• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

6

Beberapa aturan syari’at perkawinan Islam yang telah menjadi bagian dari

sistem hukum positif Indonesia,antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;dan

d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perkawinan dan

Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.7

5

Ibid , hal 12 6

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1992, hal.11. 7

(2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan

sumber hukum perkawinan yang mengatur secara lengkap dan modern tentang

perkawinan dan perceraian.Sebenarnya undang-undang ini jauh lebih sempurna

dan lengkap mengenai substansi yang diatur di dalamnya,baik berupa asas-asas

maupun norma-norma hukum perkawinan dan perceraian serta kehidupan

berkeluarga.

Perbuatan tersebut perlu menjadi fokus kajian untuk diketahui motivasi,

alasan, dan tujuannya sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk diatasi atau

dicegah terjadinya pelanggaran yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara.Dampak tersebut, antara lain, berupa pengacauan administrasi

kependudukan, status kewarganegaraan, perlindungan istri dan anak, serta harta

kekayaan mereka.Hal ini akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga

dan keluarga,baik selama perkawinan maupun jika terjadi perceraian suami istri.

Berdasar pada beberapa kelemahan tersebut di atas, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai

penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna mencegah

terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun terhadap norma-norma

yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan. Asas-asas

dimaksud,antara lain, asas suka rela, asas partisipasi keluarga,asas perceraian

(3)

asas kebaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan dan

perceraian maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.8

Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undang-undang No. 1

Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam penjelasannya disebutkan:

’’Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting”9

Rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atas

ini pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan

rumusan-rumusan perkawinan dari para ahli/sarjana .

Menurut Anwar Harjono mengatakan Pernikahan adalah suatu perjanjian

suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk

keluarga bahagia.Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu

tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja , akan tetapi ikatan

kedua-duanya .

Sebagai ikatan lahir ,perkawinan merupakan hubungan antara seorang pria

dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.ikatan lahir ini

merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan

dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan

adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah bagi yang beragama

Islam .

8

Ibid , hal. 69 9

(4)

Sebagai ikatan bathin , perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin

karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Dalam taraf permulaan , ikatan

bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai

untuk melangsungkan perkawinan . Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan

bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan .

Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam

membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu

tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal . Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan

bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan , akan

tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya , dan tidak boleh diputuskan

begitu saja .Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan

untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak . Pemutusan perkawinan dengan

perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa .10

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku,kalau perkawinan itu

dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka

perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-undang No 1

10

(5)

Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut aturan

hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut

tata-tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.11

Syarat Materil dan Formal:

Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan

undang-undang. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang

harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan

dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam ketentuan

Undang-Undang Perkawinan.

Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok,yaitu:

a. Syarat materil(subjektif)

Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri

pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Karena itu, disebutjuga syarat

subjektif.

b. Syarat formal (objektif)

Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan

menurut hukum agama dan Undang-Undang yang disebut juga syarat objektif.

11

(6)

Syarat-syarat perkawinan yang dibahas dalam uraian ini hanya terbatas

pada syarat materil (subjektif). Syarat materil (subjektif) tersebut meliputi syarat

materil perkawinan monogami.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan

perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di

bawah ini , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12 :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai:

Pasal 6 ayat (1) :Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Pada penjelasannya disebutkan:Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun’’

Syarat perkawinan ini memberikan suatu jaminan agar tidak terjadi lagi adanya

perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya

mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang

sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka sudah

seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada

keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang

akan dijadikan kawan hidup dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar

dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21

Tahun

Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat (2) , (3) , (4) ,

(7)

Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Pasal 6 ayat (3) : Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Pasal 6 ayat (4) : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Pasal 6 ayat (5) : Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya , maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) , (3) dan (4) pasal ini.

Pasal 6 ayat (6) : Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain12

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita

sudah mencapai 16 Tahun

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:

’’Perkawinan hanya boleh diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

Ketentuan Undang-undang perkawinan ini adalah untuk mencegah

terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur . Sehingga oleh

karena itu perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat ataupun juga tidak

diperkenankan.Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak

dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin.

12

(8)

Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang

Perkawinan pada pasal 8 adalah sebagai berikut:

a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan

saudara neneknya

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudara susuan dan

bibi/paman susuan

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,

dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku ,

dilarang kawin.

4. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain

Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : Seorang yang masih terikat

tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi , kecuali dalam hal yang

tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.13

13

(9)

Pasal 3 menyatakan:

Pasal 3 Ayat (1) :Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Pasal 3 Ayat (2):Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka

kawin kembali untuk ketiga kalinya

Dalam Pasal 10 Undang-undang perkawinan disebutkan: ”Oleh karena

perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga

yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan

harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan

ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga

suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

6. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda

Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu

tersebut diatur sebagai berikut :

1.Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)

undang-undang ditentukan sebagai berikut:

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan

130 (seratus tiga puluh) hari

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tungu bagi yang

(10)

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang

bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,

waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan

2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan kelamin.

3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak

jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap

sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suami.14

Syarat-Syarat perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dicantumkan pada buku ke satu tentang orang, Bab ke empat, bagian ke satu

tentang perkawinan mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 49:

Pasal 27: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.

Pasal 28: Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri.

Pasal 29: Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

14

(11)

Pasal 30: Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah.

Pasal 31 KUH Perdata Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut:

1.Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;

2.Antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32: Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu.

Pasal 33: Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak boleh untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.

Pasal 34: Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.

(12)

meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.

Pasal 36: Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas. Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.

Pasal 37: Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.

Pasal 38: Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.

(13)

antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas. Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.

Pasal 40: Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak.

Pasal 41: Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. (s.d.u. dg. S. 1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.

Pasal 42: Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

(14)

dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.

Pasal 44: Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.

Pasal 45: Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan.(KUH Perdata 47, 48.)

Pasal 46: Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.

Pasal 47: Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.

Pasal 48: Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.

Pasal 49: Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia.15

Kekurangan Pasal 26 KUH Perdata, tidak memperhatikan beberapa hal seperti :

1.Unsur agama,Undang-Undang tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan menurut peraturan Undang-Undang tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama.

2.Segi biologis,Undang-Undang tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan.

3.Segi motif,Undang-Undang tidak memperdulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan.

15

(15)

Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja.

Positifnya Pasal 26 KUH Perdata:

A. Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata.

B. Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian.

C. Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu (limitatif).

C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat –

istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh

Konstitusi pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam

sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang

perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang

dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan

pada saat melangsungkan perkawinan.

Menurut pendapat yang berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini,Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya bukan tidak mengatur tentang perkawinan beda

agama, tetapi secara implisit ada (diatur) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”16

Karena itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah

agamanya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama,

dengan memperhatikan Pasal 8 butir f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

16

(16)

Tahun 1974 tentang larangan perkawinan yang berbunyi: ”Perkawinan dilarang

antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku, dilarang kawin.”17

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dasar hukum perkawinan di

Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974

5. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia18

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan peluang

yang besar terhadap agama atau kepercayaan untuk menentukan sah atau tidaknya

suatu perkawinan.19

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit

menentukan apakah perkawinan beda agama dibolehkan atau dilarang. Hal ini

dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan norma penunjuk (

verwijzingsgregel ) pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh

karena itu para penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat

perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan

beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang

berbeda – beda.20

Undang-undang perkawinan hanya ada pembatasan pada perbedaan

kewarganegaraannya antara mereka yang berkawin. Dengan demikian,

Undang-17

Ibid , hal. 98 18

Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hal.67 19

Ahmad Tholabi Kharlie , Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal.244

20

http://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12/perkawinan-beda-agama.html di akses

(17)

undang perkawinan tidak mengatur antara dua orang yang berbeda golongan

maupun agama. Misalnya, bagaimana kalau golongan bumiputera yang beragama

Islam harus berkawin dengan golongan keturunan agama lain, sekiranya tiap-tiap

agama dalam peraturannya melarang seorang pemeluk agama itu berkawin dengan

orang yang memeluk agama lain. Maka apabila laki-laki dan seorang perempuan,

yang masing-masing memeluk agama lain, maka biasanya salah satu dari mereka

mengalah dan beralih kepada agama dari pihak lain.

Tetapi sering pula terjadi, bakal suami isteri masing-masing memeluk teguh

kepercayaannya dan tetap akan memeluk agama masing-masing. Hal demikian ini

tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya sebelum Undang-Undang

Perkawinan ini ada, perkawinan yang demikian itu juga digolongkan perkawinan

campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat

dalam Staatsblad 1898-158 atau lebih dikenal dengan GHR. Dalam Pasal 1

menyebutkan bahwa perkawinan di Indonesia antara dua orang yang

masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan ‘perkawinan

campuran’. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa perbedaan agama,

kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan.

Dalam GHR ini cukup jelas, kepada siapa ia harus tunduk kalau terjadi

perkawinan antaragama. Oleh karena itu dengan adanya Pasal 66 Undang-Undang

Perkawinan, GHR ini tidak berlaku lagi. Pasal ini, bunyi lengkapnya adalah: untuk

perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan

atas undang-undang ini, maka Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi

(18)

No. 74). Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh

telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Kalau memang

terjadi perkawinan yang berlainan agama, hukum mana yang akan berlaku, ini juga

tidak jelas dalam Undang-Undang Pekawinan.Karena dalam Undang-Undang

Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan: Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.21

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai

landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal

57.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda

yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda

agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66, maka semua peraturan yang

mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,

dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab

Undang-21

(19)

undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan

peraturan perkawinan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa

ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun

1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon

suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada

Pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 PP No.9 Tahun

1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai

pencatat dan dihadiri dua orang saksi.Tata cara perkawinan dilakukan menurut

hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan

ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974

Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,

dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang

menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang

berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat

ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 maka

persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan

campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.22

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat.

Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi

utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup

bersama,pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh

22

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html,di

(20)

negara.Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi

semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar

dalam berbagai mmedia terjadinya perkawinan yang dianggap dalam kehidupan

bermasyarakat.Sebagai contoh,perkawinan campuran,perkawinan sejenis,kawin

kontrak,dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang

berbeda.Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali

berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga

menyebabkan perkawinan beda agama.

Hal ini disebabkan karena pasangan yang berbeda agama.selain

permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari

kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan

perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian

hari, terutama untuk perkawinan berbeda agama.Salah satu pendapat mengatakan

bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri.Namun, di pihak

lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama

sehingga tidak dapat diterima.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam konsepsi hukum perdata, perkawinan hanya dipandang sebagai

hubungan keperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang

terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan

perkawinan.Undang-Undang hanya mengenal perkawinan perdata,yaitu perkawinan yang

dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di

Indonesia.Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,hanya dibutuhkan dua macam

syarat yaitu:

Syarat materil yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat ini meliputi :

A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan

dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk

(21)

B. Syarat materil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan

bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu terdiri atas:

1) Larangan kawin dengan keluarga sedarah

2) Larangan kawin karena zina

3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah

adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.

C. Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan

dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil

(Pasal 50-51 KUH Perdata)23

Dengan aturan tentang peraturan yang mengatur tentang keabsahan

perbedaan agama di Indonesia tidak dijelaskan secara lengkap di KUH Perdata,

tetapi untuk aturan yang lebih jelas Indonesia menggunakan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974.mengenai kasus tentang perkawinan berbeda agama tersebut.

Perkawinan di Luar Negeri:

Pada pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri,

baik yang dilakukan olehsesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah

satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga

negara asing, adalah sah bila dilakukan menuruthukum yang berlaku di negara di

mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak

melanggar Undang-Undang ini.

Pasal 56 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun

setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus

didaftarkan di kantor pencatatan perkawinantempat tinggal mereka.

23

(22)

D. Pengertian perceraian

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim

pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.Oleh karena

itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat

yang mungkin timbul setelah suami isteri itu perkawinannya putus.Kemudian tidak

kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu

serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.24

Dengan diundangkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan

dengan sewenang-wenang seperti banyak terjadi sebelumnya.Tetapi sekarang ini

harus dilakukan dengan prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat

dibenarkan.25

Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang:

Kata ”cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata kerja),1.

Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata

”perceraian”mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal bercerai

(antara suami istri); perpecahan.26

Istilah ”perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan,yang

mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti barlaki-bini

(suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.

24

Martiman Prodjohamidjojo ,Hukum Perkawinn Indonesia , Jakarta , PT. Abadi , 2002 , hal. 41

25

Victor M. Situmorang , Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia , Jakarta , 1996 , hal. 44

26

(23)

Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum

Positif tentang perceraian menunjukkan adanya:

a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutuskan

hubungan perkawinan di antara mereka.

b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian

suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan

langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum

putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.

Pengertian perceraian menurut Undang-undang:

Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ”Putusnya

perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ”Ikatan lahir

batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan

lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga

(rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Sehubungan dengan pasal

ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun

(24)

yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah,

tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenangan, terutama dari pihak suami

(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan

juga untuk kepastian hukum,maka perceraian harus melalui saluran lembaga

peradilan.27

Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut:

1. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal dan Pasal

39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975,

mencakup antara lain sebagai berikut.

a) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang

diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada

Pengadilan Agama,yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat

hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan siding

Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun

1975).

b) Perceraian dalan pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan

gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama,

yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak

jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

27

(25)

2. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula

dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun

1975,yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami

atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat

hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar cacatan oleh Pegawai

Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9

Tahun 1975).28

E. Akibat Dari Suatu Perceraian

Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau

peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum

putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari

perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, sebagai

berikut.

1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,pengadilan memberi

keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat

memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut.

28

(26)

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.29

Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu diperhatikan,yaitu

akibat terhadap anak dan istri, terhadap harta perkawinan, dan terhadap status.

Ketiga macam akibat perkawinan putus karena perceraian tersebut dibahas dalam

uraian berikut ini.

Akibat terhadap anak dan istri

Menurut ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, ada tiga hal yang

perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian.Tiga hal tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Pertama

Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya

mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang

penguasaan anak,pengadilan putusannya.

b. Kedua

Bapak bertanggung jawab atas smua biaya pemeliharaan dan pendidikn

yang diperlukan anak.Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi

kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.

29

(27)

c. Ketiga

Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan

biaya penghidupan kepada mantan istri dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi

mantan istri.30

Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah

karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak.Apabila

terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan

dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

Akan tetapi, mengenai harta bersama, mungkin akan timbul

persoalan.Menurut ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, apabila

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut ”hukumnya”

masing-masing.Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum

agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain, seperti KUH Perdata.Dengan

demikian, penyelesaian harta bersama adalah bagi mereka yang kawin menurut

hukum Islam,hukum Islam tidak mengenal harta bersama karena istri diberi nafkah

oleh suami. Yang ada harta milik masing-masing suami dan istri.Harta ini adalah

hak mereka masing-masing.

Masalah yang timbul adalah bagaimana cara menyelesaikan harta bersama

yang diperoleh selama perkawinan bagi mereka yang tidak tunduk pada hukum

adat dan KUH Perdata, sedangkan hukum agama tidak mengenal harta

bersama?hal ini belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

30

(28)

Jika terjadi sengketa tentang penyelesaian harta bersama,sengketa tersebut dapat

diajukan kepada pengadilan yang berwanang walaupun bagi mereka yang

beragama Islam.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi: Bila perkawinan

putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Ketentuan ini sama bunyinya dengan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974.31

Ternyata, Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan belum memberikan

penyelesaian tuntas megenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malahan

masih menghidupkan dualisme hukum. Padahal, hukum adat sudah dan separuh

lagi bagi mantan istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian

bahwa harta bersama dibagi dua antara suami dan istri.

Sebaikya Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dirumuskan:

”Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi dua, separuh

bagi mantansuami separuh bagi mantan istri.Rumusan ini sesuai dengan asas hak

dan kedudukan seimbang antara suami istri.”

Memperhatikan substansi Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka

dapat ditegaskan bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, dan

mantan suami/istri.Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap

harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yang

memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut

31

(29)

hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Jika dicermati esensi dari

akibat-akibat hukum perceraian yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah

mengakui dan melindungi hak-hak anak dan hak-hak mantan suami/istri sebagai

hak-hak asasi manusia.

Pasal 8 PP No. 10 tahun 1983 menyatakan:

1) Apabila percerian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia

wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk menghidupkan bekas istri dan

anak-anaknya.

2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk

Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan sepertiga untuk anak atau

anak-anaknya.

3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib

diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah

dari gajinya.

4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri , maka ia tidak berhak atas bagian

penghasilan dari bekas suaminya.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila istri

meminta cerai karena dimadu.

6) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka

haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia

kawin lagi.32

32

Riduan Syahrani , Op.cit, hal. 71

(30)

Ketentuan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 ini dalam surat Edaran Kepala

BAKN No. 08/SE/1983 dijabarkan pada bagian III (PERCERAIAN) angka 19 s/d

28 sebagai berikut:

Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka

ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan

anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Apabila anak mengikuti bekas istri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai

berikut:

(1) Sepertiga gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan

(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya

(3) Sepertiga untuk anaknya yang diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil pria

yang bersangkutan.

b) Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu

setengah untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk

bekas istrinya.

c) Apabila anak mengikuti Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, maka

pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:

(1) Sepertiga gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan.

(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya.

(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil

(31)

d) Apabila sebagian anak mengikuti Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan

sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka 1/3 (sepertiga) gaji yang menjadi hak

anak itu dibagi menurut jumlah anak.

Umpamanya: Seorang Pegawai Negeri Sipil bercerai dengan istrinya. Pada

waktu perceraian terjadi mereka mempunyai 3 (tiga) orang anak, yang seorang

mengikuti Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan yang 2 (dua) orang

mengikuti bekas istri. Dalam hal yang demikian, maka bagian gaji yang menjadi

hak anak itu dibagi sebagai berikut:

(1) 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 1/9 (sepersembilan) gaji diterimakan

kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) 2/3 (duapertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 2/9 (sepersembilan) gaji

diterimakan bekas istrinya.33

Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas,baik dalam lapangan

hukum keluarga maupun dalam hukum kebendaan serta hukum perjanjian.Akibat

pokok dari perceraian adalah bahwa bekas suami dan bekas isteri,kemudian hidup

sendiri-sendiri secara terpisah.

1) Janda dan Duda

Janda (bekas isteri) tidak dapat segera kawin kembali dengan pria

lain,kecuali bekas suaminya, sebelum habis masa tunggu selama 3 (tiga) bulan suci

(iddah), yaitu sekurang-kurangya setelah 90 hari setelah bercerai.Apabila janda itu

sedang dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu itu ditetapkan sampai ia

melahirkan anaknya.

33

(32)

Sedangkan seorang duda (bekas suami) tidak ada waktu tunggu. Apabila

ada perceraian, maka bapak atau ibu adalah wali dari anak-anak di bawah umur 18

tahun tersebut.Siapa yang menjadi wali dari masing-masing anak ditetapkan oleh

hakim.

2) Pemeliharaan Anak

Kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak sama dengan kewajiban

menjadi seorang wali dari anak-anak34

Baik bekas suami maupun bekas isteri berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak.Suami dan isteri bersama

bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.

Apabila suami tidak mampu, maka pengadila dapat menetapkan bahwa ibu

yang memikul biaya anak-anaknya.

Sedangkan terhadap perwalian anak-anak, apakah wali itu jatuh pada suami

atau isteri tersebut ditetapkan oleh hakim. Perwalian tidak bersifat abadi. Jika

pihak yang menerima perwalian dalam pengasuhan anaknya, atau melalaikan

kewajiban sebagai wali, maka perwalian dapat dicabut oleh hakim dan digantikan

kepada pihak lainnya.

Perwalian atau voogdy ialah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan

harta benda anak yang belum dewasa,jika anak tersebut tidak berada di bawah

kekuasaan orang tuanya.

34

(33)

3) Harta Benda Bersama

Harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung

disebut gono-gini, harus dibagi dua antara suami dan isteri,apabila mereka

bercerai.

Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada di tangan

pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan

hal di atas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat

kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.35

35

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Untuk mengetahui aktivitas antioksidan rebusan daun sambang getih secara in vivo dengan mengukur kadar MDA plasma mencit yang diberi perlakuan dengan

Dengan mengetahui dan memahami pemberian nama gelar abdi dalem, memberikan manfaat untuk IPS, sebagai ilmu pengetahuan yang bisa disampaikan dan dapat dijalankan dalam

Alat dinamometer ini dapat digunakan oleh kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua (sepeda motor) dan bersifat real time. Data yang didapatkan saat Snap shot

Hasil penelitian yang dilakukan yaitu sisa bahan yang berupa potongan kain, dalam proses produksi tidak dapat dipergunakan sehingga perlakuan akuntansi terhadap

Combiphar yang terdiri dari bagian QA, Prodev, produksi, dan teknik menyusun Rencana Induk validasi (RIV).RIV ini mencakup informasi tentang fasilitas, peralatan, atau proses

Jika orang tua angkat memiliki 3 orang anak, 2 orang anak laki-laki dan 1 orang anak angkat perempuan, maka harta peninggalannya diberikan kepada ketiga

Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe Make A Match ini pertama guru menjelaskan sekilas tentang materi pelajaran selanjutnya guru membagi

Sehingga peneliti menyarankan tetap untuk diadakannya pelatihan bagi tenaga kerja non edukatif secara rutin untuk meningkatkan produktifitas kerja dan untuk