• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDO"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

POLITIK HUKUM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDONESIA1

A. PENDAHULUAN

Di negara-negara demokrasi yang berbentuk republik kepala negara yang biasanya disebut sebagai Presiden, dipilih secara demokratis, tidak ditentukan berdasarkan keturunan sebagaimana dilakukan di negara-negara berbentuk kerajaan atau monarki. Pergantian kepala negara di negara berbentuk republik yang demokratis itu juga dilaksanakan melalui pemilihan, yang teknisnya dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Sedangkan di negara-negara yang tidak demokratis, pengangkatan kepala negara dapat saja dilakukan dengan cara lain, misalnya kudeta, penunjukan langsung oleh kepala negara

terdahulu, dan lain sebagainya.2

Para pendiri bangsa, yang secara formal tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melalui pemungutan suara tanggal 10 Juli 1945, menyepakati bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk Republik. Hal itu kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang Dasar 1945.3 Dengan demikian, negara Indonesia dikepalai

oleh seorang Presiden yang pengangkatan atau penggantiannya dilakukan melalui pemilihan.

Sejak tahun 2004 pemilihan Presiden di Indonesia dilaksanakan dengan melibatkan secara langsung partisipasi rakyat Indonesia melalui pemilihan umum (Pemilu). Hal itu sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, di mana Presiden dipilih oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) dalam kapasitasnya sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan.

Terjadinya perubahan cara pemilihan Presiden itu merupakan salah satu buah dari gerakan reformasi yang dimulai tahun 1998. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa itu dapat diartikan sebagai suatu era, dan dalam pengertian politis sebagai tatanan atau rezim, di mana bangsa Indonesia melakukan berbagai usaha sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan mengaktualisasikan indeks

demokrasi yang pada orde sebelumnya telah dimanipulasi.4 Gerakan reformasi

itu sendiri pada tahapan paling awal telah menunjukkan kekuatannya, yakni keberhasilannya memaksa Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Indonesia, jabatan yang secara konstitusional dia pegang baru beberapa bulan. Pada saat mundur, Soeharto memang tercatat telah menduduki jabatan Presiden selama hampir 32 tahun.

1 Ditulis oleh Nelson Simanjuntak untuk memenuhi syarat ujian akhir semester mata kuliah Kapita Selekta Hukum Tata Negara, pada Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia, tahun 2011.

2

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta 2007, hlm. 279.

3

Lihat Jimly Asshiddiqie, op cit., hlm. 281. 4

(2)

2 Keberhasilan gerakan reformasi menyingkirkan Soeharto dari kursi

kepresidenan5, harus diakui telah memperkuat semangat dan keyakinan

kalangan reformis untuk melakukan perubahan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, pihak-pihak yang sebenarnya tidak menginginkan perubahan, yaitu mereka-mereka yang merupakan kroni politik

Soeharto, mau tidak mau harus “melebur” diri dengan gerakan reformasi demi mempertahankan status quo elit politik yang mereka sandang selama rezim

Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang otoriter.

Tak lama setelah Soeharto mundur, pada tahun 1999 dilakukan Pemilu untuk

memilih DPR. Meski sempat mengalami “kemacetan” karena sebagian besar

anggota KPU yang berasal dari Partai Politik peserta Pemilu tidak bersedia menanda-tangani hasilnya, Pemulu 1999 dinilai jauh lebih demokratis dibandingkan dengan Pemilu yang diselenggarakan selama Orde Baru.

Setelah melalui perjuangan politik yang panjang dan tidak mudah, pada tahun

1999 dilakukan perubahan UUD 1945. Menurut para aktivis gerakan social

society, perguruan tinggi-perguruan tinggi, dan sebagian besar parpol peraih kursi DPR pada Pemilu 1999 memandang bahwa UUD 1945 perlu

diamandemen karena terbukti selalu menimbulkan otoriterisme.6 Dalam praktek

ketatanegaraan pada dua rezim pemerintahan di bawah UUD 1945 sangat

otoriter.7 Menurut Prof. Mahfud MD, otoritoriterisme tersebut muncul bukan

karena isi UUD 1945, melainkan karena pelaksanaannya oleh rezim penguasa tak dapat diterima. Namun, berdasarkan hasil berbagai studi, otoriterisme itu justru dibangun melalui peluang-peluang yang ada di dalam UUD 1945. Ada empat hal yang dijadikan pintu masuk untuk membangun otoriterisme kekuasaa,

yaitu (1) Sistem politik yang berat sebelah pada eksekutif (executive heavy),

dalam arti bahwa isi UUD 1945 memang menitikberatkan pada kekuasaan lembaga eksekutif (presiden) sehingga tidak dapat memunculkan mekanisme

checks and balances yang proporsional. (2) Adanya pasal-pasal penting yang ambigu dan multitafsir, dan karena kekuasaan berat pada eksekutif, maka penafsiran yang harus diterima adalah penafsiran yang datang dari Presiden. (3) Terlalu banyaknya atribusi kewenangan kepada legislatif untuk mengatur lebih lanjut hal-hal penting di dalam UU, yang dalam prakteknya pengaturan lebih

5

Penulis menilai bahwa mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan bukan semata-mata karena desakan gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, namun juga dengan adanya peristiwa kerusuhan massal dan meluas, berupa pembakaran dan penjarahan supermarket dan toko-toko, di hampir seluruh kota-kota di Indonesia, mulai dari ibukota negara Jakarta hingga ke kota-kota kabupaten di pelosok negeri, yang sampai saat ini belum dapat dibuktikan siapa pihak di belakang peristiwa kerusuhan tersebut.

6

Lihat Moh Mahud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta 2010, hlm.37-39. Partai politik yang memandang perlunya dilakukan amandemen 1945 adalah Partai Golkar, PKB, PAN, PPP, PBB, dan PK. Sedangkan PDIP sebagai parpol peraih kursi terbanyak dalam Pemilu 1999 dan kalangan militer, termasuk para purnawirawan, cenderung menolak perubahan karena mengkhawatirkan munculnya konflik politik, berupa masuknya agenda liar yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan menumpang agenda perubahan UUD 1945 tersebut. Selain itu, kelompok kedua ini menilai adanya kemungkinan bahwa usul perubahan itu lebih bersifat emosional akibat kemarahan kepada rezim Orde Baru yang baru saja dijatuhkan.

7

(3)

3 lanjut hal tersebut justru didominasi oleh eksekutif. (4) UUD 1945 lebih percaya pada semangat orang (penyelenggara negara) tanpa imbangan sistem yang kuat. Padahal, betapa baik pun semangat seseorang itu, jika sistemnya tidak

baik maka akan mudah terjadi berbagai korupsi politik.8

Mahfud sendiri menyarankan untuk tidak secara mutlak menyalahkan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto atas sistem otoriter yang mereka bangun pada masa pemerintahan mereka masing-masing. Sebab, mungkin saja

saat itu ada situasi yang menurut pertimbangan mereka hal itu harus dilakukan.9

Namun, secara garis besar, pakar hukum tata negara ini menyimpulkan bahwa semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru, politik hukum di Indonesia telah berubah dari yang otoriter ke politik hukum yang lebih demokratis., termasuk dalam hal pemilihan presiden sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Dalam era reformasi ini telah terjadi perubahan politik yang sangat sifnifikan dalam cara memilih Presiden, yakni dari tidak langsung menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Mengapa politik hukum reformasi menginginkan pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung? Pertanyaan tersebut akan dibahas dalam paper singkat ini, terutama dari latar belakang serta proses politiknya.

B. PERMASALAHAN

Sebagai titik tolak pembahasan dalam paper ini, maka permasalahan yang dirasa perlu untuk dijawab sesuai dengan topik utama penulisan makalah ini, dirumuskan dalam pertanyaan berikut:

1. Mengapa pemilihan presiden di Indonesia perlu dilaksanakan secara langsung?

2. Apa saja perubahan yang terjadi berkaitan dengan pemilihan presiden secara langsung tersebut dilihat dari aspek hukumnya?

C. METODE PEMBAHASAN

Dua pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan tersebut, akan dijawab secara deskriptif-analitis berdasarkan studi kepustakaan, yakni menggunakan data-data sekunder dan pendapat para ahli, terutama ahli hukum tata negara, yang tersebar di berbagai buku dan media massa.

D. PEMBAHASAN

Dalam bagaian pembahasan ini, penulis terlebih dahulu akan menguraikan secara garis besar proses pengisian jabatan presiden serta kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan sejak Indonesia merdeka. Setelah itu, pembahasan akan dilanjutkan tentang ketentuan tentang pemilihan presiden menurut UUD 1945 sebelum perubahan dan menurut UUD 1945 setelah

8

Moh Mahfud MD, op cit., hlm. 38 9

(4)

4

perubahan lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang mengapa

menggunakan proses pemilihan langsung dalam menentukan Presiden.

1. Pemilihan Presiden dalam Sejarah.

a. Presiden Pertama (18 Agustus 1945)

Segera setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Ketua PPKI Ir. Sukarno yang memimpin rapat ketika itu meminta agar segera dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dengan alasan bahwa pers sudah menunggu siapa yang dipilih menjadi presiden dan wakil presiden. Menurut Pasal III Aturan Peralihan UUD yang baru ditetapkan itu, dinyatakan: Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah membacakan pasal tersebut, Sukarno segera memerintahkan Zimu Kyoku untuk membagikan kartu suara kepada para anggota PPKI. Namun, sebelum kartu suara dibagikan, anggota PPKI Otto Iskandardinata, dengan alasan keadaan waktu, mengusulkan agar pemilihan presiden dilakukan secara aklamasi dan mengajukan Sukarno sebagai calon. Kemudian semua yang hadir di ruang sidang itu bertepuk tangan, sedangkan Ir. Sukarno mengucapkan terimakasih atas pilihan dengan suara bulat sebagai Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya

semua anggota PPKI berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan

setelahnya berteriak bersama: “Hidup Bung Karno,” sebanyak tiga kali.

Dengan demikian, Ir. Sukarno resmi menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama. Untuk pemilihan Wakil Presiden, lagi-lagi Otto Iskandardinata mengusulkan nama Bung Hatta, yang langsung disambut tepuk tangan para anggota PPKI lainnya. Dengan proses serupa,

Mohammad Hatta resmi menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.10

Menurut Pasal IV UUD, sebelum Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk berdasarkan undang-undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

b. Presiden pada Konstitusi RIS 1949

Meski telah menyatakan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Penjajah Belanda (yang pada tahun 1942 meninggalkan Indonesia karena kalah perang dari Jepang) tidak rela mengakui negara Indonesia yang baru merdeka itu. Dengan kalahnya Jepang terhadap Sekutu, Belanda kembali ke Indonesia dan membentuk negara-negara bagian di luar kekuasaan Republik Indonesia yang karena ancaman tentara Belanda terpaksa memindahkan istananya dari Jakarta ke Yogyakarta. Melalu perjuangan fisik di dalam negeri serta perjuangan diplomasi, yakni dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 23

Agustus – 2 September 1949, Pemerintah Belanda akhirnya mengakui

kedaulatan negara Republik Indonesia, dengan syarat bentuk pemerintahannya adalah republik federal. Kendati Konstitusi RIS belum

10

(5)

5

ditetapkan secara resmi11, pemilihan Presiden RIS dilaksanakan pada

tanggal 16 Desember 1949 dengan calon tunggal Ir. Sukarno. Dia dilantik

menjadi Presiden RIS pada tanggal 17 Desember 1949.12 Pada tanggal

20 Desember 1949 terbentuk Kabinet RIS pertama di bawah pimpinan

Dr. M Hatta sebagai Perdana Menteri yang dilantik oleh Presiden.13

Dalam struktur ketatanegaraan, menurut Pasal 68 ayat (1) UUD RIS, Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah. Sedangkan pembentukan kabinet diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang

menyatakan: “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan

oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam Pasal 69, menunjuk

tiga pembentuk Kabinet.” Mengenai masa jabatan presiden tidak diatur

dalam UUDS 1955. Dalam Pasal 72 ayat (2) dinyatakan, Undang-undang federal mengatur pemilihan Presiden baru untuk hal, apabila Presiden berhalangan tetap, berpulang atau meletakkan jabatannya.

c. Presiden pada UUDS 1950

Siasat pemerintah Belanda untuk memecah-mecah Indonesia menjadi negara-negara bagian ternyata tidak berhasil. Tidak lama setelah UUD RIS diberlakukan, para tokoh dan pemimpin negara-negara bagian dan daerah-daerah yang bukan merupakan negara-bagian menyatakan keinginan mereka bergabung sebagai satu negara kesatuan sebagai penjelmaan Republik Indonesia dengan tujuan yang ditentukan oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka juga sepakat untuk mengubah Konstitusi RIS dengan memperhatikan UUD 1945 menjadi konstitusi sementara oleh Badan Perubahan Konstitusi, sebuah badan yang dibentuk oleh DPR RIS bersama dengan Badan Pekerja KNIP. Satu hal yang juga disepakati adalah Sukarno menjadi Presiden dan

kabinet bertanggung jawab kepada DPR.14

Menurut Pasal 45 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950: ayat (1) Presiden ialah Kepala Negara dan ayat (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. UUDS ini tidak menyebut waktu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

d. Presiden Pasca Dekrit 5 Juli 1959

Pada masa berlakunya UUDS 1950 situasi politik Indonesia sangat tidak memuaskan. Terjadi krisis kabinet secara berulang-ulang, wewenang pemerintah mendapat tantangan dari angkatan darat, korupsi meraja lela, nepotisme politik, cek-cok politik, dan pemerintah tidak

11 UUD RIS berlaku berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 48 tanggal 31 Januari 1950 tentang

Mengumumkan Piagam-Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1950.

12

Menurut Pasal 69 ayat Konstitusi RIS, (1) Presiden ialah Kepala Negara, (2) Beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2.

13

Lihat Ibid, hlm. 136 – 139. 14

(6)

6 berdaya menghadapi berbagai masalah tersebut. Meski demikian, pada tahun 1955 pemerintah berhasil melaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota Dewan Konstituante.

Dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, Pemilu 1955 sering disebut-sebut sebagai pemilu yang prosesnya berlangsung paling demokratis, meski dilaksanakan dalam situasi politik yang tidak kondusif serta dengan fasilitas yang serba terbatas. Sayangnya, hasil Pemilu 1955 tersebut ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik. Tidak adanya partai mayoritas di parlemen mengakibatkan krisis kabinet

kembali berulang-ulang, sementara Dewan Konstituante yang

diharapkan dapat menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUDS 1950 larut dalam perdebatan panjang. Situasi mengakibatkan negara dalam keadaan darurat yang mendorong Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dikenal

sebagai Dekrit 5 Juli 1959.15

Dari segi ilmu ketatanegaraan, sumber hukum Dekrit 5 Juli 1959 adalah dukungan sebagian besar rakyat Indonesia dan pengakuan anggota-anggota DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi. Hukum

demikian ini disebut sebagai hukum darurat negara (staatsnoodrecht)

subjektif.16

Dengan telah kembali kepada UUD 1945, kedudukan Presiden tidak lagi hanya sebagai Kepala Negara, tetapi sekaligus memegang

kekuasaan pemerintahan (eksekutif).17 Pada tanggal 17 Agustus 1959

Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul Penemuan Kembali

Revolusi Kita, yang kemudian disebut sebagai Manifesto Politik Republik

Indonesia dan akhirnya ditetapkan sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, melalui Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1960.

Di bawah semboyan Demokrasi Terpimpin, Sukarno melancarkan sejumlah kebijakan politik, antara lain mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 sebagai dasar hukum pembentukan MPR Sementara, sebelum MPR menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tersusun.

Anggota MPRS tersebut terdiri dari anggota DPR Gotong Royong18

ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan. Sedangkan jumlah anggota MPR juga ditetapkan Presiden. Pada tanggal 15 September 1959 untuk pertama kali dalam sejarah RI Presiden melantik 574 dari 610 anggota MPRS. Pada tahun 1963 dalam sebuah

15

Lihat Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014, Perludem, Jakarta 2006, hlm. 34. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 88 -90.

16 PJ Suwarno, op cit., hlm. 166. 17

Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. 18

(7)

7 sidang umumnya, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden RI seumur hidup.

e. Presiden Pasca Supersemar 11 Maret 1966

Slogan politik Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Sukarno, ternyata tidak berhasil membawa Indonesia ke arah kehidupan politik yang lebih baik. Bahkan, pada pertengahan 1960-an disebut-sebut adanya suatu Dewan Jenderal yang berencana mengambilalih kekuasaan. Ketidak-puasan terhadap politik Sukarno mencapai puncaknya dengan meletusnya Gerakan 30 September dan 1 Oktober 1965 yang ditandai dengan penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal angkatan darat. Tentang bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa tersebut serta siapa sesungguhnya tokoh sentral di belakang peristiwa berdarah itu, sampai sekarang tidak jelas. Namun, hampir semua penulis yang membahas peristiwa itu menyebut Letkol Untung dan Kolonel A Latif sebagai tokoh utamanya. Dua perwira tersebut merupakan teman lama Mayjen Soeharto, yang menjabat sebagai Pangkostrad pada saat

peristiwa G 30 S terjadi.19 Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari

Untung mengumumkan lewat RRI bahwa Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta telah digagalkan. Dikatakan, anggota-anggota Dewan Jenderal tersebut telah diculik dan Presiden Sukarno dalam keadaan aman. Namun, pada malam harinya, sekitar pukul 21.00 WIB, Mayjen Soeharto mengumumkan bahwa pagi itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung, sebagai tindakan kudeta kontra revolusioner melawan Presiden Sukarno. Pada kesempatan itu, Soeharto mengumumkan telah mengambilalih kendali Angkatan Darat karena Menteri/Panglima Angkatan Darat A. Yani telah diculik.

Peristiwa G 30 S merupakan peristiwa politik berdarah yang secara pelan tapi pasti mengakhiri rezim Sukarno, dan memunculkan Mayjen Soeharto sebagai pemimpin baru. Dengan dukungan kekuatan militer, pada tanggal 3 Oktober Pangkostrad Mayjen Soeharto mengumumkan dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban.20 Esok harinya, pembantaian terhadap anggota PKI dan

keluarganya dimulai, dengan tuduhan sebagai dalang gerakan 30 September. Indonesia pun banjir darah. Pada tanggal 11 Maret 1966 dengan terpaksa Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang konsepnya disodorkan oleh empat jenderal suruhan Soeharto, yaitu M Yusuf, M Panggabean, Amir

Machmud, dan Basuki Rachmat.21

19 Lihat PJ Suwarno, op cit., hlm. 172-174. 20

Ibid, hlm. 174-175. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta 2007, hal 37. Dalam buku tersebut, dengan mengutip Richard Tanter, Jimly mengatakan Soeharto membentuk Kopkamtib tanggal 10 Oktober 1965 yang langsung dikomandoi oleh dirinya sendiri. 21

Ibid, hlm. 177-178. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 38. Dalam buku tersebut, Jimly

(8)

8 Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto, selaku Panglima Kopkamtib, menggunakan surat tersebut sebagai sumber hukum dan sekaligus sumber legitimasi untuk dan atas nama Presiden membubarkan PKI dan menyatakan PKI beserta segala ormasnya sebagai partai terlarang di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Agar legitimasi Supersemar mempunyai landasan hukum yang kuat,

Supersemar dikukuhkan melalui Ketetapan MPRS Nomor

IX/MPRS/1966 tentang Supersemar dalam Sidang Umum MPRS

tanggal 20 Juni – 6 Juli 1966.22

Dengan bermodalkan Supersemar, Jenderal Soeharto bertindak sebagai Presiden menurut UUD 1945, yaitu sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai pemegang kekuasaan atas pemerintahan.

2. Pemilihan Presiden Menurut UUD 1945 dan masalahnya.

Menurut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) dengan suara terbanyak. MPR sendiri, menurut Pasal 2 ayat (1) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

UUD 1945 tidak mengatur tentang pemilihan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR dan hal itu rupanya dipahami betul oleh Presiden Soekarno. Karena itu, sejak mengumumkan kembali ke UUD 1945 di bawah semboyan Demokrasi Terpimpin, Soekarno tidak pernah menggagas untuk melaksanakan pemilihan DPR hingga kepemimpinannya berakhir. Berbeda dengan Sukarno, Jenderal Soeharto yang berhasil mengakhiri era Demokrasi Terpimpin, menilai bahwa pemilu adalah sesuatu hal penting bagi legitimasi politiknya. Apalagi, keberhasilannya menumbangkan kekuasaan Sukarno tidak lepas dari dukungan partai-partai politik yang

berseberangan dengan PKI.23

Dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara

murni dan konsekuen, Jenderal Soeharto berusaha mendorong

dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR. Namun di sisi lain, Soeharto juga berusaha agar hasil Pemilu tersebut dapat

“mengukuhkan” dirinya sebagai presiden. Untuk itu, selain menetapkan

Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, dia juga menjalankan politik hukum, yang memungkinkan dirinya mengontrol hasil Pemilu itu sendiri. Untuk tujuan tersebut, Soeharto menerapkan tiga langkah, yaitu (1) mendirikan organisasi peserta pemilu sendiri bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), (2) Pemerintah mengangkat anggota DPR/MPR dari

mencegah terjadinya sesuatu atas diri Presiden Sukarno, Soeharto mengirim Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud untuk menjelaskan beberapa hal terkait dengan situasi kenegaraaan, antara lain (1) jaminan untuk keselamatan Presiden; (2) mengamankan Pancasila dan UUD 1945; menyelamatkan revolusi Indonesia serta memelihara keamanan, asal Soeharto diberi kepercayaan untuk itu. Tindakan Soeharto tersebut membuahkan hasil, yaitu keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal dengan singkatan Supersemar.

22

Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 40. 23

(9)

9 unsur ABRI dan kelompok-kelompok lain. Hal ini merupakan hasil kompromi politik karena parpol menolak sistem distrik yang ditawarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. (3) Guna menjamin kemenangan Golkar, pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam

kepanitiaan pemilu.24

Dengan menjalankan tiga strategi tersebut, keinginan Soeharto terpenuhi. Dalam Pemilu 1971 Golkar berhasil meraih 236 atau 62,8 persen dari 360 kursi DPR yang diperebutkan. Sisanya dibagi secara tidak merata

oleh 7 dari 9 partai politik peserta pemilu lainnya.25 Ditambah dengan

anggota DPR yang diangkat oleh Presiden sebagai wakil dari kelompok ABRI, maka praktis komposisi keanggotaan DPR berada di bawah kekuasaan Soeharto.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, sebanyak 752 orang atau 81,7 persen dari 920 orang anggota MPR merupakan pendukung Soeharto, yakni 230 orang Fraksi ABRI, 392 orang Fraksi Karya Pembangunan dan 130 orang Utusan Daerah. Dengan komposisi seperti itu, tidak heran Suharto terpilih secara aklamasi menjadi Presiden Indonesia pada Periode 1972-1977.

Selama pemerintahannya Presiden Soeharto secara periodik

menyelenggarakan Pemilu sekali lima tahun. Dengan dukungan politik ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar), Soeharto dapat leluasa menjalankan politik otoriter. Setelah Pemilu 1971, misalnya, Soeharto berhasil memaksa sembilan parpol peserta pemilu melebur diri dalam dua parpol, yaitu Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian, sejak Pemilu 1977, peserta pemilu hanya terdiri dari tiga peserta, yaitu PPP, Golongan Karya, dan PDI. Bahkan, nomor urut peserta pemilu tersebut tidak pernah berubah dari pemilu ke pemilu.

Dengan strategi yang sama dengan Pemilu 1971, Suharto berhasil merekayasa setiap pemilu untuk mengesahkan perpanjangan masa jabatannya sebagai Presiden. Dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen, Soeharto dapat menggunakan Pemilu untuk melegitimasi kedudukannya sebagai Presiden secara terus-menerus, tanpa batasan waktu. Secara konstitusional hal itu tidak dapat disalahkan,

karena Pasal 7 UUD 1945 sendiri menyatakan: “Presiden dan wakil presiden

memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat

dipilih kembali.”

Perilaku politik Soeharto dengan segala kebijakan otoriternya akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998. Atas desakan mahasiswa, kekuatan masyarakat sipil, dan mungkin sebagian kalangan militer secara tersamar, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden. BJ Habibie yang diangkat menjadi Presiden menerima desakan Gerakan Reformasi untuk segera melaksanakan Pemilu yang demokratis, yakni dengan menerapkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

24

William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, dalam Topo Santoso, dkk, Op cit., hlm. 35-36.

25

(10)

10 Pemilu pertama era Reformasi dilaksanakan tahun 1999, diikuti oleh 48 partai politik. Selain membuka pintu bagi parpol untuk menjadi peserta Pemilu, jumlah anggota DPR yang diangkat dari kalangan ABRI dikurangi menjadi 75 orang dari 100 orang pada Pemilu 1997. Lembaga Pemilihan Umum yang sebelumnya merupakan mesin pemenangan pemilu bagi Golkar, direstrukturisasi. Namanya pun diubah menjadi Komisi Pemilihan Umum yang keanggotaannya terdiri dari wakil dari seluruh partai peserta pemilu dan lima orang wakil dari pemerintah, dengan jumlah suara 50:50. Reformasi penyelenggaraan pemilu tersebut menunjukkan perubahan hasil Pemilu yang sangat signifikan. Golkar yang pada pemilu sebelumnya selalu mendominasi perolehan suara, dalam Pemilu 1999 digantikan oleh PDI Perjuangan yang waktu itu menggadang-gadang Megawati sebagai calon presidennya.

Namun, konfigurasi dukungan politik rakyat terhadap calon presiden yang diajukan oleh Parpol peserta pemilu ternyata berbeda dengan konfigurasi kehendak wakil-wakilnya di MPR, yang memiliki hak formal-konstitusional untuk memilih presiden atas nama rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. MPR hasil Pemilu 1999 bukan memilih Megawati sebagai Presiden, melainkan Abdurrahman Wahid yang didukung oleh Poros Tengah. Megawati sendiri akhirnya hanya mendapat jabatab sebagai Wakil Presiden.

3. Pemilihan Presiden secara Langsung

Mengapa Presiden dan Wakil Presiden perlu dipilih secara langsung? Prof. Mahfud MD secara sederhana menjawab: bahwa pemilihan secara langsung bersifat lebih demokratis. Namun, secara khusus untuk

pengalaman Indonesia, dia memberi dua alasan. Pertama, pemilihan

langsung lebih membuka pintu bagi tampilnya Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Alasan ini muncul dari pengalaman Pemilu 1999, yaitu adanya ketidaksamaan konfigurasi politik rakyat terhadap calon presiden yang diusung oleh parpol dengan orang yang dipilih oleh MPR, seperti dalam kasus Megawati. Contoh lain adalah tersingkirnya Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi Wapres menggantikan Megawati yang menjadi Presiden pasca pemakjulan Presiden Abdurrahman Wahid. Padahal, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh media massa, Susilo Bambang Yudhoyono lebih diunggulkan dan mendapat dukungan terbesar dari rakyat Indonesia. Namun, ternyata dia kalah dalam tingkat pemungutan suara di MPR. Hal itu menunjukkan bahwa kehendak MPR sebagai miniatur seluruh rakyat Indonesia ternyata tidak

mencerminkan potret kehendak rakyat yang diwakilinya.26 Namun, menurut

Mahfud, kenyataan tersebut secara konstitusional tidak salah. Sebab, menurut UUD 1945, MPR-lah yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Alasan kedua, menurut Mahfud, mengapa perlu pemilihan Presiden secara langsung adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak

26

(11)

11 mudah dijatuhkan di tengah jalan sesuai dengan yang berlaku di dalam sistem presidensial. Sistem presidensial semu yang berlaku di Indonesia pada masa-masa sebelumnya melalui cara pemilihan Presiden secara tidak langsung ternyata telah menimbulkan masalah yang dilematis. Pada masa Orde Baru Presiden terlalu kuat, sehingga sangat sulit dijatuhkan. Malahan Soeharto dapat mengkooptasi DPR dan MPR melalui rekayasa dalam penentuan anggota legislatif itu sehingga terjadi akumulasi korupsi politik. Sementara itu, di era reformasi justru DPR dan MPR terlalu kuat sehingga presiden dapat dengan mudah dijatuhkan berdasarkan kehendak dan alasan sendiri yang dibuat oleh sebagian anggota MPR dan DPR.

Indonesia memang membutuhkan perubahan terkait dengan hubungan antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, namun perubahan yang diinginkan itu adalah untuk mendorong terjadinya keseimbangan kekuatan antara Presiden dan DPR/MPR sesuai dengan ide tentang mekanisme

checks and balances di dalam ketatanegaraan.27

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, MPR kemudian menyetujui perubahan cara pemilihan Presiden di dalam Konstitusi dari semula dilakukan oleh MPR menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut dituangkan dalam perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 yang ditempatkan dalam Pasal 6A ayat (1) sampai ayat (5). Kemudian perubahan ini juga berdampak terhadap Pasal 6 UUD 1945, khususnya ayat (2) yang sebelum amandemen berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Melalui amandemen ketiga, Pasal 6 ayat (2) tersebut diubah menjadi: Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pembicaraan tentang perlunya Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sudah muncul secara resmi dalam Rapat ke-1 Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR tanggal 7 Oktober 1999. Adalah FPDIP, melalui juru bicaranya, Aberson Sihaloho, yang pertama sekali secara tegas menyatakan bahwa seorang Presiden seyogya harus dipilih langsung oleh rakyat. Pendapat tersebut diajukan sebagai konsekuensi dari ketentuan kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga semua lembaga negara harus dibentuk

oleh rakyat.28 Setelah melalui diskusi panjang dan rapat dengar pendapat

dengan para pakar dari sejumlah perguruan tinggi, akhirnya dalam Rapat Parpurna ke-7 Masa Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 yang berlangsung November 2001, MPR sepakat untuk menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, yang selanjutnya dituangkan dalam pasal 6 A UUD 1945 hasil perubahan ketiga.

Jika dilihat dari waktu yang dibutuhkan, pembahasan masalah cara pemilihan presiden tersebut termasuk sangat lama. Bahkan, meski hal itu menyangkut hal yang sangat mendasar, proses perubahan UUD 1945 ditangani secara langsung oleh MPR. Karena itu, banyak kalangan menilai

27

Ibid, hlm. 139. 28

Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid I,

(12)

12 Perubahan UUD 1945 tersebut sangat dipengaruhi kepentingan jangka pendek partai politik peserta Pemilu 1999.

Dengan perubahan UUD 1945 tersebut, pemilihan presiden secara langsung dilaksanakan pertama kali tahun 2004. Pendapat yang disampaikan oleh beberapa pakar politik pada saat pembahasan perubahan UUD tersebut yang memperkirakan bahwa proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung akan menimbulkan kerusuhan massal, ternyata tidak terbukti. Pemilihan Presiden secara langsung kemudian dilakukan melalui Pemilu 2009, juga tidak terjadi kerusuhan.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Untuk pertama kali pemilihan presiden dilakukan secara aklamasi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

2. UUD 1945 sebelum perubahan mengatur Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaku kedaulatan rakyat, namun tidak mengatur bagaimana proses pembentukan MPR tersebut. UUD 1945 juga tidak membatasi masa jabatan yang boleh dipegang oleh seorang Presiden. Hal itu membuka peluang bagi Presiden untuk merekayasa MPR bagi kepentingan kekuasaannya secara terus-menerus.

3. Peralihan kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 hampir semua terjadi dengan cara yang tidak normal, yakni:

a. Pada saat pertama kali diberlakukan, MPR belum terbentuk sehingga yang digunakan adalah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945;

b. Pada saat kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Sukarno yang dipilih berdasarkan UUDS 1950 mengukuhkan diri sendiri sebagai Presiden di bawah UUD 1945; Bahkan, MPRS yang dibentuk oleh Sukarno kemudian menetapkan Sukarno sebagai Presiden seumur hidup. c. Peralihan jabatan Presiden dari Soekarno kepada Soeharto tidak dilakukan oleh MPR, melainkan dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar);

d. Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden BJ Habibie terjadi karena Soeharto dipaksa mengundurkan diri jabatan Presiden;

e. Peralihan kekuasaan dari BJ Habibie kepada Abdurrahman Wahid merupakan dilaksanakan secara normal, yakni melalui Sidang Umum MPR;

f. Peralihan kekuasaan dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dilaksanakan di tengah jalan. MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid karena sebagian besar anggota MPR tidak menyukai tindakan-tindakan politik Abdurrahman Wahid.

4. Bercermin dari pengalaman politik sejak kemerdekaan hingga ke masa Orde Baru, MPR sepakat melakukan perubahan konstitusi, termasuk mengenai sistem pemilihan presiden dari cara tidak langsung menjadi langsung melalui Pemilihan Umum.

Referensi

Dokumen terkait

Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatanj secara keseluruhan.kesehatan gigi juga merupakan salah satu komponen kesehatan secara menyeluruh

Untuk mengetahui sama ada terdapat hubungan yang signifikan antara jenis tingkah laku agresif (fizikal, verbal dan antisosial) yang paling kerap berlaku di kalangan pelajar

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Visual Auditorial Kinestetik (VAK) terhadap

Orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah yang mempelajari pelajaran agama lebih dari sekolah umum seperti MIN, MTs dan MAN dengan alasan orang tua menginginkan

Peneliti : Selain berdasarkan nilai ulangan harian, apakah ada informasi lain yang digunakan dalam menetapkan peserta didik yang harus mengikuti program remedi.. Guru : Kalau

Tujuan dan Manfaat Tujuan Kegiatan Tujuan pelaksanaan kegiatan abdimas ini adalah untuk memberikan keterampilan penggunaan E-Learning berbasis media sosial Edmodo bagi guru SD

Dan pada aspek posterior dari pada tunika albugenia terdapat bagian yang menebal membentuk mediastinum testis, yang akan membentuk septa yang membagi ruang

Dengan kata lain, Pemerintah baru dapat melakukan penyesuaian harga BBM apabila dalam enam bulan terakhir harga ICP minyak mengalami kenaikan atau penurunan 15