• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Infrastruktur

Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah. Keberadaan infrastruktur sangat penting bagi pembangunan, sehingga pada tahap awal pembangunan disuatu negara hal tersebut akan dipikul sepenuhnya oleh Pemerintah, yaitu dari APBN murni.

Pada saat itupun infrastruktur masih bersifat sebagai pure public good, dengan dua ciri pokok yaitu non-rivalry (masyarakat pengguna tidak saling bersaing) dan non-excludable (siapapun dapat menggunakannya, tidak hanya sekelompok masyarakat tertentu). Pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi semi public good (sudah mulai bersaing). Data empiris menunjukkan hubungan yang kuat antara ketersediaan infrastruktur dasar dengan pendapatan per kapita masyarakat di berbagai negara. Dan permintaan terhadap pelayanan infrastruktur akan meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Permasalahannya justru peningkatan permintaan ″diimbangi″ dengan penurunan kemampuan Pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan berakibat pada semakin meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, kekurang

(2)

mampuan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang dapat mengakibatkan banyaknya kerugian antara lain :

1. kemacetan lalu lintas 2. polusi lingkungan 3. ketidaknyamanan hidup 4. persaingan usaha, dll

Yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan fisik kawasan perkotaan. Pertumbuhan perekonomian yang cepat akan membawa ketersediaan prasarana dan sarana perkotaan yang diperlukan.

II.1.1 Infrastruktur Jalan Tol

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol, disebutkan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan dengan status sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, serta wewenang penyelenggaraan jalan tol ada pada Pemerintah.

Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol terdapat beberapa pos biaya (pengeluaran) yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Secara garis besar yaitu:

1. Biaya material, meliputi harga material dan biaya pemindahannya ke lokasi pekerjaan. Harga material tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan dan fluktuasi harga pembelian.

2. Biaya peralatan meliputi:

a. Biaya pemilikan yang dibedakan atas tiga hal, yaitu akibat membeli, menyewa, dan leasing. Biaya pemilikan akibat membeli terdiri atas

(3)

biaya bunga modal, pajak, asuransi, biaya penyimpanan, biaya perbaikan alat, dan depresiasi.

b. Sedangkan dalam biaya konstruksi bangunan yaitu biaya operasional terdiri atas biaya operator, bahan bakar, pelumas dan fitter, perbaikan ringan, penyetelan ringan, dan pemeliharaan, serta biaya perbaikan dan penggantian ban.

3. Biaya upah tenaga kerja dapat tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis tenaga kerja, waktu kerja, lokasi pekerjaan, persaingan tenaga kerja, kepadatan penduduk, tenaga kerja pinjaman dan pendatang, dan fluktuasi upah tenaga kerja.

4. Overhead Cost

II.2 Public Private Partnership II.2.1 Pengenalan

Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur diakui secara luas. Namun, dalam menghadapi penurunan pengeluaran publik yang ada disebagian besar industri dan negara-negara berkembang dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai baru dan memelihara infrastruktur yang ada untuk dukungan pertumbuhan ekonomi jangka-panjang. Kebutuhan untuk menemukan cara-cara alternatif infrastruktur mempromosikan skema pembiayaan mendukung kerjasama antara publik dan swasta bidang dalam menyediakan barang publik. Kerjasama ini berbentuk Public Private Partnership (PPP) atau sering disebut Kemitraan Pemerintah Swasta

(4)

(KPS) dilakukan, di mana prinsip-prinsip fungsi perusahaan swasta diimplementasikan dalam administrasi publik.

Kemitraan Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini risiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.

PPP merupakan kemitraan Pemerintah - Swasta yang melibatkan investasi yang besar/ padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.

Pemerintah

Masyarakat

Badan

(5)

Gambar II.1 Skema kemitraan Public Private Partnerships

Ada banyak definisi PPP mulai dari pembukaan hubungan kegiatan umum negara dengan kompetisi sektor swasta melalui kerjasama antara publik dan sektor swasta untuk usaha investasi dalam pengadaan infrastruktur, contohnya jalan tol. Dalam kerjasama tersebut melibatkan perusahaan swasta untuk tujuan tertentu, sedangkan risiko ditanggung bersama-sama. Singkatnya, fitur kunci dari PPP dapat dicirikan sebagai kemitraan antara sektor publik dan swasta yang biasanya melibatkan sektor swasta untuk melakukan investasi proyek-proyek yang secara telah dilaksanakan dan dimiliki oleh sektor publik.

Tujuan partisipasi sektor swasta dibidang infrastruktur adalah :

1. Mencari modal swasta untuk menjembatani modal pembiayaan yang besar dibutuhkan investasi infrastruktur pelayanan umum

2. Memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan sarana pelayanan 3. Mengimpor alih teknologi

4. Memperluas dan mengembangkan layanan bagi pelanggan 5. Meningkatkan efisiensi operasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta antara lain adalah :

1. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi, fungsi dan tugas, hak, kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan. 2. Melakukan persepsi dalam negoisasi kegiatan kemitraan, sangat

diperlukan keterbuakaan, komitmen dari para pelaku pembangunan dengan dicapainya hasil yang saling menguntungkan.

(6)

3. Perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dll.

4. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar dan konsisten. 5. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik

tingkat Pusat, Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota).

6. Kriteria persyaratan lelang/ negoisasi yang jelas, transparan dan konsisten.

7. Struktur dan tugas Tim Negoisasi yang jelas dan kemampuan dalam penguasaan materi bidang Hukum, Teknis dan Keuangan. (13)

Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur.

Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran stakeholder. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan

(7)

utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan hubungan-hubungan antara publik dan sektor swasta untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan efisiensi, semangat kewirausahaan, yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial, kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal.

Kerjasama seperti itu sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara berkembang, terutama di proyek-proyek infrastruktur, antara lain Tate’s Cairn Tunnel di Hongkong, Jalan Tol di China dan Indonesia, Airport, Railway, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri pola kerjasama seperti ini sudah banyak diterapkan, antara lain Power Plant Paiton dan jalan tol, yang merupakan kerjasama antara PT Jasa Marga sebagai instansi yang ditunjuk Pemerintah sebagai regulator jalan tol di Indonesia dengan investor. Total 31.24% dari ruas jalan tol yang sudah dioperasikan di Indonesia ini menerapkan kerjasama Public Private Partnership.

Di satu sisi, Public Private Partnership ini dapat berjalan dan berkembang dengan baik yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai dan pemasukan. Hal itu terjadi terutama di sektor-sektor jalan raya, jembatan, bandar udara, jalan kereta api, power plant dan telekomunikasi. Sebagai contoh program Private Finance

(8)

Initiative (PFI) di Inggris (United Kingdom), dimana terdapat penghematan sebanyak 15% bila dibandingkan dengan kontrak traditional. Contoh lainnya adalah income yang kontinyu didapat selama periode konsesi pada sektor jalan tol di Indonesia (14).

Namun di sisi lainnya, berbagai masalah/kendala terjadi selama pelaksanaan kerjasama dengan pola ini. Salah satu masalah yang terjadi adalah kebijakan Pemerintah yang kurang kondusif atau kekuatan oposisi Pemerintah yang terlalu mendominasi. Kendala lainnya dapat berupa kondisi politik yang tidak stabil. Sebenarnya masalah-masalah tersebut wajar terjadi, mengingat banyaknya resiko dan ketidakpastian sepanjang implementasi Public Private Partnership (PPP), banyaknya pihak-pihak/partisipan yang terlibat dalam kerjasama ini, serta tidak banyak pengalaman yang dimiliki oleh negara atau daerah yang menggunakan pola PPP.

Di Indonesia, banyak terdapat gedung-gedung yang merupakan fasilitas publik, yang menggunakan pola PPP. Berbagai kendala juga terjadi selama implementasi kerjasama, antara lain investor tidak mendapat profit seperti yang diharapkan, yang disebabkan tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia. Terjadinya pemutusan kontrak oleh investor sebelumnya yang telah menjalani masa konsesi selama jangka waktu tertentu, dengan alasan tidak tercapainya tujuan investor juga terjadi. Namun hal itu belum tercakup dalam klausul perjanjian kerjasama, sehingga aturan tambahan jika hal-hal seperti tersebut diatas terjadi, belum ada klausul yang mengatur dan memerlukan perjanjian tambahan. Dari fenomena tersebut, maka perlu kiranya diidentifikasi faktor-faktor yang

(9)

menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP sehingga dapat menjadi pedoman bagi kontrak PPP selanjutnya.

Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah :

1. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;

2. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees;

3. Mengurangi risiko kegagalan proyek;

4. Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi;

5. Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Tujuan pelaksanaan PPP adalah untuk :

1. Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;

2. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat;

3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta

4. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna. (3)

(10)

II.2.2 Kebutuhan-kebutuhan PPP (Public Private Partnership)

Kota-kota Metropolitan di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar, Medan dan kota-kota besar lainnya berpandangan sama bagaimana mengatasi masalah terbatasnya penyediaan infrastruktur bagi daerahnya, dengan terbatas pula dari sisi pembiayaan pemerintah daerah.

Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Pola kerjasama pun dapat dicari, setelah dilakukan kajian terhadap pengalaman beberapa negara dalam melakukan kerjasama pembangunan dengan pihak swasta yang dipandang cocok diterapkan dalam investasi jangka panjang, selama masa konsesinya dengan membiayai, membangun dan mengoperasikan. Bentuk badan usaha yang akan melakukan kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk Joint Venture (usaha patungan) atau Joint Operation (kerjasama operasi gabungan). Biaya pengadaan tanah/lahan yang dibutuhkan ditanggung oleh Pemerintah atau sekaligus oleh pihak Swasta yang akan diperhitungkan

(11)

dalam masa konsesi, hal tersebut telah dilakukan sejak tahun 1994 karena terbatasnya dana APBN/APBD.

Beberapa contoh alur inisiasi proyek infrastruktur diuraikan berikut ini. Contoh pertama adalah dalam sub-sektor jalan tol, yaitu sebagai berikut :

Gambar.II.2 Proses Pemilihan Investor Jalan Tol

Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :

a. Dapat mewujudkan beberapa proyek dalam waktu yang lebih singkat. Dalam kurun waktu tertentu, misalnya 5 tahun, sistem konvensional hanya dapat menyelesaikan satu proyek, sedangkan dalam sistem PPP dengan waktu yang sama dapat menyelesaikan lebih dari satu proyek. b. Dapat digunakan untuk proyek berskala besar, karena kekuatan modal

dari investor.

Letter of Intent (Pernyataan Minat) & Company Profile Pernyataan

minat dari Investor

Evaluasi berdasarkan Kriteria Pra Seleksi Pra seleksi calon

Evaluasi berdasarkan Kriteria Pra Seleksi Seleksi calon

Keputusan/Pe nunjukan

(12)

c. Pola kerjasama ini memperkecil risiko jika pengoperasian sarana/prasarana tidak berjalan baik.

Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :

a. Tidak diberikan secara otomatis, perlu mengikuti proses tender, penilaian dst.

b. Seringkali mensyaratkan dana pendamping. c. Penggunaan hanya untuk sarana/prasarana tertentu.

II.2.3 Perkembangan PPP dan Dampaknya terhadap APBN

Di Indonesia, sejatinya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter. Begitu kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis, saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil. Apalagi, kondisi moneter dalam negeri saat itu belum stabil sehingga terjadi capital flight yang cukup besar.

Baru pada tahun 2005, Pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005. Saat itu, ada sebanyak 91 proyek yang ditawarkan pemerintah kepada investor swasta untuk menjadi proyek kerjasama Pemerintah-Swasta. Sedangkan pada Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006) pemerintah menawarkan 111 proyek (termasuk 10 model proyek yang diunggulkan). Ternyata, untuk

(13)

”mengawal” proyek-proyek tersebut supaya layak dikerjasamakan membutuhkan kerja super keras pemerintah. Banyak hal yang harus diperbaiki atau dibentuk.

Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera diselesaikan pemerintah. Kesatu, membentuk kelembagaan baru yang mendukung pelaksanaan PPP; kedua, melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang bertentangan dan yang menghambat masuknya investasi; dan ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Untuk tugas pertama, pemerintah telah membentuk apa yang disebut dengan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Mei 2005. Komite ini mempunyai tugas :

a. merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur;

b. mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri Terkait dan Pemerintah Daerah; c. merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum

(Public Service Obligation) dalam percepatan penyediaan infrastruktur;

d. menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.

Selain KKPPI, beberapa institusi pendukung dalam rangka PPP juga sedang dan telah dibentuk seperti :

a. Departemen Keuangan telah membentuk Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (Risk Management Unit) dan Badan Investasi Pemerintah.

(14)

b. Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral masing-masing telah membentuk Simpul PPP (PPP Node).

c. Pemerintah juga membentuk Pusat Pengembangan PPP Transparansi dan kompetisi melalui PPP yaitu:

a. Jaminan “harga pasar”, tol, retribusi, dan sebagainya yang terendah. b. Memperbaiki kemungkinan diterimanya proyek tersebut oleh

masyarakat umum.

c. Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah.

d. Menurunkan biaya pendanaan.

e. Mengurangi resiko kegagalan proyek.

f. Meningkatkan kemudahan memperoleh perijinan untuk proyek.

g. Membantu untuk menarik pihak swasta yang lebih berkualitas dan berpengalaman.

h. Melindungi pejabat pemerintah dari tuduhan melakukan “KKN”. i. Meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur dan menciptakan

pertumbuhan ekonomi.

Dasar Hukum Pelaksanaan PPP adalah :

a. Seharusnya, dipayungi oleh undang-undang khusus, misal: PPP Law. b. Seringkali, diatur melalui peraturan pemerintah atau undang-undang

komersial biasa.

c. Kadangkala, dimungkinkan hanya karena “tidak dilarang” dalam undang-undang yang berlaku.

(15)

d. Di indonesia, sementara ini, diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Situasi yang Kondusif untuk PPP antara lain:

a. Peraturan yang mendukung

b. Kerangka kebijakan yang berpihak c. Prosedur yang jelas, dan terinci d. Budaya kompetisi yang sehat e. Transparansi dalamsetiap transaksi f. Pasar modal yang baik

g. Pemerintah yang cukup paham tentang PPP Adapun struktur sebuah PPP yaitu:

a. Strategi untuk mencapai suatu hasil yang tertentu. b. Proses pembuatan keputusan yang logis/rasional.

c. Pemilihan suatu “model” atau “kendaraan” untuk menghubungkan kebutuhan pembiayaan dengan persyaratan teknis.

Beberapa bentuk PPP yakni : 1. Kontrak Servis

Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee.

Beberapa contoh Kontrak Servis: a. Kontrak pembersihan jalan

(16)

b. Pengumpulan dan pembuangan sampah c. Pemeliharaan jalan

d. Pengerukan kali e. Jasa mobil Derek 2. Kontrak Manajemen

Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.

Beberapa contoh Kontrak Manajemen: a. Perbaikan dan pemeliharaan jalan

b. Pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill) c. Pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant)

d. Pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah)

e. Kontrak Sewa (lease)

Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun.

Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):

a. Taman hiburan (entertainment complex) b. Terminal Udara/bandara

(17)

c. Armada bis atau transportasi lainnya d. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT

BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.

Beberapa contoh Kontrak BOT:

a. Pembangkit Listrik (Independent Power Producer/IPP) b. Jalan Tol

c. Terminal Udara (Airports) d. Bendungan & bulk water supply

e. Instalasi Pengolahan Air (water/wastewater treatment plant) f. Pelabuhan Laut (Sea Ports)

g. Fasilitas IT (Information Technology) h. Kontrak Konsesi

Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggungjawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 sampai 35 tahun.

(18)

a. Pelabuhan Udara (keseluruhan atau sebagian) b. Jalan Toll

c. Pelabuhan Laut

d. Penyediaan dan distribusi air bersih e. Rumah Sakit

f. Fasilitas olahraga

II.2.4 Syarat Proyek PPP

Agar suatu proyek dapat dibiayai oleh PPP, proyek yang dibiayai oleh kerjasama Pemerintah dan Swasta, maka proyek tersebut harus merupakan proyek seperti yang tercantum pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, seperti dibawah ini

a. Infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian;

b. Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; c. Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;

d. Infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;

(19)

e. Infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;

f. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government;

g. Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; dan

h. Infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.

Infrastruktur-infrastruktur tersebut, dikerjasamakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor bersangkutan. Syarat lainnya agar PPP dapat terlaksana yaitu, dari segi ekonomis semua pihak (pemerintah dan swasta) memperoleh keuntungan.

Dari segi finansial pemerintah mendapat manfaat yaitu adanya ketersediaan modal yang berasal dari pihak lain selain pemerintah. dimana kita ketahui bahwa pemerintah memiliki keterbatasan modal (keuangan) dalam membiayai proyek-proyek umum, terutama proyek yang membutuhkan modal sangat besar. Dari segi finansial dapat juga dipelajari bagaimana pemerintah dapat meningkatkan, mengalokasi, dan menggunakan sumber daya moneter sejalan dengan waktu, dan juga menghitung risiko dalam menjalankan proyek umum. Dengan kata lain bagaimana manajemen proyek tersebut dapat dilaksanakan dengan seefisien mungkin dengan cara menghitung dan mengatur risiko proyek.

(20)

pekerjaan proyek tersebut. apakah menguntungkan atau tidak. Hal ini dapat kita simpulkan dari rencana pengeluaran atau investasi, semua biaya yang diperlukan selama masa pengerjaan proyek mulai dari pembebasan lahan, biaya konstruksi, biaya design sampai pemeliharaan. Setelah itu dapat kita perhitungkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali modal atau bahkan memperoleh keuntungan. Dapat dipelajari mengenai keuntungan yang didapat dari suatu proyek PPP, mis. bandara, jalan tol, pelabuhan tanpa mengeluarkan biaya secara penuh.

II.3 Permasalahan Yang Terjadi Pada Kerjasama PPP II.3.1 Negara-Negara berkembang

Argentina: Jalan tol program konsesi dialihkan ke operator swasta sepertiga dari sistem jalan antar kota dan sebagian besar jalan akses ke Buenos Aires. Masalah utama adalah kompleks penawaran kriteria dan aturan untuk renegosiasi kontrak; angka waktu periode konsesi; respon publik negatif; perlunya hukum yang jelas dan peraturan rezim, dan pentingnya lembaga.

China: Perkiraan lebih dari 70 persen perkiraan peningkatan lalu lintas di 1994-2000 telah memicu pembangunan 130.000 km jalan baru pada tahun 2000, yang membutuhkan lebih dari US $ 150 miliar investasi.Meskipun tetap ada kekurangan substansial dalam pembiayaan untuk implementasi, Cina telah meletakkan dasar untuk substansial yang panjang. Masalah sektor swasta adalah: memanfaatkan aset yang ada untuk jalan raya dana baru di pasar modal; perlunya peraturan hukum dan lingkungan kondusif untuk pembiayaan swasta untuk jalan raya tol baru; kebutuhan kapasitas kelembagaan yang memadai dan kompensasi

(21)

atas pembebasan tanah dan pemukiman kembali; kredit dan komitmem dari entitas publik; perlukan untuk mengisi formulir yang fleksibel perusahaan proyek dalam rangka memfasilitasi; investasi asing, dan kebutuhan akan prosedur kontrak transparan.

Perancis: Pembangunan jalan-kinerja tinggi di Perancis dapat dibagi menjadi empat fase. Pada tahap pertama, 1955-69, Perancis membuat komitmen untuk penggunaan tol untuk konstruksi jalan raya pembiayaan oleh perusahaan-perusahaan publik. Tahap kedua, salah satu liberalisasi dan privatisasi, berlangsung 1969-1981. Tahap ketiga, dari tahun 1982 sampai 1993, melibatkan manajemen krisis melalui pengambilalihan negara dan sistem nasional subsidi silang. Tahap saat ini, dimulai pada tahun 1993, merupakan salah satu kesepakatan dan perencanaan konsolidasi dalam sektor publik. Masalah utama adalah: keuntungan relatif dan kekurangan pembiayaan motorway melalui subsidi silang, keuntungan relatif dan kekurangan pembiayaan tol jalan raya; efisiensi konsesi swasta untuk jalan bebas hambatan; dilema mengatur tarif tol dari pemegang konsesi; pentingnya menjaga terhadap potensi konflik kepentingan ketika perusahaan konstruksi berpartisipasi dalam konsesi; dan relatif kemampuan perusahaan swasta dan publik untuk mengambil pertimbangan lingkungan ke rekening.

II.3.2 Di Indonesia

Pelaksanaan proyek KPS di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an sampai dengan akhir tahun 1997. Proyek KPS yang dilakukan antara lain dalam bidang listrik, telekomunikasi dan transportasi. Penyelenggaraan proyek KPS

(22)

pada periode ini belum tertata dengan baik. Kelemahan-kelemahan yang ada pada proyek KPS ini antara lain karena kurangnya reformasi struktural, peraturan yang kurang mendukung, kurangnya persaingan serta kurangnya perhatian pada aspek governance dalam pengadaan proyek KPS.

Selanjutnya, dalam rangka penataan terhadap proyek KPS, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1998 tentang Kerjasama antara Pemerintah dan Perusahaan Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur (Keppres 7/1998). Keppres ini dibuat dalam rangka perbaikan governance dari proyek, terutama pada aspek keterbukaan dan persaingan, serta perlindungan pada kepentingan investor dan konsumen. Agar proyek dapat memberikan manfaat yang optimal (greater value for money), Keppres mengatur bagaimana proyek KPS harus dijalankan serta menetapkan mekanisme pemantauan atas proyek-proyek tersebut.

Selain untuk menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat, Perpres 67/2005 dibentuk untuk menciptakan keseimbangan yang adil antara kepentingan konsumen, masyarakat dan badan usaha. Perpres tersebut menetapkan mekanisme yang memungkinkan terciptanya keseimbangan tersebut. Prepres menetapkan mekanisme pelelangan yang akan menciptakan persaingan yang sehat dan menghasilkan pelayanan yang berkualitas dan efisien. Sedangkan dari kepentingan Badan Usaha, Perpres memberikan insentif kepada swasta serta memberikan kepastian pengembalian investasi.

Badan Usaha yang dapat bekerjasama dengan Pemerintah adalah badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara

(23)

(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan koperasi. Perpres ini memperluas definisi badan usaha. Keppres 7/98 hanya mencakup badan usaha swasta yang berbentuk badan hukum Indonesia. Sehingga, saat ini, BUMN, BUMD dan koperasi dapat berpartisipasi dalam pengadaan infrastruktur.

Partisipasi sektor swasta atau disebut ‘Badan Usaha’ dalam Perpres dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu ‘Perjanjian Kerjasama’ (Konsesi) atau ’Izin Pengusahaan’ (Lisensi). Dalam perjanjian kerjasama, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah mengadakan perjanjian tertulis dengan Badan Usaha untuk menyediakan infrastruktur melalui pelelangan umum. Sedangkan Izin pengusahaan ditetapkan melalui pelelangan izin (auction) dan dilakukan apabila penguraian (unbundling) infrastruktur dan jasa pelayanan tidak mungkin atau sulit dilaksanakan, misalnya pada sektor telekomunikasi, pemipaan minyak dan gas, dan transmisi tenaga listrik.

Kerjasama penyediaan infrastruktur dilakukan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan Badan Usaha. Kedua belah pihak ini menentukan bentuk kerjasama yang akan dilakukan, apakah melalui perjanjian kerjasama atau izin pengusahaan. Dalam melakukan kerjasama ini para pihak harus memperhatikan prinsip-prinsip: adil, terbuka, transparan, bersaing, bertanggung-gugat, saling menguntungkan, saling membutuhkan serta saling mendukung.

Referensi

Dokumen terkait

100.000 Penduduk Jumlah di suatu wila penduduk yah di pada wilayah kurun wakt dan pada u tertentu tahun yang sama x 100.000 lain kesehatan pelayanan sarana dan

Persentase perlakuan tilirosida dibandingkan dengan kontrol doksorubisin (Gambar 1) menunjukkan bahwa tilirosida tidak mampu menyamai persentase kematian sel akibat apoptosis, karena

Terpeliharanya citra positif JICA sebagai lembaga donor Jepang di Indonesia tentunya tak lepas dari aktivitas media relations humas internal JICA yang terjalin

Salah satu keunggulan SD IT Baik iyalah memiliki ciri khas yang berbeda dengan sekolah SD yang lainnya, salah satunya adalah tahfidzul qur’an yang bertujuan untuk mendasari siswa

Mια μρα επαν να μοιρσουνε το κρασ...» Aπ το «Kαλαντρι του 1947 με παροιμες των μην"ν», με ξυλογραφες του Σπρου Bασιλεου και λαογραφικ του Δημ... Kατ

Pada setiap hari Selasa-Jum‟at pada pukul 08.00-08.30 WIB para siswa mengikuti program tahfidz al-Qur‟an di kelas masing-masing dengan didampingi oleh guru kelas

Rekonstruksi diagram bode menggunakan matlab dari hasil pengujian pada low pass filter -20 dB/decade untuk penguatan maksimum dengan frekuensi cut off 800 Hz ditunjukkan pada gambar

Berdasarkan data hasil belajar peserta didik baik yang ada di kelas kontrol maupun kelas ekspeerimen, dapat disimpulkan bahwa: (1)Terdapat pengaruh dari penggunaan metode permainan