• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – MALAYSIA

PADA MASA ORDE BARU

Disusun oleh :

1. Arief Isdiman Shaleh (151110053)

2. Ardig Qoniah (151110049)

3. Nike Yayuk Karmadi (151110060)

4. Ira Puspita (151110069)

5. Rr. Vina Mutiara sari (151110073)

6. M. Aminuddin Fatah (151110072)

7. Aditya Ramadhani (151110080)

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Abstrak

Indonesia dan Malaysia adalah Negara yang memiliki kedekatan geografis dimana letak kedua Negara yang saling berdekatan, selain itu juga kedua Negara memiliki hubungan historis dimana dari abad pertengahan hingga akhir millennium pertama, sebagian besar semenanjung Malaya (Wilayah Malaysia Barat) berada dibawah pengaruh Kerajaan (Imperium)Sriwijaya.1Dan masih banyak kesamaan lainnya yang dimiliki kedua Negara.Jika secara rasional Negara yang memiliki kesamaan-kesamaan tersebut semestinya bisa berhubungan dengan baik, tapi pada kenyataannya untuk kasus Indonesia-Malaysia malah justru sebaliknya.

Konflik Indonesia-Malaysia dimulai dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia masa Orde Lama(era Soekarno) yang kemudian berbuntut pada Politik Konfrontasi yang berkelanjutan.2 Menghangatnya konflik pada Orde Lama dan munculnya politik baru Soekarno “Ganyang Malaysia” dari puncak konfrontasi kedua Negara.

Setelah beralihnya masa Orde Lama ke Orde Baru Indonesia mengalami krisis ekonomi dan membutuhkan dana besar untuk perbaikan yang kemudian mendorong Soeharto untuk mengubah kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia yang tadinya berkonfrontasi di masa Soekarno, menjadi membuka dan memperbaiki hubungan dengan Malaysia. Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip politik Indonesia di masa Soekarno yang High Profile.3Bertolak dari kenyataan inilah kami sangat tertarik untuk menganngkat judul mengenai

“PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – MALAYSIA PADA MASA ORDE BARU”.

B. Latar Belakang Masalah

1 Khoridatul Anissa. Malaysia Macan Asia: Ekonomi,Politik,Sosial-Budaya,& Dinamika Hubungannya dengan

Indonesia.Yogyakarta: GARASI, 2009, hal. 17.

2Syafaruddin Usman & Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran: Dari “Ganyang Malaysia” sampai Konflik Ambalat.

Yogyakarta: Media Pressindo,2009.

3Sulastomo. Hari-hari yang panjang transisi orde lama ke orde baru: Sebuah memoir.Jakarta: KOMPAS,2008,hal.

(3)

Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno berpendapat saat masa Perang Dingin, dunia terbagi antara kekuatan baru yang sedang bangkit, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara sosialis dan kekuatan progresif di Negara-negara kapitalis berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lama yang telah mapan. Dengan didasari cara berpikir yang demikian, Indonesia menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia yang diusulkan oleh pemimpin Malaya Tengku Abdul rahman Putra pada 27 Mei 1961 yang menghendaki agar Semenanjung Malaya, Singapura, dan jajahan Inggris di Kalimantan Utara, termasuk Brunei digabungkan dalam satu kerangka politik tunggal (pembentukan Negara Federasi). Karena Indonesia memandang bakal Negara federasi tersebut sebagai suatu Negara yang tidak mewakili aspirasi rakyat setempat, tetapi lebih merupakan bentukan asing untuk mempertahankan kepentingan politik, militer, dan ekonominya di Asia Tenggara mengingat bahwa Malaysia bersekutu dengan Inggris, dimana itu dapat mengancam stabilitas di kawasan karena pembentukan Negara federasi tersebut bukan saja kehendak inggris, tetapi juga karena tanpa konsultasi dengan Negara tetangganya. Yang mana kemudian hal ini menjadi masalah politk konfrontasi Indonesia-Malaysia dan puncaknya menyebabkan keluarnya Indonesia dari PBB tahun 1965 setelah Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pertikaian mengenai pembentukan Negara Federasi pada 1963 inilah titik awal memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia yang puncaknya terjadi dalam bentuk pemberontakan G30SPKI.

Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan Supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, telah memberikan wewenang kepada Soeharto untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dan menjadi tonggak lahirnya Orde Baru. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 4/3/1966, tanggal 18 Maret 1966, Letnan Jendral Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/ PBR/Mandataris MPRS, menunjuk Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri ad interim. Dalam upacara memperkenalkan diri didepan Departemen Luar Negeri, Adam Malik menjelaskan tugas Departemen Luar Negeri dalam Orde Baru yaitu, 'Deplu harus mengembalikan kewibawaan pemerintah Indonesia di mata Internasional setelah mengalami kerusakan-kerusakan sebagai akibat kebijaksanaan Poltik Luar Negeri di masa lalu'.4Berdasarkan pidato Adam Malik tersebut, Departemen Luar Negeri memiliki tugas untuk mengoreksi kebijakan Politik Luar Negeri pada masa Demokrasi Terpimpin. Kebijakan luar negeri masa Demokrasi Terpimpin telah mengakibatkan Indonesia semakin terisolasi dari dunia Internasional. Oleh sebab itu, pada masa Menteri Luar Negeri Adam Malik diambil beberapa

4 Pidato Menlu Adam Malik pada upacara memperkenalkan diri tanggal 23 Maret 1966, dikutip dari Panitya

(4)

kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pada masa Soekarno, seperti menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, putusnya poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, memulihkan kembali hubungan dengan negara-negara yang renggang akibat kebijakan politik Orde Lama. Selama Pemerintahan Soeharto, militer dan Departemen Luar Negeri tidak selalu mempunyai kesepakatan mengenai masalah Politik Luar Negeri. Salah satunya adalah masalah penyelesaian konfrontasi Indonesia-Malaysia, pada saat perundingan upaya normalisasi, yang akan dibahas dalam upaya normalisasi Indonesia-Malaysia.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah di tulis, makalah ini secara khusus akan membahas permasalahan tentang “Bagaimanakah hubungan Indonesia dengan Malaysia di masa Orde Baru?”

D. Kerangka Pemikiran

Dinamika hubungan bilateral yang dialami oleh Indonesia dan Malaysia merupak suatu hal yang menarik untuk dikaji. Dinamika hubungan tersebut seringkali dipengaruhi oleh rejim yang berkuasa pada masing – masing negara. Seperti misalnya yang terjadi pada saat Soekarno berkuasa di Indonesia, beliau lebih memilih untuk berkonfrontasi dengan Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Namun, hal tersebut akan jauh berbeda bila kita bandingkan dengan pemerintahan Soeharto yang lebih memilih jalur diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul diantara kedua negara ini. Hal itu juga disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik politik luar negeri dan prioritas pembangunan nasional. Di satu sisi politik luar negeri Soekarno memiliki karakter ‘high profile’ yang lebih mengutamakan untuk memperoleh posisi yang kuat dalam kancah politik internasional, sedangkan di lain pihak politik luar negeri Soeharto lebih bersifat ‘low profile’ yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas kawasan Asia Tenggara.

(5)

konstruksi identitas yang berbeda satu dengan yang lainnya yang berlangsung terus menerus hingga sekarang. Pemahaman tentang shared atau collective identity antara kedua negara sudah semakin senjang bersamaan dengan berjalannya waktu, dan dalam hal ini pemahaman Malaysia berbeda dengan priode sebelum ini, dimana konsep serumpun misalnya dipahami sebagai salah satu bagian ‘collective identity‘ kedua negara.

Ada empat variable ‘ideational‘ penting yang berkaitan dengan sumber identitas kolektif ini, yakni interdependence, common fate, homogeneity, dan self-restraint. Keempat faktor ini tidak berdiri sendiri dalam membentuk identitas, melainkan secara bersama-sama. Kekuatan dari identitas kolektif demikian bergantung pada intensitas dari gabungan faktor-faktor ini. Berkaitan dengan identitas kolektif ini, perlu dibicarakan juga pengetahuan bersama (common knowledge) dan pengetahuan kolektif yang menjadi sumber inspirasi bagi identitas Malaysia. Salah satu common knowledge yang berkembang adalah cita-cita tentang ‘Malaysia Boleh‘, ‘New Asia‘ dan konsep-konsep lain yang menjadi wacana untuk mendorong kesiapan Malaysia untuk bersaing di dunia global. Malaysia seperti banyak negara lain di era globalisasi tidak bisa terlepas dari struktur peranan untuk mempersiapkan diri bersaing sebagai agen globalisasi. Pemahaman tentang aspek identitas terakhir ini yang perlu dikaji untuk melihat bagaimana Malaysia meletakkan hubungannya dengan Indonesia.

E. Asumsi Dasar

Berdasarkan dinamika yang terus terjadi dalam hubungan Indonesia dan Malaysia, terlihat bahwa pada masa orde baru rejim yang berkuasa cenderung lebih suka menyelesaikan konflik dengan cara – cara diplomatik daripada menggunakan konfrontasi. Hal tersebut dapat diasumsikan sebagai tanda bahwa hubungan bilateral diantara kedua negara tersebut pada masa orde baru cenderung mengalami penurunan dalam hal konfrontasi. Sebaliknya dorongan terhadap kerjasama, khususnya dalam bidang ekonomi akan terus berkembang. Sehingga hal tersebut akan memicu perbaikan hubungan diantara kedua negara setelah bertahun – tahun mengadakan konfrontasi. Oleh karena itu, dalam makalah yang berjudul pelaksanaan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia di era Orde Baru ini yang sempat memanas dengan adanya berbagai isu global kontemporer telah membaik.

(6)

Dalam makalah ini kami memilih untuk mengkaji mengenai pelaksanaan hubungan Indonesia dan Malaysia pada masa orde baru. Sehingga dalam kajiannya makalah ini dimulai pada tahun 1966 ketika diberikannya mandat Supersemar kepada Soeharto hingga pada tahun 1998 ketika Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden.

BAB II PEMBAHASAN

(7)

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno upaya perundingan untuk menyelesaikan masalah Indonesia – Malaysia selalu mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari Malaysia maupun Indonesia. Pertama, politik luar negeri Indonesia yang cenderung militant dan konfrontatif dalam menanggapi masalah dengan negara lain. Kedua, Malaysia yang tidak menaati isi perjanjian Manila. Ketiga, perbedaan tafsiran terhadap gencatan senjata antara Indonesia dengan Malaysia. Keempat, dukungan PKI terhadap pelaksanaan konfrontasi.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto dengan dikeluarkannya Supersemar, membuka kembali jalan untuk mengadakan normalisasi yang sudah dirintis oleh pimpinan Angkatan Darat. Pada masa Soeharto kepentingan nasional di bidang ekonomi lebih diprioritaskan melalui program pembangunan. Berbeda dengan Soekarno yang berjuang mendapat posisi politik yang signifikan di lingkungan internasional. Soeharto memberikan penekanan pada kondisi ekonomi dan stabiltas politik domestik. Oleh sebab itu, suatu upaya untuk mencapi kepentingan nasional diperlukan adanya perubahan dalam strategi diplomasi dalam interaksi dengan negara lain.

Pada awal Qrde Baru, terciptanya suatu lingkungan regional yang kondusif merupakan salah satu prioritas Indonesia. Indonesia membutuhkan adanya lingkungan yang relative stabil di sekelilingnya yang dapat membantu Indonesia berkonsentrasi penuh pada pembangunan ekonomi. Kondisi tersebut dapat dicapai melalui memperbaiki citra Indonesia di lingkungan Asia Tenggara yang cenderung dipandang sebagai negara yang berhluan kiri yang radikal.5Untuk menciptakan suatu lingkungan regional yang kondusif, diperlukan pula adanya kejasama regional antara negara – negara di kawasan Asia Tenggara. Kerjasama tersebut terwujud dalam bentuk ASEAN.Untuk memperat kerjasama regional dalam bentuk ASEAN, maka pertikaian – pertikaian di Asia Tenggara khususnya pertikaian antara Indonesia dan Malaysia harus dihentikan.

Proses normalisasi pada mulanya merupakan upaya rintisan rujuk melalui operasi khusus (dari AD, khususnya operasi khusus dan KOTI). Setelah lahirnya Supersemar, proses normalisasi diangkat ke permukaan percaturan politik sehingga menjadi lebih terbuka. Pada saat itu Departemen Luar Negeri dan Adam Malik mulai dilibatkan.6Proses normalisasi Indonesia –

5S. Soenarko, “Evaluasi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia” dalam Perkembangan

Studi Hubungan Internasioal dan Tantangan Masa Depan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1996). hlm. 101.

6H. Sulistyo, “Biograf Politik Adam Maliik dari Kiri ke Kanan” dalam Prisma edisi khusus 20

(8)

Malaysia pada masa Soeharto masih melibatkan pihak asing, seperti Jepang. Jepang yang dari awal konfrontasi berperan sebagai penengah dalam masalah Malaysia.7

Pihak Malaysia melihat bahwa peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto membuka jalan bagi penyelesaian konfrontasi. Pada bulan Maret 1966, Soeharto mengungumkan bahwa Indonesia telah “membuka pintu” bagi penyelesaian dengan cara – cara damai dengan keikutsertaan Malaysia dan Indonesia dalam konferensi Menteri – menteri Asia Tenggara mengenai pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh Jepang pada tanggal 6 -7 April 1966.8Keikutsertaan Indonesia merupakan tanda kesediaan untuk melakukan penyelesaian konfrontasi. Namun pada tanggal 16 April, Duta Besar Indonesia untuk Jepang Rukmito Hendraningrat, mengumumkan bahwa meskipun Indonesia telah “membuka pintu” namun pada prisnsipnya konfrontasi terhadap Malaysia tidak berubah. Hal itulah yang menjadi penghambat usaha penyelesaian karena Malaysia merasa curiga pada pihak Indonesia.

Proses normalisasi Indonesia – Malaysia masih melibatkan Jepang, hal ini terbukti ketika Adam Malik meminta bantuan kepada Shirahata, seorang Konsul Jepang di Surabaya. Beliau diminta untuk membujuk Malaysia agar bersedia bertemu dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik.Sebab pada awalnya delegasi Indonesia yang terdiri dari Ali Murtopo dan L.B. Moerdani sempat ditolak oleh Tengku Abdul Rahman, walaupun pada akhirnya dapat diselesaikan dengan bantuan M. Natsir melalui memo yang dikirimkan pada Tengku abdul rahman.Pada tanggal 29 April 1966, Tengku Abdul Rahman dan Adam Malik mengadakan pembicaraan secara rahasia di Bangkok.Hal tersebut diungkapkan Tun Abdul Razak bahwa Indonesia benar – benar ingin berdamai dengan Malaysia.9 Pembicaraan rahasia tersebut diadakan ketika Adam Malik akan mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Filipina Narsisco Ramos, yang diadakan pada tanggal 30 April 1966. Pertemuan ini diadakan dalam rangka membuka hubungan persahabatan dan kerjasama antara negara- negara di Asia Tenggara.

Upaya penyelesaian sengketa dilakukan atas bantuan Menteri Luar Negeri Thailand, Thanat Khoman. Adam Malik dan Narsisco Ramos meminta bantuan Thanat Khoman untuk mengadakan pertemuan di Bangkok antara pihak – pihak yang bersengketa. Thanat Khoman kemudian pergi ke Kuala Lumpur pada tanggal 3 Mei 1966 untuk beunding dengan Tengku

7M. Nishihara, “Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966” dalam Ichimura, S.

dan Koentjaraningrat. (1976). Indonesia, Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai (Jakarta: Gramedia, 1976).hlm.90.

8Ibid. hlm. 91.

9M. Nishihara, “Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966” dalam Ichimura, S.

(9)

Abdul Rahman dan Tun Abdul Razak.10 Kepergian Thanat Khoman ke Malaysia, berhasil meyakinkan pihak Malaysia untuk berunding kembali dengan Indonesia yang akan diselenggarakan di Bangkok.

Pada tanggal 20 Mei 1966, kogam mengirimkan delegasi ke Kuala Lumpur yang bersifat misi muhibah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia. Pengiriman delegasi ini bukan atas perintah Menteri Luar Negeri, melainkan atas perintah Soeharto selaku kepala staf Kogam dan pengemban Supersemar.11Hal ini menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konfrontasi bukan hanya dilakukan oleh Departemen Luara Negeri, melainkan juga pihak militer.Sebab delegasi ini terdiri dari 20 orang militer yang bertugas untuk bertemu dengan Tun Abdul Razak dan Tengku Abdul Rahman dalam rangka persiapan perundingan Bangkok.

Perundingan Bangkok, merupakan perundingan formal tingkat pertama para pejabat Indonesia dan Malaysia untuk membicarakan prinsip – prinsip normalisasi. Perundingan diadakan pada tanggal 29 Mei sampi 1 Juni 1966, yang dilakukan antara Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak.Isi perjanjian tersebut adalah:

1. Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

2. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. 3. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Kedua Menteri Luar Negeri setuju bahwa hubungan langsung dan berkelanjutan antara kedua pemerintahan akan terpelihara.12

Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk tidak membicarakan terlebih dahulu status Sabah dan Serawaksebagai prasyarat normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia.Sebelum terjadi kesepakatan, antara pihak Indonesia dan Malaysia timbul perbedaan mengenai penentuan status Sabah dan Serawak, apakah ditentukan melalui pemilihan umu atau referendum.Selain itu, masalah pengakuan Federasi Malaysia apakah secara otomatis atau tidak.13

10Berita Yudha, “Malik dan Ramos Utus Thanat Khoman ke Kuala Lumpur Untuk Berbitjara

dengan Razak”.4 Mei 1966.

11H. Mukmin, “TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian Konfrontasi

Indonesia-Malaysia” (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991). hlm. 132.

12P. Boyce, “Malaysia and Singapore in International Diplomacy (Documents and

Commentaries). (Sidney: Sidney University, 1968). hlm. 107.

13H. Mukmin, “TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian Konfrontasi

(10)

Adam Malik memiliki keinginan untuk segera mengakhiri masalah dengan Malaysia secepat mungkin.Adam Malik beranggapan bahwa masalah – masalah yang sifatnya mendasar tidak perlu dibicarakan terlebih dahulu di Bangkok, karena dapat mengganggu perundingan.Tindakan Adam Malik untuk tidak membicarakan masalah Sabah dan Serawak mendapat tentangan dari delegasi militer.Militer berpendapat bahwa masalah Sabah dan Serawak hendaknya dibicarakan dalam perundingan untuk mendapatkan kejelasan dari pihak Malaysia.Pihak militer menginginkan supaya pengakuan terhadap Malaysia dilakukan sesudah pemilihan umum bukan sebelumnya.

Selain kekecewaan dari pihak militer, tindakan Adam Malik juga menimbulkan kemarahan dari Soekarno yang menganggap Adam Malik sebagai priadi yang mudah menyerah terhadap musuh.Sebab Soekarno pada dasarnya masih memegang prinsip bahwa penyelesaian konfrontasi harus didasarkan perjanjian Manila.Tugas Adam Malik untuk menyelesaikan masalah denagn Malaysia akhirnya dialihkan kepada Soeharto, dan diserahkan kembali kepada Adam Malik sebagai Menteri Luar negeri Indonesia menjelang penandatanganan persetujuan Jakarta.Soekarno menambahkan (annex) dalam perjanjian Bangkok yang menghendaki agar Sabah dan Serawak mengadakan pemilihan umum untuk mengetahui keinginan penduduk setempat sebelum mengakui Malaysia.14

Konferensi Bangkok walaupun masih mengandung beberapa masalah, namun telah dijadikan landasan bagi adanya persetujuan normalisasi hubungan.Sebagai ketuan delegasi Malaysia Tun Abdul Razak menyatakan bahwa telah ‘meletakkan landasan perdamaian’.15Walaupun di Indonesia hasil konferensi Bangkok menjadi masalah, setelah Adam Malik bertindak menyetujui pengakuan Malaysia sebelum diadakan pemilihan umum.

Untuk menjaga supaya tidak terjadi ‘perang tafsir’, setelah tugas penyelesaian kasus Malaysia diberikan kepada Soeharto, maka diadakan kontak – kontak dengan Kuala Lumpur.Hal tersebut sesuai dengan keputusan sidang Kogam pada tanggal 8 Juni 1966, untuk terus mengadakan kontak dengan Kuala Lumpur.16Adanya pergantian tugas dari Adam malik kepad Soeharto dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dari pihak Malaysia bahwa Indonesia masih ragu untuk mengakhiri konfrontasi. Selain itu, dikhawatirkan pula dapat menyulitkan

14Ibid. hlm. 137 dan L. Suryadinata, “Weinstein” dalam Politik Luar Negeri Indonesia di

bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES, 1998). hlm. 57.

15J.A.C. Mackie, “KONFRONTASI, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 (London: Oxford

University Press, 1974). hlm. 77.

16Berita Yudha, “Kogam Tugaskan Pak Harto untuk Terus Mengadakan Kontak dengan Kuala

(11)

kembali proses normalisasi. Sehingga kontak dengan Malaysia harus tetap terjaga, supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

Hubungan Indonesia – Malaysia pada bulan Juli 1966 sudah menunjukkan adanya kemajuan untuk mengadakan rujuk. Seperti yang dikemukakan Ali Murtopo bahwa “ normalisasi hubungan dengan Malaysia dan singapura hanya tinggal masalh teknis saja”.17 Proses normalisasi Indonesia – Malaysia tinggal menunggu waktu saja. Sebab Indonesia maupun Malaysia sudah menunjukkan jalan menuju normalisasi. Proses normalisasi dipercepat setelah berhasil terbentuk Kabinet Ampera pada tanggal 25 juli 1966. Soeharto selaku Presidium menyatakan bahwa “konfrontasi akan berakhir dalam waktu 2 minggu lagi”.18Setelah Kabinet Ampera terbentuk, penyelesaian konfrontasi menjadi agenda utama bagi Indonesia.

Masalah Malaysia diupayakan sudah dapat diselesaikan sebelum tanggal 17 Agustus 1966, hal ini seperti yang dikemukakan pada siding Kabinet Ampera.19Sementara perjanjian perdamaian dengan Malaysia diupayakan dapat ditandatangani pada akhir Agustus.Seperti yang direncanakan, normalisasi Indonesia dan Malaysia dapat terwujud pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta antara Adam Malik dan Tun Abdul Razak yang disebut sebagai Jakarta Accord.

Persetujuan normalisasi mengandung adanya saling pengertian antara Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Malaysia mengabulkan syarat Indonesia yang mengadakan pemilihan umum untuk menegaskan kembali keinginan rakyat Sabah dan Serawak. Pemerintah Indonesia, bersedia mengakui dan menerima Malaysia serta mengadakan kerjasama. Sementara hubungan diplomatik Indonesia tidak segera pulih. Namun kantor – kantor diplomatik tidak resmi di kedua negara telah dibuka. Hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia sepenuhnya dapat dipulihkan pada bulan Agustus 1967, setelah pemilihan umum di Sabah dan Serawak. Dengan begitu, berakhirlah ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia selama 3 tahun.

Kerjasama Bilateral Indonesia – Malaysia Masa Orde Baru

Perubahan yang terjadi dalam politik luar negeri (polugri) pada era Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari pemikiran yang disampaikan Soeharto yang menyangkut dua hal utama, yaitu menyangkut stabilitas politik keamanan dan pembangunan ekonomi.Pembangunan ekonomi

17Ibid.

18Ibid. “Tidak Usah Hebohkan Hutang Kita Kepada Luar Negeri”. 28 Juli 1966.

(12)

tidak dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang mendasari Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan polugri, termasuk membangun hubungan yang baik dengan pihak-pihak Barat dan “good neighbourhood policy” melalui pembentukan ASEAN. Soeharto menyadari bahwa mengangkat Indonesia dari krisis ekonomi harus menjadi prioritas pemerintahannya.Namun hal tersebut harus diimbangi dengan membangun sistem politik internal yang stabil serta lingkungan eksternal yang damai.Perubahan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia ditunjukkan dengan upaya yang nyata. Diantaranya adalah penyelesaian konfrontasi dan mulai menjalin kerjasama dengan Malaysia seperti dengan mengadakan Peningkatan kerjasama pertahanan Indonesia-Malaysia dalam bentuk latihan militer bersama seperti KEKAR MALINDO (Indonesia-Malaysia Indonesia), MALINDO JAYA, ELANG MALINDO, AMAN MALINDO, dan DARSASA.

Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia

Diplomasi memiliki peran yang sangat beragam dan banyak untuk bermain di dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang teror ganisasi yaitu diplomasi dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran dan sebagainya dapat mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang sering tersembunyi di latar belakang. Di dalam dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini dua faktor yaitu diplomasi dan hukum internasional merupakan paling penting dalam pemeliharaan perdamaian. Di samping hukum internasional telah memberikan tatanan bagi dunia yang bagaimanapun anarkis namun bagi pemelihar an perdamaian diplomasi telah selalu memainkan peran yang vital. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini.

(13)

masing-masing, tidak jarang terjadi perbedaan-perbedaan kepentingan bahkan kadang-kadang terjadi bentrokan-bentrokan kepentingan. Oleh sebab itu, diplomasi berperan untuk mendamaikan beragamnya kepentingan, paling tidak membuatnya berkesesuaian.Secara umum diakui bahwa fungsi utama diplomasi adalah melakukan negosiasi, sedangkan ruang lingkup diplomasi adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan negara melalui negosiasi yang berhasil.

Efektivitas diplomasi dan atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di dalam negeri, sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan politik domestik.Untuk mencapai hasil yang optimal dalam diplomasi, perlu ada gerakan kuat di dalam negeri sebagai sebuah sendi dari gerakan diplomasi tersebut. Diplomasi Indonesia secara prinsipal menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Prinsip itu diakui dan dipegang secara kukuh dan konsisten. Isu yang dihadapi berubah dari waktu ke waktu, sehingga pendekatan terhadap isu-isu tersebut sering berubah. Dengan demikian prinsip bebas aktif hakekatnya tetap memberikan peluang pada pemerintah untuk secara kreatif menyikapi berbagai masalah yang timbul. Isu yang utama pada awal kemerdekaan adalah upaya bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari dunia atas kemerdekaan negara dan pada akhirnya pada zaman Soekarno berhasil mendapat pengukuhan.

Dalam konteks pada masa kini, di era reformasi, tujuan utama tetap sama dan senantiasa konsisten untuk kepentingan nasional Indonesia hanya saja arah kebijakan luar negeri terfokus pada kerangka mewujudkan nasionalisme pembangunan, yaitu mewujudkan kesejahteraan bangsa yang berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Fokus ini bahkan menjadi sedemikian berarti terutama mengingat sejak tahun 1998 Indonesia mengalami keterpurukan yang luar biasa dalam berbagai dimensi, serta menjadi penyebab bangsa Indonesia terpuruk pula dalam konstelasi politik internasional.

Diplomasi Indonesia dan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menugaskan Menteri Luar Negeri kedua negara untuk membicarakan prosedur paling tepat dalam membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional. Keputusan itu terjadi dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Kuala Lumpur, Malaysia.Pembicaraan antara kedua pemimpin negara terjadi dalam suasana sangat bersahabat, ramah, dan terbuka.

(14)

Malaysia berprinsip kepada pemikiran rasionalis dimana, rasionalis adalah mereka para teoritis yang yakin bahwa manusia selalu menggunakan akal pikiran, dapat mengenali hal yang benar untuk dilakukan, dan dapat belajar dari kesalahannya dan dari yang lainnya. Kaum rasionalis yakin bahwa masyarakat kiranya dapat diatur untuk hidup bersama sekalipun ketika mereka tidak memiliki pemerintahan bersama, seperti dalam kondisi hubungan internasional yang anarkis.Rasionalisme pada sisi yang ekstrim adalah dunia sempurna saling menghargai, perjanjian, dan aturan hukum diantara negara-negara.Dalam hal ini rasionalisme menunjukkan “jalan tengah” dari politik internasional, memisahkan kaum realis pesimis di satu sisi dari kaum revolusionis optimis di sisi lain.

Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah lama yang terus dibicarakan kedua pihak.Perundingan sengketa tersebut dimulai kembali tahun 1991 melalui pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia - Malaysia.Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan di antara kedua pihak.Untuk itu tahun 1994, kedua pemimpin sepakat mengangkat Wakil Pribadi (Special Representatives) guna menyelesaikan persoalan tersebut.Dalam hal ini, Presiden Soeharto menunjuk Mensesneg Moerdiono, sedangkan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menunjuk Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim yang kemudian mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur dan Jakarta. Melalui pertemuan terakhir pada tanggal 21 Juni 1996 di Kuala Lumpur, kedua pihak menandatangani laporan bersama yang diajukan kepada Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Pada pertemuan terakhir tersebut, akhirnya kedua negara menyetujui pertimbangan kedua Wakil Pribadi mereka untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional.Keputusan Malaysia untuk membawa sengketa Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional dan tidak membawanya melalui penyelesaian di ASEAN, lebih disebabkan oleh posisi Malaysia yang juga mempunyai masalah serupa dengan anggota ASEAN lainnya.Oleh karena itu Malaysia memilih jalur Mahkamah Internasional serta Malaysia tidak ingin mewariskan masalah tersebut kepada generasi mendatang.Namun pada akhirnya Indonesia menolak dan lebih memilih penyelesaian secara politis

(15)

negara lain. Keempat, menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral. Permufakatan ASEAN (ASEAN Concord) dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation) yang menentukan untuk diperbaikinya mekanisme atau wahana ASEAN untuk meningkatkan kerjasama politik dan dengan ditetapkannya enam prinsip dasar untuk kerjasama antara negara-negara di wilayah Asia Tenggara dimana prinsip untuk menghindari ancaman atau penggunaan kekerasaan itu merupakan pula dasar fundamental politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dalam menghadapi masalah konflik internasional.

Hambatan – Hambatan Dalam Hubungan Indonesia dan malaysia

Dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia, Indonesia mengalami beberapa hambatan, antara lain :

a. Walaupun kepemimipinan Soekarno telah digantikan oleh Soeharto, masih ada kalangan yang menilai bahwa Kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia harus tetap dijalankan. Terlihat saat Duta Besar Indonesia untuk Jepang Rukmito Hendraningrat, mengumumkan bahwa meskipun Indonesia telah “membuka pintu”, tapi pada prinsipnya konfrontasi terhadap Malaysia tidak berubah. Hal inilah yang menjadi penghambat usaha penyelesaian, karena Malaysia merasa curiga dengan pihak Indonesia. Pemerintah yang pro-Soekarno masih tidak menerima perdamaian dengan Malaysia karena sikap Malaysia yang abstain dalam pemungutan suara di PBB mengenai masalah Irian Barat (Papua), dan simpati terhadap PRRI-Permesta.

(16)

c. Kemajuan dalam bidang ekonomi Malaysia pada tahun 1980-an dan 1990-an, telah memberi kepercayaan diri yang besar kepada Malaysia untuk memainkan peran yang besar dan aktif dalam diplomasi internasional. Kampanye tentang perlunya “smart partnership” atau kerjasama yang cerdas, fairness dan equal serta “Malaysia boleh” dikumandangkan, yang berarti merubah “status quo” kebijakan politik yang dijalankan pada masa PM Tun Abdul Razak dan Tun Hussein On.Perubahan politik Malaysia terhadap Indonesia, tidak banyak dipahami oleh rakyat Indonesia. Kalaupun paham, sulit menerimanya, sehingga sangat sensitif dan emosional ketika muncul kasus penyiksaan TKI misalnya, klaim budaya dan lain sebagainya.

d. Ketika terjadi krisis moneter pertengahan 1997, Malaysia dapat melokalisir dan meminimalisir dampak negatif krisis tersebut terhadap ekonominya, sehingga segera bangkit dan ekonominya tumbuh kembali dengan baik. Keadaan ini semakin menghantarkan Malaysia maju dan meninggalkan Indonesia. Berbanding dengan Indonesia, meskipun dari segi saiznya, Malaysia hanya 1/3 daripada Indonesia, tetapi Malaysia mempunyai perkapita KDNK sebanyak tujuh kali ganda.Sementara Indonesia, yang dibantu oleh IMF untuk menyembuhkan ekonominya, justeru mengalami krisis berkepanjangan, tidak saja terjadi krisis politik yang memaksa Presiden Soeharto mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, tetapi berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis multi dimensi, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang ini.20

Ditambah pula dengan konflik persengketaan yang terjadi selama orde baru, juga menjadi faktor yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering mengalami pasang surut,

a. Sengketa Flor De La Mar

Sengketa lain yang mengancam hubungan Indonesia-malaysia adalah klaim kepemilikan harta karung dalam bangkai kapal Portugis, Flor de la Mar. kapal ini karam pada tahun

20Dr. Musni Umar adalah Anggota Eminent Persons Group (EPG)

(17)

1512 di lepas pantai Sumatera. Menurut catatan arsip kuno, kapal itu mengangkut emas dan permata.Semua barang hasil penjarahan pasukan Portugis yang menghancurkan pelabuhan Malaka tahun 1511.Persoalan muncul tahun 1989.Tahun itu Indonesia menyetujui permohonan Malaysia menyerahkan barang-barang yang terdapat dalam kapal.Karena berlarut-larut penyelesaiannya, Malaysia mengancam membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.21

b. Hukuman Gantung Pelaut Indonesia

Hubungan kembali menghangat dengan peristiwa digantungnya pelaut Bugis, Basri Masse di Kepayan, kota Kinabalu, 19 Januari 1990. Basri ditangkap karena tersangkut kasus dadah atau narkotika. Sayangnya, pihak Indonesia baru mengetahui kasus tersebut lima tahun kemudian, saat Basri mengirim surat pada konsulat Indonesia pada bulan Juni 1988. Saat itu ia tengah menjalani proses kasasi di Mahkamah Agung Malaysia.

c. Batas Laut Selat Malaka

Belum jelasnya batas laut Indonesia-malaysia di Selat Malaka sering kali membawa petaka nelayan dari kedua negara.Tidak jarang terjadi penangkapan nelayan dengan alasan melanggar batas laut kedua negara.Selama ini Indonesia dan Malaysia baru memiliki perjanjian penentuan tapal batas laut dan tapal batas kontinen. Sementara itu, tapal batas ZEE ( zona ekonomi eksklusif) belum pernah dibicarakan. Pihak Malaysia berpendirian menyamakan batas ZEE dengan batas laut kontinen.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Hubungan antara Indonesia dan Malaysia selalu diwarnai dengan sebuah dinamika.Hal tersebut juga berlaku pada masa orde baru.Pembangunan ekonomi yang merupakan fokus utama

(18)

dalam pemerintahan Soeharto menciptakan suatu motivasi terhadap penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia yang sudah terjadi sejak pemerintahan Soekarno.Tuntutan terhadap stabilitas regional juga mendorong kedua negara tersebut untuk berdamai dengan ukungan dari negara ketiga seperti Thailand dan Jepang.

Berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan pada masa orde baru, pemerintah Indonesia dan Malaysia lebih sering mengadakan pertemuan bilateral untuk membahas masalah perbatasan.Hal tersebut dikarenakan ketidakjelasan batas – batas negara yang telah ditentukan oleh Inggris dan Belanda pada masa penjajahan.Kerjasama tersebut menghasilkan penyelesaian secara politis terhadap isu – isu yang berkembang dalam hubungan bilateral kedua negara.Selain peningkatan kerjasama bilateral, kedua negara juga aktif dalam membangun kerjasama dalam kancah regional.Hal tersebut terbukti dari pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) pada tanggal 8 Agustus 1967 melaui deklarasi Bangkok.Selain bentuk – bentuk kerjasama tersebut Indonesia dan Malaysia juga aktif dalam melakukan kerjasama di bidang militer, seperti dengan melakukan latihan militer gabungan.Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa hubungan Indonesia – Malaysia berlangsung lancar – lancar saja pada masa orde baru.Masih terdapat banyak hambatan dalam hubungan diantara Indonesia dan Malaysia. Kebanyakan hambatan tersebut berasal dari masalah wilayah dan perbandingan pertumbuhan ekonomi pada dua negara yang bersifat kontradiktif.

B. Saran

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

(20)

Hakiem, Lukman. 2008. 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah. Jakarta: Penerbit Republika.

Malik, A. 1979.Mengabdi pada Republik Jilid III. Jakarta: Yayasan Idayu.

Mukmin, H. 1991. TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

PanitiaPenulisan Sejarah Departemen Luar Negeri.1971. Pidato Menlu Adam Malik pada Upacara Memperkenalkan Diri Tanggal 23 Maret 1966. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Deplu.

S., Ichimura dan Koentjaraningrat.1976. Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966 oleh M. Nishihara dalam Indonesia, Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.

Soenarko, S. Evaluasi. 1996. Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasioal dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Sulistiyo, H. 1991. "Biografi Politik Adam Malik dari Kiri ke Kanan" dalam Prisma edisi khusus

20 tahun. Jakarta: LP3ES.

Suryadinata, L. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto.Jakarta : LP3ES.

Susilo, Taufik Adi. 2009. Indonesia vs Malaysia Membandingkan Peta Kekuatan Indonesia & Malaysia. Yogyakarta : Garasi.

Wendt, A. 1999.Social Theory of International Politics.Cambridge University Press.

Wuryandari, Ganewati. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Surat Kabar :

Berita Yudha. 1966. Malik dan Ramos Utus Thanat Khoman ke Kuala Lumpur Untuk Berbitjara dengan Razak. 4 Mei 1966.

___________. 1966. Kogam Tugaskan Pak Harto untuk Terus Mengadakan Kontak dengan Kuala Lumpur. 11 Juli 1966.

(21)

Internet :

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_1966-1998. Diakses pada tanggal 27 November 2011.

Pramodhawardani, Jaleswari. “Bara Dalam Hubungan Indonesia- Malaysia”dalamhttp://metrotvnews.com/read/analisdetail/2010/09/15/75/bara-dalam-hubungan. Diakses pada tanggal 28 November 2012.

Umar, Musni. “The Future Malaysia-Indonesia Relations and ASEAN”

Referensi

Dokumen terkait

Unit Simpan Pinjam membuat Surat Permohonan Pinjaman / Kredit Koperasi (SPPKK), Surat persetujuan, Tanda Terima dibuat rangkap dua, sehingga bagian bendahara, dan

Teknik observasi dilakukan dengan uji organoleptik (aroma, warna, rasa, kekenyalan,tingkat kesukaan) dan untuk mengetahui ketebalan dilakukan dengan uji RAL yang

Pertahanan terlarut, merupakan cairan tubuh ikan yang mengandung jenis bahan atau molekul yang dapat berfungsi untuk melarutkan seperti enzim lysin, lisozim, dan protease;

Menurut Suharsimi Arikunto dokumentasi tidak kalah penting dari metode-metode lain, metode dokumentasi dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang

MR, laki-laki, usia 30 tahun, penduduk Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok

Sumber data dari penelitian ini adalah siswa, guru, dan dokumen siswa. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data kualitatif. Data kualitatif dalam penelitian berupa

Sistem hubungan sosial antara anak- anak yang ditinggalkan merantau oleh orang tuanya ini dengan keluarga luasnya seperti kakek dan nenek maupun juga tantenya pada

Jumlah sulur ujung jari pada tangan kanan dan tangan kiri kelompok penderita penyakit jantung dan kelompok yang tidak menderita penyakit jantung, ternyata juga