• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran organisasi pencak silat dalam dinamika politik lokal: studi kasus pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun tahun 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran organisasi pencak silat dalam dinamika politik lokal: studi kasus pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun tahun 2015."

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ORGANISASI PENCAK SILAT DALAM DINAMIKA

POLITIK LOKAL

( Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan

Kabupaten Madiun Tahun 2015 )

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuludin dan Filsafat

Oleh :

MOH EKO PRASTIYO E04213061

PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Peran Organisasi Pencak Silat dalam Dinamika Politik Lokal Pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015 ini, memfokuskan kajiannya pada tiga permasalahan. Pertama, bagaimana perkembangan dinamika elite politik lokal Desa Padas dalam membentuk sistem pemerintahan desa. Kedua ingin menganalisis bagaimana peran elite organisasi pencak silat dalam percaturan politik Desa Padas. Ketiga, mendeskripsikan bagaimana konflik elite organisasi pencak silat pada proses Pemilihan Kepala Desa Padas Tahun 2015.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan seluruh objek penelitian. Informan ditentukan secara purposive sampling yang menekankan pada para aktor yang berkaitan dengan fokus penilitian. Sumber data diperoleh secara primer meliputi aktor pemerintahan desa dan pencak silat, serta sumber data sekunder dari kajian kepustakaan. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif dengan terlibat secara langsung pada objek penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan penggalian data lewat wawancara, serta didukung oleh sumber-sumber refrensi literatur terkait dalam menganalisis temuan data. Sehingga isi kajian penelitian ini bisa tersusun secara sistematis dan bersifat obyektif.

Kajian ini menggunakan teori Elite lokal yang digunakan untuk menganalisis dinamika elite lokal Desa Padas. Adanya suatu perubahan rezim politik seringkali melahirkan sirkulasi pergantian elite lokal. Selain teori tersebut peneliti juga menggunakan teori Peran untuk melihat bagaimana elite organisasi pencak silat melakukan peranannya dalam mengendalikan sistem sosial. Peneliti juga menggunakan Konsep Patrimonialisme untuk mempertajam analisis tentang relasi organisasi budaya dengan aktor politik dalam membangun percaturan politik Desa Padas.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya (1) Sirkulasi Elite lokal dalam memengaruhi dinamika politik Desa Padas. Elite lokal yang menguasai pemerintahan Desa Padas telah mengalami sebuah perubahan kekuatan politik. Perubahan tersebut dimulai dari kekuasaan elite Keluarga Ponco Laksono bergeser ke elite organisasi berbasis pencak silat. Pergeseran elite politik lokal tersebut terpengaruh oleh konstelasi politik pemerintahan pusat yang menyebabkan munculnya pelaku politik baru dalam ranah desa. (2) Setelah munculnya kelompok-kelompok organisasi pencak silat dalam struktur masyarakat Desa Padas. Organisasi pencak silat ini mampu berperan dalam mengendalikan kehidupan sosial masyarakat lewat konstruksi budaya yang berkembang. Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda merupakan dua pencak silat yang bersaing dalam ranah politik Desa Padas. Ikatan primordial pencak silat yang kuat menjadi alat untuk menguasai aspek kekuasaan politik. Sehingga kedua pencak silat ini menciptakan suatu elite kelas, antara elite pemerintahan dan oposisi dalam sistem politik Desa Padas. (3) Pola persaingan Setia Hati Terate dan Setia Hati Winongo memperlihatkan adanya konflik antar elite politik. Interaksi antara masing-masing organisasi pencak silat dengan aktor politik desa menciptakan sebuah

relasi patron-client. Perbedaan sistem yang terstruktur dengan baik dari Setia Hati Terate

mampu mengantarkan kandidat yang diusungnya menang dalam Pemilihan Kepala Desa Padas Tahun 2015 tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

A. Deskripsi Umum Subyek penelitian... 41

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

(8)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS... 56

A. Dinamika Elite Politik Lokal Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun... 69

1. Dinamika Politik Pemerintahan Desa Padas... 69

a) Elite Lokal Berbasis Keluarga dalam Dinamika Politik Desa Padas ... 70

b) Elite Lokal Budaya Pencak Silat ... 80

c) Sirkulasi Elite Lokal Desa Padas... 87

B. Peran Organisasi Pencak Silat Dalam Dinamika Pemilihan Kepala Desa Padas Tahun 2015 ... 96

1. Patrimonilaisme Budaya Pencak Silat dalam Dinamika Elite Lokal... 100

a) Dinamika Elite Setia Hati Terate ... 102

b) Dinamika Elite Setia Hati Winongo ... 108

C. Dinamika Konflik Elite Lokal Pencak Silat dalam Pemilihan Kepala Desa Padas tahun 2015 ... 114

BAB V : PENUTUP ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi merupakan suatu peristiwa yang menandai adanya angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pengalaman selama Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang mendalam bagi sistem politik di Indonesia. Dimana Era Orde Baru dengan sistem yang bersifat otoriter dan sentralistik mulai bertransisi menuju sistem yang lebih demokratis. Seperti yang telah dijelaskan bahwa wujud dari negara yang menganut sistem demokrasi atau lebih terbuka memiliki beberapa syarat yakni, warga negara yang bebas dan aktif, masyarakat politik serta elite-elite parpol yang cukup otonom, adanya penegakan hukum, birokrasi yang profesional, dan

masyarakat ekonomi yang relatif otonom dari negara dan pasar murni.1

Otonomi daerah atau kebebasan suatu daerah dalam mengelola pemerintahannya merupakan bentuk dari suatu desentralisasi kekuasaan. Konsep ini kemudian tereduksi dalam undang-undang otonomi daerah pada era reformasi. Hal ini selanjutnya berimplikasi pada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah secara proporsional, sinergis dan efektif2. Setelah adanya otonomi

daerah ini mengindikasikan suatu pemerintahan yang terbentuk di tingkat desa dalam proses pembangunan, oleh karena itulah muncul agenda pemilu langsung yang melibatkan rakyat dalam menentukan pemimpin atau kepala. Pemilu yang terlaksana bukan hanya ada ranah pemerintah pusat melainkan juga sampai pemerintah daerah tingkat desa.

1 Endang Komara, Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi, Social Science Education”,

Journal, (2015), 122.

(10)

2

Dengan terbukanya ruang publik pada sistem demokrasi hingga tingkat desa ini menciptakan suatu iklim politik yang aktif dalam dinamika Pemilu Kepala Desa. Pesta pemilihan kepala desa ini tergolong sangat aktif dikarenakan dalam lingkup daerah yang tidak luas, sehingga menimbulkan suatu dialektika berkepanjangan. Dialektika tersebut akibat dari adanya fanatisme masyarakat dalam persaingan memperebutkan kepemimpinan desa. Faktor geografis suatu desa sangat menentukan kehidupan sosial-politik masyarakatnya. Dimana actor-aktor politik biasanya dikuasai oleh golongan elite yang mempunyai sumber kekuatan politik.

Dalam ranah desa Faktor kebudayaan memiliki pengaruh yang dominan dalam struktur masyarakatnya. Demikian juga elite-elite lokal dalam desa banyak diberasal dari kelompok kebudayaan. Kebudayaan merupakan bagian dari produk politik, terpengaruh oleh sistem yang diterapkan oleh setiap pemerintahan. Begitu juga sistem peraturan pemilihan kepala desa selalu menunjukkan perubahan dalam setiap pergantian pemerintahan. Hal tersebut tentunya berakibat pada perubahan dinamika politik dalam desa. Sebelum masuk dalam dinamika politik yang ada di desa Padas, perlunya pembahasan mengenai pemilihan kepala desa dan struktur budaya masyarakat yang memiliki peranan penting dalam keberlangsungan kepemimpinan desa selama ini.

(11)

3

kekuatan politik dalam pemilu. Arus pergeseran konstelasi politik ini tidak hanya nampak pada ranah pemerintahan pusat saja, dalam pemerintahan daerah cenderung sangat mencolok adanya pergeseran percaturan politik. Meski dalam pemerintah daerah masih banyak belenggu sistem lama yang menenmpatkan para pemain politik lama terus berkuasa, sepertihalnya di ranah pemerintahan tingkat desa.

Pola kebudayaan masyarakat yang terlalu fanatik sangat sulit terlebur secara drastis oleh fenomena yang terjadi. Akan tetapi adanya perubahan era politik berdampak pada pergolakan arah dinamika politik yang secara fluktuaktif meningkatkan partisipasi masyarakat. Umunya partisipasi tersebut berujung pada munculnya aktor baru yang ikut bersaing dalam perebutan kekuasaan desa. Munculnya aktor baru tidak menutup kemungkinan adanya kekuatan sosial yang mmemiliki sumber legitimasi masa yang tinggi. Umumnya dalam ranah desa kekuatan politik selalu didominasi oleh sistem sosial. Nilai-nilai dan acuan dasar masyarakat tergali dari sistem budaya yang berkembang. Sehingga kelompok yang memiliki status yang tinggi dalam kebudayaan senantiasa memiliki kekuatan politik yang tinggi.

Desa Padas sendiri berada di wilayah kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun yang tergolong dalam tatanan masyarakat mataraman. Pola kehidupan di desa ini banyak bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, hal ini karena letaknya kaki pegunungan Wilis dengan keadaan tanah yang subur. Kondisi desa yang berada di pedalaman ini sangat menjunjung tinggi kearifan lokal budaya Jawa. Sehingga sistem kebudayaan masih menjadi acuan utama dalam kehidupan masyarakatnya tanpa terkecuali pada warna dinamika politik desa yang terjadi.

(12)

4

membentuk karakter masyarakat, yaitu kaum santri dan kaum abangan3. Kaum santri

merupakan suatu kondisi tipikal masyarakat yang tergolong konsisten dalam beribadah menjalankan ajaran agama sesuai dengan syariatnya. Keadaan masyarakat tersebut mengindikasikan adanya peleburan yang lebih dominan dari agama atas budaya lokal, sehingga masyarakat mulai bergeser ada ajaran agama dalam kehiduannya.

Sedangkan masyarakat Abangan cenderung dikatakan Islam yang amatir, masyarakat abangan merupakan suatu sintesa dari peleburan nilai-nilai kebudayaan Jawa, Agama Islam dan kebudayaan Kraton. Kebudayaan Jawa merupakan suatu lokal jenius yang dihasilkan oleh peradaban masyarakat Jawa. Nilai-nilai kejawen selama ini telah mengalami reduksi dengan masuknya Budha dan Hindu ke Indonesia sebelum Islam datang. Sehingga corak kebudayaan Jawa saat ini cenderung ada nuansa praktik tradisi tambahan sesuai kepentingan agama yang berkuasa.

Budaya kraton sendiri adalah kekuatan yang berperan dalam membangun sistem nilai dan norma sosial masyarakat melalui legitimasi kekuasaannya atas masyarakat. Ketiga faktor tersebut terintegrasi menjadi satu, namun dominasi kebudayaan Jawa lokal masih lebih dominan dalam mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sehingga agama diyakini masyarakat namun dalam perilakunya sehari-hari belum dapat menjalankan syariat agama dengan penuh.

Masyarakat mataram diidentikan dengan suatu pelabelan Islam abangan yang secara syariat masih belum bisa melaksanakan sepenuhnya. Namun seiring perkembangan jaman, sudut pandang terhadap perilaku agama tersebut tidak mampu digunakan apabila hanya untuk melihat ciri-ciri orang mataraman. Banyak masyarakat baik di pesisir dan lingkungan agamis yang juga belum bisa melaksanakan kewajiban ibadahnya dengan penuh. Begitu pula dengan masyarakat yang tinggal didaerah

3 Abdul Chalik, Islam Mataraman Dan Orientasi Politiknya dalam Sejarah Pemilu di

(13)

5

mataraman banyak sekali yang memiliki perilaku yang sangat tekun dalam beribadah sesuai dengan syariat. Jadi identifikasi karakter agama dalam memandang masyarakat mataraman yang disebut dengan kaum abangan, sudah mengalami pergeseran makna bukan hanya terbatas pada perilaku masyarakat mataraman melainkan juga masyarakat luas.

Munculnya kelompok elitee Islam di Jawa yang berusaha memasukkan ajaran

“Islam dalam tradisi Jawa” tidak lepas dari peranan Sultan Agung. Dimana ketika

kerjaan pesisir Demak yang diambang kehancuran Sultan Agung memanfaatkan pengaruh Islam dan Budaya Jawa untuk mengembalikan kepercayaan dan loyalitas rakyat kepada kerajaan. Sultan Agung mencoba mengganggabungkan unsur magig

atau mistis keyakinan orang Jawa dari sudut pandang agama Islam4.

Integrasi nilai Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung tersebut dengan cara

mengkamuflasekan nilai dan syariat Islam ke dalam karya sastra Babad. Pola ini

dilakukan dengan cara mengeklaim nilai ajaran agama Islam dalam kitab babad. Di satu sisi ajaran Islam bisa masuk lewat metode kolaborasi dengan ilmu kejawen, disisi lain rekonstruksi tersebut menguatkan kembali posisi budaya Jawa dalam perubahan sosial kraton. Dengan babad ini, Sultan agung menginterpretasikan nilai-nilai agama dengan sudut pandang kepercayaan mistis Jawa. Sehingha unsur orang kejawen masih sangat kental dalam masyarakat mataraman.

Masyarakat Jawa memiliki orientasi kebudayaan pada mistisisme sufi Jawa yang merupakan warisan budaya kraton. Ketika ajaran Islam masuk, masyarakat Jawa menafsirkannya dengan menggunakan sudut pandang kebudayaan dan mistisisme sufi Jawa ini, sehingga menghasilkan sinkretisme antara paham agama, budaya dan juga pengaruh kerajaan. Dari sinilah muncul Islam mataraman yang berbeda dengan budaya Jawa lainnya dalam menjalankan agama. Islam mataraman cenderung

(14)

6

menekankan sufisme Jawa ketika memahami adanya ajaran agama, dimana individualitas lebih ditekankan pada saat beribadah.

Hal ini juga memberikan latar belakang pada pola kehidupan orang Jawa yang menjadikan suatu kebudayaan memiliki nilai tinggi. Eksitensinyapun tidak mampu tergeser oleh nilai agama secara penuh. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasannya titik temu dari pola integrasi dan nilai-nilai agama adalah pada budaya. Karena budaya atau tradisi tidak bisa dipisahkan dari peradaban masyarakat Jawa yang memiliki kekuatan emosional dalam pemikiran masyarakatnya. Oleh karena itu budaya sangat berperan penting dalam pergaulan dan adat tradisi Jawa mataraman. Lokal Wisdom yang sanngat kuat memengaruhi arah gerakan sosial-politik

masyarakat mataraman.

Budaya Pencak Silat merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang terpengaruh oleh kondisi perubahan jaman. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pencak silat berarti permainan mempertahankan diri dengan menangkis, mengelak dan sebagainya, kata silat berarti kepandaian berkelahi dengan ketangkasan

menyerang dan membeladiri.5 Keberadaan pencak silat sudah tersebar luas hingga

keseluruh bangsa melayu. Adanya suatu perubahan yang dilakukan oleh banyak pencak silat, akhirnya banyak melahirkan varian pencak silat baru tidak hanya di bangsa melayu melainkan sampai bangsa lainnya.

Terdapat banyak aliran pencak silat yang berada diseluruh wilayah Nusantara. Sepertihalnya daerah Madiun, selain terkenal dengan Kota Pecel dan Brem. Madiun juga terkenal sebagai bumi pendekar. Di Madiun banyak sekali berdiri dan berkembang berbagai pencak silat. Diantaranya ada Persaudaraan Setia Hati Terate, Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda, IKSPI, Persaudaraan Setia Hati, Ki

5 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

(15)

7

Ageng Pandan Alas, Setia Hati Tuhu Tekat dan masih banyak lagi jenis perguruan pencak silat yang tumbuh di Madiun.

Persaudaraan Setia Hati Terate dan Peraudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda merupakan dua pencak silat besar yang mendominasi kawasan Madiun. Dua pencak silat ini senantiasa berkonflik apalagi ketika memasuki bulan syura. Rivalitas kedua pencak silat ini sudah mendarah daging mulai jaman dahulu sesudah masa kemerdekaan. Padahal dua pencak silat besar ini memiliki guru besar yang sama. Ajaran pencak silat ini didirikan awal oleh Ki Ngabehi Surodiwiryo yang kemudian

perkumpulannya terkenal dengan Sedulur Tunggal Kecer pada tahun 1903,

sedangkan persaudaraan Setia Hati Terate merupakan pencak silat yang didirikan oleh

Ki Hajar Harjo Oetomo.6 Beliau merupakan murid Ki Ngabehi Surodiwiryo yang bisa

menguasai seluruh ajarannya. Persaudaraan Setia Hati Terate ini terbentuk oleh latar belakang kondisi sosial politik jaman kolonial yang memaksa Ki Harjo Oetomo untuk berjuang di pelosok desa dalam menyebarkan ajaran pencak silat.

Banyak organisasi pencak silat yang berdiri di Madiun adalah pecahan dari murid-murid Ki Ngabehi Surodiwiryo. Munculnya pencak silat baru tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan masing-masing individu. Semuanya mempunyai tujuan, serta faktor kondisi sosial juga memengaruhi terciptanya kelompok-kelompok baru. Dalam Perjalanannya Organisasi Pencak Silat ini masing-masing membentuk struktur kelembagaan dalam mengembangkan sayapnya. Menurut Luthans Budaya Organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang

berlaku agar diterima oleh lingkungan7.

Jika melihat pengertian tersebut maka adanya suatu perubahan yang terjadi dalam kesenian budaya pencak silat. Dimana yang semula berbasis kesenian budaya

6 Amran habibi, Sejarah Pencak Silat Indonesia, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga, 2009), 67-68.

(16)

8

menuju kearah perkumpulan yang terstruktur dalam organisasi. Perubahan ini merupakan suatu keinginan mengkodinir para anggotanya dalam suatu wadah lembaga yang terstruktur untuk mewujudkan visi dan misinya. Adapun struktur dari organisasi pencak silat yang ada di Madiun adalah sebagai berikut sesuai dari kelembagaan Persaudaraan Setia Hati Terate. Tingkat pusat berada di Madiun, Tingkat cabang berada di wilayah kab/kota, Tingkat ranting berada di wilayah

kecamatan, Tingkat rayon berada di wilayah desa8 Sedangkan Setia Hati Winongo

Dengan adanya struktur kelembagaan sampai pada tingkat desa ini memperlihatkan suatu ikatan kepengurusan yang solid dalam komunikasi antar anggota disetiap daerah. Namun dengan sebuah perbedaan organisasi pencak silat dalam lingkup desa seringkali menimbulkan konflik. Kondisi tersebut berkembang dari persaingan perebutan masa anggota organisasi meluas ke persaingan menguasai basis politik. Fanatisme dan loyalitas anggota organisasi memberikan suatu kebanggaan tersendiri dalam meraih kekuasaan politik. Pengaruh konflik organisasi pencak silat ini sangat terasa di ranah dinamika politik desa yang masyarakatnya masih memiliki pola pemikiran tradisional.

Desa Padas yang merupakan salah satu desa di wilayah pegunungan Wilis Barat. Kondisi strukur Desa ini berada di kaki gunung sehingga pola geografis desa terpisah antara dusun satu dengan lainnya. Masyarakat Desa ini sangat memegang teguh kebudayaan kejawen dalam keidupan sehari-harinya. Selama ini Desa Padas telah mengalami 6 kali pergantian pemimpin, dimana dinasti politik selalu membelenggu kekuasaan desa. Dari Penguasa Desa pertama hingga akhir sangat didominasi oleh kekuatan keluarga Ponco Laksono tokoh pendiri desa. Anak dan keturunan dari Ponco Laksono ini mampu menguasai seluruh kekuasaan yang ada di desa. Mulai dari aparatur di dua dusun besar yakni Made, dan Sempu didominasi

(17)

9

keturunan keluarga Ponco Laksono. Begitu juga dengan keberlanjutan kekuasaanya lebih menekankan pada pola turun temurun.

Namun setelah tahun 1990-an pengaruh perkembangan pencak silat memberikan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Ada beberapa pencak silat yang begitu sangat cepat berkembang dan merambah ke setiap dusun di desa ini. Sehingga corak pencak silat yang mendiami di setiap Dusun dan Rt berbeda-beda. Dimana ada dua pencak silat yang berpengaruh di Desa Padas ini. Desa Padas terdiri dari 10 Rt yang terpisah menjadi tiga dusun. Dusun pertama adalah Dusun Made yang terdiri dari Rt1-4, Dusun Kedua bernama Sempu terdiri dari Rt 5- 9 sedangkan Dusun terakhir yaitu Petung hanya terdiri dari Rt 10. Di Dusun Made seluruh masyarakatnya melestarikan Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate ( PSHT ). Dusun Sempu menjadi basis Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda. Di dusun Petung yang terdiri dari satu rukun tetangga ini dikuasai Setia Hati Terate seluruhnya.

Pada Pilkades di Desa padas 2015 ini ada dua calon yang maju ke pemilu. Calon yang pertama bernama Wasis yang berasal dari Dusun Made Rt 01, calon yang kedua bernama Sayit berasal dari Dusun Sempu Rt 06. Calon Kades Wasis ini merupakan incumbent yang juga dari anggota Persaudaraan Setia Hati Terate, sedangkan Sayit ini adalah kontestan penantang yang merupakan anggota Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo. Dari masing-masing calon ini memiliki basis masa pendukung dari organisasi pencak silat masing-masing, sehingga dinamika Pilkades yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan dua perguruan pencak silat yang ingin memenangkan calon Kepala Desa dari masing-masing anggotanya.

(18)

10

ini, akan tetapi pada pilkades kali ini isu elite pencak silat sangat mendominasi dinamika politik pra-pemilu. Sehingga pada penelitian ini ingin menguak fenomena elite pencak silat dalam dinamika dukungan politik terhadap para kontestan Pilkades. Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Peran Organisasi Pencak Silat dalam Dinamika Politik Pemilihan

Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015”.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang diatas, peneliti membatasi cakupan fokus penelitian hanya pada dinamika Pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Daganagan Kabupaten Madiun Tahun 2015. Pemilihan fokus pembahasan tersebut ingin lebih dalam untuk menganalisis bagaimana organisasi pencak silat memainkan perannya dalam memngaruhi dinamika politik Desa Padas. Atas dasar keterbatasan yang dimiliki penulis, maka penelitian ini hanya membahas tentang kekuatan Elite lokal Pencak Silat dalam Pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.

C. Rumusan Masalah

1) Bagaimana dinamika politik lokal di Desa Padas Kecamatan Dagangan

Kabupaten Madiun?

2) Bagaimana peran Organisasi Pencak Silat dalam dinamika Pemilihan Kepala

Desa Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015?

3) Bagaimana dinamika konflik Organisasi Pecak Silat dalam Pemilihan Kepala

Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015?

(19)

11

1) Mendeskripsikan dinamika politik lokal di Desa Padas Kecamatan Dagangan

Kabupaten Madiun.

2) Menganalisis peran Organisasi Pencak Silat dalam dinamika politik Pemilihan

Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015.

3) Menganalisis dinamika konflik Organisasi Pencak Silat dalam Pemilihan Kepala

Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun Tahun 2015.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu memberikan wawasan atau pengetahuan yang lebih radikal mengenai Fenomena Organisasi Pencak Silat dalam Dinamika Politik Pilkades Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.

2) Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran akan kedudukan dan posisi Organisasi Pencak Silat dalam struktur sosial masyarakat di Daerah Madiun.

F. Definisi Konseptual

1) Organisasi

Organisasi adalah sekumpulan orang atau kelompok yang memiliki tujuan

tertentu dan berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama.9

Dalam kehidupan manusia umumnya tidak pernah lepas dari adanya interkasi dan komunikasi dalam sebuah kelompok. Keluarga adalah salah satu kelompok utama

9 Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta:

(20)

12

dari setiap individu manusia yang saling berinteraksi satu sama lain. Begitu juga dengan kehidupan manusia diluar keluarga juga tidak lepas dengan sifat kelompok atau komunitas. Tanpa berinterksi dengan lingkungan manusia tidak akan bisa menjalankan kehidupan. Karena lingkungan terorganisir secara otomatis membentuk suatu komunitas yang menghasilkan suatu nilai-nilai yang menajdi konstruksi dalam berinteraksi.

Dalam sebuah organisasi formal yang bersifat kelompok kepentingan terdapat suatu nilai dan norma yang menjadi dasar pijakan dalam mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama. Setiap individu yang terintregasi dalam sebuah organisasi akan melebur dalam sebuah ikatan yang menjadi arah tujuan kelompok tersebut. Untuk mencapai sebuah tujuannya organisasi menggunakan suatu alat sumber daya sesuai dengan spesifikasi organisasi tersebut. Cara yang digunakan dalam setiap organisasipun beragam sesuai dengan kondisi internal dan juga eksternal yang dihadapi organisasi tersebut. Sehingga sebuah organisasi akan berjalan dengan sebuah kesatuan emosional yang menjadi dasar tatanan kehidupannya. Tanpa adanya sebuah sistem yang diterapkan organisasi akan sulit dalam melakukan sebuah perkembangan.

Pada umumnya organisasi memiliki dua karakter sesuai dengan latarbelakangnya. Seperti organisasi yang bersifat intansi atau perusahaan yang lebih mengutamakan sisi finansial sebagai arah tujuannya. Dalam masyarakat juga terdapat suatu tatanan kelompok organisasi yang terbentuk atas dasar kesamaan identitas ataupun emosional. Organisasi berbasis budaya, ideologi dan kepentingan memiliki arah tujuan terhadap kemanfaatan secara internal tehadap anggotanya dan eksternal terhadap masyarakat.

(21)

13

Pencak Silat terdiri dari dua suku kata, yakni Pencak dan Silat. Pencak adalah gerakan bela serang, yang teratur menurut sistem, waktu, tempat dan iklim dengan selalu menjaga kehormatan masing-masing secara kesatria, yang tidak mau melukai perasaan. Sedangkan silat adalah gerak bela serang yang erat hubungannya dengan rohani, sehingga menghidup suburkan naluri, menggerakkan hati nurani manusia, langsung menyerah kepada Tuhan Yang

Maha Esa.10 Jadi pencak silat berarti sebuah gerakan yang bersumber dari rohani

dengan acuan dasar suatu sistem gerakan yang mempunyai fungsi pertahanan dan serangan.

Pencak silat sendiri adalah warisan budaya bangsa Melayu khususnya Indonesia sebagai dasar kepribadian bangsa. Karakter pencak silat memiliki keragaman menurut latarbelakang daerah dan kebudayaan. Tujuan utama pencak silat awalnya untuk mempertahankan diri dari lawan yang terbentuk oleh kondisi masyarakat dahulu. Dalam perjalanannya pencak silat sudah menjadi suatu budaya yang digandrungi masyarakat dan dilestarikan untuk mempertahankan karakter bangsa. Olah kanuragan sendiri adalah kegemaran masyarakat Indonesia sejak dulu. Dimana terdapat suatu nilai dari konstruksi budaya yang menempatkan pencak silat menjadi acuan kedudukan seseorang dalam masyarakat.

3) Dinamika

Dinamika adalah suatu sistem ikatan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara unsur-unsur tersebut. Jika salah satu unsur sistem mengalami perubahan, maka akan membawa perubahan pula pada unsur-unsur

(22)

14

lainnya.11 Jadi dinamika merupakan suatu sistem sosial yang berkembang sesuai

dengan perubahan yang dilakukan oleh unsur-unsur yang terkait didalamnya. Pola interkasi ini menunjukkan adanya suatu hubungan timbal balik atas dasar suatu tujuan yang menjadi orientasinya. Perubahan kondisi sosial menjadi faktor dalam perubahan dinamika masyarakat. Sehingga dinamika yang bersifat sosial ini selalu berproses dalam sistem hubungannya sesuai dengan pengaruh dari kondisi sosial maupun politik.

4) Politik Lokal

Politik Lokal terdiri dari dua kata yang memiliki definisi masing-masing.

Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik.12 Sedangkan Lokal

adalah suatu tempat yang terbatas akan ruang dan waktu dalam satuan wilayah. Dalam pengertian politik diatas berarti adanya suatu usaha dalam mencapai suatu tatanan yang baik. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan suatu sistem yang sesuai dan diterima oleh masyarakat untuk diterapkan. Sistem disini merupakan suatu kesatuan struktur yang memiliki nilai-nilai dan norma aturan yang disepakati untuk diterapkan. Sehingga maksud dari kalimat tersebut politik adalah usaha untuk menciptakan sistem dalam masyarakat. Sistem disini didominasi oleh kekuasaan pemimpin dalam sebuah intansi ataupun wilayah.

Pemimpin memiliki kedudukan dalam mengendalikan dan mengatur anggota yang dipimpinnya. Atas dasar kekuatan yang bisa dimiliki ketika menjadi pemimpin, banyak sekali aktor-aktor masyarakat yang bersaing untuk menjadi pemimin. Umumnya mereka memiliki kepentingan yang akan dilaksanakan ketika sudah memegang sebuah sistem. Jadi politik lokal disini memiliki

11 Baderel Munir, Dinamika Kelompok : Penerapannya Dalam Laboratorium Ilmu Pelaku

(Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), 16.

12 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),

(23)

15

pengertian sebuah persaingan dalam menguasai sistem kekuasaan untuk kepentingan masyarakat daerah.

5) Kepala Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sisitem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Desa terbentuk oleh suatu

ikatan masyarakat disuatu lingkup wilayah administrasi. Untuk membangun suatu desa dibutuhkan suatu sistem dan juga aturan yang harus dijalankan. Selain itu desa juga harus dikendalikan oleh sebuah kepemimpinan untuk menyinergikan antara individu masyarakat melalui sebuah kekuasaan. Sehingga dalam ranah lingkup desa dibutuhkan suatu pemimpin sebagai pengendali dan pelindung masyarakat. Kepala desa adalah pimpinan politik tertinggi di desa, yang telah dipilih secara demokratis lewat pemilihan langsung yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa yang telah ditetapkan untuk memilih.

G. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang relevan dengan Fenomena Organisasi pencak silat dalam dinamika politik Pemilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Madiun ini, adalah Peran Elite Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate Dalam Proses Politik Pemilihan Legislatif 2014 Di Kabupaten Nganjuk (Studi Persaudaraan Setia Hati Terate Dalam Proses Politik Di Kabupaten Nganjuk). Hasil dari kesimpulan ini menyimpulkan bahwa:

(24)

16

Elite organisasi pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk memiliki peran dalam proses politik di Kabupaten Nganjuk. Peran elite organisasi pencak silat Persaudaran Setia Hati Terate diawali dengan menggunakan partai politik sebagai kendaraan politik dan massa Persaudaraan Setia Hati Terate cabang

Nganjuk sebagai sumber dukungan dalam pemilihan legislatif 2014 Nganjuk.14 Peran

elite Persaudaraan Setia Hati Terate dalam proses politik pemilihan legislatif 2014 sesuai dengan teori elite Suzzane Keller. Suzzane Keller menjelaskan bahwa elite memiliki kemampuan memonopoli kekuasaan untuk mendapatkan tujuannya.

Elite organisasi pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk memonopoli kekuasaan menggunakan dukungan suara massa Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk dalam pemilihan legislatif 2014 Nganjuk. Yang kedua, Suzanne Keller menjelaskan bahwa elite tidak tunggal dan memiliki kekuasaan dan dukungan masing-masing. Hal tersebut terlihat dari ketiga elite Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk yang berbeda latar belakang partai, pendukung dan

wilayah kekuasaan.15

Pihak yang mendapatkan keuntungan dalam proses politik pemilihan legislatif 2014 Nganjuk adalah elite organisasi pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk. Elite organisasi pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk yang terpilih sebagai anggota legislatif 2014-2019 Nganjuk dengan dukungan besar dan militant massa Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk. Suzanne Keller menjelaskan bahwa elite sebagai penguasa dapat memonopoli kekuasaan untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut sesuai dengan elite organisasi pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk yang menggunakan

14 Birhan Aditya Nadeyoga, Peran Elite Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati

Terate Dalam Proses Politik Pemilihan Legislatif 2014 Di Kabupaten Nganjuk (Studi

Persaudaraan Setia Hati Terate Dalam Proses Politik Di Kabupaten Nganjuk)”, Jurnal

Politik Muda, Vol. 4 No. 1 (Surabaya: Unair, 2014 ), 43.

(25)

17

kekuasaan untuk mengkoordinir massa Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Nganjuk untuk mendukung mereka dalam pemilihan legislatif 2014 Nganjuk.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hal ini tentunya berkaitan dengan observasi di lapangan. Penelitian kualitataif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Data yang akan disajikan dalam penelitian kualitatif nantinya akan berupa pendeskripsian tentang temuan data yang ada di lapangan yang diperoleh dari subjek penelitian. Penyajian data dari penelitian ini menggunakan format deskriptif dengan tujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena yang timbul di masyarakat dan menjadi objek dari penelitian itu.

Penelitian ini berusaha mengetahui dan memahami gambaran secara menyeluruh mengenai kedudukan pencak silat dalam Dinamika Politik Pilkades Desa Padas 2015 Desa Padas Kec. Dagangan Kab. Madiun. Nantinya peneliti akan melakukan proses wawancara dengan subjek penelitian dalam rangka pemenuhan data dalam penelitian ini. Wawancara dalam hal ini digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi tentang Fenomena Organisasi Pencak Silat dalam Dinamika Politik Pilkades 2015 Desa Padas Kec. Dagangan Kab. Madiun

2. Penentuan Lokasi Penelitian

(26)

18

3. Informan Penelitian

Untuk menggali informasi dalam penyeleseian penelitian ini, digunakan teknik purposive sampling untuk menentukan informan dengan pertimbangan

tertentu.16 Penentuan ini berdasarkan pada suatu kriteria-kriteria tertentu yang

memiliki hubungan atau kaitan dengan objek penelitian. Pada kajian ini informan yang dipilih adalah para aktor-aktor yang terlibat di dalam fenomena dinamika persaingan elite lokal di Desa Padas. Informan yang paling dominan adalah Bapak Kades Padas terpilih Wasis, informan selanjutnya adalah Sumaji Warga Dusun Made Rt 2 sebagai sesepuh Persaudaraan Setia Hati Terate Rayon Padas, dan Supri warga Dusun Sempu Rt 6 sebagai sesepuh Persaudaran Setia Hati Winongo Tunas Muda Rayon Padas. Pemilihan informan tersebut didasarkan atas peran dan kedudukannya di dalam sistem sosial masyarakat, sehingga nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran akan kekuatan masa masing-masing pencak silat dalam dinamika politik Pilkades 2015 Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.

4. Sumber dan Jenis Data

Data adalah suatu fakta/keterangan dari obyek yang diteliti. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang relevan dan menunjang terhadap maksud dan tujuan penelitian. Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:

a) Data Primer

16Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi “Mixed Methode” (Bandung: Alfabeta, 2005),

(27)

19

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui teknik wawancara maupun hasil observasi. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1) Kontestan Pilkades Desa Padas 2015

Hal ini untuk mendapatkan informasi terkait pola pencalonannya dan melihat dukungan yang diberikan oleh basis Organisasi Pencak Silatnya.

2) Tokoh Organisasi Pencak Silat

Hal ini untuk mendapatkan informasi mengenai kekuatan tokoh atau sesepuh Organisasi pencak silat dalam memerankan posisinya dalam struktur sosial masyarakat.

b) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain sumber data primer. Sumber tersebut terdiri dari kepustakaan, arsip atau dokumen yang berhubungan dengan penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data terkait penelitian ini antara lain:

a) Metode Observasi

Metode observasi merupakan dasar dari semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai

dunia nyata yang diperoleh melalui observasi.17 Melalui metode observasi ini,

peneliti mengamati fenomena yang relevan dengan pokok pembahasan

17 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi “Mixed Methode” (Bandung: Alfabeta, 2005),

(28)

20

peneliti, yaitu “ Fenomena Organisasi Pencak Silat dalam Dinamika Politik

Pilkades 2015 Desa Padas Kec. Dagangan Kab. Madiun.

Peneliti menggunakan jenis obeservasi partisipatif lengkap

(Complete Observation),18 dengan terlibat sepenuhnya dengan objek-objek

penelitian serta fenomena yang diteliti. Sehingga data yang diperoleh peneliti sesuai fakta dilapangan. Penggunaan metode ini diharapkan mampu menganalisis setiap tahap fenomena pergeseran dinamika elite politik lokal Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.

b) Wawancara

Metode wawancara merupakan pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar ide dan informasi melalui tanya Jawab, sehingga dapat

dikonstruksikan makna dalam suatu topik.19 Peneliti langsung turun ke

lapangan dengan cara melakukan tanya Jawab dengan informan terkait kiprah pencak silat dalam dinamika politik di Desa Padas.

c) Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan catatan atau kumpulan peristiwa yanpg telah didapat. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau

karya-karya monumental dari seseorang.20 Peneliti menggunakan sarana media

cetak sebagai bukti yang relevan.

d) Teknik analisis data

Analisis data dalam penelitian ini dianalisis secara interaktif. Pengumpulan serta analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan terpisah seperti halnya penelitian kuantitatif dengan cara mengumpulkan data terlebih

(29)

21

dahulu kemudian dianalisis. Analisis penelitian secara interaktif ini dilakukan sepanjang penelitian tersebut dilakukan. Dengan kata lain analisis data dan kegiatan penelitian dilakukan dilakukan secara bersamaan. Berarti analisis data kualitatif dilakukan mulai dari prosedur penelitian sampai dengan selesainya penelitian.

Dalam menganalisis peran organisasi pencak silat sebagai elite politik lokal yang mewarnai dinamika Pilkades di Desa tersebut. Teori Elite Lokal digunakan sebagai pisau analisis data untuk mengetahui suatu bentuk kekuatan Organisasi Pencak Silat di sistem sosial masyarakat. Dalam hal ini ingin menunjukkan eksistensi atau kekuatan Organisasi pencak silat dalam memobilisasi masanya ke ranah politik. Sehingga akan terlihat adanya persaingan kompetitif dari masing-masing pencak silat untuk melakukan maneuver politik mendukung kontestan dari basis anggotanya. Adanya persaingan politik Ormas Pencak Silat ini akan memperlihatkan dinamika politik yang terjadi dan mampu mewarnai sistem sosial masyarakat di Desa Padas.

6. Sitematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan jelas terhadap suatu penelitian, maka hasil penelitian disusun sistematika sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Memuat Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Ruang Lingkup Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II: KAJIAN TEORI

(30)

22

Sebagai acuan kegiatan penelitian, memuat pemaparan data lokasi penelitian. Data disini bersifat gambaran umum sebagai pijakan ketika akan melakukan penelitian.

BAB IV: PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA

Memaparkan hasil penelitian dan pembahasannya yakni: Gambaran Umum Objek Penelitian, Deskripsi Hasil Penelitian, dan Analisis Data.

BAB V: PENUTUP

(31)

23

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Teori Elite Lokal

1. Pengertian Elite Politik Lokal

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Elite Lokal untuk melihat dan menganalisis peran organisasi pencak silat dalam dinamika politik Pilihan Kepala Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun. Hal ini karena penelitian ini memfokuskan pada Elite Ormas Pencak Silat yang menjadi basis dukungan para kontestan politik dalam dinamika Pemilihan kepala desa tersebut. Untuk menjelaskan fenomena diatas digunakan teori elite lokal.

Suzanne Keller menjelaskan bahwa elite tidak bersifat tunggal, elite merupakan individu atau kelompok yang memiliki latar belakang massa masing-masing. Elite-elite yang menonjol ini merupakan minoritas kecil yang teroganisasi rapi dan kohesif dan masyarakat dianggap dapat diatur dikarenakan sifatnya yang mayoritas dan apatis. Pihak pihak yang memiliki keahlian dan keterampilan tertentu yang dapat mengorganisasi massa di dalam maupun luar pemerintahan akan disebut “elite strategis”. Elite sebagai

(32)

24

tetapi juga dapat di gunakan untuk hal yang tidak baik seperti mencari

keuntungan sendiri untuk kepentingan individu dan kelompok. 1

Dinamika elite dalam konteks sebuah organisasi sosial keagamaan dan kerangka sistem politik, merupakan kelompok kepentingan ( Interest group ) yang terlibat proses fungsi input. Intensitas kelompok ini dalam melakukan input tergantung oleh dinamika internal dan kekuatan moral yang

menggerakkan aktivitas dan perubahan kelompok tersebut.2 Dinamika dalam

elite lokal sangat dipengaruhi oleh adanya konstruk dan pola kehidupan suatu kelompok. Hal ini karena antara kelompok sosial di masyarakat memiliki karakter masing-masing. Seringkali adanya suatu kepentingan individu dalam suatu tujuan kelompok mengakibatkan persaingan internal kelompok tersebut. Dari pandangan eksternal antara kepentingan kelompok satu dan lainnya menciptakan suatu persaingan yang tidak jarang menimbulkan konflik. Kelompok ataupun pengaruh individu inilah yang merupakan elite yang menciptakan dinamika dalam kehidupan sosial politik.

Munculnya elite lokal dalam percaturan dinamika politik pada proses pemilihan umum adalah bentuk dari adanya perubahan tatanan social politik di suatu Negara. Di Indonesia indikasi utamanya adalah adanya reformasi sebagai tanda lengsernya Orde Baru telah memberikan angin segar bagi

1 Suzzan Keller, Penguasa Dan Kelompok Elite (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995): Birhan Aditya Nadeyoga, “Peran Elite Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia

Hati Terate Dalam Proses Politik Pemilihan Legislatif 2014 Di Kabupaten Nganjuk, Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, (Januari, 2014), 41.

2 Hilmy Mohtar, Demokrasi dan Politik Lokal di Kota Santri (Malang: UB Press, 2011),

(33)

25

kehidupan demokrasi. Setelah lengsernya pemerintahan pusat ini juga diiringi oleh adanya otonomi daerah yang diwujudkan untuk menciptakan desentralisasi pembangunan. Oleh karena pemisahan kekuasaan antara daerah dan pusat inilah memunculkan suatu pelaku politik baru didaerah yang

dahulunya didominasi oleh penguasa yang dinaungi pemerintah Orde Baru.3

Aktor politik pada masa transisi demokrasi ini banyak didominasi oleh pelaku lama dan peserta baru yang lahir dari elite lokal di daerah. Lahirnya elite lokal ini merupakan suatu bentuk gerakan kelompok kepentingan yang ada di masyarakat. Pada awalnya kelompok ini terpaksa tertekan pada sistem

pemerintahan, namun dalam perkembangannya kelompok-kelompok

kepentingan ini mulai muncul dan ikut dalam pesta demokrasi seiring dengan adanya transisi sistem politik pemerintahan.

Dalam tugas dan kemampuannya elite pun juga terdapat kelas, elite kelas pertama dan kelas kedua, dimana elite kelas kedua akan menjadi pengganti elite pertama, elite kedua juga dapat menjadi tandingan elite

pertama jika elite pertama tidak dapat menjalankan kekuasaan dengan baik.4

Secara tidak langsung elite mempunyai pengaruh besar dalam perubahan kehidupan sosial, sebagai pihak yang menjadi acuan dan pemegang kekuasaan dalam dinamika masyarakat. Karena sifat elite yang tidak tunggal, hal ini mengindikasikan adanya sebuah tidak tunggal, hal ini mengindikasikan

3 Moch Nurhasim, Konflik antar Elite politik lokal : dalam pemilihan kepala daerah

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2-3.

4 Suzzan Keller, Penguasa Dan Kelompok Elite (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995): Birhan Aditya Nadeyoga, “Peran Elite Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia

(34)

26

adanya suatu pola yang terstruktur yang dijalankan kelompok elite lokal. Elite sendiri memiliki masing-masing cara dalam melakukan manuver politik untuk memobilisasi konstituennya sebagai basis legalitas elite tersebut. Sehingga elite memainkan peranan penting dalam melakukan suatu kendali atas perubahan yang ada di masyarakat melalui kekuasaannya.

Para tokoh pemikir memandang elite berbeda dalam adanya distribusi kekuasaan yang di laksanakan oleh elite. Tetapi di dalam perbedaan tersebut ada kesimpulan hal yang sama, contohnya adalah social goods yang tidak bisa di bagikan secara merata. Hal ini juga merupakan dasar bagaimana terbentuknya elite, dimana masyarakat dengan sendirinya terbagi menjadi dua golongan, golongan yang mempunyai kekuasaan penting (elite) dan golongan

yang tidak mempunyai kekuasaan penting (massa).5 Sifat elite sendiri

cenderung lebih tersistematis dalam sebuah kesatuan berpikir dan tindakannya. Kekuatan politis elite yang mampu mengakomodir internalnya ini mampu memberikan suatu status kedudukan di masyarakat. Sehingga keberadaan elite ini mampu menekan kelompok lainnya dalam sebuah lingkungan masyarakat.

Elite sendiri memiliki perbedaan sesuai dengan karakter wilayahnya, dimana dalam lingkup wilayah kecil seringkali elite lokal bersifat tunggal dalam artian kekuasaannya mutlak disemua bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Dalam lingkup wilayah yang luas kecenderungan

(35)

27

distribusi kekuasaan tidak dikuasai secara tunggal. Melainkan banyak kepentingan yang hadir menguasai setiap bidang aspek kehidupan masyarakat.

2. Dinamika Konflik Dalam Sirkulasi Elite

Partisipasi masyarakat dalam proses pemilu atau pergantian elite ditingkat lokal memang berbeda-beda, ada yang sebagai kelompok pendukung, sebagai kelompok oposisi maupun sebagai kelompok netral yang

mencoba untuk mengawasi proses sirkulasi elite.6 Masyarakat sebagai basis

masa kekuatan elite hanya dijadikan suatu kendaraan politik untuk melancarkan kepentingannya. Kekuasaan Elite sendiri juga tergantung pada suatu legitimasi atau pengakuan dari masyarakat, sehingga keberlangsungan kedudukan elite sendiri membutuhkan dukungan masyarakat.

Adanya loyalitas dukungan masyarakat terhadap elite seringkali menimbulkan suatu fanatisme yang berlebihan, dukungan yang sifatnya hanya partisipan politik berubah menjadi pola dukungan yang cenderung egoistik. Pola dukungan yang egoistik tersebut akan meruncing terhadap tergerusnya nilai toleransi perbedaan pandangan. Akibatnya terjadi suatu gesekan konflik baik secara horisontal maupun secara vertikal.

Konflik secara horisontal disini melibatkan antar masa pendukung, sedangkan secara konflik secara vertikal melibatkan pertentangan antar elite dalam sebuah perbedaan kepentingan. Persaingan tersebut akan memunculkan pemenang dalam menguasai kedudukan suatu sistem sosial utamanya sebuah

6 Moch Nurhasim, Konflik antar Elite politik lokal : dalam pemilihan kepala daerah

(36)

28

pemerintahan, kemudian kelompok yang kalah akan menjadi basis oposisi pemerintahan yang menang.

Kajian Elite lokal ini akan membagi dua kategori elite dalam konteks lokal yaitu,

a. Elite politik lokal yang merupakan seseorang yang menduduki

jabatan-jabatan politik ( kekuasaan ) di eksekutif atau legislative yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal.

b. Elite non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain di

lingkup masyrakat.7

Kedua kategori tersebut merupakan suatu indikator dalam membaca dinamika elite lokal di daerah. Adanya persaingan dalam mendapatkan kekuasaan politik dalam daerah, seringkali menimblukan konflik antar elite yang selalu menghidupkan politik dalam desa. Konflik elite ini dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat Faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya, yaitu :

Pertama, dari segi pengertiannya, konflik diartikan sebagai

pertentangan yang terbuka antar kekuatan-kekuatan politik yang

memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian disini merujuk pada hubungan antar kekuatan politik yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kedua, sasaran-sasaran

(37)

29

yang tidak sejalan sesunguhnya menunjukkan adanya perbedaan kepentingan. Karena itu kepentingan dapat digunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam sebuah

kelompok yang kecil maupun dalam suatu kelompok yang besar.8

Persaingan yang begitu ketat memperlihatkan adanya suatu kepentingan yang besar dari para elite politik. Elite dalam ranah lingkup luas seringkali memiliki kepentingan akan keuntungan besar yang lebih bersifat materi. Sedangkan dalam lingkup daerah yang cenderung sempit lebih berfokus pada ranah kulturalisme dan status sosial di masyarakat. Karena kekuasaan sendiri memiliki kapasitas dan juga jumlahnya yang terbatas,

sehingga pasti menimbulkan suatu gesekan atau konflik untuk

memperebutkannya. Semakin tinggi sumber keuntungan yang didapatkan dari kekuasaan tersebut akan berpotensi menimbulkan suatu dinamika konflik yang berkepanjangan.

Dalam beberapa pandangan tokoh menyebutkan adanya suatu sirkulasi dalam pergantian elite, seiring dengan beragamnya kepentingan baik antar kelompok dan juga dalam kelompok tersebut. Menurut Pareto sirkulasi elite terjadi dalam dua kategori, Pertama, pergantian terjadi di antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri. Kedua, pergantian terjadi di antara elite dengan penduduk lainnya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu :

(38)

30

a) Individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elite yang

sudah ada

b) Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite

baru masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang

sudah ada.9

Dari pandangan diatas memperlihatkan adanya suatu struktur percaturan konflik elite dalam menguasai kedudukan politik. Seringkali perebutan kekuasaan politik tidak hanya bersifat eksternal dari kelompok elite, melainkan juga dari dalam elite sendiri atau konflik internal kelompok. Sehingga dalam elite lokal yang bersifat kelompok ternyata juga mengindikasikan adanya suatu pola saling memperebutkan kekuasaan elite dalam kelompoknya sendiri. Ketika terjadi konflik internal akan mengakibatkan adanya suatu perpecahan atau kubu dalam kelompok elite tersebut. Tidak jarang perpecahan tersebut akan membentuk kelompok baru yang muncul di permukaan sebagai kekuatan tandingan elite yang lama.

Sedangkan dari sudut pandang konflik yang kedua lebih memperlihatkan persaingan dari eksternal atau kelompok elite lain dalam sebuah sistem sosial. Menurut Mosca, Pergantian elite terjadi apabila elite yang memerintah dianggap kehilangan kemampuannya dan orang luar di kelas tersebut menunjukkan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan digantikan oleh

(39)

31

kelas penguasa yang baru.10 Sistem ini ingin melihat suatu interaksi antara

kelompok elite yang melakukan suatu persaingan politik dalam menguasai kedudukan pemerintahan. Dimana kelompok pesaing selalu mencari celah untuk melakukan suatu serangan agear menjatuhkan pihak kelompok elite yang berkuasa. Jika melihat dari sudut pandang ini lebih berfokus pada analisis kelompok elite secara komperhensif daripada aktor yang berkepentingan dalam kelompok.

Dari adanya sebuah konflik yang selalu terjadi dalam pertarungan elite lokal tersebut. Sesuai dengan pandangan Duveger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi, dan jumlah,

uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik dan lain sebagainya.11 Dalam

sebuah negara demokrasi adanya dukungan basis jumlah masa sangat memengaruhi dalam persaingan politik. Karena legalitas politik berada di tangan rakyat, sehingga jumlah organisasi yang banyak akan menjadikannya elite yang kuat dalam persaingan politik.

Selain itu adanya permainan uang juga sangat menentukan dalam merubah konsepsi berpikir orang. Baik uang ini sebagai mahar lobi ataupun menjadi alat money politik terhitung sangat efektif memobilisasi dukungan. Oleh karenanya dalam sistem demokrasi ini kekuatan elite lokal tidak lagi terpusat, melainkan semua golongan mampu bersaing dalam dinamika politik secara menyeluruh. Sehingga segala sesuatu kegiatan yang mengunakan

(40)

32

strategi alat politik dapat diukur dari arah tujuan beserta kepentingan yang ingin dicapai.

Dalam dinamika politik ranah lokal, kecenderungan terjadi persaingan politik lebih terasa secara langsung. Kondisi tersebut karena ranah lokal yang begitu sempit lingkupnya, sehingga afiliasi kelompok beserta kepentingannya sangat terlihat dalam pola pergantian pemimpin politik. Masyarakat akan sangat begitu merasakan dengan adanya pertarungan kelompok elite lokal daripada tingkat nasional. Ideologi suatu kelompok seringkali menjadi acuan kepentingan sebuah kelompok untuk menguasai kekuasaan politik. Begitu juga arah dukungan masyarakat tingkat lokal cenderung memilih kedekatan ideologi dalam pandangan politiknya.

Budaya lokal seringkali menjadi afiliasi elite-elite politik untuk mendekati kekuatan elite budaya. Elite budaya disini memiliki kekuasaan dalam memobilisasi masa lewat peran elite lokal. Untuk mnganalisis mengenai dukungan masyarakat ini, teori tentang jaring kekuasaan bisa digunakan sebagai alat analisis, karena didalamnya dapat menjelaskan mengenai jaringan kekuasaan serta berbagai kepentingan dibalik hubungan

seperti itu.12 Jika membahas mengenai jaringan kekuasaan dalam tingkat lokal,

tidak lepas dari adanya kultur budaya setempat. Kenampakan yang menunjukkan hubungan antara elite politik yang menjalin interaksi dengan

elite lokal ini mengindikasikan adanya pola patron-clien yang terbentuk.

(41)

33

Adanya interaksi simbolik antara aktor politik dengan elite lokal ini senantiasa menjadi cara dalam meraih dukungan entitas masyarakat.

Pola hubungan timbal balik antara elite lokal dengan elite politik memberikan dampak pada pendalaman ikatan primordial, selanjutnya menumbuhkan loyalitas masyarakat terhadap elite tersebut. Afiliasi dukungan ini selalu dilakukan secara berkelanjutan, dengan memberikan sebuah balas budi politik lewat kekuasaan yang dimiliki. Namun seiring perubahan sosial, pada era demokrasi ini juga sangat tidak menguntungkan menggunakan model patron-client. Kebebasan dalam berkelompok dan berpendapat mengakibatkan mudahnya pertumbuhan entitas budaya, agama ataupun ideologi lainnya dalam masyarakat lokal. Akibatnya mengusik hubungan patron-client tersebut. Indikasinya adalah adanya perecahan dari hubungan patronase tersebut akibat saling memiliki kepentingan.

Dengan memiliki kekuatan masing-masing baik kekuatan mobilisasi masa maupun kekuasaan politik, seringkali berpotensi pada egoisme individu

demi kepentingannya. Karena tolak ukur dari sistem patronase dapat dilihat

(42)

34

Dalam kasus ini elite lokal yang dimaksud adalah pengaruh budaya silat yang telah menjelma menjadi kelembagaan organisasi. Dengan struktur organisasi yang rapi dan sistematis dan didorong oleh sistem budaya tradisional menciptakan loyalitas atau fanatisme anggotanya dalam tujuan organisasinya. Adanya perbedaan silat ini menciptakan suatu persaingan dalam meraih kontestan anggotanya terlebih ditingkat desa. Perbedaan varian organisasi pencak silat dalam tiap desa bahkan dalam internal desa seringkali menimbulkan gesekan-gesekan sosial. Hal ini diakibatkan oleh Faktor identitas kelompok yang sangat tinggi menimbulkan ke fanatikan masa anggotanya. Akibatnya persaingan tersebut mengarah kepada ranah kekuasaan politik, karena kelompok organisasi pencak sliat yang terstruktur dan memiliki masa yang solid dalam organisasinya. Oleh karena itu perlunya suatu kajian untuk menganalisis bagaimana elite-elite desa ini memberikan pengaruhnya dalam mewarnai dinamika politik desa Padas selama ini.

B. Teori Patrimonialisme

Patrimonial memfokuskan kajiannya pada sistem kebudayaan dalam memengaruhi proses pemerintahan. Eksistensi budaya sebagai produk dari peradaban menciptakan suatu identitas sosial masyarakat. Budaya menjadi paradigma esensial dalam proses berpikir masyarakat. Paradigma budaya ini kemudian membangun tatanan politik suatu pemerintahan.

(43)

35

bersaing untuk mendapatkan hadiah yang dipencarkan oleh penguasa, dan

ditempatkan sebagai oposisi dengan pemerintahan modern.13 Dari pemaparan

tersebut memperlihatkan adanya faktor budaya yang terintegrasi dalam sistem

pemerintahan. Relasi patron-clien seringkali dipratekkan dalam konstelasi politik

di Indonesia. Pengaruh tradisi adat masyarakat yang masih kental memiliki doktrin kuat dalam konstruksi kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem kerajaan yang mendominasi kekuasaan masyarakat sebelum kemerdekaan telah membelenggu paradigma berpikir masyarakat.

Pola patron-clien menjadi strategi yang efektif dalam membangun roda

kekuasaan. Relasi tersebut didasarkan atas kebutuhan masing-masing aktor politik. Dengan cara bertukar sumberdaya diharapkan mendapatkan keuntungan pada masing-masing pihak. Tipikal masyarakat yang masih menerapkan perilaku

tradisional sangat relevan dalam mendukung berjalannya relasi patron-clien

tersebut. Antara Patron dan clien disini saling membutuhkan dalam

mengamankan kedudukan politiknya. Sehingga relasi tersebut didasarkan atas motif kepentingan politik. Dengan perubahan suatu kepentingan dari

masing-masing aktor seringkali dapat merubah posisi patron dan clien sesuai kondisi dan

kebutuhannya.

Pemerintahan modern disini adalah sistem pemerintahan yang telah menerapkan konsep negara demokratis. Dengan demikian perubahan kondisi sosial sesuai perkembangan zaman tidak menggeser paradigma budaya dalam

13 Edisius Riyadi Terre, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya

(44)

36

memengaruhi tatanan politik kekuasaan daerah. Konsep ini kemudian disebut

dengan neo-patrimonialisme.14 Fokus pada kajian neo-patrimonialisme

menekankan pada pergeseran budaya yang merefleksikan perubahan sosial dengan berkamuflase menuju ruang modernisasi sistem politik. Pelaku budaya ini merubah struktur kelompoknya tanpa mengubah karakter budayanya. Adanya ikatan primordial dalam sistem kebudayaan masyarakat mampu diarahkan ke ranah politik.

Pada model sistem politik patrimonialisme ini sistem politik dilihat dari segi persaingan memperebutkan sumberdaya, bukan pada ranah benturan ideologi kelompok-kelompok kepentingan atau faktor kebijakan politik. Kebijakan yang bersifat politik tidak sesuai dengan sistem patrimonial. Ketidaksesuaian tersebut dilihat dari dua hal, Pertama, kebudayaan berperan dalam membentuk sistem pemerintahan tanpa melihat sisi orientasi kebijakan yang memengaruhi budaya. Kedua, persaingan antar kelompok kebudayaan memiliki fokus dan basis yang sama dalam paradigma cara berpikir serta tujuannya.

Kondisi tersebut menyimpulkan adanya konflik yang bersifat individual dari sisi kepentingan kelompok budaya bukan dari cara pandang budaya terhadap sistem pemerintahan. Di Indonesia perilaku Neo-patrimonialisme telah lama hadir sejak berdirinya bangsa ini. Lewat peranan Presiden Soekarno berusaha menciptakan sebuah sistem pemerintahan modern yang berorientasi pada paradigma budaya, tercermin dalam semangat nasionalisme. Namun kondisi tersebut tidak mampu dikendalikan oleh kekuasaan Presiden. Tajamnya jarak

(45)

37

ideologi antar golongan yang muncul pada masa demokrasi liberal, mengakibatkan distabilitas pemerintahan pusat akibat lemahnya sumber daya Presiden dalam mengolah kekuasaan. Pemerintahan Soekarno gagal dalam memberdayakan sistem patrimonialisme pada masa awal pemerintahan Indonesia. Sistem patrimonial berhasil diterapkan oleh masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Dengan menerapkan sistem otoritariannya, Soeharto mampu menghegemoni sistem politik. Sehingga kekuatan-kekuatan ideologis tidak ada yang muncul ke permukaan. Sistem politik masa ini cenderung stabil karena dikuasai oleh basis kelompok. Adanya kekuasaan Presiden yang mutlak ini membentuk suatu sistem politik patrimonial. Kekuasaannya bersifat oligarki, sehingga antara Presiden dan struktur pemerintahan lainnya memainkan peran patron-clien.

(46)

38

akan menciptakan sisi loyalitas anggota lainnya terhadap kelompok, sehingga memperkecil besaran konflik yang bisa mengganggu stabilitas kelompok.

Sedangkan dengan kekuatan masa, kelompok tersebut memiliki basis dukungan yang kuat. Umumnya masyarakat yang masih tradisional terintegrasi lewat ikatan primordial. Sehingga belum mempunyai suatu pandangan yang kritis, hal ini dapat menjadi suatu sumber legitimasi kelompok. Dengan teori patrimonial ini akan digunakan untuk menganalisis bagaimana kelompok-kelompok elit lokal dalam memainkan dinamika politik Desa Padas. Faktor keluarga dan pencak silat serta adanya paradigma budaya menjadi kunci dalam melihat patrimonialisme sistem Pemerintahan Desa Padas.

C. Teori Peran

Dalam kajian peneilitan ini teori peran dibutuhkan untuk mengungkap dan menganalisis bagaimana aktor-aktor elit lokal melakukan suatu perannya dalam mewarnai dinamika politik Desa Padas. Peranan berasal dari dua kata dasar “peran” dan tambahn “an”. Peran merupakan suatu tugas dan kewajiban yang

dilaksanakan. Sedangkan Peranan mempunyai arti suatu harapan yang yang

dimiliki seseorang oleh kedudukannya di masyarakat.15 Pada ranah sosial peran

ini menyangkut suatu status atau kedudukan yang disandang oleh seseorang. Sehingga antara peran dan kedudukan ini saling memengaruhi. Peran seseroang dalam sebuah lingkungan masyarakat akan menciptakan status sosialnya. Sedangkan dengan status sosial atau kedudukannya orang tersebut memiliki

15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

(47)

39

kekuasaan serta dituntut untuk berperilaku sesuai fungsi posisinya. Oleh karenanya peran adalah separangkat sistem perilaku yang terbentuk sesuai dengan status kedudukan sosial individu atau kelompok dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula peranan merupakan suatu bentuk perilaku individu atau kelompok dalam sebuah fenomena sosial.

Melalui sebuah kedudukannya ini masyarakat menaruh suatu harapan-harapan agar orang tersebut melakukan suatu hal yang berkaitan dengan posisinya. Pola interaksi manusia dalam masyarakat akan membentuk suatu status sosial. Kedudukan disini terbentuk oleh kondisi sumber daya yang dimilikinya. Sehingga dengan kondisi tersebut seseorang diharapkan melakukan suatu hal sesuai fungsi kedudukannya. Sumber kedudukan masyarakat disini sangat luas, bisa dalam artian karakter atau identitas dan juga sumber materi yang membentuk status sosialnya. Hal tersebut juga termasuk pada sebuah kedudukan budaya dalam masyarakat.

(48)

40

peran paradigma budaya dan kelompok sosial terhadap dinamika politik masyarakat.

Menurut Soerjono membagi definisi peranan ke dalam beberapa bentuk pengertian sebagai berikut :

a. Peranan meliputi norma – norma yang diungkapkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat,

b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam

masyarakat sebagai organisasi,

c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai

struktur sosial masyarakat.16

Proses interaksi sosial dalam mengaktualkan peran masing-masing individu pada kehidupan sosial akan terjalin secara otomatis. Karena peran disini memiliki nilai fungsi, sehingga fungsi tersebut akan membentuk kesatuan dalam sebuah sistem. Misalnya dalam ranah organisasi setiap status dan kedudukan memiliki fungsi dan karakter tersendiri. Sehingga setiap kedudukan yang dimilikinya ini akan bekerja sesuai perannya masing-masing. Adanya kondisi sosial juga sangat memengaruhi peran. Selain fungsi kedudukan sosial dalam memengaruhi arah gerakan peran seseorang, adanya kondisi sosial yang selalu dinamis akan merubah peran tersebut sesuai kepentingannya.

Teori peran dalam kajian ini akan digunakan dalam menganalisis percaturan politik elite Desa Padas. Mulai dari eksistensi elite lokal berbasis keluarga sampai kedudukan pencak silat dalam pranata sosial masyarakat Desa

(49)

41

(50)

42

BAB III

SETTING PENELITIAN

A. Deskripsi Umum Subyek penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Padas Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun merupakan bagian dari masyarakat suku Jawa. Desa Padas terletak di kaki pegunungan Wilis sebelah barat. Kenampakan alamnya didominasi oleh perkebunan dan

persawahan rakyat.1 Konstur geografis pegunungan yang berbentuk rigi-rigi

gunung, menghasilkan struktur pemukiman yang menjulur mengikuti arah jalan dengan tujuan mendekati media transportasi.

Dengan kondisi areal desa tersebut mengindikasikan penduduk desa Padas tergolong masyarakat agraris. Keadaan tanah yang subur ditopang ketersediaan air yang banyak, mampu menghasilkan sumberdaya alam berupa hasil bumi pertanian dan perkebunan yang melimpah. Namun keterbatasan masyarakat pada akses teknologi dan letak yang jauh dari perkotaan, mengakibatkan terkendalanya distribusi hasil bumi penduduk ke pusat perekonomian.

Desa Padas tergolong desa kecil jika dilihat dari kepadatan penduduk dan luas daerahnya. Pada umumnya desa-desa di daerah pegunungan lahan pemukimannya lebih sedikit dibandungkan areal sawah atau kebun. Struktur

Gambar

Tabel 3. 1
Tabel 3.2  Jumlah Penduduk Desa Padas
Tabel 3.3  Jumlah Fasilitas Ibadah Desa Padas
Tabel 3. 4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak : Kajian ini dijalankan untuk mengkaji tahap minat, keyakinan, kemahiran menggunakan ICT untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran, sokongan pentadbir dan masalah- masalah

Sedangkan pengajian umumnya yang diberi nama MAJLAZ (Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Azhaar) dilaksanakan pada hari Ahad sebulan sekali dengan mendatangkan mu’allim

Angket/kuesioner diartikan sebagai teknik pengumpulan data melalui penyerbaran daftar pertanyaan terhadap subjek penelitian (Noor, 2013, hlm. Dalam penelitian ini

R 2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen, atau variasi variabel

258 Dalam menerapkan pembelajaran membaca permulaan pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas I SD Inpres 1 Kamarora dengan menggunakan media

1) Hubungan antara pemimpin dengan bawahan (leader-member relations). a) Menunjukkan tingkat kualitas hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan. b) Sikap

Pada Halaman ini user dapat melihat lokasi aset bangunan pada peta yang ditandai dengan poligon, serta dapat melihat informasi terkait dengan aset tersebut yaitu dengan klik pada

tawakal Quraish Shihab dan Yunan Nasution relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu agar manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang