• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DIN"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Perkembangan Anak Usia Dini

Kode Mata Kuliah : 506 / 3 SKS

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Myrnawati Crie Handini, M.S, PKK

DISUSUN OLEH:

MAHASISWA S2 PRODI PAUD KELAS D TAHUN 2013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

(2)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya tugas Makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang berjudul ”Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini” merupakan tugas akhir semester mata kuliah Perkembangan Anak Usia Dini pada Program Studi PAUD Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Materi yang di bahas dalam makalah ini adalah perkembangan psioseksual anak, bagaimana peran sekolah menyusun SOP untuk keamanan anak, apa sangksi bagi pelanggar kebijakan serta analisis beberapa jurnal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak usia dini.

Dalam menyelesaikan makalah ini kami mendapat dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Myrnawati Crie Handini, M.S, PKK selaku Dosen

Pembimbing Mata Kuliah Perkembangan Anak Usia Dini.

2. Rekan-rekan sesama mahasiswa PAUD kelas D Pascasarjana UNJ Angkatan 2013 atas partisipasi dalam penyusunan makalah dan presentasi.

3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kebaikannya di beri imbalan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun

dari pembaca pada umumnya, guna terciptanya makalah yang lebih baik

lagi pada pembuatan makalah yang akan datang. Kurang dan lebihnya

penulis sampaikan terimakasih.

Jakarta, Juni 2014

Penulis

(3)

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Rumusan Masalah... 6

D. Tujuan Penulisan... 7

BAB II KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DINI A. Perkembangan psikoseksual anak ... 8

B. Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan anak... 20

C. Seks policy bagi pelanggar kebijakan... 41

D. Analisis jurnal kekerasan seksual terhadap anak... 54

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan... 61

B. Saran... 62

DAFTAR PUSTAKA... 63

Lampiran Lampiran 1 Contoh Kegiatan: Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Sekolah... 65

Lampiran 2 Contoh Refleksi Guru dan Kecakapan Hidup... 68

Lampiran 3 Jurnal kekerasan terhadap anak... 69 Lampiran 4 Handout Power Point

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak usia dini merupakan dasar awal yang menentukan kehidupan suatu bangsa dimasa yang akan datang, sehingga diperlukan persiapan generasi penerus bangsa dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa, maupun sosial emosional. Setiap anak berhak untuk mendapatkan penghidupan dan perlindungan yang layak, serta dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 mengenai Perlindungan Anak1, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan dimaksudkan untuk melindungi anak yang tereksploitasi secara ekonomi, seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik/mental, anak penyandang cacat, dan anak korban penelantaran.

Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga,

1

Kemendag,

UU No.23 tahun 2002

, 2002, diakses dari

http://riau.kemenag.go.id/fie/dokumen/UUNo23tahun

2003PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggai 24 mei

2014 pada pukui 09.16

(5)

ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri.

Banyak terdapat kasus-kasus mengenai kekerasan pada anak di dunia. Di Afrika selatan misalnya terdapat kejadian pemerkosaan terhadap anak dan bayi terbesar di dunia.Sebuah survei oleh Central Institute of Education Technology menemukan bahwa 60% anak laki-laki dan perempuan menyangka bahwa perlakuan pemaksaan seks dari seseorang yang mereka tahu bukanlah kekerasan seksual, sementara sekitar 11% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan mengaku mereka dipaksa berhubungan seks dengan orang lain. Pada survei yang berkaitan melibatkan 1.500 anak sekolah di Johannesburg di kota Soweto, seperempat dari anak laki-laki yang diwawancara mengatakan 'jackrolling', sebuah istilah untuk pemerkosaan bersama, adalah menyenangkan. Lebih dari separuh dari yang diwawancara menyatakan bahwa jika anak perempuan mengatakan tidak untuk melakukan seks.2

Selain itu lebih dari 67.000 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak dilaporkan pada tahun 2000 di Afrika Selatan, sementara pada tahun 1998 terjadi 37.500 kasus. Kelompok pemerhati anak-anak percaya bahwa insiden yang tidak dilaporkan bisa 10 kali lipat dari angka kasus yang dilaporkan. Peningkatan terbesar kejahatan seksual terjadi pada anak-anak di bawah tujuh tahun. Prevalensi pelecehan seksual anak di Afrika juga didasarkan kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak perawan akan menyembuhkan pria dari HIV atau AIDS. Kepercayaan ini adalah umum di Afrika Selatan, dimana terdapat jumlah penduduk penyandang HIV-positif terbesar di dunia. Menurut data resmi, satu dari delapan penduduk Afrika Selatan terinfeksi virus ini.3

2

Wikipedia

. Pelecehan Seksual Terhadap Anak.

(6)

Di Indonesia, menurut data Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2010 telah diterima laporan kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus, laporan kekerasan pada tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus, pada tahun 2012 naik lagi menjadi 2.629 kasus dan melonjak tinggi pada tahun 2013 tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan fisik 290 kasus (28%), kekerasan psikis 207 (20%), kekerasan seksual 535 kasus (52%).4 Sedangkan dalam tiga bulan pertama pada tahun 2014 ini, Komnas perlindungan anak telah menerima 252 laporan kekerasan pada anak. Jadi, menurut Komnas perlindungan anak bahwa laporan kekerasan pada anak didominasi oleh kejahatan seksual dari tahun 2010-2014 yang berkisar 42-62%.5 Dari data tersebut terlihat bahwa kasus mengenai kekerasan pada anak meningkat setiap tahunnya. Terlebih mengenai kasus pelecehan seksual yang mendomonasi.

Banyak terdapat kasus-kasus mengenai pelecehan seksual pada anak usia dini yang terjadi didaerah-daerah, diantaranya di Tuban di Jawa Timur, yang dilakukan oleh pedagang asongan buku dan poster yang melakukan kekerasan seksual pada 9 orang anak. Sedangkan di Sukabumi, Jawa Barat (5/5/2014), tindakan pelecahan seksual yang dilakukan oleh AS (24) yang berjumlah 89 anak. Dan baru-baru ini terjadi pelecahan seksual kepada anak-anak Taman

3

United Nations HIV/AIDS Fact Sheet,

United Nations

Deveiopment Programme, 2002.

4

Kompasiana. 2013.

Darurat Nasional: Eksploitasi

Seksual Anak. diakses pada

http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html

(diakses pada tanggai 21 Mei 2014 pada pukui 11.21

WIB)

5

Kompas. 2014. Indonesia Darurat Kekerasan pada

(7)

Kanak-kanak di JIS yang dilakukan oleh para petugas kebersihan sekolah.

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.6 Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta anak atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

Anak perlu untuk diberikan pemahaman oleh orangtua mengenai sex education. Sehingga melalui sex education ini diharapkan dapat tercapainya tujuan dalam menjaga keselamatan, kesucian, dan kehormatan anak ditengah masyarakat7. Cara penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehingga anak didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education

sebagai pihak pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai lingkungan terdekat anak didik harus siap dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban yang benar, dan tidak membiarkan rasa ingin tahu

6

Wikipedia,

http://id.wikipedia.org/wiki/Peiecehan_seksuai_terhad

ap_anak (diakses pada tanggai 21 Mei 2014 pada

pukui 11.21 WIB)

7

Nuriaiii Lisdiya, 2013,

sex education

untuk-anak-anak, why not?

Diakses dari

(8)

mereka dijawab oleh teman atau media yang belum tentu sesuai untuk usia mereka. Keluarga menjadi pengawas bagi anak dalam mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang dibaca, serta pakaian yang dikenakan.

Sekolah juga mempunyai peranan dalam sex education untuk anak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh memastikan pelajaran sistem reproduksi masuk dalam kurikulum 2014. Kebijakan itu merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak kekerasan seksual pada anak.

M Nuh mengungkapkan bahwa " Dalam kurikulum tersebut, anak kelas 1 SD sudah mulai diberikan pelajaran sistem reproduksi. Pelajaran reproduksi untuk anak kelas 1 SD jangan dibayangkan dijelaskan secara biologi, tapi masuk dalam tema, misalnya tema tentang kebersihan diri bisa memuat materi soal pelajaran reproduksi itu. Menyangkut kebersihan diri, (dijarkan) termasuk underwear awareness. Jadi, anak-anak diajarkan untuk lebih perhatian terhadap daerah-daerah tubuh yang ditutupi underwear. Yang ditutupi itu barang mahal. Barang mahal pasti dirangkapi dobel-dobel. Beda dengan kuping, dahi yang dibiarkan terbuka kan, 8

Kekerasan seksual terhadap anak dinyatakan tidak sah hampir di manapun di dunia ini, umumnya diganjar dengan hukum pidana berat, termasuk hukuman mati dan penjara seumur hidup.9 Hubungan seksual seorang dewasa dengan anak di bawah umur dinyatakan sebagai pemerkosaan menurut hukum, didasarkan pada prinsip bahwa

8

Laia Rahmawati,

Nuh: Cegah Kekerasan Seksual,

Kurikulum Ajarkan Kesadaran Soal Pakaian Dalam,

2014, Kompas, diakses dari

http://edukasi.kompas.com/read/2014/05/17/074534

3/Nuh.Cegah.Kekerasan.Seksuai.Kurikuium.2014.Ajar

kan.Kesadaran.soai.Pakaian.Daiam (pada tanggai 20

Mei 2014 pada pukui 16.16 WIB )

9

Levesque, Roger J. R. (1999).

Sexual Abuse of Children: A

Human Rights Perspective

. Indiana University Press.

(9)

seorang anak tidak dapat memberikan persetujuan dan setiap persetujuan yang nyata oleh seorang anak tidak dianggap sah.

Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah perjanjian internasional yang secara resmi mewajibkan negara untuk melindungi hak anak. Ayat 34 dan 35 dalam konvensi tersebut meminta negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual. Hal ini termasuk pernyataan bahwa ancaman kepada seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, prostitusi anak, dan eksploitasi anak dalam menciptakan pornografi dianggap melawan hukum. Negara juga diminta mencegah penculikan dan perdagangan anak.10 Sejak bulan November 2008, 193 negara sepakat dengan Konvensi Hak-Hak Anak,11 termasuk setiap anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.12

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sex education ini penting untuk diberikan kepada anak, sehingga anak dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi dirinya dari orang lain.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan indentifikasi masalah, sebagai berikut:

1. Perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan Erik Erikson.

2. Peran sekolah dalam membuat SOP (Standar Oprasional Prosedur) keamanan pada anak.

3. Seks policy bagi pelanggar kebijakan

10

United Nations Convention on the Rights of the

Child.

11 United Nations Treaty Coiiection. Convention on the Rights of the Child .

(Diakses 25 Mei 2014)

12

Chiid Rights Information Network

(10)

4. Analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak usia dini, guna memberi wawasan dan mempertegas tentang dampak kasus seks abuse serta cara penanganannya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita tarik beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah, yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan Erik Erikson?

2. Bagaimana Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan pada anak?

3. Bagaimana seks policy bagi pelanggar kebijakan?

4. Bagaimana kasus-kasus seks abuse terhadap anak yang ada di dunia, diperoleh dari analisis jurnal?

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan umum penulisan makalah ini adalah memberikan wawasan kepada pembaca tentang kekerasan seksual terhadap anak usia dini, secara khusus tujuan penulisan makalah ini yaitu agar pembaca memahami tentang

1. Untuk mengetahui perkembangan psikoseksual anak menurut para ahli.

2. Untuk mengetahui peran sekolah dalam membuat sop keamanan pada anak.

3. Untuk mengetahui seks policy bagi pelanggar kebijakan.

(11)

BAB II PEMBAHASAN

A. Tahap Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud dan Erik Erikson

(12)

asasi dirumuskan sebagai energi seksual baik dalam bentuknya secara asli maupun dalam bentuk yang diubah sepanjang perkembangan diri manusia, dalam segala bentuk cinta, afeksi, dan kemauan untuk hidup.13

Para ahli teori psikoanalitis menekankan bahwa perilaku hanyalah merupakan karakteristik di permukaan, pemahaman sepenuhnya mengenai perkembangan hanya dapat dicapai melalui analisis makna-makna simbolis dari perilaku serta menelaah pikiran yang lebih dalam. Karakteristik ini disoroti dalam teori psikoanalitis utama oleh Sigmund Freud. Teori Freud terlalu berfokus pada insting seksual, yang kemudian direvisi secara signifikan oleh para ahli teori psikoanalitis yang mengedepankan pengalaman budaya sebagai determinan dari perkembangan individu. Salah satu pakar yang merevisi gagasan Freud adalah Erik Erikson. Erik Erikson mengakui kontribusi Freud namun berpendapat bahwa Freud keliru dalam menilai sejumlah dimensi penting dari perkembangan manusia.Erik Erikson menyatakan bahwa individu berkembang menurut tahap-tahap psikososial, bukan menurut tahap-tahap psikoseksual sebagaimana dikemukakan oleh Freud. Berikut pembahasan teori psikoseksual menurut Sigmund Freud dan psikososial menurut Erik Erikson:

1. Teori Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud14

Penelitian Freud telah membawanya untuk percaya bahwa perasaan seksual mestinya aktif pada masa kanak-kanak, namun begitu konsep konsep seksualitas Freud ini sangat luas. Tahap-tahap perkembangan psikoseksual Freud adalah tahap oral, anal, falik atau odipal, latensi, dan pubertas/genital.

a) Tahap Oral

Beberapa bagian pada tahap oral adalah

13

J.P Chaplin,

Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini

Kartono

,(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 394

14

William Crain,

Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi

,

(13)

Bagian Pertama, bagian ini mendeskripsikan kegiatan menghisap sebagai aktivitas bayi dalam memperoleh makanan untuk bertahan hidup, namun Freud melihat juga kalau tindakan menghisap menyediakan perasaan menyenangkan bagi bayi. Itu sebabnya, bayi sampai terbawa-bawa menghisap jarinya sendiri atau objek lain meskipun perutnya tidak lapar. Freud menyebut kesenangan dari menghisap ini otoerotik, artinya ketika bayi menghisap jarinya sendiri, mereka tidak mengarahkan impuls-impuls kepada orang lain selain menemukan kenikmatan lewat tubuh mereka sendiri. Freud menekankan sifat otoerotik di tahap oral ini karena ingin memperlihatkan bayi terbungkus di dalam tubuh mereka sendiri, Freud melihat bahwa selama enam bulan pertama atau lebih dari kehidupan pertamanya, dunia bayi tidak berobjek, artinya bayi tidak memliki konsepsi tentang orang atau hal-hal yang eksis dalam dirinya sendiri. Karena itu, meskipun bayi sungguh-sungguh bergantung pada orang lain, mereka tidak akan sadar akan fakta ini karena belum bisa menyadari keberadaan orang lain yang berbeda darinya.

Bagian kedua, kira-kira sejak usia 6 bulan, bayi mulai megembangkan konsepsi tentang orang lain, khususnya ibu, sebagai pribadi yang berbeda dan terpisah darinya namun dibutuhkan. Mereka jadi cemas jika ibu meninggalkannya atau ketika mereka bertemu orang asing tanpa ibunya. Pada saat yang sama, perkembangan penting lainnya sedang terjadi yaitu pertumbuhan gigi dan dorongan untuk menggigit.

(14)

memuaskan bisa terus mencari kesenangan oral ini, di sisi lain bayi yang mengalami frustasi dan keputussaan besar di tahap oral bisa bertindak seolah-olah, dia tidak ingin menyerah pada kepuasan oral atau dia akan terjun pada kepuasan oral ini jika tidak ada bahaya jangka panjang yang akan ditemuinya.

Kadang-kadang seseorang menunjukkan sejumlah ciri oral di dalam hidup mereka sehari-hari sampai mereka kemudian mengalami sejumlah frustasi dan kemudian mundur (regress) ke titik fiksasi oral. Contoh: Seorang anak kecil yang tiba-tiba menemukan diri terpisah dari kasih sayang orang tua saat adiknya lahir bisa mundur lagi ketingkah laku oral dan mulai menghisap ibu jarinya lagi.

b) Tahap Anal

Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal menjadi fokus ketertarikan seksual. Anak-anak jadi semakin sadar akan sensasi-sensasi menyenangkan ketika sudah dapat mengontrol otot-otot dubur ini, kadang-kadang mereka belajar untuk menahan gerakan perut sampai detik terakhir untuk kemudian meningkatkan tekanan di dubur yang membawa kesenangan tertinggi saat feses akhirnya terlepas (Freud, 1905). Anak-anak juga sering tertarik untuk menikmati kegiatan memegang dan membaui feses mereka sendiri (Freud,1913).

(15)

memberontak terhadap tuntutan orang tua sehingga dengn penuh kecemasan mereka mengiyakan saja aturan orang tua. Orang-orang seperti ini menyimpan kebencian terhadap ketundukan pada otoritas namun tidak berani mengekspresikan kemarahan secara terbuka, sebaliknya mereka lebih banyak mengembangkan sikap pasif, menegaskan bahwa mereka melakukan sesuatu menurut jadwal sendiri, sehingga orang lain seringkali dipaksa menunggu, mereka juga bisa menjadi hemat dan kikir. Orang-orang seperti ini yang terkadang disebut “Anal Kompulsif”.

c) Tahap Falik atau Odipal

Antara usia 3 sampai 6 tahun, anak memasuki tahap falik atau odipal. Freud memahami tahapan ini lebih baik pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Daerah erogen (daerah yang sensitif terhadap stimulasi seksual, penis pada anak laki-laki dan klitoris pada anak perempuan). Konflik antara orang tua dan anak mungkin terjadi karena masturbasi , menggesekkan daerah phallic untuk kepuasan seksual dimana orang tua mungkin bereaksi dengan memberikan ancaman dan hukuman.15

Krisis odipal anak laki-laki. Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki mulai tertarik kepada penisnya. Organ ini yang begtitu mudah dibuat senang dan berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi (Freud 1923), anak lalu ingin membandingkan penisnya dengan penis anak lain dan penis hewan, dan berusaha melihat organ seksual anak perempuan dan wanita. Anak mungkin juga menikmati memperlihatkan penisnya, dan yang lebih umum memainkan peran yang bisa dmainkannya sebagai pria dewasa. Anak memulai eksperimen dan memtar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan agresif, seringkali mengarahkan intensinya menuju objek cinta utamanya, sang ibu. Dia mulai menciumi ibu dengan agresif, atau tidur bersamanya ketika malam, atau membayangkan menikahinya.

15

Jeffrey S. Nevid,

Psikologi Abnormal, Edisi V jilid 1

,

(16)

Namun anak akan segera menyadari jika tindakannya salah dengan alasan sudah menjadi “anak besar”.

Krisis odipal anak perempuan, Pandangan Freud sendiri tentang topik ini secara luas adalah mencatat bahwa anak perempuan di usia 5 tahun atau lebih menjadi kecewa dengan ibunya. Anak merasa dicampakkkan karena ibunya tidak lagi memberi cinta yang dipeoleh ketika dulu masih bayi. Lebih jauh lagi, dia semakin marah dengan larangan ibu seperti masturbasi. Akhirnya, dan yang paling mengecewakan, si anak menemukan bahwa dia tidak memiliki penis. Denga kata lain anak perempuan merasakan yang disebut Feud kecemburan akan penis, sebuah harapan memiliki penis seperti dimiliki anak laki-laki. Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa memulihkan kebanggaan feminimnya, ketika dia mengapresiasi perhatian sang ayah.

d) Tahap Latensi

Anak memasuki periode latensi sampai usia 11 tahun. seperti ditunjukkan olehnya , fantasi-fantasi seksual dan agresivitas sekarang tersembunyi dalam-dalam (laten) dijaga rapat-rapat dibawah, di dalam ketidaksadaran. Anak sekarang bebas mengarahkan kembali energinya pada pengejaran-pengejaran konkret yang bisa diterima secara sosial, seperti olahraga, permainan, dan aktivitas-aktivitas intelektual.

e) Tahap Pubertas/Genital

(17)

yang disukainya. Untuk remaja putri, tugasnya adalah harus bisa memisahkan diri dari perwalian orang tua dan membangun hidupnya sendiri, namun freud mencatat bahwa independensi tidak pernah datang dengan mudah.

Teori Freud sangat kompleks termask teori tentang id, ego dan

super ego yang menjadi bagian dari jiwa manusia termasuk dalam memandang tahapan perkembangan psikoseksualnya. Id adalah bagian dari kepribadian yanga awalnya disebut Freud ketidaksadaran, dan mengandung refleks dan dorongan biologis dasar. Jika diselidiki motivasinya maka id di dominasi oleh prinsip kesenangan, tujuannnya adalah memaksimalkan kesenangn dan meminimalkan rasa sakit. Kajiwaan bayi hampir seluruhnya didominasi oleh “id”. Freud mengatakan jia “id” berisi hasrat-hasrat yang tak terjinakkan maka “ego” berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Karena ego memahami realitas, ego berusaha menahan tindakan sampai dia memliki kesempatan untuk memahami realitas secara akurat memahami apa yang sudah terjadi di dalam situasi serupa dimasa lalu, dan membuat rencana-rencana realistik dimasa depan (Freud, 1940) sering dkenal sebagai proses kognisi atau perseptual. Freud menulis tentang “superego” seolah-olah mengandung dua bagian, salah satu bagiannya disebut suara hati. Ini adalah bagian superego yang Yang bersifat menghukum, negatif dan kritis yang mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan menghukum kita dengan rasa bersalah jika kita melanggar tuntutannya. Hal ini yang menjadi standar anak pada krisis odiipal agar krisis odipal tidak menjadi kompleks. Sedangkan bagian yang lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas aspirasi-aspirasi positif, berisi ide-ide positif seperti keinginn menjadi lebih murah hati, berani atau berdedikasi tinggi.

(18)

mengirim anak ke dunia dengan harapan mereka dapat melakukan apa saja yang diinginkan (Freud, 1933). Di sisi lain Freud juga melihat kalau disiplin biasanya bersifat memaksa, membuat anak jadi merasa malu dan bersalah oleh karena hal yang tidak perlu mengenai tubuh dan fungsi-fungsi alamiah mereka. Freud secara khusus berempati terhadap kebutuhan akan pendidikan seks yang benar dan merekomendasikan agar pendidikan seks dipegang sekolah agar anak bisa mempelajari reproduksi di dalam pelajaran tentang alam dan hewan, dari situ mereka dapat menarik kesimpulan yang benar mengenai kondisi manusia.

2. Teori Perkembangangan Psikoseksual/ Psikososial Erik Erikson Erikson memperdalam penggalian psikoanalisis Freud , karena itu, di setiap tahapan Freudian dia mulai memperkenalkan sejumlah konsep yang secara bertahap mengarah kepada hubungan paling umum sekaligus krusial antara anak dan dunia sosial, berikut pembahasannya: a) Tahap oral – Kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust vs

mistrust)

(19)

Bayi mengumpulkan informasi dan kemudian menggenggam benda lewat beragam inderanya. Perkembangan ego bayi berhadapan dengan dunia sosial dalam hal ini para pengasuhnya, dilakukan dengan cara umum dan tertentu. Karena itu bayi perlu tahu bahwa pengasuh mereka bisa diprediksi dan bisa memahami rasa aman yang dibutuhkan oleh batin mereka. Sehingga Erikson mencoba menghubungkan dengan kondisi sosial yang terjadi. 16

Tahap pertama Erik Erikson dari perkembangan psikososial adalah tahap kepercayaan vs ketidakpercayaan ( trust vs mistrust), yang dialami dalam satu tahun pertama kehidupan seseorang. Di masa bayi kepercayaan akan menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.17

b)Tahap Anal- Otonomi vs Rasa malu dan ragu-ragu (autonomy vs shame and doubt).

Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah retensi dan eliminasi yaitu, menahan atau melepaskan. Diantara dua hal yang bertentangan ini anak berusah melatih kemampuan memilih. Anak yang berusia dua tahun ingin memegang apapun yang diinginkan, dan mendorong apapun yang tidak diinginkan. mereka melatih kehendak mereka tepatnya otonomi. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa kemandirian atau otonominya. Jika bayi terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.18

Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal

16

William Crain,

op.cit

.,hh. 428

17

John W. Santrock,

Life Span Development: Perkembangan

Masa Hidup

, Edisi XIII Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,2012), h. 26

(20)

dengan caranya sendiri seerti mengontrol otot mereka sendiri, menggunakan tangannya sendiri untuk makan, sedangkan rasa malu dan ragu-ragu datang dari kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial.19

c) Tahap Falik - Inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilt)

Erikson menyebut mode utama tahap ini sebagai intrusi. Lewat istilah ini dia berharap bisa menangkap pendapat Freud tentang anak yang semakin tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan rasa persaingan. Istilah intrusi melukiskan aktivitas penis anak laki-laki namun sebagai mode umum, istilah ini mengacu pada banyak hal seperti intrusi pada tubuh orang lain lewat serangan fisik, intrusi ke dalam telinga orang lain lewat percakapan agresif, instrusi dalam ruang lewat gerakan menyolok, dan instrusi dalam hal-hal yang tidak diketahui lewat keingintahuan(Erikson, 1983). 20

Tahap inisiatif vs rasa bersalah, berlangsung pada masa prasekolah (3-6 tahun), ketika anak prasekoah memasuki dunia sosial yang luas, mereka dihadapkan pada tantangan baru yang menuntut mereka untuk mengembangkan perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan mampu bertanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan dan hewan peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah dapat muncul bila anak dianggap tidak bertanggung jawab dan menjdi merasa sangat cemas.21 Orang tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dalam proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara ini orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis pada tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan yang tidak rusak oleh rasa bersalah maupun larangan.22

d) Tahap Latensi - Semangat vs rendah diri (Industry vs Inferiority)

19

William Crain,

op.cit

h. 436

20

Ibid

., h.437

21

Santrock,

op.cit

., h. 26

(21)

Erikson mengatakan pada tahap ini anak belajar menguasai kemampuan kognitif sosial. Tahap ini berlangsung selama sekolah dasar (6-11 tahun). Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat dalam kontak pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih kemasa kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilanintelektual. Tidak adasaat lain yang lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada akhir periode pengembangan imajinasi pada kanak-kanak awal. Bahaya yang dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif23. Hal yang seperti ini yang kemudian diberikan solusi oleh Erikson melalui penguatan ego atau kompetensi yang merupakan sebuah latihan inteligensio dan kemampuan secaa beas dalam menyelesaikan tugas-tugas tanpa diganggu perasaan inferioritas yang berlebihan sebab menurutnya setiap anak itu berbeda dan unik.24

e) Tahap Pubertas – Identitas Vs Kebingungan identitas

Pada masa remaja (10-20 tahun) individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapa dirinya, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada peran-peran baru dan status oang dewasa, pekerjaan dan romantisme. Contohnya jika mereka menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan sampai pada suatu jalur yang positif, untuk diikuti dalam kehidupan, maka identitas positif yang akan dicapai. Jika tidak maka mereka akan mengalami kebingungan identitas.

Remaja hanya berpusat pada diri sendiri, lebih bergulat dengan bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, Merka jadi tertarik secara seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta,

23

Santrock

, loc.cit.

h

.

27

(22)

namn kedekatan itu seringkali hanya bertujuan untuk mendefinisikan dirinya saja.

f) Tahap Dewasa Muda – Intim Vs Isolasi (Intimacy Vs Isolation) Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah manusia memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan memperhatikan orang lain. Masa remaja sebelumnya memiliki hasrat seksual seperti jatuh cinta namun hanya untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Untuk menyongsong dewasa muda intinya adalah mencapai sebuah keintiman.

Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas paling masuk akal yang sudah dibangun selama masa ini. Tidak ada pasangan yang yang dapat mengalami sebuah keintiman total, maka kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut “cinta dewasa”, sebuah mutualisme kesetiaan yang sampai kapanpun bisa mengatasi antagonisme apapun diantara mereka berdua (Erikson 1964). Namun hanya orang yang merasa aman dengan identitasnya saja yang sanggup kehilangan dirinya dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bila anak muda begitu khawatir maskulinitasnya maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih baik, karena dia terlalu sadar diri, terlalu khawatir dengan bagaimana cara mebuktikan diri dan bagaimana cara menarik diri dengan bebas dan lembut dari pasangan seksualnya. Di tingkatan ini mereka yang gagal mencapai mutualitas akan mengalami isolasi

g) Tahap Dewasa - Generativitas Vs Stagnasi (Generativity Vs Stagnation)

(23)

ide-ide lewat kerja. Disisi lain ada juga banyak orang yang menikah tapi kekurangan semanngat berbagi ini . Di dalam kasus-kasus yang demikian pasangan ini seringkali muncul ke dalam pseudo keintiman (Erikson, 1959). Erikson sering melihat pasangan seperti ini terus menganalisis tanpa henti hubungan mereka untuk mencari seberapa banyak bisa memperoleh sesuatu dari pasangannya. Individu seperti ini lebih peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak mereka.

h) Tahap Usia Senja - Integritas Vs Keputusasaan (Integrity Vs Despair)

Erikson sangat menyadari bahwa banyak penyesuaian, fisik maupun sosial, harus dilakukan para lansia. Beliau meyadari fakta bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan penguatan batin di periode ini, sebuah pergulatan yang berpotensi untuk tumbuh bhkan mencapai kebijaksanaan . Erikson menyebut ini sebagai pergulatan integritas ego vs keputusasaan.

Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan semakin menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas ego kata Erikson sangat sulit didefenisikan namun mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan “penerimaan atas suratan tersebut, sebuah siklus yang harus terjadi dan niscaya dan tidak ada yang menggantikannnya...”(Erikson, 1963). Pergulatan batin ini cenderung membuat seorang lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan. Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan demi menemukan nilai dan makna hidup sewaktu menghadapi kematian (Erikson, 1976).

(24)

bahwa motivasi utama manusia pada hakekatnya bersifat seksual maka Erikson menganggap bahwa motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan orang lain. Menurut Freud kepribadian dasar manusia dibentuk dalam lima tahun pertama kehidupan, Erikson beranggapan perubahan dalam perkembangan berlangsung sepanjang masa hidup. Dengan demikian menyangkut pandangan mengenai pengenalan masa awal dan masa selanjutnya. Freud berpendapat bahwa pengalaman masa awla lebih penting dibandingkan pengalaman di masa selanjutnya. Sementara erikson menekankan pentingnya pengalmn dimasa awal maupun masa selanjutnya.

B. PERAN SEKOLAH DALAM MEMBUAT SOP KEAMANAN ANAK

Sebagaimana kita ketahui seksama bahwa Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.

(25)

ditegaskan bahwa pembinaan PAUD baik formal, nonformal maupun informal, menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI), yang secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini.

Meskipun selama ini berbagai kebijakan yang terkait dengan pembinaan PAUD telah ditetapkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat, namun pada kenyataannya belum semua anak terlayani PAUD dan diperkirakan hingga tahun 2010 dari 28,8 juta anak usia 0-6 tahun yang terlayani baru 53,7%. Masih rendahnya jumlah anak yang terlayani PAUD, antara lain disebabkan (1) belum semua orang tua dan masyarakat menyadari pentingnya PAUD, (2) masih terbatasnya jumlah lembaga PAUD, terutama di daerah-daerah pedesaan, daerah terpencil, dan daerah perbatasan, (3) tidak semua lembaga PAUD yang dapat memberikan layanan bagi anak-anak yang ada disekitarnya, dan (4) terbatasnya sarana, prasarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga PAUD. Berpijak dari kondisi tersebut di atas, dalam rangka mendukung keterjangkauan, ketersediaan, mutu/kualitas dan kesetaraan serta keterjaminan layanan PAUD diseluruh pelosok tanah air, berdasarkan hal tersebut

1. Membuat Kebijakan Tentang Lingkungan Sekolah yang Sehat Dan Aman Bagi Peserta Didik

(26)

kemampuan. Kebijakan tersebut harus menjamin dapat menciptakan sekolah yang sehat, aman dan lingkungan yang ramah. Sehingga anak dapat belajar karena mereka merasa aman. Melibatkan berbagai pihak terkait adalah cara terbaik untuk mengembangkan kebijakan sekolah tentang kesehatan. Tujuannya agar mereka memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan kegiatan yang dapat digunakan untuk mengadvokasikan kebijakan tentang kesehatan sekolah. Melaksanakan kebijakan untuk menjamin lingkungan belajar yang inklusif, melindungi, dan sehat memerlukan dukungan yang luas. Untuk memperoleh dukungan ini dimulai dengan advokasi, yaitu, mengembangkan pesan persuasif dan bermakna yang membuat para pengambil keputusan melihat bahwa kebijakan tersebut memang dibutuhkan. Berikut akan disajikan contoh kebijakan kesehatan dan perlindungan sekolah:25

No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolah 1 Kehamilan dini yang tidak

diinginkan dan konsekuensinya

 Memberikan kesempatan peserta didik yang hamil tetap bersekolah

 Melibatkan pendidikan kehidupan keluarga dalam kurikulum

 Melarang semua jenis diskriminasi

2 Sekolah Bebas Rokok dan Penyalahgunaan NAPZA

 Larangan merokok di lingkungan sekolah

 Larangan menjual rokok kepada anak

 Larangan adanya iklan dan

25 Focusing Resources on Efective Schooi Heaith. Core Intervention 1: Health

(27)

No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolah promosi rokok

 Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada bahaya penyalahgunaan NAPZA

3 Sanitasi dan Kesehatan  Pemisahan WC untuk guru lelaki dan perempuan dan juga untuk peserta didik laki-laki dan

perempuan.

 Penggunaan air bersih di semua sekolah

 Komitmen aktif dari Persatuan Guru dan Orang Tua serta

 Komite Sekolah untuk memelihara fasilitas air dan sanitasi

4 HIV dan AIDS dan Penyakit

Menular lainnya  Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan yang memfokuskan pada pencegahan HIV dan AIDS.

 Pemberdayaan teman sebaya dankonseling HIV dan AIDS di sekolah.

 Tidak ada diskriminasi kepada guru dan peserta didik yang mengidap HIV DAN AIDS dan penyakit menular lainnya

 Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada pencegahan dan bahaya penyakit menular lainnya.

 Adanya akses terhadap upaya pencegahan melalui media seksual itu dilarang di sekolah

 Sosialisasi perundangan agar

(28)

No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolah kaki lima di sekitar sekolah berkenaan dengan kualitas, kebersihan, dan stiker makanan yang dijual

2. Monitoring dan Evaluasi Tentang Kebijakan Sekolah

Beberapa alasan untuk menciptakan kebijakan sekolah untuk kesehatan yakni sekolah bekerja keras untuk memberikan pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan sebagai bekal kehidupan peserta didik. Tetapi sekolah akan ditinggalkan peserta didiknya jika sekolah kotor, fasilitas toilet tidak memadai atau tidak ada jaminan keamanan ketika peserta didiknya pergi dan pulang dari sekolah. Olehnya itu pengelolaan dana, waktu, dan sumber daya yang baik di sekolah merupakan investasi yang sangat penting, tetapi jika pengelolaan sumber daya pendidikan tersebut tidak baik, ini tidak menjadi jaminan bagi peserta didik untuk betah bersekolah di tempat tersebut.

(29)

mereka dapat membantu kita sekaligus mencarikan jalan keluarnya jika timbul penolakan atau kesalahpahaman yang mungkin muncul mengenai masalah kesehatan sekolah.

Cara lain yang bermanfaat untuk hal ini adalah dengan menciptakan suatu Komite Penasehat Kesehatan yang beranggotakan berbagai lapisan masyarakat. Olehnya itu kebijakan sekolah tentang kesehatan harus memberikan manfaat pada semua peserta didik dari berbagai kelompok masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik tampaknya yang paling banyak mendapat dukungan. Setelah kita mendapatkan dukungan untuk mengembangkan kebijakan kesehatan dan keamanan sekolah, langkah berikutnya adalah melaksanakan evaluasi dan monitor kebijakan sekolah tentang kesehatan (pedoman terlampir).

3. Mengatasi Kekerasan: Pemetaan Kekerasan dan Pelaksanaan Program di Sekolah

a. Pemetaan Kekerasan

Di sekolah, peserta didik yang berbeda latarbelakang maupun kemampuan rentan akan terjadi diskriminasi dan kekerasan, misalnya, upaya untuk menjauhkan mereka dari yang lain di dalam sekolah dan kadang-kadang di luar sekolah. Bahkan terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka-luka, kematian, gangguan psikologis, perkembangan fisik yang buruk atau kerugian. Ada tiga bentuk tindak kekerasan, yaitu:

Kekerasan terhadap diri sendiri: adalah perilaku membahayakan yang sengaja dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, termasuk upaya melakukan bunuh diri.

Kekerasan antarpribadi: adalah perilaku kekerasan antarindividu yang berakibat pada hubungan korban-pelaku, misalnya penghinaan dan pelecehan.

(30)

tujuan politik, ekonomi atau sosial. Contoh: konflik agama atau ras yang terjadi di antara kelompok, geng atau mafia.

Kemudian ditinjau dari sebab terjadinya Kekerasan: kekerasan di sekolah, keluarga, dan masyarakat berikut akan diuraikan beserta faktor-faktor yang melatarbelakanginya:

Faktor penyebab pada anak:

 Anak mempunyai kekurangan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya: sikap cara berfikir, kurang cakap berkomunikasi, dan sebagainya

 Penggunaan NAPZA

 Menyaksikan atau korban kekerasan antarpribadi; dan

 Adanya akses pada penggunaan pistol dan senjata tajam lainnya.

Faktor penyebab pada keluarga:

 Kurangnya kasih sayang dan dukungan orang tua

 Adanya kekerasan di rumah

 Hukuman fisik dan penyiksaan anak; dan

 Memiliki orang tua atau saudara kandung yang terlibat perilaku criminal

Faktor penyebab yang ada di masyarakat dan lingkungan lainnya:

 Ketidak setaraan ekonomi, urbanisasi dan terlalu padat

 Tingkat pengangguran yang tinggi pada generasi pemuda

 Pengaruh media

 Norma sosial mendukung perilaku kekerasan

 Ketersediaan senjata

(31)

dilecehkan dalam perjalanan ke sekolah, tapi pengaruhnya dibawa ke sekolah dan kelas.

Menentukan tingkat kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti dengan bertanya kepada peserta didik untuk menjawab kuisioner dan melibatkan mereka dalam diskusi kelompok atau melalui pemetaan. Tujuan pemetaan kekerasan di sekolah adalah untuk menentukan di mana dan kapan kekerasan terjadi, jenis kekerasan apa yang ada (merusak diri, antarpribadi, terorganisir), dan siapa yang biasanya menjadi korban dan pelaku. Proses pemetaan bisa menjadi alat berharga untuk memonitor dan mengontrol kekerasan, karena hal ini dapat :

1) Mendorong peserta didik, guru dan staf sekolah lainnya untuk mulai membicarakan tentang kekerasan di sekolah, yang dapat mengarah pada pembuatan kebijakan yang lebih efektif.

2) Membantu mengevaluasi program intervensi kekerasan yang dibuat untuk mendukung kebijakan melawan kekerasan di sekolah; dan meningkatkan keterlibatan sekolah dalam mengatasi timbulnya kekerasan lainnya.

(32)

Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dalam menghentikan kekerasan yang terjadi di sekolah juga dapat memperbaiki lingkungan masyarakat. Ini sangat penting, khususnya apabila kekerasan terjadi di luar lingkungan sekolah, seperti ketika anak datang atau pulang dari sekolah. Di sini, strategi pemetaan dapat digunakan untuk memetakan kekerasan di masyarakat dan di sekolah. Jenis pemetaan tersebut merupakan langkah pertama yang sangat bagus dalam menjalin kerja sama dengan anggota masyarakat, untuk mengidentifikasi mengapa lokasi tertentu menjadi tempat yang paling rawan kekerasan, untuk mencari solusinya, dan untuk melaksanakan program intervensi sekolah-masyarakat yang efektif.

b. Pelaksanaan Program; Indikasi Peserta Didik yang Dilecehkan Guru yang jeli dapat melihat gejala-gejala terjadinya kekerasan pada peserta didik. Di bawah ini sejumlah karakteristik eksternal yang diperlihatkan peserta didik. Namun ingat, bahwa beberapa gejala yang muncul mungkin perilaku normal untuk anak pada waktu itu. Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan kebiasaan pola perilaku anak agar mengetahui perilaku baru yang muncul, perilaku ekstrim atau kombinasi dari karakteristik berikut. Jika hal ini terbukti, anak harus cepat dirujuk untuk konseling dan diberi bantuan lainnya yang tepat (seperti akses terhadap layanan kesejahteraan sosial atau hukum). Berikut akan dijelaskan bagaimana mengidentifikasi anak yang dilecehkan (emosional dan fisik):

a. Akibat Anak yang dilecehkan:

 Takut akan hubungan antar pribadi atau terlalu mengalah/tunduk

 Menarik diri, agresif atau aktif secara abnormal (hiperaktif)

 Seringkali lesu atau mudah marah, memisahkan diri; atau

 Tidak ada rasa sayang atau terlalu menunjukkan rasa sayang (disalahartikan merayu).

(33)

 Memar, luka bakar, bekas luka/goresan, bilur, tulang patah, luka-luka yang terus ada atau tak ketahuan penyebabnya

 Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual; atau

 Luka, pendarahan, atau gatal-gatal di sekitar kelamin c. Perilaku dan Kebiasaan

 Mimpi buruk

 Takut pulang ke rumah atau ke tempat lain

 Takut berada dekat pada orang tertentu

 Kabur dari sekolah

 Suka berbohong

d. Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan umur:

 Mengisap jempol

 Aktivitas atau kesadaran seksual termasuk pelacuran

 Penyimpangan seksual

 Mengompol

 Penyalahgunaan alkohol atau zat lainnya

 Menyerang anak yang lebih muda; atau

 Memikul tanggung jawab orang dewasa e. Perilaku berkaitan dengan pendidikan:

 Rasa ingin tahu, imajinasi yang ekstrim

 Kegagalan akademis

 Tidur di kelas

 Ketidakmampuan berkonsentrasi

f. Indikator emosional

 Depresi

 Fobia (ketakutan yang berlebihan, misalnya takut kegelapan, takut toilet umum, dll.)

 Melukai diri sendiri

 Melukai atau membunuh binatang

(34)

Di bawah ini beberapa karakteristik anak yang rentan dan apa yang harus dilakukan untuk membantu peserta didik tersebut. Bagaimana mengidentifikasi dan membantu anak yang rentan kekerasan?

N

 Orang tua yang menyalahgunakan zat adiktif atau menderita gangguan mental

 Pengabaian

 Perilaku tak pantas atau agresif di kelas;

 Gagal atau kurang bertanggung jawab pada sekolah

 Kecakapan sosial yang terbatas

 Ikut teman yang menggunakan alkohol atau narkoba atau ikut serta dalam perilaku yang beresiko lainnya

 Status ekonomi yang rendah; atau Perilaku yang menunjukkan pemakaian narkoba, alkohol atau rokok pada usia dini.

 Ikatan keluarga yang kuat, keterlibatan keluarga dalam kehidupan anak

 Sukses di sekolah

 Kecakapan sosial yang baik

 Aktif dalam kegiatan masyarakat

setempatMembangun hubungan yang baik

 setidaknya dengan satu orang dewasa seperti guru

 Meningkatkan hubungan yang mendukung dan aman

 Hadir di sekolah secara teratur dan bermakna

 Mengembangkan kecakapan pribadi dan sosial

 Meningkatkan kecakapan akademis

 Membangun jaringan sosial yang suportif

 Mendorong nilai-nilai positif

 Mengajarkan pemahaman bagaimana mengakses informal

 Menyampaikan pemahaman bagaimana menunda keterlibatan penggunaan NAPZA atau perilaku beresiko lainnya

(35)

Berikut ini cara-cara yang dapat ditempuh mencegah tindak kekerasan di antara peserta didik:

N o

Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan

1 Buat peraturan yang tegas dan konsisten terhadap perilaku agresif 2 Didik peserta didik dengan pola perilaku yang sehat dan tanpa

kekerasan

3 Pelajari dan terapkan pola tanpa kekerasan untuk menegakkan kedisiplinan dan terus mengoreksi ketika anak berperilaku tidak pantas (menggunakan kedisiplinan/ hukuman fisik mengajarkan anak bahwa agresi merupakan bentuk kontrol yang benar).

4 Perlihatkan diri kita sebagai contoh panutan yang baik untuk mengatasi konflik tanpa kekerasan

5 Tingkatkan komunikasi yang baik dengan anak kita (seperti mau mendengarkan)

6 Laksanakan supervisi tentang keterlibatan anak yang berhubungan dengan media, sekolah, kelompok teman sebaya, dan organisasi masyarakat

7 Berikan harapan yang sesuai untuk semua anak.

8 Dorong dan puji anak ketika selesai membantu orang lain dalam memecahkan masalah tanpa kekerasan

9 Identifikasi masalah narkoba, alkohol atau zat adiktif lainnya

10 Ajarkan mekanisme yang tepat untuk mengatasi situasi krisis. 11 Minta bantuan dari para ahli (sebelum terlambat).

12 Arahkan upaya masyarakat untuk melakukan analisis kekerasan di sekolah dan masyarakat (seperti melalui pemetaan) dan untuk mengembangkan layanan dukungan berbasis masyarakat dan sekolah yang diimplementasikan secara efektif.

13 Berikan kesempatan anak untuk melatih kecakapan hidup (Life Skills) khususnya bagaimana memecahkan masalah tanpa kekerasan

5. Memberikan Kecakapan Hidup Kepada Anak; Upaya Pendidikan Kesehatan Berbasis Kecakapan (stimulasi pada perkembangan fisik dan kognitif anak)

(36)

Tetapi bagaimana pendidikan kesehatan berbasis kecakapan ini berbeda dengan pendekatan lain terhadap pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada perubahan perilaku kesehatan yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan kecakapan. Ini membantu anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak hanya belajar tentang itu) perilaku sehat. Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada perubahan perilaku kesehatan yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan kecakapan. Ini membantu anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak hanya belajar tentang itu) perilaku sehat.

Program pendidikan kesehatan berbasis kecakapan dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan hak peserta didik, sehingga cocok bagi kehidupan remaja sehari-hari. Keseimbangan dalam kurikulum, antara lain dalam hal: (i) pengetahuan dan informasi, (ii) sikap dan nilai, dan (iii) kecakapan hidup. Anak tidak hanya menjadi penerima informasi pasif, tetapi berpartisipasi aktif dalam belajar melalui metode belajar dan mengajar partisipatori. Dalam pendidikan kesehatan berbasis kecakapan, anak berpartisipasi dalam penyatuan pengalaman belajar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan kecakapan hidup. Kecakapan ini membantu anak belajar membuat keputusan yang baik dan melakukan tindakan positif agar mereka tetap sehat dan aman. Ini juga bisa menjadi pola sikap, berupa pemecahan masalah, atau cara berkomunikasi kesediaan dan perilaku yang membantu anak bekerja sama dengan sesama, khususnya mereka yang beragam latar belakang dan kemampuan.

(37)

berbasis kecakapan hidup. Istilah “kecakapan hidup” mengacu pada sekolompok besar kecakapan psiko-sosial antar pribadi yang dapat membantu anak membuat keputusan, berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kecakapan mengurus diri sehingga dapat membantu mereka menjalani kehidupan produktif dan sehat. Kecakapan hidup mungkin ditujukan pada pengembangan tindakan pribadi seseorang dan tindakan kepada orang lain, serta tindakan untuk mengubah lingkungan sekeliling agar kondusif untuk kesehatan.

Kecakapan hidup juga dihubungkan dengan pengembangan perilaku yang baik, misalnya kecakapan dalam mendengarkan orang lain. Ketika kita mendengarkan mereka, kita menunjukkan rasa hormat. Empat sikap yang paling penting untuk dikembangkan melalui pendidikan kesehatan berbasis kecakapan (pedoman terlampir):

1. Penghargaan diri seperti saya ingin bersih, bugar dan sehat. 2. Penghargaan diri dan percaya diri, seperti saya tahu saya bisa

mempengaruhi dan membuat perbedaan atas kesehatan keluarga saya, walaupun saya masih kecil.

3. Hargai orang lain seperti saya perlu mendengarkan orang lain, menghormati mereka dan kebiasaannya bahkan walaupun mereka berbeda atau walaupun saya tidak menyetujui mereka.

4. Peduli kepada orang lain, seperti saya melakukan yang terbaik untuk membantu orang, lebih sehat, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan saya.

6. Mengajarkan Kecakapan Hidup Pada Peserta Didik

Peserta didik dapat belajar kecakapan hidup jika kita menggunakan metode pengajaran yang memberi peluang peserta mempraktekkan kecakapan ini. Inilah sebabnya cara kita mengajar sama pentingnya dengan apa yang kita ajarkan. Berikut beberapa tips untuk pembelajaran kecakapan hidup yang aktif :

(38)

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk KeberhasilanMengajar 1. Bantu semua peserta didik untuk

terlibat, berbagi pengalaman dan berikan kesempatan berpendapat tentang topik kesehatan yang penting.

2. Bantu peserta didik belajar

berkomunikasi dengan orang lain dan mendengarkan orang lain ketika mereka berbagi

perasaannya

1. Bentuk kelompok kecil (5-7 peserta didik).

4. Pastikan tugasnya jelas dan kelompok mengetahui

2. Perkenalkan pada topik yang sulit dan sensitif.

2. Buat topik tersebut menarik dan dramatis.

4. Arahkan dari cerita ke kegiatan lain, seperti drama dan menggambar.

(39)

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk KeberhasilanMengajar

2. Libatkan peserta didik dalam demonstrasi praktis.

Pastikan keterlibatan guru sesedikit mungkin.

3. Minta mereka menjabarkan apa yang mereka lakukan dan alasannya kepada

1. Kembangkan semua jenis kecakapan berkomunikasi. 2. Izinkan peserta didik untuk

mengeksplorasi sikap dan perasaan, bahkan terhadap subjek yang sensitif seperti AIDS atau kecacatan.

3. Kembangkan percaya diri.

4. Arahkan kepada kegiatan yang

(40)

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk KeberhasilanMengajar

4. Arahkan dari drama atau wayang ke diskusi; misalnya, “Mengapa orang bertindak seperti ini? Apa yang akan terjadi nanti?”

6. Monitor perilaku mereka di luar kelas untuk melihat jika pesan tersebut telah

diresapi.

7. Dalam situasi yang sulit, dimana seorang anak diejek, dorong peserta didik untuk berpikir tentang apa yang terjadi dan cara untuk membantu anak.

7. Pengelolaan dan Pembelajaran di Taman Kanak- kanak

(41)

bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif peserta didik sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampumenghasilkan sesuatu untuk kepentingan drinya dan orang lain. Kreatif jiga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga berbagai tingkat kemampuan peserta didik. Menyenangkan dimaksudkan sebagai suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga peserta didik memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yng harus dicapai. Jika pembelajaran tersebut tidak ubahnya seperti bermain biasa. Pelaksanaan PAKEM di TK dapat digambarkan sebagai berikut 26:

1. Peserta didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada prinsip bermain sambil belajar

2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dengan berbagai cara pembelajaran (multimedia- multimethdo), termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan sesuai dengan perkembangan peserta didik.

3. Guru mengatur kelas seuai dengan kebutuhan pembelajaran melalui sudut sentra dan area

4. Guru mendorong peserta didik untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan masalah, untuk mengungkapkan gagasan dan melibatkan peserta didik melalui bimbingan guru.

Proses pembelajaran merupakan kegiatan utama di TK. TK diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik- teknik pembeljaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, dan kondisi setempat. Beberapa

26

I wayan AS,

Konsep Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Anak Usia Dini Formal

, (Jakarta: Az- Zahra

(42)

contoh pelaksanaan kewenangan pengelolaan proses pembelajaran antara lain;

1. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada peserta didik (students- centered learning)

2. Pengembangan pembelajaran yang berarti dan sesuai dengan lingkungan (contextual learning)

3. Pengoptimalan lingkungan dan sumber daya yang ada sebagai sumber belajar

4. Pengaturan ruang kelas, pengorganisasian peserta didik (klasikal, kelompok, dan individual), pengaturan alat/ sumber belajar, metode, model pembelajaran, serta penilaian yang komprehensif

5. Pengembangan pembelajaran yang mencakup berbagai bidang pengembangan, yaitu bahasa, kognitif, fisik- motorik, seni dan pengembangan pembiasaan, yaitu moral, kemandirian, sosial-emosional, dan lainnya.

6. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berbasis luas dan mendukung kecakapan hidup (broad- based education dan life skills) melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar.

9. Peran Serta Masyarakat di Taman Kanak-kanak, Partisipasi Dalam Peningkatan Kualitas TK

(43)

antara sekolah dan masyarakat terjadi hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam pasal 51 ayat 1 Undang- undang No 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa “ pengelolaan suatu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran melalui MBS dapat dilakukan dengan 3 komponen (1) Melaksanakan menejemen yang transparan, partisipatif dan akuntabel, (2) Melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, (3) Meningkatkan peran serta masyarakat.

Pada usia dini anak sedang melakukan adaptasi dengan lingkungan yang dialaminya dirumah dan lingkungan yang diikutinya disekolah. Dalam proses adaptasi ini sering muncul adanya permasalahan yang dapat mengganggu kelangsungan KBM. Karenanya diperlukan perlakuan dan kebijakan tertentu sehingga proses adaptasi dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat berjalan lancar. Kondisi tersebut mengharuskan guru menciptakan suasana yang menyenangkan serta lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang sudah akrab dengan anak. Hal tersebut menuntut guru untuk dapat memahami karakteristik dan latar belakang dari masing- masing anak sehingga dapat memberikan perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan disekolah lebih bersifat tidak formal sesuai dengan lingkungan alami, kekeluargaan, menyenangkan, serta banyak bermain, beberapa hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

(44)

investasi masa depan, d. Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik

2. Wujud partisipasi masyarakat terhadap TK dapat diwujudkan dalam berbagai jenis mulai dari yang tingkatan terendah sampai yang tertinggi, yaitu :

a. Menggunakan jasa pelayanan TK yang tersedia, yaitu masyarakat bersedia menyekolahkan anaknya ke TK

b. Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga

c. Peran serta secara pasif, yaitu menyetujui dan menerima keputusan sekolah (komite TK)

d. Masyarakat, termasuk orang tua peserta didik bekerjasama dengan guru dan kepala TK merencanakan pengembangan TK mereka, dan memantau penggunaan sumber daya di TK.

Pembelajaran di TK tidak cukup hanya dilakukan oleh guru, tetapi peran serta orang tua di rumah juga sangat menetukan dalam membantu pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru. Dengan demikian, kerjasama yang baik antara guru, orang tua, dan masyarakat penting untuk dijalin secara efektif agar pembelajaran yang dilaksanakan dapat berhasil dan mencapai target yang diharapkan. Komite taman kanak-kanak juga ikut terlibat dalam membantu taman kanak-kanak-kanak-kanak juga ikut terlibat dalam membantu penciptaan suasana fisik maupun psikis yang menyenangkan kemudian menunjang berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Kepala TK sebagai pemimpin di sekolah hendaknya juga dapat memberikan perhatian yang lebih serius dengan memberikan kebijakan khusus, karena pembeljaran di TK merupakan pondasi yang menentukan keberhasilan pembeljaran pada tingkat yang lebih tinggi. Pengawas dan pengembang professional juga dapat membantu guru dalam menyediakan dukungan professional di TK, khususnya dalam konteks pendampingan pembelajaran (on the job training)

(45)

Pendidikan seks untuk anak usia dini kembali menjadi sorotan akibat dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan. Kasus demi kasus terungkap, bagaikan fenomena gunung es yang tiba-tiba runtuh dan membuat semua orang terkejut. Kasus tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan masyarakat dengan pelaku adalah orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan bagi anak. Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa dan data yang ada di pusat-pusat pelayanan anak.

Salah satu yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang-orang yang bergelut pada pendidikan anak usia dini adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mengubah paradigma berfikir mereka. Pola fikir yang harus di ubah adalah pendidikan seks untuk anak usia dini bukan hal yang tabu lagi tetapi hal yang perlu. Banyak pihak, terutama para orangtua meyakini bahwa insting seksual tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa pubertas. Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip kehidupan seksual pada anak dapat berakibat negatif terhadap perkembangan peran seks anak, dan terhadap sikap perilaku anak usia dini. Kajian mendalam mengenai kehidupan seksual selama masa anak-anak akan mampu menunjukkan kepada kita bagaimana proses pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan peran seks nya.

(46)

bertanya kepada orang tua atau guru tentang seks, dan ia tidak mendapat jawaban maka dia akan mencari informasi sendiri melalui media, hal ini sangat berbahaya.

Berbagai pertanyaan yang dikemukakan oleh anak berkaitan dengan seksualitas biasanya dimulai dari perbedaan jenis kelamin antara dirinya dengan teman sebayanya, dan dengan orang tua nya. Rasa ingin tahu anak dan kebutuhan eksplorasi yang tinggi pada anak membuat pertanyaan anak semakin bertambah kompleks. Anak mulai bertanya tentang fungsi alat kelaminnya, proses kelahiran bayi, proses munculnya bayi di dalam perut Ibu, mengapa laki-laki dan perempuan harus menikah, dan apakah seorang Ibu dapat memiliki bayi apabila tidak menikah.

Pada saat anak memperoleh jawaban yang benar, ilmiah, dan dapat memuaskan rasa ingin tahu anak, anak akan memiliki pijakan yang benar untuk memilih tindakan yang benar nantinya, dan menyadari konsekuensi dari tindakan yang ia pilih. Jawaban yang tidak realistis, dan abstrak akan sulit dipahami anak. Anak tidak memperoleh kepuasan akan rasa ingin tahu nya. Mereka akan berusaha mencari jawaban yang benar melalui teman sebaya, melalui media, dan melalui tindakan eksplorasi genital yang tidak terkontrol. Anak juga dapat melakukan berbagai tindak eksperimen dengan dirinya sendiri ataupun teman sepermainannya, tanpa sepengetahuan orangtua.

Sikap orangtua yang kaku menghadapi pertanyaan anak dan perilaku seks anak di usia dini dapat membawa akibat yang buruk. Sikap keras dan otoriter orangtua yang cenderung menghardik atau membentak pada saat anak bertanya atau melakukan eksplorasi seksual dapat membuat anak merasa malu dan merasa bersalah, sehingga anak mengembangkan berbagai macam persepsi yang keliru tentang seks. Dibutuhkan proses upaya penanganan yang serius dan berkesinambungan, dan ini dapat dilakukan melalui penerapan pendidikan seks bagi anak dalam Pendidikan Anak Usia Dini.

(47)

kekerasan seksual yang mengancam anak. Masyarakat harus diberi pemahaman apa saja tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual terhadap anak. Orang tua dan guru juga harus mengajarkan tindakan-tindakan pencegahan yang dapat dilakukan anak untuk menghindari pelecehan seksual.

Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan kemajuan budaya dan IPTEK, perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Seseorang akan cenderung berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan hidup.

Bagi mereka yang memiliki keahlian dibidang tertentu dan ditunjang dengan tingkat pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat ekonomi yang lebih terjamin karena mereka dapat memperoleh pekerjaan berdasarkan keahlian yang dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki keahlian tertentu. Mereka cenderung memiliki tingkat ekonomi yang menengah ke bawah. Seiring kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus bertambah sedangkan di sisi lain perekonomian mereka semakin terpuruk.

Membicarakan perbuatan pidana tidak lepas dengan akibat-akibat yang di timbulkan di tengah masyarakat, baik akibat-akibat terhadap individu maupun kelompok akibat-akibat yang di timbulkan ini menjadi tolak ukur suatu modus dari perbuatan pidana, apakah perbuatan pidana itu merupakan kejahatan atau pelanggaran.Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.27

27

Yesmii Anwar Andang,

Kriminologi

, Refka Aditama,

Referensi

Dokumen terkait

Mesin pengendali gulma ini adalah redesain dari hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat (IbM) tahun 2015, perancangan ulang yang dilakukan meliputi membenahan terhadap

Perencanaan juga memperjelas akibat dan berbagai tindakan yang mungkin dilakukan oleh para manajer dalam rangka menanggapi perubahan, walaupun perencanaan tidak dapat menghapus

Penelitian ini mengkaji struktur tegakan dan serapan karbon di Hutan Sekunder Tua (HST), Hutan Sekunder Muda (HSM), dan Hutan Belukar Tua (HBT) di Kawasan Lindung

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran Example Non Example lebih baik dari hasil

setiap hari, untuk anaknya ketika masih di bangku sekolah dasar suamiselalu menanyakan kabar mereka kepada istri, dan berkomunikasi langsung dengan anak-anak

Hasil uji t diketahui variabel promosi jabatan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja atau karena t.sig (0,000) lebih kecil dari 0,05 ( ) maka

Kelas situs gempa kota Surakarta akan ditentukan berdasarkan data bor dalam yang ada di wilayah Surakarta dari arsip Laboratorium Mekanika Tanah Universitas Sebelas

atas menunjukkan bahwa Leverage tidak berpengaruh terhadap Timeliness Absolut Riil, ini ditunjukkan oleh nilai sig statistiknya 0,788 yang lebih besar dari 0,05