• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komptensi bahasa Perspektif internal diidentifikasikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komptensi bahasa Perspektif internal diidentifikasikan "

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah

Penguasaan

 

Kompetensi

 

dalam

 

Bahasa

 

Asing

  

dan

 

Pengajarannya:

 

Mempertanyakan

 

Moralitas

1

 

Oleh A. Chaedar Alwasilah

Abstrak 

Makalah ini membahas hakikat pemerolehan kompetensi komunikatif dalam bahasa asing dan bagaimana mengajarkannya dalam konteks pendidikan formal. Disadari bahwa konteks sosial Bahasa Inggris dan Jepang di Indonesia sangat berbeda, sehingga orientasi pengajaran dan kompetensi yang diharapkan dari lulusan seharusnya tidak sama. Dalam makalah ini dibahas pula kultur akademik Indonesia yang jarang diperbincangkan, padahal berkontribusi pada lemahnya performansi dalam bahasa asing. Penulis berpendapat bahwa kultur pembelajaran bahasa ibunda akan mempengaruhi proses pembelajaran bahasa asing. Secara spesifik penulis membahas dua isu kritis: (1) lemahnya apresiasi sastra di kalangan mahasiswa jurusan bahasa asing, dan (2) pragmatisme dalam mempelajari bahasa asing, yakni hanya sekadar mempelajari keterampilan bahasa, sedangkan adopsi atau adaptasi nilai-nilai kultural yang positif seperti tepat waktu, kebersihan, kerja keras, disiplin, kecermatan dalam dokumentasi (menulis), dan menghargai nilai-nilai tradisi yang melekat pada penutur bahasa iitu hampir tidak pernah dijadikan tujuan dalam pendidikan bahasa asing, padahal nilai-nilai itu sangat relevan untuk membangun karakter bangsa.

Kata kunci: bahasa Jepang, kompetensi, moralitas

Komponen Kompetensi Komunikatif 

Kompotensi komunikatif dalam bahas asing melibatkan lima komponen yang saling terkait, yaitu: (1) Language  knowledge, yakni pengetahuan ihwal bahasa yang seringkali relatif mudah dikuasai secara teroretis, dan dapat dipelajari secara autodidak; (2) Cultural knowledge2, yaitu pengetahuan budaya bahasa yang lazim dipelajari lewat sosiolinguistik bahasa itu; (3) Context, yaitu latar (non-linguistik) dari pertuturan atau tindak komunikasi; (4) Language use, atau pemakaian bahasa yang mungkin agak berbeda dari language usage3, yakni sebuah standar yang dirumuskan secara normatif oleh penyusun tatabahasa dan (5) Content knowledge, yaitu pengetahuan ihwal topik atau tema yang dikomunikasikan (Lihat Saville-Troike: 206). Kelima komponen itu saling berkaitan dan memiliki karakteristik tersendiri, serta implikasi pedagogisnya sebagai berikut.

1

Disampaikan pada The International Seminar in The Japanese Language Learning and the  Japanese Educatioin Research di Universitas Widyatama, Bandung, 21-22 Oktober 2010. 2

Dalam studi kebudayaan duibedakan antara Culture dengan culture, yang pertama dengan huruf kapital C merujuk pada artefak budaya seperti The White House, Holy Wood, Beethoven, sedangkan budaya dalam kajian sosiolinguistik termasuk culture dengan huruf kecil c.

3

(2)

2 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah  

Tabel 1 Komponen Kompetensi Komunikatif 

Komponen  Karakteristik, Definisi, dan Implikasi Pedagogis 

1.Language knowledge  Akurasi, indikator pemahaman teoretis dan relatif mudah dipelajari sendiri

lewat buku-buku tatabahasa

2. Cultural knowledge  Kelayakan, melekat pada bahasa, relatif sulit dipelajari lewat buku atau

dipelajari secara mandiri, merupakan sosiologi bahasa itu.

3. Context  Keberterimaan, latar waktu, tempat, dan (non) linguistik dari kejadian

komunikasi yang sangat fleksibel.

4. Language use  Ketepatan dan keotentikan, pemakaian bahasa sebagaimana terjadi di

lapangan, seringkali berbeda dari norma-norma bahasa yang dirumuskan tatabahasa.

5.Content knowledge  Keluasan pengetahuan, tema pembicaraan (komunikasi), pengetahuan

non-kebahasaan, tidak menjadi garapan guru bahasa

Kompetensi berkomunikasi pasti melibatkan kelima komponen di atas, dan penguasaan atau kontrol pembicara/penulis terhadap masing-masing komponen akan menentukan kualitas kompetensi itu. Savignon (1985) menyebut lima karakteristiik kompetensi komunikatif , yakni: (1) dinamis dan interpersonal, (2) ada pada setiap sistem simbol, (3) kontekstual, (4) melibatkan kemampuan dasar dan manifetasi lahiriah, dan (5) relatif. Diperlukan pembelajaran yang relatif lama untuk menguasai kompetensi komunikatif itu. Pembelajaran bahasa asing sangat dapat berbeda dari pembelajaran bahasa ibunda dan proses penguasaan pengetahuan bahasa asing itu dapat dijelaskan dengan merujuk pada sejumlah teori atau konsep seperti dijelaskan Saville-Troike (2006) sebagai berikut:

Innate capacity:  Bagaimanapun juga mesti diakui adanya fitrah qudrati pada manusia yang memungkinkan dirinya untuk menguasai bahasa asing dan bahasa apa saja. Sejak lahir bayi “tak ternoda” memiliki fitrah berkomunikasi dengan lingkungan (baru) lewat tangisan yang produksinya melibatkan semua organ ujar yang juga diperlukan oleh penutur dewasa dalam berkomunikasi. 

Application of prior knowledge: Sejatinya pengetahuan yang dimiliki membantu penguasaan pengetahuan baru.  Pengetahuan bahasa yang sudah dikuasai (bahasa daerah dan bahasa Indonesia) secara otomatis akan dijadikan dasar untuk mempelajari bahasa asing sehingga terjadi fenomena transfer (positif atau negatif). Hal ini dibuktikan dengan lelucon ihwal orang Sunda yang tertera pada T-shirt, sebagai berikut: “Siapa bilang orang Sunda nggak bisa bilang F. Itu mah pitnah!”  

 

(3)

3 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah (1982) menyebutnya comprehensible input—bagaikan makanan yang bergizi yang secara kuantitas tidak kurang dan tidak lebih. Kondisi ini dapat diberi ilustrasi makan bersama di restoran sebagai: Right menu, right time, and right company.’ Terkait dengan ini, Jerome Bruner pernah mengatakan, “We can teach anything to the child honestly, if we reason  within the child’s experience.”  

 

Interaction: Penguasaan bahasa harus dilakukan lewat interaksi, karena pada akhirnya bahasa dipakai untuk berinteraksi. Pembelajar tidak boleh diisolasi atau mengisolasi diri. Interaksi yang dimaksud adalah interaksi pedagogik yang memfasilitasi proses pembelajaran yang mencakup kolaborasi sesama sejawat, pemberian feedback dari sejawat dan dari guru, dan pembelajar secara sengaja diterjunkan ke ‘sungai’, dipaksa berenang semampu mungkin agar tidak tenggelam. 

 

Restructuring of L2 knowledge system: Dalam diri pembelajar ada proses bongkar-pasang terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Apa yang diperoleh kemarin tidak semuanya benar dan akan dikoreksi pada pertemuan hari ini dan besok. Proses bongkar-pasang ini adalah sebuah proses kreatif yang sinambung dan digerakkan oleh kekuatan internal untuk terus berinteraksi dengan lingkungan, juga terbantu oleh bahasa daerah/Indonesia, dan input yang diterima dari guru/dosen. 

 

Mapping of relationships or associations: Pembelajar melakukan asosiasi yakni pemaknaan bentuk bahasa dengan fungsinya. Dalam bahasa Inggris, misalnya kata kata kerja bantu will berfungsi antara lain untuk menyatakan masa depan (futurity). Ini yang lazim diajarkan oleh guru. Pembelajar yang baik secara terus menerus memperkaya asosiasi ini sesuai dengan input yang diterimanya. Secara berangsur akan dikuasai bahwa ada fungsi lain dari will, yaitu untuk menyatakan ancaman, seperti dalam kalimat I will fire you!, juga will dapat berfungsi sebagai nomina yang berarti surat waris. 

 

(4)

4 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah Sebagai guru bahasa kita berharap bahwa semua siswa kita sukses dalam mempelajari bahasa asing. Namun, dalam keseharian kita menyaksikan beberapa pembelajar lebih sukses daripada yang lain, bahkan banyak yang gagal. Ada sejumlah konsep dan teori untuk menjelaskan fenomena itu sebagai berikut: (1) Social context, yakni konteks sosial (atau konteks Indonesia) dari bahasa yang dipelajari dalam kaitannya dengan bahasa asing lainnya; (2) Social experience, yakni sejauh mana pembelajar memiliki jaringan sosial yang memberikan kemudahan berinteraksi menggunakan bahasa asing; (3) Relationship  of  L1  and  L2, yaitu kedekatan linguistik antara bahasa ibunda dan bahasa asing; (4) Age, bahwasanya usia muda lebih memungkinkan terjadinya peniruan lahir-batin (baca: form‐function) dan tercapainya kualitas mirip penutur asli atau native‐like; (5) Aptitude, yaitu kapasitas memproses input bahasa dari mulai stimulus auditori, lalu diproses dalam pikiran, dan menyimpannya dalam memori untuk digunakan kapan saja digunakan; (6) Motivation, sejauh mana pembelajar memiliki nawaitu untuk menguasai bahasa asing. Semakin dahsyat, semakin cepat, dan semakin fasih berbahasa asing; dan (7) Instruction, yakni faktor pembelajaran yang difasilitasi oleh guru. Kualitas guru profesional akan berkontribusi pada penciptaan quality instruction. Dari penelitian yang saya lakukan (Alwasilah: 2010), guru efektif memiliki karakteristik sebagai berikut:

 

Tabel 2 Karakteristik Guru Profesional 

Guru profesional  Guru tidak profesional 

Menerangkan dengan jelas, sabar saat mengajar, memberi inspirasi, tidak memaksakan kehendak kepada siswa, tidak segan menjelaskan ulang, menggunakan referensi yang baik, datang on time dan rajin mengajar, dan menguasai materi yang diajarkan.

Mengeluarkan kata-kata kasar, galak, judes, sensitif, cepat marah, menjenuhkan, jarang masuk, tidak akrab dengan siswa, tidak menguasai strategi mengajar, dan tidak menguasai materi ajar.

Untuk apa repot‐repot belajar bahasa asing?  

Sedikitnya ada dua ranah pemakaian bahasa, yaitu untuk kepentingan komuniukasi personal dan komunikasi akademik. Untuk kepentingan komunikasi personal, maka prioritas keterampilan yang mesti dikuasai adalah listening,  speaking,  reading, dan writing, dan demikianlah urutan alami dalam pemerolehan bahasa ibunda. Sedangkan untuk kepentingan komunikasi akademik prioritasnya adalah sebagai berikut: reading, listening, speaking, dan writing. Urutan prioritas ini perlu diberi catatan sebagai berikut:

(5)

5 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah menguasai bahasa Inggris untuk membaca buku teks dalam bahasa Inggris. Hal ini berbeda dengan pembelajaran bahasa Jepang.

 Buku teks sains dan teknologi dalam bahasa Jepang terbatas penggunaannya, yakni pada program Pascasarjana atau pada PT di Jepang. Dengan demikian, orientasi komunikasi akademik dalam bahasa Jepang tidak layak diterapkan pada pendidikan pra-PT bahkan pada program S-1 pun, mengingat pada umumnya lulusan S1 (Pendidikan) Bahasa Jepang tidak akan mempelajari sains dan teknologi dalam bahasa Jepang. Hanya sebagian kecil saja yang akan menjadi dosen, instruktur, atau yang akan kuliah di Jepang. Sebagian besar lulusan diserap oleh dunia industri dan jasa yang lebih memerlukan keterampilan komunikasi personal bukan komunikasi akademik. Pada umumnya para pembelajar ingin mampu berkomunikasi dalam bahasa Jepang dan untuk bekerja, atau terdorong oleh kesenangan pada budaya Jepang, seperti musik J. Rock, drama, animasi dan olahraga (Danasasmita: 2008). Dan sejak 2008 Jepang memerlukan tenaga perawat care givers dari Indonesia, yang tentunya semakin besar lowongan kerja bagi mereka yang menguasai bahasa ini.

 Berbeda dengan Bahasa Inggris, bahasa Jepang di Indonesia pada umumnya mulai dipelajari pada tingkat PT, sehingga tingkat kefasihan lulusan S-1 Bahasa Jepang tidak terbandingkan dengan tingkat kefasihan lulusan S-1 Bahasa Inggris. Dengan kata lain, secara sosial, tingkat kesulitan mempelajari bahasa Jepang jauh lebih besar ketimbang mempelajari bahasa Inggris. Walau demikian, jumlah peminat terhadap bahasa Jepang di Indonesia terus meningkat sehingga menempati urutan pertama di lingkungan ASEAN dan urutan ke-6 di dunia (Danasasmita: 2008)4.

Yang sering terlupakan dalam membahas pendidikan bahasa asing adalah pengaruh kultur akademik Indonesia yang mempengaruhi kualitas pembelajaran bahasa asing di PT khususnya. Dari survei (Alwasilah: 2010, Alwasilah: 2008) ihwal pembelajaran bahasa Indonesia di SMA, ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Siswa lebih menguasai teori bahasa daripada praktik berbahasa. Ini menunjukkan bahwa guru Bahasa Indonesia lebih suka menjejali siswa dengan pengetahuan tentang bahasa, daripada mengajari siswa menggunakan bahasa. Para guru bahasa asing mesti sadar bahwa mereka menghadapi sekelompok pembelajar yang cenderung menghapal teori dan kurang berani berpraktek.

4

(6)

6 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah 2. Masih banyak lulusan SMA yang tidak menguasai EYD. Artinya para guru bahasa asing harus siap menghadapi sekelompok pembelajar yang masih ceroboh dalam mengeja. Perlu ada upaya ekstra membiasakan mereka mengeja dengan cermat dalam bahasa asing. Terlebih lagi jika bahasa asing itu tidak menggunakan huruf Latin, seperti bahasa Jepang, Mandarin, dan Korea.

3. Dalam pembelajaran bahasa, otak kanan kurang diberdayakan. Para guru bahasa asing seyogianya kreatif dalam menciptakan pembelajaran yang memberdayakan otak kanan, antara lain dengan “genjotan affektif” sehingga siswa jatuh cinta pada bahasa asing. Bahasa asing bukan “monster Orouchimaru”, tetapi “Sailor Moon”5 yang memesona. 4. Kelas bahasa terlalu besar sehingga sulit bagi guru untuk memonitor tiap siswa. Sangat

masuk akal jika para guru pada umumnya cenderung menggunakan metode ceramah. Ini persoalan klise dan turun temurun yang bisa diselesaikan lewat pengelompokan menjadi kelas-kelas kecil dan kegiatan kolaboratif, atau dengan menggunakan media ajar yang interaktif.

5. Pengajaran sastra terabaikan. Pada umumnya lulusan SMA lebih menguasai literasi linguistik daripada literasi sastra. Artinya jangan berharap bahwa mereka akan siap mengapresiasi sastra asing. Tanamkanlah pada mereka apresiasi sastra dalam bahasa Indonesia dulu sebelum mengapresiasi sastra asing. Selama ini ada sekelompok dosen bahasa asing yang tidak merasa berkepentingan menggunakan sastra Indonesia atau sastra daerah karena mereka adalah dosen bahasa asing. Sikap keliru demikian itu telah menyebabkan rendahnya apresiasi sastra secara keseluruhan di kalangan dosen dan mahasiswa bahasa asing. Situasi ini dalam kearifan Sunda dikatakan: Cul dogdog tinggal  igel. Namun igel-nya pun bukan igel.

6. Pengajaran menulis seringkali tidak mengajarkan keterampilan menulis. Seperti disebut pada butir 1 di atas, para lulusan SMA lebih menguasai teori menulis daripada terampil menulis. Artinya hampir dapat ditebak bahwa mengajarkan menulis dalam bahasa asing akan jauh lebih sulit daripada mengajarkan keterampilan lainnya.

7. Dalam pembelajaran menulis, guru dan dosen seringkali lebih berfokus pada produk dan mengabaikan proses menulis. Menulis dalam bahasa Indonesia merupakan keterampilan yang paling sulit dikuasai para siswa SMA karena dua alasan: (1) guru jarang atau tidak memberi motivasi untuk menulis, dan (2) guru tidak atau jarang melatih siswa menulis. Seyogianya disadari bahwa, menulis dalam bahasa Indonesia merupakan keterampilan paling salit, apa lagi menulis dalam bahasa asing.

Ketujuh temuan di atas seyogianya dapat menjelaskan mengapa para mahasiswa jurusan bahasa asing, khususnya bahasa asing selain bahasa Inggris di Indonesia, relatif tertinggal dalam

5

(7)

7 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah publikasi dan relatif lemah dalam mengapresiasi sastra. Ini seyogianya memacu kita untuk melakukan redefinisi pembelajaran bahasa asing, terutama dalam dua hal: pembelajaran menulis dan apresiasi sastra.

Moralitas dalam pembelajaran bahasa asing 

Dalam literatur pembelajaran bahasa asing, konsep kompetensi kultural (cultural  competence) lebih berbasis pada asumsi-asumsi etnografi, linguistic antropologi, dan pragmatik silang budaya (Lihat Freed: 1991). Dan ini hampir sama dengan apa yang dimaksud dengan culture dalam kajain sosiolinguistik. Sesungguhnya ada lagi aspek yang (sangat) terabaikan dalam wacana pembelajaran bahasa asing, yakni transfer pola budaya dan pola pikir dari pemilik bahasa asing itu. Transfer nilai-nilai positif yang membatin atau internalized pada bangsa Jepang seperti mencintai tradisi, disiplin, kreatif, gemar menulis, kerja keras, tepat waktu, egaliter, dan sebagainya hampir tidak pernah dijadikan tema dalam wacana pembelajaran bahasa Jepang. Selama ini pendekatan kita terhadap pembelajaran bahasa asing adalah pragmatisme, yaitu melihat konsekuensi sebagai makna dan dinilai dengan kegunaannya dalam konteks Yen dan Rupiah. Kita para guru dan dosen bahasa asing selama ini terbawa paham pragmatisme, yaitu“… the search for knowledge is not a quest for abstract truth but for  solutions to practical problems… that scientific and philosophical inquiry should be connected to 

real‐world experience and practical consequences.” (Rohmann 2002: 312). Ihwal pembelajaran

bahasa Inggris, Johnston (2003) mengingatkan tiga hal, yaitu: (1) esensi belajar bahasa asing terletak pada nilai moralnya, (2) moralitas pengajaran bahasa asing itu sangat kompleks, dan (3) dimensi moral dalam pembelajaran bahasa asing itu jarang dibicarakan, padahal penting untuk pengembangan profesi guru. Seyogianya kita menyadari bahwa tujuan pendidikan nasional bertujuan antara lain membangun karakter bangsa. Inilah yang saya maksudkan dengan “moralitas” dalam pembelajaran bahasa asing yang selama ini terabaikan. Artinya, penguasaan bahasa asing seyogianya ikut berperan membangun karakter dan etos kerja. Dalam hemat saya demi moralitas tadi, perlu ditempuh pendekatan peradaban.

(8)

8 | Page

Penguasaan Kompetensi Dalam Bahasa Asing dan Pengajarannya: Mempertanyakan Moralitas/Alwasilah untuk memperkenalkan kearifan budaya lokal dalam pembelajaran bahasa asing. Seyogianya dalam setiap pembelajaran bahasa asing guru dan dosen memperkenalkan pemahaman silang buadaya atau cross‐cultural understanding antara bahasa pertama dan bahasa asing.

Dalam melibati dialog wacana kebudayaan yang sangat ramai ini, pengajaran dan pembelajaran bahasa asing selayaknya diposisikan sebagai bagian dari proses humanisasi bukan sekadar transfer ilmu pengetahuaan apalagi penuangan informasi. Pemikiran bangsa Jepang dipengaruhi filsafat atau ajaran Tao dan Konfucianisme, yakni ajaran untuk bersikap lemah lembut dan ajaran untuk mmementingkan hubungan dengan sesama manusia sebagaimana tercermin dalam konsep honne, tatemae, amae dan miyabi (Dahidi & Darmasetiawan, 2008). Pendidikan bahasa bertugas mentransfer nilai-nilai luhur sebagai proses pembudayaan yang menghentak-hentak segenap daya berpikir atau daya kreativitas siswa dan mahasiswa. Singkatnya, pendidikan bahasa asing seyogianya merupakan bagian dari liberal education.

 

Referensi

 

Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Pokoknya Action Research (akan terbit). Bandung: Kiblat. _______. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Alwasilah, A. Chaedar, dkk. 2009. Naskah Akademik: Etnopedagogi sebagai Landasan Praktik  Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Rizqi.

Dahidi, Ahmad dan Johannes B. Darmasetiawan. “Interferensi pada Komunikasi Bisnis antara Budaya Indonesia dan Budaya Jepang.” Jurnal Bahasa Asing, Volume 4, Desember. 46-56.

Danasasmita, Wawan. 2008. “Guru Bahasa Jepang di Indonesia: Peluang dan Tantangan.” Jurnal  Bahasa Asing, Volume 4, Desember. 1-18.

Freed, Barbara F (editor). 1991. “Current Realities and Future Prospects in Foreign Language Acquisition Research”. Dalam Foreign Language Acquisition Research and the 

Classroom. Toronto: D.C. Heath and Company. 3-27.

Johnston, Bill. 2003. Values in English Language Teaching. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Krashen, S. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Oxford: Pergamon. Rohmann, Chris. The Dictionary of Important Ideas and Thinkers. London: Arrow Boooks. Savignon, S. 1985. Communicative Competence. Theory and Classroom Practice: Texts and 

Contexts in Second Language Learning. Reading, MA: Addison-Wesley.

Saville-Troike, M. 2006. Introducing Second Language Acquisition. Cambridge University Press. Takamori, Honggo. 1997. “Masalah yang Dihadapi Jepang Menyongsong Abad ke-21: Teori

Referensi

Dokumen terkait

Nilai signifikansi sebesar 0,000, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (0,000<0,05) maka koefisien korelasi signifikan dan dapat digeneralisasikan ke

[r]

TINDAK LANJUT Sebagai pendalaman mahasiswa diminta membandingkan konsonan dan vokal bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia. 5'

Pada tinkal yans lebin lanjrt yann peta nalar, peibah,sa menuqkihhan penbaca untuk mensect lebih lanjut, baeainan*ah selanu ini budaya, pikna. Iole}tif atau ,rrrd

Kaligis (1992 : 40), LKS atau Lembar Kerja Siswa merupakan sarana pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam meningkatkan keterlibatan atau aktivitas peserta

Kedua: hukum adat di Desa Olehsari kedudukan anak angkat mendapatkan harta gono-gini orang tua angkatnya harus diadakan musyawarah dengan anak kandung, jika tidak

Pada hari ini Senin tanggal Delapan bulan Juli tahun Dua Ribu Tiga Belas dimulai Pukul 10.30 WIB s/d Pukul 23.59 WIB dengan mengambil tempat di Dinas Bina Marga dan Cipta

Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangannya siswa yang masih melihat segala