Etnis Rohingya di Myanmar – Analisis Pelanggaran HAM terhadap
Stateless Person
Andi Sitti Rohadatul Aisy – E13114502
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Pelaksanaan pemberian HAM tersebut harus diberikan tanpa adanya diskriminasi baik berdasarkan agama, ras, warna kulit, pendapat politik, kebangsaan dan pembeda lainnya1. Salah satu hak fundamental yang diatur didalam Universal Declaration of
Human Rights 1948 (UDHR) adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorangpun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya2. Pengakuan terhadap kewarganegaraan ini juga
terdapat didalam International Convention relating to the Status of Stateless Person 1954, International Convention on Reduction of Statelessness 1961,International Convention on Civil and Political Rights 1966,3 Convention on the Rights of the child,4 dan juga terdapat
didalam International Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women5.
Berdasarkan aturan-aturan diatas, maka seharusnya semua orang memiliki kewarganegaraan tanpa kecuali. Hal ini dikarenakan kewarganegaraan merupakan hak untuk mendapatkan hak (right to get rights)m yang mana kewarganegaraan adalah ikatan hukum antara negara dan warga negaranya. Ikatan hukum inilah yang membuat seseorang dapat menikmati hak-hak asasi manusia yang termuat didalam instrumen hukum internasional maupun dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara. Orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (Stateless Person) diartikan sebagai seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun berdasarkan hukum nasionalnya6.
Ketiadaan kewarganegaraan ini dapat berakibat buruk bagi seseorang yang tidak memilikinya. Kepemilikan kewarganegaraan sangat penting bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan merupakan prasyarat untuk menikmati berbagai macam hak asasi manusia.
1 Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights 1948. 2 Pasal 15 Universal Declaration of Human Rights 1948.
3 Pasal 24 ayat 3 International Convention on Civil and Political Rights 1966. Every child has the right to
acquire a nationality.
4 Pasal 7 Convention on the Rights of the Child 1989. The child has the right to a name at birth ...and to aquire a
nationality...
5 Pasal 9 Convention on the Elimination of All Form of Dicrimination against Women 1979. State Parties shall
grant women equal rights with men to acquire, change or retain nationality.
Permasalahan lainnya yang dialami oleh Satateless Person adalah banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh Stateless Person yang diatur didalam Convention relating to the Status of Stateless Person 1954. Karena Stateless Person bukanlah warganegara dari negara dimana mereka tinggal, mereka seringkali mendapat penolakan untuk memperoleh hak dasar dan akses terhadap pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Mereka tidak dapat memiliki properti, menikah secara resmi ataupun mendaftarkan kelahiran anak mereka. Beberapa dari mereka ditahan dalam jangka waktu yang lama karena ketidakmampuan mereka dalam membuktikan siapa diri mereka sebenarnya dan darimana asal mereka. Dalam prakteknya mereka sering tidak mendapatkan dokumen identitas, ditahan karena statusnya sebagai Stateless Person, tidak diberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan ataupun dicegah dari mendapatkan pekerjaan.
Salah satu Etnis yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh negara manapun adalah Etnis Rohingya. Etnis Rohingya tidak diakui oleh negara dimana mereka telah bertempat tinggal secara berabad-abad (Myanmar) maupun oleh negara dimana mereka memiliki kemiripipan dari segi fisik, bahasa dan budaya (Bangladesh). Penulis melihat, pelanggaran terhadap stateless person ini terjadi secara horizontal (antar masyarakat) maupun vertikal (antar Negara terhadap rakyat) atau sebaliknya. Banyak diantaranya tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights)[ CITATION Dar01 \l 1057 ]. Pada etnis Rohingya, konflik ini merupakan konflik yang didasari atas diskriminasi karena perbedaan etnis dan agama. Etnis Rohingya yang beragama muslim tidak diakui keberadaanya di Myanmar dan tidak diberikan kewarganegaraan (stateless person) sehingga status mereka adalah imigran gelap (Amnesty International Online, 2011). Mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara manapun, sehingga berbagai tindakan kekerasan kerap dilakukan oleh masyarakat pro pemerintah junta militer (secara horizontal) dan juga oleh pemerintah Myanmar (secara vertikal). Akibat perlakuan diskriminatif tersebut, muslim Rohingya terpaksa memilih untuk menjadi manusia perahu dan meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan di negara lain (Rismayati, Manusia Perahu Rohingya Tantangan Penegakan HAM di ASEAN).
menjadi bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan yang dikatakan sebagai impunitas (impunity)[ CITATION LGS06 \l 1057 ].
Keinginan untuk diakuinya Rohingya sebagai pengungsi juga diharapkan oleh etnis ini, sebagai contoh di Indonesia dibeberapa media etnis ini menyuarakan keinginannya untuk memperoleh status dari UNHCR sebagai pengungsi. Pengakuan sebagai pengungsi tentunya memberikan keistimewaan tersendiri, dimana mereka menikmati hak-hak serta kewajiban-kewajiban sebagai pengungsi serta perlindungan terhadap dilaksanakannya kedua hal tersebut, sebab mereka yang dikategorikan sebagai pengungsi dijamin hak-hak nya dalam suatu instrumen khusus mengenai hal tersebut yaitu Convention Relating to the Status of Refugees 1951. Melihat kompleksitas dari permasalahan ini, maka etnis Rohingya saat ini dapat dikatakan telah menjadi objek tersendiri dalam kajian dan praktik hukum internasional.
Walaupun telah adanya konvensi internasional yang mengatur tentang status Stateless Person berdasarkan hukum internasional, Namun keberadaan Stateless Person tetap eksis mendiami wilayah kedaulatan suatu negara. Bahkan hak-hak yang mereka miliki sebagai Stateless Person sering kali dilanggar oleh negara di mana Stateless Person tersebut berada. Beberapa di antaranya yang dilihat penulis dalam kasus ini, diskriminasi rasial, tidak diberikan kebebasan untuk beragama, hingga genosida sebagai crimes against humanity.
Dalam kasus etnis Rohingya, pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap etnis Rohingya yang didasarkan atas ras, etnis, warna kulit dan agama. Pemerintah Myanmar melaksanakan kebijakan “Burmanisasi” dan “Budhanisasi” yang mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim Rohingya di tanahnya sendiri Arakan. Tentu, hal ini sudah tidak sejalan dengan isi Pasal 27 International Covenant on Civil and Political Rights, mengenai hak atas identitas nasional, etnis, agama, atau bahasa, dan hak untuk mempertahankan ciri-ciri yang ingin dipelihara dan dikembangkan oleh kelompok tersebut. Dalam pasal ini tidak dibedakan perlakuan yang diberikan negara kepada kelompok minoritas yang diakui atau tidak. Sehingga ketentuan ini berlaku bagi kelompok minoritas yang diakui oleh suatu negara maupun kelompok minoritas yang tidak mendapat pengakuan resmi negara.
Selanjutnya, membahas mengenai bagaiamana aturan oleh pihak Myanmar mengenai etnis Rohingya, dipaparkan dalam Burma Citizenship Law 1982 Pasal 3, dinyatakan bahwa “
Statelessness 19617, dalam empat poin tersebut, tidak ada alasan untuk menghilangkan
kewarganegaraan etnis Rohingya. Sehingga jika alasan Myanmar tidak mau mengakui etnis Rohingya karena mengganggap etnis Rohingya berkebangsaan Bangladesh, maka alasan ini sangat diskriminatif dan bertentangan dengan hukum internasional.
Sebagai penutup, melihat kasus diskriminasi etnis sebagai pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya ini, tentu Negara Myanmar untuk segera meratifikasi peraturan-peraturan internasional tentang Hak Asasi Manusia, dan memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang tertuang dalam UDHR, di antaranya, Konvensi 1954 mengenai Status Orang yang Tidak Berkewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan sangatlah diperlukan Negara Myanmar mengingat permasalahan orang tanpa kewarganegaraan Myanmar, khususnya pada kasus ini etnis Rohingya merupakan permasalahan yang kompleks.
7 Ditetapkan pada tangal 30 Agustus 196 oleh Conference of Plenipotentiaries melalui Resolusi Majelis Umum
Referensi
Darwan, P. (2001). Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Saraswati, L. (2006). Hak Asasi Manusia, Teori Hukum dan Kasus. Jakarta: Filsafat UI Press.
Amnesty International Public Statement. (2011, Maret 11). File pdf diunduh pada Desember 10, 2016 (05:29 WITA), melalui laman No International Compromise on Human
Rights in Myanmar:
https://www.amnesty.org/download/Documents/28000/asa160012011en.pdf