• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Strategi Pembangunan Indonesia Seba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Arah Strategi Pembangunan Indonesia Seba"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Arah Strategi Pembangunan Indonesia Sebagai Negara Maritim

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS

1

1.

Pendahuluan

Kemaritiman adalah peradaban dunia karena kepentingan negara-negara di dunia akan sangat ditentukan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan laut untuk kemakmuran maupun keberlanjutan bangsa-bangsa di dunia. Demikian pula Indonesia yang 70 % wilayahnya berupa laut dan lautan perlu meletakkan arah pembangunan sebagai Negara Maritim. Nenek moyang bangsa Indonesia pernah mencapai abad keemasan sebagai negara maritim pada saat Kerajaan Mataram dan Sriwijaya serta kerajaan lainnya di Nusantara yang “menguasai laut” dari berbagai belahan bumi sehingga mendapatkan kemakmuran bagi rakyatnya dari laut melalui aktivitas ekonomi maupun perdagangan global dengan memanfaatkan laut. Zaman kejajayaan mariitim tersebut pudar pada masa penjajahan dan berimbas sampai sekarang orientasi pembangunan kurang mengintegrasikan pembangunan darat dan laut sebagai sebuah kekuatan pembangunan yang mensejahterakan bangsa Indonesia.

Dalam mengembalikan kejayaan nusantara maka Indonesia harus mengedepankan strategi pembangunan Negara Maritim. Indonesia sebagai sebuah Negara Maritim memiliki kriteria: a) berdaulat di wilayah NKRI dan disegani negara lain atas wilayahnya, b) menguasai seluruh wilayah darat dan laut melalui “effective occupancy” dan memiliki “sea power” yang diandalkan secara nasioal dan global, c) mampu mengelola dan memanfaatkan berbagai potensi pembangunan sesuai aturan nasional dan internasional, d) menghasilkan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian maka keterpaduan darat dan laut dalam pembangunan harus menjadi dasar spasial serta berorientasi pada wawasan nasional maupun global dengan mengutamakan kepentingan nasional. Perspektif pembangunan Negara Maritim juga didasari bahwa keberlanjutan pembangunan guna mencapai keberlanjutan bangsa Indonesia.

1 Ketua Senat Akademik IPB, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan IPB dan Ketua Program

(2)

2.

Visi Kelautan dalam Membangun Negara Maritim

Negara Maritim adalah negara yang berdaulat, menguasai, mampu mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan dan memperoleh kemakmuran dari laut. Dengan demikian apabila membicarakan negara maka digunakan istilah Negara Maritim karena terkait dengan kata sifat yakni mengelola dan memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya. Sedangkan kelautan adalah yang terkait dengan artian fisik dan properti (physical property) yakni terkait dengan sumberdaya kelautan dan fungsi laut yang digunakan untuk mencapai Negara Maritim. Visi kelautan adalah visi dalam mendayagunakan sumberdaya dan fungsi laut secara berkelanjutan untuk kemakmuran bangsa. Visi Kelautan tersebut digunakan untuk menyatukan pembangunan yang berwawasan kedalam (inward looking) yakni mengembangkan kemajuan nusantara dan negara kepulauan dan wawasan keluar (outward looking) yakni mengembangkan berbagai kemampuan bangsa untuk menguasai potensi laut secara global sesuai peraturan internasional untuk kemakmuran bangsa Indonesia.

(3)

Pencantuman “negara kepulauan yang berciri nusantara” tidak dapat dilepaskan dari konsepsi Wawasan Nusantara yang dikenal dengan “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda merupakan salah satu tiang utama dalam sejarah kehidupan Bangsa Indonesia. Hal ini sebagaimana disebutkan Djalal dalam Djamin (2001), bahwa secara historis ada tiga tiang utama (tonggak) yang penting dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia yaitu: (1) Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai kesatuan kejiwaan yaitu satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa; (2) Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dimana rakyat Indonesia yang telah menjadi satu bangsa tersebut ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan (3) Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang hidup dalam NKRI tersebut berada dalam suatu kesatuan kewilayahan yang berbentuk kepulauan (Nusantara).

(4)

Namun demikian, pembangunan bidang kelautan Indonesia belum berperan optimal dalam pembangunan ekonomi Indonesia karena berbagai kebijakan yang memarjinalkannya. Hal ini dikarenakan sampai saat ini, kebijakan pemerintah di bidang kelautan belum muncul sebagai sebuah arus utama (mainstream) kebijakan politik dan ekonomi dalam pembangunan bangsa, sehingga pembangunan bidang kelautan jauh tertinggal dibanding pembangunan daratan. Berdasarkan kondisi yang dimilikinya seharusnya Indonesia kembali mengarustamakan pembangunan kelautan sesuai jatidiri bangsa. Dengan demikian untuk mewujudkannya diperlukan KEBIJAKAN KELAUTAN

(OCEAN POLICY) yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan untuk menjadi negara negara maritim yang sejahtera. Dalam menjabarkan Ocean Policy menjadi sebuah

mainstream pembangunan ekonomi nasional, maka pembangunan disusun dalam kerangka

pemikiran ILMU EKONOMI KELAUTAN- OCEAN ECONOMICS (OCEANOMICS)

serta didukung dengan ILMU TATAKELOLA KELAUTAN (OCEAN GOVERNANCE) yang dapat menggerakkan pembangunan kelautan guna mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim yang mensejahteraan rakyat Indonesia. Keberhasilan

ocean governance tidak dapat dilepaskan dari aransemen kelembagaan, karena kelautan adalah multi sektor dan multi displin. Hal ini sebagaimana yang disarankan Nichols dan Monahan (2003), bahwa dalam “menunjang” mekanisme kerja kebijakan kelautan dan tatakelola kelautan, maka diperlukan aransemen kelembagaan (institutional arrangement).

(5)

KEBIJAKAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY POLICY)

sehingga ke lima pilar tersebut dirumuskan menjadi KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN NASIONAL (NATIONAL OCEAN DEVELOPMENT POLICY / NODEP). Kebijakan tersebut merupakan acuan pembangunan kelautan baik jangka pendek, menengah maupun panjang dalam kerangka besar mengukir masa depan bangsa

(Reframing the future). Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan serta fungsi laut dapat dilaksanakan secara holistik mensinergikan semua sektor yang berkaitan dengan pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya satu sektor dan sektor lainnya baik yang memanfaatkan sumberdaya daratan, laut dan udara akan saling melengkapi dan mendukung sehingga menghasilkan pemanfaatan pada tingkat optimaldari sumber kekayaan nasional dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

3.

Posisi Strategis Wilayah Indonesia

Secara geo-politik dan geo-strategis, Indonesia terletak diantara dua benua, Asia dan Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan politik. Posisi strategis tersebut menempatkan Indonesia memiliki keunggulan sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap bidang kelautan, dan sangat logis jika ekonomi kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional.

(6)

laut teritorial (territorial sea), adalah wilayah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional, yang lebar lautnya tidak boleh melebihi 12 mil laut.

Kedua, zona ekonomi eksklusif (economic exclusive zone), adalah wilayah berdaulat yang tidak boleh melebihi 200 mil laut, diukur dari garis pangkal yang sama yang dipakai untuk mengukur lebar laut teritorial. Pada wilayah ini, suatu negara mempunyai hak-hak berdaulat dan yurisdiksi khusus untuk memandaatkan kekayaan alam yang berada pada jalur tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah dibawahnya.

Ketiga, landas kontinen (continental shelf). Menurut Summer, teori dari landas kontinen didasarkan kepada suatu fakta sosiologis bahwa disepanjang sebagian besar pantai, tanahnya menurun ke dalam laut, sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut jatuh curam ke dalam laut. Hal ini sesuai Pasal 76 UNCLOS 1982, landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah dibawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya.

Keempat, zona tambahan (contiguous zone), adalah zona maritim yang berdampingan dengan laut teritorial dan merupakan area tambahan (Pasal 33 UNCLOS 1982). Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang sama untuk lebar laut teritorial. Pada zona tambahan memiliki kekuasaan terbatas untuk penegakkan hukum bea cukai, keimigrasian, fiskal, dan saniter.

(7)

aktivitas ekonomi.. Dalam pengembangan negara maritim, Indonesia harus memiliki visi ”outward looking” didasarkan pada peraturan internasional yang dimungkinkan untuk mendapatkan sumberdaya alam laut secara global maupun mengembangkan kekuatan armada laut nasional untuk dapat menguasai pelayaran internasional dengan menciptakan daya saing sehingga kapal-kapal berbendera Indonesia menguasai pelayaran internasional dan memiliki kekuatan laut (sea power) yang unggul.

Pengembangan pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang kompetitif, efisien dan maju disegenap wilayah Indonesia yang mampu mendorong terbangunnya aktivitas ekonomi di seluruh kepulauan maupun jalur ALKI sehingga manfaat peningkatan perdangangan dunia dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan kemakmuran disegenap penjuru nusantara. Berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya kelautan dan fungsi laut harus dilakukan secara terpadu dalam matra darat, laut dan udara.

(8)

disiapkan dengan seksama demi keberlanjutan bangsa dan negara Indonesia dimasa yang akan datang.

Tabel 1. Status Batas Maritim Indonesia dengan Negara-negara Tetangga

No Negara Pihak

Status Batas Maritim

Laut Teritorial TambahanZona ZEE Landas Kontinen

1 India - Keppres No.51/1974Keppres No.26/1977

2 Thailand - Keppres No.21/1972Keppres No.1/1977 Keppres No.24/1978 3 Malaysia UU No. 2/1971 1) - - Keppres No.89/1969 Keppres No.20/1972 4 Singapura UU No. 7/1973 2)

5 Vietnam - UU No. 18/2007

6 Filipina - -

-7 Palau -

-8 Papua Nugini UU No. 6/1973 Keppres No. 21/1982 UU No. 6 /1973

9 Australia Perth, 16-02-1997(belum

Dirafifikasi / Diperjanjikan 3 0 2 6

Jumlah Batas Maritim Antar Negara yang Belum

Diperjanjikan 1 3 7 3

Sumber: Dekin (2009)

Keterangan:

1) Batas laut teritorial yang diperjanjikan baru mencakup segmen Selat Malaka bagian Tengah Timur dan Selatan, segmen Selat Singapura bagian Timur belum diperjanjikan

2) Batas Laut Wilayah di Selat Singapura diratifikasi dengan UU No 7/1973 (baru sebagian). Masih diperlukan penetapan batas di segmen dan Timur dan akan menjadi trilateral dengan Malaysia

Geo-strategis Indonesia diperkuat dengan geo-politik, geofisik, geoekosistem, geoideologi, geoekonomi serta keunggulan kewilayahan yang dimiliki maupun wilayah laut lainnya yang dapat dikuasai sesuai hukum nasional maupun internasional yang berlaku, harus menjadi kekuatan bangsa Indonesia menjamin tercapainya keberlangsungan kehidupan, kemajuan, kemandirian dan kemakmurkan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Tidak perlu dilakukan perjanjian batas maritim

(9)

Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) disebutkan bahwa pembangunan adalah untuk mewujudkan “INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL”, melalui “Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Visi dan misi tersebut dilaksanakan dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Dengan demikian wilayah yang dikuasai dan dijaga kedaulatannya dapat untuk memajukan bangsa dan mampu menjamin kemakmuran antar generasi (intergerational welfare) bangsa Indonesia.

3.

Ocean Policy

(10)

Berdasarkan hal tersebut, secara ekonomi-politik bidang kelautan harus menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sehingga secara ekonomi bidang kelautan harus dapat memakmurkan rakyat. Sedangkan, secara politik semangat menjadikan bidang kelautan sebagai basis ekonomi nasional harus didukung oleh visi dan konsensus bersama semua pengambil kebijakan di negeri ini baik pada tataran eksekutif (termasuk militer dan polisi), legislatif, yudikatif serta segenap komponen bangsa.

Dalam rangka mengembangkan ocean policy maka diperlukan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, kebijakan tersebut harus memiliki instrumen yang efektif untuk menjalankannya (policy tools dll), dan instrumen tersebut sebaiknya: (i) dapat diaplikasikan (applicability) secara leluasa dan universal serta dapat ditegakkan secara hukum (enforceability); (ii) mempunyai kewenangan administratif dan pengelolaan yang jelas. Kedua, kebijakan tersebut dapat memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun global. ketiga, kebijakan tersebut harus efisien dan efektif atau cost effective secara ekonomi serta adil (fairness), sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Keempat, kebijakan harus mampu mendorong kemandirian rakyat dan berlandaskan nilai luhur agama dan moralitas.

Dengan demikian, keberadaan ocean policy akan memberikan sebuah payung dan

guide line bagi semua stakeholders dalam pembangunan nasional. Pembangunan bidang kelautan menjadi sangat penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara sehingga bidang kelautan merupakan pilar utama pembangunan ekonomi yang memiliki keterpaduan dengan bidang lainnya yang berbasiskan aktivitas ekonomi daratan yang mampu memakmurkan bangsa dalam sebuah negara kepulauan.

(11)

yang ditandai oleh globalisasi dimana terjadi perubahan cepat dalam bidang transportasi, komunikasi, interdependensi ekonomi, peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya alam dan biodiversitas spesies dunia serta berakhirnya perang dingin (dimana terjadi perlombaan senjata: kimia, biologi dan nuklir) dan pada akhirnya memunculkan suatu kesadaran akan pentingnya lingkungan di seluruh masyarakat dunia.

Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa karakteristik laut berbeda dengan darat, keberlanjutan (sustainability) pembangunan kelautan ditentukan oleh kelestarian sumberdaya pulih (renewable resources) sehingga perlu adanya ambang batas (threshold) aktivitas pembangunan ekonomi sektor lainnya pada tingkat yang tidak membahayakan kelestarian sumberdaya pulih. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan pembangunan kelautan (ocean development management) memerlukan keterpaduan perencanaan dan implementasi pembangunan yang kuat agar tidak mengulang kesalahan pengelolaan pembangunan di darat.

Secara global seharusnya semua negara di dunia mampu mengembangkan suatu pola pemanfaatan yang berkelanjutan dan mempelajari bagaimana mengimplementasikan prinsip pengelolaan kelautan (ocean management) yang lestari karena laut setiap negara saling berhubungan (interconnected). Dalam melaksanakan hal tersebut diperlukan kalkulasi biaya politik dan ekonomi atau memahami bagaimana caranya memperoleh manfaat ekonomi secara yang berkelanjutan dan konsisten dengan prinsip pengelolaan kelautan yang lestari.

(12)

negara-negara yang menguasai dunia sebelum abad ke 19 karena memiliki ocean policy yang kuat sehingga menjadi negara maritim yang kuat.

Sedangkan secara mikro adalah bagaimana ocean policy tersebut diwujudkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang kongkrit dan terfokus untuk pembangunan kelautan yang bersifat integral. Kebijakan yang penting saat ini untuk direalisasikan adalah bagaimana kelautan dapat mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi dan memperbaiki kehidupan rakyat kecil yang terhimpit di berbagai kawasan nusantara yakni kebijakan pengembangan investasi bidang kelautan yang mencakup tujuh sektor yakni perikanan, pariwata bahari, pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan lainnya. Dengan demikian, ocean policy dapat dijabarkan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai pembangunan yang berpihak kepada rakyat serta kelautan dapat menjadi basis pembangunan ekonomi melalui adanya keterpaduan antara aktivitas ekonomi kelautan dan daratan sehingga Indonesia menjadi negara kepulauan yang makmur dan sejahtera.

4. Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim

4.1. Pembangunan Ekonomi

(13)

perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri kelautan/maritim, transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan. Batasan secara spasial ekonomi kelautan adalah ke darat adalah wilayah kabupaten/kota pesisir dan ke arah laut adalah wilayah laut sampai ZEE Indonesia serta Landas Kontinen Indonesia.

4.2. Potensi dan Keragaan Ekonomi Bidang Kelautan Indonesia

Keanekaragaman sumberdaya di bidang kelautan terlihat dari jenis potensi yang dimiliki yakni Pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan beserta ekosistem laut dengan megabiodiversitasnya. Kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) seperti sumberdaya minyak, gas, dan berbagai jenis mineral lainnya. Ketiga, selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam fungsi dan jasa kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan nasional seperti transportasi laut, pariwisata bahari, energi terbarukan (pasang surut, OTEC dll), industri kelautan/maritim, dan jasa lingkungan laut. Potensi ekonomi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan nasional.

Pengembangan perekonomian Indonesia belum memanfaatkan potensi kelautan sengan sungguh-sungguh yang ditunjukkan belum optimumnya perhatian terhadap ekonomi kelautan Indonesia. Potensi kekayaan pesisir dan laut belum menjadi basis ekonomi bagi pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat dari masih relatif tidak berkembangnya kontribusi ekonomi bidang kelautan dalam GDP nasional. Dibandingkan nilai ekonomi kelautan Jepang, Korea Selatan, Cina, mampu menyumbang hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya, sedangkan ekonomi kelautan Vietnam bahkan memberikan kontribusi sebesar 57,63% dari total GDP pada tahun 2007 maka nampak ekonomi kelautan Indonesia kurang berkembang walaupun potensi yang dimilikinya lebih besar.

(14)

besar jika dilihat panjang pantai dan kekayaan laut mereka memang relatif kecil jika dibandingkan Indonesia.

Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto dibandingkan bidang lainnya sudah menunjukkan peran yang cukup besar namun kurang berkembang. Berdasarkan perhitungan dengan berbagai keterbatasan data yang tersedia, sejak tahun 1995-2005 kontribusi ekonomi bidang kelautan diperkirakan berkisar pada 20,06 % pada tahun 2000 hingga 22,42% dari total PDB pada tahun 2005, sektor pertambangan (minyak, gas dan mineral) memberikan kontribusi terbesar diikuti industri maritim. Perkembangan kontribusi bidang kelautan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut:

Tabel 2. Perkembangan Kontribusi ekonomi Bidang Kelautan Indonesia (1995-2005)

No.

No. Bidang KelautanBidang Kelautan PPerersentase ( %) Produk Domestik Brutosentase ( %) Produk Domestik Bruto

1995 1996 1997 1998 1999 2000 20012001 20022002 20032003 20042004 20052005

1.

1. Perikanan Perikanan 1,54 1,51 1,99 2,45 2,31 2,29 2,432,43 2,562,56 2,592,59 2,662,66 2,79

2.

2. Pertambangan Pertambangan 4,16 4,01 3,85 4,65 7,23 10,02 9,299,29 9,329,32 9,369,36 9,389,38 9,13

3.

3. Industri MaritimIndustri Maritim 2,74 2,87 3,97 4,48 3,38 3,32 3,803,80 3,813,81 3,853,85 4,684,68 3,77

-Pengilangan Minyak Bumi

-Pengilangan Minyak Bumi 1,05 1,03 1,58 1,40 1.20 1,22 2,092,09 2,002,00 2,012,01 2,052,05 2,10

-LNG

-LNG 0,99 1,11 1,49 1,88 1,08 1,03 1,201,20 1,111,11 1,131,13 1,121,12 1,14

-Industri maritim lainnya

-Industri maritim lainnya 0,70 0,73 0,90 1,20 1,10 1,07 0,510,51 0,700,70 0,710,71 0,510,51 0,53

4.

4. TransportasiTransportasi Laut Laut 0,83 0,86 1,08 1,55 1,51 1,58 0,740,74 1,391,39 1,671,67 1,491,49 1,48

5.

5. Pariwisata Bahari Pariwisata Bahari 0,79 0,73 0,86 2,21 1,53 1,44 1,471,47 1,561,56 1,521,52 1,511,51 1,52

6.

6. Bangunan Kelautan Bangunan Kelautan 0,74 0,65 1,08 1,50 1,22 1,08 0,960,96 0,960,96 0,50,500 0,770,77 1,01

7.

7. Jasa Kelautan Lainnya. Jasa Kelautan Lainnya. 0,97 0,78 1,56 1,19 1,15 1,10 1,461,46 1,201,20 1,281,28 1,341,34 1,32

Jumlah PDB

Jumlah PDB BidangBidang Kelautan Kelautan 12,37 11,41 14,39 18,13 18,6 20,06 20,1520,15 20,7120,71 20,7720,77 20,8320,83 22,42 22,42 Sumber: Kusumastanto (1997, 2000, 2003), PKSPL-IPB (2007)

(15)

menunjukkan investasi yang dilakukan semakin efisien. Berdasarkan perhitungan Tabel Input-Output 2005, bahwa nilai ICOR terendah terdapat pada sektor wisata bahari dengan nilai indeks ICOR sebesar 3,01. Hal ini menunjukkan bahwa sektor wisata bahari merupakan bidang yang paling efisien dalam penanaman investasi jika dibandingkan dengan bidang lain. Dalam hal efesiensi penyerapan tenaga kerja dapat digunakan adalah ILOR (Incremental Labour Output Ratio). Semakin besar nilai ILOR, maka penyerapan tenaga kerjanya akan semakin tinggi. Perhitungan pada tahun 2005 menunjukkan koefisien ILOR terbesar adalah sektor perikanan yaitu sebesar 14,02. Ini berarti sektor perikanan adalah sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan sektor ini akan mampu menjadi sebuah solusi bagi pengurangan angka pengangguran terutama masyarakat di pesisir. Nilai ICOR dan ILOR ke tujuh sektor dalam bidang kelautan tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Nilai ICOR dan ILOR Bidang Kelautan berdasarkan Tabel I-O tahun 2005

No. Bidang Kelautan Nilai ICORNilai ICOR Nilai ILOR

1. Transportasi Laut 3,653,65 12,11

2. Industri Maritim 3,393,39 11,16

3. Perikanan 3,33,300 14,02

4. Energi dan Sumberdaya Mineral 3,823,82 10,14

5. Wisata Bahari 3,013,01 13,09

6. Bangunan Kelautan 4,034,03 11,82

7. Jasa Kelautan Lainnya 3,343,34 13,20

Sumber: PKSPL-IPB (2007)

(16)

depan bangsa. Tujuh sektor dalam bidang kelautan yakni dua sektor sangat erat dengan sumberdaya pulih (renewable resources) yang menentukan keberlanjutan pembangunan di laut dan sektor lainnya tersebut perlu ditingkatkan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Keragaan masing-masing sektor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sektor Perikanan

Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan (trend) positif di mana pada tahun 2013 bernilai Rp 291.799.10 milyar dan menyumbang sekitar 2,75% dari total PDB (BPS, 2014). Namun demikian, jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China (17 juta ton/tahun) dan Peru (10,7 juta ton/tahun). Produksi perikanan ini hampir sama dengan negara-negara yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia seperti Jepang (5 juta ton/tahun) dan Chile (4,3 juta ton/tahun). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi adalah terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut serta maraknya illegal fishing di Perairan laut Indonesia.

b. Sektor Wisata Bahari

Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang besar, selain potensi yang didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna maupun kamajemukan budaya yang menarik wisatawan. Pembangunan wisata bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity), seperti taman laut wisata alam (ecotourism), wisata bisnis, wisata budaya, maupun wisata olah raga. Misalnya kawasan terumbu karang di seluruh perairan Indonesia luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di

(17)

terumbu karang tersebut. Potensi wisata bahari tersebut tersebar di sekitar 241 daerah Kabupaten/Kota.

Statistik kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2009 merupakan kunjungan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yaitu mencapai 6.323.730 kunjungan atau naik 1,43%. Penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata sejumlah US$ 6.292,3 juta atau mengalami peningkatan sebesar 20,19% (Depbudpar, 2009).

c. Sektor Transportasi Laut

Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi, meskipun secara umum mengalami trend positif. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir (1995-2008) di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami peningkatan jumlah kunjungan kapal lebih dari 45%. Tidak hanya itu, penambahan jumlah gross ton kapal juga mengalami peningkatan lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat. Berdasarkan Kantor Administrasi Pelabuhan Indonesia, jumlah kunjungan kapal diseluruh pelabuhan di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 729.564 unit dengan jumlah total ukuran kapal sebesar 822.968.000 GT (Dephub, 2008).

d. Sektor Industri Maritim

(18)

Industri maritim nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah industri galangan kapal. Industri ini telah berkembang dan terbagi dalam tiga kategori industri, yaitu: (i) industri pembangunan kapal, (ii) industri mesin, spare parts, dan komponen yang diperlukan dalam konstruksi kelautan, serta (iii) industri pemeliharaan dan perbaikan kapal. Dalam masa dua dekade terakhir, ratusan hingga ribuan kapal telah dibangun oleh galangan kapal nasional yang meliputi kapal niaga, kapal untuk tujuan tertentu, kapal ikan, dan kapal perang, industri ini juga memerlukan dukungan industri mesin kapal dan sebagainya. Dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena ukuran docking domestik sangat terbatas.

e. Sektor Pertambangan (Energi dan Sumberdaya Mineral)

(19)

optimal. Potensi tersebut dapat dikembangkan apabila investasi dan keberpihakan kebijakan terhadap kelautan dapat ditingkatkan.

f. Sektor Bangunan Kelautan

Sektor bangunan kelautan merupakan potensi ekonomi kelautan yang diantaranya berasal dari kegiatan penyiapan lahan sampai konstruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal di wilayah pesisir dan laut. Salah satu bangunan kelautan yang menjadi fokus utama adalah bangunan pelabuhan. Pelabuhan adalah pusat aktivitas perekonomian barang dan jasa (antar pulau, ekspor maupun ekspor), sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam pembangunan kelautan. Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah sistem nasional yang terdiri atas sekitar 1.887 pelabuhan pada tahun 2007. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan ‘strategis’ utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dioperasikan oleh empat BUMN yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV maupun pelabuhan lainnya. Selain potensi tersebut aktivitas bangunan kelautan lainnya seperti konstruksi bangunan lepas pantai, pipa dan kabel bawah laut merupakan peluang ekonomi yang sangat potensial bagi Indonesia.

g. Sektor Jasa Kelautan

(20)

keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia.

Di bidang pengembangan sumberdaya manusia khususnya dalam bentuk pendidikan dan pelatihan guna menghasilkan tenaga yang terampil dalam melaksanakan pembangunan pembangunan kelautan di dalam maupun luar negeri, diantaranya dalam rangka mengisi peluang kebutuhan tenaga kepelautan (seafarer) yang dibutuhkan oleh dunia. Selain itu, keamanan dan keselamatan pelayaran merupakan sektor ekonomi yang potensial disamping peran TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI.

4.3 Tatakelola Kelautan (Ocean Governance)

Pembangunan kelautan nasional saat ini masih masih berjalan sendiri-sendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan pembangunan kelautan. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) seharusnya dapat mengembangkan perannya dalam koordinasi pembangunan kelautan atau dibentuk Kementerian Koordinator Kelautan. Ketidak terpaduan kebijakan pembangunan tersebut berdampak pada penanganan suatu program dalam pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral, hal tersebut menunjukan tidak adanya koordinasi pembangunan yang baik di bidang kelautan. Dari berbagai pengalaman pembangunan selama ini, nampak jelas bahwa pembangunan kelautan memang membutuhkan mekanisme koordinasi dan aransemen kelembagaan yang mampu memadukan semua kepentingan institusi negara yang terlibat. Peran institusi negara di laut disajikan secara ringkas pada Lampiran 1 yang menampilkan peran masing-masing institusi negara yang berkaitan dengan pembangunan kelautan.

(21)

pembangunan kelautan tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh sebuah institusi negara yang kewenangannya terbatas atau derajat institusionalnya sejajar dengan lembaga negara yang lainnya. Dengan demikian, agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terkordinasi dan terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tatakelola kelembagaan kelautan (oceangovernance).

Kooiman et.al (2005) mendefinisikan tatakelola (governance) sebagai keseluruhan interaksi antara sektor publik dan sektor privat untuk memecahkan persoalan publik (societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial (social opportunities). Dalam konteks kelautan, tata kelola dapat didefinisikan sebagai sejumlah kebijakan dalam bidang hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang digunakan untuk mengatur dan mengelola kelautan dalam rangka mencapai kesejahteraan bangsa. Tatakelola memiliki dimensi internasional, nasional dan lokal dan termasuk aturan-aturan yang mengikat secara hukum. Dengan demikian, pendekataan kelembagaan (institutional arrangement) diharapkan mampu mewujudkan Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (National Ocean Development Policy) yang terintegrasi dan holistik.

(22)

kebijakan pembangunan kelautan (Kusumastanto, 2003, 2010). Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan yang dimaksud dijelaskan pada Gambar 1.

Keterangan :

Alur Kebijakan Pola interaksi Implikasi

Gambar 1. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Kelautan

(23)

saling mendukung. Sedangkan, pada tingkat implementasi terdapat masyarakat, perbankan, nelayan dan petani ikan, kalangan pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan.

Selain penataan kelembagaan diatas, diperlukan penataan hukum yang terkait di bidang kelautan. Penataan tersebut bukan hanya menata undang-undang yang sudah ada, melainkan juga menambahkan undang-undang yang belum ada namun diperlukan sehingga mampu mewujudkan arsitektur bangunan hukum kelautan yang ideal (Gambar 2).

Dalam arsitektur bangunan hukum setidaknya terdapat lima elemen, yaitu:

Pertama, elemen pondasi, yaitu unsur hukum yang menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI yang dalam bagian ini terdapat 5 undang-undang, yaitu UU No. 1/1973 tentang Landas Kontinen, UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS, UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, dan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara.

(24)

Kedua, elemenpilar, yaitu unsur hukum yang menopang keutuhan dan kedaulatan NKRI serta terjaganya dari pelanggaran hukum yang dalam bagian ini terdapat 11 undang-undang, yaitu UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 9/1992 tentang Keimigrasian, UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3/2004 tentang Pertahanan Negara, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 17/2006 jo UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan, dan UU No. 23/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ketiga, elemen plafon, yaitu unsur hukum yang mengatur pemanfaatan sumberdaya ekonomi di wilayah laut yang pada bagian ini terdapat 10 undang-undang, yaitu UU No. 5/1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 30/2007 tentang Energi, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan, UU No. 45/2009 jo. 31/2004 tentang Perikanan.

Keempat, elemen atap, yaitu unsur hukum yang menjadi payung hukum dalam membangun Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu Undang-undang Kelautan. Dengan demikian, arsitektur hukum di bidang kelautan perlu undang-undang yang menjadi payung hukum yaitu UU Kelautan.

(25)

Kontinen. Khusus untuk Landas Kontinen Indonesia, meski sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1973, namun undang-undang tersebut masih mengacu kepada Konvensi Jenewa Tahun 1958 yang berdasarkan pada kedalaman laut secara vertikal. Sementara aturan UNCLOS 1982, selain berdasarkan vertikal juga berdasarkan horizontal.

5. Penutup

Kelautan adalah tumpuan masa depan Indonesia yang harus dikembangkan secara lestari dan mampu mensejahterakan segenap komponen bangsa di tanah airnya sendiri serta sebagai unsur utama dalam membangun Indonesia sebagai Negara Maritim. Pembangunan kelautan memerlukan suatu perencanaan yang terkoordinasi, komprehensif dan berpihak terhadap kepentingan masyarakat serta lingkungan. Oleh karenanya keterpaduan tujuan pembangunan antar stakeholders serta antar sektor dalam bidang kelautan harus dapat dituangkan melalui kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang dapat diimplementasikan.

(26)

dan didukung Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) yang kuat. Dengan demikian kelautan sebagai arus utama dalam pembangunan Negara Maritim, maka pendekatan kebijakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara terpadu antar sektor ekonomi dalam lingkup bidang kelautan maupun sektor ekonomi berbasis daratan bagi kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral [DESDM]. 2007. Publikasi Media. http://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata [Depbudpar]. 2009. Buku Saku Statistik

Kunjungan Wisatawan Mancanegara 2009. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata Republik Indonesia.

Departemen Perhubungan [Dephub]. 2008. Buku Informasi Transportasi Departemen Perhubungan. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.

Djamin, A. 2001. Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat. Jakarta. Kompas.

Friedheim, R.L. 2000. Ocean Governance at the Millenium: where we have been – whwrw we should go. Ocean & Coastal Management 2000:42 (9); 747-65.

Kooiman J., M. Bavinck, S. Jentoft and R. Pullin. (Eds.). 2005. Fish for Life: Interactive Governance for Fisheries. Amsterdam University Press.

Muhjidin, A.M. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indoesia dan hak Lintas Kapal Asing. Bandung: Alumni.

Nichols, S, D. Monahan and Shuterland. 2003. Good Governance of Canada’s Offshore and Coastal Zone: Towards an Understanding of the Maritime Boundary Issues. Kusumastanto, T. 1997. Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Nasional. Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor

Kusumastanto, T. et al. 2000. Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.

Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor.

(27)

______________. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics – Oceanomics). PKSPL-IPB.Bogor

Kusumastanto, T. et.al. 2008. Perencanaan Pengembangan Hukum Nasional Tentang Kelautan. Badan Pembinaan Hukum Nasional, RI. Jakarta

Kusumastanto, T. et al. 2010. Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy). Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.

Kusumastanto, T. 2010. Kebijakan Tatakelola Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Governance Policy). PKSPL-IPB. Bogor.

Kusumastanto, T. 2011. Kebijakan Kelautan Nasional. Seminar Kelautan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kusumastanto, T. et. Al. 2011. Kebijakan Ekonomi Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.

Kusumastanto. T. et al. Kebijakan Tata Kelola Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.

Kusumastanto, T. 2012. Pembangunan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Kerangka Ketahanan dan Keberlanjutan Bangsa. Round Table Discussion LEMHANAS. Jakarta.

Kusumastanto, T. 2013. Pengembangan Ekonomi Maritim: Tantangan Perekonomian Indonesia. Program Studi Pascasarjana Port, Shipping and Logistics Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan [PKSPL-IPB]. 2007. Kajian Kontribusi Bidang Kelautan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

(28)

Lampiran 1. Institusi – Institusi Negara yang Berkaitan dengan Bidang Kelautan

No Institusi Negara Dasar Hukum Tupoksi Batasan Wilayah

1. Kementerian

Dalam Negeri UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Negeri UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional

Pertahanan UU. No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

Kebijakan pertahanan di

wilayah laut  Perairan PedalamanPerairan Kepulauan  Laut teritorial

(29)

 Kawasan Samudera

Benda Cagar Budaya Pengelolaan barang muatan kapal tenggelam dan situs maritim

Kepariwisataan Wisata Bahari (diving, snorkeling, atraksi laut, surfing, dll)

Negara RI UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Gambar

Tabel 1.  Status Batas Maritim Indonesia dengan Negara-negara Tetangga
Tabel 2. Perkembangan Kontribusi ekonomi Bidang Kelautan Indonesia (1995-
Tabel 3. Nilai ICOR dan ILOR Bidang Kelautan berdasarkan Tabel I-O tahun
Gambar 1. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Kelautan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pencapaian kesegaran lingkungan merupakan bagian dari pembentuk sua sana lingkungan -pe-nginapan-di daerah wisata alamo Elemen alam yang sangat dominan untuk

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun (2003 – 2012) diperoleh dari 15 pos hujan yang tersebar di Sulawesi Utara,

lanjut pada penderita trauma mayor terdapat hubungan yang tidak signifikan, dengan nilai p--0,421, yang berarti waktu trauma bukan faktor dominan penyebab kematian pada

Pada pembakaran sempurna 1 liter gas CxHy dihabiskan 3 liter gas oksigen dan dihasilkan 2 liter gas karbon dioksida; dengan ketentuan semuanya dalam kondisi suhu dan tekanan

Gemilang telah memiliki bagian terkait dalam pembelian bahan bangunan yang sesuai. dengan

4 Penetapan Kinerja Pengadilan Tinggi Agama Semarang Tahun 2012 5 6 7 8 Peningkatan mutu tranparansi peradilan Peningkatan pemanfaatan teknologi informasi Peningkatan mutu

itu dapat dengan maksimal dikembalikan kepada negara. Penting untuk ditetapkan atau diterapkan pidana tambahan buat terpidana korupsi seperti sebagaimana yang telah

Untuk kepentingan keamanan pangan pada biota perairan maka dilakukan penelitian mengenai analisis kandungan logam berat pada kepiting (Scylla serrata) yang berada