafazh Majaz……… 15

4. Mengumpulkan Lafazh Haqiqat dan Lafazh Majaz………. 16 C. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Bakri, Sidi Nazar Fiqh dan Ushul Fiqh, PT. Raja GrafindoPersada 2003

Firdaus, Ushul Fiqh ( Metode Menngkaji Dan Memahami Hukum Islam), Jakarta; Zikrul Hakim 2004.

Syarifuddin ,Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2011

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Na osnovu postignutih rezultata može se zaključiti da roditeljske komponenete H1 daju bolji prinos i bolje iskorišćavaju pristupačnu vlagu pri većim gustinama, bez obzira

Keseimbangan lini adalah suatu penugasan sejumlah pekerjaan kedalam stasiun-stasiun kerja yang saling berkaitan dalam suatu lintasan atau lini produksi dengan

 deviden yang diumumkan  agio saham  modal sumbangan  laba ditahan  utang deviden  perusahaan perseorangan  persekutuan-akun modal Untuk memahami dengan baik

Pelayanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) perlu diadakan khususnya perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan anak-anak yang lebih lama tinggal di rumah,

Tesis berjudul Pendekatan Metode Generalized Structured Component Analysis (GSCA) untuk Model Persamaan Struktural Unidimensional telah diuji dan di- sahkan oleh Fakultas Matematika

Interkalsi lempung dengan KV diharapkan akan menghasilkan membran polimer elektrolit yang memiliki kapasitas penukar kation dan stabilitas termal yang tinggi

Pelat Timah Nusantara (NIKL) meraih penjualan senilai US$110,01 juta hingga 30 September 2017, meningkat dari penjualan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar

Pinjaman Pegawai 99 Flowchart 12 Prosedur Pengeluaran Uang Kelebiahan Lelang 102 Flowchart 13 Prosedur Pengeluaran Lain-Lain 105 Flowchart 14 Prosedur Pengeluaran