BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Populasi Sapi
Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan
masyarakat Indonesia, mengakibatkan permintaan akan produk peternakan
semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena masyarakat semakin sadar dan
peduli terhadap pemenuhan kebutuhan proteinnya. Dalam pemenuhan kebutuhan
protein tersebut, daging sapi adalah salah satu produk sumber suplai terbesar.
Menurut data Dirjennak dan Keswan (2010), 20,4% kebutuhan daging nasional
dipenuhi dari daging sapi. Namun disayangkan 30% diantaranya berasal dari
impor luar negeri. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Program Swasembada
Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014). Program ini merupakan lanjutan dari
Program Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging
Sapi (P2SDS) 2010 yang sampai sekarang belum berhasil dicapai. Untuk Program
Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 ini. Di Sumatera Utara pada tahun 2005
sampai dengan tahun 2009, populasi sapi selalu mengalami peningkatan setiap
tahun. Menurut data Statistik Peternakan (2009), terjadi peningkatan rata-rata
populasi sapi potong sebesar 15,11% per tahun yaitu 250.465 ekor tahun 2005
menjadi 401.821 ekor pada tahun 2009.
Perkembangan populasi sapi potong dan tingkat penyebarannya pada
beberapa wilayah di Indonesia sangat bervariasi. Secara nasional yaitu 6,07%;
6,35%; 3,20%; 6,67%; dan 11% masing-masing terdapat di Sumatera,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Di wilayah Jawa dan Bali
perkembangannya hanya 1,85% sedangkan di Sulawesi mengalami penurunan
sebesar 2,57%. Dikemukakan pula bahwa rendahnya tingkat perkembangan
populasi sapi potong secara nasional terjadi akibat rendahnya perkembangan
populasi di wilayah sentra-sentra produksi utama yakni Jawa-Bali dan Sulawesi.
Kedua wilayah tersebut menampung sekitar 61% dari populasi sapi nasional
(Pambudy 2001).
Pada awalnya kegiatan peternakan berkembang pada dua tipe wilayah
pertama adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek sosial
ekonomi (terutama akses ke pasar), namun lemah dalam aspek biofisik. Tipe
wilayah kedua adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek
biofisik (ketersediaan bahan baku dan kesesuaian agroklimat) namun lemah dalam
aspek sosial ekonomi (Saragih 1995).
Secara nasional ada tiga periode perkembangan populasi ternak
ruminansia (besar dan kecil) yang menunjukkan pola yang sama yaitu rendah
(1969-1976), tinggi (1977-1986) dan rendah kembali (1987-1996). Hal ini
disebabkan oleh dua faktor utama yang dapat mempengaruhi perubahan populasi
tersebut. Faktor pertama adalah penambahan jumlah ternak yang terjadi melalui
kelahiran dan impor ternak, dimana pada periode 1977-1986 impor ternak dari
luar negeri dalam bentuk ternak bibit banyak dilakukan, sedangkan pada periode
1987-1996 sudah menurun. Program Inseminasi Buatan untuk meningkatkan
angka kelahiran terus ditingkatkan, namun kelihatan masih belum memberikan
hasil yang diharapkan. Faktor kedua adalah pengurangan jumlah ternak akibat
kematian, pemotongan dan ekspor. Kegiatan ekspor ternak hidup dua periode
terakhir sudah tidak dilakukan, artinya kematian ternak akibat penyakit dan
pemotongan ternak merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah populasi ternak
tersebut (Pambudy 2001)
Keberhasilan usaha pengembangan peternakan di suatu daerah sangat
tergantung pada tiga faktor utama yaitu: (1) kondisi fisik alami daerah (tanah,
iklim dan ketersediaan sumber daya pakan), (2) kondisi sosial masyarakat
penduduk, terutama tingkat ketrampilan dan pengetahuan peternak, (3) kondisi
ekonomi daerah yag bersangkutan antara lain harga ternak, keadaan prasarana dan
harga pasar (Soewardi 1987).
Upaya untuk Meningkatkan Populasi Sapi
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997
menyebabkan terjadinya penghentian sementara impor daging dan sapi bakalan.
Akibatnya hampir semua kebutuhan daging di Indonesia dipenuhi oleh pasokan
dalam negeri yang bakalannya diperoleh dari peternakan rakyat. Kondisi ini
berat dibawah 200 kg dan sapi betina produktif sehingga menambah terpuruknya
perkembangan populasi ternak di Indonesia, sebelum terjadi krisis ekonomi,
Indonesia masih kekurangan daging sekitar 139.400 ton atau 28% dari kebutuhan,
sehingga untuk mengatasinya dilakukan impor sebanyak 30.000 ton daging atau
ekuivalen dengan 181.818 ekor sapi (Herdis et al. 2010).
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya antara lain:
peningkatan populasi dan produktivitas ternak baik secara kualitatif dan
kuantitatif sehingga dapat meningkatkan populasi ternak lokal dan mengurangi
impor ternak sapi dari negara lain. Upaya kedua adalah pemanfaatan ilmu dan
teknologi dibidang reproduksi ternak.
Menurut Nursyam (2012) perkembangkan teknologi di bidang reproduksi
ternak diawali dengan pemanfaatan teknologi inseminsi buatan (IB), kemudian
transfer embrio (TE) dan saat ini telah dikembangkan teknologi prosessing semen,
fertilisasi in vitro, teknologi criopreservasi gamet, pembentukan ternak
transgenik, cloning dan pembentukan ternak chimera. Upaya pengembangan dan
pemanfaatan teknologi reproduksi ternak tersebut perlu dukungan peralatan yang
memadai dan dana yang cukup serta tenaga ahli yang terampil. Aplikasinya oleh
petani peternak di Indonesia baru sampai pada tahap inseminasi buatan (IB) dan
transfer embrio (TE).
Syam Rahadi (2008) mengemukakan bahwa contoh bioteknologi pada
bidang peternakan, khususnya bioteknologi reproduksi adalah inseminasi buatan
(IB), transfer embrio (TE), pemisahan jenis kelamin, pemisahan spermatozoa X
dan Y, In Vitro Fertilization (IVF), kloning dan sebagainya. Di bidang peternakan
khususnya sapi, bioteknologi reproduksi mulai berkembang pesat pada
tahun1970-an. Teknologi Inseminasi Buatan berperan penting dalam rangka
peningkatan mutu genetik dari sapi pejantan. Sperma beku dapat diproduksi dan
digunakan dalam jumlah banyak cukup dengan memelihara pejantan berkualitas
baik dipusat IB.
Teknologi transfer embrio yang diterapkan secara bersama dengan
teknologi IB dapat mengoptimalkan sekaligus potensi dari sapi jantan dan betina
berkualitas unggul. Kemajuan di bidang manipulasi mikro, khususnya pembelian
ekonomi. Sapi jantan lebih menguntungkan untuk usaha produksi daging.,
sedangkan sapi betina lebih menguntungkan untuk usaha produksi susu. Untuk
tujuan penentuan jenis kelamin embrio, biopsi dapat dilakukan pada tahap
embrional dan selanjutnya embrio dapat langsung ditransfer pada resipien tau
disimpan dengan teknik pembekuan.
Program peningkatan produksi dan kualitas pada hewan ternak (dalam hal
ini sapi) berjalan lambat bila proses reproduksi dilakukan secara alamiah. Dengan
rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan antara
lain dengan teknologi Inseminasi Butana (IB). Transfer Embrio (TE), pembekuan
embrio dan manipulasi embrio. Tujuan utama dari teknik IB adalah
memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul. Sperma dari satu pejantan
berkualitas unggul dapat digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina,
meskipun sperma tersebut dikirim kesuatu tempat yang jauh. Perkembangan
selanjutnya adalah teknologi TE dimana bukan hanya potensi dari jantan saja
yang dioptimalkan, melainkan potensi betina berkualitas unggul juga dapat
dimanfaatkan secara optimal. Pada betina untuk bunting hanya sekali dalam
setahun (9 bulan bunting dan persiapan bunting selanjutnya) dan hanya mampu
menghasilkan satu atau dua anak bila terjadi kembar. Teknik TE dimana sapi
betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio
yang untuk selanjutnya bisa ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien)
dengan kualitas yang tidak perlu bagus tetapi mempunyai kemampuan untuk
bunting.
Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses untuk meneruskan
keturunan. Teknik IVF, sel telur yang berada dalam ovarium betina berkualitas
unggul sesaat setelah mati dapat diproses diluar tubuh sampai tahap embrional.
Selanjutnya embrio tersebut ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak.
Produksi embrio dalam jumlah banyak ternyata juga dapat menghasilkan masalah
karena keterbatasan resipien yang siap menerima embrio. Untuk mengatasi
masalah tersebut dikembangkan metode pembekuan embrio. Selain berbagai
teknik tersebut di atas, potensi dari hasil yang masih dapat dioptimalkan dengan
teknologi manipulasi mikro, penentuan jenis kelamin tahap embrional, sexing
Tetapi dari sekian banyak teknologi reproduksi yang ada, inseminasi
buatan merupakan teknik reproduksi yang cukup berhasil dan dapat diterapkan
terutama dinegara-negara berkembang seperti Indonesia, sehingga sampai saat ini
di Indonesia telah berkembang balai-balai IB yang memproduksi semen beku dari
pejantan yang berkualitas unggul.
Upaya peningkatan populasi ternak selain penggunaan teknologi
Inseminasi Buatan dengan penggunaan semen dari pejantan unggul diupayakan
juga penggunaan ternak pejantan unggul yang telah terseleksi dikenal dengan
istilah Intensifikasi Kawin Alam (INKA).
Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan populasi dan produksi serta
produktivitas ternak sapi potong dan kerbau perlu dilakukan upaya-upaya
intensifikasi kawin alam (INKA), karena cara ini sangat menunjang keberhasilan
budidaya ternak di pedesaan dan masih banyak dilakukan didaerah-daerah di
Indonesia. Diyakini bahwa sampai tahun 2014 bahkan sampai masa mendatang
metoda pelaksanaan intensifikasi kawin alam akan tetap menjadi pilihan untuk
melakukan pengembangbiakan atau pembibitan ternak di Indonesia, karena diluar
negeri pun pilihan kawin alam tetap menjadi program yang dilaksanakan oleh
masyarakat. Indonesia banyak memiliki lahan-lahan pengangonan bersama
terutama di daerah-daerah luar Jawa sehingga memungkinkan pelaksanaan kawin
alam (sistem semi ekstensif), bahkan didaerah intensif sekalipun masih dapat
dilaksanakan kawin alam dengan metode tertentu tergantung kebiasaan
masing-masing masyarakat (Dirjennak & Keswan 2011)
Inseminasi Buatan sebagai Salah Satu Teknologi Reproduksi Tepat Guna di Indonesia
Penerapan inseminasi buatan (IB) pada ternak merupakan salah satu usaha
untuk meningkatkan populasi. Dilihat dari bentuk semen yang diinseminasikan
teknologi IB terdiri dari dua macam yaitu IB dengan semen segar dan IB dengan
semen beku. IB dengan semen segar biasanya digunakan untuk perkawinan ternak
pada areal terbatas, yang dapat dijangkau dengan waktu yang cepat. Hal ini terjadi
karena semen segar yang akan diinseminasikan dapat rusak apabila disimpan
teknologi IB dengan menggunakan semen beku. Semen beku atau frozen semen
adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku -79 oC sampai -196 oC. Perkawinan IB dengan metode ini dapat dilakukan tanpa dibatasi oleh masalah jarak dan waktu karena semen yang digunakan dalam keadaan beku.
Metabolisme yang terjadi pada semen yang dibekukan ditekan sampai pada tahap
basal metabolisme sehingga energi yang digunakan sangat sedikit. Keadaan ini
menyebabkan semen dapat disimpan dalam waktu yang lama bahkan bisa sampai
lebih dari 10 tahun karena asam laktat yang terbentuk tidak akan meracuni
spermatozoa.
Semen beku menurut Badan Standardisasi Nasional (2005) adalah semen
yang berasal dari pejantan sapi terpilih yang diencerkan sesuai prosedur proses
produksi sehingga menjadi semen beku dan disimpan di dalam rendaman nitrogen
cair pada suhu -196oC pada container.
Pada dasarnya pengertian IB adalah suatu kegiatan pemasukan sperma
(semen) kedalam saluran kelamin betina dengan menggunakan peralatan buatan
manusia yang tujuannya untuk memperoleh kebuntingan dalam usaha
meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif
(Toelihere 1985). Inseminasi buatan adalah proses memasukkan sperma ke dalam
saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa
perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa
seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan
(spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada
hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang
dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul
dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez 1993).
Ihsan (1997) mengatakan ada dua teknik inseminasi, yaitu menggunakan
metode:
1. Speculum atau vaginoscope Metode ini kurang efektif pada sapi, karena
membutuhkan tabung speculum yang besar dan panjang membutuhkan
sterilisasi, sehingga tidak efisien, tetapi ini tidak membutuhkan keterampilan
dan banyak latihan dan lebih mudah dilakukan. Biasanya digunakan pada
2. Metode Rectovaginal Semen yang digunakan pada metode ini adalah semen
beku dengan menggunakan peralatan insemination gun untuk deposisi semen
dalam bentuk straw kedalam alat kelamin betina. Alat ini terbuat dari stainless
steel yang diselubungi plastic sheat. Peralatan lainnya dalam metode ini adalah
container yang berisi nitrogen cair untuk menyimpan semen beku yang terbuat
dari alumunium (Toelihere 1993).
Gambar 1. Teknik IB dan hasil radiografi (Senger 2003).
Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya
mencakup memasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga
menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan yang akan diambil semennya,
penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan
(pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan
dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan
penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas
yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi
artificial breeding atau perkawinan buatan (Toelihere 1985).
Tolok Ukur Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB)
Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor
utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai akseptor Inseminasi Buatan,
keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan pengetahuan zooteknis peternak.
Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya
produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere 1997). Permasalahan utama dari
semen beku adalah rendahnya kualitas semen setelah dithawing, yang ditandai
dengan terjadinya kerusakan pada ultrastruktur, biokimia dan fungsional
spermatozoa yang menyebabkan terjadi penurunan motilitas dan daya hidup,
kerusakan membran plasma dan tudung akrosom, dan kegagalan transport dan
fertilisasi.
Menurut Bailey dan Buhr (1994) ada empat faktor yang diduga sebagai
penyebab rendahnya kualitas semen beku, yaitu: (1) perubahan-perubahan
intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan
kristal-kristal es, (2) cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang dibekukan, (3) plasma
semen mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga enzim fosfolipase
A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis dari pejantan;
dan (4) triglycerol lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan
disebut SBUIII.
Pengaruh yang ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya
kemampuan fertilisasi spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel
spermatozoa untuk mengontrol aliran Ca2+. Padahal ion kalsium memainkan peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua
proses ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi
betina sebelum membuahi ovum (Partodiharjo 1992).
Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu
pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak
betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Waktu terjadinya ovulasi selalu
terkait dengan periode berahi. Pada umumnya ovulasi berlangsung sesudah akhir
periode berahi. Ovulasi pada ternak sapi terjadi 15-18 jam sesudah akhir berahi
atau 35-45 jam sesudah munculnya gejala berahi. Sebelum dapat membuahi sel
telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa membutuhkan waktu
kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzim-enzim zona pelucida dan masuk
menyatu dengan ovum menjadi embrio (Hafez 1993). Waktu kapasitasi pada sapi,
yaitu 5-6 jam (Bearden & Fuquay 1980). Oleh sebab itu, peternak dan petugas
lapangan harus mutlak mengetahui dan memahami kapan gejala birahi ternak
membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan peternak. Apabila semua faktor di
atas diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih
baik dibandingkan dengan perkawinan alam. Hal ini berarti dengan tingginya
hasil IB diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan
meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas
genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul yang
terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan
produksi peternakan akan tercapai.
Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez 1993) adalah
sebagai berikut: (1) menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan, (2) dapat
mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik, (3) mencegah terjadinya kawin
sedarah pada sapi betina (inbreeding), (4) dengan peralatan dan teknologi yang
baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama, (5) semen beku
masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah
mati, (6) menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena
fisik pejantan terlalu besar, sedangkan betina tidak sebanding dan (7) menghindari
ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan
hubungan kelamin.
Menurut Dirjennak dan Keswan (2010) Tolok ukur keberhasilan
pelaksanaan IB dapat dilihat dari 2 (dua) aspek yaitu aspek Petugas Lapangan dan
aspek Wilayah Tahapan dimana masing-masing aspek mempunyai kriteria
1. Petugas Lapangan
Tabel 1. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan IB di lapangan
Uraian Lokasi
Introduksi Pengembangan Swadaya Petugas Lapangan penilaian dalam setahun - Pelaporan penilaian dalam setahun - Pelaporan
3. ATR
- Ketepatan diagnosa gangguan reproduksi - Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi - Dinilai oleh
- Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010).
2. Wilayah Tahapan
Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan pada SP-IB di
Tabel 2. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan di Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan ( SP-IB)
Uraian Wilayah Tahapan
Introduksi Pengembangan Swadaya 1. S/C
2. CR (%)
3. Jumlah IB (dosis) 4. Jlh. Akseptor (ekor) 5. Cakupan wilayah binaan (ekor)
6. Kelahiran/tahun minimal (ekor)
7. Kasus Reproduksi (%) 8. Keberhasilan penanganan Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010).
Intensifikasi Kawin Alam (InKA)
Intensifikasi Kawin Alam (InKA) adalah upaya peningkatan populasi
ternak sapi yang dilakukan melalui pemakaian dan distribusi pejantan unggul
terseleksi dari bangsa sapi lokal dengan tiga prinsip manajemen perkawinan,
yaitu (1) perkawinan model kandang individu (intensif), (2) perkawinan
model kandang kelompok/umbaran (semi intensif) dan (3) perkawinan
model padang penggembalaan (ekstensif). Pejantan yang digunakan berasal dari
hasil seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performance tubuh, berumur
lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi. (Dirjennak & Keswan
2011)
Kawin alam digunakan antara lain dengan pertimbangan bahwa secara
alamiah ternak memiliki kebebasan hidup di alam bebas, sehingga dengan sikap
alamiah ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna dan
secara alamiah ternak jantan mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi,
sehingga sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat
Sasaran InKA mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Penyebaran pejantan unggul untuk kawin alam di wilayah intensif, semi
intensif dan ekstensif;
2. Meningkatnya nilai conception rate (CR) sebesar 70-80%;
3. Terjadinya perbaikan ratio antara bibit jantan dan betina di suatu wilayah;
4. Terbinanya kelompok-kelompok usaha penyewaan pejantan unggul baik
diwilayah intensif, semi intensif dan ekstensif;
5. Terseleksinya pejantan unggul untuk model perkawinan secara alami.
Efisiensi Reproduksi
Bearden dan Fuquay (1980) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan usaha peternakan adalah manajemen reproduksi, antara
lain menyangkut frekuensi ternak betina yang dapat beranak sehingga
meningkatkan efisiensi reproduksi. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985),
efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata oleh
proporsi ternak yang tidak mampu beranak. Ternak betina yang mampu beranak
hanya apabila dikawinkan dengan seekor jantan yang menghasilkan spermatozoa
yang selanjutnya dapat membuahi ovum dan memulai proses-proses yang
berhubungan dengan konsepsi melalui implantasi, pertumbuhan janin dan
perkembangan fetus.
Tingkat efisiensi reproduksi akan mempengaruhi perkembangan populasi
ternak sapi pada suatu wilayah. Hal tersebut dapat diidentifikasikan melalui
aplikasi teknologi perkembangbiakan di wilayah tersebut apakah menggunakan
kawin alam, inseminasi buatan atau teknologi lainnya (Bestari et al. 1999). Sistem
manajemen pemeliharaan yang bagus menghasilkan angka beranak pada sapi dari
hasil perkawinan dengan IB bisa mencapai 90% (Jainudeen & Hafez 1993).
Sistem pencatatan yang tertib dan teratur terhadap akseptor dan anak
hasil IB ikut berperan dalam menentukan tingkat efisiensi reproduksi. Menurut
Salisbury dan Van Demark (1985), sistem pencatatan reproduksi terhadap
sapi-sapi yang dimiliki peternak bila dilakukan dengan baik dapat dijadikan
menjelaskan bahwa pencatatan diperlukan untuk mengetahui maju mundurnya
program IB terhadap suatu individu atau kelompok ternak
Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi reproduksi,
yaitu Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR) dan Calving Interval
(CI) dengan menggunakan data sekunder dari recording reproduksi (Susilawati
2002).
Menurut Affandhy et al. (2003), produktivitas sapi potong dapat
ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi antara lain dengan
meningkatkan kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak, memperpanjang
masa produksi dan mengoptimalkan pengelolaan program IB, metode deteksi
berahi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sebesar 50%-90%.
Efisiensi reproduksi hasil program IB menurut Ismaya (1999), diukur dari
angka tidak kembali minta diinseminasi, angka kebuntingan pada inseminasi ke-1,
angka kawin per kebuntingan, jarak kawin pertama pasca beranak, masa kosong,
angka beranak, jarak beranak berurutan dan angka panen anak. Tinggi rendahnya
efisiensi reproduksi merupakan ukuran keberhasilan program IB.
Angka Tidak Kembali Minta Diinseminasi
Angka yang tidak kembali minta diinseminasi pada periode tertentu
dianggap bunting. Evaluasi dengan cara ini merupakan yang paling cepat untuk
mengukur keberhasilan pelaksanaan IB dan dikenal dengan istilah Non Return
Rate yang disingkat NRR (Salisbury & VanDemark 1985; Partodihardjo 1992;
Toelihere 1993)
Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa kembalinya berahi
dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: kegagalan ovulasi, kegagalan
pembuahan dan kegagalan implantasi. Kembalinya berahi juga karena fertilitas
sapi betina yang rendah dan kualitas semen yang digunakan untuk IB juga rendah
(Jainudeen & Hafez 1993).
Dasar perhitungan jarak waktu yang dipakai untuk menentukan NRR
adalah 60-90 hari pasca inseminasi (Salisbury & Van Demark 1985; Partodihardjo
1992; Toelihere 1993). Menurut Roberts (1971) disitasi oleh Toelihere (1993)
angka 65%-72% dengan CR sebesar 53,4% (Salisbury & Van Demark 1985) dan
terjadi kecenderungan penurunan persentase dari NRR ke Conception Rate (CR)
sebesar 10%-15% (Jainudeen & Hazes 1993).
Kelemahan evaluasi NRR adalah bahwa ternak yang tidak kembali
diinseminasi dianggap bunting. Hal ini tidak selalu benar, ada beberapa akseptor
tidak dibawa oleh peternak ke petugas inseminasi (inseminator) oleh suatu sebab
atau alasan diantaranya yaitu akseptor pindah tempat, dijual, mati, peternak lupa
atau peternak terlalu sibuk (Salisbury & Van Demark 1985). Menurut Toelihere
(1993), sapi-sapi yang tidak kembali berahi pasca IB dianggap bunting dan tidak
dilaporkan peternak disebabkan karena beberapa hal diantaranya karena ternak
mengalami berahi tenang, mati, dijual, hilang atau adanya gangguan reproduksi.
Angka Kebuntingan
Angka Kebuntingan atau Conception Rate disingkat CR merupakan salah
satu ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan IB (Bearden & Fuquay
1980). Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), CR merupakan informasi berapa
persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama
secara bersama-sama. Menurut Partodihardjo (1992) bahwa perhitungan CR
berdasarkan pada jumlah sapi yang berhasil bunting pada inseminasi pertama
melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara eksplorasi rectal pasca inseminasi
selama 45-60 hari, 40-60 hari (Toelihere 1993) dan 35-49 hari (Salisbury & Van
Demark 1985).
Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa CR merupakan
perhitungan jumlah sapi betina yang jelas dibuahi dan menjadi bunting pada
inseminasi pertama. Conception Rate disebut juga dengan efisiensi pembuahan
yang merupakan ukuran fertilitas sapi betina (Partodihardjo 1992).
Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), Conception Rate sapi potong hasil
inseminasi pertama dengan manajemen yang baik bisa mencapai 70%.
Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa CR ideal adalah 70% tetapi secara umum
sebesar 40%. Hasil penelitian Affandhy et al. (2003) menunjukkan bahwa CR
pada sapi PO di Jawa Timur berkisar 44,8%-50,0%. Conception Rate diantaranya
timbul gejala berahi dengan CR sebesar 75% (Gomes 1977) dan 72%
(Partodihardjo 1992). Menurut Wiryosuhanto (1990) Conception Rate (CR)
adalah persentase kebuntingan sapi betina pada pelaksanaan IB pertama dan dapat
dipakai sebagai alat ukur tingkat kesuburan. Ternak yang mempunyai tingkat
kesuburan tinggi, CR bisa mencapai 60% sampai 70% dan apabila CR setelah
inseminasi pertama lebih rendah dari 60% sampai 70% berarti kesuburan ternak
terganggu atau tidak normal.
Kawin Per Kebuntingan (Service per Conception)
Tujuan perkawinan adalah untuk menghasilkan kebuntingan. Berhasil atau
tidaknya perkawinan pada sapi induk untuk menghasilkan kebuntingan ditentukan
oleh banyak hal diataranya kesuburan induk yang bersangkutan, kesuburan
pejantan yang mengawini dan tatalaksana perkawinan yang diterapkan oleh
peternak (Partodihardjo 1992)
Jumlah atau frekuensi kawin perkebuntingan dikenal dengan istilah
Service per Conception yang disingkat dengan S/C merupakan salah satu ukuran
efisiensi reproduksi induk sapi potong, sehingga perhitungan S/C pada kegiatan
IB mutlak diperlukan (Toelihere 1993). Menurut Salisbury dan Van Demark
(1985), S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi
bunting.
Toelihere (1993) menyebutkan bahwa angka S/C yang normal adalah
1,60 sampai 2,00. Semakin mendekati angka 1 berarti semakin tinggi tingkat
kesuburan sapi induk dan pejantan (semen beku yang digunakan) dalam
kelompoknya. Dilaporkan oleh Achmad (1983) bahwa S/C sapi PO di Gunung
Kidul dan Kulon Progo masing-masing 2,2 dan 2,3, di Grobogan dan Wonosobo
Jawa Tengah cukup tinggi yaitu 2,6 (Hadi & Ilham 2002), di Jawa Timur sebesar
2,0-2,2 (Affandhy et al. 2003) dan di Bantul Yogyakarta 2,1-2,3 (Sugiharto et al.
2004).
Persentase Calf Crop
Persentase calf crop adalah jumlah anak yang disapih dibandingkan
2009). Pada sapi dara calf crop biasanya sekitar 55%, sedangkan yang telah
beranak beberapa kali (cow) dapat mencapai 86% (Dyer 2010).
Jumlah anak sapi yang dilahirkan dan dapat dijual merupakan sumber
pemasukan bagi usaha peternakan dan hasil dari program breeding pada ternak
adalah menghasilkan turunan/anak (Dyer 2010). Pejantan yang baik adalah dapat
menghasilkan kebuntingan sebesar 80% pada perkawinan pertama dengan
perkawinan alami (Cooper & Willis 1989).
Perbaikan persentase Calf Crop dapat dilakukan dengan langkah :
(1) Sebelum beranak, dimana induk mempunyai skor kondisi tubuh (body
condition score) yang baik, memberi makanan yang lebih baik saat menjelang
kawin dan menjelang melahirkan bertujuan meningkatkan ovulasi dan
mempersingkat jarak beranak, (2) Saat melahirkan diharapkan kelahiran 70%
dalam 21 hari pertama musim kelahiran dan menseleksi induk yang melahirkan
lebih lama, dan ternak yang akan melahirkan dikumpulkan pada satu tempat yang
mudah untuk pengawasan dan pertolongan saat beranak, memberi pakan yang
baik untuk menjaga kondisi tubuh induk dan penurunan berat badan yang
berlebihan selama menyusui, (3) Breeding, pengamatan berahi atau musim kawin
kembali setelah beranak, kalau dapat 60 hari setelah beranak dan mengeluarkan
induk yang berahi kembali diatas 90 hari, mengawinkan dengan tepat waktu baik
kawin alam maupun dengan inseminasi buatan, (4) Perkembangan, dengan
memeriksa terjadinya kebuntingan dengan palpasi, ultrasound dan uji darah (Dyer
2010).
Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan
Menurut Dirjennak dan Keswan (2010), wilayah pelayanan Inseminasi
Buatan ditentukan atas dasar tahapan pelaksanaan Inseminasi Buatan yang
meliputi 3 (tiga) tahapan wilayah, yaitu wilayah tahapan introduksi, wilayah
tahapan pengembangan dan wilayah tahapan swadaya. Lokasi pelaksanaan IB
diarahkan kepada sentra produksi dan atau kawasan pengembangan sapi.
Model pelayanan Inseminasi Buatan meliputi 3 (tiga) model yaitu
pelayanan aktif (peternak mendatangi inseminator), semi aktif (inseminator dan
peternak). Perencanaan pelayanan Inseminasi Buatan pada setiap Satuan
Pelayanan IB (SP-IB) dilakukan dengan memperhitungkan beberapa hal yaitu
struktur populasi ternak sapi (dewasa, muda dan anak baik jantan maupun betina),
akseptor, S/C dan CR, tenaga dan sarana yang tersedia. Batasan dan kriteria
wilayah tahapan pelayanan IB disajikan pad Tabel 3.
Tabel 3. Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan IB
Uraian Wilayah Tahapan
Introduksi Pengembangan Swadaya Kinerja:
Kemampuan Inseminator/thn (dosis)
S/C CR (%)
300
3 – 5 50
500
2 – 3 70
800
< 2 80 Batasan :
1. Waktu Pelaksanaan IB < 5 thn 5-10 thn 10 thn
2. Wilayah SP-IB SP-IB SP-IB
3. Jumlah akseptor (ekor/thn/ > 100 > 200 > 400 inseminator
4. Cakupan Wilayah Binaan 1.800 3.600 7.200
(ekor/tahun)