• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 High Performance Work Environment

High performance work environment merupakan faktor lingkungan yang potensial mempengaruhi employee engagement. Definisi high performance work environment menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) merupakan lingkungan yang dapat menciptakan karyawan engage (terikat) adalah lingkungan yang dapat menyediakan lahan informasi, kesempatan belajar, dan mampu menciptakan keseimbangan kehidupan karyawannya, yaitu dengan menciptakan suatu basis untuk menampung energi dan inisiatif karyawan.

Sedangkan pengertian lingkungan kerja secara umum Menurut Mangkunegara (2005), menyatakan bahwa “Lingkungan kerja adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja dan peraturan kerja yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan pencapaian produktivitas.”

(2)

melakukan pekerjaan, setiap karyawan akan berinteraksi dengan berbagai kondisi yang terdapat dalam lingkungan kerja (Komarudin;1983). Kehidupan sosial yang dimaksud berkenaan dengan keyakinan nilai-nilai, sikap, pandangan, pola atau gaya hidup di lingkungan sekitar serta interaksi antara orang-orang yang bekerja dalam suatu perusahaan baik itu interaksi antara atasan dengan bawahan maupun dengan rekan kerja (Komarudin;1983). Kehidupan psikologis adalah interaksi perilaku-perilaku karyawan dalam suatu perusahaan dimana mereka bekerja. Setiap orang dalam suatu perusahaan membawa suatu harapan akan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Adanya kebutuhan dan keinginan itu mendorong mereka berperilaku untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya ( Komarudin 1983).

Dalam employee engagement menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009), seorang karyawan akan menampilkan kinerja yang sangat baik jika di dukung dengan lingkungan yang memfasilitasi karyawan untuk engage. Terdapat 4 (empat) prinsip utama yang menjadi syarat bagi seorang karyawan untuk menciptakan seorang karyawan memiliki potensi menjadi engage, yaitu :

(3)

Gambar 2. 1

Employee Engagement Value Chain

Sumber : Macey,Schneider,Barbera and Young, 2009

Teori menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young:2009) mengenai

high work performance enviroment memiliki persamaan dengan pendekatan klasik tentang desain pekerjaan yang diajukan Hackman dan Oldham (1980) dikenal dengan istilah teori karakteristik pekerjaan (job characteristics theory). Menurut Munandar (2001 : 359) teori karakteristik pekerjaan ini, sebuah

pekerjaan dapat melahirkan tiga keadaan psikologis dalam diri seorang karyawan

yakni mengalami makna kerja, memikul tanggung jawab akan hasil kerja, dan

pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan

mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja,

ketidakhadiran dan perputaran karyawan. Keadaan psikologis kritis ini

dipengaruhi oleh dimensi inti dari sebuah pekerjaan yang terdiri dari keragaman

(4)

Menurut Robbins (2008), teori karakteristik pekerjaan adalah upaya mengidentifikasikan karakteristik tugas dari pekerjaan, bagaimana karakteristik itu digabung untuk membentuk pekerjaan yang berbeda dan hubungannya dengan motivasi, kepuasan kerja dan kinerja karyawan.

Menurut Hackman dan Oldham dalam Luthan (2006:484): Terdapat 5 (lima) dimensi karakteristik pekerjaan yaitu :

1) Task identity; 2) Task Significance; 3) Skill Variety; 4) Autonomy; 5) Feed back.

(5)

Gambar 2.2 Job Characteristic Models

Sumber : J.Richard Hackman dan Greg R. Oldham 1980

a) The Capacity To Engage

Prinsip pertama menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) yang menjadi syarat seorang karyawan menjadi engage adalah kapasitasnya. Kapasitas dalam hal ini berarti apakah karyawan memiliki energi yang mengarah ke tujuan dan ketahanan untuk mempertahankan energi tersebut ketika

Core Job

Feedback from job Knowledge of

(6)

menghadapi hambatan dalam memenuhi tujuannya. Engagement akan muncul secara alami muncul pada orang yang memiliki kemandirian dan kompetensi.

Menurut Munandar (2001:357) Keragaman ketrampilan (skill variety)

Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin

banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan

pekerjaan. Jati diri tugas (task identity) merupakan tingkat sejauh mana

penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat

dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari

pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan

tersendiri menimbulkan rasa tidak puas.

Organisasi memberikan kontribusi dan fasilitas terhadap energi ini agar muncul dengan cara memberikan karyawan informasi-informasi yang mereka butuhkan dalam menyelesaikan pekerjaannya, memberikan kesempatan untuk belajar beserta umpan baliknya, sehingga karyawan mampu mengembangkan kepercayaan dirinya, dan dengan mendukung karyawan dalam usaha mereka untuk memperbaharui tingkat energi personal mereka melalui keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009)

b) The Motivation To Engage

(7)

ketika derajat ketertarikan karyawan itu tinggi terhadap pekerjaannya sehingga memicu timbulnya engagement.

Suatu pekerjaan akan dirasakan lebih menarik ketika pekerjaan tersebut menantang, penting, dan menciptakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan kemandirian tidak hanya pada apa yang harus diselesaikan tetapi juga bagaimana cara menyelesaikannya. Tujuan yang spesifik dan sulit juga akan menciptakan energi dalam diri karyawan yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi kerja (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Hal ini memiliki persamaan dengan tugas yang penting (task significance) menurut Hackman dan Oldham (1980) Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam

suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas

dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai

kepuasan kerja

Dorongan untuk engage juga muncul dari memperlakukan orang lain dengan rasa hormat, sehingga menunjukkan bahwa mereka berharga, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu dasar pada mereka untuk membalasnya melalui

engagement. Dorongan ini juga muncul ketika nilai-nilai antara karyawan dan organisasi itu selaras (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) Menurut Hackman dan Oldham (1980) Umpan balik adalah Tingkat kinerja kegiatan kerja dalam memperoleh informasi tentang keefektifan kegiatannya. Pemberian balikan

(8)

Jadi, dalam prinsip kedua ini, engagement muncul ketika karyawan memiliki ketertarikan terhadap pekerjaan mereka dan sesuai dengan nilai pribadi mereka, dan karyawan diperlakukan dengan cara yang secara alami menimbulkan rasa ingin membalas dalam bentuk kebaikan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009)

c) The Freedom To Engage

Prinsip yang ketiga menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) adalah kebebasan. Maksudnya adalah ketika karyawan merasa bahwa mereka memiliki kebebasan untuk bertindak dan tidak akan dihukum karena hal tersebut, sehingga inisiatif dan sikap proaktif mereka menjadi lebih mungkin muncul. Sebaliknya, tanpa kebebasan tersebut, tidak akan ada hubungan antara strategi dari organisasi dengan tindakan individual, karena perasaan aman untuk bertindak itu tidak ada secara psikologis

Menurut Hackman dan Oldham (1980) Otonomi adalah

Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian

ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan

pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk

menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan

peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja

(9)

mereka merasa bahwa mereka mudah diserang, dalam arti karyawan tersebut bergerak tanpa dukungan dan keamanan dari atasan dan organisasi. Mereka menyadari hal ini ketika mereka merasa telah diperlakukan secara adil, dan berdampak pada timbulnya rasa percaya dari mereka (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

Perceived supervisor support menurut Maertz et al. (dalam Newman dan Thanacoody, 2010) merupakan pandangan umum yang dikembangkan oleh karyawan mengenai tingkat dimana supervisor peduli dengan kesejahteraan dan menilai kontribusi mereka kepada perusahaan. Perceived supervisor supoort diukur dengan pernyataan yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Alan M. Saks (2006) yang merupakan 4 instrumen yang diadaptasi dari survey perceived organizational support yang dikembangkan Eisenberger, Huntington, Hutchison, dan Soa (1986). Dukungan supervisor (atasan langsung) yang dirasakan karyawan ketika supervisor :

1. Peduli dengan pendapat; 2. Peduli dengan kesejahteraan;

3. Mempertimbangkan tujuan dan nilai; 4. Perhatian dengan bawahan.

(10)

d) The Focus of Strategic Engagement

Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) bentuk dari

engagement yang ingin dikendalikan secara spesifik adalah mengenai strategi dan sumber dari keunggulan kompetitif yang dipilih oleh suatu perusahaan. Terdapat perbedaan antara strategi umum dan posisi yang strategis, juga antara level

engagement secara umum dan perilaku engagement yang spesifik yang menjadi esensi dalam menampung keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Strategi mampu mengarahkan jenis engagement spesifik yang dibutuhkan. Caranya adalah dengan memusatkan penyusunan strategi terhadap lingkungan pekerjaan yang diciptakan untuk para karyawan.

(11)

kepada karyawan untuk mencoba memotivasi kinerja merka dan mendorong loyalitas dan retensi. Penghargaan organisasi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda meliputi uang (gaji, bonus, insentif), penghargaan, dan benefit. Penghargaan menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007) diklasifikasikan ke dalam dua kategori luas yakni ekstrinsik dan intrinsik.

a) Ekstrinsik

1) Penghargaan Finansial : Gaji dan Upah

Uang merupakan penghargaan ekstrensik yang utama 2) Penghargaan Finansial : Tunjangan

Tunjangan tidak sepenuhnya finansial, seperti pusat penitipan anak, pusat kebugaran, dan perawatan medis.

3) Penghargaan Interpersonal

Penghargaan yang didistribusikan kepada karyawan seperti status dan pengakuan.

b) Intrinsik

1) Penyelesaian (Completion)

Kemampuan memulai dan menyelesaikan suatu pekerjaan atau proyek merupakan hal yang penting bagi sebgian orang. Bagi mereka itu merupakan penghargaan pada diri mereka sendiri.

2) Pencapaian (Achievement)

(12)

Perasaan otonomi dapat dihasilkan dari kebebasan melakukan apa yang dianggap terbaik oleh karyawan dalam suatu situasi tertentu.

4) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Penghargaan ini berupa kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada perusahaan kepada karyawan untuk berkembang dan bertumbuh. Penyetaraan itu akan muncul searah dengan terwujudnya budaya organisasi yang tepat, yang secara kontinu memantau dan menguatkan hal tersebut dalam setiap sudut dan setiap celah di seluruh level dalam perusahaan. Dan dalam menciptakan budaya tersebut tidaklah mudah karena dibutuhkan perhatian lebih terhadap isu individu itu sendiri, dimulai dari siapa dan bagaimana seseorang dipekerjakan, sampai bagaimana mereka mendapatkan promosi dan pelatihan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Jadi, engagement akan muncul ketika orang-orang mengetahui prioritas dari strategi perusahaan itu apa dan mengapa, dan ketika perusahaan menyetarakan proses dan praktisnya, budayanya, terkait dengan tujuan perusahaan itu sendiri (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

2.1.2 Employee Engagement

Employee engagement pertama kali dikemukakan oleh kelompok peneliti

Gallup (Endres & Smoak, 2008). Mereka mengklaim bahwa employee engagement dapat memprediksi peningkatan kinerja pada karyawan, profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen, serta keberhasilan untuk organisasi (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, dalam Saks :2006).

(13)

Paradise (2008), employee engagement adalah hasil dari kondisi pekerjaan yang mendukung. Harter, Schmidt dan Hayes (2002) mendefinisikan employee engagement sebagai bentuk keterlibatan individual dan kepuasannya serta sebagai bentuk antusiasme dalam melakukan pekerjaan. William Kahn (1990)

menyatakan employee engagement adalah mengenai perhatian karyawan dan penyerapan mereka terhadap perannya. Macey (2008) menyatakan bahwa karyawan yang engage akan memiliki keinginan untuk terikat yang menimbulkan gairah akan pekerjaannya, terikat dengan pekerjaannya, bersedia untuk mengorbankan lebih banyak tenaga dan waktu demi pekerjaannya, dan menjadi lebih proaktif dalam mencapai tujuan pekerjaannya. Dalam literatur akademis, dikatakan bahwa engagement berhubungan dengan gagasan lain dalam perilaku organisasi (Saks, 2006). Gagasan dalam perilaku organisasi ini sama-sama berbicara tentang hubungan karyawan dengan perusahaan. Sebagai salah satu gagasan dalam perilaku organisasi, employee engagement berbeda dengan gagasan lain seperti komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap dan keterkaitan terhadap organisasi. Sementara employee engagement bukan merupakan sikap, melainkan tingkat seorang individu penuh perhatian dan senang dalam melakukan tugas yang diberikan.

(14)

and Young ; 2009 Employee Engagement : Tools for Analysis, Practice, and Competitive Advantage. Chapter 1 : page 7).

2.1.2.1 Engagement and Discretionary Effort

Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young ;2009) berdasarkan dari empat prinsip dasar yang dijelaskan sebelumnya, timbul satu pertanyaan mengenai kebebasan untuk memilih/bertindak (discretionary) – “Mengapa karyawan rela untuk meluangkan lebih banyak waktu dan mengeluarkan lebih

banyak usaha?” Jawabannya adalah karena adanya kontrak psikologis antara

karyawan dan perusahaan. Merujuk pada luasnya nilai-nilai proposisi yang bertemu dengan kebutuhan karyawan, ada alasan dasar yang menjadi asumsi bahwa seorang karyawan akan bekerja dalam level konsistensi yang lebih tinggi sesuai dengan pemahaman mereka terhadap kontrak psikologis tersebut.

Engagement, dalam hal ini menjadi suatu pembalasan atau timbal balik atas apa yang telah disediakan oleh perusahaan. Selain itu, lingkungan pekerjaan juga memainkan peranan penting dalam menentukan engagement, meskipun mungkin tidak terpusat pada kepuasan individu, melainkan lebih kepada menciptakan lingkungan kerja yang menjadi elemen pendukung agar perasaan engage dan perilaku engagement itu muncul.

(15)

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, engagement adalah penghayatan seorang karyawan terhadap tujuan dan pemusatan energi, yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan kegigihan yang mengarah kepada tujuan organisasi. Pada dasarnya, engagement itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu perasaan untuk engage dan perilaku engagement itu sendiri. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut.

2.1.2.2 The Feel of Engagement

Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) ada 4 (empat) komponen penting dalam diri karyawan agar merasa engage, yaitu :

a. Urgency b. Focus c. Intensity, dan

d. Enthusiasm

Kombinasi dari empat elemen diatas adalah yang membuat engagement

menjadi baik berbeda dari konsep lain yang berkaitan dan secara simultan menjadi sumber energi dari pencapaian karyawan dan keuntungan persaingan bagi perusahaan.

a. Urgency

(16)

aktivitas kognisi) tetapi ditambahkan dengan pencapaian terhadap satu tujuan.

Vigor biasanya dikenali sebagai konteks kerja dengan anggapan bahwa segalanya ada di dalam kekuatan pikiran, yang digambarkan sebagai suatu ketahanan mental dan kegigihan dalam menghadapai rintangan dalam pekerjaan. Jadi, vigor yang ditambahkan dengan pencapaian satu tujuan diartikan sebagai urgensi, sesuatu yang menjadi sangat mendasar dan menjadi inti dari engagement. Dan perasaan untuk engage tidak dapat muncul tanpa tujuan yang spesifik. Dalam hal ini,

engagement lebih terdengar seperti motivasi (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

Konsep dari urgensi menjadi inti dari bagian psikologi lain yang relevan dengan jenis perilaku yang muncul sesuai dengan pengertian dari engagement. Secara konseptual, urgensi memiliki kaitan dengan resiliensi, atau kapasitas untuk bangkit setelah mengalami kegagalan. Urgensi juga memiliki kaitan dengan kepercayaan diri, yang mencakup kepercayaan bahwa seseorang itu pasti bisa mencapai satu tujuan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

b. Focus

(17)

Kebanyakan dari kita pernah mengalami suatu kondisi ketika kita dikuasai oleh pekerjaan dan terbenam jauh ke dalam pekerjaan kita. Menjadi fokus berarti mencurahkan segenap perhatian dan kapasitas berpikir kita dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Bukan pelaksanaannya yang menjadi penting, tetapi perasaan menjadi fokus terhadap pelaksanaannya yang lebih penting. Ketika perhatian kita tertuju pada satu pekerjaan atau beberapa pekerjaan, fokus ini mirip dengan apa

yang digambarkan dengan “mengalir”. Maksudnya adalah pekerjaan yang banyak

membutuhkan perhatian karyawan yang bisa berganti dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain berdasarkan skala prioritasnya. Yang menjadi karakteristik dari karyawan yang engage adalah mereka secara konsisten fokus terhadap pekerjaannya, dan sebagian terhadap tugas lain yang mendesak.

Bahasa lain untuk mengekspresikan fokus yang konsisten ini adalah

karyawan yang terlihat “menyatu”, “melebur”, dan “terlarut” kedalam

pekerjaannya yang menyebabkan waktu terasa cepat berlalu. Karyawan yang demikian akan lebih mungkin mengalami kesulitan untuk melepaskan diri mereka dari pekerjaan yang sedang dikerjakan.

(18)

dikerjakan, dan berapa lama mereka akan mengerjakan pekerjaan tersebut berdasarkan rentang perhatian mereka. Agar terciptanya engagement, dibutuhkan perhatian yang harus dipertahankan dalam rentang waktu yang lebih lama. Hal ini setara dengan kemampuan untuk berkonsentrasi dan terlarut dalam pekerjaan, tetapi bukan berarti menjadi terisolasi terhadap pekerjaan lain yang bukan menjadi prioritas utama (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

c. Intensity

Fokus saja tidak dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan perasaan untuk menjadi engage. Misalnya, alasan kita merasa takut terganggu ketika sedang berkonsentrasi adalah karena intensitas dari fokus kita. Intesitas di sini diartikan sebagai kedalaman dari konsentrasi. Hal ini diarahkan dalam bagian alami dari tuntutan pekerjaan dan tingkat kemampuan karyawan yang bersangkutan. Ketika tingkat kemampuan cocok dengan tuntutan pekerjaan, karyawan harus menggabungkan perhatian dan energi ke dalam pekerjaan tersebut agar dapat diselesaikan. Sebaliknya, ketika tingkat kemampuan karyawan jauh melebihi tuntutan pekerjaan, maka karyawan tersebut akan merasa bosan, sehingga perhatian dan energi mereka dapat pindah ke hal lain. Intensitas mengarahkan karyawan untuk membuka diri mendekati semua sumber energi yang tersedia (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

(19)

terhadap karyawan yang membawa seluruh sumber fisik, pikiran, dan emosi terhadap peran mereka dalam pekerjaan. Secara bersamaan, urgensi, fokus, dan intensitas mengesankan bahwa dalam mencapai suatu tujuan, karyawan yang

engage membuka diri mereka ke dalam seluruh sumber yang meluas (kemampuan, pengetahuan, dan energi) dan mengaplikasikannya secara menyeluruh dan giat dalam jangka waktu yang lama.

d. Enthusiasm

Antusiasme merupakan kondisi psikologis yang secara simultan mencakup energi dan kebahagiaan. Hal ini merupakan kondisi emosi yang mengacu kepada perasaan positif, dan dikonotasikan sebagai positive well-being yang kuat. Ketika kita membayangkan tentang antusiasme karyawan, kita akan mendapatkan gambaran seorang karyawan yang terlibat secara aktif dalam pekerjaannya. Jika

diselidiki, karyawan yang antusias dalam bekerja akan merasa lebih “hidup” dan

bergairah dalam bekerja.

Antusiasme menjadi pusat dari perasaan engage di dalam pekerjaan. Gairah ini bukan merupakan suatu hasil dari energi dan fokus saja, melainkan suatu elemen dari keunikan engagement itu sendiri. Antusiasme menjadi alasan mengapa engagement dikategorikan sebagai suatu emosi. Komponen emosi yang positif itulah yang disebut dengan antusiasme.

(20)

antara budaya perusahaan dan karyawan memengaruhi keluasan dari perasaan yang diinternalisasikan dan dalam cara apa perasaan itu diperlihatkan ke dalam sebuah perilaku.

Dari penjelasan mengenai empat komponen perasaan untuk engage di atas, dapat disimpulkan bahwa engagement adalah suatu kumpulan energi perasaan seseorang terhadap suatu pekerjaan, yang kemudian muncul sebagai suatu hasil dari perasaan urgensi, fokus, intensitas, dan antusiasme. Terlebih lagi, karyawan yang engage tidak hanya merasa berenergi tetapi juga merasa kompeten, dan hal tersebut yang memunculkan baik dari pengalaman pribadi karyawan tersebut dan dari kondisi pekerjaan yang disediakan oleh perusahannya. Dapat diprediksi bahwa perasaan untuk engage akan muncul dalam suatu bentuk perilaku yang dapat dikarakterisikkan sebagai suatu kondisi engage itu sendiri (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

2.1.2.3 The Look of Engagement

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perasaan engage akan mengarahkan seorang karyawan untuk memperlihatkan perilaku engagement. Ada beberapa faktor dari perilaku engagement dari karyawan terkait dengan perasaan

engage karyawan tersebut. Hal ini mencakup kepribadian, level kemampuan, tipe kepemimpinan atasan, budaya perusahaan, dan lain-lain. Namun, terlepas dari faktor-faktor tersebut, semakin seorang karyawan merasakan engage, semakin

mungkin dia akan memperlihatkan perilaku engagement

(21)

Ada 4 (empat) aspek perilaku utama yang diperlihatkan oleh karyawan yang memiliki perasaan engage, yaitu :

a. Persistence;

b. Proactivity;

c. Role expansion;

d. Adaptability.

Perilaku karyawan yang engage dapat terlihat berbeda dari apa yang diamati dan diharapkan. Perbedaan tersebut dapat dilihat tidak hanya secara individual saja tetapi secara keseluruhan dari lingkungan kerja.

a. Persistence

Persistence diartikan sebagai suatu kegigihan. Bentuk perilaku mengenai kegigihan paling jelas yang dapat diperlihatkan oleh seorang karyawan adalah penyelesaian tugasnya. Contohnya adalah karyawan yang bekerja keras, dalam jangka waktu yang lama tanpa beristirahat, dan dalam jam kerja yang lebih banyak selama hari kerja. Contoh yang lebih spesifik adalah, ketika seorang agen asuransi memilih untuk melewatkan waktu makan siangnya untuk melayanai keluhan dari pelanggannya.

Tetapi, melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawab dan rentang waktu yang diwajibkan hanya sedikit contoh saja dari keseluruhan perilaku engagement

(22)

lebih mungkin baginya memutuskan untuk terus mencoba dan mencoba sampai pada akhirnya dia berhasil daripada dia menyerah pada kegagalan itu dan beralih ke pekerjaan yang lain.

Persistence ini mengikuti faktor energi yang mengarah ke tujuan yang sebelumnya dijelaskan sebagai urgensi. Kita dapat mengharapkan perilaku gigih ketika karyawan merasa antusias dikarenakan mereka percaya bahwa mereka mampu memberikan kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan. Persistence

juga akan muncul ketika karyawan secara intens fokus sehingga mereka memperoleh jalur alternatif untuk mencapai tujuan ketika menemui rintangan. Keuntungan dari persistence itu sendiri cukup jelas, mencakup kualitas kerja yang lebih tinggi, menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dan tanggap, lebih sedikit kebutuhan/tuntutan karyawan, dan biaya yang lebih rendah (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

b. Proactivity

(23)

Karyawan yang engage tidak hanya akan bertindak ketika kebutuhan itu muncul, mereka akan lebih mampu untuk mengenali dan mengantisipasi kebutuhan tersebut atau kesempatan untuk bertindak lebih cepat. Kemampuan mengenali kesempatan bertindak tersebut menjadi sebuah contoh dari bagaimana seorang karyawan yang engage mendekati pekerjaan mereka secara penting dan berkualitas. Dalam kata lain, karyawan yang engage telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Mereka secara konsisten ada dalam keadaan siap dan secara proaktif mencari dan melakukan sesatu yang terbaik untuk kelompok, perusahaan, dan konsumen mereka. Dengan demikian, proaktif di sini menunjukkan perubahan inisiatif karyawan dari reaktif menjadi bertanggung jawab.

Dugaan mengenai perubahan inisiatif dari karyawan ini mirip dengan pandangan dari Frese and Fay (2008) dalam konsep mereka mengenai personal intiative. Mereka berpendapat bahwa inisiatif merupakan konsep yang diperhatikan dalam perilaku organisasi, dan juga diamati dalam pandangan tradisional dari performa kerja dalam psikologi organisasi yang mencakup tugas-tugasnya, prosesnya, dan lingkungan kerja yang ditujukan kepada karyawan. Contohnya, dalam pandangan tradisional, karyawan itu diseleksi dan ditempatkan pada suatu pekerjaan yang membutuhkan penjelasan dari pekerjaan dan proses kerjanya, kemudian diberikan pelatihan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam cara-cara tertentu, dan secara lebih umum, disosialisasikan ke dalam budaya perusahaannya.

(24)

yang mampu memberikan pengaruh terhadap lingkungan kerja mereka dan memutuskan mengenai bagaimana performa kerja mereka, produk apa saja yang harus dikembangkan, dan seterusnya. Pandangan tersebut menjadi lebih positif terhadap karyawan yang sebelumnya dipandang sebagai karyawan yang reaktif, yang hanya mampu menunggu perintah dari atasan dan tidak memiliki daya tarik terhadap pekerjaan. Karyawan yang engage itu proaktif, dan mereka menjadi proaktif karena kondisi yang tepat diberikan kepada mereka dari perusahaan.

Hubungan antara merasa engage dan memperlihatkan perilaku proaktif sebenarnya cukup jelas. Pertama, karyawan yang memiliki perasaan urgensi dan tingkat konsentrasi yang tinggi terhadap pekerjaan mereka akan lebih proaktif. Karyawan yang engage akan mengambil inisiatif untuk menghindari atau mencegah suatu masalah. Kedua, karyawan yang engage akan lebih banyak menggunakan sumber energi emosi dan pikiran mereka dalam pekerjaan, sehingga mereka menjadi lebih mungkin untuk mengenali masalah yang potensial, dan kebutuhan atau kesempatan untuk bertindak. Terakhir, karyawan yang merasa antusias terhadap bagaimana performa kerja mereka memengaruhi keberhasilan dari perusahaan dan menginternalisasikan tujuan kelompok dan perusahaan akan lebih mungkin untuk mendeteksi rintangan yang muncul dalam pencapaian tujuan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

c. Role Expansion

Role expansion diartikan sebagai perluasan peran kerja. Karyawan yang

(25)

tetapi tidak semuanya perilaku itu memperlihatkan adanya loncatan ke dalam satu tipe pekerjaan lain di luar tanggung jawab karyawan yang bersangkutan dan secara lebih umum untuk membantu keberhasilan dari perusahaan.

Di sisi lain, role expansion juga mencakup pergantian peran kerja dalam jangka panjang atau bahkan menetap. Adakalanya seorang atasan mendelegasikan tanggung jawab dan pekerjaannya kepada bawahannya sehingga kompetensi karyawan menjadi lebih jelas terlihat, atau sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri. Karakteristik penting dalam role expansion adalah kesediaan untuk menerima suatu jenis pekerjaan yang berbeda dari suatu peran. Hal ini mungkin merupakan suatu hasil inisiatif dari manajemen atau inisiatif dari diri sendiri. Terkadang, suatu tanggung jawab dapat muncul dari yang sebelumnya tidak ada, akibat dari proses perubahan, perkembangan suatu produk baru, atau perubahan lingkungan eksternal. Atau mungkin juga tanggung jawab itu muncul karena karyawan dipindahkan, mendapat promosi, atau tergantikan oleh seseorang yang memiliki keterampilan yang berbeda.

Ada beberapa alasan mengapa karyawan yang engage menjadi lebih berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya. Pertama, karyawan yang berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya adalah suatu bentuk perilaku proaktif, dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karyawan yang engage

(26)

mereka juga akan memperlihatkan peran mereka lebih luas. Karyawan yang kurang merasa engage akan lebih menunjukkan batasan peran mereka, cenderung untuk tetap berada di zona nyamannya untuk menghindari tekanan dari pekerjaan yang bertambah yang membutuhkan lebih banyak tanggung jawab. Karyawan seperti ini akan seringkali berkata, “Lho? Itu, kan, bukan tugas saya.” Terakhir, karyawan yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan juga secara psikologis merasa engage akan lebih bersedia untuk memperluas peran kerja mereka (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

d. Adaptibility

(27)

Psikolog Pulakos (2008) beserta koleganya telah meneliti secara mendalam mengenai adaptibilitas dan memperoleh aspek-aspek penting di dalamnya, yaitu bagaimana respon karyawan terhadap perubahan di lingkungan mereka dan bagaimana perubahan membawa hasil yang lebih baik secara menyeluruh. Perilaku yang dimunculkan adalah sebagai berikut :

i. Memecahkan masalah secara kreatif;

ii. Berhadapan secara efektif terhadap perubahan situasi kerja yang tidak dapat diperkirakan;

iii. Mempelajari tugas-tugas pekerjaan, teknologi, dan prosedurnya, dan iv. Memperlihatkan adaptibilitas interpersonal.

Fase-fase ini menunjukkan cara-cara dari karyawan atau individu yang

engage untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan atau organisasi.

2.1.2.4 Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk Lain

Dalam literatur akademisi, engagement dapat dikatakan berkaitan namun tetap berbeda dengan konstruk lainnya dalam perilaku organisasi seperti konstruk komitmen organisasi (organizational commitment) dan keterlibatan kerja (job involvement). Robinson, Perryman, and Hayday (2004) menjelaskan bahwa

(28)

bahwa beberapa organisasi beranggapan bahwa OC adalah bagian dari

engagement, sementara itu organisasi yang lainnya beranggapan engagement

mendorong terciptanya OC dan dipandang sebagai isu yang berbeda.

Komitmen organisasi (OC) berbeda dengan engagement. OC berkaitan dengan sikap seseorang dan kedekatan dengan organisasi mereka. Di sisi lain,

engagement bukan merupakan sikap melainkan suatu tingkatan yang mana individu memiliki perhatian yang lebih dalam menjalankan peran mereka di lingkungan pekerjaan. OCB berbeda dengan engagement, OCB berkaitan dengan perilaku informal dan sukarela yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus dari engagement adalah peran formal kinerja individu yang bukan sebagai peran ekstra ataupun tidak secara sukarela (Saks, 2006).

Engagement juga berbeda dengan keterlibatan karyawan (Job Involvement/JI). JI adalah hasil dari penilaian kognitif mengenai kemampuan pemenuhan kepuasan kerja serta berkaitan dengan erat dengan citra diri individu (self image). Di lain pihak, engagement berkaitan dengan bagaimana individu mempekerjakan diri mereka sendiri dalam melaksanakan kinerja pekerjaan mereka. Lebih lanjut,

engagement melibatkan penggunaan emosi secara aktif serta perilaku secara kognitif (May, Gilson, Harter, 2004; dikutip dalam Saks, 2005).

(29)

engagement merupakan konstruk yang multidimensi. Karyawan dapat secara emosional, kognitif atau fisik terikat.

Terikat secara emosional artinya ketika individu membangun hubungan yang berarti dengan orang lain dan mengalami empati serta perhatian terhadap perasaan orang lain, misalnya terhadap rekan kerja dan manajer. Di sisi lain, terikat secara kognitif merujuk kepada individu yang menaruh perhatian lebih pada tugas dan peran mereka di lingkungan pekerjaan. Lebih lanjut menurut

Kahn (1990 dikutip oleh Luthans dan Peterson, 2002), karyawan dapat diikat pada satu dimensi saja yaitu bisa secara emosional saja ataupun kognitif. Tetapi semakin mereka merasakan keterikatan disetiap dimensi akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Keterikatan personal inilah yang mendorong tercipta employee engagement.

(30)

2.1.3 Kepuasan Kerja

2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan Kerja merupakan suatu perasaan positif mengenai pekerjaannya dan merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Terdapat beberapa aspek yang dapat mencerminkan kepuasan karyawan ( pekerjaan itu sendiri, gaji, kenaikan jabatan, pengawasan atasan, dan rekan kerja).(Robbins, 2008:110). Kepuasan karyawan adalah kepuasan yang diterima karyawan atas balas jasa hasil kerjanya, kepuasan ini penting bagi organisasi, karena jika karyawan tidak puas maka mereka akan keluar (Hasibuan 2007:202).

Menurut Newstrom mengemukakan bahwa “job satisfaction is the

favorableness or unfavorableness with employes view their work”. Kepuasan

kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami pegawai dalam bekerja

Menurut Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah

(31)

berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan.

Menururt Hidayat Keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.

Menurut Angga Leo Kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan Pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh Pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat (Robbins 2008) tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu anggota masyarakat, dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai

Terdapat beberapa teori mengenai kepuasan diantaranya :

1. Discrepancy Theory

(32)

kepuasan kerja seseorang tergantung pada discrepancy antara harapan dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaanya.

2. Equity Theory

Teori ini dikembangkan oleh Adams (1963). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan. Perasaan keadilan atas situasi diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang setara.

3. Two Factor Theory

Prinsip teori ini adalah kepuasan atau ketidakpuasan merupakan dua hal yang berbeda. Teori ini pertama kali ditemukan oleh Herzberg (1959). Herzberg membagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : satisfier (motivator) adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari

achievement,recognition, work itself, responsibility, dan advencement. Dissatisfier (Hygine Factor) adalah faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy, supervision, technical, salary, interpersonal, relation, working condition ,job security dan status.

2.1.3.2 Faktor-Faktor Kepuasan Kerja

Menurut (dalam Danang 2012:28) terdapat 4 (empat) faktor yang menimbulkan kepuasan karyawan yaitu :

1. Faktor hubungan antar karyawan; 2. Faktor individual;

3. Faktor keluarga;

(33)

Menurut (Levi,2002) terdapat 5 (lima) aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu

1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self),Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja;

2. Atasan(Supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya;

3. Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya;

4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja;

5. Gaji/Upah(Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.

Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :

(34)

membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan.

2. Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.

(35)

kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).

4. Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan menyenagkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.

5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka

2.1.4 Kinerja

2.1.4.1 Definisi Kinerja Karyawan

Kinerja karyawan pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja Karyawan pada umumnya mengikuti beberapa elemen diantaranya (Robbins; 2008) :

(36)

3. Ketepatan waktu dari hasil; 4. Kehadiran;

5. Kemampuan bekerja sama.

Dimensi lain dari kinerja secara umum salah satunya dapat di aplikasikan pada pekerjaan yang berbeda. Kriteria pekerjaan yang spesifik atau dimensi dari inerja dapat mengidentifikasi elemen yang paling penting dari pekerjaan tersebut.Kriteria pekerjaan merupakan faktor paling penting karena hal tersebut dapat mengidentifikasikan kesesuaian organisasi membayar karyawan dengan apa yang telah dilakukan. Oleh karena itu kinerja individu berdasarkan kriteria pekerjaan harus dapat diukur dan dibandingkan dengan standar yang ada sehingga hasil penilaian kinerja dapat memberikan gambaran yang tepat mengenai pekerjaan yang dilakukan karyawan (Robbins,2008).

Bernardin dan Russel (1993 : 379) dalam Yeremias T. Keban (2004 : 192) mengartikan kinerja sebagai the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period. Dalam definisi ini, aspek yang ditekankan oleh kedua pengarang tersebut adalah catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pegawai selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi pegawai yang dinilai.

(37)

sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Srimindarti, 2006). Menurut Mangkunegara (2005), kinerja adalah: hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kerja kelompok personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel didalam organisasi (Ilyas, 2001).

(38)

2.1.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2001 : 82) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu: (1).Kemampuan mereka, (2).Motivasi, (3).Dukungan yang diterima, (4).Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan (5).Hubungan mereka dengan organisasi. Berdasarkaan pengertian diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.

Menurut Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja antara lain : a. Faktor kemampuan Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya. b. Faktor motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.

Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2005 : 68), berpendapat

bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian

kerja”. Motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu

(39)

sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc.Clelland, mengemukakan 6 (enam) karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu : (1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi (2) Berani mengambil risiko (3) Memiliki tujuan yang realistis (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan. (5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan (6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan

Menurut Gibson (1987) ada 3 (tiga) faktor yang berpengaruh terhadap kinerja : (1)Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang. (2)Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja (3)Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

(40)

perilaku kerja dan produktivitas kerja, baik individu maupun organisasi sehingga hal tersebut akan menimbulkan kepuasan bagi pelanggan atau pasien. Karakteristik individu selain dipengaruhi oleh lingkungan, juga dipengaruhi oleh: (1) karakteristik orgnisasi seperti reward system, seleksi dan pelatihan, struktur organisasi, visi dan misi organisasi serta kepemimpinan; (2) karakteristik pekerjaan, seperti deskripsi pekerjaan, desain pekerjaan dan jadwal kerja.

2.1.4.3. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Pada hakikatnya, penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja individu (personel) dengan membandingkan dengan standard baku penampilan. Menurut Hall, penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk memperbaiki kerja personel dalam organisasi. Menurut Certo, penilaian kinerja adalah proses penelusuran kegiatan pribadi personel pada masa tertentu dan menilai hasil karya yang ditampilkan terhadap pencapaian sasaran sistem manajemen (Ilyas, 2001).

(41)

dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan.

Menurut Bernardin dan Russel (1993 : 379) “ A way of measuring the

contribution of individuals to their organization “. Penilaian kinerja adalah cara

mengukur konstribusi individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja. Menurut Cascio (1992 : 267) “penilaian kinerja adalah sebuah gambaran atau deskripsi yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari

seseorang atau suatu kelompok”.

Menurut Bambang Wahyudi (2002 : 101) “penilaian kinerja adalah suatu evaluasi yang dilakukan secara periodik dan sistematis tentang prestasi kerja /

jabatan seorang tenaga kerja, termasuk potensi pengembangannya”. Menurut

Henry Simamora (338 : 2004) “ penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) model penilaian kinerja :

a. Penilaian sendiri (Self Assesment).

Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaaan individu. Ada dua teori yang menyarankan peran sentral dari penilaian sendiri dalam memahami perilaku individu. Teori tersebut adalah teori kontrol dan interaksi simbolik.

(42)

mereka, (2) mendeteksi perbedaan antara perilaku mereka dan standarnya (umpan balik), dan (3) berperilaku yang sesuai dan layak untuk mengurangi perbedaan ini. Selanjutnya, disarankan agar individu perlu melihat dimana dan bagaimana mereka mencapai tujuan mereka. Dengan pengenalan terhadap kesalahan yang dilakukan, mereka mempunyai kesempatan melakukan perbaikan dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan mereka.

Inti dari teori interaksi simbolik adalah preposisi yaitu kita mengembangkan konsep sendiri dan membuat penilaian sendiri berdasarkan pada kepercayaan kita tentang bagaimana orang memahami dan mengevaluasi kita. Teori ini menegaskan pentingnya memahami pendapat orang lain disekitar mereka terhadap perilaku mereka. Interaksi simbolik juga memberikan peran sentral bagi interpretasi individu tentang dunia sekitarnya. Jadi individu tidak memberikan respon secara langsung dan naluriah terhadap kejadian, tetapi memberikan interpretasi terhadap kejadian tersebut Preposisi ini penting sebagai pedoman interpretasi tentang penilaian sendiri yang digunakan dalam mengukur atau menilai kinerja personel dalam organisasi.

(43)

b. Penilaian 360 derajat (360 Degree Assessment).

Teknik ini akan memberikan data yang lebih baik dan dapat dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh bawahan, mitra dan atasan personel Data penilaian merupakan nilai kumulatif dari penilaian ketiga penilai. Hasil penilaian silang diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadi kerancuan, bila penilaian kinerja hanya dilakukan oleh personel sendiri saja (Ilyas, 2001).

Penilaian atasan, pada organisasi dengan tingkat manajemen majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian ini termasuk yang dilakukan oleh penyelia atau atasan langsung yang kepadanya laporan kerja personel disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi.

Penilaian mitra, biasanya penilaian mitra lebih cocok digunakan pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup tinggi, dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota kelompok kerja. Penilaian mitra dilakukan oleh seluruh anggota kelompok dan umpan balik untuk personel yang dinilai dilakukan oleh komite kelompok kerja dan bukan oleh penyelia. Penilaian mitra biasanya lebih ditujukan untuk pengembangan personel dibandingkan untuk evaluasi. Yang perlu diperhatikan pada penilaian mitra adalah kerahasiaan penilaian untuk mencegah reaksi negatif dari personel yang dinilai.

(44)

manajer untuk dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan manajemen mereka. Umpan balik bawahan berdasarkan kriteria sebagai berikut: pencapaian perencanaan kinerja strategik, pencapaian komitmen personel, dokumentasi kinerja personel, umpan balik dan pelatihan personel, pelaksanaan penilaian kinerja, dan imbalan kinerja. Manajer diharapkan mengubah perilaku manajemen sesuai dengan harapan bawahan.

2.1.4.4. Tujuan Penilaian Kinerja

Menurut Alwi (2001 : 187) secara teoritis tujuan penilaian dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan development yang bersifat efaluation harus menyelesaikan : 1.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi 2.Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision 3.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar meengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang bersifat development penilai harus menyelesaikan : (1) Prestasi riil yang dicapai individu (2) Kelemahan- kelemahan individu yang menghambat kinerja (3) Prestasi- pestasi yang dikembangkan.

2.1.4.5. Manfaat Penilaian Kinerja

(45)

2.2 Kerangka Pemikiran

Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai keadaan lingkungan sekitarnya, antara manusia dan lingkungan terdapat hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini, manusia akan selalu berusaha untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan sekitarnya. Demikian pula halnya ketika melakukan pekerjaan, karyawan sebagai manusia tidak dapat dipisahkan dari berbagai keadaan disekitar tempat mereka bekerja, yaitu lingkungan kerja. Selama melakukan pekerjaan, setiap karyawan akan berinteraksi dengan berbagai kondisi yang terdapat dalam lingkungan kerja (Komarudin 1983).

Kehidupan sosial yang dimaksud berkenaan dengan keyakinan nilai-nilai, sikap, pandangan, pola atau gaya hidup di lingkungan sekitar serta interaksi antara orang-orang yang bekerja dalam suatu perusahaan baik itu interaksi antara atasan dengan bawahan maupun dengan rekan kerja (Komarudin 1983).

Kehidupan psikologis adalah interaksi perilaku-perilaku karyawan dalam suatu perusahaan dimana mereka bekerja. Setiap orang dalam suatu perusahaan membawa suatu harapan akan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Adanya kebutuhan dan keinginan itu mendorong mereka berperilaku untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya (Komarudin 1983).

Kehidupan fisik adalah interaksi antara karyawan dengan lingkungan tempat karyawan bekerja. Menurut Mangkunegara (2005), menyatakan bahwa:

“Lingkungan kerja adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja dan peraturan

(46)

Adapun pengertian lain dari lingkungan kerja yang dapat menghasilkan kinerja tinggi dikemukakan oleh (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) merupakan lingkungan yang dapat menciptakan karyawan terikat adalah lingkungan yang dapat menyediakan lahan informasi, kesempatan belajar, dan mampu menciptakan keseimbangan kehidupan karyawannya, yaitu dengan menciptakan suatu basis untuk menampung energi dan inisiatif karyawan.

Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009), seorang karyawan akan menampilkan kinerja yang sangat baik jika didukung dengan lingkungan yang memberikan fasilitas kepada karyawan untuk terikat dengan pekerjaannya. Terdapat 4 prinsip utama yang menjadi syarat bagi seorang karyawan untuk menciptakan seorang karyawan memiliki potensi menjadi terikat yaitu karyawan yang memiliki kapasitas untuk engaged, karyawan memiliki alasan atau motivasi untuk engaged, karyawan memiliki kebabasan untuk engaged, dan karyawan mengetahui bagaimana untuk engaged.

Prinsip pertama the capacity to engage menurut

(Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) yang menjadi syarat seorang karyawan menjadi engage adalah kapasitasnya. Kapasitas di sini maksudnya adalah apakah karyawan memiliki energi yang mengarah ke tujuan dan ketahanan untuk mempertahankan energi tersebut ketika menghadapi hambatan dalam memenuhi tujuannya. Engagement akan muncul secara alami muncul pada orang yang memiliki kemandirian dan kompetensi.

(47)

dengan memberikan informasi yang karyawan butuhkan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan berhasil, juga memberikan kesempatan untuk belajar dan memberikan feedback sehingga para karyawan untuk memperbaharui level

personal energy-nya melalui keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan personal. Dengan demikian, prinsip pertama dari engagement adalah engagement

membutuhkan lingkungan kerja yang tidak menuntut lebih, tetapi terdapat peluang untuk berbagi informasi, memberikan kesempatan belajar,dan menjaga keseimbangan pada kehidupan personal karyawan, dengan menciptakan dasar-dasar pemeliharaan energy dan inisiatif personel.

Prinsip kedua the motivation to engage menurut

(Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) dalam menciptakan karyawan yang

engage adalah motivasi. Motivasi di sini diartikan sebagai dorongan untuk bekerja. Dorongan untuk bekerja dapat muncul ketika derajat ketertarikan karyawan itu tinggi terhadap pekerjaannya sehingga memicu timbulnya

engagement. Motivasi untuk engaged akan terjadi jika karyawan memiliki pekerjaan yang menarik(bagi mereka) dan sesuai dengan value mereka. Karyawan diperlakukan dengan cara yang memperkuat munculnya kecenderungan bahwa mereka akan membalas kebaikan.

(48)

kebebasan tersebut, tidak akan ada hubungan antara strategi dari organisasi dengan tindakan individual, karena perasaan aman untuk bertindak itu tidak ada secara psikologis. Kebebasan untuk engaged terjadi ketika seseorang merasa aman untuk melakukan tindakan atas inisiatifnya sendiri, konsekuensinya trust penting terutama pada kondisi-kondisi adversity, ambiguity, dan kebutuhan (organisasi atau pekerjaan) untuk berubah, tepatnya ketika kebutuhan akan adanya

engagement karyawan menjadi penting.

Prinsip keempat the focus of strategic engagement. menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) bentuk dari engagement yang ingin dikendalikan secara spesifik adalah mengenai strategi dan sumber dari keunggulan kompetitif yang dipilih oleh suatu perusahaan. Terdapat perbedaan antara strategi umum dan posisi yang strategis, juga antara level engagement secara umum dan perilaku engagement yang spesifik, yang menjadi esensi dalam menampung keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Strategi mampu mengarahkan jenis

engagement spesifik yang dibutuhkan. Caranya adalah dengan memusatkan penyusunan strategi terhadap lingkungan pekerjaan yang diciptakan untuk para karyawan.

(49)

ini lebih dikenal dengan istilah employee engagement. Prinsip keempat yaitu tahu bagaimana melakukan engagement terjadi ketika karyawan mengetahui prioritas strategi organisasi dan mengapa, dan kapan organisasi selaras dalam proses dan praktiknya dalam pencapaian goals.

Konsep Employee Engagement pertama kali diperkenalkan dalam Jurnal Gallup. Berdasarkan hasil riset dari Gallup Management Journal 2001 diperoleh bahwa hanya satu dari empat orang karyawan merasa terlibat atau 26% (engaged),

mereka mencintai apa yang mereka kerjakan dan mereka bersemangat untuk

datang bekerja. Sedangkan dua dari empat orang karyawan acuh atau 55%

(disengaged), mereka hadir di kantor akan tetapi tidak dapat fokus kepada

pekerjaan. Sisanya yaitu satu dari empat orang karyawan aktif acuh bahkan

menjadi provokator atau 19% (actively disangaged), seberapa jauh mereka tidak

puas dengan atasan, rekan kerja atau perusahaan pada umumnya.

Employee Engagement didefinisikan sebagai kekuatan yang mengikat antara perusahaan dan karyawan baik secara emosional, rasional maupun spiritual

yang mampu mendorong kinerja optimal individu sehingga membuat perusahaan

mampu mencapai tujuannya dan memiliki keunggulan bersaing. Karyawan yang memiliki keterikatan secara emosional dan intelektual terhadap perusahaan akan memberikan usaha terbaiknya melebihi apa yang telah dijadikan target dalam suatu pekerjaan (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman,dalam Saks: 2006).

(50)

tidak terpaku pada job description akan tetapi terfokus pada goal yang dicapai, aktif memperkaya skills secara konsisten, mampu bertahan dan terus berjuang ketika menghadapi hambatan dalam bekerja, mampu beradaptasi ketika terjadi perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan. Berdasarkan hasil penelitian, perilaku karyawan yang disengaged cenderung menampilkan perilaku destruktif. Secara skema dapat digambarkan mengenai konsep engagement dengan anteseden dan konsekuensi.

Gambar 2.3

Employee Engagement Value Chain

Sumber : (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009)

Berdasarkan model diatas, high performance work enviroment merupakan anteseden dari engagement, yaitu lingkungan kerja yang memberi fasilitas, kemudahan-kemudahan, dan kesempatan karyawan untuk engaged. Menurut model ini, engagement memiliki dua faset yaitu psikologis dan behavioral. Faset psikologis berkaitan dengan perasaan karyawan sehingga karyawan fokus, intens,

(51)

antusias; dan behavioral, berkaitan dengan apa yang karyawan lakukan sehingga mereka terlihat persisten (konsisten berjuang), adaptable, dan proaktif. Seperti pada skema selanjutnya bahwa engagement memberikan dampak bagi outcomes

yang tangible dan intangible. Outcomes tangibles berupa meningkatnya kinerja, sedangkan outcomes yang intangible bisa berbentuk loyalitas, kepuasan, inteletual capital, dan brand image. Engagement juga berperan menurunkan risiko perusahaan, hal ini dapat terjadi karena karyawan lebih berdedikasi untuk menciptakan nilai lebih bagi organisasi, lebih konsisten dalam interaksinya dengan pelanggan dan stakeholder lain, dan lebih tidak berkeinginan untuk keluar dari perusahaan.

Outcome tangible diantaranya adalah kinerja, menurut Mangkunegara (2001), kinerja adalah: hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja yang sangat baik merupakan indikator karyawan menguasai suatu pekerjaan tertentu dan mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik dan secara emosional mampu komit dengan pekerjaan.

Sedangkan outcome intangible diantaranya adalah kepuasan kerja,

(52)

Berdasarkan skema diatas dapat disimpulkan bahwa engagement dalam sudut pandang ini merupakan resiprokasi atas apa yang perusahaan sudah berikan. Jadi jika perusahaan perusahaan memberikan peluang untuk berkembang, jenis pekerjaan yang tepat, pengawasan yang adil pada tempatnya, level imbalan dan rasa aman yang wajar. Anteseden yang berupa High Performance Work Environment berdampak pada munculnya perasaan engaged yang dikenal dalam konsep employee engagement yang memiliki dua komponen yaitu employee engagement feeling dan employee engagement behaviour.

Employee engagement feelings memiliki empat komponen penting sehingga karyawan merasa engaged yaitu :

1. Feeling of urgency; 2. Feeling of being focused ; 3. Feeling of enthusiasm ; 4. Feeling of intensity.

(53)

Semakin kuat feel of engagement semakin memungkan seorang karyawan akan memperlihatkan perilaku engaged. Bagaiman perilaku yang bisa dimunculkan (sebagai akibat lebih banyaknya energy dan effort yang diperlukan dalam bekerja), terhadap organisasi, pelanggan atau stakeholder diluar organisasi.

Employee engagement behavior memiliki empat komponen penting sehingga karyawan merasa engaged yaitu :

1.Persistence; 2. Proactivity; 3. Role expansion; 4. Adaptability.

Karyawan yang engaged secara perilaku akan memperlihatkan persistensi, merespon secara proaktif terhadap ancaman dan tantangan, memperluas peran mereka dalam pekerjaan, dan siap sedia terhadap perubahan. Hal diatas merupakan seluruh aspek perilaku engagement. Engagement tidak hanya meningkatkan kinerja karyawan yang dalam agregatnya meningkatkan kinerja diatas atau melampaui harapan (sesuai standar).

(54)

penelitian ini disebut sebagai high performance work environment, merupakan aspek-aspek potensial yang mendukung keterikatan karyawan dalam bekerja atau dikenal dengan istilah employee engagement. Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) jika high performance work enviroment dapat dijalankan oleh perusahaan hal tersebut akan meningkatkan employee engagement terhadap pekerjaan dan perusahaan sehingga pada akhirnya akan berdampak kepada kinerja dan kepuasan karyawan tersebut.

Berdasarkan survei employee engagement diperoleh dua buah indikator diatas merupakan indikator yang memiliki nilai terendah pada Unit Pusat dan Unit Divisi. Indikator pertama merupakan opportunity to do what I do best, berkaitan dengan karyawan merasa belum mendapatkan kesempatan untuk bekerja secara optimal. Secara teori indikator ini tercermin dari salah satu faktor high performance work enviroment pada prinsip motivation to engaged berkaitan dengan suatu pekerjaan akan dirasakan lebih menarik ketika pekerjaan tersebut menantang, penting, dan menciptakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan kemandirian tidak hanya pada apa yang harus diselesaikan tetapi juga bagaimana cara menyelesaikannya (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).

(55)

2010) merupakan pandangan umum yang dikembangkan oleh karyawan mengenai tingkat dimana supervisor peduli dengan kesejahteraan dan menilai kontribusi mereka kepada perusahaan.

PT. Pindad (Persero) telah melakukan pengukuran Employee Engagement

sejak tahun 2012 yang diterapkan kepada seluruh karyawan baik di Unit Pusat dan Divisi. Hal ini dilakukan guna meningkatkan produktifitas dalam pencapaian target perusahaan. Tingkat Employee Engagament berdasarkan pengukuran yang dilakukan PT. Pindad (Persero) pada diperoleh bahwa pada Unit Pusat dan Divis i sebagian besar berada pada kategori Netral. Hal ini mencerminkan bahwa karyawan belum mengerahkan seluruh kemampuannya dalam bekerja dikarenakan kurangnya rasa keterikatan terhadap pekerjaan,lingkungan bekerja, dan faktor-faktor lain yang mendukung karyawan merasa terikat. Hal tersebut tercermin dari hasil survei kepuasan yang dilakukan oleh PT.Pindad.

(56)

terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy, supervision, technical, salary, interpersonal, relation, working condition,job security dan status.

Sejak tahun 2008 PT.Pindad telah melakukan survei kepuasan dengan teori ERG dari clyton Alderfer. Berdasarkan survei kepuasan kerja index 2010 kepuasan kerja rata-rata karyawan PT.Pindad adalah 3 dari skala 5. Hal tersebut menunjukan bahwa kepuasan karyawan berada pada kategori netral.

Aspek kepuasan terendah berada pada aspek Exsistence hal ini berkaitan dengan suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Artinya karyawan belum merasa dipenuhi kebutuhan yang paling mendasar meliputi rasa aman.

Kinerja karyawan pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja Karyawan pada umumnya mengikuti beberapa elemen diantaranya (Robbins,2008) :

1. Kuantitas dari hasil; 2. Kualitas dari hasil;

3. Ketepatan waktu dari hasil; 4. Kehadiran;

Gambar

Gambar 2. 1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4

Referensi

Dokumen terkait

Dieser Sperling wird daher auch tera suzume Tempel Sperling genannt.49 Die Metamorphose in den oben angeführten Beispielen wird ausgelöst durch Trauer, Wut und Zorn und mündet in

Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder, dan aktivitas antibakteri ekstrak etanol 96% dan ekstrak n-heksana biji buah Langsat

(2)Keputusan untuk mengeluarkan obligasi atau alat-alat yang sah lainnya tersebut pada ayat (1) pasal ini termasuk ketentuan- ketentuan yang berhubungan dengan itu diatur

Waktu penyediaan dokumen ≤10 menit 5358 3325 2033 62% 85% Penyediaan dokumen belum memenuhi standar karena koneksi internet tidak stabil dan petugas masih kurang

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang menentukan antara lain bahwa Pemindahan Ibukota

Adapun yang dimaksud dengan zakat mal adalah kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya oleh setiap orang Islam yang mampu dan telah sampai pada nisabnyab. Harta benda yang

Akan tetapi, dengan tingkat suku bunga yang sudah lebih rendah di balik selisih pinjaman yang lebih lebar dan angin sakal yang masih menghadang perekonomian domestik, tingkat

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor motivasi yang terdiri dari karakteristik individu, karakteristik pekerjaan dan karakteristik situasi kerja memiliki pengaruh terhadap