• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialektika Paradigmatik Ilmu dan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dialektika Paradigmatik Ilmu dan Islam"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Yazwardi

A. Pendahuluan

Dialektika ilmu dan agama, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun axiologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), telah melahirkan ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis. Di Inggris pada tahun 1870 dalam satu kuliah umum Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu agama (science ofreligion). Satu kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-nya Darwin, kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh Tuhan (kreasionisme) dan yang lain menganggap alam semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat panjang.

Di Indonesia, dikhotomi ilmu dan agama ini sebagaimana dideskripsikan oleh Mulyadhi Kertanegara1 dapat dilihat pada dua corak pendidikan, penddikan ala IAIN yang

menekankan pada pendidikan agama dan ala perguruan tinggi umum yang lebih mengembangkan keilmuan ‘sekuler’. IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal. Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace

(2)

(w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.

Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah. Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkenal itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.

(3)

bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari Tuhan.

Dalam pandangan Filsafat, manusia dalam memberdayakan akal pikiran dengan berbagai pengetahuan dan potensi dirinya melahirkan paling tidak tiga pengetahuan dasar (epistemologi) yaitu: pertama ilmu pengetahuan yang berbicara tentang benar dan tidak benarnya sesuatu yang berakar pada penalaran ilmiah. Inilah yang dinamakan kekuatan logika; kedua, pengetahuan yang dilahirkan cita rasa manusia tentang sesuatu yang indah dan sesuatu yang buruk. Inilah yang dinamakan kekuatan estetika (seni). Ketiga, pengetahuan tentang sesuatu tentang sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Pengetahuan ini bersumber pada ajaran-ajaran nilai dan moral (agama).

Dengan demikian, antara pengetahuan ilmiah dan nilai-nilai ajaran agama bermula dan berakhir pada aspek yang berbeda. Jika ilmu pengetahuan bersifat positif dan empirik dalam artian sesuatu baru disebut sebagai ilmu bila mendatangkan asas manfaat daya guna bagi manusia, maka ilmu pengetahuan agama bersifat normatif yang bersumber pada intuisi atau wahyu. Namun, dewasa ini, persoalan hubungan ilmu dan agama lebih mengemuka dalam ranah etis. Teknologi sebagai anak kandung ilmu dianggap telah menghasilkan dampak negatif bagi kelestarian alam semesta, baik berupa pencemaran lingkungan, bencana alam maupun pada kerusakan moralitas manusia. Belum lagi ketika bidang kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika yang hendak diterapkan pada manusia. Namun demikian, persoalan dalam ranah etis ini tidak berdiri sendiri, karena tentu ada persoalan epistemologis dan ontologis yang berada dibelakangnya.

(4)

B. Perspektif Filsafat Ilmu

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Sebelum Socrates ada satu kelompok yang enyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan).

Oleh karena itu istilah filosof tidak digunakan sebelum masa Socrates. Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu.

(5)

dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.

Pembagian bidang kajian menurut Liek Wilardjo2 terbagi atas lima macam:

1. Metafisika, yaitu yang bertitik tolak dari kebenaran, asumsi dasar, dan tidak dapat dibuktikan serta tidak perlu dibuktikan hanya diterima sebagai titik tolak. Metafisika terdiri :

1). Ontologi, yaitu asumsi dasar yang terkait dengan keberadaan objektis. (filsafat tentang keberadaan), Misalnya apakah yang dipelajari/dikembangkan dalam ilmu itu benar-benar ada atau diyakini ada (obyektif existence). Jika jawabnya ya berarti ilmu itu memiliki pijakan ontologis jadi ilmu itu bersifat obyektif exixtence, namun keberadaan obyektif tidak tergantung apakah kita mampu membuktikan keberadaan obyektif eistence.

2). Epistemologi yaitu ilmu pengetahui yang terfokus pada bagaimana kita bisa mengetahui suatu keberadaan atau yang ada. Hal ini terkait dengan cara atau metodelogi untuk mengetahui yang diketahui benar.

2. Logika,yaitu terkait dengan pembenaran (justification)yang konsisten. Konsisten adalah tidak bertentangan bagian yang dengan yang lain atau tidak mengandung pertentangan. (filsafat konsistensi).

3. Etika yaitu menyangkut dengan nilai-nilai yang tinggi (nilai keagamaan, budaya, ) nilai-nilai berkaitan baik dan buruk. dan

4. Estetika yaitu menyangkut masalah nilai keindahan.

Filsafat yang berarti penjelasan rasional tentang segala hal, dicari prinsip-prinsip yang rampat (umum) atau general all principle yang dipakai untuk menjelaskan sesuatu. filsafat tak ada bedanya dengan ilmu. Ilmu bertujuan menjelaskan sesuatu yang rasional. Filsafat jangkaunya lebih luas daripada ilmu yang bersifat spesifik, tetapi dasarnya sama. Filsafat ilmu adalah telaah yang sistematis atas hakekat ilmu, teristimewa tentang metode-metode, konsep-konsep, anggapan-anggapan dasar, preposisi, tempatnya diantara disiplin

2 Liek Wilardjo, Bahan Ajar Filsafat Ilmu, dikumpulkan Oleh Joni Emirzon dan Firman Muntaqo.

(6)

intelektual. Filsafat ilmu dapat dipilah menjadi: studi yang kritis tentang metode dalam ilmu; tentang lambang-lambang keilmuan; dan tentang bangunan yang logis dari sistem lambang keilmuan. Telaah ini harus mencakup baik ilmu empiris maupun rasional, bahkan mencakup kajian nilai-nilai termasuk kawasan etika dan estetika/menelaah tentang kebenaran dan keindahan. Termasuk juga di dalamnya mempelajari logika: induksi, deduksi, data, penemuan, verifikasi/validasi.

Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun3

1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.

2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)

3. A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)

4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika

(7)

interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)

5. May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.

6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan

(8)

Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :

1). Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)

2). Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)

3). Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis).4

Sebagai cabang filsafat, maka filsafat ilmu berfungsi yakni :Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Sedangkan mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan

4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu : SebuahPengantarPopuler, Jakarta: Sinar Harapan. 1996. p

(9)

landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

Substansi Filsafat Ilmu telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.

1.Fakta atau kenyataan

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya misalnya sebagaiberikut:

 Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.

 Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.

 Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan

 Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.

 Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus 5memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta

ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi

(10)

fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

2. Kebenaran (truth)

Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik. Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik.

Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental. Kebenaran korespondensi, yaitu berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik Kebenaran performatif, yaitu Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.

(11)

Kebenaran struktural paradigmatik Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.

3.Konfirmasi

Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.

4.Logika inferensi

Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.

Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.6

(12)

Di lain pihak, Jujun Suriasumantri 7 menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru

dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.

B. Pemahaman tentang Paradigma.

Secara leksikal, Paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu, paradeigma, dari pada (di samping, disebelah) dan dekynai (memperlihatkan : yang berarti : model, contoh, arketipe, ideal8. Secara istilah, pengertian paradigma di antaranya:

1. Cara memandang sesuatu.

2. Dalam ilmu pengetahuan : model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan.

3. Dasar untuk menyeleksi problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.

4. Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah : yang dalam konseptualisasi Kuhn : menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru9

Pada batasan tertentu paradigma dipahami sebagai model, contoh, dan pola yang dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan problem-problem riset. Jadi secara singkat pengertian paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.

7 Jujun, Op Cit, 46-49

8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002), p. 779

(13)

Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970:49). Inti sari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pada tahun 1922 Kuhn belajar fisika di Havard University, kemudian melanjutkan studinya di pascasarjana, dan memutuskan pindah ke bidang sejarah ilmu. “Structure of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier-akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn. Menurut Kuhn ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya Paradigma baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya juga menjadi paradigm baru.10

Sedangkan menurut Erlyn Indarti, dari sudut pandang yang berbeda paradigma dapat dimengerti sebagai sekumpulan ”proposisi” yang menguraikan dan menggariskan bagaimana ’dunia’ dilihat, dipahami, dan akhirnya diterima. Paradigma mengandung satu set worldview atau sistem belief, yakni suatu cara melalui mana kompleksitas dunia ini dipecah/ dipilah agar mudah dimengerti. Secara umum paradigma menggariskan bagi penganutnya apa yang penting, apa yang sah, dan apa yang masuk akal. Paradigma dipahami sebagai kerangka pemikiran yang meliputi berbagai belief dan standar. Kerangka ini menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang ilmu, disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan di mana paradigma tersebut diaplikasikan. Apa yang terkandung di dalam paradigma, mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmiah yang

10 Conny Semiawan dkk, Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman

(14)

mapan dan mantap bagi komunitas ilmuwan yang bersangkutan. 11 Jadi paradigma

keilmuan tertentu akan mengambil bentuk yang berbeda dengan keilmuan yang lainnya. Paradigma ilmu pengetahuan yang mengambil obyek empiris akan berbeda dengan paradigma keagamaan yang bersumber pada kebenaran transendental. Namun pada bagian-bagian tertentu terdapat dialektika di antara keduanya. Ilmu pengetahuan bertujuan mencapai kesejahteraan manusia dan ilmu agama pun mempunyai tujuan yang sama. Perbedaan di antara keduanya, umumnya terdapat pada tataran epistemologis. Dalam konteks ini, paradigma dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir.

Lebih daripada sekadar kumpulan teori, paradigma mencakup berbagai komponen praktek- praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang ter-spesialiasi. Paradigma juga menggariskan tolok ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan, menetapkkan metodologi penelitian mana yang akan dipilih untuk diterapkan, atau cara bagaimana hasil penelitian akan di-interpretasi. Ini berarti, makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi, kombinasi, gabungan, atau campuran dari komitmen yang dianut dan diterapkan oleh anggota-anggota suatu komunitas ilmu pengetahuan secara bersama- sama, yang, untuk waktu tertentu, menawarkan model permasalahan berikut pemecahannya kepada komunitas dimaksud.

Secara tipikal paradigma mendefinisikan bagi penganut atau pemakainya, baik disadari maupun tidak, apa yang dapat dianggap/diterima sebagai bidang, disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan vang digeluti sekaligus bagaimana cara mereka mewujudkan karya dan karsa mereka di dalam-nya. Pada tataran inilah berbagai konsep paradigma yang lebih formal disadari, direnungkan dan diperdebatkan. Dalam kaitan ini, ilmu hukum, ilmu sosial, atau bidang ilmu lainnya, sebenarnya bisa dikatakan mengakui adanya lebih dari satu paradigma atau multiparadigmatik. Dalam hal ini, multi-paradigmatik dimaknai sebagai merefleksikan interpretasi berbagai pokok persoalan dari bidang-bidang ilmu dimaksud secara majemuk, bervariasi, bahkan tidak jarang berseberangan.

11 Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Naskah Pidato Pengukuhan

(15)

Paradigma dengan demikian merupakan sebuah konsep yang seringkali diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari yang memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat [masyarakat ilmiah] untuk melihat dan memahami dunia dengan segala isinya. Dengan demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought) yang kita miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk dan dibangun.

C. Dialektika Paradigmatik Ilmu dan Agama (Islam)

Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan suatu pencarian religius.

Ilmu dan agama meskipun dianggap tidak ada persoalan, namun sejarah mencatat keduanya mengalami pendikotomian, terutama ketika Al-Ghazali memisahkan antara ilmu agama sebagai ilmu wajib dan ilmu-ilmu umum sebagai ilmu sunnah. Di Indonesia, selama bertahun-tahun dikotomi tersebut terlihat pada pemilahan bidang kajian, yaitu kajian keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi agama seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), adapun keilmuan umum di kembangkan di Perguruan Tinggi Umum.

(16)

Konflik. Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikan satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus teolog, mencatat bahwa momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633. Karena mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris).

Seseorang tidak dapat menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata lain harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama atau kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada penolakan objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan berimplikasi pada pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.

(17)

Ada sementara agamawan menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan dengan keyakinan agama, sedangkan ilmuwan ateis mengklaim bahwa berbagai bukti ilmiah atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok ini sepakat bahwa seseorang dapat mempercayai Tuhan dan teori evolusi sekaligus. Dengan demikian maka ilmu dan agama berada dalam posisi bertentangan.

Independensi. Pandangan idependensi menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.

Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang tidak memuaskan untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif berusaha meleburkan ilmu dan agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling dapat di percaya tentang awal mula alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang tidak mengandung kesalahan. Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun konsep baru tentang penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science) berdasarkan atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di lakukan oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus dibuat sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai secara intelektual.

(18)

Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah seperti halnya permainan, missal, catur dan bisol. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama, tidak ada yang dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik.

Pendekatan independensi ini dinilai cukup aman karena dapat menghindari konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya. Pendekatan ini menggambarkan ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang berel ganda, masing-masing memiliki jalan yang independen dan otonom. Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semstinya tidak perlu terjadi jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama. Ilmu dan agama mempunyai bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia, agama berurusan dengan fakta objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya yang deduktif, sedangkan ilmu setiap saat bisah berubah karena sifatnya yang lebih induktif. Ilmu dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Ilmu dan agama berada pada posisi sejajar dan tidak saling mengintervensi satu dengan yang lain.

(19)

teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan. Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebanaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya. Hubungan dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri.

Integrasi. Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.

D. Beberapa Tipe Integrasi Ilmu dan Agama

(20)

Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandanga dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’ apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.

Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu. Integrasi Holistik Ilmu dan Agama prespektif Mulla Shadra.

Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mulla Shadra mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi an epistemologi yang menunjukan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:

1. Tauhid (Keesaan Allah)

(21)

didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia”.(Q.S. 2:163). “Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Q.S. 14:10). Pandangan uniter dalam keilmuan diyakini oleh ilmuwan muslim sejak masa lampau. Mereka tidak mengutamakan satu bidang ilmu atas yang lain, namun satu ilmu selalu terkait dengan bidang ilmu yang lain. Akan tetapi, dewasa ini hampir-hampir tidak terjadi dialog antara ilmu terutama ilmu alam dan ilmu sosial humaniora.

2. Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia.

Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kalian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78). Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu agar tidak mengalami pemahaman yang salah

“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku memiliki khazanah-khazanah Tuhan, tidak pula aku mengetahui apa yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan pada kalian bahwa aku adalah sosok malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”(Q.S. 6:50).

Dua ayat tersebut menegaskan keyakinan bahwa ada realitas yang adikodrati yang menguasai, memberikan sarana dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian tidak semua ilmu dapat dikuasai manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.

3. Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan

(22)

dan apapun yang ada diantara keduanya untuk kesia-siaan. (Q.S. 38: 27). Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengn konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115). Pemahama Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.

4. Komitmen pada nilai-nilai moral

Komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an: “Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. 62: 2). Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Di antara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.

E. Integrasi Ontologis Ilmu dan Agama

Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membincang masalah ‘yang ada’, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut sebagai Filsafat Pertama.

(23)

‘mungkin ada’ adalah sesuatu yang keberadannya bersifat mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak ada. Keberadaan sesuatu yang mungkin ini sangat bergantung pada sesuatu yang menjadi penyebab keberadaanya. Misalnya ‘kursi’ akan ada bila terdapat kayu atau besi yang—meminjam pandangan Aristoteles—menjadi sebab bahannya (kausa material), terdapat sebab bentuk (kausa formal), terdapat subjek manusia yang merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (sebab efisien), serta ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk (kausa final). Sedangkan ‘wajib ada” adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada tidak karena sesuatu yang lain namun justru menjadi penyebab atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Pandangan ontologi Mulla Shadra dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud. Dalam khasanah pemikiran Islam diantara tema-tema matafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problem wujud ini.

Konsep wujud (mafhum wujud) digambarkan seperti pemahaman atas pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu ada”. Setiap orang dengan segera akan memahami pernyataan tersebut tanpa melalui refleksi yang mendalam karena terjadi secara natural dan spontan. Sesorang tidak perlu belajar untuk dapat memahami pernyataan tersebut. Akan tetapi tidaklah mudah untuk memahami realitas wujud (hakikat wujud) karena sedemikian jelasnya konsep ini. Analoginya bahwa wujud sedemikian terangnya seperti matahari oleh karena demikian terangnya sehingga tidak mungkin dapat dilihat.

Pandangan ontologis demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan maupun agamawan untuk ‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran yang saya pahami hanyalah satu potong puzzle dari gambar keseluruhan alam semesta. Beragam pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat dipandang sebagai potongan-potongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi pemahaman akan kebenaran mutlak.

(24)

status ontologis antara ilmu dan agama adalah integratif-interdependentif, yaitu “tidak ada agama tanpa ilmu dan tidak ada ilmu tanpa agama”.

F. Integrasi Epistemologis Ilmu dan Agama

Setiap pandangan epistemologi pasti disadari oleh suatu pemahaman ontologi tertentu. Seseorang yang meyakini bahwa hakikat segala sesuatu adalah materi, maka bangunan epistemologinya pun akan bercorak materialisme. Pemahaman ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada empirisme, rasionalisme dan positivisme Demikian pula bagi seseorang yang secara ontologis meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah yang non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non materi, pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme.

G. Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama

Aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain adalah: apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai atau nilai mendahului fakta. Nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu (pengemban nilai). Sebagai contoh patung batu itu indah. Patung batu adalah pengemban nilai sedangkan indah merupakan kualitas (nilai) yang melekat pada patung.

Nilai memiliki sifat polaris dan hierarkis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa dalam penilaian terdapat dua kutub yang saling berlawanan, misalnya: benar-salah, baik-buruk, idah-jelek. Salah, baik-buruk, jelek, bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif . Adapun hierarki nilai menunjukkan bahwa terdapat gradasi nilai yaitu amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali.

(25)

pandangannya tentang gradasi wujud, maka secara aksiologis ilmu dan agama juga bersifat gradatif, namun tidak hanya gradatif dalam konteks penilaian manusia (amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali), akan tetapi berada dalam kerangka gradasi wujud.

Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat interdependentif, dan secara epistemologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratis-kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan terkait satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.

Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis) saja, namnun juga nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, yang benar harus juga yang baik, yang indah dan yang ilahiah. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai disatu sisi telah mengakselerasi secara cepat perkembangan ilmu namun disisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar. Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena diabaikannya berbagai nilai diluar nilai kebenaran.

Integrasi antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut.

(26)

manusia selalu berusaha memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena ke-belum-mampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya.

Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya berpusat pada Tuhan (tauhid) karena dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua kembali, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya semua akan kembali). Integrasi holistik ilmu dan agama hendaknya menjadi dasar bagi perkembangannya seluruh keilmuan yang ada. Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama belum cukup hanya dengan membangun suatu institusi yang didalamnya keseluruhan ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama diajarkan, sedangkan antara ilmu tersebut sebenarnya tidak pernah berdialog. Pada dasarnya institusi semacam ini belum mengintegrasikan keduanya, karena hubungan ilmu dan agama masih ‘independen’, berjalan sendiri-sendiri, hanya berada dalam wadah yang sama.

Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofis, yang didalamnya terdiri atas tiga pilar besar yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, sehingga agama tidak hanya menjadi landasan etis namun lebih luas menjadi landasan filosofis bagi perkembangan ilmu. Dengan demikian outcome yang dihasilkan dari institusi yang mengintegrasikan ilmu dan agama adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuwan yang beragama Islam, yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat imannya, sedangkan ilmuwan Islam adalah, ilmuwan yang tidak hanya kuat imannya, namun yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu.

H. Penutup

(27)
(28)

BAHAN BACAAN

Arnold, Thomas dan Alfred Guillaume. 1952. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press

Achmad Sanusi,.1998, Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, 1999, Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm”

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, 1996 Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.

Mantiq, <http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm”>.

Liek Wilardjo, 1990. Realita dan Desiserata, Yogjakarta: Duta Wacana Press

---, 2004, bahan ajar Filsafat Ilmu, dihimpun oleh Joni Emirzon dan Firman Muntaqo. Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina.

Myers, Eugene. 1964. Arabic Thought and the Western World. New York: Frederick Ungar Publishing Co.

Nasr, Seyyed Hossein. 1970. Science and Civilization in Islam. New York: New American Library.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. Qadir, C. A. 1988. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Croom Helen. Ristelhueber, 1971. A History of the Balkan Peoples. Diterjemahkan dari Sherman David

Spector, New York: Twayne Publishers, Inc.

Rosenthal, Franz, 1975. The Classical Herritage in Islam. London: Routledge & Kegan Paul.

Sardar, Ziauddin, (Ed.). 1989. An Early Crescent. London & New York, Mansell.

Savory, R. M., (Ed.). 1979. An Introduction to Islamic Civilization. Cambridge: Cambridge University Press.

Tibi, Bassam, 1991. Islam and the Cultural Accommodation of Social Changes. Boulder, San Francisco & Oxford: Westview Press.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pene- litian dan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh Soetisna (1981) mengungkapkan bahwa biji berbagai jenis tanaman yang mempunyai nisbah asam lemak tak

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa secara parsial motivasi memberikan kontribusi pengaruh terhadap kinerja pegawai sebesar 17,6%, sementara itu

kokurikuler yang dikelola secara integritas dalam mencapai tujuan kurikulum. 3) Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. peserta didik

Selanjutnya untuk mengukur seberapa besar tingkat integritas gembala menurut surat- surat pengembalaan dan aplikasi bagi gembala di GPdI Wilayah Nabire Kota adalah

6HODLQUHJXODVL8QGDQJXQGDQJ7LQGDN 3LGDQD .RUXSVL WHUGDSDW SXOD 3HUDWXUDQ 0DKNDPDK$JXQJ1RPRU7DKXQ\DQJ PHQJDWXU SHUPRKRQDQ SHQDQJDQDQ KDUWD NHND\DDQ GDODP WLQGDN SLGDQD

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disiplin kerja dan pengawasan kerja berpengaruh terhadap peningkatan efektivitas kerja pegawai pada Kantor Perwakilan

Berdasarkan pada hasil kelompok diskusi bahwa perkembangan suatu kawasan pariwisata atau pembangunan apapun yang dilakukan, pasti akan terjadi perubahan fisik. Perubahan

Dengan demikian terdapat pemikiran lain agar biji buah nangka lebih bernilai ekonomis dan bergizi yaitu dengan cara membuat biji buah nangka menjadi bolu kukus