• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keragaman Beberapa Genotipe Tanaman Tebu (Saccharum spp.) Di Sumatera Utara Berdasarkan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis Keragaman Beberapa Genotipe Tanaman Tebu (Saccharum spp.) Di Sumatera Utara Berdasarkan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Tebu (Saccharum spp.) Biologi Tanaman

Klasifikasi

Tanaman tebu tergolong tanaman perdu dengan nama latin Saccharum

officinarum L. Di daerah Jawa Barat disebut Tiwu, di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Tebu atau Rosan. Sistematika tanaman tebu adalah:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledone

Ordo : Graminales

Famili : Graminae

Genus : Saccharum

Species : Saccharum spp.

Morfologi

1. Batang

Batang tanaman tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan

buku-buku (Gambar 1). Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman

tebu berasal dari mata tunas yang berada dibawah tanah yang tumbuh keluar dan

berkembang membentuk rumpun. Diameter batang antara 3-5 cm dengan tinggi

(2)
(3)
(4)
(5)

lahan sebaiknya kurang dari 8%, meskipun pada kemiringan sampai 10% dapat

juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Kondisi lahan terbaik untuk tebu

adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan

dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat (Indrawanto et al., 2010).

Tanah

1. Sifat fisik tanah

Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu adalah tanah yang gembur

sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna, oleh karena itu upaya

pemecahan bongkahan tanah atau agregat tanah menjadi partikel-partikel kecil

akan memudahkan akar menerobos. Sedangkan tekstur tanah, yaitu perbandingan

partikelpartikel tanah berupa lempung, debu dan liat, yang ideal bagi pertumbuhan

tanaman tebu adalah tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan kemampuan

menahan air cukup dan porositas 30 %.

Tanaman tebu menghendaki solum tanah minimal 50 cm dengan tidak ada

lapisan kedap air dan permukaan air 40 cm. Sehingga pada lahan kering, apabila

lapisan tanah atasnya tipis maka pengolahan tanah harus dalam. Demikian pula

apabila ditemukan lapisan kedap air, lapisan ini harus dipecah agar sistem aerasi,

air tanah dan perakaran tanaman berkembang dengan baik.

2. Sifat kimia tanah

Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 -

7,5, akan tetapi masih toleran pada pH tidak lebih tinggi dari 8,5 atau tidak lebih

rendah dari 4,5. Pada pH yang tinggi ketersediaan unsur hara menjadi terbatas.

(6)

tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian kapur (CaCO3) agar unsur Fe

dan Al dapat dikurangi.

Bahan racun utama lainnya dalam tanah adalah klor (Cl), kadar Cl dalam

tanah sekitar 0,06 – 0,1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman. Pada tanah

ditepi pantai karena rembesan air laut, kadar Cl nya cukup tinggi sehingga bersifat

racun.

Iklim

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan tebu dan rendemen gula sangat

besar. Dalam masa pertumbuhan tanaman tebu membutuhkan banyak air,

sedangkan saat masak tanaman tebu membutuhkan keadaan kering agar

pertumbuhan terhenti. Apabila hujan tetap tinggi maka pertumbuhan akan terus

terjadi dan tidak ada kesempatan untuk menjadi masak sehingga rendemen

menjadi rendah.

1. Curah hujan

Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik didaerah dengan curah hujan

berkisar antara 1.000 – 1.300 mm per tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan

kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk pertanaman tebu adalah: pada

periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah hujan yang tinggi (200 mm per

bulan) selama 5-6 bulan. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan

125 mm dan 4 – 5 bulan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang

merupakan periode kering. Periode ini merupakan periode pertumbuhan generatif

dan pemasakan tebu.

Ditinjau dari kondisi iklim yang diperlukan, maka wilayah yang dapat

(7)

Syarifudin (1977) adalah tipe B2, C2, D2 dan E2. Sedangkan untuk tipe iklim

B1C1D1dan E1 dengan 2 bulan musim kering, dapat diusahakan untuk tebu

dengan syarat tanahnya ringan dan berdrainase bagus. Untuk tipe iklim D3, E3

dan D4 dengan 4 bulan kering, dapat pula diusahakan dengan syarat adanya

ketersediaan air irigasi.

2. Suhu

Pengaruh suhu pada pertumbuhan dan pembentukan sukrosa pada tebu

cukup tinggi. Suhu ideal bagi tanaman tebu berkisar antara 24 0 C–34 0C dengan

perbedaan suhu antara siang dan malam tidak lebih dari 100C. Pembentukan

sukrosa terjadi pada siang hari dan akan berjalan lebih optimal pada suhu 30 0 C.

Sukrosa yang terbentuk akan ditimbun/disimpan pada batang dimulai dari ruas

paling bawah pada malam hari. Prosespenyimpanan sukrosa ini paling efektif dan

optimal pada suhu 150C.

3. Sinar Matahari

Tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam setiap harinya. Proses

asimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi

penyinaran matahari secara penuh sehingga cuaca yang berawan pada siang hari

akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan berakibatpada menurunnya proses

fotosintesa sehingga pertumbuhan terhambat.

4. Angin

Kecepatan angin sangat berperan dalam mengatur keseimbangan

kelembaban udara dan kadar CO2 disekitar tajuk yang mempengaruhi proses

fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam disiang hari

(8)

melebihi 10 km/jam akan mengganggu pertumbuhan tanaman tebu bahkan

tanaman tebu dapat patah dan roboh (Indrawanto et al., 2010).

Daerah Asal

Genus Saccharum mungkin sebelumnya berasal dari benua yang

diasumsikan berdasarkan bentuk dan lokasinya saat ini. Genus tersebut terdiri dari

35-40 spesies dan memiliki dua daerah asal keragaman yaitu dunia lama (Asia dan

Afrika) dan dunia baru (Amerika Utara, Tengah dan Selatan). Asia memiliki

sekitar 25 spesies asli, Amerika Utara memiliki enam spesies asli dan 4 – 5

spesies telah dikenali, Amerika tengah memiliki tiga atau empat spesies asli dan

beberapa diantaranya telah dikenal (Webster dan Shaw 1995). Afrika memiliki

dua spesies asli dan Australia memiliki satu spesies naturalisasi (Darke 1999;

Bonnett et al. 2008).

Spesies Saccharum Brasil belum dikarakterisasi dengan baik. Hanya

survei floristik daerah yang telah melaporkan keberadaan spesies ini. Suatu studi

menggambarkan spesies asli S. asperum, S.angustifolium, S. purpureum, S.

biaristatum, S.glabrinodis, S. clandestinus dan S. villosum, tetapi penulis berkomentar bahwa spesies tersebut sangat terbatas sehingga ada kemungkinan

bahwa semuanya bisa jadi dari keragaman satu spesies (Smith et al. 1982).

Bahkan, dari spesies yang terdaftar pada penelitian ini, hanya S. asperum, S.

angustifolium dan S. villosum yang diterima nama ilmiahnya (daftar tanaman

2010). Pada studi lain, spesies asli yang diidentifikasi adalah S. villosum, S.

(9)

Spesies Saccharum berperan dalam pengembangan kultivar tebu modern

yang berasal dari Asia Tenggara (Roach dan Daniels 1987) karena S. officinarum

dan S. spontaneum adalah penyumbang utama genom varietas modern.

S. officinarum telah dibudidayakan sejak zaman prasejarah (Sreenivasan et al. 1987). Hal ini diyakini bahwa daerah asalnya adalah Polinesia dan bahwa spesies ini disebar luaskan ke seluruh Asia Tenggara, di mana daerah

keanekaragaman modern adalah di Papua Nugini dan Jawa (Indonesia), ini adalah

daerah di mana sebagian besar bahan percobaan dikumpulkan di akhir abad ke-19

(Roach dan Daniels 1987).

Daerah asal dan keanekaragaman S. spontaneum adalah daerah yang lebih

beriklim subtropis seperti India. Namun, karena S. spontaneum dapat tumbuh di

berbagai habitat dan ketinggian (di kedua daerah tropis dan subtropis), yang saat

ini tersebar di garis lintang mulai dari 8°S sampai 40°N dalam tiga zona geografis

yaitu : a) bagian timur, di Selatan Kepulauan Pasifik, Filipina, Taiwan, Jepang,

Cina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Myanmar, b) bagian tengah, di India,

Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan, Afghanistan, Iran dan Timur Tengah,

dan c) bagian barat, di Mesir, Kenya, Sudan, Uganda, Tanzania, dan

negara-negara Mediterania lainnya. Zona ini kira-kira mewakili cluster sitogeografikal

alami karena S. spontaneum cenderung memiliki jumlah kromosom yang berbeda

pada masing-masing lokasi (Daniels dan Roach 1987).

Keanekaragaman Genetik Tebu (Saccarum officinarum L.)

Keragaman genetik memainkan peran yang sangat penting dalam

(10)

gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan beradaptasi

(Salisbury dan Ross, 1995). Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik

yang tinggi pada populasinya akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat

diseleksi (Elfrod dan Stansfield, 2007). 

Tebu, Saccharum officinarum (2n = 70-140), disebut juga "noble cane"

karena batangnya yang manis dan berair, merupakan spesies rumput tahunan

tropis, (famili Poaceae; suku Andropogoneae). Kultivar modern memperlihatkan

berbagai jumlah kromosom (2n = 100-130) dan urutan genom ~ 10 Gb berasal

dari hibridisasi interspesifik yang rumit karena peristiwa hilangnya sebagian

kromosom (aneuploidisasi) dan polyploidisasi (8-10x). Meskipun demikian,

haplotype dasar tebu (X = 10; 930 Mb) adalah sangat kecil dan syntenic untuk

model rumput, seperti sorgum (Scortecci et al, 2012).

Di China dan India, S. officinarum disilangkan dengan S. barberi (tebu

India, 2n = 60-140) dan S. sinense (tebu Cina, 2n = 104-128) untuk menghasilkan

hibrida, yang nantinya akan menjadi hybrid antara S. officinarum dan S.

spontaneum (2n = 36-128). Selama abad XIX, persilangan menggunakan spesies

liar S. spontaneum (2n = 36-128) dilakukan untuk meningkatkan hasil sukrosa dan

ketahanan terhadap penyakit (Roach, 1972, 1989). Dengan demikian, kultivar tebu

modern sesuai dengan introgresi dari spesies liar S. spontaneum dan S. robustum

(2n = 66-170) ke spesies budidaya S. officinarum, S. sinense dan S. barberi

(D'Hont et al., 2008, Grivet et al, 2006;. Irvine, 1999). S. edule (2n = 60, 70, 80)

dianggap budidaya ornament di New Guinea dan Kepulauan Fiji, dimana tidak

ada kontribusi terhadap kultivar modern. Portugis memperkenalkan

(11)

hibrida antara S. officinarum dan S. barberi yang berasal dari India dan Persia (Daniels dan Daniels, 1975).

Tanaman tebu (Saccharum spp. hibrid) merupakan tanaman rerumputan

yang kompleks secara genetis karena daerah asal multi spesiesnya yang

menghasilkan kromosom mosaik (umumnya 2n = 100 – 130). Disebabkan

tingginya tingkat ploidi dan genom yang kompleks, maka perkembangan dalam

pemecahan genetik tebu dirasakan lambat. Marka morfologi sering digunakan

dalam analisa keragaman genetik, tetapi belakangan ini lebih banyak

menggunakan teknik penanda molekuler dan telah berkembang menjadi suatu

sarana yang sangat penting untuk menganalisa genotipe tebu terhadap

ekploitasinya secara komersil dan seleksi khusus berbagai tetua secara genetis

untuk keperluan pemuliaan (Kawar, et al, 2009)

Evaluasi keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi sangat

terbatas dan dipengaruhi oleh dampak lingkungan (Afghan et al., 2005). Oleh

karena itu, teknik yang dapat mengukur hubungan genetik tanpa pengaruh faktor

lingkungan dan sifat fenotip adalah kebutuhan program pemuliaan masa depan.

Analisis marka molekuler menawarkan penilaian hubungan genetik yang efisien

berdasarkan karakteristik genetik (Hussain et al, 2010).

Pencarian berbagai tetua secara genetik dapat didasarkan pada asal

geografis, karakter agronomi, dan data silsilah atau data penanda molekuler

(Melchinger, 1999).

Kultivar Tebu di Sumatera Utara

Hasil eksplorasi yang telah dilakukan oleh Sinaga dan Susanto (2009), saat

(12)

1. Kultivar tebu kuning

Tebu ini diperoleh dari kebun masyarakat di Desa Helvetia Kecamatan

Marelan Medan utara. Jenis tebu ini banyak dijumpai di daerah – daerah

lain di Sumatera Utara. Masyarakat biasanya menanam di pekarangan

rumah atau kebun dalam jumlah yang tidak banyak dengan maksud untuk

dikonsumsi karena rasanya yang manis, segar dan teksur batang rapuh

sehingga mudah untuk digigit. Jenis tebu ini sangat mudah tumbuh dan

bertunas terutama pada tanah yang tidak terlalu basah dan tidak terlalu

kering.

2. Kultivar tebu gelaga

Sebaran tebu ini di Sumatera Utara tidak seluas tebu kuning. Tebu jenis ini

banyak dijumpai di wilayah Medan, Deliserdang dan Langkat. Tebu ini

dapat dikonsumsi masyarakat secara langsung karena rasanya manis dan

mudah tumbuh pada tanah yang cukup air.

3. Kultivar tebu Berastagi

Jenis tebu ini sangat baik tumbuh di daerah Kabupaten Karo, Dairi dan

Phak – Phak Barat. Tebu ini memiliki rasa nira yang sangat manis namun

tekstur batangnya sangat keras sehingga menyebabkan cara konsumsinya

harus diperas/digiling untuk memperoleh niranya. Tebu ini sulit untuk

bertunas dibandingkan dengan jenis lainnya. Munculnya tunas dari mata

tunas relatif lebih lama dan cenderung akan mati apabila kondisi tanah

terlalu basah.

4. Kultivar tebu gambas

Jenis tebu ini hampir dapat dijumpai di seluruh wilayah Propinsi Sumatera

(13)

tebu yang dikonsumsi adalah bagian batang tua. Tebu ini kurang diminati

masyarakat dibanding dengan tebu jenis kuning dan tebu hijau besar

karena rasanya yang kurang manis dan agak keasam – asaman. Jenis tebu

ini sangat mudah tumbuh sebagaimana yang terlihat di kebun masyarakat

terutama pada tanah yang ketersediaan airnya cukup.

5. Kultivar tebu merah

Tebu ini memiliki batang yang berwarna merah dan daun yang agak

kemerah – merahan. Kultivar ini banyak dibudidayakan masyarakat di

pekarangan rumah dan ada yang tumbuh liar di kebun. Tebu jenis ini

banyak digunakan masyarakat sebagai obat (Sinaga dan Susanto, 2009).

Varietas dan Klon Tebu di Sumatera Utara

Teknologi varietas merupakan salah satu input budidaya tanaman. Dampak

masukan dengan menggunakan varietas unggul sudah banyak dilaporkan oleh

kalangan praktisi maupun peneliti, yaitu mampu meningkakan produksi secara

signifikan. Upaya P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) pada KP

(Kebun Percobaan) Medan mencari varietas unggul seri PS (Pasuruan) sudah berlangsung cukup lama sejalan dengan usia berdirinya industri gula di Sumatera

Utara. Untuk mendapatkan satu jenis varietas memerlukan ± 3 tahun, melalui

tahap SJT I (screening jenis tebu) sampai dengan SJT III. Tahap berikutnya

dilakukan Orientasi Varietas (Orvar) dan Warteb (Warung Tebu) pada skala demo

(Mulyadi, et al., 1997).

Sejak tahun 1982 – 1996 ± 1136 jenis varietas telah diuji adaptasikan

(14)

baik di kedua Pabrik Gula ± ada 7 varietas atau sebesar 0,6 %. Selain varietas

yang direkomendasikan P3GI, ada juga varietas introduksi dari luar negeri yaitu

F 156 (BZ 134) yang sekarang dikenal sebagai varietas unggul lokal dan

mendominasi pertanaman tebu di Sumatera Utara (Mulyadi, et al., 1997).

Beberapa varietas tebu yang dikembangkan oleh PTP. Nusantara II saat ini

untuk Kebun Benih Induk (KBI) tahun tahun tanam 2014/2015 di Kebun T. Jati

adalah BZ 134, PS 862, TLH 2, Kentung, GMP 2, VMC 76-16, PS. 921, PS. 864,

PS. 951, PS. 851, PS. 881, PSJT. 941, PSBM 901, TLH 1, GMP 1, Kidang

Kencana, Cenning. (Risbang Tebu, 2013).

Marka Molekuler

Pada awal abad ke-20 ilmuwan menemukan bahwa faktor Mendel

mengendalikan warisan (gen) yang terletak dalam urutan linear pada struktur

sitogenetik yang jelas dan disebut dengan kromosom. Hal tersebut menunjukkan

bahwa kombinasi gen dapat diwariskan dalam kelompok (yaitu gen yang terkait

bersama) karena dekat satu sama lain pada kromosom yang sama. Gen individu

yang mengapit, dalam menentukan interval terdekat dikenal sebagai penanda

molekuler DNA. Penanda molekuler adalah urutan DNA yang dapat diidentifikasi

dan ditemukan pada lokasi genom tertentu dan terkait dengan pewarisan sifat atau

gen linked (FAO, 2004).

Penanda harus polimorfik yaitu harus ada perbedaan bentuk sehingga

kromosom pembawa gen mutan dapat dibedakan dengan membawa bentuk

penanda kromosom gen normal. Polimorfisme dapat dideteksi pada tiga tingkatan

(15)

fingerprinting DNA digunakan untuk menggambarkan penggunaan kombinasi

beberapa sistem deteksi lokus tunggal dan digunakan sebagai alat serbaguna untuk

menyelidiki berbagai aspek genom tanaman. Hal ini berisi karakterisasi

variabilitas genetik, fingerprinting genom, pemetaan genom, lokalisasi gen,

analisis evolusi genom, genetika populasi, taksonomi, peternakan dan diagnostik

tanaman (Joshi et al, 2011). Menurut Joshi et al (2011), seorang peneliti DNA

yang ideal harus dapat menunjukkan ciri - ciri berikut : (i) pewarisan kodominan-

bentuk marker yang berbeda harus terdeteksi dalam organisme diploid untuk

memungkinkan diskriminasi homozigot dan heterozigot. (ii) Selalu terjadi dalam

genom (iii) Selektif dalam perilaku netral (urutan DNA organisme netral untuk

lingkungan kondisi atau penerapan pelaksanaan) (iv) Dapat diakses (data

tersedia) (v) Mudah dan pengujiannya cepat (vi) Dapat digandakan dan (vii)

pertukaran data antar laboratorium mudah.

Polymerase Chain Reaction (PCR) Berbasis Marka

Satu dekade setelah munculnya AFLP, ada terobosan lain yang melibatkan

penggunaan PCR pada tahun 1990 (Farooq dan Azam, 2002). PCR adalah metode

in vitro asam nukleat sintesis dimana segmen tertentu dari DNA dapat khusus

direplikasi (Mullis dan Faloona, 1987). Proses tersebut melibatkan dua primer

oligonukleotida yang mengapit fragmen DNA yang diinginkan dan amplifikasi

diperoleh dengan serangkaian siklus berulang panas denaturasi DNA, annealing

primer kepada urutan komplementernya, dan perpanjangan primer anneal dengan

polimerase DNA termofilik. Karena produk ekstensi sendiri juga melengkapi

(16)

DNA target yang disintesis pada siklus sebelumnya dan hasilnya adalah

akumulasi eksponensial dari target fragmen spesifik.

DNA genom dari dua individu yang berbeda sering menghasilkan

amplifikasi yang berbeda dan fragmen khusus yang dihasilkan dari satu individu

tetapi tidak untuk lainnya merupakan polimorfisme DNA dan dapat digunakan

sebagai penanda genetik. Pola pita diamplifikasi sehingga bisa digunakan untuk

genom fingerprint (Welsh dan McClelland 1990 ).

PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan

menggunakan dua oligonuleotida primer yang komplementer dengan ujung 5’ dari

kedua untaian sekuens target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer

(primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase.

Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali

diperlukan untuk memisahkan DNA substrat melalui pemanasan. Suhu reaksi

selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya perpasangan sekuens dan

akhirnya reaksi polimerisasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk

untaian komplementer (Nasir, 2002).

Marker Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Marka Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan suatu

teknik untuk mendeteksi polimorfisme urutan nukleotida DNA dengan

menggunakan primer tunggal urutan nukleotida (primer oligonukleotida, RAPD),

(William et al, 1991 dalam Jonah, 2011). Dalam reaksi ini, satu primer spesies

anneal ke DNA genom di dua lokasi yang berbeda pada komplementer untaian

(17)

Keuntungan analisis RAPD meliputi:

(i) Menggunakan sedikit DNA sehingga mampu bekerja dengan

populasi yang tidak dapat diakses dengan RFLP. Lebih cepat dan

efisien dalam analisis pemetaan genetik dan memiliki kepadatan

yang tinggi seperti pada banyak spesies tanaman alfafa (Kiss et al,

1993), kacang fabean (Torress et al, 1993) dan apple (Hammat et al,

1994)

(ii) Tidak berhubungan dengan uji radioaktif (Kiss et al,1993)

(iii) Tidak membutuhkan penyelidikan spesies spesifik

(iv) Tidak terkait dalam blotting atau hibridisasi.

(v) Sederhana, biaya rendah dan tidak membutuhkan informasi urutan

DNA sebelumnya untuk aplikasi  

(Stammers M, et al, 1995). 

Kekurangan penanda RAPD adalah :

(i) polimorfisme diwariskan sebagai karakter dominan atau resesif

menyebabkan hilangnya informasi relatif terhadap penanda yang

menunjukkan kodominasi .

(ii) Primer relatif singkat, bahkan ketidakcocokan nukleotida tunggal

sering dapat mencegah primer dari proses annealing yang

menyebabkan hilangnya band.

(iii) Susah dalam pengulangan pada banyak sistem, terutama ketika

mentransfer antara populasi atau laboratorium sehingga sering

(18)

Marka Molekuler RAPD pada Tebu (Saccharum spp.)

Tabasum et al., (2010) dalam penelitiannya dengan 40 tebu genotipe

termasuk S. officinarum dan S. barberi, menunjukkan bahwa tingkat polimorfisme

terdeteksi tinggi dengan menggunakan 30 penanda RAPD, karena lebih dari satu

alel yang berbeda dapat di identifikasi oleh setiap penanda sedangkan Hussain. A,

(2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari dari 50 primer yang

digunakan ternyata primer OPB3, OPB5, OPB8, OPB10, OPB11, OPB14,

OPB15, OPB3 tingkat polimorfiknya terdeteksi sebesar 16 %.

Terdapat 20 primer RAPD yang digunakan dalam penelitian Pandey, et al.

(2012) dan menghasilkan 110 amplikon dengan rata-rata 5,5 band per primer. Pola

Amplifikasi organogenesis langsung mengangkat planlet tebu menggunakan

RAPD primer OPA 13. Jumlah fragmen RAPD (110) yang diperoleh dalam

penelitian ini sudah cukup untuk mengungkapkan variasi genetik pada tanaman

tebu. Polimorfisme dalam profil amplifikasi terdeteksi pada 5 Gy dengan primer

OPJ 13 dan 0PJ17 dan perlakuan 200 mM NaCl dengan primer 0PJ18. Band

polimorfik merupakan perubahan genetik yang terjadi akibat stres garam dan

iradiasi (Asad et.al., 1996)

Penilaian keragaman dan identifikasi plasma nutfah yang ada merupakan

komponen penting dari program perbaikan tanaman. Teknik RAPD-PCR telah

berhasil digunakan dalam hal ini. Pola amplikasi RAPD-PCR menjelaskan

berbagai tingkat polimorfisme antara tiga genotipe tebu. Terdapat 44 fragmen

pada tiap genotipe dan penanda yang dikemukakan oleh Ahmed dan Khaled

(2008) dengan menggunakan 7 (tujuh) primer yaitu : OPA-01, OPA-04, OPA-07,

(19)

Beberapa primer dengan teknik RAPD yang digunakan Ullah et.al (2013) untuk menganalisa keragaman genetis varietas tebu yang dikonsumsi/dimakan

meliputi : OPA-01, OPA-02, OPA-03, OPA-06, OPA-08, OPA-12, OPB-05,

OPB-09, OPB-11, OPB-15, OPB-18, OPB-20, 01, 02, 03,

OPC-04, OPD-01, OPD-03, OPE-02, OPE-04.

Dari total 40 primer yang digunakan untuk menilai keragaman genetis 17

kultivar tebu hanya 7 primer yang menghasilkan spesifik band. Primer tersebut

adalah : OPA-04, OPA-17, OPAB-17, OPC-08, OPA-16, OPG-05, OPG-17

Gambar

Gambar 2. AGAkar tebu
Gambar 4).
Gambar 5. BGBiji Tebu

Referensi

Dokumen terkait

(1993) lemak abdomen akan meningkat pada ayam yang diberi ransum dengan protein rendah dan. energi ransum

Deskripsi kualitatif untuk menganalisis proses pelaksanaan model pembelajaran Auditory Intellectually Repentition (AIR), dan peningkatan pembelajaran Matematika siswa

paparan sulfur dioksida terhadap nilai kadar Protein C-Reaktif, Volume Ekspirasi. Paru Detik Pertama (VEP 1 ), Kapasitas Vital Paksa (KVP), rasio VEP 1

Indonesia memiliki kekayaan jenis burung terutama pada burung paruh bengkok seperti yang kita ketahui bahwa yang masuk dalam jenis ini adalah burung yang pintar

Hasil penelitian dengan memberikan ekstrak terong belanda terhadap tikus putih obesitas yang diinduksi diet tinggi lemak menyebabkan penurunan kadar kolesterol

Pada zaman dahulu motif batik memiliki nilai tersendiri yang berbeda-beda maknanya dan tidak semua orang bisa menggunakan motif batik, misalnya saja motif Lereng atau Parang..

Klien mengatakan pada tanggal 30 desember 2015 teraba benjolan di kepala bagian pelipis kiri, semakin terasa nyeri, cekot-cekot sampai menjalar ke telinga hilang timbul dan tidak

Berdasarkan hasil studi pendahuluan tanggal 8 September 2014 didapatkan data dari 80 lanjut usia terdapat 36 (45%) lanjut usia mengalami hipertensi, sehingga peneliti