• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Praktik Hukuman Mati di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan dan Praktik Hukuman Mati di"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN DAN PRAKTIK HUKUMAN MATI DI INDONESIA

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Kepolisian (FT1212B) dosen pengampu H. Suhermanudin, SH., M.Si.

disusun oleh:

Deni Efendi NPM 41155030150067

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS LANGLANGBUANA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, November 2015

(3)

ABSTRAK

Hukuman mati memang merupakan salah satu aspek dalam hukum pidana Nasional, namun hukuman mati sendiri merupakan suatu bentuk pengikaran terhadap hak untuk hidup yang diatur dalam hukum Internasional. Berita penghapusan hukuman mati terlihat dari berbagai produk hukum Internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan hukuman mati.

Masalah pidana mati merupakan salah satu masalah yang berskala Nasional maupun Internasional yang menimbulkan pro dan kontra dalam

kehidupan masyarakat. Pidana mati merupakan pidana yang paling keras dalam sistem pemidanaan. Dengan pidana mati, diperlukan karena dapat menimbulkan efek jera yang luar biasa bagi penjahat. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam memutuskan pidana mati ada banyak pertimbangan yang dilakukan oleh hakim, diantaranya dilihat dari pertimbangan secara hukum, aturan-aturan, unsur-unsur dari aturan dan dilihat dari aspek keagamaan serta kepercayaan.

Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana perkembangan, teori pendukung, dasar hukum dan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia serta bagaimana benturan hukuman mati dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Pengkajian ... 2

D. Manfaat Pengkajian ... 3

II. PEMBAHASAN ... 4

A. Sejarah Hukuman Mati di Indonesia ... 6

B. Teori Pendukung dan Dasar Hukum Pidana Mati di Indonesia ... 7

1. Teori Pendukung ... 7

2. Dasar Hukum ... 8

C. Efektivitas Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukuman di Indonesia ... 12

D. Benturan Antara Pelaksanaan Hukuman Mati dan HAM ... 15

III. PENUTUP ... 19

A. Kesimpulan ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

LAMPIRAN ... 21

(5)

DAFTAR GAMBAR

GambarII.1. Hukuman Mati Keji ... i

GambarII.2. Metode eksekusi Mati saat Revolusi Prancis “Guilotine” ... i

GambarII.3. Eksekusi Mati di Inggris dengan cara digantung... i

GambarII.4. Eksekusi Mati di Amerika Serikat tahun ±1800 ... i

(6)

I. PENDAHULUAN

Salah satu fungsi hukum adalah membimbing perilaku manusia. Sebagai pedoman ia juga bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau sikap tindak dan untuk itu ia didukung dengan sanksi negatif yang berua hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh karena itu, hukum juga merupakan salah satu sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum, dia akan memperoleh hukuman (pidana). Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah pidana mati.

A. Latar Belakang

Konsisten penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang kontroversial, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum maupun masyarakat sendiri. Karena dirasa melanggar hak yang paling mendasar bagi manusia yaitu hak untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Hukuman mati merupakan jenis pidana yang terberat dibandingkan dengan pidana lainnya, karena dengan pidana

mati terenggut nyawa manusia untuk mempertahankan hidupnya.

(7)

Akhir-akhir ini media massa sibuk menyiarkan berita bertalian dengan eksekusi pidana mati. Ada yang pro ada pula yang kontra. Sesungguhnya kontroversi tentang pidana mati sudah mulai lebih kurang sejak abad ke-17. Pada waktu itu di Inggris si pencopet, bahkan anak baru gede yang mencuri sendok teh pun dipidana mati.

Hingga saat ini secara legal dalam Hukum Pidana Indonesia masih diberlakukan pidana mati bagi delik pidana tertentu biarpun sudah banyak nega yang tidak lagi menerapkannya karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan zaman, serta tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Biarpun bertahan hingga sekarang, bukan berarti tidak ada kontroversi mengenai penerapan pidana mati tersebut.

Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra [2] mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan Menteri Kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar. [3]

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Hukuman Mati di Indonesia?

2. Bagaimana teori dan dasar hukum Hukuman Mati di Indonesia?

3. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Hukuman Mati sebagai upaya penegakan supremasi hukum di Indonesia?

4. Bagaimanakah benturan antara pelaksanaan Hukuman Mati dan HAM ?

C. Tujuan Pengkajian

1. Mengetahui perkembangan dan kondisi tindak pidana Hukuman Mati di Indonesia;

2. Mengetahui tata cara pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia;

(8)

D. Manfaat Pengkajian

Penyelesaian kontroversi pidana hukuman mati dengan menggunakan kajian kebijakan hukuman pidana, berdasarkan kajian dari HAM, kebudayaan masyarakat serta kultur dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

1. Secara Teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan tata pelaksanaan hukuman mati di Indonesia;

b. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

2. Secara Praktis

(9)

II. PEMBAHASAN

Pidana mati berartian sebuah hukuman pidana atas tindak pidana berat yang mengharuskan seorang terpidana mengalami hukuman mati yang berbentuk hukuman gantung, tembak dan lain-lain. Dalam tatanan KUHP Indonesia kiranya tertulis dan telah diundangkan sebagai salah satu hukuman pidana.

Sangat susah untuk mengetahui dengan tepat kapan pertama kali hukuman mati dilakukan. Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya Undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 sebelum masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Misalnya saja di Kerajaan Yunani di abad ke-7 sebelum masehi, hukuman mati berlaku untuk semua tindak pidana. [4]

Cara eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Pada masyarakat komunal, hukuman mati diterapkan dengan amat keji seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam, atau dengan diinjak gajah. Pada periode ini hukuman mati sangat bervariasi di setiap tempat. Pada umumnya eksekusi dilakukan untuk menjadi tontonan publik. Pada periode ini pelaku kejahatan ringan seperti mencopet pun bisa dihukum mati. [4]

GambarII.1. Hukuman Mati Keji : (1)Dikubur hidup-hidup, (2)Dibakar hidup-hidup, (3)Hukuman Pancung, (4)Dirajam,

(10)

GambarII.2. Metode eksekusi Mati saat Revolusi Prancis “Guilotine”

Pada akhir abad ke-18 hukuman mati didepan publik dinilai tidak lagi manusiawi. Saat itu para ahli hukum pidana mulai mencari cara eksekusi yang lebih “manusiawi”. Salah satu metode eksekusi yang lebih manusiawi digunakan saat Revolusi Prancis dengan alat bernama Guilotine, semacam pisau raksasa untuk memenggal leher terpidana. [4]

Pada saat yang sama Inggris menerapkan hukuman gantung. Cara eksekusi seperti ini dinilai lebih manusiawi dibanding cara sebelumnya. [4]

Amerika Serikat pada tahun ±1800 juga mengembangkan cara eksekusi yang lebih manusiawi, yakni dengan kursi listrik, suntik mati dan kamar gas. Cara seperti ini dinilai manusiawi karena terpidana tidak mengalami pendarahan yang secara visual mengerikan. Sebelumnya eksekusi di Amerika Serikat juga dilakukan dengan hukum gantung dan hukum pancung. [4]

(11)

GambarII.5. Eksekusi di China dengan cara Tembak Mati

Di Republik Rakyat China eksekusi tembak mati didepan publik masih diterapkan, terutama untuk para koruptor. Eksekusi dilakukan oleh regu tembak. [4]

A. Sejarah Hukuman Mati di Indonesia

Di Indonesia Hukuman Mati sudah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit. Bahkan jauh sebelum itu, di Indonesia sudah dikenal hukuman mati yang diberlakukan oleh raja-raja nusantara untuk menegakkan ketertiban wilayah kekuasannya.

Dalam bukunya, ancaman hukuman mati terhadap Pembunuhan Berencana, Prof J.E. Sahetapy, mengutip sebuah dokumen masa lalu berbahasa Belanda yang berkisah tentang prosesi hukuman mati di Bali. Dikisahkan bahwa, suatu pagi habis subuh (sekitar pukul 06.00), empat laki-laki dengan kepala diikat kain putih digiring ke sebuah halaman. Mereka adalah terpidana mati yang akan segera

menjalani eksekusi disebuah lokasi di Bali pada zaman kolonial (tahun1800-an). Empat laki-laki yang berasal dari kasta sudra itu dipidana mati karena melakukan pembunuhan berencana (walad pati). [5]

(12)

memperingkas prosesi kematiannya. Semua prosesi menyeramkan itu digelar di depan tiga terpidana lain yang menunggu giliran. [5]

Kisah di atas mengindikasikan bahwa hukuman mati sebenarnya sudah dikenal di nusantara sejak berabad-abad silam. Bahkan prosesi hukuman mati itu tak kalah menakutkan dibanding jenis-jenis hukuman mati di peradaban lain, seperti disalib, gantung, pancung kepala, dibakar, atau dirajam. Hukuman mati di masa kolonial, bisa dianggap seperti “seni tersendiri”, saking bervariasinya. [5]

Di Aceh, misalnya, berlaku hukuman mati bagi istri yang berzina. Sultan yang berkuasa bisa menjatuhkan lima jenis hukuman, termasuk hukuman mati. Caranya? Tinggal pilih: dilempar lembing sampai kepala ditumbuk di dalam lesung (sroh). Sementara di pedalaman Toraja, pelaku inses dipersilakan mengambil dua opsi hukuman: dicekik sampai mati atau dimasukkan ke dalam rotan yang diberi batu pemberat lalu dilempar ke laut. [5]

Pada masa penjajahan Belanda mulailah hukuman mati diperkuat dan dikenalkan secara menyeluruh oleh pemerintah Belanda kepada masyarakat Indonesia dengan mengundangkan dan mencantumkan hukuman pidana mati dalam kitab Undang-undang. [6]

Dalam KUHP Indonesia tercantum hukuman pidana mati yang sekiranya telah ditetapkan sebagai suatu pidana pokok meskipun sekarang sedang diproses

kembali oleh pemerintah atas penetapan hukuman mati sebagai pidana pokok, akan tetapi dalam tinajauan yang sebenarnya pidana mati mungkin perlu dikarenakan dapat menjerakan dan menekan serta menakut-nakuti masyarakat dan penjahat serta relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat. [6]

B. Teori Pendukung dan Dasar Hukum Hukuman Mati di Indonesia.

1. Teori Pendukung

Beberapa teori yang mendukung hukuman mati antara lain adalah teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. [7]

(13)

b. Teori Relatif : Teori relatif memandang bahwa pidana hukuman tergantung kepada efek yang akan dihasilkan dari penjatuhan hukuman pidana tersebut. Teori ini mengacu kepada pandangan Feurbach yang menegaskan bahwa penjeraan bukan melalui pidana, tetapi melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. [7]

c. Teori Gabungan : Pada teori yang dimotori oleh Thomas Aquinas ini membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika suatu negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan tujuan terciptanya kepuasan nurani masyarakat dan pemberian rasa aman. [7]

2. Dasar Hukum

Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:

a. Pidana pokok:

1) Pencabutan beberapa hak yang tertentu 2) Perampasan barang yang tertentu 3) Pengumuman keputusan Hakim

Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.

Roeslan Saleh dalam bukunya “Stelsel Pidana Indonesia” mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :

a) Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden) [8]

b) Pasal 111 ayat (2) (membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang) [8]

(14)

d) Pasal 140 ayat (3) (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) [8]

e) Pasal 340 (pembunuhan berencana) [8]

f) Pasal 365 ayat (4) (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) [8]

g) Pasal 368 ayat (2) (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) [8]

h) Pasal 444 (pembajakan dilaut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian). [8]

Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain : [9]

(1) Pasal 2 Undang-undang No.5 (PNPS) tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. [9]

(2) Pasal 2 Undang-undang No.21 (Prp) tahun 2959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi. [9]

(3) Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat No.12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak. [9]

(4) Pasal 13 Undang-undang No.11 (PNPS) tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. [9]

(5) Pasal 23 Undang-undang No.31 tahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom. [9]

(6) Pasal 36 ayat (4) sub B Undang-undang No.9 tahun 1976 tentang narkotika. [9] (7) Undang-undang No.4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. [9]

(15)

sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan Negara dan kepentingan korban tindak pidana. [9]

Dengan demikian maka yang paling tepat secara intergral hukum pidana harus melindungi berbagai kepentingan diatas, sehingga hukum pidana yang dianut harus daad-daderstafrecht. Gambaran tentang penerapan teori integrative dalam pemidanaan Nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru. Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia termasuk kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto. Masalahnya adalah bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis dan kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang di Indonesia yang masing-masing jumlahnya sangat banyak. [9]

Sehubungan dengan kenyataan diatas, konsep rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional. Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis. [9]

Dalam konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam

tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain :

(a) Pasal 164 tentang menentang ideology Negara Pancasila : Barang siapa melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan menentang ideology Negara Pancasila atau Undang-undang Dasar 1945 dengan maksud mengubah bentuk Negara atau susunan pemerintah sehingga berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun. [9]

(b) Pasal 167 tentang makar untuk membunuh Presiden dan Wakil Presiden. [9] (c) Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh. [9]

(d) Pasal 269 tentang terorisme. [9]

(16)

kepada hakim dalam rangka mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang samasekali sulit dibuktikan. Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat. [9]

Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :

a. Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;

b. Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;

c. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;

d. Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh; e. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan

Penolakan Grasi oleh Presiden;

f. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar,

terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, ada alasan meringankan.

g. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.

h. Jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

(17)

maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman.

C. Efektivitas Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia.

Sekalipun telah memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan; hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah pendudukan Jepang). Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui penetapan Presiden No.2

tahun 1964 ini juga melalui lembaran negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi undang-undang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh sorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI. Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu detik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat kerana pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum untuk dilihat oleh khayalan ramai.

(18)

rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana sacara alternatife. (pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapakan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusu dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang berdasakan KUHP dalam (Wetboek van strafrecht).

Berikut adalah beberapa uraian yang dapat menjelaskan tentang bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman mati di Indonesia : [10]

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia belum menunjukkan sistem peradian independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang slah. Kasus hukuman mati sengkon dan karta pada tahun 1980 lalu di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan selalu bisa salah. [10] 2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian limiah hukuman mati akan

(19)

melibatkan dua perwira aparat kepolisian; komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. Angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39.36 persen jika dengan dibandingkan dengan kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 polda metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1,338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan dimasa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan redikalisme an militansi para pelaku. Sampai ssat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhit bkali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh didri di Bali. Satu pernyatan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Ausralia, Jakarta (9 september 2004). Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005: [10]

“saya tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di jatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasrkan hukum setan, bukan hukum Alla. Kalaupun saya du hukum mati, berarti saya mati syahid”.[10]

Sikap ini juga ditunjukan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penerapan hukum mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini. [10]

(20)

hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. [10]

4. Penerapan hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati karena sesuai dengan hukum positif indonesia. Pada hal semnjak era roformasi/transisi politik berlajan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua)menyatakan : [10]

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bartentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati. [10]

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih

kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya baru-baru ini. [10]

D. Benturan Antara Pelaksanaan Hukuman Mati dan HAM

(21)

pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian ini memberikan hak untuk mencari “pengampunan atau keringanan hukuman” dan melarang pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang. [10]

Ada beberapa uraian yang menjelaskan benturan antara pelaksanaan hukuman mati dan hak asasi manusia, antara lain : [10]

1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tertanggal 10 Desember 1984. Interpretasi ini didasari pada argumen bahwa seorang terpidana mati yang sedang menghadapi eksekusi akan mengalami tekanan mental/psikis yang luar biasa yang menjadi cakupan Konvensi Anti Penyiksaan ini. [10]

2. Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convension on

the Rights of the Child, Pasal 37 (a) yang menyatakan “Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusia atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun.”[10]

3. Komite HAM juga melarang penggunaa hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishment. [10]

(22)

internasional meskipun juridiksinya mengcakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of Internasional Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statute of Internasional Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR). [10]

5. Pada 11 desember tahun 1977 Deklarasi Stokholm, Amnesti Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati diseluruh dunia. Terhukum mengetahui bahwa “his death will be in a ritualized killing by other people, symbolyzing his ultimate rejection by the members of his community” (Jonathan Glover). Dan hal itu merupakan suatu ”additional horror” bagi terhukum. Karena itu, bagi banyak orang pada saat sekarang, hukuman mati itu dirasakan sebagai “a horrible business of a long premeditated killing”.[10] Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut. Seorang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti kententuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan dimata Tuhan.”[10]

Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari

kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidana mati pernah menulis bahwa “in order to rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menujukan rasa simpati teradap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara medis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu dirivisi, sehingga mengurangi mengurangi rasa sakit pidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan. [10]

(23)

sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur. [10]

Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakan.”[10]

Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pendegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada masyarakat

(24)

III. PENUTUP A. Kesimpulan

Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya. Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.

Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.

Dapat di tarik kesimpulan bahwa pidana mati merupakan suatu keharusan untuk sistem hukum pidana di Indonesia dikarenakan dengan adanya hukum pidana mati dapat membawa efek yang positif terhadap system tatanan hukum di Indonesia serta dapat menjunjung tinggi kewibawaan hukum Indonesia karena dapat bertindak tegass pada para pelaku tindak pidana

(25)

DAFTAR PUSTAKA

[1] KontraS. (2007, Oktober) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. [Online]. http://www.kontras.org/

[2] -, "Hukuman Mati," Universitas Sumatera Utara, -, Skripsi -, -.

[3] Sahetapy. J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta, -: Cv Rajawali, 1982.

[4] Beny Nasrul. (2012, Agustus) Indoteen Cooperations. [Online]. http://aways92.blogspot.co.id/2012/08/sangat-susah-untuk-mengetahui-dengan.html

[5] Hukman Reni, Legenda Hukuman Mati, 2nd ed. Indonesia.

[6] Hari Cahyono. (2011, November) Hari Cahyono. [Online]. http://harrylheya.blogspot.co.id/2011/11/makalah-hukum-pidana-mati.html

[7] Alit Amarta Ardi. (2015, Juni) Kompasiana. [Online]. http://www.kompasiana.com/alit.amarta/kajian-filosofis-tentang-hukuman-mati-di-indonesia_55002e04a33311e07250ff3c

[8] Wetboek van Strafrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Indonesia, 1946.

[9] Syahrudin Husein, "Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia," Jurnal Ilmiah, pp. 4-8.

(26)

LAMPIRAN A. Mereka yang telah di eksekusi.

Tahun Hukuman Mati yang dilaksanakan Kasus PN

2015 Andrew Chan (Australia) Narkoba (Bali)

Myuran Sukumaran (Australia) Narkoba (Bali)

Rodrigo Gularte (Brasil) Narkoba (Banten)

Silvester Obiekwe Nwolise alias Mustofa

(Nigeria) Narkoba (Banten)

Okwudili Oyatanze (Nigeria) Narkoba (Banten)

Stephanus Jamio Owolabi Abashin alias

Raheem Agbaje Salami (Nigeria) Narkoba (Banten) Martin Anderson alias Belo (Nigeria) Narkoba (Banten)

Zainal Abidin (Indonesia) Narkoba (Sumsel)

Rani Andriani Narkoba (Banten)

Namaona Denis (Malawi) Narkoba (Banten)

Ang Kim Soe (alias Kim Ho alias Ance

Thahir alias Tommi Wijaya) (Belanda) Narkoba (Banten) Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil) Narkoba (Banten) M. Adami Wilson alias Abu (Malawi) Narkoba (Banten) Tran Thi Bich Hanh (Vietnam) Narkoba (Jateng) 2014 Tidak ada

2013 Muhammad Abdul Hafeez (Pakistan) Narkoba (Banten)

Suryadi Swabuana alias Adi Kumis Pembunuhan Berencana (Sumsel)

Jurit bin Abdullah Pembunuhan Berencana

(Sumsel)

Ibrahim bin Ujang Pembunuhan Berencana

(Sumsel)

Daniel Enemo (Nigeria) Narkoba (Banten)

2012 Tidak ada 2011 Tidak ada 2010 Tidak ada 2009 Tidak ada

2008 Amrozi Terorisme (Jateng)

Imam Samudera Terorisme (Jateng)

Muklas Terorisme (Jateng)

Rio Alex Bullo Pembunuhan Berencana (NTT)

Usep alias TB Yusuf Maulana Pembunuhan Berencana (Banten)

Sumiarsih Pembunuhan Berencana (Jatim)

(27)

Tahun Hukuman Mati yang dilaksanakan Kasus PN

Ahmad Suraji alias Dukun AS Pembunuhan Berencana (Sumut) Samuel Iwuchukuwu Okoye (Nigeria) Narkoba (Banten) Hansen Anthony Nwaliosa (Nigeria) Narkoba (Banten)

2007 Ayub Bulubili Pembunuhan Berencana

(Kalteng) -

2006 Fabianus Tibo Pembunuhan Berencana

(Sulteng) 16

Marinus Riwu Pembunuhan Berencana

(Sulteng)

Dominggus Dasilva Pembunuhan Berencana

(Sulteng)

2005 Astini Pembunuhan Berencana (Jatim) 10

Turmudi Pembunuhan Berencana (Jambi)

2004 Ayodya Prasad Chaubey (India) Narkoba (Sumatera Utara) 5

Saelow Prasad (India) Narkoba (Sumatera Utara)

Namsong Sirilak (Thailand) Narkoba (Sumatera Utara)

2003 Tidak ada 6

2002 Tidak ada 7

2001 Gerson Pande Pembunuhan (Nusa Tenggara

Timur) 16

Fredrik Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara

Timur)

Dance Soru Pembunuhan (Nusa Tenggara

Timur)

2000 Tidak ada 10

1999 Tidak ada ?

1998 Adi Saputra Pembunuhan (Jatim) 1

1997 Tidak ada 2

1990 Satar Suryanto Kejahatan politik (kasus 1965) 3

Yohannes Surono Kejahatan politik (kasus 1965)

(28)

Tahun Hukuman Mati yang dilaksanakan Kasus PN

1989 Tohong Harahap Kejahatan politik (kasus 1965) 4

Mochtar Effendi Sirait Kejahatan politik (kasus 1965)

1988 Abdullah Umar Kejahatan politik (aktivis Islam) 4

Bambang Sispoyo Kejahatan politik (aktivis Islam)

Sukarjo Kejahatan politik (kasus 1965)

Giyadi Wignyosuharjo Kejahatan politik (kasus 1965)

1987 Liong Wie Tong alias Lazarus Pembunuhan (?) 22

Tan Tiang Tjoen Pembunuhan (?)

Sukarman Kejahatan politik (kasus 1965)

1986 Maman Kusmayadi Kejahatan politik (aktivis Islam) 1

Syam alias Kamaruzaman alias Achmed

Mubaudah Kejahatan politik (kasus 1965)

Supono Marsudidjojo alias Pono Kejahatan politik (kasus 1965) Mulyono alias Waluyo alias Bono Kejahatan politik (kasus 1965)

Amar Hanefiah Kejahatan politik (kasus 1965)

Wirjoatmodjo alias Jono alias Tak Tanti Kejahatan politik (kasus 1965)

Kamil Kejahatan politik (kasus 1965)

Abdulah Alihamy alias Suparmin Kejahatan politik (kasus 1965)

Sudijono Kejahatan politik (kasus 1965)

Tamuri Hidayat Kejahatan politik (kasus 1965)

1985 Salman Hafidz Terorisme 1

Mohamad Munir Kejahatan politik (kasus 1965)

Djoko Untung Kejahatan politik (kasus 1965)

Gatot Lestario Kejahatan politik (kasus 1965)

Rustomo Kejahatan politik (kasus 1965)

1984 Tidak ada ?

1983 Imron bin Mohammed Zein Terorisme

1982 Tidak ada 1

1980 Hengky Tupanwael Pembunuhan (?)

Kusni Kasdut Pembunuhan (?)

1979 Oesin Batfari Pembunuhan (?)

Keterangan :

PN : Vonis Mati yang di Keluarkan

Sumber: Litbang KontraS (April, 2015). Data ini mungkin tidak akurat mengingat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, untuk membantu individu atau perusahaan yang secara online menjual sayuran dan buah dapat memahami perilaku konsumen maka

Menganalis pengaruh GDP per kapita, persentase penduduk usia muda (0-14 tahun), persentase penduduk yang memiliki akses sanitasi, dan persentase konsumsi produk

Agar suatu proyek dapat dibiayai oleh PPP, proyek yang dibiayai oleh kerjasama Pemerintah dan Swasta, maka proyek tersebut harus merupakan proyek seperti yang tercantum pada

Koleksi darah untuk pemeriksaan estrogen dilakukan ketika sapi memperlihatkan gejala berahi (saat inseminasi) setelah pemberian PMSG dan FSH yang diikuti dengan pemberian

Pengaplikasian standar peneapan hygene dan sanitasi di kitchen sundara Four Season Resort at Jimbaran Bay ternayata belum secara sempurna diteapkan oleh para karyawan

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan potensi dan ketersediaan bahan pangan lokal sumber karbohidrat non beras, yang meliputi : jenis sumber pangan

Selama kurun waktu tahun 1979 -1984, seba- gian besar rumah tangga di perkotaan mengkon- sumsi jagung lebih tinggi dari tahun sebelumnya, sebaliknya untuk tahun 1984 -1987,

Fenomena ini semakin menguatkan bahwa metode usulan lebih kuat dalam menghadapi tingkat noise yang lebih tinggii dibandingkan metode AntShrink, selain itu muncul kondisi