• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAR SUDAH JATUH TAK TERTIMPA TANGGA Anj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AGAR SUDAH JATUH TAK TERTIMPA TANGGA Anj"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

AGAR SUDAH JATUH TAK TERTIMPA TANGGA

(Anjloknya Harga dan Strategi Bertahan Petani

Rumput Laut)

Beberapa hari ini saya sering turun ke lapangan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan petani rumput laut di Kabupaten Takalar, Pangkep dan Barru di Provinsi Sulawesi Selatan. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, kini cukup sulit menemukan senyum di wajah mereka. Yang terlihat adalah wajah-wajah murung dan pasrah. Kemurungan itu tak lain disebabkan anjloknya harga jual rumput laut kering dalam lebih dari satu tahun terakhir. Fakta ini tak hanya terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemasok rumput laut terbesar di Indonesia.

(2)

Fakta anjloknya harga jual rumput laut di Sulawesi Selatan dan bisa dikatakan seluruh Indonesia tergolong unik. Walau belum sampai merontokkan seluruh semangat petani, namun kondisi ini menunjukkan ketidakberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam mata rantai tatakelola rumput laut, mulai dari pembudidaya, pengumpul, pedagang, exportir, pengolah, bahkan pemerintah sendiri. Sejak kejatuhan harga rumput laut di awal tahun 2015 sampai sekarang, tidak ada satupun elemen yang mampu menjelaskan faktor penentu utama fenomena ini. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya bisa memberi penjelasan bahwa penurunan harga yang mencapai 50% ini hanyalah fenomena biasa yang kerap terjadi di tahun-tahun sebelumnya, sambil berharap harga akan bangkit kembali.

Sayangnya pernyataan-pernyataan pemerintah maupun pihak pemain utama tersebut seperti tidak memiliki landasan analisis yang kuat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, analisis masih di seputaran kualitas yang belum memadai, permintaan negara importir yang menurun, ekonomi global yang

sedang lesu, atau adanya sinyalemen bahwa tarif export rumput laut yang “katanya” akan dinaikkan

oleh pemerintah. Bahkan ada statement yang sebenarnya cukup menggelikan. Ada sebahagian pihak yang mengharapkan terjadinya bencana di negara exportir lain yang nantinya bisa mengkatrol harga rumput laut di Indonesia. Analisis yang sungguh lucu, karena terkesan mengharapkan nasib sial negara lain agar keberuntungan berpihak pada Indonesia.

(3)

tidak ada satupun petani yang pernah diberi penjelasan cukup tentang kondisi ini. Semua pihak sepertinya membisu, atau memang mungkin tidak tahu apa yang menyebabkan situasi ini bisa terjadi. Di beberapa tempat, terutama di desa-desa pesisir di Kabupaten Barru dan Takalar, situasinya malah sudah cukup mengkhawatirkan. Menurut informasi petani pembudidaya, saat ini jumlah pengumpul atau pembeli local sudah jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Entah karena gulung tikar atua bangkrut, atau beralih bisnis, dari 5 pengumpul di salah satu desa di Kabupaten Barru, kini hanya 1 orang yang aktif melakukan pembelian dari petani. Itupun dengan harga yang cukup menyedihkan, yakni antara Rp 6000 hingga Rp 6500 per kg untuk jenis cottoni. Bahkan yang lebih miris, menurut seorang petani di Kabupaten Takalar, ada pembeli besar yang sudah berhutang kepada seorang pengumpul selama 1 tahun terakhir karena belum mampu membayarkan pembelian rumput laut. Kondisi seperti ini jelas sudah sangat mengkhawatirkan. Jika pembeli besar saja sudah sampai berhutang, bagaimana pula nasib petani kecil pembudidaya yang jumlahnya ribuan di Sulawesi Selatan dan di Indonesia?

Realitas terpuruknya harga jual rumput laut tentu berpengaruh besar terhadap petani pembudidaya maupun masyarakat pesisir lainnya yang hidupnya sangat tergantung dengan rumput laut. Namun sekali lagi, masyarakat terutama petani pembudidaya selalu punya cara untuk tetap bertahan. Hantaman atau tekanan alam dan ekonomi ternyata membuat mereka terlatih untuk mencari solusi tanpa harus menunggu perlindungan dan pertolongan pihak lain. Kemampuan mereka untuk bertahan membuktikan bahwa kapasitas untuk berreaksi terhadap tekanan dan gejolak merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki masyarakat, termasuk petani rumput laut.

Melalui penelusuran di Kabupaten Barru, seperti di Desa Pancana, Kelurahan Tanete, Dusun Polejiwa mencoba bertahan dengan tetap menurunkan bentangan untuk mempertahankan bibit, membudidaya rumput laut untuk menjual bibit, atau menyimpan rumput laut kering sebagai modal untuk melakukan budidaya di musim selanjutnya. Sebahagian kecil dari mereka ada yang menggantung tali bentangan milik mereka dan mencoba memfokuskan diri pada usaha menjaring ikan, memancing, kembali merawat empang atau tambak, berdagang ikan, bahkan mengembangkan usaha pengolahan makanan berbahan baku local.

Satu hal yang patut disyukuri adalah, masyarakat pesisir termasuk petani rumput laut ternyata bukanlah rakyat manja yang selalu meminta perlindungan atas tekanan ekonomi yang mereka alami. Langsung atau tidak langsung, sebenarnya aku melihat ada perubahan besar dikalangan petani rumput laut di kawasan pesisir. Kemampuan mereka menyesuaikan diri atau daya lenting (Resiliensi) mereka terhadap tekanan ekonomi dan alam memang sedang teruji saat ini. Kelesuan dan kemurungan di wajah mereka ternyata sama sekali bukan pertanda putus asa. Namun lebih merupakan expresi kerja keras mereka mencari solusi atas apa yang sedang mereka alami.

(4)

Ya…solusi alternative yang mereka jalankan ternyata menjawab kerentanan tatakelola dan tataniaga rumput laut yang ternyata sangat ringkih atau masih sangat lemah. Walaupun tak menjawab persoalan utama anjloknya harga, namun solusi yang mereka jalankan bisa menjawab kebutuhan rumah tangga yang tak bisa ditunda-tunda.

Kondisi yang sama juga ditemui di Kabupaten Pangkep, terutama di Desa Tamarupa, Kecamatan Mandalle. Kebiasaan hidup dengan 2 atau 3 matapencaharian membuat mereka bisa tetap bertahan walau harga rumput laut tak sesuai dengan yang mereka harapkan. Pak Arman dan Ibu Syarifah berikut anggota kelompok Kalaroang masih melihat budidaya rumput laut adalah salah satu jenis matapencaharian penting yang tak akan pernah mereka tinggalkan. Meskipun harga tak kunjung naik selama hamper 2 tahun lebih, namun kehidupan keluarga mereka tak membuat ekonomi keluarga lumpuh. Mereka masih memiliki jaring untuk mencari kepiting dan ikan, jarum dan tasi untuk membuat jaring dan jala, atau masih memiliki sepetak sawah dan empang yang bisa mereka kelola untuk budidaya ikan, udang dan menanam padi secara alami. Ya, secara alami! Mereka tak khawatir kehabisan modal untuk membeli pupuk yang mahal, karena mereka bisa buat sendiri atau membeli dengan harga murah pupuk organic untuk digunakan pada sawah dan empang mereka.

Satu hal yang menurutku luarbiasa adalah, mereka masih semangat dan memiliki rencana yang jelas untuk terus membudidayakan rumput laut di musim-musim berikutnya. Apa yang membuat mereka bisa tetap semangat walau harga jual rumput laut kering turun bebas selama 2 tahun terakhir?

Jawaban mereka sederhana; “…sudah terbiasa tanam rumput laut, walau harga rendah tapi lebih

pasti…”!! Hmmm…jawaban yang terlalu sederhana, tapi perlu ditelusuri lebih dalam. Kami pun

kemudian sama-sama berhitung untuk menjawab apakah benar-benar budidaya rumput laut masih menjanjikan atau cuma karena tidak ada pilihan matapencaharian.

Untuk 100 bentang rumput laut, paling tidak menurut Pak Arman membutuhkan 500 g bibit. Dengan harga Rp 2500 per kilogram, maka dibutuhkan biaya kurang lebih Rp. 1.250.000. Biaya ikat untuk 100 bentang tersebut menghabiskan biaya Rp 250.00, dan Rp 50.000 untuk konsumsi atau makan minum pekerja mengikat. Selama kurang lebih 40 sampai 45 hari, paling tidak seorang petani rumput laut harus mengeluarkan biaya Rp 90.000 untuk biaya bensin kapal. Total biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani rumput laut untuk satu musim selama 40 sampai 45 hari adalah Rp. 1.640.000.

Dalam kondisi cukup baik, maka 100 bentangan tersebut bisa menghasilkan kurang lebih 3500 kg. Jika dikeringkan maka rumput laut kering yang diperoleh adalah kira-kira 500 kg. Berdasarkan harga sekarang, jika rumput laut kering dengan berat 500 dijual di pengumpul local, maka uang yang diperoleh oleh petani dari 100 bentangan tersebut adalah Rp. 3.500.000. Setelah dikurangi dengan biaya produksi, maka petani rumput laut masih memperoleh Rp. 1.860.000 dari 100 bentangan tersebut.

(5)

dengan 50 bentangan atau kurang lebih 250 kg bibit dengan harga Rp 600 ribu lebih. Selama 20 sampai 25 hari ya akan memperbanyak bibit hingga bisa menghasilkan 1 ton lebih. Sebahagian besar hasil akan dibibitkan kembali, dan sisanya akan dikeringkan. Begitu seterusnya sampai seluruh bentangan yang dimiliki petani bisa diturunkan.

Dikarenakan terbatasnya musim, petani di beberapa wilayah, termasuk Barru dan Pangkep tidak bisa melakukan budidaya sepanjang tahun. Mereka paling-paling hanya bisa membudidayakan rumput laut sebanyak 5 kali dan maksimal 7 kali, itupun jika kondisi laut memang sedang sangat mendukung. Dengan harga rumput laut seperti saat ini, tentu keuntungan yang sebelumnya mereka nikmati saat harga bagus tidak lagi bisa mereka terima. Apalagi biaya atau cost yang harus mereka keluarkan untuk satu putaran tidak pernah berkurang, seperti biaya mengikat, harga bibit, maupun biaya pemeliharaan. Tentu saja semua pengeluaran tersebut sangat menekan kemampuan petani rumput laut. Alih-alih berhenti membudidaya, ternyata sebahagian besar petani masih tetap konsisten melakukan budidaya walau harga sedang tidak berpihak kepada petani. Selain sudah menjadi kebiasaan, rumput laut tetap menjanjikan pendapatan yang lebih pasti dibandingkan harus beralih atau kembali focus pada matapencaharian sebelumnya sebagai nelayan, pekerja tambak dan lainnya. Kondisi yang berbeda di temui di Kabupaten Takalar, khususnya di Dusun Puntodo, Desa Laikang. Turunnya harga rumput laut tentu saja menjadi persoalan besar. Bagi sebahagian petani, mereka tetap fokus membudidaya sambil menunggu harga “normal kembali”. Namun sebahagian dari mereka sudah memilih strategi lain yang selama beberapa bulan atau 1 tahun terakhir menjadi alternative pendapatan mereka.

Di Teluk Laikang saat ini sedang marak budidaya lobster menggunakan keramba. Disamping harganya lebih stabil, pengerjaannya juga tidak terlalu rumit. Walau modal yang digunakan cukup besar, yakni sekitar Rp 10 Juta untuk 4 kotak keramba ditambah bagan tancap sebagai media mencari pakan. Mengapa usaha ini yang mereka jalankan? Selain alasan di atas, membudidayakan

lobster tak membuat mereka “memutus hubungan” dengan rumput laut. Saat merawat keramba,

mereka juga tetap bisa bekerja merawat bentang rumput laut yang lokasinya tidak jauh dari lokasi keramba.

Kendala utama dari budidaya keramba adalah, sampai saat ini bibit lobster masih didatangkan dari Bantaeng. Mereka membeli bibit lobster tersebut melalui pengumpul di Puntondo yang memiliki jaringan dengan nelayan pencari lobster yang ada di Bantaeng. Tentu karena pengadaan bibit lobster dilakukan secara tradisional, maka ketersediaanya pun terbatas dan harus menunggu ketersediaan barulah para pembudidaya bisa melakukan pemesanan.

(6)

Jika biaya bibit bisa ditekan, misalnya dengan membeli dengan cara lebih murah, atau meminjam dengan pengembalian yang ringan, tentu solusi ini bisa sedikit membantu mengurangi cost budidaya dan kembali membuat petani rumput laut lebih bersemangat. Tentu saja membeli dengan cara lebih murah atau meminjam dengan pengembalian yang ringan tak sepenuhnya bisa diperoleh dari para pengumpul local yang saat ini sudah banyak beralih profesi.

Harus ada penyedia bibit yang dikelola dengan tujuan mendukung petani rumput laut agar tetap bisa bertahan. Penyedia bibit haruslah teritegrasi dalam tatakelola komoditas yang dilindungi oleh pemerintah, pihak swasta dan juga bersinergi dengan pembudidaya. Ada banyak lokasi di Sulawesi Selatan yang sangat sesuai dijadikan lokasi pembibitan. Pemerintah Kabupaten dan Provinsi juga punya akses besar untuk menyediakan lokasi pembibitan ini. Walau bukan strategi yang samasekali baru, tapi jika dijalankan dengan tujuan yang benar-benar merupakan solusi atas permasalahan pembudidaya, maka peluang berkelanjutannya kawasan pembudidaya akan semakin besar.

Cerita petani rumput laut yang diperoleh dari Kabupaten Barru, Pangkep dan Takalar itu tentu saja tak menggambarkan realitas utuh dari nasib petani akibat anjloknya harga rumput laut. Ada banyak dampak sekaligus strategi yang mereka jalankan agar tetap bisa bertahan dengan kondisi yang ada. Bagi mereka tekanan seperti ini biasa terjadi selama hidup di kawasan pesisir. Yang tidak biasa adalah, saat ini sangat minim ada penjelasan dari para pihak tentang alasan menurunnya harga. Ini menjadi salahsatu bukti bahwa tatakelola komoditas rumput laut memang masih sangat kabur.

Ketika terjadi situasi seperti menurunnya harga jual, maka yang terlihat adalah “cuap-cuap” atau analisis yang tak terlalu bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, ada beberapa asosiasi petani, pengumpul, pedagang atau exporter rumput laut di level provinsi maupun nasional. Kok kelihatannya tidak kedengaran sama sekali? Atau mungkin juga komoditas ini tergolong komoditas tak terbaca tatakelolanya walaupun sudah puluhan tahun menghidupi banyak orang di pesisir maupun kalangan pedagang di kota besar?

Tatakelola komoditas rumput laut tentu menjadi penting dan dibuat lebih pasti sehingga terhindarlah kejadian-kejadian seperti ini. Petani atau pembudidaya tentu selalu punya solusi walaupun tanpa

diberi input apapun sehingga bisa tetap bertahan dan dapur keluarga bisa “ngepul”. Tapi paling tidak

ada informasi yang lebih jelas, sehingga tidaklah petani dibiarkan menyimpan rumput laut kering sampai 2 tahun lebih. Mereka butuh perlindungan, walau hanya dalam bentuk informasi yang lebih pasti.

Maret 2016

Referensi

Dokumen terkait

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran

Algoritma LVQ merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan sistem kompetisi artinya dalam proses pembelajaran neuron-neuron dalam lapisan kompetisi akan

Keratitis nocardia dengan koinfeksi basidiobolomikosis termasuk ke dalam infeksi yang memiliki gambaran klinis yang tidak biasa dan memerlukan protokol terapi khusus.. 1,2

Untuk penelitian selanjutnya, penggunaan analisis faktor dapat digunakan dengan pemakaian sampel yang lebih besar (minimal 50 unit analisis), serta penggunaan jendela waktu

l Berperan serta dalam pencatatan serta penulisan buku laporan kegiatan di Unit Rawat Jalan Mengadakan kerjasama yang baik dengan semua Kepala Bagian,

Optimalisasi lahan pada rusun Cigugur merupakan pemanfaatan lahan yang kosong agar dapat berfungsi dan dimanfaatkan secara optimal serta tidak menjadi ruang yang tidak

Jepang sebagai negara yang berkaitan langsung dengan kasus, dapat memiliki pengaruh besar secara domestik dan juga mempengaruhi di tingkat internasional melalui voting

Hasil pembahasan dan analisis data tersebut disimpulkan layanan bimbingan kelompok teknik problem solving dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah belajar pada siswa