• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Alokasi Dana Desa ADD di Kebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjuangan Alokasi Dana Desa ADD di Kebu"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 1

Perjuangan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kebumen:

Jalan Panjang Lagi Berliku Menuju Otonomi Desa atau (Bisa) Tidak untuk Apa-apa

1

Oleh: Wahidah R Bulan, M.Si

PENDAHULUAN

Penguatan desa merupakan salah satu topik utama yang kerap diperbincangkan dalam pembahasan mengenai praktek otonomi daerah di Indonesia. Hal itu sangat terkait dengan esensi pokok otonomi daerah, yaitu untuk mewujudkan kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meski didalam undang-undang titik berat otonomi daerah lebih diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, pembahasan tentang desa menjadi penting mengingat upaya membangun kemandirian daerah sesungguhnya tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu mengupayakan penguatan desa (pemerintahan desa dan masyarakat desa).

Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan salah satu isu tentang desa a g ukup sa ter disuarakan. Mengadopsi muatan yang termaktub didalam UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004, desa dianggap layak mendapatkan distribusi kewenangan dan anggaran yang proporsional sebagaimana yang diperoleh Kabupaten/Kota. Setidaknya itulah logika yang dibangun oleh kebanyakan para penggiat desa, termasuk di Kebumen, tempat dimana riset ini diadakan, ketika mereka mengajukan tuntutan tentang perlunya ADD dilaksanakan didaerah mereka. Argumen lain terkait dengan ketertinggalan dan kemiskinan yang tampak nyata didesa, yang dinilai merupakan bukti pengabaian pusat (daerah) kepada desa selama ini.

Alokasi dana pembangunan untuk desa di Kabupaten Kebumen (sebelum ADD diberlakukan, pen), kisarannya hanya sekitar 2-3 %. Bandingkan dengan alokasi dana untuk biaya gaji pegawai (biaya rutin) yang jumlahnya dapat mencapai 40% dari total anggaran. Padahal realitanya desa di Kebumen yang berjumlah 449 itu dihuni oleh 80% penduduk yang separuh lebih diantaranya penduduk miskin. Bantuan untuk desa yang diberikan Pemkab yang diatur melalui Perbub sebelum ADD diberlakukan, jumlahnya juga bisa dibilang sangat kecil. Hanya berkisar antara 8 s/d 11 juta untuk tiap desa. 2

Hal ini merupakan ironi. Desa merupakan struktur pemerintahan terdepan karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Selain itu jika merujuk kepada PP N0. 76/20013 tentang desa yang kemudian

1

Tulisa i i erupaka hasil Pe elitia te ta g Negosiasi Politik dala Refor a Pe ele ggaraa Pe eri taha Daerah , “tudi a g dilakuka AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung, bekerjasama dengan ACE (Association of Community Empowerment), pada tahun 2009.

2

Hasil Wawancara penulis pada 21 Agustus 2009 dengan salah satu informan, Sri Winarti, anggota DPRD Kab. Kebumen, Jawa Tengah, yang terlibat secara intensif dalam gerakan memperjuangkan ADD di Kebumen.

3

Di dalam PP No. 76/2001, Pasal 5 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup: a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan

(2)

Page | 2 diperbaharui menjadi PP No. 72/2005, desa sesungguhnya memiliki kewenangan4 untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun urusan pemerintahan yang dimaksud meliputi: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- undangan diserahkan kepada desa

Persoalannya kemudian, kewenangan itu menjadi tidak dapat difungsikan karena problem ketersediaan anggaran5. Sumber dana yang ada didesa sangat terbatas, yaitu pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat. Meski desa juga memperoleh bantuan pembangunan pemerintah pusat maupun daerah (Pemprov maupun Pemkab/Pemkot), namun penggunaan dana-dana bantuan tersebut penentuannya ditetapkan oleh pusat/daerah (top down). Akibatnya program seringkali tidak meyentuh kebutuhan real masyarakat desa dan karenanya tidak memberikan dampak signifikan bagi penyelesaian berbagai permasalahan di desa, terutama terkait dengan kemiskinan dan ketertinggalan.

Beberapa kabupaten saat ini telah melakukan inovasi dengan mengalokasian dana APBD yang dimilikinya untuk dikelola sendiri oleh desa. Satu diantaranya adalah Kabupaten Kebumen, yang mensahkan peraturan mengenai ADD pada tahun 2004 (Perda No.12/2004 tentang Penyusunan APBDes dan Perda No.13/2004 tentang Sumber Pendapatan Desa).

Meski banyak daerah lain dinilai sukses melaksanakan ADD6, namun ada beberapa hal istimewa dari proses pemberlakuan ADD di Kebumen. Tidak seperti halnya Solok dan banyak daerah lain yang inisiatif pelaksanaannya berasal dari kepala daerah, ADD di Kebumen dilaksanakan lebih karena kuatnya desakan masyarakat, dalam hal ini para aktifis LSM yang berkolaborasi dengan para birokrat desa (para carik desa dan kepala desa), selain karena dukungan dari birokrat, anggota DPRD Kab. Kebumen, maupun wartawan. Selain berhasil e aksa le aga eksekutif da legislati e mengesahkan ADD menjadi perda, para pejuang ADD di Kebumen juga memiliki peran cukup dominan dalam mempengaruhi implementasi kebijakan ADD paska perda ADD diberlakukan.

4

PP No. 72/2005 tentang Desa, Pasal 67

5

Berdasarkan PP No. 72/2005, Pasal 68, poin (1), disebutkan bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas:

a. pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;

b. bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;

c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;

d. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; dan

e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

6

(3)

Page | 3 Selain itu, meski bukan yang pertama melaksanakan, isu ADD7 di Kebumen bisa dibilang termasuk yang agak awal diperbincangkan. Jauh sebelum kebijakan pemerintah tentang ADD (PP No. 72/2005 tentang Desa), dikeluarkan. Kalau kemudian kebijakan ADD baru pada Tahun 2007 dilaksanakan secara murni di Kebumen, itu lebih karena banyaknya hambatan dan rintangan yang harus dihadapi dalam proses pengesahan perda dan pemberlakuan ADD di Kebumen.

TINJAUAN KEBIJAKAN DANA ADD

Substansi ADD

Sebelum dijelaskan substansi ADD, pertama-tama perlu dijelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan ADD. Sebagaimana termaktub didalam PP No. 72/2005 Pasal 1 ayat 11, ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota. Sementara itu didalam pasal 68 ayat c disebutkan, besaran dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima desa jumlahnya minimum 10% dari APBD (setelah dikurangi biaya rutin, pen), yang didistribusikan untuk setiap Desa secara proporsional. Sumber pendapatan tersebut harus disalurkan langsung melalui kas desa (ayat 2) dan tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah (pusat, pen) atau pemerintah daerah (ayat 3).

Sebagai sebuah kebijakan, ADD se e ar a uka ara g baru. Sebelumnya sudah ada aneka dana pusat yang digelontorkan kedesa. Diantaranya berupa program pembangunan semisal program Bangdes (Pembangunan Desa), dana IDT (Inpres Desa Tertinggal), program pembangunan prasarana dan sarana sanitasi dan penyehatan lingkungan, program air bersih, proyek perencanaan perbaikan perumahan dan lingkungan desa terpadu (P2LDT), termasuk Bantuan Keuangan Kepada Desa/Kelurahan (BKDK).

Kalau ada yang membuat ADD menjadi berbeda dengan dana-dana tersebut, hal itu karena ADD tidak diposisikan sebagai dana bantuan. Istilah bantuan pada desa (digunakan pada BKDK misalnya), dianggap sudah tidak relevan. Istilah tersebut secara politis hanya akan menempatkan desa sebagai bagian subordinasi dari supra desa8. Desa seolah tidak memiliki hak dalam penganggaran. Perbedaan lainnya, ADD memberi keleluasaan (otonomi) kepada desa untuk mengelola penggunaan dana sesuai dengan kebutuhan real didesa (pendekatan bottom-up), selama memperhatikan aspek partisipatif (keterlibatan masyarakat). Hal ini merupakan langkah sangat maju karena dana-dana sebelumnya cenderung sangat top-down oriented.

Karena hal itu keluarnya aturan yang memayungi penggunaan ADD semisal PP 72/2005 yang dikeluarkan memperbaharui aturan sebelumnya (PP No. 76/2001,9 bisa dibilang merupakan langkah maju. PP yang

7Belum disebut dengan istilah ADD, tapi masih menggunakan istilah DAUDes (Dana ALokasi Untuk Desa), meniru

peristilahan yang dipergunakan didalam UU No. 22/2009.

8

Majalah Flamma Edisi 21, IRE, Jogjakarta, 2004.

9

Didalam PP No. 76 Tahun 2001 sumber pendanaan desa yang disebutkan hanyalah (1) Sumber Pendapatan Desa terdiri atas:

a.Pendapatan Asli Desa meliputi: 1) hasil usaha desa;

2) hasil kekayaan desa;

3) hasil swadaya dan partisipasi; 4) hasil gotong royong; dan

(4)

Page | 4 dikeluarkan sebagai terjemahan lebih lanjut UU No. 32/2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22/1999 tersebut, memberi kepastian hukum bagi pelaksanaan ADD yang secara praktek sudah berjalan atas inisiatif daerah dibeberapa tempat. Hal ini sekaligus merupakan langkah maju bagi upaya desa mendapatkan hak otonominya, dalam praktek otonomi daerah yang sudah sangat berkembang.

Keluarnya surat kawat dari Mendagri bernomor 140/1841/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tertanggal 17 Agustus 2006 yang memerintahkan daerah untuk segera merealiasasikan ADD, terutama daerah yang sama sekali belum melaksanakan ADD, makin mempertegas posisioning desa dalam praktek otonomi daerah di Indonesia dimasa datang. Pelaksanaan ADD diberbagai desa pun karenanya setelah itu menjadi lebih mudah.10

Meski demikian, pusat tampaknya masih ragu-ragu untuk secara eksplisit memberi pengakuan terhadap eksistensi desa. Setidak-tidaknya jika kita merujuk pada tujuan ADD sebagaimana disebutkan didalam Permendagri No. 37/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, otonomi desa tidak disebutkan sebagai salah satu tujuan penting ADD didalam pasal 19. Tujuan ADD jika merujuk pada pasal 19, lebih ditekankan untuk menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan antar desa selain untuk lebih meningkatkan kualitas pembangunan desa.

Secara lengkap tujuan ADD yang disebut didalam PP adalah: a. Menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan;

b. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat;

c. Meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan;

d. Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan sosial;

e. Meningkatkan ketrentaman dan ketertiban masyarakat;

f. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat;

g. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat;

h. Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

b.bantuan dari Pemerintah Kabupaten meliputi: 1) bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah;

2) bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten. c.bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi;

d.sumbangan dari pihak ketiga; dan e.pinjaman Desa.

10 Payung hukum lain yang tidak kalah penting terkait dengan implementasi ADD adalah Permendagri No. 37 Tahun

(5)

Page | 5 Terlepas dari hal tersebut, ditataran implementasi secara real ADD memberi banyak manfaat yang mengarah kepada penguatan posisioning desa. Diantaranya adalah11:

1. Desa dapat menghemat biaya pembangunan karena desa dapat mengelola sendiri proyek pembangunannya dan hasil-hasilnya dapat dipelihara secara bak demi keberlanjutannya.

2. Desa memperoleh pemerataan pembangunan sehingga lebih mampu memberikan pelayaan kepada masyarakat desa

3. Desa memperoleh kepastian anggaran untuk belanja operasional pemerintahan desa.

4. Desa dapat menangani permasalahan desa permasalahan desa cepat tanpa harus lama menunggu datangnya program dari pemerintah daerah Kabupaten/Pusat.

5. Desa tidak lagi bergantung pada swadaya masyarakat dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa

6. Dapat mendorong terciptanya demokratisasi di desa. Dengan ADD masyarakat dan pemerintah dilatih untuk bekerjasama, memunculkan kepercayaan antar pemerintah desa dengan masyarakat desa dan mendorong adanya kesukarelaan masyarakat desa untuk membangun dan memelihara desa

7. Dapat mendorong terciptanya pengawasan langsung dari masyarakat untuk menekan terjadinya penyimpangan

8. Dengan partisipasi semua pihak, maka kesejahteraan keompok perempuan, anak-anak, petani, nelayan, orang miskin, dll, dapat dicapai.

Besaran Dana ADD

Salah satu keistimewaan ADD dibanding kebijakan bantuan pendanaan serupa adalah, adanya perbedaan jumlah besaran dana yang diterima desa. Selain memperhatikan azas pemerataan12 (Permendagri No. 37/2007 pasal 20 ayat satu poin a) besaran dana ADD yang diterima desa juga memperhatikan azas keadilan. Daerah dengan jumlah wilayah yang luas, jumlah penduduk padat, jumlah KK miskin lebih banyak, akan mendapat porsi ADD yang lebih banyak dibanding daerah lain yang e iliki e a pekerjaa ru ah le ih ri ga . Dengan cara ini dana yang diberikan dianggap lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Dalam pelaksanaannya tidak semua daerah menerapkan aturan tersebut, terutama sebelum aturan resmi dari pusat dikeluarkan. Di Kabupaten Kampar misalnya, alokasi dana ADD untuk tiap desa nominalnya hampir sama. Akibatnya, ada desa yang sangat luas dan dengan jumlah penduduk cukup padat mendapatkan alokasi dana ADD yang sama dengan desa lain yang lebih kecil dan dengan penduduk lebih sedikit. Bahkan ada kasus dimana kondisi keuangan desa justru menjadi defisit dengan adanya dana ADD.

11

Gregorius Sahdan, et. al., ADD Untuk Kesejahteraan Rakyat Desa, FPPD dan Ford Foundation, Yogyakarta, 2008, hal. 7.

12

(6)

Page | 6 Kebumen merupakan salah satu daerah yang sudah sejak awal memperhatikan azas keadilan dalam pendistribusian ADD kedesa-desa. Sebagai contoh pada tahun 2008 Desa yang mendapat alokasi dana ADD terbanyak adalah desa Giritirto, Kecamatan Karanggayam, dengan jumlah dana ADD sebesar Rp. 169.886.129; sedangkan yang terkecil adalah Desa Podourip, Kecamatan Petanahan, dengan jumlah dana ADD yang diterima sebesar Rp. 56.894.066. Sementara itu pada tahun 2007 yang terbanyak mendapat ADD adalah Desa Seboro, Kecamatan Sadang, dengan jumlah dana ADD sebesar 148.850.788; dan yang terkecil adalah Desa Banyuroto, Kecamatan Adimulyo, dengan jumlah dana ADD sebesar 46.318.658

Apa yang menjadi variabel penentuan besaran dana ADD? Secara tegas tidak disebutkan didalam aturan yang dikeluarkan Depdagri13. Hanya disebutkan berapa contoh variabel yang dapat digunakan seperti jumlah KK miskin, Keterjangkauan, Pendidikan Dasar, Kesehatan dll. Karenanya sangat dimungkinkan terjadi variasi didaerah. Hanya saja sebagai prinsip pokok, selain besaran dana yang diterima sama oleh desa (Alokasi Dana Desa Minimal atau ADDM), didalam ADD juga terdapat komponen dana yang jumlahnya berbeda antara satu desa dengan yang lainnya (Alokasi Dana Desa Proporsional atau ADDP ). Di Kebumen, variabel ini setiap tahunnya terus dievaluasi dan disempurnakan oleh Pemkab. Sebagai contoh pada tahun tahun kedua pelaksanaan ADD di Kebumen (Tahun 2008), Rustriningsih menambahkan keberhasilan Pemdes dalam mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai varaibel penentu besaran jumlah dana ADD yang diterima desa.

…Saya dikejar-kejar pemerintah pusat soal pajak. Karena itu saya minta desa supaya juga bisa elaksa aka ya.... (Hasil wawancara dengan Rustriningsih pada 28 Agustus 2009)

Alasan lain mengapa kinerja Pemdes dalam menghimpun pajak dimasukkan sebagai salah satu variabel adalah karena ketidak-disiplinan Kepala Desa mengumpulkan dan menyetorkan pajak dari masyarakat.

Kades selama ini sering tidak disiplin dalam menyetor pajak yang dipungut dari masyarakat. Setelah indikator ini dimasukkan kedalam indikator penerimaan ADD, ada kades yang tidak terpilih lagi ketika masyarakat tahu bahwa dana ADD yang diterima desa tersebut minim lantaran Kades kinerjanya untuk pengumpulan pajak tidak bagus. Itu kejadiannya di Desa Buaya …

Kebijakan yang diambil Pemkab Kebumen sebagaimana disebutkan oleh Rustriningsih merupakan hal yang positif. Penetapan kinerja desa sebagai salah satu variabel penentuan besaran dana yang diperoleh desa dapat memotifasi desa untuk memperbaiki kinerjanya demi untuk mendapatkan alokasi dana ADD yang lebih besar. Bagi masyarakat juga sangat bermanfaat, karena mereka dapat memahami dan menilai apakah pihak Kepala desa dan perangkat desa telah bekerja dengan baik selama menjabat.

Problem utama terkait dengan besaran dana ADD, jumlah nominal dinilai jauh dari yang diharapkan. Jangankan untuk mewujudkan tujuan utama ADD, mengentaskan kemiskinan. Untuk penggunaan ADD yang 30% saja (untuk belanja aparatur dan operasionalisaosi pemerintah desa), nominalnya dinilai

13

(7)

Page | 7 belum memadai. Di Kebumen, ini merupakan keluhan tersendiri yang kerap diperbincangkan diantara para perangkat desa. Dalam wawancaranya Amirudin mengatakan:

Meski se-Jawa Tengah alokasi anggaran untuk ADD di Kebumen relative besar, tapi karena jumlah desa yang sangat banyak (449 desa, pen), nominal untuk tiap desa relative kecil. Karena hal itu anggaran untuk kesejahteraan aparat desa di Kebumen ini masih jauh dari harapan karena belum sesuai dengan UMR. Di kabupaten lain anggaran untuk perangkat termasuk tinggi. Magelang misalnya sudah mensetarakan honor untuk perangkat desa dan kades sesuai dengan UMR. Untuk perangkat desa Rp. 600.000, Sekdes Rp. 700.000, dan Kades Rp. 800.000.

Begitu pula halnya dengan dana ADD yang 70 % (untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat). Sebagai gambaran, di Kebumen rata-rata Desa pada tahun 2007 mendapatkan dana ADD sebesar Rp. 73.496.659, dengan varian yang sangat beragam. Yang terendah (Desa Banyuroto) mendapatkan Rp. 46.318.658; sementara yang tertinggi (Desa Seboro) mendapatkan Rp. 164.886.129. Jumlah ini tak banyak berbeda dengan tahun berikutnya. Pada Tahun 2008 rata-rata desa di Kebumen mendapatkan Dana ADD sebesar Rp. 84.086.859 (dengan tambahan Dana DKPM sebesar Rp. 5.000.000 yang diterima rata untuk setiap desa). Yang terkecil (Desa Podourip) mendapatkan Rp. 51.894.066, sementara yang paling tinggi (Desa GIritirto) mendapatkan Rp. 164.886.129. Lebih lanjut mengenai hal ini lihat Tabel 1.

TABEL 1

DISTRIBUSI DAN BESARAN DANA ADD DI KEBUMEN TAHUN 2006-2009

TAHUN Alokasi Terkecil Jumlah Alokasi Terbesar

Jumlah Total Dana ADD

Rata-rata ADD/desa

200914 37,755 M 84,086,859.69

200815 Podourip 51.894.066 Giritirto 164.886.129 37,755 M16 84,086,859.69

200717 Banyuroto 46.318.658 Seboro 148.850.788 33.000.000 73,496,659.24

200618 Banjarsari 31.400.004 Giritirto 94.648.098 20.000.000 43.905.41319

14 Perbub Kebumen No. 44/2009 tentang ADD di Kab. Kebumen Tahun Anggaran 2009

15

Perbub Kebumen No. 118/2008 tentang Besaran Alokasi Dana Desa dan Bantua Keuangan untuk Percepatan Pembangunan Desa di Kab. Kebumen pada Tahun 2008

16

Selain ADD pada Tahun 2008 tiap desa juga mendapatkan bantuan keuangan untuk Percepatan Pembangunan Desa, masing-masing Rp. 5.000.000 untuk tiap desa, sementara total dana yang dialokasikan dari APBD sebesar Rp. 2.245.000.0000,-

17

Perbub Kebumen No. 35/2007 tentang Besaran Alokasi Dana Desa untuk Setiap Desa di Kab. Kebumen pada Tahun 2007.

18

(8)

Page | 8 Dengan nominal dana yang relative terbatas, sulit bagi desa melaksanakan program yang benar-benar dapat memberdayakan masyarakat desa20, dan pada akhirnya dapat mengeluarkan masyarakat desa dari kemiskinan. Kebanyakan dana ADD dalam prakteknya habis terserap untuk kegiatan fisik. Kegiatan non fisik (ekonomi maupun social budaya) meski merupakan prioritas kebutuhan, terpaksa tidak diakomodir karena problem keterbatasan anggaran. Atau kalaupun dilaksanakan, program umumnya tidak didisain secara baik untuk benar-benar efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Selain problem kemampuan menyusun program (RPJMDes) secara baik didesa masih sangat terbatas21, problem utama yang tak dapat dinafikan diantaranya adalah karena persoalan ketersediaan anggaran.

Problem lain terkait dengan penggunaan ADD, terdapat keragaman penggunaan dana ADD didaerah-daerah. Meski didalam Permendagri No. 37/200722 disebutkan kegiatan apa saja didesa yang dapat dibia ai de ga ADD, a u kare a pada poi tujuh dise utka …da se agai a a g dia ggap pe ti g, tafsira a e jadi sa gat eraga didaerah. Di Kab. Bandung, Jabar, misalnya, tidak mengalokasikan honor RT dan RW dari dana ADD, sementara Kabupaten Kampar mengambil dana ADD untuk honor RT dan RW. Masing-masing daerah memiliki argumentasinya sendiri-sendiri. Perbedaan interprestasi tersebut pada batas-batas tertentu dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar, selama proses penentapannya disepakati didalam musyawarah desa. Namun ketika penggunaan dana ini tidak dikaitkan dengan tujuan utama ADD, yaitu pengentasan kemiskinan (dan otonomi desa), dikhawatirkan tujuan pemberian dana ADD ke desa-desa di Indonesia menjadi tidak tercapai.

No. 412.6/328/KEP/2006. Dikeluarkan sebagai tahap uji coba pelaksanaan ADD yang tertunda pelaksanaanya karena masih harus melewati tahapan revisi (disesuaikan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat). Alokasi dana untuk tiap desa menggunakan indicator sebagaimana indikator didalam perda ADD yang sudah disahkan, kecuali untuk kelurahan (dibagi rata masing-masing kelurahan mendapat Rp. 26.042.700 (ada 11 Kelurahan). Jadi total dana DKPM untuk kelurahan adalah Rp. 286.469.700,-

19

Rata-rata dana yang diterima desa (tidak termasuk kelurahan).

20

Didalam Perda No. 2/2004 tentang Pengaturan Keuangan Desa di Kab. Kebumen dana pemberdayaan disebutkan dapat digunakan untuk biaya perbaikan sarana publik dalam skala desa, penyertaan modal usaha masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa, perbaikan lingkungan dan pemukiman, teknologi tepat guna, pembangunan kesehatan skala desa, khususnya dalam pencapaian standar pelayanan minimal kesehatan atau tercapainya desa sehat, pengembangan sosial budaya, menunjang kegiatan 10 (sepuluh) Program Pokok PKK (besarannya paling sedikit 5 % dan paling banyak 10 % dari 70 % ADD), dan kegiatan lain yang dapat menunjang peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan atau meningkatkan pelayanan kepada Masyarakat Desa.

21 Penjelasan Yusuf dalam wawancara

22

Lebih lanjut lihat Permendagri No. 37/2007, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: Penggunaan Anggaran Alokasi Dana Desa adalah sebesar 30% (tigapuluh persen) untuk belanja aparatur dan operasional pemerintah desa, sebesar 70% (tujuhpuluh persen) untuk biaya pemberdayaan masyarakat, yaitu berupa:

1. Biaya perbaikan sarana publik dalam skala kecil.

2. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa. c. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan. 3. Perbaikan lingkungan dan pemukiman.

4. Teknologi Tepat Guna.

5. Perbaikan kesehatan dan pendidikan. 6. Pengembangan sosial budaya.

(9)

Page | 9 Karena hal itu tak berlebihan jika Amirudin sebagai salah satu tokoh utama perjuangan ADD di Kebumen menyatakan ketidak-puasannya terhadap implementasi ADD terutama kaitannya dengan tujuan asasi ADD.

Kalau tujuannya untuk mendorong penguatan kedesa-desa, target tersebut sudah memadai. Desa misalnya jadi belajar bagaimana membuat RPJMDes. Tapi untuk mendorong pembangunan desa menjadi lebih progresif, implementasi ADD masih sangat jauh dari harapan. Problem utamanya karena jumlah desa di Kebumen yang sangat banyak. Sebagai gambaran alokasi dana ADD untuk desa di Kebumen saat ini berkisar antara 90-100 juta. Beberapa desa ada yang dibawahnya, dan beberapa ada yang diatasnya sedikit. Sebagai contoh Desa Karanggadung, mendapat 90 juta, sementara Desa Tanjung Sari hanya mendapat 73 juta juta. Dengan besaran dana yang sangat terbatas tersebut, tidak terlalu banyak perubahan yang bisa dilakukan. Apalagi karena di Kebumen banyak desa-desa miskin. Perlu ada terobosan-terobosan lai . Tidak isa e gharapka ADD…

TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses negosiasi politik antara para

pemangku kepentingan yang memungkinkan terjadinya reforma dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam konteks pelaksanaan ADD, selain juga berusaha memetakan kondisi apa saja yang memungkinkan negosiasi politik tersebut berhasil mendorong diberlakukannya kebijakan ADD di Kebumen serta melihat ada tidaknya keterlibatan masyarakat dalam proses ADD. Secara lebih khusus, penelitian ini berusaha (1) membangun strategi dalam mendorong reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang akan diadvokasi, (2) mengenali aktor-aktor yang berpotensi mendorong dan menghambat proses reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan (3) mengembangkan strategi dalam penguatan organisasi masyarakat sipil agar dapat terlibat dalam proses reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Metode Penelitian. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif, yaitu membuat gambaran mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, dan gejala-gejala sosial pada suatu daerah tertentu secara sistematik dan mengikut fakta. Dengan cara ini gejala sosial dan politik berupa proses negosiasi dalam reforma penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan ADD di Kebumen, diharapkan dapat digambarkan secara lebih sistematis. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan dengan metode studi kasus, peneliti melakukan beberapa strategi untuk memastikan terhimpunnya seluruh data yang diperlukan dan dari beragam sumber yang ada. Keragaman sumber informasi ini penting karena sangat mempengaruhi kualitas pendeskripsian kasus secara utuh dan proporsional.

Terkait dengan hal tersebut, peneliti melakukan langkah-langkah berikut dalam menghimpun informasi yang dibutuhkan:

(10)

Page | 10 2. Menggali informasi dari pihak-pihak yang pernah (atau masih aktif) mendrive program di

Kebumen, yaitu FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) dengan agenda otonomi desa, IRE Jogjakarta dengan program tracking anggaran (PBETH) dengan lembaga bentukannya, GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil); dan INDIPH, lembaga lain yang aktif di Kebumen namun dengan isu yang agak berbeda, yaitu kesetaraan gender.

3. Menggali informasi dari wartawan senior yang ditemui dilapangan, yang telah bekerja cukup lama di Kebumen, dan mengetahui dengan baik aktor-aktor yang terlibat dalam proses perjuangan ADD menjadi Perda. Dengan asumsi bahwa wartawan karena pekerjaannya dalam menghimpun informasi dapat dipastikan berinteraksi dengan banyak pihak selaku aktor atau pelaku dalam berbagai momen penting yang terjadi di Kebumen,

4. Menggali informasi dari jajaran birokrasi. Selain Bapermades sebagai pihak yang bertanggung-jawab langsung terhadap implementasi ADD, Bapeda dan Sekda dinilai sebagai pihak yang relevan untuk diwawancarai mengingat perannya yang strategis baik sebagai perencana kegiatan maupun sebagai pengendali utama seluruh aktifitas dijajaran Pemkab Kebumen. Selain itu TKPKD juga dinilai sebagai informan penting untuk dimintai keterangan mengingat tanggung-jawabnya terhadap berbagai upaya pengentasan kemiskinan di Kebumen, yang juga merupakan salah satu tujuan dari diberlakukannya ADD.

5. Menggali informasi dari jajaran DPRD. Proses pengesahan ADD menjadi Perda dapat dipastikan melibatkan DPRD. Selain mewawancarai beberapa nama yang direkomendasikan oleh informan yang telah diwawancarai lebih dahulu, peneliti juga mewawancarai anggota DPRD lainnya yang dinilai memiliki informasi yang dibutuhkan. Diantaranya dari anggota DPRD Kebumen yang menjabat selama 3 periode. Meski yang bersangkutan tidak terlibat secara langsung dalam proses ADD, informan dinilai dapat memberi informasi tambahan dinamika yang terjadi secara umum di DPRD, terutama tentang proses negosiasi politik yang terjadi.

6. Mewawancarai kelompok perempuan, pengrajin batik tulis dan perempuan bakul lanting. Dipilihnya kelompok tersebut karena diasumsikan merupakan kelompok yang secara ekonomis kontribusinya sudah mendapatkan pengakuan atau sudah dirasakan, selain karena relative lebih terkordinir secara kelembagaan.

Dengan strategi seperti itu, peneliti melakukan proses penggalian data kepada 26 orang informan, yang berlangsung selama 27 hari mulai dari tanggal 4 hingga 29 Agustus 2009.

PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Kabupaten Kebumen Selayang Pandang

(11)

Page | 11 Dengan luas wilayah darat 1.281,115 km2 dan wilayah laut 6.867 km2, jumlah penduduk23 di Kabupaten Kebumen cenderung mengalami peningkatan terus secara signifikan dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata per-tahun (selama kurun waktu 1990-2008) mencapai 0,88%, atau di atas pertumbuhan penduduk Jawa Tengah sebesar 0,67. Dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata per-km2 naik 3,99% (tahun 2003-2008), yaitu dari 932 jiwa/per-km2 (tahun 2004) menjadi 969 jiwa/per-km2 (tahun 2008), berdasarkan data terakhir Dinas Kependudukan Kebumen jumlah penduduk Kebumen saat ini telah mencapai 1.283.106, terdiri dari 637.490 laki-laki, dan 645.616 perempuan. Kebumen bukanlah daerah yang cukup menonjol diantara Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Dengan kemampuan penganggaran yang relative terbatas24, tak ayal daerah ini menjadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi di Jawa Tengah. Beberapa yang kerap diekspose tentang Kebumen terkait dengan Genteng potensi pariwisata seperti Goa Jati-jajar, Benteng Van Der Wick, dan juga batik Kebumen.

Reformasi Pelayanan Publik di Kebumen

Pasca reformasi, pemberitaan tentang Kebumen relative meningkat. Selain karena terjadinya beberapa kerusuhan yang cukup meluas, kepemimpinan Rustriningsih sebagai Bupati perempuan pertama merupakan daya tarik tersendiri. Sebagai Bupati, Rustriningsih juga bisa dibilang melakukan upaya cukup serius untuk mengekspose daerahnya yang selama ini tidak banyak diberitakan, diantaranya dengan menyewa Matari Corporation, lembaga konsultan profesional yang dipimpin oleh Ken Sudarta.

Ada beberapa bentuk reform pelayanan publik yang disebut-sebut sebagai keberhasilan Kebumen, terutama dimasa kepemimpinan Rustriningsih. Beberapa diantaranya diwarnai pro dan kontra karena dinilai hanya merupakan strategi politik guna meningkatkan popularitas sang bupati dan tidak didisain sebagai upaya untuk penyelesaian persoalan sehingga tidak layak dideclare sebagai bentuk reform. Munculnya kritik tersebut diantaranya karena meski disatu sisi sang Bupati gencar mengupayakan perwujudan nilai-nilai good governance seperti transparansi melalui program Selamat Pagi Bupati, Ratih TV, proses lelang terbuka dialun-alun, dll; namun disisi lain Rustriningsih dianggap bersikap ambigu kare a e u urka er agai praktek KKN. Pe eria ke e a ga kepada Rustri a to adik Rustri i gsih u tuk e ge dalika irokrasi dia tara a dala pe etapa APBD dan penganggaran) dan banyaknya proyek-pro ek te der a g di e a gka oleh Rustri a to da atau ora g-ora g a g berada dibawah kendali Rustriyanto), termasuk diantaranya pengadaan barang untuk pembelian alat untuk Ratih TV, dinilai menciderai semangat untuk mewujudkan clean and good governance itu sendiri. Mencermati adanya suara-suara sumbang tersebut, penulis mencoba memilih lebih selektif bentuk-bentuk reform yang dapat dipertanggung-jawabkan sebagai keberhasilan (success story) Kebumen dengan tidak mengadopsi begitu saja informasi mengenai bentuk-bentuk reform yang diklaim sendiri oleh Pemkab Kebumen sebagai bentuk keberhasilannya. Karena hal itu peneliti lebih memilih bentuk-bentuk reform yang dilaksanakan lebih konsisten dan mendapatkan pengakuan dari banyak pihak untuk ditampilkan didalam report studi ini. Adapun program yang dimaksud adalah, Pengembangan Nilai-nilai

23

Suseda Kabupaten Kebumen Tahun 2008

24

(12)

Page | 12 Good Governance, terutama transparansi dan partisipasi. Program-program yang terkait dengan transparansi diantaranya adalah mendukung disusunnya Perda Transparansi, membuka akses informasi publik terhadap kegiatan pembangunan melalui jaringan radio in FM (Selamat Pagi Bupati), yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan serupa melalui pengelolaan Televisi Lokal, Ratih TV; Direct Mail; SMS dan Publikasi Proyek Pembangunan termasuk APBD kepada masyarakat secara luas hingga kedesa-desa. Sedangkan untuk partisipasi, pelaksanaan kebijakan Pemkab Kebumen mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), merupakan bentuk reform lain yang cukup menonjol.

ADD SEBAGAI BENTUK REFORM DI KEBUMEN: PERJUANGAN PANJANG LAGI BERLIKU

Perjuangan ADD di Kebumen (mulai dari perjuangan pengesahan perda hingga implementasi), berlangsung relative panjang lagi berliku. Meski cikal bakalnya sudah dimulai sejak tahun 1998, pengesahan Perda ADD baru terjadi pada tahun 2004, pada last minute sebelum pergantian DPRD baru (pemilu 2004). Perjuangan agar perda yang sudah disahkan dapat diimplementasikan, juga memerlukan waktu panjang. Implementasi ADD secara utuh di Kebumen baru dilaksanakan pada Tahun 2007, tiga tahun setelah pengesahan perda, dan karenanya bisa dibilang jauh lebih tertinggal dibanding daerah lain. Sebut saja misalnya Wonosobo, yang sebelumnya datang dan belajar tentang ADD ke Kebumen. Sebagaimana disebutkan dibagian pendahuluan, pelaksanaan ADD di Kebumen, sesungguhnya bukan merupakan inisiatif Pemkab. Pemkab (termasuk DPRD), bahkan dapat dikatakan menjadi pihak yang ikut

e u a g terlambat dan terhambatnya pelaksanaan ADD di Kebumen. Terhadap hal ini Rustriningsih dalam wawanacaranya mengatakan:

Kalau ada ke ijaka , pertama-tama saya lontarkan wacana. Juga tidak mesti dari saya yang melempar wacana itu, tapi dari orang-orang yang saya percaya. Ini untuk melihat reaksi. Untuk mengukur reaksi dari masyarakat dan tingkat kebutuhan mereka dari gagasan yang kita tawarka . (Hasil wawancara dengan Rustriningsih di Kantor Gubernur Jateng, pada 28 Agustus 2009)

Jadi meski Pemkab terkesan bukan menjadi pihak yang mengambil inisiatif dalam pengusulan raperda ADD, menurut Rustri sesungguhnya ia (Rustriningsih) terlibat secara tidak langsung dalam proses pe a a aa isu ADD elalui ora g-orang suruhannya. Karena itu menurutnya tidak bisa diklaim sepenuhnya bahwa inisiatif ADD datang dari masyarakat, karena ia sudah lebih dulu mengambil peran mewacanakan isu tentang ADD jauh sebelum isu itu diperbincangkan.

Terlepas dari argumentasi yang disampaikan Rustriningsih, realitanya usulan tentang perlunya dibuat perda ADD di Kebumen,secara formal datang bukan dari inisiatif Pemkab. Usulan yang paling awal disampaikan oleh Amirudin Masdar, seorang carik dari Desa Tanjung Sari, Kecamatan Petanahan, pada tahun 2000, yang datang menemui Pemkab Kebumen untuk menyuarakan aspirasinya. Meski aspirasi yang disampaikan Amirudin belum terkonsep dengan baik (hanya berupa penuturan lisan), namun kedatangan Amirudin yang mengatas-namakan Forum Komunikasi Perangkat Desa se-Kecamatan Petanahan itu bisa dibilang merupakan tonggak awal perjuangan ADD. Aspirasi yang sudah sejak lama bergejolak didesa itu secara resmi disuarakan.

(13)

Page | 13 dan perwakilan forum perangkat desa dari kecamatan lainnya yang sengaja diundang hadir untuk itu. Buah dari usaha Amirudin pun direspon baik oleh DPRD, terutama oleh Fraksi PPP dan Fraksi Reformasi. Kedua fraksi ini mengusulkan Pemkab untuk segera menyusun raperda Perimbangan Keuangan Desa, yang disampaikan dalam pandangan fraksi dalam sebuah persidangan yang berlangsung di DPRD, dengan agenda membahas usulan masyarakat tentang perlunya penyusunan raperda perimbangan keuangan desa.

Sayangnya usulan kedua fraksi tersebut tidak didukung fraksi besar di DPRD, PDIP. Begitu juga dengan Bupati yang menjabat sebagai Ketua Pimpingan Cabang (daerah) PDIP Kab. Kebumen. Menanggapi usulan kedua fraksi tersebut pihak Pemkab (eksekutif) beberapa waktu setelahnya memberi jawaban tertulis yang ditanda-tangani langsung oleh Bupati (Rustriningsih). Jawaban Pemkab, usulan Amirudin, dkk tidak dapat diakomodir karena desa bukan daerah otonom. Karena hal itu tidak ada landasan hukum untuk meminta perimbangan keuangan bagi desa sebagaimana perimbangan Pusat kepada Kabupaten, dan karena itu pula tidak diperlu perda untuk mengaturnya.25

Tapi perjuangan menuntut disusunnya perda ADD ternyata tidak berakhir sampai disini. Usulan pembuatan perda ADD kembali disuarakan. Kali ini diajukan oleh Forum PERKASA yang berkolaborasi dengan Lembah Lukulo (LSM). Forum PERKASA atau Forum Perangkat Desa se-Kebumen adalah, forum yang sengaja dibentuk Amirudin, dkk untuk meningkatkan posisi tawar mereka terhadap Bupati. Dengan wadah Forum PERKASA aspirasi yang dibawa Amirudin, dkk bukan lagi aspirasi dari Kecamatan Petanahan saja, tapi sudah menjadi aspirasi dari perangkat desa yang berada diseluruh kecamatan di Kebumen. Sementara Lembah Lukulo adalah sebuah LSM yang aktif memfasilitasi diselenggarakannya diskusi mengenai perjuangan desa. LSM yang awalnya dibentuk untuk memback-up Rustriningsih setelah yang bersangkutan terpilih sebagai bupati, dipimpin oleh Imam Mustofa dan Misbah Sukmadi. Mereka datang sudah dengan membawa draft raperda, yang dihasilkan dari kegiatan diskusi tentang desa yang diselenggarakan Lembah Lokulo. Draft tersebut sebelum dibawa ke DPRD sudah dishare lebih dulu ke desa-desa melalui Amirudin, dkk (jalur Kades dan perangkat desa) serta jaringan masyarakat desa (ARKuR) yang dimotori Sujud. Karena hal itu ketika dibawa ke DPRD, ADD sudah menjadi isu yang berkembang luas didesa.

Usulan (draft) pertama-tama dibawa ke DPRD dengan harapan DPRD dapat menggunakan hak inisiatif untuk menyusun Perda. DPRD bersedia menerima. Tapi DPRD menyarankan agar draft lebih dulu diusulkan ke Pemkab untuk menghormati Bupati.

Di DPRD mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan gagasan diforum yang dihadiri oleh semua fraksi. Dalam presentasinya Amirudin, Misbah, dan satu orang lagi dari perwakilan BPD, menyampaikan landasan hukum mengapa perlu ada raperda perimbangan keuangan desa termasuk analisis apakah secara anggaran mungkin atau tidak untuk dilaksanakan. Fraksi-fraksi tanggapannya sangat bagus, hanya PDIP yang diam. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima.

Meski menerima, DPRD sempat meragukan bahwa usulan yang diajukan tidak didukung desa dan hanya didukung elit-elit atau aktifis LSM ditingkat kota (kab. Kebumen). Menjawab keraguan DPRD ini, mereka mengumpulkan tanda tangan dari para kades dan perangkat desa. Terkumpullah lebih dari 100 tanda

(14)

Page | 14 tangan dan terus bertambah hingga mencapai hampir 200 tanda tangan dan kemudian diserahkan ke DPRD.

Menindak-lanjuti usulan DPRD, Misbah, Imam, dan Amir kemudian mendatangi Bupati untuk mengirimkan draft. Tapi Bupati tidak mau menemui. Mereka hanya diterima oleh ajudan Bupati. Mereka menunggu-nunggu jawaban dari eksekutif kapan mereka akan diberi waktu untuk presentasi. Tapi alih-alih mendapat jawaban atas permohonan untuk presentasi, Amirudin selaku kordinator Forkom PERKASA yang diundang hadir oleh Pemkab (Asisten Pembangunan dan bagian hukum) ditegur karena keterlibatannya dalam gerakan memperjuangan ADD. Amirudin diingatkan bahwa ia merupakan bagian dari birokrasi dan karenanya tidak mudah dikecoh atau diperalat oleh LSM (Lembah Lokulo) untuk menentang birokrasi. Statement tersebut juga disampaikan Rustriningsih Sang Bupati disalah-satu Koran yang mewawancarainya. Rustriningsih mengatakan bahwa Forkom PERKASA ditunggangi oleh LSM. Meski kasus yang diangkat terkait dengan aspirasi Pemdes untuk menolak rencana Pemkab mencabut tanah bengkok desa, melalui Perbub yang dikeluarkan Bupati. Tentang hal ini Amirudin mengatakan, Sebetulnya Forkom PERKASA tidak ditunggangi, tapi ini lebih merupakan kerja sama yang saling menguntungkan…

Meski terjadi dialog yang sangat intensif dengan DPRD, tidak juga terlihat ada tindak lanjut yang konkrit dari DPRD dalam bentuk rencana penyusunan raperda. Hal ini terjadi selama bebeberapa bulan. Akibatnya geliat gerakan perjuangan ADD seolah berhenti.

Usulan pembuatan perda muncul kembali kepermukaan ketika program P2TPD (Program Pembaharuan dan Tata Pemerintahan Daerah) digulirkan di Kebumen. Sebagai program pusat (Program Bapenas dengan pembiayaan dari World Bank) Bupati dan DPRD secara psikologis cenderung akan segan menolak usulan raperda ADD jika usulan tersebut dapat diakomodir sebagai program P2TPD. Karena itu mereka mengupayakan agar perjuangan pembuatan perda ADD dimasukkan menjadi program P2TPD. Mereka kemudian melakukan negosiasi dengan pihak pelaksana program P2TPD. Sebagai gantinya mereka akan mendukung dan terlibat dalam penyuksesan program P2TPD, satu diantaranya mendukung pengajuan raperda transparansi. Setelah usulan penyusunan ADD dimasukkan kedalam program P2TPD, penolakan Pemkab dan DPRD relative berkurang.

Meski demikian perjalanan perjuangan ADD masih berlangsung alot. Setidak-tidaknya dibutuhkan waktu setahun lebih sejak itu hingga akhirnya draft disetujui. Itupun dengan berbagai rintangan yang cukup sulit seperti kemunculan raperda perpanjangan masa jabatan kepala desa, usulan penundaan pengesahan menunggu pelaksanaan pemilu, dll. Akibatnya mereka pun perlu mengambil langkah menurunkan massa dalam jumlah cukup banyak (hingga mencapai jumlah seribu lebih), dalam beberapa kali momen yang dinilai penting. Secara kelembagaan mereka juga membentuk wadah perjuangan yang lebih besar dan lebih luas (cakupan pihak yang terlibat), yaitu FORMASA (Forum Masyarakat Desa), perluasan dari Forum PERKASA karena bukan hanya terdiri dari Kades dan perangkat desa se-Kabupaten Kebumen tapi juga LSM). Sebelumnya telah pula dibentuk FORMASI (Forum Masyarakat Sipil), yang meski awalnya dimaksudkan sebagai wadah untuk menyatukan aktifis dan LSM yang ada di Kebumen untuk mengawal program P2TPD (merupakan bentukan P2TPD), juga digunakan untuk menjadi wadah dalam memperjuangkan ADD setelah ADD masuk menjadi agenda P2TPD.

(15)

Page | 15 menjadi 10 tahun. Perda i i agi para kades jauh le ih se di a di gka de ga Perda ADD. Tak a al setelah rencana penyusunan perda perpanjangan masa jabatan diwacanakan oleh pihak Pemkab, sebagian besar perhatian kepala desa terpecah karena hal tersebut, meski akhirnya dapat dikonsolidasikan kembali. Sadar akan hal tersebut, mereka mencoba untuk tidak terpancing dengan menghabiskan energy mengcounter rencana penyusunan perda. Mereka sadar kalau hal itu mereka lakukan, para kepala desa dapat dipastikan akan memisahkan diri dari gerakan perjuangan ADD. Karenanya usulan Perda yang sesungguhnya sangat kontroversial tersebut melenggang kangkung dengan mudah. Tidak sampai satu tahun (2004) sudah disahkan, lebih dahulu dibanding dengan Perda ADD yang sudah diajukan sejak tahun 2000.

Setelah perda ADD akhirnya disahkan, jalan mulus bagi pelaksanaan ADD juga tidak otomatis diperoleh. Perda terpaksa harus direvisi dulu sebelum sempat dilaksakan karena tak lama setelah perda disahkan keluar PP yang isinya dinilai oleh Pemkab dan DPRD berbeda dengan isi perda. Hal ini terkait dengan jumlah alokasi dana ADD. Jika didalam Perda alokasi ADD disebutkan 10% dari total APBD, didalam PP disebutkan minimal 10% setelah dikurangi urusan wajib.

Meski para penggagas ADD menilai sesungguhnya muatan perda tidak bertentangan dengan PP karena didalam PP terdapat kata minimal yang berarti bahwa jika jumlah alokasi lebih dari 10% masih dimungkinkan, namun mereka tidak ingin bersitegang dan mencoba mencari jalan tengah dengan mengikuti lokiga DPRD dan Pemkab. Pertimbangan mereka sederhana saja, bagaimana agar Perda ADD dapat segera dilakasanakan.

Karena itu mereka setuju untuk merevisi Perda. Hanya saja sebagai penggantinya mereka menuntut dilaksanakannya program penyiapan desa, agar ketika perda selesai direvisi desa sudah memiliki kesiapan untuk pelaksanaannya.26 Program penyiapan ini berupa pendampingan desa dalam menyiapkan RPJMDes karena salah satu persyaratan desa dapat memperoleh ADD adalah bahwa desa itu sudah memiliki RPJMDes.

Pendampingan desa ditahun pertama tingkat penyelesaiannya baru mencapai 89%. Karena itu mereka melakukan proses negosiasi agar program dilanjutkan ditahun kedua. Menurut penuturan Yusuf27, ada resistensi yang sangat kuat dari pihak Pemda. SK Bupati tentang fasilitator tidak segera dikeluarkan. Yang lebih unik, begitu SK keluar (setelah mereka bekerja selama 4 bulan), pada hari yang sama keluar pula SK pemberhentian. Meski sudah diberhentikan dengan SK Bupati, para Fasilitator Kabupaten terus

26

Sebagaimana disampaikan Yusuf Murtiono ketika diwawancarai penulis pada 10 Agustus 2009, meski awalnya pemda kelihatan enggan mengalokasikan anggaran untuk menyiapkan desa, melalui sejumlah perdebatan didalam musrenbang akhirnya Pemda menyepakati mengalokasikan anggaran untuk pendampingan desa yang memenuhi persyaratan perda. Dana dialokasikan atas nama Program Keberdayaan Masyarakat Desa (PKMD) dengan besaran dana kurang lebih 700 juta. Ini merupakan tantangan berat karena dengan dana sebesar 700 juta tersebut mereka harus mendampingi desa yang jumlahnya cukup banyak, 449 desa. Dari dana tersebut dibeli kertas dan spidol (ATK) untuk proses pendampingan. Untuk mereka sendiri ada honorarium yang diberikan Pemda atas peran mereka sebagai fasilitator kabupaten, yang keberadaannya dikukuhkan dengan SK Bupati. Mereka bekerja selama 9 bulan untuk menyiapkan desa, dengan jumlah fasilitator yang sangat terbatas, yaitu hanya 9 orang. Masing-masing harus mendampingi beberapa kecamatan karena jumlah kecamatan saat itu keseluruhannya mencapai 24 kecamatan.

(16)

Page | 16 bekerja. Tapi mereka turun kedesa-desa berdasarkan permintaan. Hal ini menimbulkan kekagetan pihak Pemda karena kegiatan penyiapan desa tetap berjalan meski tidak ada anggaran.

Resistensi birokrasi menurut Yusuf diantaranya muncul karena meningkatnya kecerdasan masyarakat selama proses pendampingan. Pada kegiatan pembekalan kedesa-desa, yang menjadi prioritas (adalah bagaimana agar paradigma masyarakat tentang anggaran, berubah. Para fasilitator selain mendampingi proses penyusunan RPJMDes juga menanamkan nilai bahwa masyarakat mempunyai hak atas APBD, akses informasi, dll. Mereka juga mengajak masyarakat desa ke DPRD dan mendatangi forum-forum perencanaan. Ini berdampak luar biasa. Sikap kritis masyarakat muncul. Kesadaran baru masyarakat segera tampak didesa-desa. Masyarakat desa mulai berani mempertanyakan kebijakan pemda tentang desa.

Target para pejuang ADD yang juga bertindak sebagai fasilitator dalam mendampingi desa dalam menyusun RPJMDes, lebih kepada bagaimana agar sebaganyak mungkin desa memenuhi prasyarat ADD yaitu memiliki RPJMDes. Karenanya diakui Yusuf ah a a ak RPJMDes a g asal jadi . Ini terlihat saat ADD sudah dilaksanakan. Ada desa yang baru dua tahun melaksanakan ADD programnya sudah habis. Hal itu terjadi karena saat penyusunan RPJMDes mereka tidak berani memasukkan program banyak-banyak. Diantaranya karena mereka masih ragu apakah Pemda akan benar-benar mau menggulirkan dana ADD.

Setelah ADD berjalan tiga tahun, baru mereka mulai berkonsentrasi terhadap kualitas RPJMDes. Jika dulu yang ditanamkan kepada masyarakat adalah bahwa RPJMDes tidak boleh diubah oleh siapapun (target utamanya sebetulnya adalah birokrasi), kini mereka mulai membuka pemikiran masyarakat bahwa RPJMDes dapat diubah kalau ada perkembangan atau kebutuhan sepanjang dilakukan dengan melalui mekanisme musyawarah desa.

Setelah prasyarat selesai, perjuangan untuk pelaksanaan ADD belum selesai. Mereka memperjuangkan uji coba pelaksanaan ADD pada tahun 2006. Mereka saat itu harus bertarung berebut anggaran. Melalui program Dana Kemandirian dan Pemberdayaan Masyarakat (DKPM) akhirnya uji coba ADD dilaksanakan. Meski berupa dana bantuan, pengalokasian dana DKPM kedesa-desa sudah menggunakan format ADD. Dana dibagi secara proporsional dengan pembagian 60% dan 40% sesuai dengan kondisi desa (jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dll).

Untuk ujicoba ADD melalui dana DKPM pemda mengucurkan dana 20M. Kesediaan pemda mengalokasikan dana DKPM diperoleh melalui sejumlah pressure dan perdebatan. Mereka mendapatkan momentum berharga karena saat menjelang pengesahan APBD berbarengan dengan ulang-tahun Dewan tani. Dengan memanfaatkan solidaritas Dewan Tani yang merupakan salah satu jaringan FORMASI, mereka melakukan teror. Diantaranya dengan mengirimkan SMS secara berbarengan yang dilakukan oleh 40 orang kepada sejumlah aktor kunci di DPRD dan Pemkab (Seluruh Panitia Anggaran Eksekutif) yang sudah ditentukan nama-namanya dan urutan pengiriman smsnya. Adapun isi sms yang mereka kirim berbunyi:

I alillahi dst. Ikut erduka ita atas dikura gi ya alokasi da a desa/DKPM 200 . Mudah-mudahan panitia anggaran DPRD dan Pan Ang eksekutif menjadi kaya.

(17)

Page | 17 untuk mempersingkat waktu yang digunakan untuk proses revisi, mereka melakukan inisiatif lebih dahulu dengan melakukan proses penyempurnaan sebelum tim Pemkab bekerja. Selain itu mereka memilih strategi untuk tidak bicara prosentase terkait dengan besaran alokasi ADD, tapi lebih kepada besaran angka real. Dan ini berhasil. Tiap tahun besaran ADD Kebumen terus meningkat. Untuk tahun 2009 jika diprosentasekan jumlahnya bahkan mencapai 15% (setelah dikurangi urusan wajib).

ADD di Kebumen baru dilaksanakan secara murni pada tahun 2007. Tahun 2007 mereka mengusulkan angka 40M, direalisir 33 M (18,9%). Tahun kedua, 2008, mengusulkan 40M, direalisir 40 M. Sedangkan Tahun 2009 besarnya 40M dengan tambahan 898 juta, yaitu Dana Percepatan dan bagi hasil pajak untuk desa. Jika diprosentasekan angkanya mencapai 30,8%! Tahun 2005, sebelum ada Perda, dana bantuan untuk desa hanya 8 M. Itu artinya dalam tempo waktu 4 tahun peningkatannya sangat fantastis.

Secara terinci besaran dana ADD yang dialokasikan selama ADD dilaksanakan di Kebumen adalah sbb: 1. Tahun 2005: belum ada alokasi dana untuk ADD meski perda sudah disahkan (2004). Hal itu

karena Perda dinilai belum dapat dilaksanakan mengingat desa masih harus menyusun RPJMDes sebagai prasyarat penerimaan ADD. Pemkab pada tahun ini hanya mengalokasikan Dana Keberdayaan Masyarakat Desa (DKPM), sebesar kurang lebih 700 juta, untuk program pendampingan bagi penyiapan desa merumuskan RPJMDes.

2. Tahun 2006: belum ada alokasi dana untuk ADD. Namun Pemkab mengeluarkan dana sebesar 20 M untuk ujicoba ADD melalui DKPM. Kesediaan pemda mengalokasikan dana DKPM diperoleh melalui sejumlah pressure dan perdebatan. Juga sempat terjadi tawar-menawar mengenai besaran dana. DKPM sendiri merupakan dana bantuan desa tapi format sudah menggunakan ADD. Dana ada yang dibagi rata dan dibagi proporsional (dengan pembagian 60% dan 40%), yang dibagi sesuai dengan kondisi desa, yaitu memperhatikan jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dll).

3. Tahun 2007: sudah ada alokasi ADD dari APBD, yaitu berjumlah 33 M atau 18,9% dari dana APBD setelah dikurangi urusan wajib.

4. Tahun 2008: jumlah alokasi dana ADD meningkat menjadi 37.755.000. Selain Dana ADD pada Tahun 2008 Pemkab Kebumen juga mengeluarkan dana Bantuan Keuangan untuk Percepatan Pembangunan Desa (BKPPM), yang dibagi rata kepada seluruh Kelurahan/Desa yang ada (449 desa dan 11 Kelurahan), yaitu masing-masing Rp. 5.000.000,-, sehingga total anggaran BKPPD berjumlah 2.245.000.000. Dengan demikian total anggaran untuk ADD dan BKPPM berjumlah Rp. 40.000.000.

5. Tahun 2009: jumlah alokasi dana ADD sama dengan dana yang dialokasikan pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 37.755.000.000,- atau 15% dari APBD (Setelah dikurangi urusan wajib). Selain ADD terdapat dana tambahan sebesar 898 juta, yaitu Dana Percepatan dan Bagi Hasil Pajak untuk Desa, sehingga total dana berjumlah 40 M.

(18)

Page | 18 Saat ini agenda yang sedang berjalan adalah, bagaimana mendampingin desa mengimplementasikan PErda ADD. Meski a al a terdapat a ak aktor a g terli at, ki i isa di ila g ti ggal FORMA“I saja yang masih concern mengawal ADD, dengan Yusuf Murtiono, Mustika AJi, dan Petruk sebagai tokoh-tokoh utamanya. Isu utama yang mereka kembangkan lebih kepada bagaimana mengawal implementasi perda, baik melalui pendampingan desa, pelaksanaan uji coba, maupun dengan upaya membangun desa menjadi desa yang mandiri dan desa model, serta agenda terakhir mulai didiskusikan cukup intensif dengan BAPERMADES adalah, rencana pembentukan BUMDes didesa-desa yang siap menjadi pilot project.

KUNCI KEBERHASILAN PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Perjuangan ADD di Kebumen, merupakan proses belajar yang sangat berharga bagi daerah lain, terutama bagi masyarakat sipil yang ingin mendorong proses perubahan didaerahnya masing-masing. Ada beberapa kunci keberhasilan perjuangan masyarakat sipil dalam mengegolkan ADD di Kebumen yang dapat dijadikan bahan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:

1. Prakondisi yang cukup matang.

Salah satu kunci keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen adalah, telah terjadinya proses pematangan gerakan yang cukup lama disana. Upaya perjuangan ADD yang dilakukan masyarakat sipil di Kebumen misalnya, sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 1998, yaitu sejak bergeraknya para aktifis desa yang dimotori oleh Sujud dari Aliansi Rakyat Kebumen untuk Reformasi (ARKuR) yang didukung oleh Hariyanto.28 Meski agenda mereka belum fokus kepada ADD, Sujud dan Hariyanto mempunyai kontribusi yang sangat berharga dalam perjuangan ADD29. Melalui tuntutan pemberantasan korupsi dan penyalah-gunaan kewenangan yang terjadi di Desa, Sujud membuat desa-desa yang ada di Kebumen bergeliat. Gerakan awal ini bahkan berhasil memaksa Bupati saat itu untuk memakzulkan sejumlah kepala desa dan perangkat desa yang diduga melakukan korupsi dan penyalah-gunaan wewenang. Meski akhirnya PTUN memenangkan gugutan para kepala desa yang dilengserkan dan menuntut agar Bupati mengembalikan posisi mereka, namun perjuangan Sujud, dkk telah membuat desa-desa di Kebumen yang ratusan jumlahnya itu, menjadi lebih dinamis.

28

Hariyanto saat itu adalah sekretaris fraksi PDIP. Belakangan karena manuver yang dilakukannya dinilai bertentangan dengan kebijakan Rustriningsih yang cenderung berhati-hati terhadap isu ADD dengan tidak segera memberi persetujuan terhadap isu tersebut, pada periode 2004-2009 Hariyanto tidak lagi dicalonkan menjadi caleg bahkan bisa dibilang tersingkir dari PDIP.

29

(19)

Page | 19 Selain Sujud dan Hariyanto, aktor lain yang tak kalah penting dala e a aska esi geraka perjuangan ADD di Kebumen adalah Amirudin Masdar, Carik desa dari Desa Tanjung Sari, Kecamatan Petanahan. Kenekatan Amirudin bersama para perangkat desa se-Kecamatan Petanahan dengan mengatas-namakan nama Forum Komunikasi Perangkat Desa se-Kecamatan Petanahan, ke DPRD dan Pemkab, bisa dibilang merupakan tonggak awal perjuangan ADD.

2. Aktor Pemersatu

Kehadiran Misbah Sukmadi dan Imam Mustofa30 yang mampu merangkul aktor-aktor kunci dalam perjuangan ADD (terutama Sujud dan Amir) untuk mau menyatukan diri dalam sebuah gerakan bersama, merupakan kunci penting lain keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen. Meski sementara pihak menduga bahwa Misbah dan Imam Musthofa melibatkan diri dalam perjuangan ADD karena sakit hati aki at diti ggalka oleh Rustri setelah Sang Bupati merangkul lembaga konsultan terpercaya untuk membangun pencitraannya (Matari Corporation, pen), namun kemampuan Misbah dan Imam Mustofa menggandeng banyak pihak untuk mendukung perjuangan ADD, termasuk yang saling berseberangan semisal Sujud dan Amirudin Masdar, tak dapat dinafikan. Bahwa isu ADD sebelumnya bukan merupakan isu yang digeluti Misbah dan Iman, hal itu diakui oleh Misbah.

age da pe guata desa e a g uka erupaka concern Lembah Lokulo. Tapi pilihan itu kami kami ambil karena upaya membangun Kebumen secara konkrit memang harus dimulai dari Desa. Problem utama Kebumen adalah kemiskinan, dan itu adanya didesa. (Hasil Wawancara dengan Misbah Sukmadi pada 25 Agustus 2009, di Gombong)

Namun ia beralibi bahwa keterlibatannya di ADD dan berputar haluannya Lembah Lokulo, LSM yang dinakhodainya bersama Imam Mustofa dan Agus dari mendukung agenda Rustriningsih menjadi kebalikannya, merupakan hal yang wajar:

Lembah Lokulo memang pada awalnya didisain untuk memback-up Rustri ketika terpilih menjadi bupati. Tapi akhirnya kami kembali kejalur asasi (LSM, pen) sebagai kekuatan kritis bagi pembangunan Kebumen karena kami punya komitmen untuk memberi kontribusi dalam proses reformasi di Kebumen. Kalau lewat Rustri (internal Pemkab, pen) tidak bisa, maka pilihannya tidak ada lain kecuali mendorong perubahan dari luar, yaitu dengan menjadi kekuatan kritis. (Hasil Wawancara dengan Misbah Sukmadi pada 25 Agustus 2009, di Gombong)

Upaya Misbah dan Imam mendekati Sujud dan Amirudin tidaklah mudah. Pertentangan yang cukup tajam diantara keduanya merupakan salah satu perintang utama. Sadar akan kondisi yang tidak mudah, Misbah mengawali dengan mendekati Sujud karena ia sudah kenal baik Sujud. Terbukti Sujud menerima ajakan Misbah. Tapi ketika Misbah mengatakan bahwa ia juga berniat mengajak Amirudin, kontan Sujud menolak. Misbah kemudian mencoba menyakinkan Sujud bahwa Amirudin adalah orang yang tepat sebagai mitra dalam mengusung agenda perjuangan desa. Misbah

30 LSM Lembah Lokulo awalnya dibentuk untuk mendukung kepentingan Rustriningsih sesaat setelah Ia dikukuhkan

(20)

Page | 20 berargumen bahwa sebagai perangkat desa yang pekerjaannya menangani administrasi desa, vested interest Amirudin dan perangkat desa yang ada dibelakangnya, lebih sedikit ketimbang vested interest para Kepala Desa. Selain itu sebagai tokoh muda, Amirudin dinilai lebih pro terhadap agenda reformasi dan relative lebih sedikit terlibat dengan dosa orde baru. Dengan logika seperti itu Sujud akhirnya setuju.

Setelah dicapai kesepakatan dengan Sujud, Misbah kemudian mencoba mendekati Amirudin. Sebagaimana halnya Sujud, Amirudin awalnya juga menolak. Tapi setelah dijelaskan bahwa mereka perlu besatu mengingat rintangan yang dihadapi tidaklah mudah, termasuk menjelaskan apa peran masing-masing dalam perjuangan tersebut, Amirudin akhirnya setuju. Adapun pembagian peran yang dimaksud adalah, Amirudin berperan untuk mengkonsolidasikan gerakan dikalangan perangkat desa dan kepala desa, Misbah tanggung-jawabnya sebagai konseptor untuk menyusun draft usulan untuk raperda perimbangan keuangan desa, sementara Sujud menjaga suhu gerakan perlawanan agar tetap panas.

3. Pelibatan Multipihak

Kunci keberhasilan lainnya adalah, adanya dukungan banyak pihak terhadap perjuangan ADD di Kebumen. Hal itu dimungkinkan dengan diselenggarakannya diskusi mengenai Perimbangan Keuangan Desa (itu istilah awal yang digunakan pada awalnya, menyesuaikan dengan istilah yang disebut di UU No. 22/1999), yang dimaksudkan sebagai media sharing gagasan seputar isu-isu untuk memajukan desa. Terus diperluasnya pihak-pihak yang terlibat didalam diskusi, menyebabkan dukungan terhadap gerakan terus bertambah. Diantara pihak-pihak yang secara terlibat alam kegiatan diskusi tersebut diantaranya adalah Amirudin Masdar, dkk (dari unsur Pemerintahan Desa), Sujud (dari unsur masyarakat desa), unsur BPD, Mas Hartoyo (anggota DPRD dari PDIP; Sekretaris Fraksi PDIP, tapi juga aktif di ArKUR) dan Sri Winarti (anggota DPRD dari PBB), wartawan (Dasih dari Kedaulatan Rakyat) dan Komper Pradopo (Suara Merdeka), dan LSM (Bina Insani, diwakili oleh Mustika Aji, Forum Petani Peternak, dll). Melalui kegiatan diskusi ini terjadi proses konsolidasi dan penyamaan konsep tentang perimbangan Keuangan Desa yang mereka inginkan, yang pada akhinrya mewujud berupa Konsep Umum Pembangunan Desa.

4. Pemanfaatan Berbagai Momentum

Salah satu kunci keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen adalah, kejelian para aktor yang terlibat untuk memanfaatkan berbagai momentum yang terjadi guna mendorong tercapainya agenda perjuangan.

(21)

Page | 21 Momentum lain yang dimanfaatkan adalah kehadiran program P2TPD. Ketika program P2TPD masuk ke Kebumen, perjuangan ADD dapat dibilang sedang mengalami stagnasi. Karena hal itu kehadiran program P2TPD dinilai sebagai momentum yang tepat. Dengan dimasukkannya usulan penyusunanan perda ADD kedalam program P2TPD, resistensi DPRD dan Pemkab relative berkurang.

Momentum lain yang juga dimanfaatkan adalah pelaksanaan pemilu. Detik-detik pengesahan ADD bertepatan dengan akan segera berakhirnya masa jabatan anggota DPRD (periode Tahun 1999-2004) menjelang Pemilu 2004. DPRD (terutama dimotori oleh PDIP) menjadikan ini sebagai alasan untuk menunda pengesahan dengan alibi waktu yang tersedia sangat sempit dan banyak anggoa DPRD yang tidak dapat fokus untuk terlibat membahas rapera ADD karena berkonsentrasi menghadapi pemilu. Hal ini dibaca oleh para pengusul ADD. Mereka paham jika ADD tidak segera disahkan pada DPRD sebelum pemilu, maka dapat dipastikan nasib raperda ini akan tidak jelas dimasa datang mengingat komposisi anggota DPRD akan berganti dan belum dapat diprediksi bagaimana sikap politik mereka terhadap ADD. Karena hal itu dengan berbagai cara mereka mengupayakan agar perda dapat disahkan sebelum pemilu 2004. Mereka diantaranya mencoba mengajak masyarakat untuk menilai keberpihakan para caleg dan parpol terhadap desa melalui dukungan mereka terhadap rencana pengesahan perda ADD. Pihak-pihak yang memperlambat dan tidak menyetujui pengesahan ADD sebelum pemilu diposisikan sebagai pihak yang tidak pro terhadap kepentingan desa. Cara ini terbukti efektif. Parpol dan para caleg yang semula menolak, atau setidak-tidaknya terkesan memperlambat, berbalik mendukung. Karenanya tak lama sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, perda akhirnya disahkan (Maret 2004).

5. Pelibatan Masyarakat dalam Mensukseskan Agenda Perjuangan

HAMBATAN PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Gerakan perjuangan ADD di Kabupaten Kebumen menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Beberapa hambatan utama gerakan ini adalah:

1. Kehati-hatian Bupati

Salah satu hambatan serius dalam perjuangan ADD adalah karena kehati-hatian Rustriningsih. Sebagian informan menyebutnya dengan istilah yang lebih tegas, penolakan. Hal ini diantaranya diutarakan oleh Dasih, Sri Winarti, dan Misbah Sukmadi. Rustriningsih ketika dikonfirmasi tentang hal ini menyatakan tidak sepakat jika Pemkab dikatakan menghalangi perjuangan ADD. Ia beralibi bahwa Pemkab hanya mencoba untuk bersikap lebih berhati-hati dan tidak ingin terburu-buru:

(22)

Page | 22 pe eri taha . Bahka isa sa pai Bupati a… Hasil Wa a ara de ga Rustri i gsih di Kantor Pemprov Jateng, Semarang, pada 28 Agustus 2009)

Lebih lanjut Rustri mengatakan:

ADD sesuatu a g pasti aka di erika kepada desa. Cuma waktu yang tepatnya kapan, itu yang perlu pemikiran cermat. Perlu peningkatan kapasistas pemdes untuk bisa mengelola ADD. Saya melakukan berbagai program penyiapan desa misalnya melalui pelatihan yang dilaksanakan segera setelah pelantikan Kades terpilih…

Ia juga menandaskan bahwa kekhawatirannya terhadap kesiapan desa merupakan sesuatu yang tidak berlebihan.

Ter ukti a yak juga pe des ya g asuk taha a . Ada e erapa. Dia tara ya kare a pajak, yaitu karena tidak mampu menyelesaikan administrasi... Apalagi soal ADD. Ini menurutsaya sangat krusial. ADD itu bukan cuma soal dana yang dikucurkan, tapi juga soal kemampuan Pemdes mengelola dan mempertanggung-jawa ka a ggara …

Rustri juga menunjukkan beberapa bukti bahwa desa belum siap dalam melaksanakan ADD ketika akhirnya ADD diberlakukan di Kebumen.

“aya se pat e i pi la gsu g rapat-rapat ADD. Tahun pertama ada 8 desa yang tidak bisa mencairkan dana ADD untuk tahap ke-dua kare a tidak a pu e erika lapora …

Selain keragu-raguan akan kesiapan desa yang dikhawatirkan akan berakibat pada kemungkinan timbulnya penyimpangan yang resikonya nantinya harus dipikul Pemkab, besarnya tuntutan alokasi pendanaan untuk desa (10% dari total APBD), juga menjadi alasan kuat penolakan Pemkab. Mereka-mereka yang mengajukan alokasi dana 10% untuk ADD menurutnya tidak paham realita ketersediaan anggaran yang ada di Kebumen.

…Usula itu tidak u gki . Pe didika i ta 20%. “e e tara itu % sudah u tuk gaji atau honor. Padahal kan ada (Dinas) kesehatan, PU, jalan. Jadi kalau 10% dari total APBD, ya tidak mungkin. Itu asal usul saja, tapi tidak bisa dipertanggung-jawa ka . Tidak u gki lah… (Hasil wawancara dengan Rustriningsih).

Dasih, wartawan harian Kedaulatan Rakyat Biro Kebumen menilai hal ini bukan semata karena kehati-hatian Bupati, tetapi juga karena kekhawatiran Rustriningsih bahwa ada pihak yang diuntungkan secara politik jika usulan perda ini diterima Pemkab. Yang dimaksud diantaranya adalah Sri Winarti, anggota DPRD kab. Kebumen dari PBB yang juga teman sekolah Rustri ketika SMA di Gombong. Sri Winarti juga mencium hal itu.

(23)

Page | 23 merespon inisiatif Pemkab terkait dengan raperda perpa ja ga ja ata terse ut. Kalau itu hal itu dilakuka , para kepala desa dapat dipastika aka e isahka diri dari geraka perjua ga ADD. Karena itu pula usulan Perda yang sesungguhnya sangat kontroversial tersebut dengan cepat (tidak sampai satu tahu dapat disahka . Jadi perda i i dapat dikataka se a a e tuk ga ti rugi atau proses negosiasi tidak langsung antara para pejuang ADD dengan Rustriningsih selaku Bupati Kebumen Saat itu.

2. Kuatnya Konflik Interest di DPRD

BEBERAPA ISU KRUSIAL

1. Implementasi ADD di Kebumen: Berhasil atau Gagal?

Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab. Jika yang dimaksud adalah efektifitasa ADD dalam mengurangi angka kemiskinan di Kebumen (mengingat sebagaimana disebutkan dialam Permendagri No. 37/2007 pengurangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan penting implementasi ADD), pertanyaan tersebut tetap sulit untuk dijawab. Selain karena tidak ada angka pasti jumlah kemiskinan di Kebumen (wawancara dengan Pak Mudji dan Kepala Bapeda), ada banyak program yang tujuannya untuk pengentasan kemiskinan yang bergulir di daerah, termasuk di Kebumen.

Karena hal itu penilaian terhadap pelaksanaan ADD di Kebumen selama ini belum pernah dikaitkan dengan tujuan utama pelaksanaan ADD, yaitu untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belum ada evaluasi yang dilakukan Pemkab untuk melihat sejauhmana ADD memberi kontribusi bagi upaya pengentasan kemiskinan di desa.

Ada beberapa kesulitan yang dialami Pemkab Kebumen untuk melakukan hal tersebut. Yang paling mendasar karena Kebumen belum punya data KK miskin sehingga sulit untuk mengetahui apakah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin atau tidak pasca intervensi program. Yang dijadikan tolok ukur selama ini adalah peringkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia), karena didalamnya terdapat indeks daya beli. IPM Kebumen mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 peringkat pada urutan 26 sedangkan pada tahun 2007 naik menjadi peringkat 24 se-Jawa Tengah, dari 35 Kota/Kabupaten yang ada. Selain itu berdasarkan perhitungan kasar dengan menggunakan data yang ada, terjadi penurunan prosentase penduduk miskin di Kebumen sebesar 1% pasca diberlakukannya ADD. Sebelumnya (tahun 2005) 32,.. %, tahun 2007 turun menjadi 30,1%.

Gambar

TABEL 1

Referensi

Dokumen terkait

Software application ini berbasis android sehingga bersifat portable. Aplikasi android juga merupakan jenis perangkat lunak yang friendly to user, namun untuk

Dinas Kesehatan Provinsi Banten menurut Pasal 31 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi

Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik

Karena begitu besar kasih Yahuwah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan

Data yang diambil pada penelitian ini adalah prestasi belajar siswa kelas IV SDN Pasanggrahan baik yang memiliki keaktifan belajar tinggi maupun siswa yang memiliki

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan, dengan nilai p >0,05 (P=0,749) antara Madu dan N-Acetylsysteine terhadap atrofi glomerulus ginjal

Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal; kondisi sosial- ekonomi meliputi umur, jumlah anak, status perkawinan,

menghubungkan topik- topik dalam satu materi, menuliskan prosedur yang sesuai dengan konsep dalam satu materi. Memahami bagaimana ide-ide matematika berhubungan dan