• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEREJA yang SESAMA DAN ALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GEREJA yang SESAMA DAN ALAM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

GEREJA, SESAMA DAN ALAM ? Kalis Stevanus, M.Th

Abstrak

Isu tentang lingkungan hidup dewasa ini menjadi isu yang sangat krusial untuk diperhatikan. Isu tentang pemanasan global (global warming) menyedot perhatian dunia. Itu masalah besar, dan bersifat global (mendunia), yang kini menjadi masalah yang semakin genting. Dunia sedang menghadapi bahaya krisis ekologis, dan ternyata manusia merupakan penyebab utamanya. Bagaimana pun, manusialah yang menyalahgunakan lingkungan.

Gereja memunyai salah satu tugas yang diberikan Allah kepadanya yaitu mandat pembangunan atau mandat kultural. Allah memerintahkan manusia untuk mengelola dan merawat bumi. Tugas untuk mengelola dan merawat bumi itu adalah bagian dari mandat pembangunan atau mandat kultural. Merawat alam, lingkungan hidup (bumi) merupakan perwujudan—realisasi terhadap ketaatan kepada kehendak Allah dan juga kasih kepada sesama.

Kata kunci: Gereja, Kasih, Sesama, Panggilan, Alam, Pemanasan Global Abstract

The issue of the environment has become a crucial issue to concern about in the present. The issue of global warming draws the attention of the world. It's a big problem and global which now becomes an increasingly critical issue. The world is facing the danger of an ecological crisis, and it turns out that humans are the cause. How extinct, human beings have been misusing the environment.

The Church has one of the duties that God has given as a development mandate or cultural mandate. God has set man to serve and care for the earth. The task of managing and nurturing the earth is part of the development mandate or cultural mandate. Caring for nature and the environment (the earth) is the realizations of an obedience to God's will and also love to others.

Keywords: Church, Love, Fellow, Call, Nature, Global Warming

Pendahuluan

(2)

bahkan bisa fatal, yaitu merusak tatanan ekosistem. Alam menjadi tidak ramah dan bersahabat dengan manusia. Alam tidak menjadi tempat yang memberikan kenyamanan dan ketentraman untuk manusia menyelenggarakan hidup. Prof.Norman L. Geisler mengatakan bahwa “pemanasan global merupakan masalah besar yang dihadapi bukan hanya bangsa melainkan (juga) dunia.”1 Hal ini juga ditegaskan oleh Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee bahwa “kini kita sedang menghadapi ancaman global terhadap kapasitas alam untuk memproduksi bagi umat manusia dan untuk meregenerasi dirinya sendiri. Bumi kita tidak lagi dapat dengan mudah memulihkan dirinya… tetapi semakin lemah dan merosot kondisinya, seperti seorang yang sedang sekarat”2

Merawat alam, lingkungan hidup berarti juga menyelamatkan manusia. Sebaliknya, mengeksploitasi alam, sumber daya ada tanpa memedulikan kelestarian, kesehatan alam ciptaan dan kelangsungannya untuk jangka panjang sama artinya menghancurkan manusia. Benar, apa yang dikatakan oleh Dr.John Stott bahwa “jika kita menghabiskan semua sumber daya yang ada, maka kita menghancurkan manusia”.3 Badan Pertanggungjawaban Sosial dari Gereja Anglikan di Inggris mengatakan bahwa “merusak bumi bukanlah sekadar sebuah pertimbangan yang keliru, atau kesalahan biasa, melainkan sebuah penghujatan. Suatu dosa melawan Allah dan kemanusiaan.4

Mengingat mengenai gentingnya situasi ekologi sekarang ini, apakah tanggung jawab Gereja dan peran sertanya terhadap permasalahan terjadinya kerusakan alam, lingkungan hidup yang berdampak pada pemanasan global? Jelas bahwa ancaman pemanasan global bukan hanya pada “alam” saja, tetapi pada seluruh ciptaan, di mana Gereja merupakan bagian darinya. Gereja adalah bagian di dalamnya dan terpanggil untuk menjalankan panggilannya, yaitu mengemban mandat kultural atau mandat pembangunan untuk memelihara ciptaan bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia.

Kenyataan inilah yang mendorong ditulisnya artikel ini. Kerusakan alam adalah tanggung jawab bersama—semua umat manusia. Inilah masalah besar dan bersifat global yang dihadapi umat manusia dewasa ini dan juga di masa depan. Peringatan ini harus terus diperdengarkan dan ditindaklanjuti secara konkrit serta berkesinambungan.

Gereja dan Mandat Pembangunan

Gereja mengemban mandat yang ganda dari Allah, yaitu mandat pembaruan, dan mandat kultural atau mandat pembangunan. Mandat pembaruan ini sifatnya khusus dan eksklusif, artinya hanya diperuntukan bagi orang-orang tebusan-Nya, yakni Gereja-Nya saja untuk mewartakan kabar keselamatan melalui pemberitaan Injil. Mandat pembaruan ini seperti tertulis di Matius.28:19-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:47; Yohanes 20:21 dan Kisah Para Rasul 1:8. Setelah Yesus menang atas kuasa maut (bangkit dari kematian), sebelum naik ke surga, Dia mengutus (memberi mandat) pada kita, Gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Tuhan yang

1 Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan & Isu (Malang: SAAT, 2010), hlm.373

2 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Etika Kerajaan (Surabaya: Momentum, 2008), hlm.560-561 3 John Stott, Isu-isu Global (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2015), hlm.150

(3)

begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita. Barangsiapa menaati mandat atau pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus, menikmati penyertaan Allah dan mereka menjadi rekan sekerja Allah untuk memberitakan Injil.

Mandat pembaruan ini memiliki satu tujuan, yaitu soteriologis—adalah untuk menunjukkan jalan keselamatan (Yoh.3:16). Allah telah memercayakan kepada Gereja-Nya (kita), para pendosa yang telah ditebus ini, tanggung jawab untuk mengerjakan maksud Allah dalam sejarah, yaitu penyelamatan manusia melalui pemberitaan Injil. Yesus Kristus berkata,”Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mrk. 1:15). Sejak Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan, maksud penyelamatan Allah dalam sejarah sedang diwujudkan melalui Gereja-Nya, Anda dan saya. Mengapa Ia menyerahkannya kepada Saudara dan saya? Begitulah kehendak Allah. Paulus berkata,”Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2 Kor.5:19).

Sedangkan mandat pembangunan adalah bersifat umum, yakni merupakan tanggung jawab sosial semua orang tanpa kecuali termasuk orang Kristen di dalamnya. Mandat pembangunan ini telah diberikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa sejak di taman Eden. Allah memberi perintah kepada manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian ciptaan-Nya. Hal ini juga demi terpeliharanya kelangsungan hidup manusia itu sendiri dan keturunannya di masa mendatang.

Gereja mempunyai tanggung jawab etis yang universal terhadap ciptaan Allah, yaitu alam (ekologi). Allah menciptakan alam sesuai dengan maksud dan fungsinya masing-masing dalam hubungan harmonis dan saling memengaruhi satu dengan yang lain demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Mandat ini merupakan mandat kepada manusia sebagai masyarakat (apa pun agamanya), untuk menjadikan bumi ini menjadi tempat yang baik untuk dihuni. Jadi mandat ini bukan saja untuk orang Kristen, tetapi juga untuk semua umat manusia. Semua manusia bertanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan hidup.

Di dalam Kejadian 1:28,31; 2:15: Allah menciptakan manusia dengan tujuan salah satunya agar menghuni; memenuhi; menguasai; memelihara alam semesta sebagai tempat tinggal yang lestari. Perlu dipahami bahwa kata “menguasai” di sini bukan berarti ijin untuk mengeksploitasi kekayaan alam demi kesenangan pribadi atau kelompok tanpa memerdulikan kelangsungan hidup (kelestariannya) seterusnya demi keturunan umat manusia (sosial). Alam telah diserahkan pengelolaannya kepada manusia untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kehidupan dan kesejahteraan manusia. Manusialah yang bertanggungjawab atas kelestarian alam ini.

Dosa Manusia dan Hubungannya dengan Krisis Ekologi

(4)

memedulikan kelestarian dan keberlangsungannya di masa depan seperti penanaman berlebihan dan pengerukan berlebihan adalah bentuk ketidaksetiaan utama manusia kepada Allah Sang Pemilik.

Perilaku pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif terhadap sumber daya alam di bumi karena alam tidak dilihat sebagai suatu sistem kehidupan yang utuh. Lingkungan hidup hanya dilihat dalam konteks ekonomi, khususnya keuntungan materi. Eksploitatif, karena hanya menekankan pertumbuhan sehingga mengeruk sumber daya alam, tetapi kurang memerhatikan keseimbangan ekosistem bumi. Destruktif, sebab dalam proses eksploitasi dan konsumsi manusia cenderung mencemari lingkungan dengan beraneka ragam limbah kimia berupa bahan gas, cair dan padat. Akibatnya, lingkungan hidup terancam parah. Contoh nyata adalah terjadinya perubahan iklim karena pemanasan global.5

Itulah sebabnya, tanpa melebih-lebihkan, benar apa yang dikatakan oleh Dr.Robert P.Borrong:

“Bahwa dari perspektif Kristen, perlakuan destruktif-eksploitatif manusia terhadap lingkungan bersumber dari kegagalan manusia memenuhi panggilannya karena manusia jatuh ke dalam dosa…dengan demikian, ‘kerusakan alam bersumber dari kerusakan manusia.’ Dosa itu yang telah menyebabkan pencemaran atau polusi moral dan spiritual. Akibatnya, manusia cenderung bertindak destruktif, termasuk merusak alam yang digunakan untuk memenuhi ambisi dan keserakahannya itu.”6

Hal serupa dinyatakan oleh Dr.Celia Deane-Drummond bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, menyebabkan terganggunya hubungan antara umat manusia, Allah dan bumi.7 Keberdosaan manusia telah menciptakan keterasingan antara manusia dan ciptaan lainnya (Kej.3:14-19;9:1-6).8

Kerakusan dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya dalam lingkungan akhirnya menghancurkan lingkungan, dan menyebabkan krisis ekologi. Tindakan korup dan kerakusan manusia (sebagai akibat dosa), maka manusia lebih banyak dikendalikan oleh nafsu dan semangat untuk memeroleh dan memiliki serta mengonsumsi sebanyak mungkin materi, dan pengendalian diri cenderung diabaikan. Sikap hidup seperti ini hanya memikirkan keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kepentingan ekologi.

Dr. Robert Borrong mengatakan demikian:9

“Krisis ekologis yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini berakar dalam sikap manusia yang kurang memperhatikan norma-norma moral dalam hubungan dengan lingkungan hidupnya, bahkan juga dalam hubungan dengan sesamanya manusia…manusia memandang alam hanya sebagai obyek, yang berguna untuk menjadi alat memenuhi kebutuhan

5 Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm.281-282 6 Ibid. hlm.247-248

7 Celia Deane-Drummond,Op.Cit. hlm.23

(5)

material saja… lingkungan hidup hanya dilihat dalam konteks ekonomi, khususnya keuntungan materi.”

Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dijadikan satu-satunya penyebab adanya krisis ekologis dewasa ini. Namun, kerusakan itu tentu tidak diakibatkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi oleh manusia yang telah menciptakan dan yang memperalatnya. Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah perilaku manusia menjadi manusia hedonistik dan materialistik. Eksploitasi dan pencemaran lingkungan, bukan kemauan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan kemauan dan kehendak manusia. Jadi, akar dari perbuatan yang mengeksploitasi dan mencemari lingkungan, alam secara berlebihan agtau melampaui batas adalah “nir etik”—tidak adanya atau kurangnya norma etis dalam diri manusia. Norma etis di sini adalah norma penghargaan dan norma keadilan serta kasih terhadap lingkungan.10

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapai oleh umat manusia (seluruh bumi) bersumber dalam krisis moral. Akibat krisis moral tersebut, mereka mengeksploitasi dan mencemari alam, lingkungan hidup tanpa rasa bersalah.

Jadi, kita berdosa bukan hanya terhadap Allah yang menjadikan bumi baik sebagai penyataan diri-Nya maupun demi kebaikan kita, melainkan juga berdosa terhadap lingkungan dan diri sendiri serta terhadap orang-orang atau generasi yang akan mendiami bumi di masa mendatang.11

Alam Menurut Perspektif Kristen

Orang Kristen harus memercayai penghargaan dan penggunaan sumber-sumber alam yang tepat. Penggunaan atau pemanfaatan lingkungan fisik kita yang penuh penghargaan berdasar pada Injil mengenai penciptaan dan kewajiban kita yang telah ditentukan untuk menjadi penatalayanan yang baik atas apa yang telah Allah berikan kepada kita.12

Untuk memahami mengenai pokok persoalan (isu) tentang alam ciptaan menurut perspektif Kristen, maka kita harus mengacu pada Alkitab (Injil) sebagai fondasi/pijakan berpikir dan sekaligus bertindak. Dr.John Stott menegaskan bahwa “bumi ini kepunyaan Allah maupun manusia”. Dikatakan kepunyaan Allah karena Dia yang menciptakannya, dan sekaligus kepunyaan kita (manusia), karena Dia telah memberikan bumi kepada kita. Menyerahkan di sini, bukan berarti Allah menyerahkan sepenuhnya kepada kita sehingga Dia tidak mempertahankan hak maupun penguasaan atas bumi lagi, melainkan Dia telah memberikan bumi kepada kita agar kita memerintah atas nama-Nya. Bumi yang kita miliki adalah hak pakai, artinya kita hanya sebagai penyewa atau penggarap, bukan hak milik sebab Allah sendiri tetap sebagai “tuan tanah” (landlord). Jadi, bumi adalah milik Allah dan milik manusia, seperti yang dikatakan oleh Alkitab berikut ini:13

10 Robert P. Borrong, Op.Cit.hlm.4 11 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.396-397 12 Ibid. hlm.374

(6)

Mzm.24:1

Mazmur Daud. Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.

Mzm.115:16

Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia.

Prof. Norman L. Geisler mengatakan demikian:14

“Allah memberi manusia kuasa atas ciptaan (Kej.1:28), tetapi Dia juga memerintahkan Adam mengusahakan tanah, dan menjaga taman. Ini membutuhkan pengolahan dan perawatan. Bumi adalah taman Allah, dan manusia adalah pengelola taman Allah”

Lagi, Dr.John Sott menegaskan bahwa kekuasaan kita atas bumi ini adalah suatu pendelegasian, maka kekuasaan itu perlu dipertanggungjawabkan. Artinya, kekuasaan yang kita jalankan atas bumi, tidak kita miliki sebagai hak, melainkan sebagai suatu kepercayaan. Benar, bumi adalah “milik” kita, bukan karena kita menciptakan atau juga memilikinya, tetapi karena Penciptanya memercayakan pemeliharaan bumi kepada kita. Kita bukan pemilik, tetapi pengurus yang mengelola dan mengolahnya atas nama pemilik. Jadi, kekuasaan kita atas bumi merupakan delegasi dari Allah Sang Pemilik (bumi) dengan maksud agar kita bekerja sama dengan Dia dan berbagi hasilnya dengan orang lain, maka kita bertanggung jawab kepada-Nya melalui penatalayanan yang kita lakukan. Kita tidak memiliki kebebasan untuk berbuat sekehendak hati kita atas alam, lingkungan hidup dan tidak berhak mengeksploitasinya sesuka hati kita. Memang Allah berkata kepada manusia: “Supaya mereka berkuasa … atas seluruh bumi”. Kata “berkuasa atas” tidak sinonim dengan “menguasai” (dengan seenaknya atau keras), apa lagi “menghancurkan”. Oleh karena alam, lingkungan hidup telah dipercayakan kepada kita, kita perlu mengelolanya secara bijak, bertanggungjawab dan tepat serta seproduktif mungkin untuk kepentingan kita sendiri dan juga generasi di masa mendatang.15

Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee menjelaskan yang dimaksud kata “taklukkanlah” yang diperintahkan kepada manusia, adalah menyiratkan tentang keterutamaan manusia, bukan sebagai suatu persetujuan terhada dominasi ke arah eksploitatif atas alam.16

Dr.Celia Deane-Drummond menjelaskan dengan tepat mengenai perintah Allah kepada manusia untuk “menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas semua makhluk hidup. Berdasarkan analisis eksegetis menunjukkan bahwa kata itu hanya menunjukkan pengusahaan bumi, bukan dorongan untuk memperlakukan binatang-binatang dengan kasar. Dan bukan juga sebagai surat izin untuk mengeksloitasi bumi bagi keuntungan manusia. Jika tugas “menaklukkan” dan

14 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.382 15 John Stott, Op.Cit. hlm.166-168

(7)

“berkuasa” ditafsirkan keliru menjadi penguasaan/pengeksploitasian, itulah yang menjadi penyebab yang sangat penting di balik krisis ekologis.17

Dengan demikian, kita sebagai penatalayan Allah, hendaknya berkomitmen untuk merawat alam ciptaan-Nya bagi kesejahteraan sesama—generasi masa mendatang. Kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah kuasa sebagai penatalayan yang bertanggungjawab, termasuk penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang ada. Suatu hal yang mustahil jika Allah menciptakan bumi dan menyerahkan kepada manusia hanya untuk dihancurkan atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan kesejahteraan atau “mengkhianati anak cucu kita” di masa mendatang. Sebaliknya, kuasa tersebut merupakan pendelegasian atas alam ciptaan, yang di dalamnya memuat unsur pertanggungjawaban baik kepada Allah sebagai Sang Pemilik bumi dan kepada sesama (sebuah kesolidaritasan) serta rasa hormat terhadap lingkungan hidup kita.

Pandangan Kristen mengenai lingkungan didasarkan atau berasal dari doktrin penciptaan. Prof.Norman L. Geisler memaparkan beberapa unsur dari pandangan Kristen tentang lingkungan dan tanggung jawab manusia di dalamnya sebagai berikut:18

1. Dunia adalah ciptaan Allah

Firman Allah dengan jelas menyatakan bahwa alam semesta memiliki permulaan,”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”(Kej.1:1). Pernyataan atau doktrin penciptaan ini memiliki dua implikasi penting untuk ekologi, yaitu kepemilikan ada pada pihak Allah dan pelanatalayanan ada pada pihak manusia. Allah memilikinya dan manusia memelihara bagi-Nya.

Dr.Celia Deane-Drummond menjelaskan berdasarkan teks Kej.1:27, bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah karena peranannya selaku penatalayan atau pelaksana atas ciptaan.19 Selanjutnya, ia juga menjelaskan di mana gagasan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan manusia dalam suatu hubungan yang unik dengan Allah dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Hubungan yang unik itu memberikan tanggung jawab khusus kepada manusia untuk bertindak selaku penatalayanan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan. Allah memerintahkan manusia menguasai ciptaan dan mengelola bumi. Tugas ini berisi mandat memlihara bumi, bukan mandat mengeksploitasi. Kalau manusia gagal memelihara bumi, maka ia gagal dalam tanggung jawab sebagai penatalayanan ciptaan.20

2. Dunia adalah milik Allah

Seperti yang dikatakan di dalam kitab Mazmur 24:1,”Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Allah menyatakan,”Sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung…sebab punya-Kulah

17 Celia Deane-Drummond, Teologi & Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1999), hlm.19 18 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.382-386

(8)

dunia dan segala isinya” (Mzm 50:10,12). Tuhan berkata kepada Ayub,”Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku. (Ayub. 41:11 ). Cukup jelas bahwa Allahlah pemilik lingkungan, dan manusia hanya mengusahakannya.

Umat manusia diberi kuasa atas ciptaan lainnya. Ada dua kata untuk menjelaskan hal ini : “taklukkan” dan “berkuasalah.” Kata “taklukkan” berarti menginjak-injak atau membawa ke dalam perbudakan. Kata ini menunjukkan gambaran tentang seorang penakluk yang menaruh kakinya di atas leher orang yang ditaklukkan. Kata ini juga menyiratkan bentuk dari kendali atau kuasa atas alam. Sedangkan kata “berkuasa” berarti menginjak-injak atau menang atas. Gambaran yang disampaikan adalah mengenai seseorang yang dominan atas yang menang. Jika digabungkan, maka kedua kata tersebut (“taklukkan” dan “berkuasalah”) memastikan bahwa manusia bukan hanya di dalam alam, melainkan juga ditempatkan mengatasinya. Selanjutnya ada kata “bekerja” atau “mengerjakan.” Selain berkembang biak dan berkuasa, manusia berkewajiban memelihara. Kata “bekerja” atau “mengerjakan” di sini berarti “melayani” (kej.2:15). Kata yang satunya, “memelihara”, berarti “menjaga, mengawasi, atau memelihara”. Dalam hal ini, tidak ada kontradiksi antara “memanfaatkan” (taklukkan dan berkuasa) dengan kewajiban untuk melayani dan memelihara di dalam alam ciptaan Allah. Dr.J.Verkuyl menjelaskan bahwa manusia boleh memanfaatkan alam secara bertanggungjawab, sesuai dengan maksud Tuhan.

(termasuk kehidupan tumbuh-tumbuhan dan kehidupan binatang) ditaklukkan kepada manusia. Manusia dipanggil menjadi “atasan” atas nama Tuhan bagi ciptaan yang lain. Yang dilarang adalah merusak dan menggunakan alam ciptaan dengan sembarangan dan tanpa rasa tanggung jawab, sehingga maksud Tuhan dengan alam ciptaan itu tidak tercapai.21

Jadi, kepemilikan Allah merupakan dasar penatalayanan kita terhadap alam ciptaan-Nya. Allah adalah Pencipta dan pemilik bumi, tetapi manusia adalah pemeliharanya. Manusia terikat kewajiban untuk melayani dan memelihara bumi (Kej.2:15).

Berkenaan dengan tugas kepelayanan kepada alam, Dr. Robert P. Borrong menyatakan demikian:22

“Umat Kristen sebagai ‘koinonia’ persekutuan orang yang percaya akan penebusan Allah terpanggil menjalankan misi di mana tercakup di dalamnya usaha memelihara kelestarian alam. Umat Kristen juga terpanggil untuk melaksanakan tugas ‘ibadah’ dan ‘diakonia’ serta ‘oikumene’ dalam rangka pelayanan yang luas, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan hidupnya. Dalam menjalankan tugas kepelayanan kepada alam, manusia tidak hanya memanfaatkan sumber-sumber daya alam, tetapi juga menjaga dan memelihara alam agar terjamin kelestariannya dan sekaligus menjadi sumber nafkah yang tak habis-habisnya.”

3. Bumi adalah cermin Allah

(9)

Dunia fisik adalah baik untuk dinikmati. Sesudah penciptaan setiap harinya, dikatakan bahwa “Allah melihat hal itu baik” (Kej.1:4,10,12,18,21,25). Pada akhir penciptaan itu, ayat 31 menegaskan bahwa,”Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Dunia fisik bukan hanya baik pada hakikatnya, tetapi juga dikatakan mencerminkan kemuliaan Allah. Mazmur 19:2 dikatakan,”Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”; Mazmur 8:4-5,”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Ciptaan mencerminkan kemuliaan Sang Pencipta. Alam adalah pencerminan Allah.

4. Bumi ditopang dan diselenggarakan oleh Allah

Allah bukan hanya menjadikan segala sesuatunya eksis, Dia juga yang menyebabkan segala sesuatunya terus eksis. Karena oleh Dia “segala sesuatu ada” (Kol.1:17). Dia bukan hanya yang menyebabkan terjadinya dunia, Dia juga yang menopangnya. Dia “menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr.1:3). Itu artinya, Allah aktif bukan hanya pada awal mula alam semesta, tetapi juga dalam menyelenggarakan. Sungguh, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Alkitab tidak mendukung pandangan tentang alam yang deistis.

Injil Adalah Kabar Baik Bagi Umat Manusia

Kata Injil terjemahan dari bahasa Yunani ε αγγέλιον ὐ (Rm 1:16), yaitu terdiri dari dua kata: eu berarti indah atau baik, dan anggelion berarti berita, kabar atau pesan. Kata ε αγγέλιονὐ berarti membawakan atau menyampaikan/mengumumkan kabar baik. Jadi, dalam pengertian sempit, Injil berarti Kabar Baik.

Gereja ada di muka bumi karena kehendak Allah dan untuk melaksanakan kehendak-Nya semata. Bila kita mencermati pelayanan yang telah dilakukan oleh Kristus sangatlah holistik, yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menyampaikan Injil yang adalah Kabar Baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan bagi orang tawanan, menyembuhkan orang-orang sakit, membebaskan orang-orang tertindas (Luk 4:18-19). Ia juga memberikan makan kepada mereka yang lapar (Yoh 8:1-3). Itulah isi Kabar Baik yang seharusnya diberitakan oleh Gereja.

Bila kita merenungkan kembali peristiwa Natal, kelahiran Kristus, di mana Ia dilahirkan di dalam palungan (Lukas 2). Pada zaman itu di Israel, di rumah penginapan selalu disediakan tempat khusus untuk hewan. Hewan pada waktu itu merupakan alat transportasi. Di tempat hewan itulah Kristus dilahirkan karena tidak ada tempat bagi Yusuf dan Maria untuk menginap di rumah penginapan (Luk.2:7).

(10)

Terbukti sepanjang hidup pelayanan Kristus di bumi (kurang lebih selama 3,5 tahun), Ia telah menunjukkan rasa solider, terbuka, simpati dan empati dengan sesamanya—mereka yang tiada mendapat tempat dalam masyarakat, misalnya karena faktor status sosialnya (pemungut cukai, pelacur), atau karena faktor ekonominya (nelayan), atau karena faktor jasmaninya (orang lumpuh, orang buta, orang kusta), atau karena faktor etnis (orang-orang Samaria).23

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pelayanan Kristus sangat komprehensif, karena yang menjadi goal bukan hanya hal-hal rohani saja, tetapi juga memerdulikan kebutuhan jiwani dan jasmani untuk menyatakan shalom24

kepada mereka yang memerlukan.

Pelayanan Kristus yang bersifat komprehensif tersebut sangat relevan dan dibutuhkan sebagai jawaban untuk mengentaskan persoalan atau kondisi bangsa Indonesia saat ini, yang bergumul mengatasi berbagai masalah, salah satunya adalah pencemaran dan kerusakan alam, lingkungan hidup.

Implementasi Kasih Kepada Sesama

Selama ini Gereja lebih banyak memfokuskan pelayanannya pada persoalan yang bersangkut paut dengan pembinaan kerohanian saja, dan masih sedikit terjun kepada bentuk-bentuk pelayanan yang bersifat komprehensif yaitu mendatangkan

shalom secara utuh. Padahal pelayanan Gereja seharusnya juga meneladani pelayanan Kristus, yaitu pelayanan yang merangkumi segi kehidupan manusia secara menyeluruh, baik rohani, jiwani dan jasmaninya.

Mari kita perhatikan Matius 25:31-46, di mana Kristus mengidentikkan diri-Nya sebagai orang lapar, orang yang sakit, haus, telanjang, terpenjara dan orang asing. Kristus juga menegaskan bahwa apa yang kita perbuat kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan kita seperti memberi makan, memberi minum, memberi tumpangan, memberi pakaian, mendoakan dan mengobati, mengunjungi orang dalam penjara, sama seperti melakukannya kepada diri-Nya.

Prof.J.Douma menyatakan bahwa dasar etis orang Kristen adalah berdasarkan perintah rangkap dalam Matius 22:37-39 yaitu kasihilah Allah dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Melalui hubungan perseorangan yang rangkap itu semua aspek kehidupan manusiawi diperhatikan: Gereja, perkawinan, keluarga, masyarakat serta perlindungan dan pelestarian alam. Dalam perhatian terhadap tingkah laku (etis) bertanggungjawab terhadap Allah, kita akan bertemu dengan perintah untuk menguasai dunia ini secara baik (kej.1:28). Dan barangsiapa memikirkan pertanggungjawabannya terhadap sesamanya manusia tidak bisa melupakan lingkungan yang sehat untuk kita semua.25

Dasar etis dalam Matius 22:37-39 yaitu kasihilah Allah dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri juga mencakup perilaku yang mencerminkan norma keadilan dan kasih (solidaritas) untuk terwujudnya kesejahteraan semua

23 Andar Ismail, Selamat Natal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm.25

24 Kata shalom sebenarnya memiliki arti yang luas, tidak hanya damai sejahtera, melainkan juga bisa diartikan keutuhan, keselarasan dan kemakmuran. Keutuhan dan keselarasan di sini tentunya bukan hanya menyangkut hubungan antara sesama atau kedua orang atau kelompok, yang tidak ada friksi, melainkan juga bisa diartikan keselarasan dengan alam—menyangkut hubungan manusia dengan alam, di mana manusia adalah pengelola ciptaan-Nya.

(11)

manusia sehingga memerhatikan keseimbangan antara kepentingan manusia masa kini dan manusia di masa depan; antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi yang terjalin utuh.

Berikut pernyataan James Nash yang dikutip oleh Dr. Robert P.Borrong:26 “Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia tidak dapat diberlakukan kepada alam. Menurut Nash, manusia dan alam berbeda walaupun memiliki ikatan biologis. Alam tidak dapat merespon perlakuan manusia. Tetapi justru, karena itu manusia harus menerapkan kasih dalam bentuk penghargaan, penghormatan dan belas kasih pada ciptaan lain yang juga menerima hidup dari Allah … keduanya menerima kasih yang berkelanjutan”.

Dr. Robert P.Borrong menambahkan bahwa karena kasih Allah menjadi norma moral (orang Kristen), itulah sebabnya dapat diimplementasikan sebagai etika biologis, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadaop seluruh kehidupan. Atas dasar itu, manusia terpanggil untuk menunjukkan penghargaan terhadap alam dan memeliharanya dengan baik. Hal dilakukan bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber alam, melainkan terutama karena Allah telah menunjukkan kasih-Nya yang besar kepada kita.27

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bukankah manusia penatalayan atas penciptaan? Maksudnya manusia itu sebagai pengelola/pelayan atas alam ciptaan Allah, bukan sebagai penguasa bagi kepuasan diri sendiri, melainkan untuk mewujudkan kehendak Allah atas bumi ini. Kesadaran ini seharusnya menghasilkan sikap etis yang memperlakukan alam dan makhluk ciptaan-Nya yang lain dengan baik, bukan sewenang-wenang.

Bukankah Kristus disebut Raja Damai, Raja Shalom (Yes 9:5)? Pada kelahiran-Nya malaikat mengatakan,”Damai sejahtera (shalom) di antara manusia” (Luk 2:14). Arti kata shalom di dalam Alkitab memang sangat “holistik” tidak hanya soal moral-spiritual atau keselamatan rohani saja, tetapi juga bersangkut paut soal kebahagiaan, kedamaian, kesatuan, keselarasan dan berkat/makmur. Keselarasan, kedamaian dan kebahagiaan di sini bukan sekadar menyangkut relasi antara manusia dengan Allah Sang Pencipta, antara manusia dengan sesamanya, tetapi juga relasi/keselarasan manusia dengan lingkungan hidupnya.

Manusia dan alam merupakan dua hal yang saling terkait dan integral. Manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang independent atau berdiri sendiri dan terpisah dari ciptaan-Nya yang lain. Manusia dan alam adalah sesama ciptaan. Manusia adalah bagian dari ciptaan-Nya. Sebelum Allah menciptakan manusia, Ia terlebih dahulu menciptakan alam semesta beserta isinya. Kemudian diciptakanlah manusia itu menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diciptakan Allah dari debu tanah dan diperintahkan untuk mengelola alam—Taman Eden untuk kelangsungan hidupnya dan juga keturunannya.

Dr.Robert P.Borrong menjelaskan hubungan antara manusia dan alam. Manusia adalah bagian dari alam, sebab ia diciptakan dari debu tanah (Kej.2:7);

(12)

dan kalau ia mati, ia akan kembali pada tanah (Mzm.90:3).28 Itulah sebabnya manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah, sekali pun manusia diberi wewenang menaklukkan alam. Maka selain menjaga dan memelihara, manusia harus juga mengembangkan sikap solidaritas29 terhadap alam.30

Manusia membutuhkan lingkungan alam yang bersih, segar, dan sehat. Faktanya perkembangan manusia juga sangat dipengaruhi oleh factor lingkungannya. Lingkungan di sini pertama adalah lingkungan social, yaitu interaksi seseorang dengan orang lain yang akan berperan membentuk kepribadian seseorang, dan kedua adalah lingkungan alam (abiotik) seperti air, udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya (termasuk benda-benda mati di sekitarnya).

Jadi pelayanan Gereja meliputi seluruh aspek kehidupan manusia— manusia seutuhnya, baik roh, jiwa dan tubuh (1 Tes. 5:23). Itulah tugas Gereja yang diberikan Allah kepadanya dengan menjadi shalom bagi umat manusia di bumi. Menurut Dr. Robert P. Borrong menyatakan sebagai berikut:

“Menghadirkan tanda-tanda shalom Allah di bumi, yaitu semakin berkualitasnya kehidupan baik kehidupan manusia maupun seluruh ciptaan. Tujuan-tujuan ini harus dinyatakan melalui kehidupan sehari-hari dengan mempraktikkan hidup hemat, sederhana dan penuh pengucapan syukur.”31

Gereja harus Berjejaring

Untuk mengemban mandat kultural atau mandat pembangunan— memelihara bumi ini, maka Gereja baik secara institusi maupun perorangan (pada setiap individu) harus bersinergi dengan sesamanya (nonKristen) baik melalui institusi pemerintah maupun nonpemerintah dan juga secara perorangan (pada setiap individu), bersama-sama mewujudkan alam, lingkungan hidup yang nyaman, bersih, sehat dan layak untuk ditinggali baik bagi kehidupan masa kini dan juga demi kehidupan generasi di masa mendatang—anak cucu kita.

Gereja harus mematuhi mandat pembangunan ini. Mandat pembangunan ini dimaksudkan yaitu untuk mengurangi penderitaan masyarakat maupun untuk mengembangkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, mandat kultural untuk mewujudkan keadaan sosial yang lebih baik yang terdapat dalam masyarakat.

Krisis ekologis sebagai akibat perlakuan buruk manusia terhadap alam seharusnya menyadarkan kita bahwa manusia perlu menata kembali hubungannya dengan sesama ciptaan, yaitu dengan sesama manusia dan lingkungan hidupnya.32

Permasalahan lingkungan adalah permasalahan semua orang tanpa kecuali. Sebab itu, Gereja perlu menjalin kerjasama atau berjejaring dengan sesamanya, maupun pemerintah dengan hati tulus untuk mewujudkan shalom di bumi yang

28 Robert P.Borrong,Op.Cit. hlm.165

29 Dr.Robert P.Borrong menjelaskan bahwa solidaritas yang dimaksud adalah bahwa manusia mengembangkan sikap dan perilaku menghargai alam dalam konteks sebagai sesama ciptaan. Dalam konteks sesama ciptaan, terutama penderitaan ciptaan, istilah solidaritas dapat mengandung makna pertalian dan kesaling-bergantungan manusia dengan alam.

30 Robert P.Borrong,Op.Cit. hlm.166 31 Ibid. hlm.284

(13)

kita cintai. Gereja harus berjejaring untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan. Gereja harus berjejaring dengan lembaga/instansi pemerintah maupun nonpemerintah untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan hidup demi terwujudnya kesejahteraan semua makhluk dan seluruh unsur dalam alam, baik untuk kepentingan manusia masa kini dan generasi di masa depan secara berkesinambungan maupun untuk kepentingan alam ini secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan manusia.

Seperti yang dikatakan Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee bahwa kita bukannya melawan alam atau lingkungan, sebab kita adalah bagian dari bumi ciptaan Allah, dan kita bergantung pada bumi ini untuk hidup kita, sama seperti bumi ini bergantung pada kita untuk kehidupannya. Dalam Matius 6:19-34, Yesus dengan sangat jelas menyatakan bahwa Allah memelihara burung-burung di udara dan bunga bakung di ladang, dan bahwa kita ditempatkan di tengah-tengah komunitas yang dipelihara Allah ini. Banyak perumpamaan Yesus yang lain yang menunjuk kepada pemeliharaan Allah untuk pertumbuhan benih, untuk ladang-ladang, untuk karunia hujan dan sinar matahari bagi semua orang. Semua menyadarkan semestinya bahwa kita berada dalam pemerintahan Allah.33 Jadi, kita harus terlibat dalam pemeliharaan Allah terhadap alam ciptaan-Nya. Pemeliharaan kita terhadap ciptaan bukan menggantikan Allah, tetapi berpartisipasi dalam pemeliharaan Allah yang berkesinambungan.34

Berikut saran baik dari Dr.Robert P. Borrong mengenai pentingnya Gereja membangun jejaring kerja sama untuk melaksanakan kegiatan cinta lingkungan:35

“Gereja-gereja perlu pula menggalang kerja sama dengan pemerintah, organisasi masyarakat swasta dan golongan beragama lain dalam mengkaji, merencanakan dan melaksanakan kegiatan cinta lingkungan secara bersama, baik pada aras nasional maupun regional dan lokal sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Kerja sama ini didasarkan atas kesadaran bahwa persoalan lingkungan bukan masalah kelompok tertentu, melainkan masalah bersama umat manusia dari semua golongan … dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan seimbang dengan alam sebagai bagian dari tujuan kehidupan dan pembangunan bangsa kita. Karena itu, semua orang terpanggil untuk memberikan kontribusinya sesuai keyakinannya masing-masing.”

Penataan Hubungan Manusia dengan Sesama Ciptaan

Menjawab permasalahan mengenai isu pemanasan global (global warming) akibat kerusakan alam, Gereja (orang Kristen) tentu ada di dalamnya. Gereja sebagai mitra Allah untuk mendatangkan shalom di bumi, sebagai salah satu wujud implementasi kasih kepada sesama adalah berpartisipasi baik secara langsung maupun tak langsung. Untuk mengimplementasikan pemeliharaan terhadap alam, Gereja dapat melakukan beberapa tindakan sederhana baik secara langsung maupun tidak langsung

33 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Op.Cit. hlm.561 34 Ibid. hlm.576

(14)

Partisipasi Gereja (perseorangan) secara langsung seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan air secara efektif, meminimalkan polusi udara, penananam pohon, tidak melakukan penebangan hutan sembarangan, penataan lingkungan hidup yang bersih di sekitarnya, pola hidup hemat (dengan cara mengurangi gaya hidup mewah dan menggantinya dengan gaya hidup berkecukupan atau mengambil secukupnya), kedisiplinan dalam memanfaatkan benda-benda potensial merusak alam/lingkungan baik melalui penggunaan berulang-ulang maupun melalui daur ulang. Selain itu, orangtu haruslah mendidik anak-anaknya agar mereka sayang tanaman/tumbuh-tumbuhan, sehingga mereka belajar memelihara dan merawat tanaman/tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, terlatihlah mereka dengan pola hidup yang menghargai alam, lingkungan hidup dan dalam hal bertanggungjawab.

Menurut Dr.Robert P. Borrong, dengan mempraktikkan pola hidup seperti di atas, maka manusia dapat hidup menurut irama daur alam, yakni alam, dimanfaatkan sekaligus dipelihara kelestariannya. Untuk maksud itu, maka manusia harus melakonkan perilaku yang menjaga kelestarian alam bukan saja untuk kepentingan alam melainkan sekaligus untuk kenyaman, kesejahteraan dan kesehatan manusia sehingga kualitas hidup manusia lebih terjamin baik pada masa kini maupun di masa depan. Norma moral seperti ini bisa dikembangkan secara perseorangan maupun kelompok masyarakat, misalnya dalam Gereja.36

Sedangkan partisipasi Gereja (lembaga) secara tidak langsung, misalnya, Gereja merencanakan dan mengorganisir program-program yang bersangkut paut dengan kegiatan cinta lingkungan (sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing), seperti gerakan kebersihan, gerakan penghematan, gerakan daur ulang sampah, dan sebagainya. Tujuan gerakan-gerakan ini adalah untuk penyadaran tentang pentingnya kelestarian alam, mengajak umat membudayakan gaya hidup yang ramah terhadap alam, tidak serakah/rakus, materialisme, dsb), dalam menjaga dan mengusahakan keberlangsungan atau kelestarian alam— keharmonisan manusia dengan lingkungan hidupnya.

Untuk itu, Gereja perlu membentuk jaringan kerja sama yang dapat menjadi pelopor dalam memikirkan, merencanakan dan mengorganisasikan program-program yang bersangkut paut dengan kegiatan cinta lingkungan untuk mendorong dan menggerakkan umat agar berperan serta dalam kegiatan mencegah pencemaran dan memulihkan lingkungan yang terlanjur rusak akibat pencemaran. Jaringan kerja ini perlu dibuat agar Gereja-gereja dari berbagai tempat dapat bekerja sama dan saling mengisi dalam meningkatkan berbagai kegiatan mereka sesuai dengan pengalaman masing-masing.37

Hasil-hasil dari kegiatan cinta lingkungan tersebut, dapat dipublikasikan melalui buletin gereja atau warta gereja sebagai bentuk kampanye cinta lingkungan sehingga akan terus mendorong umat/warga gereja untuk memberikan kontribusinya supaya shalom Allah terwujud secara konkrit dalam ‘koinonia’— kebersamaan umat, kebersamaan dan solidaritas (cinta kasih) pada sesama. Bila Gereja ingin melakukan konservasi (pelestarian), maka Gereja juga dapat mengajarkan para anggota Gereja untuk melakukan hal yang sama di rumah.

(15)

Penutup

Pola pelayanan Gereja secara komprehensif yaitu melayani masyarakat secara seutuhnya adalah sebagai wujud ketaatan pada kehendak Allah yaitu mandat kultural/pembangunan. Gereja perlu melihat kebutuhan manusia dari dua sisi yaitu kebutuhan rohani dan jasmani.

Gereja diutus oleh Kristus untuk menjadi berkat dalam masyarakat. Iman itu riil (nyata). Maka iman kita harus diwujudnyatakan dalam perbuatan yang riil pula seperti mengulurkan tangan bagi mereka yang memerlukan. Kita melakukan hal ini bukan sekedar aksi sosial, tetapi untuk mewujudkan Injil sebagai Kabar Baik dalam realitas.

Kelestarian alam, baik air, udara, tanah maupun tumbuh-tumbuhan adalah kebutuhan vital bagi kehidupan manusia. Karena itu, Gereja harus turut ambil bagian dalam upaya preventif/pencegahan maupun penanggulangan masalah lingkungan hidup. Pelayanan Gereja tidak boleh dipersempit hanya pada pemenuhan kebutuhan moral-spiritual belaka (mandat pembaruan), tetapi juga kepedulian pada alam, lingkungan hidup (mandat pembangunan) sebagai bentuk pengucapan syukur kepada Allah Sang Pencipta.

Kerusakan alam, lingkungan hidup adalah tanggung jawab semua orang. Semua umat manusia terpanggil untuk memulihkan dan melestarikan alam ciptaan-Nya, sehingga hubungan keduanya (manusia dan alam) adalah hubungan yang saling menguntungkan. Tidak ada satu orang manusia pun di dunia ini yang dapat “merasa” bebas dari tanggung jawab atas kelestarian alam. Itulah sebabnya, orang Kristen bertanggungjawab memelihara dan menjaga dunia alam; menciptakan suatu lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta nyaman dihuni untuk kehidupan masa kini dan generasi mendatang.

Daftar Kepustakaan

Borrong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000

Drummond ,Celia Deane, Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1999 Douma, J. Kelakuan yang Bertanggung Jawab. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2002

Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan & Isu. Malang: SAAT, 2010 Ismail, Andar. Selamat Natal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999

Stott, John. Isu-isu Global. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2015 Stassen, Glen.H dan Gushee, David P. Etika Kerajaan. Surabaya: Momentum,

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Deur die verskeie teorieë omtrent intertekstualiteit - spesifiek Still en Worton (1990:1-2) se teorie dat die kritikus, student of leser van ‘n teks intertekste wat nie noodwendig

farm pemerintah mengintervensi melalui kebijakan subsidi pupuk dan menerapkan kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) gabah dan beras (Adnyana dan Kariyasa, 2000).

Transgender di mata hukum. Perlindungan terhadap Transgender mulai dari akar administratifnya pun masih belum jelas di Indonesia. Hal ini berdampak secara struktural

SIKLUS HIDUP BEBERAPA PARASIT Cacing Tambang .. )0acing de/asa *ada mukosa usus-. 0acing tambang de/asa melekat *ada villi usus halus dengan bucal ca*sulnya. Tam*ak cacing

Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2015) yang meneliti tentang pengaruh sumber daya manusia, informasi keuangan desa, dan komitmen

Menurut saya substansi materi gerak yang berkembang di era modern ini dengan  permainan tradisional dapat diaplikasikan pada permainan kasti untuk materi baseball

Arsitektur Bali Aga di Desa Bungaya memiliki keunikan-keunikan yang berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya (Bali yang berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya (Bali

Rataan bobot kering tajuk dengan pemberian subsoil ultisol + vermikompos dan pupuk P serta interaksi kedua perlakuan tersebut dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 3..