• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA POLITIK PEMILIHAN KEPALA DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DINAMIKA POLITIK PEMILIHAN KEPALA DESA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POLITIK PEMILIHAN KEPALA DESA

Leni Novianti, 141510501223, Program Studi Agroteteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

Abstract

Indonesia experienced a change in politics and in the economy in the aftermath of the reform. Components that undergo a change that the party system, the electoral system and the relationship between central government and local governments. The general election is a political process in which citizens have had the right to vote for the voice channel to select certain people to be representative of the people. Subjects in the election is the voters and candidates. As with other citizens of rural communities also have the right to elect and be elected as representatives of the people. However, the current political situation in the village is healthy idak politics because politics is the politics of money used. Political money in Pilkades tarnish democratization in Indonesia.

Abstrak

Indonesia mengalami perubahan dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi pada masa setelah reformasi. Komponen yang mengalami perubahan yaitu sistem kepartaian, sistem pemilihan umum dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemilihan umum merupakan proses politik dimana warga negara yang telah memiliki hak memilih untuk menyalurkan suaranya untuk memilih orang-orang tertentu untuk menjadi wakil rakyat. Subyek dalam pemilu adalah pemilih dan kandidat. Sama halnya dengan warga negara lain masyarakat desa juga berhak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat. Namun saat ini politik yang terjadi di desa merupakan politik yang idak sehat karena politik yang digunakan adalah politik uang. Politik uang dalam Pilkades menodai demokratisasi di Indonesia.

Pendahuluan

(2)

Sistem kepartaian, Indonesia menerapkan sistem multi-partai diiringi dengan pencabutan politik masa mengambang (floating mass). Konsekuensinya, penduduk desa bebas untuk menjadi pengurus, anggota, dan atau simpatisan partai politik manapun. Terkait dengan sistem pemilihan umum, reformasi menghendaki para pejabat politik, terutama eksekutif pada tingkat pemerintahan pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dipilih langsung oleh rakyat. Konsekuensinya, frekuensi penduduk desa mengikuti pemilihan umum semakin tinggi. Dalam kurun waktu lima tahun, paling tidak, mereka akan mengikuti empat pemilu yakni: pemilu presiden/wakil presiden, pemilu anggota DPR/DPD/DPRD, pemilu gubernur/wakil gubernur, pemilu bupati/wakil bupati dan/atau walikota/wakil walikota, serta pemilihan kepala desa (pilkades).

Sementara itu, ketika reformasi berhasil mengubah hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi (pemusatan) yang diaplikasikan sejak 1999, jarak proses pembuatan keputusan politik semakin pendek dan pemerintah daerah semakin memiliki ruang manuver lebih besar untuk mempercepat pembangunan daerah. Di depan mata, terlihat jelas bagaimana desentralisasi diiringi dengan pemekaran desa/kelurahan, implementasi Dana Alokasi Desa (DAD), dan semakin strategisnya posisi kepala desa dan penduduk desa karena imbas pemilihan kepala daerah secara langsung.

(3)

kelemahan teori-teori ini perlu diulas secara menyeluruh jika ingin digunakan sebagai contoh untuk memahami relasi politik calon kepala desa (the candidate) dengan para pemilih kepala desa (the voter). Tetapi, keberadaan teori-teori ini tetap penting untuk membangun kerangka pikir dalam rangka menjelaskan nexus candidate-voter dalam konteks pilkades.

Pembahasan

Makna dan Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum (general elections) dapat didefenisikan sebagai proses politik dimana warga negara yang sudah memiliki hak pilih menyalurkan suaranya untuk memilih orang-orang tertentu yang akan duduk mewakili mereka di lembaga perwakilan, baik itu lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum inilah yang menjalankan roda pemerintahan perwakilan. Pemilu, hak pilih dan atau hak memilih warga negara, dan lembaga perwakilan merupakan sebagian dari ciri-ciri sistem pemerintahan demokrasi.

Pemilihan umum merupakan fenomena politik yang bisa dijelaskan dari dimensi sistem, kontestasi, proses, nilai dan norma, dan metode tertentu. Pemilihan umum bersifat universal karena diterapkan di semua negara yang menggunakan demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Tetapi, muatan dimensi sistem, kontestasi, proses, metode, prosedur, nilai dan norma penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri bisa berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya.

(4)

tergantung kepada jumlah penduduk yang ada di daerah pemilihan tersebut (Rodee, et al., 1983).

Di lihat dari dimensi kontestasinya, pemilihan umum bisa diikuti individu dan/atau partai politik. Meskipun individu diperkenankan menjadi kontestan pemilihan umum, tetapi kebanyakan negara-negara demokrasi mensyaratkan keberadaan partai politik sebagai wadah bagi warga negara untuk menduduki jabatan-jabatan politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Per defenisi, partai politik dapat didefenisikan sebagai organisasi politik yang didirikan oleh sekumpulan warga negara untuk mengagregasikan, mensosialisasikan, mengkomunikasikan, dan mengartikulasikan kepentingan politik anggotanya.

Pemilihan umum terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Di Indonesia, sebagai contoh, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yakni: pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan proses pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan, kampanye, masa tenang, pemungutan dan perhitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terpilih (Pasal 4 Ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008).

Di lihat dari nilai dan normanya, pemilihan umum diselenggarakan dengan berpedoman kepada seperangkat nilai dan norma tertentu. Sebagai contoh, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Daerah wajib dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keberadaan nilai dan norma penting untuk memelihara proses pemilihan umum yang berkualitas.

(5)

kampanyenya, bagaimana metode pencalonan kontestan pemilu, dan lain sebagainya.

Perilaku pemilih dan kandidat

Pemilih dan kandidat merupakan subyek dalam pemilihan umum. Keduanya merepresentasikan warga negara yang memiliki hak konstitutional untuk dipilih dan/atau memilih. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan hak konstitutional ini. Jika para pemilih merealisasikan hak memilihnya, maka kandidat (baik yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan dan/atau melalui jalur partai politik) merealisasikan hak untuk dipilih.

Dalam konteks makalah ini, perbedaan antara pemilih dan kandidat bisa dijelaskan melalui aspek perilakunya. Yang dimaksud dengan aspek perilaku dari sisi pemilih adalah respon fisik, psikis, dan sosial yang diberikan para pemilih akibat kehadiran stimulus dari dalam dan luar dirinya yang mempengaruhi pilihan akhirnya dalam proses pemilihan umum. Sedangkan dari sisi kandidat, aspek perilaku merujuk kepada serangkaian respon fisik, psikis, dan sosial yang diberikan kandidat untuk mempengaruhi keputusan akhir para pemilih dalam pemilihan umum.

Pemilihan umum, apapun sistem dan metodenya, keputusan akhir para pemilih berada dua spektrum pilihan, yakni: memilih dan/atau tidak memilih. Pertanyaan yang selalu memicu adrenalin intelektual ilmuwan politik terhadap fenomena ini adalah mengapa para pemilih memilih dan/atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Penulis akan menguraikan beberapa teori yang telah dikembangkan ilmuwan politik untuk menjelaskan persoalan perilaku pemilih ini.

(6)

sosio-demografis, persepsi pemilih terhadap kondisi ekonomi, evaluasi retrospektif pemilih terhadap kinerja incumbent) dan model party competition (perilaku pemilih dipengaruhi faktor loyalitas kepada partai politik, kemampuan pemilih menganalisis program-program yang ditawarkan kandidat, dan persepsi bahwa tidak ada kontestan pemilihan umum yang atraktif.

Argumentasi Adams, Merrill III, dan Grofman (2005) memiliki kelemahan serius jika ingin digunakan untuk memahami relasi politik calon kepala desa dengan para pemilih. Model party competition tidak bisa diterapkan karena pencalonan seseorang dalam pilkades tidak melalui partai politik. Hanya model spatial dan model behavioral yang bisa diterapkan meski dengan sangat hati-hati. Sebab, dalam kasus model behavioral, tidak seluruh variabel dalam model ini bisa diaplikasikan karena kurang relevan. Sebagai contoh, model ini menganggap persepsi pemilih terhadap kondisi ekonomi merupakan salah satu determinan para pemilih. Dalam konteks pilkades, variabel ini kurang relevan karena faktanya kondisi perekonomian desa lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor ekternal (misalnya, kebijakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota).

Gerak Perubahan Masyarakat Desa: Sustensi dan Resistensi

Pada dasarnya masyarakat desa adalah masyarakat yang bersifat egaliter (di Jawa dikenal dengan konsep sami-sami, padha-padha) (Suhartono, 1999). Secara historis masyarakat desa mengalami proses transformasi sosial sejak zaman kerajaan, kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga kini (sebut saja “Orde Transisi Menuju Demokrasi”).

(7)

(yang menonjol di antara sesama, atau juga disebut cikal bakal) {Suhartono, ibid}. Namun, sebagian masyarakat desa yang lain telah mengalami proses feodalisasi karena sang primus interpares terserap dalam birokrasi kerajaan, dan menjadi “raja kecil” di desanya (bekel). Desa masuk dalam orbit kekuasaan kerajaan dan diposisikan sebagai supplierlogistik dan tenaga kerja, dibawah pengawasan seorang pejabat kerajaan atau pangeran (disebut patuh). Protes rakyat terhadap kebijakan raja biasanya dilakukan dalam bentuk pepe, atau keluar dari desanya pindah ke desa lain (Ong Hok Ham, 1988).

Pada masa kolonial proses diferensiasi dan stratifikasi sosial kian menguat, akibat diberlakukannya sistem kekuasaan indirect rule yang menempatkan elit lokal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Posisi tertinggi bagi rakyat Indonesia dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial ialah sebagai bupati, sedangkan level di atasnya diperuntukkan bagi orang Belanda. Birokrat pribumi sepertinya sengaja ditempatkan pada posisi yang “tersudut”, di satu sisi dituntut loyal kepada atasannya, namun di sisi lain hal itu dilakukan dengan cara menindas rakyatnya sendiri. Para bupati menjadi semacam boneka yang otoritasnya tergantung kepada kekuasaan kolonial (Kartodirdjo, 1984).

Pada masa kolonial partisipasi rakyat desa telah di bebas gunakan untuk melancarkan eksploitasi kolonial lewat penguasa lokal. Pemerintah kolonial telah menutup “partisipasi demokratis” rakyat desa dan mengubahnya ke bentuk “partisipasi kolektif otoriter”, yang mau tidak mau mengakibatkan rakyat harus tergantung pada perkebunan dan pemerintah. Ketergantungan rakyat desa kepada pemerintah kolonial Belanda semakin besar sejalan dengan makin menipisnya kepentingan kolektif desa.

(8)

Masuknya modernisasi birokrasi membawa akibat, antara lain, terganggunya lembaga lembaga tradisional, ketidakserasian sosial, dan perasaan tidak aman dan frustrasi di kalangan luas. Oleh karena itu, pemberontakan itu dapat pula dipandang sebagai ekspresi protes sosial terhadap, atau penyesuaian negatif kepada, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar oleh dominasi Barat (Kartodirdjo, 1984). Jika pada masa kolonial partisipasi politik rakyat desa telah direduksi, maka pada awal kemerdekaan partisipasi politik rakyat desa dihidupkan kembali. Namun, aktivitas politik rakyat desa hanya sempat hidup beberapa tahun saja. Pemerintahan Orde Lama mendorong kaum tani untuk masuk ke partai politik atau aktif dalam organisasi-organisasi petani yang didirikan oleh partai. Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mempercepat proses defeodalisasi struktur politik desa.

Selain itu, kebijakan pembangunan desa diarahkan pada upaya perbaikan produktivitas hasil pertanian. Kebijakan itu dijalankan antara lain dengan mengganti Undang-undang Agraria tahun 1870 yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dengan UUPA No.5/1960, dengan tujuan memperbaiki ketimpangan struktur kepemilikan tanah. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan UU Bagi Hasil, yang menetapkan bahwa seluruh kesepakatan bagi hasil harus dilakukan secara tertulis. Undang-undang ini juga menentukan bahwa hasil panen harus dibagi dalam proporsi yang adil antara pemilik tanah dengan penggarap. Tujuan diberlakukannya dua kebijakan itu ialah meningkatkan rasa tanggung jawab penduduk desa demi mencapai kesejahteraan sosial. (Mubyarto and Loekman Soetrisno, 1989).

(9)

diijinkan hanyalah HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), yang bersifat non-politis.

Adapun gejolak sosial-politik masyarakat desa pada era Orde Baru antara lain dapat dilihat dari peristiwa pemilihan kepala desa (Pilkades). Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Yogyakarta (BP3U, 1988) menunjukkan bahwa penyebab munculnya gejolak dalam masyarakat desa antara lain: jumlah pemilih tidak memenuhi kuorum, calon tunggal tidak terpilih, calon favorit tidak lulus ujian tulis, calon tersangkut OT (organisasi terlarang), penghitungan suara dilakukan dua kali (secara terbuka dan secara tertutup), kelebihan suara pemilih (ada pemilih tidak sah), aksi boikot (sebagian pemilih sengaja tidak memberikan suaranya).

Selama rezim Orde Baru berkuasa, Pilkades telah berlangsung dalam dua gelombang, gelombang I dilaksanakan pada periode 1988-1989 dan gelombang II pada periode 1996-1997. Baik pelaksanaan Pilkades pada gelombang I maupun II telah menimbulkan berbagai gejolak dalam masyarakat desa. Studi Douglas Kammen (2000) menunjukkan bahwa terjadi banyak protes dalam pelaksanaan Pilkades di Jawa. Protes Pilkades muncul dalam berbagai bentuk dan dipicu oleh banyak alasan.

Pada era reformasi, situasi desa ditandai oleh berbagai pergolakan politik menyangkut isu: pemilihan kepala desa (Pilkades), masalah penguasaan tanah, kasus tuntutan pencopotan jabatan (mulai dari kepala desa sampai bupati), munculnya semacam gerakan tandingan yang efeknya memecah-belah dan menggelisahkan masyarakat (misal isu “dukun santet” di Banyuwangi). Masyarakat desa menuntut para kepala desa beserta perangkatnya yang selama masa Orde Baru aktif membantu mengumpulkan suara untuk Golkar agar mengundurkan diri. Demikian pula kepada para camat yang dinilai telah melakukan tind ak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) “dipaksa” oleh rakyat desa untuk melepaskan jabatannya (Soetrisno, 1999).

(10)

terutama difokuskan pada isu perubahan posisi dan fungsi pemerintahan desa, pemilihan anggota BPD, dan pengisian perangkat desa.

Praktik politik uang di Desa

Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.

Prinsip-prinsip praktek politik demokratis dapat dimulai dari kehidupan politik di desa. Unsur-unsur esensial demokrasi dapat diterjemahkan dalam pranata kehidupan politik di level pemerintahan formal paling kecil tersebut. Menurut Robert Dahl, terdapat tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni: 1) kompetisi, 2) partisipasi, dan 3) kebebasan politik dan sipil (Sorensen, 2003).

Dinamika dan konstelasi politik di desa memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut antara lain ditunjukkan dalam prosesi pemilihan kepala desa (Pilkades) yang jauh dari hiruk pikuk dunia kepartaian. Dalam kejumudan yang dihadapi masyarakat dengan tidak sehatnya kehidupan kepartaian di Indonesia, baik oleh karena tidak berjalannya fungsi-fungsi ideal kepartaian termasuk rekrutmen politik maupun ketidakmampuan elit di dalamnya dalam mengartikulasi kepentingan sebagian besar rakyat, seharusnya masyarakat dapat menemukan alternatif lain dalam melaksanakan demokrasi prosedural melalui pemilihan Kepala Desa.

(11)

(Kompas, 11 Maret 2007). Bahkan pada masa menguatnya desakan perubahan Pemilihan Presiden dari Pemilihan dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke Pemilihan Presiden langsung, Pilkades seringkali menjadi referensi. Ruang publik seringkali dihiasi dengan statemen semacam ini: “..Kalau Pilkades saja sangat demokratis dengan pemilihan secara langsung, masak pemilihan presiden tidak berani secara langsung?!”.

Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Di beberapa daerah fenomena demikian tampak benderang. Seorang calon kepala desa atau kades tertangkap tangan sedang melakukan praktik politik uang menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawungangten, Kabupaten Cilacap (Kompas Jawa Tengah, 2 Maret 2007). Tidak saja dilakukan oleh calon Kades, disinyalir ada keterlibatan bandar judi dalam praktek politik uang. Dalam penyelenggaraan Pilkades, bandar judi dari sekitar desa akan berdatangan untuk meramaikan pasar taruhan dan kalau mungkin ikut mempengaruhi hasil pemilihan (Kompas, 8 Maret 2007). Fenomena negatif demikian muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia.

Secara teoretik, John Markoff (2002), mengindikasikan adanya fenomena hybrid dalam demokrasi pada masa transisi. Ada percampuran elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem politik. Larry Diamond (2003) memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo democracy). Indikatornya, mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money politics) merupakan salah satu fenomena negative mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.

Kesimpulan dan Saran

(12)

akan menjadi wakil rakyat. Pemilih dan kandidat merupakan subyek dalam pemilihan umum. Pemilih merupakan warga negara yang berhak memilih sedangkan kandidat memiliki hak untuk dipilih. Di dalam desa masyarakat juga berhak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat yaitu sebagai Kepala Desa yang dilaksanakan dengan Pilkades. Namun saat ini Pilkades diterapkan secara tidak shat yaitu dengan politik uang yang menodai demokratisasi di Indonesia. Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Desa seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.

Referensi

Alamsyah. 2011. Dinamika Politik Pilkades di Era Otonomi Daerah. Taman Praja, 1 (1): 1-15.

Halili. 2009. Praktik Politik Uang Dalam Pemilihn Kepala Desa. Humaniora, 14 (2): 99-112.

Referensi

Dokumen terkait

yang cukup tinggi dengan perlakuan pemberian pakan tepung kedelai dikarenakan pakan tersebut mempunyai kandungan nutrisi yang mencukupi untuk menunjang proses

Vibration test bench yang dibuat bisa menunjukan kondisi unbalance yaitu amplitudo tinggi pada 1X (satu kali) putaran mesin dan nilainya sebanding dengan massa

Ekuitas merek adalah pendapat nasabah mengenai nilai tambah yang diberikan pada produk Tabungan Tahapan BCA. Dimana ekuitas merek dapat berupa serangkaian aset dan

Dalam rangka pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Kabupaten Kepahiang, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,

Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3 (tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko tinggi, 2)

Sehingga hakim-hakim pengadilan agama yang memutus terhadap kasus konkrit yang diajukan kepadanya tidak dapat merujuk hukum materil yang sama, akibatnya terjadilah perbedaan

Hasil penelitian menunjukkan Partisipasi anggota sebagai upaya meningkatkan perkembangan usaha di Koperasi Civitas Akademika Unesa tinggi mencapai 60% sehingga

Data yang diperoleh dari peneltian pengembangan ini berdasarkan hasil uji ahli berupa kritikan, saran dan solusi untuk melakukan revisi pada penelitian