• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serie Kuliah Sejarah Pemikiran ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Serie Kuliah Sejarah Pemikiran ekonomi "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

©MTZ-II/4A/ 2014

Seri Kuliah Sejarah Pemikiran

APAKAH SEJARAH PEMIKIRAN ?

Oleh Mestika Zed

[mestikazed@yahoo.com]

Universitas Negeri Padang

1. Pengertian

Pelbagai istilah tentang sejarah pemikiran dalam bahasa Barat.

 Sejarawan Amerika dan Eropa menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut sejarah pemikiran. American Historical Association misalnya, yaitu suatu organisasi profesi sejarawan Amerika menggunakan istilah lain untuk sejarah pemikiran, yaitu “sejarah kebudayaan” (Cultural Historical) atau “Sejarah Ide-ide Sosial” (The social ideas).

 Para sejarawan Eropa menyebut istilah yang berbeda-beda:

― Bhs Jerman ideen-geschichte atau Geistesgeschichte (Sejarah Ide-ide), ― Bhs Belanda dengan Beschavingsgeschiedenis (Sejarah Peradaban), ― Bhs Perancis Histoire de la Panse dan

― di Indonesia umumnya sejarah pemikiran sebagai salah satu cabang studi sejarah yang relatif baru diperkenalkan diperguruan tinggi yang seringkali juga disebut dengan Sejarah Intelektual (Intellectual History).

Walaupun istilah sejarah pemikiran mempunyai penekanan arti yang berbeda-beda menurut tradisi akademik dimasing-masing negara, namun para ahli umumnya sepakat dalam satu hal, bahwa sejarah pemikiran atau sejarah intelektual selalu mengacu pada data sejarah yang berkenaan dengan kegiatan fikiran manusia sebagai salah satu kekuatan sentral dalam perubahan sejarah dari masa ke masa. Ringkasnya sejarah pemikiran seperti yang dikatakan oleh Barnes (1963 : 295) ialah:

(2)

Meskipun terdapat nuansa arti yang relatif berbeda-beda, seperti yang dirinci oleh Ankersmit,1 sejarah pemikiran dalam arti luas mencakup telaahan tentang

(a). Fenomena sejarah pemikiran manusia yang dihasilkan oleh tokoh pemikir dalam berbagai bidang tertentu, baik filosof, seniman, penulis, politisi, maupun ilmuwan, yang mewariskan karya intelektual mereka dalam berbagai bidang baik ilmu teoritis, maupun praktis;

(b). Telaahan tentang pengaruh pelbagai bidang hasil pemikiran mereka terhadap kehidupan ummat manusia pada masanya atau periode kemudian seperti ideologi (Marxisme), teori ilmu (Adam Smith, Newton dan lainlian).

(c). Telaahan tentang bagaimana penyebaran dan pengaruh pemikir-an dalam sejarah dan dampaknya terhadap faktor-faktor non-intelektual, atau hal-hal yang bersifat kondisional. Misalnya dapam Iptek terhadap pengangguran, atau mengubah gaya hidup manusia; dampak revolusi hijau terhadap pola pertanian tradisional.

Untuk lebih jelasnya baiklah saya berikan contoh sederhana berikut ini, dengan mengambil ilustrasi dari hasil pemikiran Karl Marx (118-1883). Gagasan pemikiran tokoh ini muncul pada saat Eropa dilanda revousi industri yang menjalar dari Inggris sekitar pergantian abad ke 18/19. Pemikiran Karl Marx atau Marxisme telah sangat mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan besar dalam sejarah umat manusia kemudian, setidaknya dalam batas waktu tertentu, baik pemikiran teoretis-ilmiah, maupun sebagai gerakan pemikiran untuk perubahan sosial-politik. Latar belakang pemikiran Marx tercipta dari situasi transisi besar akibat dari revolusi industry, sehingga menimbulkan dampak urbanisasi, pengangguran dan kuasa kaum pemodal atau kapitalis. Marxisme lalu melakukan pemberontakan pemikiran mennetang gejala yang sedang terjadi seraya menawarkan gagasan pemikiran alternatif untuk memecahkan masalah-masalah sosial, khususnya pembelaannya terhadap kaum tertindas (proletar) dengan menggunakan metode perjuangan mereka (class struggle) melalui gerkan-gerakan politik dan idiologis (komunis) dan perubhan-perubahan radikal melalui cara-cara revolusi. Marxisme dengan cepat tersebar ke hamper seluruh penjuru dunia dan selanjutnya ikut menciptakan polarisasi dunia kedalam dua kutup idiologis: blok timur yang beraliran komunisme dan blok barat yang beraliran kapitalisme. (Ingat dewasa ini berakhirnya perang dingin antara blok kapitalis dan nlok komunis antara Barat dan Timur menandai kejatuhan Marxisme).

Model di atas juga dapat digunakan untuk pembahasan hasil-hasil pemikiran besar lainnya baik yang muncul sebelum abad ke-19 ataupun periode abad ke-20 kemudian, yang bukan yang bukan hanya melulu terbatas pada sejarah dunia Barat (Oksidental) melainkan juga didunia Timur (Oriental). Bentuk-bentuk pemikiran yang lain, apakah itu berupa penemuan ilmu dan teknologi, ataupun gagasan social yang merubah dunia, biasanya akan menjadi perhatian sejarah pemikiran dengan secukupnya. Tentu saja perlu diperingatkan, bahwa bidang garapan sejarah pemikiran, sebagaimana yang akan dibahas pada fasal tersendiri dibelakang nanti ternyata jauh lebih luas dari pada sekedar membahas hasil pemikiran idiologis, tetapi juga tidak hanya berkenaan dengan “sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi” (Iptek) dan gagasan social “baru” seperti emansipasi

(3)

wanita dan seterusnya. Gandi dari India misalnya, bukanlah seorang ilmuwan; ia juga bukan seorang politikus, tetapi gagasannya adalah tentang perjuangan melawan kolonialisme Inggris dinegerinya melalui gerakan non-violence (Perjuangan Tanpa Kekerasan), atau juga dikenal dengan Gandiisme ternyata berpengaruh besar di dunia. Demikian juga dengan geakan “Emansipasi Wanita”, meskipun bukan formula keilmuan, dan juga bukan gerakan politik, tetapi hanya pembaruan social, seperti yang dikenal lewat sejarah perjuangan kartini dalam sejarah Indonesia melalui pendidikan kaum wanita. Gerakan wanita semacam ini sesungguhnya dapat dimasukkan kedalam bidang garapan sejarah pemikiran. Untuk lebih jelasnya marilah kita mencoba merumuskan pokok-pokok persoalan (subject mater) yang menjadi ruang lingkup sejarah pemikiran.

2. Ruang Ligkup

Untuk mengenali ruang lingkup sejarah pemikiran secara lebih khusus, marilah kita ajukan pertanyaan umum berikut ini; Apakah persamaa dan perbedaan antara kajian sejarah pemikiran dengan kajian sejarah yang lain? Seperti halnya dengan bidang-bidang studi sejarah yang lain, apakah itu sejarah politik, sejarah social dan ekonomi, sejarah pendidikan dan seterusnya, maka sejarah pamikiranjuga sama-sama tertarik kepada realitas kehidupan manusia di masa lampau. Bedanya yang utama, seperti yang telah disinggung diatas adalah, bahwa sejarah pemikiran atau sejarah pemikiran lebih terpumpun (terfokus) kepada data pemikiran manusia itu sendiri. Lebih jauh perbedaan sejarah pemikiran dengan bidang-bidang studi sejarah yang lain itu, kiranya dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, jika sejarah pemikiran lebih menekankan dimensi hasil pemikiran individual atau kelompok, bidang-bidang sejarah yang lain tertuju kepada pembahasan peristiwa-peristiwa dan/atau kegiatan manusia dimasa lampau baik individual maupun kelompok serta saling hubungan antara tindakan dan kelembagaan yang berkaitan dengan peristawa-peristiwa atau prilaku di bidang masing-masing, apakah dibidang politik, ekonomi, kebudayaan dan seterusnya. Kedua, Sejarah pemikiran cendrung berkaitan dengan gejala pemikiran atau kegiatan dan/atau hasil pemikiran tokoh pemikir secara individual dan akibatnya terhadap orang banyak atau dampak yang menimbulkan perubahan sejarah dalam arti luas. Bidang-bidang sejarah yang lain sebaliknya tidak terbatas kepada fakta-fakta peristiwa yang bersifat fisik dan individual, tetapi seringkali berbicara tentang perkembangan sezaman.

Ketiga, Sejarah pemikiran sebenarnya mencakup dimensi pemikiran dari bidang-bidang sejarah apapun juga (termasuk pemikiran dibidang politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan dalam arti luas). Dengan begitu, maka pokok pembahasan sejarah pemikiran sesungguhnya jauh lebih luas dari pada bidang sejarah yang lain, yang hanya terbatas pada salah satu aspek sejarah sezaman. Sejarah berbagai macam aliran pemikiran atau isme-isme besar yang dikenal luasdidunia, hanyalah merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian dari sejarah pemikiran, demikian juga dengan sejarah iptek juga merupakan suatu bagian saja dari pembahasan sejarah pemikiran. Jika demikian, sejarah pemikiran.

(4)

Dilihat dari tingkat pemikirannya dan ciri-ciri khas dari isi sejarah pemikiran dalam tahap tertentu, para ahli telah membuatkan system klasifikasi yang berbeda-beda berdasarkan kategori-kategori tertentu. Berikut ini akan dikemukakan tiga kategori umum yang pernah berkembang dalam sejarah pemikiran.

1. Model Comte (Hukum Tiga Zaman a la Comte)

Model Comte berasal dari pemikiran filosof Prancis August Comte (1798-1853). Meskipun lebih dikenal sebagai “Bapak Sosiologi”, Comte, seperti juga para sosiolog abad ke-19 umumnya sangat dekat dengan studi sejarah. Berdasarkan kajian sejarah totalitas (atau sejarah global), Comte mengajukan tiga tahap evolusi pemikiran (intelektual) manusia sebagaimana tercemin dalam skema berikut ini :

Skema Comte

Tahap Sejarah

Pemikiran Intellectual

Material Form

Basic Social Unit

Basic Moral Sentiment

1. Zaman Kuno Theological Military Family Attachment (kasih sayang)

2. Zaman Tengah Methaphisical Legalistic State Veneration (rasa hormat)

3. Zaman Modern Positivistic Industrial Humanity Benovalence (Kebajikan).

Keterangan

1. Tahap pertama (zaman kuno) adalah suatu tahap di mana pemikiran manusia dikuasai oleh ide tentang dewa-dewa seperti yang terdapat dalm ajaran politeisme pada kebudayaan Yunani kuno, atau zaman abad pertengahan, ketika Eropa dkuasai oleh gereja atau ajaran Nasrani. Tidak mengherankan, bahwa dalam semua lapangan kehidupan Yunani ada dewanya, dewa hujan, dewa cinta, dewa seks, hujan, dan seterusnya. Demikian juga dengan abad pertengahan, kekuasaan gereja atau pendeta tidak hanya berkaitan dengan urusan keagamaan, tetapi juga politik, kebudayaan dan sebagainya. Pada tahap ini, segala sesuatu harus dikembalikan kepada “tafsiran agama” terhadap setiap masalah hidup dan kehidupan manusia. 2. Tahap Kedua (Abad Tengah) bersifat metafisis (harfiah “meta”= di luar, “pisis” = pisik,

(5)

sebelum abad ke-19. gejala ini biasanya menjadi bidang perhatian filsafat sejarah spekulatif.

3. Tahap Ketiga (zaman modern) ialah pemikiran positivistic, yaitu suatu tahap dimana

corak pemikiran manusia sudah memasuki dunia “modern”. Pemikiran modern bagi

Comte adalah pemikiran intelektual yang diidentikkan dengan ilmu alam, atau matematis (Comte sendiri aslinya adalah seorang matematikus). Karena itu pada zamannya, Comte dikenal sebagai salah seorang pembela pandanan pemikiran “ilmiah”, yang yang menurutnya harus didasarkan pada metode ilmu-ilmu alam. Segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan berdasarkan ilmu alam bukan ilmiah. Karena itu, untuk mengangkat “harkat” sosiologi sebagai suatu disiplin yang ilmiah, Comte lalu memperjuangkan agar disiplin itu beda dengan disiplin sejarah, misalnya, mengikuti kaedah-kaedah ilmu alam. Apakah Comte nantinya berhasil atau tidak, sejarah perkembangan abad ke-19 menunjukkan bahw nyatanya selalu saja terdapat perdebatan pro dan kontra terhadap pemikiran positivistic a la Comte, dan pengaruhnya bahkan masih dirasakan sampai saat ini. Yang jelas, cirri lain kemoderenan menurut kategori Comte ditandai oleh kemajuan industri, perhatian terhadap kemajuan dan kebajikan umat manusia berkat penemuan-penemuan iptek.

Skema Comte di atas, tentu saja sangat bersifat Eropasentrisme, karena kalau dihubungkan dengan sejarah belahan dunia lain, fase perkembangan itu tidak lagi dapat dicocokkan begitu saja. Sebabnya antara lain adalah, bahwa setiap bangsa dan kebudayaan di dunia mengalami zaman dan bentuk yan berbeda-beda. Seirng dengan penlaran ini, maka setiap bangsa memiliki perkembangan sejarahnya sendiri-sendiri. Namun untuk sekedar memperlihatkan kapan sebetulnya fase-fase tersebut realitas sejarahnya pernah berkembang, marilah kita lihat kategori pembabakan waktu atau periodesasi sejarah Eropa sebagaimana diajukan oleh sejarawan Arnold Toynbee. Agaknya kita bisa menyebutnya kategori Toynbee sebagaimana yang ayan dijelaskan berikut ini.

2. Model Toynbee (Jatuh-Bangun Kebudayaan Besar).

Model Toynbee dikembangkan atas dasar klasifikasi perkembangan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia. Selama Enam Ribu Tahun pernah berkenbang sekitar 21 kebudayaan, sebagaian sudah punah dan sebagian masih bertahan dan diataranya yang paling unggul ialah kebudayaan barat yang bercirikan unsure Latin-Kristen. Dalam sejarah Eropa, orang biasanya mengenal formula “triple periodesasi” sejarah sebagai berikut; Kuno (yaitu kebudayaan Helenik)+Abad Pertengahan (Medieval)+Modern. Tetapi menurut Toynbee periode seperti itu bisa menyesatkan, karena system kategorinya tidak seragam. Atas dasar itu ia lalu memperkenalkan formula berikut; “Kuno” + Barat (Abad Pertengahan dan Modern). Kebudayaan Yunani Kuno (Helenik) sudah mati sejak tahun 675, dan kemudian digantikan oleh kebudayaan Barat (Western) yang bercirikan Latin-Kristen (Toynbee, 1957: 39). Inilah klasifikasi yang diajukannya :

(6)

3. Model Arthur Lovejoy (Kategori Ide atau Gagasan)

Sebagai bagian dari sejarah “intelektual” tetapi dengan sedikit perbedaan dengannya (lihat catatan kaki no. 1), sejarah ide-ide menaruh perhatian kepada genesis ide-ide atau gagasan “dari dalam dan bukan “dari luar”, seperti yang ditekankan dalam sejarah intelektual. Karena itu bukan pengaruhnya terhadap yang lain, melainkan bagaimana suatu ide tertentu berkembang dari abad ke abad, bagaimana ia menyesuaikan diri dan memperoleh bentuk dalam berbagai keadaan sejarah tanpa kehilangan identitasnya yang asli sehingga kita dapat mengenalnya kembali baik secara etomologis maupun semantic. Yang dimaksud dengan ide di sini ialah semacam “konsep” (pengertian kata tertentu) dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti konsep Tuhan, alam, negara dan seterusnya. Sebagai konsep, gagasan biasanya merupakan pernyataan-pernyataan singkat yang bertalian dengan pengertian tertentu. Contoh terkenal mengenai telahaan sejarah ide-ide dikemukakan oleh Arthur Lovejoy dalam bukunya, The Great Chain of Being (1936). Ide yang diteliti oleh Lovejoy ialah konsep atau pemikiran berdasarkan klasifikasi rangkaian ide-de (cluster of idea). Disini kita berhadapan dengan apa yang dinamakan kartografi ide-ide, di mana dalam kenyataan, suatu ide bisa dianalisis menurut unsur-unsurnya yang logis dan teratur, lalu dilacak melalui pemikiran-pemikiran tokoh atau kebudayaan tertentu. Lovejoy dalam hal ini memberikan contoh yang baik mengenai metode ini dengan mencoba merangkai ide-ide yang kompleks dan sangat umum pada masa tertentu. Tugas utamanya dalam hal ini ialah menganalisis unsur-unsur gagasan yang kemudian terangkai ke dalam rangkaian gagasan yang dimengerti seperti ide-ide tentang “alam”, “akal” (reason) dan “romantik” sebagaimana yang dicobakannya melalui telahaan pikiran Plato, Nicolas dari Kusa (?), Giordano Bruno, Spinoza Leibniz. Ternyata hasil temuannya mengenai rangkaian gagasan itu memainkan peranan yang tak terduga dalam sejarah alam pemikiran Barat (Smit, 1987:304).

Contoh lain yang dapat dijumpai dalam karya Frederick Meinecke, Die Idee der Staatrason (1924). Dalam bukunya ini, Meinecke melukiskan secara amat mengesankan dan kadang-kadang mengharukan sekali tentang konflik kekuasaan dan etika dalam pandangan Mechiavelli sampai abad ke-19. Di Indonesia contoh serupa tentang ide-ide ini mungkin bisa ditemukan dalam karya R. B. O Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia(1972). Atau karya Van Heine Goldren tentang konsep alam kosmos dalam system kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara (1981) dan mirip dengan ini ialah tulisan Sumarsaid Martono tentang model “kerajaan tradisional” di Jawa. Juga masih sangat mungkin untuk melacak konsep “merantau” dalam kebudayaan minangkabau, seperti halnya tentang gagasan tentang perubahan nama-nama anak zaman kini, gagasan tanah, hutan, ekologi, dan seterusnya.

Konsep Modern dan Tradisional dalam Sejarah Pemikiran

(7)

seringkali dipertentangkan dengan kata “kuno” (ancient) atau “tradisional”. Namun manusia selamanya hidup dalam masa sekarang. Oleh karena setiap “masa lampau”, saam artinya dengan sesuatu yang telah berlalu. Bisa satu jam berselang atau satu milenium lalu. Maka secara etimologis istilah “moderen” sesungguhnya bersifat relative. Sesuatu yang moderen bisa menjadi usang, atau yang kuno bisa tetap bertahan dan

terpantul dalam kehidupan “moderen”. Secara akademik orang membangun karakteristik

atau ciri-cirinya.

Dengan kata lain, konsep moderen adalah konsep waktu, dan karena itu ia bukanlah wujud yang tetap. Sebab pada prinsipnya manusia senantiasa hidup dalam zaman “moderen”, meskipun mereka tak menyadarinya (Brinton, 1981:23). Sifat relatif dari

“kemoderenan” tercermin dari perkembangan kebudayaan manusia yang berbeda-beda

dari waktu ke waktu dan suatu tempat ke tempat lain. Yang lama digantikan oleh yang baru, tetapi segala sesuatu yang “moderen” tidaklah selamanya mutlak “lebih maju” atau “lebih baik”. Memang orang umumnya bisa sepakat, bahwa setiap yang “moderen” selalu mengacu kepada suatu ciri utamanya ialah suatu cara hidup yang berlainan dengan cara hidup generasi nenek moyang sebelumnya, dan mungkin sekali juga merupakan cara hidup yang lebih baik dari yang newenk moyang kita. Namun itu tidak berarti, bahwa sesuatu yang “moderen” mutlak “lebih maju”. Untuk lebih tuntasnya marilah kita persoalkan kedua konsep “tradisional” dan “moderen” itu.

Konsep Tradisional.

Cukup banyak orang yang berpendapat, bahwa konsep “tradisional”, misalnya “kebudayaan tradisional”, adalah lawan dari hal yang “tak tradisional” atau “moderen”. Karena itu muncul pendirian, bahwa semua aspek dari masa lampau (atau sejarah)

dianggap “tradisional”; adakalanya patut dipertahankan atau sebaliknya harus

ditinggalkan. Misalnya, banyak sekali kebudayaan – di Indonesia atau di mana saja – dulu adalah kebudayaan/ masyarakat yang didasarkan kepada ekonomi feudal dan malahan bersifat menindas seperti perbudakan. Kalau begitu pantaslah feodalisme dihormati atau dipertahankan karena feodalisme adalah bagian dari kebudayaan “tradisional” ?. Jelas tidak. Sebab sekarang sudah ada nilai-nilai baru seperti kemanusiaan dan prinsip demokratis yang menolong kita untuk menimbang-nimbang kembali struktur social warisan masa lampau itu. Contoh lain yang lebih mengerikan misalnya banyak orang atau anggota masyarakat dahulu membunuh atas dasar nilai sosial seperti; siri pada suku Bugis, Sulawesi Selatan, atau atas dasar kepercayaan agama seperti yang berlaku dalam kebanyakan suku di Irian Jaya. Jelas praktek tersebut sekarang dianggap kurang “beradab” sudah ditiadakan.

(8)

adalah suatu hal “pokok” sesuai dengan norma kebiasaan “yang tradisional”. Dengan begitu kaum pria memiliki jaminan kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan masyarakat tersebut.

Sudah pasti, bahwa semua masyarakat selalu dalam perubahan terus menerus dan sejalan dengan itu kebudayaan akan terus bergeser, mengalami pembaharuan; artinya

“pemodrenan”. Yang “tradisional” sekarang ini, dahulunya adalah “moderen”, dan yang

“moderen” sekarang atau “tradisional” kurang menolong dalam menjelaskan realitas kehidupan.

Konsep Moderen.

Sebaliknya kerancuan dalam pengertian istilah “moderen” dapat membawa implikasi yang sama seperti penggunaan istilah “tradisional”. Bila semua yang berbau “tradisional” harus dicap “kuno” dan karena itu patut ditinggalkan atau dimusnahkan sehingga memperoleh cap baru, “moderen”. Dalam kehidupan kita dewasa ini, istilah “moderen” seringkali diidentikkan dengan pengaruh “Barat”, dan ia dipakai untuk merasionalkan perkembangan system kapitalisme dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Contoh yang paling gambling dalam hal ini ialah lewat iklan: lebih “moderen” minum Coca Cola ketimbang air jeruk yang dibikin sendiri. Di kampung-kampung di daerah kita sejak satu dasawarsa terakhir ini, tidak lagi aneh kalau orang menyaksikan tetamu dihari lebaran, disuguhkan dengan minuman limon, sirup atau Coca Cola sebagai citra “moderen” suatu keluarga. Belakagan juga “air mineral’. Orang merasa lebih modern dan ebih praktis pakai air mineral dalam hampir setiap kesempatan.

Orang merasa lebih “moderen” kalau para eksekutif pakai dasi; para salesman pakai dasi untuk menciptakan kesan lebih “modern. Lebih “moderen” menghuni rumah yang dibangun dengan semen dan ber-A.C daripada menempati rumah kayu atau yang dibuat dengan bahan alami dengan arsitektur lama yang disejukan dengan angin alami dan naungan pepohon atau bunga alami, dan bukan platik dan seterusnya.

Contoh serupa juga bisa dideretkan lebih panjang lagi, tetapi kiranya dapat disimpulkan, bahwwa “lebih moderen” dalam semua contoh kasus di atas mengandung arti, bahwa kini orang sedang digiring ke ekonomi uang, semakin bergantung kepada transaksi jual-beli barang dan jasa. Latar belakang ini, sebagaimana disinggung di atas, diwarnai oleh nafas ideologis, bahwa negri-negri barat atau kapitalis adalah paling “maju” dalam segala hal dan di seluruh dunia. Negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, dipaksa meniru semua aspek kehidupan negara “maju” kalau mereka mau dianggap “moderen”. Maka tidaklah heran, bahwa sebatang tubuh kita, dari rambut sampai ke ujung kaki, yang diperlengkapi dengan produksi negara maju dan semakin mahal harganya semakin bergengsi, walaupun belum tentu kualitas dalam arti sesunggungnya baik atau teruji.

(9)

Lalu bagaimana sebaiknya cara penyelesaian kedua sikap dikhotomis ini?. Kesulitan untuk membedakan yang “tradisional” dan yang “tidak tradisional” agaknya dapat diatasi, antara lain dengan membedakan unsure-unsur yang seharusnya dianggap “utama” atau “pokok” dari warisan masa lampau. Lebih bermanfaat kiranya memikirkan kembali latar belakang situasi yang dimaksud dengan istilah tersebut. Uraian di atas sudah berusaha menjelaskan konsep, kategori dan ruang lingkup persoalan yang bertalian dengan penggunaan kedua istilah itu dan secara lebih khusus dalam hubungannya dengan sejarah pemikiran. Dengan kata lain, orang tidak mungkin berpikir hitam-putih begitu saja, karena dalam setiap hal yang “tradisional” dan yang “moderen” senantiasa terdapat segi-segi yang jelek dan yang bermanfaat, negative dan positif. Jadi dalam kekacauan pemakaian istilah itu “tradisional” dan “moderen” diperlukan pedoman atau acuan yang mampu menjadi kompas menuju jalan keluar yang lebih tepat. Sesungguhnyalah, bahwa mata kuliah SPM ini dirancang untuk mencapai tujuan ke arah itu. Marilah kita ikuti argument berikut ini.

4. Mengapa Belajar SPM?

Terlepas dari tujuan kurikuler, atau keharusan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah ini, manfaat yang bisa diharapkan dari materi kuliah SPM setidaknya mencakup beberapa aspek berikut ini.

1. Asumsi dasar dari setiap proses belajar -- dalam bidang disiplin apa pun juga, termasuk SPM -- ialah pengenalan dan pengayaan informasi keilmuan dibidangnya, di samping pembentukan sikap dan keterampilan untuk mengembangkan sendiri pengetahuan ilmiah yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini, mata kuliah SPM secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan, suasana dan bahan-bahan yang relevan dengan materi kuliah SPM (lihat kembali syllabus SPM).

Dengan mempelajari sejarah pemikiran, khususnya sejarah pemikiran moderen (SPM), mahasiswa mampu memahami dan menganalisis setiap bahan-bahan yang berkenaan dengan mata kuliah SPM. Karena itu, mahasiswa dituntut untuk bersifat kritis guna membuka mata hati mereka agar tidak lagi “menjadi katak di bawah tempurung” dalam disiplin utama yang mereka ambil. Dalam ilmu sejarah ada semacam keyakinan ilmiah, bahwa realitas hidup manusia pada masa sekarang ini tidak terlepas dari atau berkaitan erat dengan kenyataan yang sebelumnya. Aritinya dengan sejarah. Oleh karena realitas kekinian kita adalah perpanjangan dan sekaligus perpanjangan dari pengalaman sejarah sebelumnya, maka tidak ada jalan lain untuk pemahaman yang lebih baik dan akurat tentang persoalan-persoalan masa kini, kecuali lewat pengalaman yang empiric telah terjadi, yaitu studi sejarah. Disadari atau tidak, realitas hidup kita dewasa ini (apa pun bidangnya) telah diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dan sekaligus kelemahan-kelemahan yang sudah terbentuk sebelumnya. Maka sejalan dengan asumsi itu tak seorang pun dari kita yang terlepas dari realitas masa lalunya, yaitu realitas sejarah yang berproses sebelumnya, baik pilihan-pilihan yang dilakukannya, maupun prilaku dan pola pikir atau cara pandang kita dalam melihat dunia sekitarnya.

(10)

satu alasannya, ialah, bahwa struktur-struktur dalam alam pikiran manusia sering kali bertahan lebih lama dari pada sekedar kegiatan atau kejadian-kejadian dalam struktur-struktur politik dan social ekonomi dan sebagainya. Dengan kata lain, eksistensi kekuatan pemikiran lebih “abadi” ketimbang perbuatan-perbuatan dan bangunan-bangunan pisik. Inilah alas an pertama. Sekedar contoh misalnya sejarah VOC, yaitu serikat dagang Belanda yang pernah besar di Indonesia selama tiga abad itu (abad ke-16 s.d. abad ke-18) masih bisa dilihat dampaknya. Pengurus VOC, kapal-kapal VOC dan gudang-gudangnya telah hancur dimakan zaman sejalan dengan perputaran waktu, tetapi bahwa ide “monopoli” yang ditelorkan oleh sejarah VOC ternyata tetap saja berlanjut, bahkan sampai pada masa sekarang. Dalam hubungan ini, tegasnya dalam hubungan dengan sejarah pemikiran, pertanyaan terpenting ialah apakah pengertian monopoli, bagaimana itu dilakukan, siapa yang diuntungkan atau sebaliknya siapa yang dirugikan?. Apa pengaruhnya?, dst. Sudah barang tentu terdapat bentuk-bentuk variable tetap dan yang berubah; artinya masalah yang masih tetap berlanjuat (kontinuitas) dan yang mengalami perubahan (diskontinuitas). Hal yang sama juga berlaku untuk setiap gagasan-gagasan ideologis, atau isme-isme yang lain, yang ternyata amat besar pengaruhnya dalam sejarah umat manusia, baik yang diciptakan oleh seorang tokoh, seperti Karl Marx dengan Marxismenya, atau sejarah bersama seperti nasionalisme, kapitalisme dst.

2. Alasan kedua, berkaitan dengan di atas ialah, bahwa kekuatan pemikiran itu ternyata secara langsung atau tidak langsung mampu mempengaruhi perbuatan manusia daripada struktur-struktur kelembagaan yang bersifat pisik. Dalam hal ini misalnya, meskipun di Indonesia kita sudah memiliki banyak lembaga universitas, tetapi cara berpikir dan sikap masyarakat kampus masih berada dalam “sawah”; artinya belum lagi sesuai dengan ide atau gagasan tentang apa itu universitas sebagaimana dimaksudkan dalam proses penciptaan sejarahnya masa lalu. Mungkin berlebihan, tetapi kiranya cukup beralasan, bahwa tampa sejarah pemikiran, setiap hari kita agaknya akan terancam “bahaya”, diperdaya oleh orang-orang yang tak pernah mengenal sejarah, khususnya sejarah pemikiran, yang tidak jarang memuji atau mengemukakan sesuatu sebagai hal yang “baru” terhadap apa yang sudah diketahui atau berlaku dalam sejarah masa lampau. Sekedar contoh nyata misalnya, seorang pejabat penting di sebuah instansi transmigrasi dan tenaga kerja Sumatera Barat baru-baru ini pernah mengusulkan agar program transmigrasi hendaknya mempertimbangkan masalah kemiskinan (Singgalang, 15 Oktober 1993). Ia keliru atau mungkin tolol karena buta sejarah. Sebab program transmigrasi yang mulai dikembangkan pemerintah colonial sejak awal abad ini, justru bertolak dari ide tentang kemiskinan masyarakat Jawa dan upaya pemecahannya melalui pemindahan penduduk pulau itu ke Sumatera.

(11)

pandangan-pandangan pemikiran mereka itu dengan seteliti mungkin, melainkan juga karena jawaban-jawaban yang mereka berikan terhadap permasalahan zaman mereka masih tetap ada harganya untuk dipertimbangkan, bahkan masih tetap relevan untuk saat sekarang. Sebab dalam system-sistem pemikiran mereka itu sering terdapat sebuah unsure universal sehingga walaupun sudah ratusan tahun sejak ia diciptakan, system pemikiran mereka masih merupakan titik pangkal yang berguna, malahan mutlak perlu untuk diperhatikan dalam diskusi-diskusi mengenai realitas hari ini dan masa depan. Di Indonesia misalnya, gagasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta wawasan Nusantara adalah contoh nyata yang membuktikan betapa gagasan pemikiran nenek moyang sebelumnya masih tetap menjadi acuan kita di masa sekarang. ***

BAHAN RUJUKAN

Ankersmits, Refleksi Tentang Sejarah [terjemahan dari bhs. Belanda oleh Dick Hartoko] (Jakarta: LP3ES, 1987).

Arnold J. Toynbee, The Study of History, [abridgement 6 Volume by D. C. Somervell] (Oxford University Press, 1957).

Arthur Lovejoy, The Great Chain of being (1936).

Crene Brinton, Pembentukan Pemikiran Moderen, Edisi Terjemahan (Jakarta: Mutiara, 1981).

E.E.G. Vermeulen, Waarden en Geschiedenis (Assen: van Gorcum, 1978).

Harry E. Barnes, An Intellectual and Cultural History of the Western World (New York: Reynald & Hitchock, 1937).

Isaac Deutscher, Ironie van de Geschiedenis (Haarlem: B. V. Bussum, 1979).

Jose Ortega Y Gasset, History as A System (New York: W.W.Norton an Co. Inc., 1961).

Louis Cottschalk (ed.), The Foundation of the Modern World, Vil-1 (London: Unwin Brothers Ltd.,1969).

Michel Foucault, The Archeology of Knowledge [translated from the French by A.M.Sheridan Smith] (London: Tavistock Publication, 1974).

Referensi

Dokumen terkait

Nama dan arti nya islami awalan huruf L LABIB : Yang berakal cerdik.. LEILA : Wanita cantik

Menurut Pengertian Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang

Dalam sub bab perancangan program ini akan dijelaskan mengenai perancangan input dan output, sruktur program atau struktur menu dari program yang dibuat dan kebutuhan

PPL sendiri menurut peraturan rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 14 tahun 2012 mempunyai pengertian semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa

Lengkapkan Peta Pemikiran Buih Berganda yang berikut dengan berdasarkan ciri-ciri manusia pada zaman Paleolitik dan Neolitik yang telah disediakan.. A Mencari hasil hutan E

[r]

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena perioperatif mampu menunjukkan nilai VAS saat mobilisasi pascabedah yang lebih rendah serta mengurangi

Bagi Thomas Hobbes ketika manusia menjadi liar, jalang, dan asling mengancam, dari sendirinya rasionalitas berupa itu yang dimiliki oleh setipa manusia yang