• Tidak ada hasil yang ditemukan

i P a g e MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "i P a g e MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

i | P a g e MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEUROGENIC BLADDER

Disusun Oleh: Kelompok 2

Risky Amalia 131111017 Anis Maslahah 131111019 Dian Agustin 131111021 Novita Nindy M 131111023 Selfi Ratna P. 131111025 Miftakhur Roifah 131111027 Ragiliia Irena 131111029 Hakim Zulkarnain 131111031

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

ii | P a g e KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan anugerah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Makalah Keperawatan Perkemihan

Asuhan Peperawatan pada Neurogenic Bladder” tepat pada waktu yang telah ditentukan, sebagai tugas perkelompok untuk mata ajar Keperawatan Perkemihan.

Dalam penulisan makalah ini penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dalam hal materi maupun moril sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Ika Y. Widyawati, M.Kep., Ns.Sp.Kep.MB selaku PJMA Keperawatan Perkemihan.

2. Ibu Yuni Sufyanti Arief,S.Kp., M.Kes. selaku fasilitator.

3. Teman-teman Angkatan 2011 kelas A yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan asuhan keperawatan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan asuhan keperawatan ini menjadi lebih baik lagi.

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terutama bagi kelompok kami dan mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

Surabaya, 5 Maret 2014

(3)

iii | P a g e DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... .iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan ... 2

1.4 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi ... 3

2.2 Definisi ... 8

2.3 Etiologi ... 8

2.4 Manifestasi Klinis ... 9

2.5 Patofisologi ... 10

2.6 WOC (Web Of Causation) ... 11

2.7 Pemeriksaan Diagnostik ... 11

2.8 Penatalaksaan ... 12

2.9 Komplikasi ... 13

2.10 Prognosis ... 13

2.11Asuhan Keperawatan ... .... 13

2.11.1 Pengkajian. ... ... 13

2.11.2 Diagnosa Keperawatan ... 14

2.11.3 Intervensi... 14

BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS 3.1 Pengkajian ... 21

3.2 Analisa Data ... 22

3.3 Diagnosa dan Intervensi ... 23

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 25

4.2 Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(4)

1 | P a g e BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladder adalah penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. (Ginsberg, 2013).

Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Salah satu penelit ian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. (Shenot, 2012).

Banyak penyebab dapat mendasari t imbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida). Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. (Ginsberg, 2013).

Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kandung kemih? 2. Apa definisi dari Neurogenic Bladder ?

3. Bagaimana etiologi dari Neurogenic Bladder ? 4. Bagaimana patofisiologi dari Neurogenic Bladder ? 5. Bagaimana manifestasi klinis Neurogenic Bladder ? 6. Apa saja komplikasi dari Neurogenic Bladder ?

(5)

2 | P a g e 8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada Neurogenic Bladder ? 9. Bagaimana prognosis pada kasus Neurogenic Bladder ? 10. Bagaimana asuhan keperawatan pada Neurogenic Bladder ?

1.3Tujuan

1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi kandung kemih. 2. Mengetahui dan memahami tentang definisi dan etiologi

Neurogenic Bladder.

3. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi Neurogenic Bladder.

4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis Neurogenic Bladder.

5. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi pada kasus Neurogenic Bladder.

6. Mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostic pada kasus Neurogenic Bladder.

7. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis pada kasus Neurogenic Bladder.

8. Mengetahui dan memahami tentang prognosis Neurogenic Bladder. 9. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada

kasus Neurogenic Bladder. 1.4Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa

Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada pasien dengan Neurogenic Bladder serta dapat menerapkan asuhan keperawatan, khususnya untuk mahasiswa keperawatan.

2. Dosen

Makalah ini dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana mahasiswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan pertimbangan dosen dalam menilai mahasiswa.

3. Masyarakat umum

(6)

3 | P a g e BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi dan Fisiologi

1. Kandung Kemih (Bladder)

Kandung kemih merupakan otot, kantung berongga terletak tepat di belakang tulang kemaluan. Kapasitas kandung kemih dewasa adalah sekitar 300 sampai 600 mL urin. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa ,kandung kemih mengasumsikanposisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare, 2004).

Gambar 1. Bladder (Smeltzer & Bare,, 2004)

2. Struktur otot detrusor dan sfingter

(7)

4 | P a g e pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi (Japardi, 2002).

3. Persarafan dari kandung kemih dan sfingter a. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)

Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang menutupi kandung kemih dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ- organ pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan (Japardi, 2002).

b. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral) Kandung kemih menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kemih menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kemih pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi retrograde (Japardi, 2002).

c. Persarafan somantik (N.pudendus)

(8)

5 | P a g e Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah (Japardi, 2002).

d. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah

Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni (Japardi, 2002).

Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kemih tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kemih yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil (Japardi, 2002).

Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kemih dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kemih. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik (Japardi, 2002).

Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kemih dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen (Japardi, 2002).

4. Hubungan dengan susunan saraf pusat a. Pusat Miksi Pons

Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-bulber-spinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak (Japardi, 2002).

b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons

(9)

6 | P a g e miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kemih yang hiperrefleksi (Japardi, 2002).

Gambar di bawah ini ini menggambarkan daerah kontrol kortikal di frontal dan cingulate gyri serta daerah subkortikal memberikan pengaruh penghambatan pada berkemih pada tingkat pons dan memberikan rangsang yang berpengaruh pada sfingter kemih eksternal. Hal ini memungkinkan adanya kontrol sukarela berkemih sehingga biasanya evakuasi kandung kemih dapat ditunda (Dorsher & McIntosh , 2011).

Gambar 2. Fisiologi mikturisi (Dorsher & McIntosh , 2011)

5. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kemih a. Pengisian urine

(10)

7 | P a g e meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kemih. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kemih kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks S2-S4 (Japardi, 2002).

Selain akomodasi kandung kemih, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar (Japardi, 2002).

b. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kemih yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kemih. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kemih juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi (Japardi, 2002).

(11)

8 | P a g e 2.2Definisi

David Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul “The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder” (2013) mengatakan bahwa neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom.

Neurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya inervasi kandung kemih yang normal (Saputra, 2012).

Menurut Ginsberg (2013) pada neurogenic bladder sendiri terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan jenis- jenis neurogenic bladder. Hal ini bisa berdasarkan penemuan urodinamik, kriteria neurologis ataupun fungsi saluran kemih bagian bawah. Satu dari beberapa klasifikasi sistem tersebut adalah berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini dijadikan panduan untuk terapi farmakologi dan intervensi lain. Dengan menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Lesi diatas batang otak

b. Lesi sempurna pada suprasacral spinal cord c. Trauma/ penyakit di sacral spinal cord

d. Gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord)

Sementara itu, menurut Japardi (2002) pada gangguan kandung kemih dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Hal ini bergantung kepada jaras yang terkena. Secara garis besar terdapat tiga jenis utama dari gangguan kandung kemih yaitu:

a. Lesi suprapons

b. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis: c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)

Neurogenic Bladder ini juga dikelompokkan berdasarkan tipenya ke dalam tiga kelompok besar oleh Saputra (2012) yakni:

a. Neurogenic bladder flasid b. Neurogenic bladder spastik c. Neurogenic bladder campuran

2.3Etiologi

Menurut Saputra (2012), beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson, multiple sklerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari beberapa penyebab tersebut yang tersering adalah penyakit infeksius yang akut, kelainan serebral, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis.

(12)

9 | P a g e Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. Penyebab kurang umum dari neurogenic bladder adalah termasuk diabetes mellitus dengan neuropati otonom, pembedahan pelvis yang diikuti oleh sequelea yang tidak diharapkan, dan sindrom cauda equine yang yang dihasilkan dari lumbal tulang belakang (Ginsberg, 2013).

2.4Manifestasi Klinis

Banyak pasien dengan neurogenic bladder khususnya pada mereka yang juga terkena multiple sclerosis, CVA, dan spinal cord injury mengalami kontraksi kandung kemih yang tak bisa dicegah. Yang menyusahkan gejala pada neurogenic bladder ini dikelompokkan sama dengan penyakit urin lainnya seperti inkontinensia urin, frekuensi dan urgensi (Ginsberg, 2013).

Sementara menurut Japardi (2002) gejala-gejala disfungsi kandung kemih neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.

Berdasar tipenya sendiri, neurogenic bladder mempunyai beberapa manifestasi klinis masing- masing. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada masing- masing tipe neurogenic bladder (Saputra, 2012):

a. Neurogenic bladder yang flasid

Pada tipe ini, manifestasi yang akan muncul diantaranya: 1) Inkontinensia overflow

2) Berkurangnya tonus sfingter ani

3) Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada kandung kemih

(13)

10 | P a g e Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut: 1) Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa rasa

penuh pada kandung kemih

2) Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai 3) Peningkatan tonus sfingter ani

c. Neurogenic bladder campuran

Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut: 1) Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh

2) Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih 3) Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan.

2.5Patofisologi

Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf atau lesi yang terjadi pada system saraf manusia. Apabila system saraf pusat atau system saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami gangguan maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis dan saraf perifer merupakan beberapa bagian dari system saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya sedikit, atau kombinasi dari keduanya (Saputra, 2012). Berdasarkan lokasinya penyebab Neurogenic Bladder dibagi menjadi tiga, antara lain :

1. Lesi Supra Pons

Reflek-reflek miksi diatur pada pusat miksi pons. Dimana seluruh aktivitas nya kebanyakan diatur oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Apabil terjadi kerusakan atau gangguan akan mengakibatkan hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kasus terjadinya kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi preventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunter (Japaradi, 2002).

2. Lesi antara Pusat Miksi Pons dan Sakral Medula Spinalis

Bila terdapat lesi pada Medula Spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral medulla spinalis, akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin untuk terjadi antara lain : a. Hiperrefleksi kandung kencing

(14)

11 | P a g e berlebihan / hiperrefleksi, sehingga tekanan pada kandung kencing akan meningkat tinggi.

b. Disinergia Detrusor-Sfingter (DDS)

Pada kondisi fisiologis tubuh dalam proses miksi, sfingter akan berelaksasi mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terjadi kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi mengakibatkan miksi terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal. Terkadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dari kandung kencing /bladder apabila kontraksi detrusor lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga mengakibatkan aliran urine terputus-putus.

c. Kontraksi Detrusor yang lemah

Kontraksi hiperrefleksi yang terjadi cenderung lemah, sehingga pengosongan kandung kemih tidak tuntas. Keadaan ini bila terjadi bersamaan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.

d. Peningkatan volume residu pasca miksi

Apabila terdapat volume residu pasca miksi yang tinggi akibat hiperrefleksi kandung kencing /bladder, maka penderita akan mudah mengalami kontraksi dan miksi meskipun hanya terdapat sedikit penambahan volume pada kandung kencing /bladder. Penderita akanmengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit. 3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)

Lesi yang terdapat pada lower motor neuron di S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan pada fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, ini enyebabkan kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya persarafan.

2.6WOC (Web Of Causation)

Terlampir

2.7Pemeriksaan Diagnostik

1. Voiding cystourethrography : mengevaluasi fungsi leher kandung kemih, refluks vesikoureter dan kontinensia.

2. Pemeriksaan urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil.

(15)

12 | P a g e 4. Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya aliran

urine. (Saputra, 2012)

Dokter mendiagnosa kandung kemih neurogenik pada orang dengan gangguan saraf yang memiliki inkontinensia. Biasanya, dokter mengukur jumlah urine yang tersisa di dalam kandung kemih setelah seseorang kencing (postvoid volume residu) dengan memasukkan kateter ke dalam kandung kemih atau menggunakan ultrasonografi. Ultrasonografi dari seluruh saluran kemih juga dilakukan untuk mendeteksi kelainan, dan beberapa tes darah yang dilakukan untuk menilai fungsi ginjal.

Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi seseorang. Penelitian yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy, dan cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung kemih atau untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung kemih neurogenik. (Shenot, 2012)

2.8Penatalaksaan

Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih . Sebagai contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka . Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran kemih . Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus. (Shenot, 2012)

2.8.1 Managemen Medis

a. Terapi manuver valsava, pemasangan sendiri kateter urin yang indwelling atau intermitten, maneuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi kandung kemih)

b. Monitoring : tanda vital dan asupan atau keluaran cairan c. Antispasmodic : oksibutinin (ditropan), tolterodin(detrol)

d. Alpha- adrenergic blocker : terazosin ( Hytrin), doksazosin ( Cardura) e. Antikolinergic : memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh

kandung kemih. Misal, darifenasin (enablex), hiosiamin ( Levbid) f. Derivat estrogen : conjugated estrogen (Premarin)

g. Antidepresan trisiklik : imipramin (Tofranil), amitriptilin ( elavil) h. Diet : menghindari stimulant (makanan yang berbumbu pedas, coklat,

kafein); asupan cairan yang terkendali

(16)

13 | P a g e 2.9Komplikasi

Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga bisa menyebabkan sepsis dan gagal ginjal (Ginsberg, 2013).

2.10 Prognosis

Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)

2.11 Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian.

Pada pengkajian dilakukan anamnesa (wawancara) dan pemeriksaan fisik secara langsung guna memperoleh data yang akurat. Data tersebut digunakan sebagai acuan dalam membuat rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2008).

a. Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa, pekerjaan, kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal MRS, dan diagnosa medis (Nursalam, 2008).

b. Keluhan utama

Klien biasanya mengeluh sulit berkemih (Unbound Medicine, 2013). c. Riwayat kesehatan sekarang

Klien mengalami perubahan berat badan. Tanyakan juga kepada klien mengenai frekuensi berkemih, pola berkemih, warna dan jumlah pengeluaran urin per hari (Unbound Medicine, 2013).

d. Riwayat penyakit sebelumnya

1) Klien memiliki riwayat merokok, penggunaan alkohol, asupan kafein, dan terpapar zat nefrotoksik,

2) Pembedahan. (Morton, 2008) e. Riwayat penyakit keluarga

Perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lain. Adakah anggota keluarga yang pernah mengalami penyakit infeksi saluran kemih lainnya.

f. Pengkajian psikososial

Klien merasa cemas dengan kondisi yang dialaminya serta malu akan bau urin dan kurangnya kontrol berkemih. Pasien merasa alternatif satu-satunya adalah kateterisasi urin. Klien juga mungkin takut akan terjadinya disfungsi seksual (Unbound Medicine, 2013). g. Pemeriksaan Fisik

Berdasarkan Smeltzer (2004), perawat dapat melakukan pemeriksaan fisik secara per system (Review of System), yakni:

1) B1 (Breath)

Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem pernapasan tidak ditemukan kelainan.

2) B2 (Blood)

(17)

14 | P a g e 3) B3 (Brain)

Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS. GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15 4) B4 (Bladder)

Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya mengalami perubahan dalam proses berkemih, meliputi frekuensi berkemih, disuria, enuresis, poliuria, oliguria, dan hematuria.

5) B5 (Bowel)

Perubahan pada bising usus, distensi abdomen, mual, dan muntah. Perubahan pada pola defekasi misal terdapat darah pada feses, diare, nyeri pada defekasi.

6) B6 (Bone)

Perawat mengkaji kondisi kulit untuk mengetahui status hidrasi klien, meliputi turgor kulit dan mukosa mulut. Kaji adanya nyeri, kelemahan/ keletihan, serta keterbatasan partisipasi pada latihan.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih

b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya sensasi kandung kemih

c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan sfingter detrusor (DSD)

d. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum tulang belakang

e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia kepada orang lain dan takut bau dari urine

3. Intervensi

a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih Tujuan : pasien idak merasa nyeri Kriteria Hasil :

a. RR 12x/ menit b. Skala nyeri : 0 c. Klien nampak tenang

d. Tidak ada distensi kandung kemih

Intervensi

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat nyeri Memberikan informasi tentang efektivitas intervensi.

2. Plester selang drainase di paha dan perut

(18)

15 | P a g e 3. Pertahankan tirah baring Meningkatkan pola

berkemih normal. 4. Berikan analgesik sesuai dengan

program terapi .

Analgesik memblokir jalan nyeri

b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya sensasi kandung kemih

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien akan mencapai keadaan kekeringan yang secara pribadi memuaskan Kriteria Hasil:

a. mengosongkan kandung kemih menggunakan Crede atau valsava manuver dengan urin sisa kurang dari 50 ml, jika diindikasikan b. kekosongan sendiri

Intervensi Rasional

1. Mengajarkan metode klien untuk mengosongkan kandung kemih:

a. Crede 's manuver:

1. menempatkan tangan (datar atau terlebih) tepat di kemudian ulangi lagi untuk memastikan pengosongan

tersebut. manuver ini tidak pantas, namun, jika sfingter kemih kronis dikontrak. dalam hal ini, menekan kandung kemih dapat memaksa urine sampai ureter serta melalui uretra. refluks urin ke dalam pelvis ginjal dapat menyebabkan infeksi ginja

b. valsava manuver

(bantalan):

1. belajar maju pada thights

2. kontrak otot perut, jika mungkin, dan ketegangan atau mengejan sambil menahan nafas terus sampai aliran urin berhenti,

(19)

16 | P a g e tunggu satu menit

kemudian

3. ulangi terus sampai tidak ada lagi urine dikeluarkan c. membersihkan intermiten

diri katerisasi (CISC), digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan metode di atas. (Lihat risiko tinggi keperawatan diagnosis untuk ketidak efektifan penatalaksanaan program terapeutik pada rencana perawatan ini untuk poin pengajaran spesifik) dapat digunakan pada

awalnya untuk

menentukan sisa urin berikut dalam manuver Crede atau penyadapan. sebagai sisa decreasess urine, kateter dapat meruncing. CISC mungkin rekondisi refleks berkemih di beberapa klien.

d. Cystometogram baseline (SMG) dapat dibenarkan

membahas tes

diagnostik CMG untuk membantu

merencanakan dan mengevaluasi program kandung kemih

c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan sfingter detrusor (DSD)

Tujuan: mengacu pada tujuan untuk inkontinensia urine aliran berlebih yang berkaitan dengan urine aliran kandung kemih ronis kdengan hilangnya sensasi kandung kemih distensi

Intervensi Rasional

1. Berkonsultasi dengan physican untuk obat-obatan untuk meringankan detrusor sfingter (dsd)

DSD adalah assosiated dengan jumlah besar sisa urin

2. mengelola vitamin c dan cranberry tablet, seperti yang diperintahkan

(20)

17 | P a g e memungkinkan

intervensi yang cepat untuk mencegah statis urin 5. mempertahankan teknik

steril untuk kateterisasi intermitent sementara klien hospitalizaed (lenke et al, 2005), teknik bersih digunakan di rumah

penyebab paling umum dari infeksi bakteri diperkenalkan oleh cargiver yang tidak mencuci tangan secara memadai antara klien 6. menghindari menggunakan

kateter berdiamnya kecuali diindikasikan oleh situasi individu klien (misalnya inabiliity untuk melakukan CISC karena imobilitas)

kateter yang

berhubungan dengan infeksi saluran kemih berhubungan dengan kateter meluncur masuk dan keluar dari uretra, yang memperkenalkan patogen

d. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum tulang belakang

Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien tidak atau hanya sedikit episode inkontinensia

Intervensi Rasional

1. mengurangi halangan untuk membatalkan kebiasaan dengan menyediakan layanan, jika dibutuhkan:

a. tali velcro pada pakaian b. pegangan tangan atau alat

bantu mobilitas ke kamar terjadi. sering, sedikit waktu ada di antara timbulnya sensasi untuk membatalkan dan kontraksi baldder

(21)

18 | P a g e mengembangkan jadwal

sering kali berkemih

mengurangi urgensi dari

kandung kemih

overdistensi 3. jika terjadi inkontinensia,

mengurangi waktu antara rencana berkemih

kapasitas kandung kemih dapat insuficient untuk mengakomodasi volume urine, necessiating lebih sering berkemih

4. jika diindikasikan, membatasi asupan cairan selama malam

pembatasan cairan malam dapat membantu mencegah enuresis 5. jika diperlukan, mengajar

memicu berkemih,

kompresi manual

eksternal, atau tegang perut. lihat keperawatan diagnosisi refleks kandung kemih

klien dengan unsur reflek yang bisa diajarkan panggul excerces kegel latihan) untuk membantu memulihkan kontrol

b. menginstruksikan klien untuk mencoba exerxies selama 3 sampai 4 bulan untuk streng maka jaringan periuretheral

berguna untuk beberapa

klien dengan

inkontinensia stres,

latihan kegel

memperkuat otot-otot dasar panggul, yang pada gilirannya dapat meningkatkan

kompetensi sfingter kemih

7. memperkuat kebutuhan untuk hidrasi optimal (setidaknya 2000ml/day, kecuali kontraindikasi)

hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan batu ginjal 8. mengajarkan biofeedback

jika klien adalah calon (klien harus waspada dan memiliki memori yang baik) klien mungkin dapat belajar mengendalikan sphincteer dan mencegah kandung kemih tanpa

(22)

19 | P a g e hambatan mengisi selama

sistometri atau mendengar pergerakan otot sfingter dalam aksi

mengendalikan kandung kemih yang tidak diinginkan kejang. 9. jika ukuran lain gagal,

rencana untuk mengelola oncontinence:

a. laki-laki incontinencent dapat mengelola cukup

casily dengan

menggunakan sistem eksternal kondom drainase dan tas kaki atau kemaluan urinoir tekanan b. perempuan incontinenet

memiliki masalah yang lebih sulit. bantalan inkontinensia yang sering digunakan, perangkat eksternal koleksi baru sedang dipasarkan, namun belum disempurnakan

jika teknik kandung kemih emprtyign tidak berhasil, metode lain untuk mengelola inkontinensia diperlukan

e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia kepada orang lain dan takut bau dari urine

Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien akan menurun perasaan kesepian

Intervensi Rasional

1. mengakui frustrasi klien dengan inkontinensia

kepada klien,

incontinencence

mungkin tampak seperti reversi ke negara-kanakan, inisial yang dia tidak memiliki kontrol atas fungsi tubuh dan merasa dikucilkan oleh orang lain. Akui ledging yang dificulty situasi

dapat membantu

mengurangi rasa frustrasi.

2. menentukan kelayakan klien untuk pelatihan kandung kemih, CISC, atau metode lain untuk mengelola inkontinensia

Langkah-langkah ini dapat meningkatkan kontrol dan mengurangi rasa takut kecelakaan. CISC memiliki insiden

(23)

20 | P a g e dibandingkan dengan foley kateter

3. mengajarkan cara klien untuk mengontrol kelembaban dan bau. Banyak produk membuat tulisan dikelola dengan menyediakan

perlindungan kebocoran handal dan masking bau.

membantu klien untuk mengelola incontinance mendorong sosialisasi

4. mendorong klien untuk berani keluar awalnya sosial untuk jangka pendek, maka untuk meningkatkan panjang kontak sosial sebagai keberhasilan pada inkontinensia mangement meningkat

perjalanan pendek membantu klien untuk secara bertahap mendapatkan

(24)

21 | P a g e BAB III

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KASUS

Ny. W usia 50 tahun datang ke Rumah Sakit Airlangga pada tanggal 3 Maret 2014 pukul 08.00 WIB. Ny A mengeluhkan sejak peristiwa setelah jatuh dari pohon jambu merasa sakit di daerah suprapubic jika ditekan dan ketika kencing, sebelum dipasang kateter Ny A mengeluhkan sering berkemih dengan jumlah sedikit-sedikit. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari simpisis pubis ke umbilicus dihasilkan bladder terpalpasi dan suara perkusi dullness. Hasil dari pemeriksaan radiologi ny. A mengalami spinal cord injury pada sacrum 2 dan hasil USG menunjukan adanya distensi bladder. Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 38 ºC, RR= 22x/menit, TD = 110/70, Nadi : 90x/menit. Dari hasil laboratorium urin belum menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3.

3.1Pengkajian 1. Identitas:

a. Nama: Ny. A

b. Jenis Kelamin: Perempuan c. Umur: 50 tahun

d. Agama: Islam e. Pendidikan: SMP

f. Pekerjaan: Petani g. Alamat: Gresik

h.Tanggal Masuk: 3 Maret 2014 i. Jam: 14.00 WIB

2. Riwayat Kesehatan a. Alasan Masuk RS:

Semenjak terjatuh ketika memanjat pohon jambu Ny. A merasa ada gangguan pada saat berkemih. Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi jumlah urinnya sedikit, terasa nyeri saat di tekan di daerah kandung kemihnya.

b. Keluhan Utama:

Tidak bisa tuntas dalam berkemih dan merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ditekan.

b. Riwayat penyakit sekarang :

Neurogenic Bladder karena injuri pada sakrum 2. Hesitancy. c. Riwayat penyakit dahulu :

Tidak ada

d. Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti pasien 3. Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum Suhu : 38 0C

Nadi : 90x/menit RR : 22x/menit b. Perkusi

Suara dullnes di daerah suprapubic ke umbilicus c. Palpasi

(25)

22 | P a g e RR : 22x/menit

B2 (Blood) TD: 110/70 B3 (Brain)

GCS : E= 4 V=5 M= 6 Injuri spinal cord di S2 B4 (Bladder)

Kandung kemih penuh, sering berkemih, distensi bladder. Jumlah urin = 400 ml/ hari

B5 (Bowel)

Tidak ada masalah B6(Bone)

Tidak ada masalah 4. Pemeriksaan Penunjang

USG : distensi bladder; MRI: injuri spinal cord 5. Pemeriksaan Laboratorium

pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. Nilai normal (Morton & Fontaine, 2013) :

pH = 4,5-7,5 RBCs = 0-3 WBCs = 0-4

3.2Analisa Data

Data Etiologi Masalah

Keperawatan Data Subjektif:

Pasien mengatakan nyeri ketika kandung kemih ditekan

Data Objektif:

distensi abdomen, suara dullness di suprapubic

P : nyeri kandung kemih

Q : -

R : di akndung kemih S : 7

T : ketika ditekan

Spastic Neurogenic Bladder

Gangguan eliminasi urin Volume urin penuh Distensi kandung kemih

Nyeri

(26)

23 | P a g e 3.3Diagnosa dan Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih Tujuan : pasien idak merasa nyeri

Kriteria Hasil :

a. RR 12x/ menit b. Skala nyeri : 0 c. Klien nampak tenang

d. idak ada distensi kandung kemih Intervensi

a. Kaji tingkat nyeri

Rasional: memberikan informasi tentang efektivitas intervensi. b. Plester selang drainase di paha dan perut

Rasional: untuk mencegah penarikan kandung kemih, dan erosi skrotal penis.

c. Pertahankan tirah baring

Rasional: mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat meningkatkan pola berkemih normal.

d. Berikan analgesik sesuai dengan program terapi . Rasional : Analgesik memblokir jalan nyeri

2. Resiko infeksi berhubungan dengan insersi kateter Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil :

a. Suhu 36 0C

b. RR : 12-20x/menit c. urin bersih

d. leukosit dan bakteri dalam kultur urin negatif Intervensi (Elsevier, 2012)

Data Subjektif: Pasien mengatakan badanya panas

Data Objektif:

Suhu : 38 0C, RR= 22/ menit, terpasang kateter, pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. Jumlah urin = 400 ml/ hari

Lesi lower motor neuron (sakrum 2)

Spastic Neurogenic Bladder

Hilangnya kesadaran & kontrol saraf Gangguan eliminasi urin

Diinsersi kateter Resiko infeksi

(27)

24 | P a g e 1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih ( misalnya urin

keruh, frekuensi, rasa terbakar saat buang air kecil, menggigil , suhu tinggi , urinalisis ada bakteri dan leukosit urine)

2. Terapkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi saluran kemih :

a. Mempertahankan asupan cairan minimal 2500 ml/ hari kecuali kontraindikasi untuk mempromosikan pembentukan urin dan berkemih berikutnya, mengirigasi patogen dari uretra dan kandung kemih

b. Intruksikan pada klien untuk menyeka dari depan ke belakang setelah buang air kecil atau buang air besar

c. Bantu klien dengan perawatan perineum secara rutin dan setelah setiap buang air besar mempertahankan teknik steril selama kateterisasi urin dan irigasi

d. Pertahankan kepatenan kateter

e. Lakukan perawatan kateter sesering diperlukan untuk mencegah akumulasi lendir di sekitar meatus

f. Pertahankan sistem drainase tertutup untuk mengurangi risiko pengenalan patogen ke dalam saluran kemih

g. Simpan koleksi urin wadah di bawah permukaan kandung kemih setiap saat untuk mencegah refluks atau stasis urin

(28)

25 | P a g e BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Neurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya inervasi kandung kemih yang normal, neurologic bladder diklasifikasikan antara lain lesi diatas batang otak, lesi sempurna pada suprasacral spinal cord,trauma/ penyakit di sacral spinal cor, gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord). Neurogenic Bladder bisa kurang aktif, dimana kandung kemih tidak mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung kemih dengan baik; atau menjadi terlalu aktif dan melakukan pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali. Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. 4.2 Saran

(29)

26 | P a g e DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M. (2009). Medical-Surgical Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5. China: Library of Catloging

Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi Publishing Corporation

Elsevier, (2012). Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier.

http://www1.us.elsevierhealth.com/SIMON/Ulrich/Constructor/diagnoses. cfm?did=41|42| [5 Maret 2014]

Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.

Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital Library , 4-6.

Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson Education, Inc.,

Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care Nursing : a Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik . Jakarta: Salemba Medika.

Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Pasien dengan Gangguan Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina rupa Aksara Publisher.

Shenot. (2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic Bladder. http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders /disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 18.15

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins

Taylor, Cynthia M., (2003). Diagnosis Keperawatan : dengan Rencana Asuhan, Edisi 10. Jakarta : EGC

Unbound Medicine. (2013). Neurogenic Bladder.

(30)

27 | P a g e Lampiran

WOC (Web Of Causation)

Penyakit Infeksius Akut :  Mielitis Transversal

Trabekulasi Spasme Sfingter Urinarius

Bladder Spastik

Lesi antara Pusat Miksi Pons dan Sakral Medula Spinalis

Mengganggu Jaras untuk menginhibisi saraf

Gangguan pada Kontraksi otot detrusor dan pengaturan fungsi

sfingter

Lesi Lower Motor Neuron (di Bawah S2-S4) kandung kemih yang penuh

Resiko Tinggi

Kontraksi otot detrusor Tekanan urinasi

(31)

28 | P a g e Inkontinensia Urine

Resiko Kesepian Resiko Tinggi

Gambar

Gambar 1. Bladder
Gambar 2. Fisiologi mikturisi
Gambar 3. Palpasi Bladder (Smeltzer, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Website ini di buat dengan tujuan membantu mempromosikan Tiara Salon kepada masyarakat luas secara umum dan menampung kritik serta saran dari para pengunjung melalui website

Outsourcing sumberdaya manusia merupakan strategi yang banyak memberikan manfaat bagi vendor , disamping beberapa resiko yang harus dihadapi. Kepercayaan merupakan

Mesnil Val is a coastal chalk cliff site which has hosted a series of studies on rock fall and cliff collapse over the years (Dewez and Rohmer, 2013; Dewez et al., 2007;

Measuring their spatial attitude (dip and strike) is generally performed by hand with a compass/clinometer, which is time consuming, requires some degree of

Konsep instrumen yang digunakan dirumuskan berdasarkan aspek-aspek self-control menurut Averil (1973). Tempat penelitian di SMP 6 Cimahi pada Kelas VIII sejumlah 15

Penelitian ini berbeda dengan permasalahan yang akan penulis teliti, penelitian yang dilakukan oleh Rikzy Fajriah menitik beratkan tentang bagaimana pandangan hukum

Keselamatan pasien merupakan salah satu kegiatan rumah sakit yang dilakukan melalui assesmen risiko, identifikasi dan pengelolaaan hal yang berhubungan dengan risiko

Problem Reduction (Reduksi Masalah), transformasi untuk sebuah contoh dari masalah Problem Reduction (Reduksi Masalah), transformasi untuk sebuah contoh dari