DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan... 2
BAB II PEMBAHASAN... 3
2.1 Teori Kejadian Jagad Raya... 3
2.2 Kejadian Jagad Raya Menurut Islam... 4
2.3 Penciptaan Bumi... 6
2.4 Teori Penciptaan dalam Islam... 7
2.5 Asal Usul Kehidupan dan Keanekaragaman Jenis... 9
2.6 Posisi Adam dalam Teori Evolusi... 13
2.7 Keselarasan antara Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan tentang Evolusi... 19
BAB III PENUTUP... 28
3.1 Kesimpulan... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata evolusi menurut kamus Webter’s II mempunyai arti suatu proses perubahan atau perkembangan secara bertahap atau perlahan. Sedangkan lawan katanya revolusi yang berarti proses perubahan secara tiba-tiba (cepat atau radikal) pada suatu keadaan atau pada suatu sistem. Kata evolusi digunakan pertama kali oleh Herbert spencer, seorang ahli filsafat inggris oleh karena itu Spencer konsep evolusi yang dilontarkan dari waktu melalui perubahan bertingkat sehingga istilah tersebut tidak ada kaitannya dengan pembahasan di bidang biologi.
Evolusi merupakan kata yang umum yang dipakai orang untuk menunjukkan adanya suatu perubahan, perkembangan atau pertumbuhan secara berangsur-angsur. Perubahan tersebut dapat terjadi karena pengaruh alam ataupun rekayasa manusia. Penggunanan lebih lanjut istilah evolusi akhirnya keberbagai hal atau bidang. Binatang-binatang dan planet-planet, termasuk bumi kita senantiasa mengalami evolusi. Tingkah laku manusia, arsitektur bangunan, mode busana, bahkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni juga mengalami perubahan atau evolusi
Perubahan-perubahan di alam terjadi di sepanjang masa , termasuk juga makhluk hidup. Bila yang mengalami perubahan itu makhluk hidup kita sebut sebagai evolusi organik atau evolusi biologis. Menurut teori ini, secara umum dikatakan semua makhluk hidup yang hidup sekarang ini adalah keturunan dari berbagai jenis kehidupan yang hidup pada masa silam, dan dalam banyak hal memiliki sifat yang lebih sederhana.
makhluk hidup di bumi ini. Teori evolusi pada dasarnya merupakan teori yang dinamis.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud teori kejadian jagad raya menurut Islam? 2) Apa yang dimaksud dengan teori evolusi biologis?
3) Bagaimana hubungan teori evolusi biologis dengan penciptaan makhluk-makhluk yang tidak menentang agama Islam?
1.3 Tujuan
1) Memberi pengetahuan dan penjelasan mengenai teori kejadian jagad raya menurut Islam.
2) Memberi pengetahuan dan penjelasan mengenai teori evolusi biologis. 3) Memberi pengetahuan dan penjelasan yang berhubungan dengan teori
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Kejadian Jagad Raya
Sebelum diketemukan teori tentang asal usul alam raya para pakar mengatakan bahwa alam semesta tidak terhingga besarnya, tak terbatas, dan tak berubah status totalitasnya dari waktu kewaktu tak terhingga lamanya dari waktu lampau sampai waktu tak berhingga lamanya dimasa yang akan datang. Hal ini berlandaskan pada hukum kekekalan masa yang mereka yakini. Secara umum dikatakan bahwa alam ini kekal dan nyata tidak mengakui adanya penciptaan alam. Pada tahun 1929 terjadi pergeseran pandangan di lingkungan para ahli tentang penciptaan alam dengan menggunakan teropong besar Hubble melihat galaksi-galaksi yang tampak menjahui galaksi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi, yang terjauh bergerak paling cepat meninggalkan galaksi kita. Penemuan inilah yang mengawali perkembangan teori tentang asal usul terjadinya jagat raya, yakni:
a). Teori keadaan tetap (Steady – State Theory)
Teori ini mengatakan bahwa alam semesta ini, dimana pun dan kapan pun tetap sama. Teori ini didasarkan pada prinsip kosmologi sempurna dan mengartikan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir. Pendukung teori ini antara lain Fred Hooyl, Herman Bondi, dan Thomas Gold.
b). Teori Dentuman Besar (Big Bang Theory)
c). Teori Osilasi
Teori ini dinamakan teori alam semesta berayun. Teori ini menyatakan bahwa semua materi bergerak saling menjahui dan bermula dari massa yang mampat. Pergerakan materi ini akhirnya melambat dan suatu ketika semakin lambat dari kecepatan lepas krisis, dan akhirnya berhenti kemudian kembali mengerut karena gravitasi. Setelah materi tersebut mampat lalu meledak dan dilanjutkan dengan pemuaian lagi. Selama proses ini tidak ada materi yang rusak atau tercipta, melainkan hanya berubah tatanan atau mengalami goyangan (osilasi). Dengan demikian, teori ini merupakan teori yang mempertahankan pendapat bahwa alam semesta ini terhingga, bukanya tidak terhingga.
2.2 Pembentukan Alam Semesta Menurut Pandangan Islam
Sungguh sangat menarik untuk membandingkan konsep pembentukan alam raya ini dengan pandangan dari Agama Islam terhadap pandangan dari kosmologi. Terjadinya alam raya ini seperti difirmankan dalam Al-Qur’an surat Fushilat 41 ayat 11 – 12 yang maknanya adalah:
“Kemudian ia merancang dari langit dan bumi yang masih berbentuk gas seperti asap. Lalu Tuhan berfirman kepada langit dan kepada bumi sekaligus: “jadikanlah, engkau keduanya, secara sukarela atau terpaksa“. Langit dan bumi berkata: “kami jadi secara sukarela (patuh)”. Lalu diselesaikan –Nya penciptaannya menjadi tujuh langit dalam dua rangkaian waktu (masa). Kepada setiap langit diwahyukan tentang hukumnya sendiri – sendiri. Dan kami hiasi langit terdekat dengan bintang – bintang siarat yang merupakan lentera – lentera (lampu – lampu) dan pelindungan – pelindungan yang berkelip – kelip”.
Teori Ledakan Maha Dahsyat juga tergambarkan dalam firman Allah pada Al- Qur’an surat Anbiyaa’(21) ayat 30 : yang maknanya: “Apakah mereka orang-orang kafir itu tidak mengutahui bahwa langit-langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu asalnya berpadu, lalu kami pisahkan keduanya. Selanjutnya, kami buat dari air semua makhluk hidup. Mengapa mereka tidak neriman juga?“
menjadi zarah yang paling sederhana, yakni hydrogen yang merupakan unsur pembentukan air lama kelamaan dari hydrogen ini melalui reaksi (perpaduan) terbentuk senyawa-senyawa lainnya diantaranya bila bereaksi dengan oksigen akan membentuk air. Air merupakan suatu zat cair dengan sifat-sifat yang mengagumkan yakni karena kemampuannya melarutkan garam-garam dan zat-zat kimia lain yang diperlukan oleh kehidupan.
Teori Ledakan Maha Dahsyat juga mengatakan adanya pemuaian alam semesta. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an surat Adz- Dzaariyaat(51) ayat 47, yang maknanya: “Dan langit (ruang alam) itu kami bangun dengan kekuatan, dan kamilah yang sesungguhnya yang meluaskannya”.
Selanjutnya, mengenai ekspansi alam semesta ini, yang menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 milyar galaksi yang masing-masing berisi rata-rata 100 milyar bintang itu. Kekuatan yang dilibatkan dalam pembangunan alam semesta ini, dan yang mampu melemparkan kira-kira 10.000 milyar bintang yang masing-masing massanya sekitar massa matahari ke seluruh pelosok alam itu, tentu saja tidak dapat kita bayangkan. Dari pembandingan semacam ini dapat kita ketahui bahwa pada akhirnya, fisika yang dikembangkan untuk mencari kebenaran sampai juga pada fakta yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Kenyataan ini menggusarkan para fisikawan pada umumnya karena penciptaan alam raya dari ketiadaan memerlukan adanya sang Pencipta Yang Maha Kuasa, suatu keadaan yang mereka ingin hindari. Sebab mereka hanya membicarakan apa-apa yang dapat diinderakan atau dideteksi dengan peralatan saja.
observasinya ke segenap penjuru alam menemukan sisa-sisa kilatan dentuman besar yang terjadi sekitar 15 milyar tahun yang lalu.
Hal tersebut diatas, sejalan dengan Al-Qur’an surat Fush-Shilat(41) ayat 53 , yang maknanya adalah : “Akan kami perlihatkan kepada mereka ayat – ayat kami segenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu yang benar”. Belumkah cukup bahwa Tuhanmu menyaksikan segala – galanya? Allah SWT telah memenuhi janjinya itu dengan memperlihatkan ekspansi kosmos (alam semesta) dan memperlihatkan sisa – sisa kilatan dentuman besar, dan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih akan memperlihatkan berkali-kali lagi ayat-ayatNya, untuk menolong hamba-hambaNya dari kesesatan. Meskipun jelas fakta-fakta yang diungkapkan oleh sang pencipta dan para pakar fisika dapat menangkap dan mengetahuinya, namun terdapat perbedaan besar antara ajaran fisika (sains) dengan ajaran agama. Kalau dalam fisika filsafat ilmu itu mendorong para pakarnya untuk menghindari dari tindakan melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dan mengatakan bahwa alam tercipta dengan sendirinya, maka dalam ajaran Agama Islam justru Allah SWT pemegang peranan utama alam semesta ini.
Pada teori Ledakan Maha Dahsyat, juga mengatakan adanya pemuaian alam semesta. Kemudian galaksi itu akan hancur kembali dan diserap oleh suatu lubang hitam, yang mungkin diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiyaa’(21) ayat 104, yang maknanya: “Pada hari itu kami gulung langit (bentuk tunggal) seperti menggulung gulungan perkamen untuk tulisan. Sebagaimana janji kami yang telah memulai penciptaan pertama, kami akan melaksanakannya”.
2.3. Penciptaan Bumi
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern mengemukakan kapan bumi kita lahir, dengan beberapa teori:
a. Teori sedimen
Pengukuran umur bumi didasarkan atas perhitungan tebal sedimen yang membentuk batuan. Dengan mengetahui ketebalan lapisan sedimen rata-rata diperkirakan terbentuk tiap tahunnya, kemudian membandingkan tebal batuan sedimen di bumi sekarang ini, maka dapat dihitung umur lapisan bumi. Berdasarkan perhitungan ini, bumi diperkirakan 500 juta tahun yang lalu.
b. Teori Kadar Garam
Pada teori ini umur bumi diperkirakan dengan memperhitungkan kadar garam di laut. Diduga bahwa mula-mula air laut tawar, dengan adanya sirkulasi air dalam alam ini, maka air yang mengalir dari darat ke laut membawa garam-garam. Keadaan macam ini berlangsung jutaan tahun. Dengan mengetahui kenaikan kadar garam tiap tahun yang dibandingkan dengan kadar garam pada saat ini, maka dihasilkan perhitungan bahwa bumi terbentuk 1.000 juta tahun yang lalu.
c. Teori Termal
Teori ini berdasarkan suhu bumi. Diduga bumi mula-mula merupakan batuan yang sangat panas kemudian lama kelamaan mendingin. Dengan mengetahui massa dan suhu bumi saat ini, maka ahli fisika dari Inggris bernama Elfin memperkirakan bahwa perubahan bumi menjadi batuan yang dingin seperti ini dari batuan yang sangat panas memerlukan waktu 20.000 juta tahun yang lalu.
d. Teori Radioaktivitas
2.4 Teori Penciptaan dalam Islam
Teori penciptaan dalam Islam adalah kepercayaan bahwa alam semesta (termasuk umat manusia dan semua makhluk yang lain) tidak hanya yang diciptakan oleh Allah, tetapi juga dijalankan oleh Allah dalam setiap waktu, sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut, `Berkata Firaun, ”Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa ” Musa berkata, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk “ (Thaha: 49-50)
Al-Qur`an juga menyebutkan ukuran waktu dalam isyaratnya mengenai penciptaan [22:47]. Al-Qur`an menyatakan bahwa penciptaan itu berlangsung selama enam hari, dan kata `hari` telah diinterpretasikan secara literal bukan sebagai waktu dua puluh empat jam, tetapi sebagai periode atau tahapan waktu untuk menyempurnakan ciptaan [32:5]. Jadi, al-Qur`an tidak bisa disamakan dengan Bibel dalam adu argumentasi mengenai bukti-bukti ilmiah dan kronologi.
Awal penciptaan dituturkan di dalam al-Qur`an seara logis dan tegas, dengan menyatakan banyak fakta dalam penciptaan. Namun, seseorang yang membandingkan penjelasan tentang awal penciptaan seperti yang disebutkan dalam al-Qur`an dan seperti yang disebutkan dalam Kitab Kejadian itu akan dengan mudah menyimpulkan bahwa kedua buku memiliki sumber yang sama namun al-Qur`an menjelaskannya secara logis dan ilmiah.
adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia mengendalikan alam semesta menurut kehendak-Nya sesuai fungsi dan peran yang spesifik. Dalam teori penciptaan dalam Islam, Allah menentukan peran bagi Hawa, seorang perempuan diciptakan dari laki-laki, yang ditugaskan di Al-Qur’an dengan ayat-ayat berikut:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21).
Allah juga berfirman, “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl: 72]
Menurut teori penciptaan dalam Islam, seperti yang telah dinyatakan, peran Tuhan lebih dari dari sekedar menciptakan manusia. Dalam menjawab pertanyaan berikut ini yang disebut secara berturut-turut di salah satu dari surat, kita dapat mendefinisikan peran rahmat-Nya:
“Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)?”(Al-Waqi’ah: 57).
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah yang menciptakannya?” (Al-Waqi’ah: 58-59).
“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya?” (Al-Waqi’ah: 71-72).
Menurut ayat-ayat tersebut, teori penciptaan dalam Islam mencakup:
1. Allah menentukan desain fitur-fitur manusia dalam air sperma yang dipancarkan manusia dengan DNA yang spesifik, peta genetika atau jumlah chromosom bersama antara pasangan perkawinan, laki-laki dan perempuan.
2. Allah menjaga sumber kelangsungan kehidupan makhluk-Nya. Karena itu, Allah mengatur kerajaan tumbuhan sebagai makhluk otonom yang menyediakan makanan yang diperlukan untuk kerajaan manusia.
3. Dia mengatur siklus untuk menghasilkan air tawar untuk minuman manusia dan pengairan tanaman yang mereka makan.
4. Allah mengelola pasokan energi untuk makhluk-Nya demgam proses fotosintesis yang ajaib, yang menyimpan energi dari matahari menjadi buah yang dapat dimakan.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.”(Al-A’raf: 11).
Jadi, Allah dalam teori Penciptaan dalam Islam tidak hanya membuat badan kita hidup, tetapi ia juga membentuk rupa kita agar terlihat seperti rupa manusia. Jadi, Allah memiliki nama lain dalam Al-Qur’an selain al-Khaliq (Pencipta), yaitu al-Mushawwir (Yang membentuk rupa).
Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr: 24)
2.5 Asal Usul Kehidupan Dan Keanekaragaman Jenis A. Teori Asal Mula Makhluk Hidup di Bumi
Bumi ini dahulu kala terbentuk dalam keadaan yang sangat panas dan dalam keadaan pijar. Secara perlahan-lahan, bumi mengadakan kondensasi atau menjadi lebih dingin hingga suatu saat terbentuklah kerak atau kulit bumi. Bagian bumi yang berbentuk cair membentuk samudra atau hidrosfer, bagian yang berbentuk gas disebut atmosfer, dan bagian berbentuk padat disebut litosfer. Pada saat ini kulit bumi tersebut dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup yang kita sebut sebagai biosfer. Beberapa pendapat berupa hipotesis atau teori mengenai evolusi adalah teori generatio spontania (abiogenesis), teori penciptaan khusus, teori kosmozoik, dan teori naturalistik.
B. Sejarah Kehidupan di Bumi
Bumi ini telah terbentuk diperkirakan sejak 4,5m tahun yang lalu. Makhluk hidup telah ada dalam bentuk sel tunggal sekitar 1m tahun yang lalu. Ada yang menyebutkan bentuk-bentuk kehidupan sekitar 3,2m tahun yang lalu seperti bentuk formasi Transvaal. Penelitian lain menyebutkan batuan yang berumur 3,5m tahun yang lalu telah menunjukkan tanda-tanda sisa kehidupan atau fosil hal ini berarti pada saat itu ada kehidupan di bumi ini. Para ilmuan lain berpendapat kalau mikroba telahhidup di lautan sejak 3,8m tahun yang lalu.
Ciri-ciri proses evolusi
1) Evolusi adalah perubahan dalam satu populasi BUKAN perubahan individu.
2) Perubahan yang terjadi hanya frekuensi gen-gen tertentu, sedangkan sebagian besar sifat gen tidak berubah.
3) Evolusi memerlukan penyimpangan genetik sebagai bahan mentahnya. Dengan kata lain harus ada perubahan genetik dalam evolusi.
4) Dalam evolusi perubahan diarahkan oleh lingkungan, harus ada faktor pengarah sehingga evolusi adalah perubahan yang selektif.
Faktor perubahan
1) Mutasi gen maupun mutasi kromosom menghasilkan bahan mentah untuk evolusi. Tetapi Darwin sendiri sebenarnya tidak mengenal mutasi ini, sementara mutasi merupakan peristiwa yang sangat penting yang mendukung keabsahan teori Darwin
2) Rekombinasi perubahan yang dikenal Darwin. Rekombinasi dari hasil-hasil mutasi memperlengkap bahan mentah untuk evolusi.
Faktor pengarah :
1) Dalam setiap spesies terdapat banyak penyimpangan yang menurun, karenanya dalam satu spesies tidak ada dua individu yang tepat sama dalam susunan genetiknya (pada saudara kembar misalnya, susunan genetiknya tetap tidak sama).
2) Pada umumnya proses reproduksi menghasilkan jumlah individu dalam tiap generasi lebih banyak daripada jumlah individu pada generasi sebelumnya.
4) Ada persaingan antara individu-individu dalam spesies untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dari lingkungannya. Persaingan intra spesies ini terjadi antara individu-individu yang berbeda sifat genetiknya. Individu yang mempunyai sifat paling sesuai dengan lingkungannya akan memiliki viabilitas yang tinggi. Di samping viabilitas juga fertilitas yang tinggi merupakan faktor yang penting dalam seleksi alam. Mekanisme evolusi terjadi karena adanya variasi genetik dan seleksi alam. Variasi genetik muncul akibat: mutasi dan rekombinasi gen-gen dalam keturunan baru.
Frekuensi Gen
Pada proses evolusi terjadi perubahan frekuensi gen. Bila perbandingan antara genotip-genotip dalam satu populasi tidak berubah dari satu generasi ke generasi, maka frekuensi gen dalam populasi tersebut dalam keadaan seimbang. Frekuensi gen seimbang bila:
1) Tidak ada mutasi atau mutasi berjalan seimbang (jika gen A bermutasi menjadi gen a, maka harus ada gen a yang menjadi gen A dalam jumlah yang sama).
2) Tidak ada seleksi
3) Tidak ada migrasi
4) Perkawinan acak
5) Populasi besar
C. Evolusi Kehidupan Menurut Pandangan Agama
Pada umumnya berbagai hipotesis mengenai asal-usul kehidupan tergolong dalam salah satu dari 4 jemis hipotesis berikut, yaitu:
Asal-usul kehidupan adalah hasil suatu mukjizat yang selalu di luar jangkauan penjelasan fisika dan kimia,
Kehidupan, terutama dalam bentuk yang sederhana, muncul secara tiba-tiba dari benda mati dalam jangka waktu sangat singkat, sejak dahulu hingga sekarang,
Kehidupan itu muncul bersamaan dengan adanya zat dan tidak mempunyai asal penciptaan. Kehidupan datang ke bumi bersamaan dengan terciptanya bumi ini, atau beberapa waktu lama setelah bumi tercipta, sebagai jasad renik yang didorong masuk dari planet lain atau tatasurya lain,
Kehidupan muncul di dunia melalui serangkaian reaksi kimia yang mengalami perbaikan dan kemajuan. Dari molekul-molekul anorganik dengan melalui berbagai reaksi tertentu yang pada keadaan sekarang hampir mustahil dapat berlangsung, terjadilah molekul-molekul organic yang dapat memperbanyak diri.
Al-Qur’an memberikan jawaban yang amat jelas pada pertanyaan, pada titik manakah kehidupan bermula? Asal usul makhluk hidup adalah air. Al-Qur’an SuratAl-Anbiya ayat 30 yang maknanya kira-kira:
Pengertian “menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang lain” sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Ungkapan tersebut dapat berrati bahwa setiap sesuatu yang hidup dibuat dari air. Kedua makna itu sepenuhnya sesuai dengan data saintifik kenyataannya, kehidupan berasal dari air yang merupakan komponen paling penting seluruh sel hidup dan tidak mungkin ada kehidupan tanpa air. Ayat lain dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa air merupakan unsur yang sangat vpenting bagi seluruh kehidupan, termasuk tumbuh-tumbuhan adalah Al-Qur’an At-Thoha ayat 53 yang maknanya kira-kira: “ Tuhan yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan menjadikan jalan-jalan di atasnya bagimu, dan yang menurunkan air (hujan) dari langit. Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan”. Sedang zat dasar pembentukan seluruh kehidupan hewan seperti tercantum pada Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 45 yang artinya kira-kira: “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Pernyataan-pernyataan Al-Qur’an tentang asal usul kehidupan, apakah itu merujuk pada kehidupan secara umum, unsur yang melahirkan tumbuh-tumbuhan di dalam tanah ataupun benih-benih hewan, seluruhnya sesuai dengan data-data saintifik modern. Tidak satu pun mitos tentang asal-usul kehidupan yang lazim dianggap benar oleh orang pada saat Al-Qur’an diwahyukan pada manusia disebutkan dalam kitab suci tersebut.
2.6 Posisi Adam dalam Teori Evolusi
2.6.1 Konsep Penciptaan Adam Menurut Al-qur’an
mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (Al-Baqarah ayat 33).
Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirnya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ini pun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian Kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.
tidak ada khalifah sebelum Adam. Konseksuensi logisnya, Adam adalah manusia pertama.
Seandainya frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai isim fa‘il, maka hal itu mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah terjadinya dialog dengan malaikat sebagaimana yang termaktub dalam ayat tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, Adam bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama yang diciptakan Allah.
Kemudian, ayat-ayat tersebut memunculkan wacana bahwa seolah-olah malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak terjang sang khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan khalifah baru yang bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan menghancurkan tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa menduga-duga kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan) melakukan perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas perihal khalifah versi malaikat yang dimaksud. Al-Qur’an dalam Qs. Shaad: 67-73 dengan tegas menyatakan untuk tidak memperpanjang bantah-bantahan ini.
Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa iblis atau jin sebagai khalifah sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah yang dimaksud adalah khalifah dari golongan jin yang diduga berbuat kerusakan. Asumsi ini berdasarkan analisis ayat yang menerangkan bahwa jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan jin (Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2). Benar bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan Qs. Al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka khususnya para jin berperan sebagai khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya hanyalah praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata ini diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini.
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’am: 165). Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta para khalifah di muka bumi ini. Kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) pada ja’alakum merujuk pada seluruh umat manusia. Menilik pada keumuman lafadz ini, apabila dikaitkan dengan pertanyaan malaikat tentang penciptaan khalifah, maka khalifah sebelum Adam adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-Adam” lain yang sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi yang sama namun dengan karakter yang berbeda destruktif.
b). Adam dan Instalasi al-Asma’
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah untuk mengelola bumi ini.
Keterserakan ini yang menyangkut relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia. Celakanya, kita menganggap bahwa data-data historis tentang bapak manusia itu dirasa cukup hanya dengan ditafsirkan oleh data-data hadits yang sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah israiliyat (Bible). Seandainya kita hendak meneliti sejarah penciptaan ini, meminimalisasi diskontinuitas dengan “comot sana comot sini” dari data-data Biblikal bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak awal al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 37), suksesi khalifah yang tidak berdasarkan kalimah Allah ke yang berdasarkan kalimah Allah barangkali yang paling mendekati untuk mereka-reka praduga ini. Allah hendak mengganti khalifah yang berperilaku destruktif yang tidak berdasarkan pada hukum-hukum Allah dengan khalifah berperadaban yang berdasarkan pada hukum-hukum Allah. Jadi, tegaslah bahwa para hominid itu bukan khalifah.
Namun yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Qs. Al-Baqarah: 30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain, Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah. Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini segera dilakukan. Instalasi ini adalah pembekalan pada diri Adam yang berupa persiapan diri untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama, al-asma’ kullaha. Kalimat kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran al-asma meliputi seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat) benda-benda (Tafsir Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm. 279). Hal ini mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah diperlengkapi dengan perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama. Pengajaran bukanlah dengan mengajarkan penyebutan benda-benda satu-persatu belaka, namun lebih pada pengidentifikasian yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam. Adam-lah manusia rasional yang pertama. Proses instalasi ini dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada anak cucunya dalam rangka mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’ adalah instalasi sendi-sendi pengetahuan sehingga Adam mampu mengidentifikasi nama-nama seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus. Adam mampu mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada tahap yang mengagumkan malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun kecuali apa yang telah diinformasikan Allah kepada mereka, subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah yang membuat malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan pencapaian kemajuan ilmiahnya.
Tampaknya, diskontinuitas sejarah penciptaan Adam memang demikian adanya. Al-Qur’an justru hendak menggerakkan hikmah di balik penciptaan itu untuk selalu terus menerus berpikir dan menggunakan daya nalar manusia di bawah bimbingan hukum Allah (kalimaatin) sebagaimana Adam meletakkan dasar-dasar budaya dan peradaban di bawah bimbingan-Nya. Sementara itu, membicarakan Adam sebagai tokoh sejarah (manusia pertama atau bukan) tidaklah substansial dan tidak memberikan dampak apa-apa bagi peradaban itu sendiri.
2.7 Keselarasan antara Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan tentang Evolusi
a). Relasi dan Relevansi antara Agama, Filsafat, dan Ilmu
mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainnnya. Ilmu Pengetahuan sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” (Jujun, 1990:19). Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Adapun–sebagaimana dikatakan Burhanuddin Salam (1995:5)–beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
1) Pengetahuan biasa atau common sense.
2) Pengetahuan ilmu atau science
3) Pengetahuan filsafat
4) Pengetahuan religi
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental (Anshari, 1979:157).
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya (Rapar, 1996:16).
Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikir filsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22) Agama pada umumnya merupakan (10 satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158). Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
(akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu. Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan explorasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sangsi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Anshari, 1996:158-160).
b). Keselarasan antara Agama, Ilmu, dan Filsafat tentang Evolusi
breathed by the Creator into a few forms or into one; and that, whilst this planet has gone circling on according to the fixed law of gravity, from so simple a beginning endless forms most beautiful and most wonderful have been, and are being evolved.
Jelaslah bahwa Darwin mengakui bahwa segala yang ada di bumi telah diciptakan oleh Sang Pencipta menjadi beberapa bentuk atau bentuk tunggal. Evolusi hanya pengarah untuk menjaga keseimbangan melalui seleksi alam. Franz Magnis Suseno, filsuf dan pengajar filsafat STF Drikarya mengemukakan bahwa Penciptaan dalam Kitab Genesis tidak dapat disesuaikan dengan teori evolusi. Cerita penciptaan menurutnya, tidak harus diterima secara literer tetapi dapat dimengerti sebagai ungkapan simbolis tentang suatu keyakinan iman, bahwa memang segala apa yanga ada ini diciptakan oleh Allah dan semua itu baik adanya. Tidak ada jalan lain untuk sampai pada masa pra-evolusi selain penciptaan. Evolusi pun tidak mengajak orang menjadi materialistik dan tidak perlu seseorang menjadi lemah imannya setelah mempelajari evolusi. Setelah lebih dari 150 tahun, teori evolusi masih dipercaya sebagian orang karena manusia baik kehidupan maupun karakteristiknya masih terus berevolusi sehingga teori evolusi pun masih akan terus mengalam evolusi.
Menurut Lud Waluyo (2010), beberapa hal yang perlu diperhatikan agar timbul keselarasan antara masalah ilmu, filsafat, dan agama, terutama tentang evolusi:
Kita tidak boleh menafikkan penemuan fosil, harus dianalisis secara keilmuan (metode ilmiah), bukan dengan filsafat. Teori keilmuan seharusnya dilawan dengan teori keilmuan. Kemungkinan memang ada fosil-fosil yang dipalsukan, tetapi tentunya tidak semua fosil palsu, maka tentu fosil tidak ada artinya sama sekali dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama palaentologi.
dari akal (ratio) saja disertai kajian seradikal-radikalnya (seakar-akarnya) sehingga menemukan hakikat.
Neo-darwinisme tidak hanya mendasarkan pada mutasi dan seleksi alam sebagai penyebab variasi makhluk hidup, tetapi ada beberapa agensia evolusi lainnya, yakni rekombinasi gen, genetic drift, dan gene flow. Penumbangan neodarwinisme dengan alasan fosil tidak tepat, karena itu telah menjadi kekurangan taori Darwin abad 19 (Darwinisme). Kelemahan utama Darwinisme adalah berkaitan dengan genetika, dan ilmu ini baru ditemukan kembali pada awal abad ke-20.
Kajian ilmiah harus mendasarkan pada metode ilmiah, salah satunya berdasarkan fakta atau data, bukan hanya berdasarkan wacana pemikiran filsafat saja, misalnya filsafat materialism. Sehingga kita tidak dapat mengatakan suatu teori tidak ilmiah bila tidak dapat menunjukkan bahwa teori itu tidak berdasarkan metode ilmiah sebagai bangunan metode keilmuan (secara epistemologis).
Kita dapat mengatakan bahwa mutasi tidak berguna sama sekali pada evolusi. Kita harus ingat bahwa makanan atau bahan makanan yang dikonsumsi tiap hari oleh umat manusia sebagai salah satu proses mutasi terhadap tanaman budidaya yang telah ada yang disengaja oleh manusia. Hasil proses mutasi tersebut telah kita gunakan setiap hari dan kemungkinan manusia bergantung sebagian kebutuhan dan kelangsungan hidupnya pada hasil proses mutasi tersebut di masa sekarang dan masa mendatang.
Kita tidak dapat mengatakan makhluk hidup tidak mungkin berevolusi karena di alam tidak ada mekanisme yang menyebabkannya. Di dunia tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, bila Tuhan berkehendak. Harus ditafsirkan juga berubah (berevolusi) dalam artian dari sesuatu yang sederhana menjadi yang lebih kompleks atau dari belum ada wujudnya sama sekali menjadi ada. Bila kita mengatakan jagad raya sebagai satu kesatuan mengalami proses evolusi, sedangkan bumi beserta isinya, termasuk makhluk hidup sebagai bagian dari alam semesta tersebut harusnya secara logika juga harus mengalami evolusi. Tuhan tidak akan berkurang sifat keMahaKuasa-Nya bila menciptakan makhluk-Nya dengan cara evolusi atau dengan cara penciptaan langsung. Ada pandangan seolah-olah bila Tuhan menciptakan makhluk-Nya secara evolusi, Tuhan tidak Maha Kuasa.
Kita tidak dapat mengatakan suatu teori hanya merupakan dongeng belaka dan hanya merupakan kebohongan besar yang sama sekali bertentangan dengan dunia nyata. Usaha-usaha untuk mempertahankan teori tersebut menjadi mustahil. Hal ini bila penentangan ini berdasarkan pandangan filsafat materialisme. Paling tidak kita sebagai ilmuwan harus menghormati terhadap suatu teori yang dikemukakan orang. Bila memang teori tersebut tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku sekarang, maka menjadi tugas kita untuk menyempurnakannya.
Tanggapan terhadap suatu teori bila berdasarkan pandangan filsafat tertentu yang berbeda, maka akan menghasilkan penafsiran yang berbeda juga. Hal ini dikarenakan filsafat bersumber dari akal saja dengan berfikir sedalam-dalamnya sehingga mendapatkan suatu hakikat, tanpa harus mengujinya secara empiris, sedangkan ilmu bersumber akal dan panca indra.
harus menunjukkan fakta yang lebih akurat, apalagi hanya dengan kompilasi pemikiran saja. Bentuk operasi penolakan kebenaran ilmiah dapat dengan dua macam bentuk, yakni fakta baru yang menggugurkan fakta yang ada, atau mengajukan penalaran baru berlandaskan fakta yang telah ada. Hal demikian wajar dalam pergeseran pemikiran ilmiah dalam sains dengan pijakan metode ilmiah.
Kita harus dapat membedakan antara pengertian evolusi, teori evolusi, dan teori evolusi Darwin. Seolah-olah kalau kita berbicara masalah evolusi, maka yang dimaksud hanya teori evolusi Darwin. Pengertian evolusi mengacu ke semua peubahan yang terjadi secara gradual atau perlahan-lahan, apakah alam semesta, bintang, planet, bumi, makhluk hidup, atau apapun isi jagad raya ini.
Kita harus dapat membedakan ruang lingkup, kajian, dan batas-batas antara ilmu, filsafat, dan agama. Kebenaran suatu ilmu merupakan produk dari akal dan panca indra. Ruang lingkup kebenaran suatu ilmu sejauh mana dapat diuji oleh orang lain denga hasil yang sama. Kebenaran dalam ilmu bersifat subyektif, relative, dan tentative. Perbedaan kebenaran ilmu dan kebenaran filsafat adalah kebenaran filsafat dilalui dengan berfikir sedalam-dalamnya yang akhirnya menemukan hakikat. Sedangkan kebenaran menurut agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak.
Tidak kalah penting dipahami dalam hal ini adalah bahasa. Hal ini karena bahasa dalam ilmu, filsafat, dan agama berbeda. Bahasa yang digunakan dari agama seringkali tidak sama dengan bahasa ilmu dan filsafat. Misalnya, pengertian “menciptakan”, ada yang mengartikan berubah bentuk dari bentuk satu ke bentuk yang lain, tetapi ada yang menafsirkan dari tidak ada menjadi ada. Hal ini perlu kita sadari bahwa manusia sering berfikir anthromorfisme, artinya memberikan bentuk apapun pada diri manusia sendiri, baik itu makhluk hidup yang lain, bahkan Tuhan.
lain menjadi tidak simpati, malahan antipasti, walaupun yang kita katakana memang benar.
Kita tidak dapat membicarakan dan menentang evolusi hanya berlandaskan pandangan filsafat materialisme, bagaimana bila evolusi dibahas dengan filsafat vitalisme? Vitalisme secara umum mengatakan pada organisme hidup ada sesuatu non materi, sesuatu yang non fisikokemis; yang dinamakan elan vital, entelechy, vis vialis, vital essence, atau vital force. Sedangkan filsafat materialisme menganggap bahwa hidup hanya sekedar proses fisiko-kemis, dan bila ada perbedaan benda-benda hidup adalah hanya sekedar perbedaan kompleksitas susunan kimia. Kita ketahui proses evousi tidak hanya proses yang bersifat fisiko-kemis saja. Setinggi apapun ilmu manusia, tetap tidak menjangkau apa itu elan vital, apalagi menciptakannya (Waluyo, 2010).
Manusia ditunjuk Allah sebagai khalifah di muka bumi, oleh karena itu sudah menjadi kewajibannya untuk terus mempelajari apa yang ada di alam ini. Hal ini sebagaimana perintah membaca dari Allah, yang tercantum dalam lima ayat pertama surat Al-Alaq (96): 1-5, yang maknanya kira-kira: “Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan!; yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah! Dan Tuhanmu sangat pemurah; yang mengajarkan penggunaan pena; mengajarkanmu manusia apa-apa yang belum diketahuinya”
Jawaban dari biologi untuk membaca ayat Allah kenapa terdapat beranekaragam makhluk hidup, salah satunya teori evolusi. Perlu kita catat sampai sekarang teori evolusi masih berderajat suatu teori atau “keterangan sementara”, dan harus kita akui suatu kenyataan bahwa teori ini dalam dunia ilmu pengetahuan mendapat tempat sedemikian rupa sehingga merupakan salah satu cara yang masuk akal (berdasarkan fakta) untuk menjawab keanekaragaman makhluk hidup diatas bumi ini. Tetapi harus diingat, hanya ada satu kebenaran, benar menurut wahyu Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci (agama), dan benar secara scientific yakni melalui usaha-usaha manusia yang rasional menurut akal, dan benar menurut filsafat (Waluyo, 2010).
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Teori kejadian jagat raya menurut islam yaitu seperti difirmankan dalam Al-Qur’an surat Fush-Shilat 41 ayat 11 – 12 yang maknanya kira – kira adalah :“ Kemudian ia merancang dari langit dan bumi yang masih berbentuk gas seperti asap. Lalu Tuhan berfirman kepada langit dan kepada bumi sekaligus: “ jadikanlah, engkau keduanya, secara sukarela atau terpaksa “. Langit dan bumi berkata : “ kami jadi secara sukarela (patuh)”.
2. Menurut evolusi biologi, makhluk hidup pertama merupakan hasil dari evolusi molekul anorganik (evolusi kimia) yang kemudian berkembang menjadi struktur kehidupan sel.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, E. S. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu
Bertrand Russel, ‘Ilm va Mazhab, terjemahan Ir. Reza Mashayekhi. Darwin,
Charles. The Origin of Species.
Foulcault, M. 1972. The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon Books.
Jujun S. S. 1990. Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer. Jakarata: Pustaka Sinar Harapan.
Muthahari, M., terjemahan Ilyas Hasan. 2002. Manusia dan Alam Semesta.
Jakarta: Lentera.
Qurthuby, terjemahan Aisha Bewley. 2003. Tafsir Al-Qurthuby. London:
At-Taqwa.
Rapar, J. H. 1996. Pengantar Filsafat. Yogaykarta: Kanisius.
Salam, B. 1995. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Titus, H. H., dkk., terjemahan H. M. Rasyidi. 1987. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Waluyo, L. 2010. Miskonsepsi dan Kontroversi Evolusi serta Implikasinya pada Pembelajaran. Malang: UMM Press.
Zamakhsyari, Al-Kasysyaf lan Haqa’iq Tanzil wa ‘uyun Aqwal fi wujuh