• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISAH CINTA CINTA MISIONARIS MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KISAH CINTA CINTA MISIONARIS MUDA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PERJUMPAAN KITA KEMARIN

Waktu kini berlalu ditepis sibuknya kehidupan. Kemarin kita beradu kata, hari ini kita saling tersenyum dan esok masih dalam balutan ketakpastian. Mungkin esok akan seperti kata si bijak dari Palestina, "hendaklah kamu saling mengasihi" atau seperti kata Herakleitos 'segala sesuatu berubah' dan kita bisa mengubah manisnya senyuman menjadi tangis penuh sesal. Entalah, yang terpenting bahwa esok pasti ada perubahan. Kita berjalan menuju sebuah perubahan yang tak dapat dipastikan.

Kemarin kita berjumpa di sebuah lorong sempit, saling menatap bergambar seribu diam. Kita tak saling menyapa namun tidak lekas pula berlalu. Dalam kebisuan, kita saling memahami, bak ungkapan Tino Morazin "yang tidak dikatakan adalah diam yang mengatakan banyak hal". Kita tak tahu mengapa itu terjadi, tetapi yang pasti bahwa kehendak sedang terbangun pada diam tuk merasa dan menalar. Hanya KEHENDAK yang terbingkai di hari kemarin.

Hari ini, ketika pagi kembali bersinar menyapu pergi embun malam, kita berjumpa di tepian pantai. Angin keasinan menyeruput hidung mengatakan rasa atas kehendak di hari kemarin. Kita masih membisu. KEHENDAK di perjumpaan kemarin mengibaskan sayap pada RASA tuk menalar setiap peristiwa. Diri kita hanya setitik ketika lautan biru menerobos kornea mata. Rasa ketiadaan

menghiasi nurani, kala kehendak mengatakan kepastian akan ketakberdayaan. Mungkin ada benarnya ungkapan ini "Ketika ada rasa antara kamu, sebetulnya sedang ada perjumpaan kehendak dengan kehendak". Di tepian pantai itu kita masih bergandengan menantika kisa hari esok dengan KEHENDAK dan RASA.

Esok akan tiba, itulah satu-satunya kepastian kita. Entah menyenangkan atau menyedihkan tak dapat terendus. Namun, satu keyakinan melingkungi ketika kita percaya pada KEHENDAK dan mengolah kehidupan dalam RASA, esok pasti membawa kecerahan. Perjumpaan kita di hari kemarin

menumbuhkan semua asa yang mungkin akan pupus. Senyum kita dalam kebisuan masih mengais sejuta bahagia. Kehendak kita membawa rasa pada setiap perjumpaan. Janganlah nurani dibuia rasa, biarkan rasa diwarnai kehendak.

(2)

mengubah, tapi bisa saling mendokan untuk perubahan di hari esok. Ketika bertelut dalam doa kita serasa tak punya jarak tuk bebagi semua rasa.

SENJA DI REALINO

Sang surya sedang akan berdengkur di atas pertiwi Jogjakarta.

Kendaraan masih bertebaran di ruas jalan. Angin terus berhembus mengusir pergi kelelahan. Para pesepak bola memutar si kulit bundar mengitari lapangan yang dikenal Realino. Senja di Realino mengisahkan tentang kehidupan.

Aku duduk menanti pasti bersama diary kecil di tangan. Tiga putri anggun di samping kananku sedang sibuk dengan seikat rangkaian bunga. Mataku dapat mengukur, mungkin hanya lima langkah kaki dari tatapanku. Dengan bunga dalam pelukan mereka bak artis papan atas sedang beradu acting di depan kamera. Perhatianku terusik ketika kornea menangkap bunga dalam pelukan. Bunga itu telah merangkai seribu bahasa dalam nubari, hingga tak ada yang bisa terungkap tentangnya. Nalar memutar bayangan, ingin mengisahkan pada nurani tentang bunga dan tiga putri. Aku tak mengenal mereka dan bahkan tak ingin mengenal mereka. Hanya bunga itu tak dapat diabaikan.

Sesekali senyum dan tawa menghiasi wajah ketiganya. Namun datang juga saat diam kala bungan itu di panggkuan.13 Februari, demikian tanggal di senja ini. Ketika senja berlalu dan mentari mulai merekah, periode cinta

menanti percikan kasih anak-anak dara. Bunga itu dipeluk erat bagaikan rangkulan seorang kekasih. Dekapan itu merangkai tanya mengapa semuanya terjadi pada seikat bunga?

Sejurus berlalu, deringan siul memberi jawab pada saat mentari kan terbit. Valentine. Itulah kata dari bisikan saraf yang kudengar. Bunga dalam dekapan di senja ini, merangkai kesiapan anak-anak dara tuk menyambut valentine yang alkisah menjadi kesempatan berbagi kasih sayang. Iya, sebuah narasi besar tercipta ketika semua menginginkan kasih. Namun benarkah hanya sebatas bunga? Mengapa bunga itu hanya dalam dekapan ketiga gadis itu? Mengapa senja tak mengajak mereka menaburkan bunga di kerinduan damai? Bunga dalam dekapan itu telah meretaskan asa akan kehidupan damai.

(3)

#Valentinebukansekedarkasihsayang

MENCICIPI REMAH-REMAH

Sekitar limabelas tahun lalu, pertama kali diperkenalkan kepada saya apa itu hidup membiara. Sekelompok orang muda mengadakan Live-in di kampung halaman paroki St. Aloysius Gonzaga Haekesak. waktu itu tidak ada gambaran akan menjadi apa nanti, maklum masih Sekolah Dasar di perkampungan. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika harus berhadapan dengan para pemuda yang biasa disapa Frater. Mereka hadir seperti teman yang bermain bersama, bercanda bersama di persimpangan jalan. Satu kebanggaan tersendiri ketika diapit para pemuda ramah dan lucu. Waktu itu tak ada rasa segan berbaur dengan mereka. Canda tawa menjadi ciri khas mereka. Bayangkan betapa senangnya ketika seorang anak kecil berada di tengah para frater, ah

senangnya. Saya merasa 'istimewa' di antara anak-anak yang mungkin lebih layak dekat dengan mereka. Itulah sepenggal pengalaman bersama para frater CMF (Misionaris Claretian) kala itu.

Pengalaman senyum dan canda tawa para frater terbawa ke alam nurani, tersimpan rapat hingga baru kembali bergema putra sulung keluarga,

mengalami dan menjalani hidup di seminari. Setiap liburan menjadi saat tumbuhnya rasa ketertarikan menjadi sepertinya. Namun, mungkin faktor ketidaklayakan tetap mewarnai rasa kagum. Daya istimewa bersama para frater kini mengalir dalam kekaguman akan hidup seminari. Remah-remah itu hendak dicicipi karena rasa istimewa meski tidak layak.

(4)

sunggu menyentuh nurani. "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Perempuan ini tidak merasa istimewa di hadapan Yesus, melainkan istimewa di hadapan anak-anak meski hanya mendapat remah-remah. Ia justru menyentuh nurani dengan kerendahan hati menerima diri dikatakan demikian untuk mencapai kesembuhan anaknya. Rasa Istimewa menjadi benih keselamatan.

Seringkali kelemahan menjadi pusat perhatian. Ketidakberdayaan menjadi fokus perjalanan hidup. Kita sedang lupa bahwa meski hanya remah-remah, namun kita justru istimewa dengan menikmati remah-remah. Pengalaman difitnah, diolok, dibuang dapat diubah menjadi pengalaman terbalik ketika kesetiaan pada keistimewaan kita di hdapan Tuhan. Yesus tergerak dengan perempuan Siro Fenesia karena belaskasih yang muncul dari keistimewaan. Kita semua pantas merasa istimewa di hadapan Tuhan dan sesam meski kita mencicipi remah-remah.

Sang Lyan

(5)

MEMILIH DARI LUAR

Suatu kali saya melakukan perjalanan dari kota Kupang menuju gua Maria Bitauni di kabupaten Timor Tengah Utara. Perjalanan itu sangat

menyenangkan. Saking menikmati tour itu, mengakibatkan saya dan beberapa teman yang biasanya mengalami gangguan perjalanan tetap dalam keadaan aman. Di tengah keasyikan menghirup udara segar pinggiran jalan, kami harus berhenti di depan biara SVD Noemeto. Ada sebuah jembatan kecil yang

menghubungkan ruas jalan pada satu kali mati. Di jembatan itu saya menyaksikan satu panorama menarik yakni perjumpaan dengan seorang pemulung yang tidak kukenal dari mana asalnya.

Waktu itu saya tidak memiliki kata yang pas untuk mengungkapkan rasa heran. Karena tidak biasanya di daerah NTT khusunya pulau Timor ada

pengemis atau pemulung. Biasanya orang-orang menjadi malu ketika harus mengemis dan memulung. Bahkan yang lebih malu ialah keluarganya. Budaya malu mengemis dan memulung inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab ketiadaan pengemis dan pemulung di tanah Timor, yang dikenal oleh

kebanyakan orang Indonesi sebagai salah satu daerah termiskin dan

terbelakang seperti kata Annies Baswedan yang merasa heran dengan prestasi Jakarta di bawah NTT pada debat II Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Saya bisa semiskin apa pun masyarakat NTT, masih sangat sulit

ditemukan adanya pengemis. Karena alasan inilah saya merasa heran dengan hadirnya pengemis di jembatan itu. Saya menemukan bahwa ia menerima apa saja yang kami berikan entah uang atau pun makanan. Ia tidak berpikir apakah ini baik atau tidak, yang penting kenyang satu hari.

(6)

Melainkan yang keluar dari hati itulah yang akan menajiskan. Bagi orang-orang kesehatan dapat diperdebatkan bahwa Yesus mengatakan semu makanan halal. Nyatanya orang kolesterol tidak boleh kebanyakan mengkonsumsi lemak. Orang gula darah bahkan harus mengurangi porsi nasi. Orang darah tinggi harus hati-hati memilih daging dan masih banyak larangan lain. Dengan demikian bukan hanya apa yang keluar yang menajiskan, melainkan juga apa yang masuk ke dalam dapat menyusahkan manusia. Lalu apa yang perlu dilakukan ketika berhadapan dengan dua tegangan ini?

Secara Hermeneutis (tafsir) Yesus sedang mengatakan satu hal yakni kesimbangan porsi. Yang keluar dari hati yakni kejahatan maka itu membuat manusia jatuh pada dosa, tetapi jika yang keluar itu kebaikan dan cinta maka itu menumbuhkan benih kedamaian. Yang masuk ke dalam tubuh itu sesuai porsi maka manusia tidak mengalami kekenyangan berlebihan atau bahkan sakit. Ketika keseimbangan porsi ini diabaikan maka kanajisan sedang menanti. Yesus tidak melarang kita memilih dari luar, atau memilih sesuai pendangan dari luar, melainkan Ia menyarankan kita untuk tau porsi.

Jika kita sebagai bawahan di kantor, bekerjalah sesuai porsi yang dipercayakan tidak perlu merangkap urusan pemimpin. Jika kita sebagai mahasiswa, berusahalah menjadi mahasiswa tanpa harus mengalahkan dosen. Jika kita sebagai biarawan/i cukupkanlah diri pada tugas pelayanan cinta kasih. Dan jika kita sebagai anak cukupkanlah diri sebagai anak berhadapan dengan orang tua. Kebencian, dendam, saling menjatuhkan dan saling curiga muncul ketika kita tidak tau porsi masing-masing. Memilih dari luar itu berarti tau kemampuan kita untuk porsi kita sendiri. Seperti pengemis tadi kita juga butuh yang namanya pengalaman 'tanpa saring' yakni menerima apa yang datang dari luar sesuia porsi yang dibutuhkan.

(7)

SELEMBAR FOTO

4 Agustus 2016, diariku tertulis kisah pertama di kota Ende. Sore di hari itu terasa matang bahkan bisa kubilang ranum. Iya, semua serba baru. Aku sebetulnya butuh waktu tuk menyesuaikan diri. Entah suhu, entah kebiasaan maupun budayanya. Malam di penghujung tanggal itu di rumah itu hanya kujumpai foto. "Ini bapa" demikian keterangan yang kuperoleh lewat mama tentang sosok itu. Iya hanya foto di malam itu yang menyapaku 'orang baru'.

5 Agustus 2016, senja jalan Anggrek menggerakkan jari-jemariku tuk sentuhan di tanah Ende, Aku mencoba mengelilingi rumah, alih-alih mengenal lingkungan. ''Jangan kaka Frater" demikian putri sulung sosok di foto itu. Aku datang itu menyentuh kehidupan dan belajar darinya, demikian hatiku berbisik menjawab suara itu. Sejenak kemudian, bak sambutan pangeran, suara-suara cilik meyambut kedatangan seseorang di gerbang rumah itu. Aku sempat terheran, memutar memori otakku menglolah informasi semalam. Iya sosok di foto itu. Berkharisma, itulah kata pertama yang muncul ketika bayangan foto itu kucocokan pada kenyataan. Rasa penasaranku semalam terjawab sudah. Kami saling berpapasan, kami saling senyum. Ternyanta senyum itu mengatakan bahwa kami memiliki kesamaan. Malam di tanggal itu, aku dikenalkan pada kota mungil Ende dengan segala kemegahannya. perjalannan itu mau

mengatakan padaku bahwa aku bukan lagi orang asing. Sosok itu ialah Bapa Yohanes Yansen R Rago.

Di hari bahagia ini, kuucupkan terimakasih atas segala kisah menarik yang telah dilukiskan pada tapak-tapak panggilanku. Seiring waktu kuucapkan selamat Ulang Tahun dari sudut kota pelajar. Semoga Sang Waktu yang

(8)

Salam selamat ulang tahun! Sang Lyan

KETIKA CINTA TAK MEMUNGKINKAN

Sudut kota pelajar menjadi saksi bisu perjumpaan kita. Aku dan Kamu beradu pandang dalam senyum. Tiada kata, tiada nada apalagi suara. Hanya diam ketika tatapan telah mengatakan seribu satu bahasa. Aku terdiam ingin merajutMu bagaikana mekaran cinta di nubariku. Namun sayang Sang Waktu telah merebutmu dariku. Resah dan gelisah meraung batin, mencari arah tuk mengatakan cinta padaMu, Sayang semuanya hambar, semuanya tak mungkin. Aku mencoba membiarkan semua kisah kita pergi bersama hilangnya suara Adzan, aku ingin melupakanmu meski dalam mimpi sekalipun, namun semuanya terasa sia-sia. Hatiku mencarimu, namun tak kutemukan dirimu. Sang Waktu telah lebih dahulu merebutmu dariku.

Sehari, seminggu, sebulan, demikian kuhitung putaran waktu. Terasa dekat padamu kala semenit tak bisa kulewatkan tuk melirik bayanganmu. Namun kesadaran menerbangkanku bahwa Sang Waktu lagi-lagi telah merebutmu dahulu sebelum aku. "Mengalah" itulah kata yang melukiskan perjuanganku tuk merebutmu dariNya. Aku mengalah bukan untuk menang merebutmu, melainkan membiarkanmu bahagia dengan pilihanMu. Semuanya coba kurelakan meski terlalu sakit tuk melepasmu.

Kini aku tersadar ketika bunga kecil menempel dan lingkaran cincin menghiasi jarimu. Aku tidak berhak sedikit pun atas dirimu. Harapanku kebahagiaanmu tak boleh luntur ketika bunga itu layu dan emas cincinmu pudar termakan usia. Salam Untuk semua sahabatku!

(9)

DIA TELAH ADA SEBELUM AKU

Sebelas tahun lalu waktu aku masih berjubel bersama teman-teman di bangku sekolah dasar, ada rasa untuk masuk dalam satu dunia yang namanya Seminari. Aku belum sempat berpikir dengan berbagai pertimbangan karena ketertarikan itu spontan menggelitik nurani. Bukan tanpa alasan melainkan karena rasa akan 'enaknya' liburan seorang seminaris. Maklum seorang kakak telah mendahuluiku merasakan hidup dalam dinamika para calon imam. Tumbal ayam kampung di setiap masa liburan menjadi pesona yang tak terlupakan. Keteladanannya mengisi waktu membuatku kagum tuk mengalami hal yang sama. Syukurlah impian ini menjadi nyata kala aku benar-benar mengalami hidup nyata sepertinya. Dia telah ada sebelum aku, itulah motivasiku selama masa-masa sulit yang dihadapi. ***

Sepenggal kisah ini sekedar mengiringku pada permenungan akan kisah Yohanes Pembaptis. DIA TELAH ADA SEBELUM AKU demikian ungkapan Yohanes mengakui dirinya di hadapan banyak orang. Ia tidak malu mengatakan kepada publik Yahudi bahwa segala yang diwartakannya bukan sesuatu yang amat baru dan perlu dibanggkan dengan bertepuk dada. Pewartaannya merupakan penyempurnaan dari segala yang telah ada dan dijadikan.

(10)

TELAH ADA SEBELUM KITA. Yohanes dengan pernyataan tegas

menghentakkan kita dari lelapnya kepuasan akan yang baik. Ia membawa kita pada kesadaran ini dan mengundang kita untuk berbagi. Bukan lewat

kesombongan spiritual melainkan kerendahan hati rohani yakni mengakui bahwa kita hanyalah saksi dari semua kebaikan ILAHI dari SANG WAKTU. Dalam rasa ini kit akan berani bersyukur dalam setiap peristiwa hidup apapun. Semoga Kita berani bersaksi dengan kerendahan hati rohani dalam pekan yang baru!

Terinspirasi dari Injil Yohanes 1:29-34 Selamat Hari MInggu Biasa II

Sang Lyan, cmf

Yogyakarta, 15 Januari 2017

KOK MAU SELIBAT???

Mujizat terbesar Gereja Katolik pada zaman post-moder ialah hidup selibat. Perubahan dunia tidak menggoyahkan hati pria dan wanita Katolik membaktikan diri bagu Sang Waktu dan sesama degan selibat. Para selibater bahkan merasa bahagia dengan pilihan hidup mereka, walaupun terkadang tidak mudah.

(11)

Maka jawaban yang kiranya mempermudah pemahaman hidup selibat ialah walaupun cakep mau selibat karena Sang Waktu membutuhkannya. Selibat bukan hanya soal pilihan tetapi panggilan!

OM TELOLET OM Di MASA PENANTIAN!

Di Tengah boomingnya seruan anak-anak Om Telolet om banyak orang justru bertanya apa arti semuanya? Viralnya berbagai persoalan kemanusiaan seolah pause dari hadapan publik. Berbagai persoalan sejenak dihalau pada hiburan seruan para penumpang angkot. Viralnya seruan singkat ini

mengindikasikan hasrat setiap insan yang butuh didengarkan. Persoalan kemanusiaan seperti teror, pembunuhan dan sebagainya menjadi ajang

kemerosotan kemanusiaan. Aksi anak-anak kecil yang menanti angkutan kota mengisahkan kepada setip kita harapan akan adanya kebahagiaan.

(12)

Sore nan indah, meski gelap mulai menutup dunia. Hadirku di alam baru Pu'u Rere. Aku berada dalam ketidakpastian entah ke mana harus kuletakkan tubuh kecilku. Bukan kecemasan melainkan penantian yang melanda. Aku menanti dalam kepastian bahwa seyum pasti menjumpaiku. Di ruang kecil pastoran Pu,u Rere ditemani cahaya remang, hatiku menanti giliran kepada siapa senyumku ditebar,,hahaha,,maklumlah aku baru pertama ke pusat pulau bunga. Sejurus berlalu akhirnya namaku disebut! Tak segan kutebarkan senyum sederhana menyambut dekapan seorang ibu, senyuman manis meyakinkan, canda tawanya menggembirakan dan mata yang bekaca menenangkan hati. Tanpa sepatah katapun kujawab kuturuti langkahnya. Keyakinan nurani dalam diam menghantarku menuju kediaman di setapak Jl. Anggrek. Akhirnya aku pun perlahan mengenalnya bernama Fransiska Natali. Tak ada keraguan berkisah, sesekali senyum pertama di sore itu menghiasi dinamika kebersamaan. Semua yang kualami indah dan mengesankan. Senyum itu turut menguatkanku

(13)

salam hangat dari Sang Lyan di tepian Jogjakarta,,

SENYUM SENJAMU

Kuletakkan wadas kepastian di pelupuk tuk merangkai kisah baru di lembaran kebersamaan. Ketika senja menghempaskanku pada kesadaran tentang siapa dirimu. Adamu, adaku bukan sekedar hiasan waktu, melainkan kenyataan bertubuh rasa. Nurani merintih menyusuri kisah tentang senyummu di setiap senja. Bertepi merasa sendirian, bergumul merasa tertantang tuk jarak nan jauh.

Seyum senjamu merangkai kisah lagi akan dunia kita. Duniamu yang berbeda dariku. Ingin kuteriakkan cinta dari lembah terdalam sejak senyum senjamu menatap pasti di atas bukit. Namun, kesadaranku merintih mengelus rasa tuk ditahan. Bertahan tuk mengerti tentang engkau dan aku. Berjuang tuk merasa meski tak kuungkapkan rasa. Senyum senjamu berkata pada aliran waktu tentang kita yang berjarak.

Senyum senjamu menggugah nubari, mengisi baris-baris akal sehat. Di senja nan sejuk kutatap senyum itu yang masih seperti dulu. Senja ini,

(14)

tuk berkata "Aku cinta padamu." Senja telah merubah memoriku pada kekosongan yang menanti tuk dipenuhi semangat cinta bergelora.

Senyum senjamu, menggetarkan meski hanya sedetik berlalu. Senyum senjamu, mengisahkan cinta dalam peraduan damai. Senyum Senjamu, Merangkai rasa akan realitas mudaku

Senyum senjamu, menghidupakan kisah yang ingin kupendam mati.

KEBEBASAN SANG DELIMA SENJA

Sore nan indah di balik pembaruan, merangkai kisah hidup pertama dalam lautan. Sayap-sayap fery nan mungil membelah hamparan biru dan mengisahkan siapa diriku di alam semesta. Perlahan penuh kepastian berlayar menuju kota Reinha Larantuka. Aku terhanyut pasti kala delima senja meraih asa. “Sunset harapan”, degung kalbuku tanpa sensasi ketika mata beradu kedipan. Di atas lautan lepas kurangkai kisah hidupku.

Sore nan indah berhiaskan sunset. Merah merona senyumnya meraih nurani. “Ah, laut lepas. Simbol kebebasan setiap insan.” Bebas mencinta meski beradu pengorbanan. Berani memilih walau pasti disakiti. Sunset berkilau menghiasi baris-baris biru lautan lepas, ia memancar bak surya keadilan. Inikah kebebasan? Kumaknai kebebesan bukan dari ketimpangan melainkan asa terangkai pasti penuh tuk sebuah kebebasan nurani.

(15)

tuk semua yang kukasihi!

#panggilanitumenggembirakan #someonelikeyou

TETESAN BENING DI ATAS KANVAS Sendu senyap menarik kalbu

Mengurai kisah menata harapan Kala dia tak mampu menjawab Semua tanya kehidupan

(16)

Maju, maju, maju

Resapi bahagia bersama Dia Patut rasa tak pernah redup Matikan ego di alam bebas Aku ingin kamu terbebas Dari rasa tuk dirasa.

Sobatku Sang Waktu aku memimpikanMu Malamku bak siang bersamaMu

Senjaku cepat berlalu pada tapak kepastian Aku masih terus mencintaiMu

Maafkanku kelopak indah

Ijinkan putik itu bertebaran di kanvas Sajikan aroma lukisan cinta bagi yang lain Dan biarkan Sang Lyan mengatakan maaf Atas goresan bertinta bening

Maafkanku sobat tuk tetesan bening di atas kanvas Tetesan tak berwarna apalagi berbentuk

Itulah doamu nan menguatkan.

INILAH PERJUANGAN

(Belajar dari Tetesan Stalaktit)

'Kemarau panjang tak terduga menguasai rasa dan raga kami. Tiada tenaga tuk berlangkah kala lumbung kian menipis. Kami hanya mampu berharap akan perubahan nasib jika Sang Waktu menghendaki'. Demikian kisah seorang petani tua padaku. Rintihan nuraninya menggetarkan jantungku. Tersentak aku kan kisah panjang perjuangan masyaraktku tuk segumpal nasi. Aku termenung dalam diam, hanya kalimat itu yang terpatri pasti pada baris diari batin bertanggal 28 Juli 2016.

***

Hari itu Senja berhiaskan sunset masih seperti biasa beralih dari tatapan insani. Kuiringi kepergiannya dengan senyum penuh kecut. Ya, aku kecut karena

sebuah kecemasan. Aku kecut pada penerang itu yang seolah diam di hadapan nasib para sederhana. Mereka seolah tak dijawab dalam rintihan di atas pertiwi berkarang. Akalku tak hentinya megolah setiap rasa pada lenyapnya asa. Petani tua itu telah menggodok lapisan poriku tuk merinding akan bayangan

(17)

terus dipuji meronanya. Kuingin katakan padanya "Masyarakatku butuh hujan". Senja masih ada, garis-garis bukit barat nampak jelas oleh pelupuk mata,

namun aku hanyalah raga tanpa logika. Mungkin sangat prematur kukatakan Sunset nan indah hanya merindukan pujian para pengagum dan bukan

kesuksesan para sederhana. Bagiku sunset mengajarkan keindahan tiada kesederhanaan. Aku pun berpikir tuk sejenak menarik diri dari Sunset.

Akal kembali menerjang, mencari sebuah gua penuh gelap. Tiada nada, sunyi senyap melanda. Aku sendirian dalam kesepian. Hening gua membawaku kembali pada sosok petani tua. Rintihannya semakin keras terdengar gendang nurani. Aku kini mengadu pada barisan stalaktit nan rapi. Stalaktit yang jarang dijangkau mata insani. Ia mungkin kurang disapa apalagi dipuji. Seolah rasa terhubung kala tatapan itu semakin mendalam. Aku berbangga masih ada yang bisa menerima rintihan petani tua. Stalaktit itu terdiam penuh harap. Ia

membisu mendengar jeritan nuraniku. Sayup-sayup terdengar bisikan sendu "aku mengerti rintihanmu. Aku memahami derita para sederhana. Aku pun pernah kehilangan asa kala tetesan air memaksaku tuk menembusi karang tebal. Namun, bukan hasil yang kubanggakan melainkan proses yang mebahagiakan. Aku berproses dalam ruang dan waktu, kadang kuat akan kepastian, kadang lemah dalam impian. Proses telah membentukku tuk terus meneteskan butiran bening tiada henti walau hanya uapan embun".

Kembali raga tersadar, bisikan stalaktit mengusik semua pupus. Ya, sebuah optimisme pada proses kembali hadir. Tetesan hujan meski berkurang oleh gerakan tangan penebang. Kemiskinan mungkin melanda jika tiada butiran bening. Petani tua pasti mengeluh kala lumbung makin menipis. Asaku

(18)

KISAHKU DI BUKIT PUURERE

KAMIS 4 AGUSTUS 2016 pagi nan cerah kota REINHA menghiasi diari

senyumku mengawali haru baru. Kesejukan pantai menembus taman kecil Tuan Mninu. Paruku berkembang menghela nafas panjang. Berat tuk tinggalkan bahagia dalam pelukan Tuan Ma. Baru sehari kujamahkan telapakku di atas kepala Nusa Bunga, telah kutemui dambaan keindahan alam berkelopak. Bukan sebuah spekulasi jika harus kukatakan itu mempesona. Tidak mengherankan banyak 'kumbang' ingin meraih 'putik manis' nusa bunga. Petualangan

(19)

10 jam petualangan menatap pasti Kelimutu berhawa sejuk. Segar kurasa menghiasi pori kulit ketimoranku. Aku masuk dalam dekapan decak kagum akan bunga mekar alam idaman. Sejenak mengisi rintihan ususku di puncak Wolowaru, belum menyaingi kepuasan batinku akan puncak danau berwajah dunia. Kembali kuraba diari senyumku tuk sejenak melukiskan kesukaannku pada lembaran hijau bukit kelimutu. Sepanjang tepian jalan kutemui ukiran perhatian berbahasa asing yang sedikit mencemaskanku jika semua pribadi nusa bunga justeru menjadi terasing jika dunia asing menguasai. Kulengkapi kecemasanku dengan harapan pada jantung pemerintahan yang pasti

mendengarkan jeritan mereka yang mulai terasing. Tak butuh tekek bengek, dalam hitungan detik jam tangan, aku telah tiba di bukit indah Puurere, 'tanah terjanji' tuk belajar akan kehidupan.

Bukit kecil bernada kota itu telah menghalau sang surya pada peradauan di senja hari. Gelap datang meramba keramaian berlatar tangisan para pasien. Namun itu tidak menggetarkan. Satu kata yang ingin kuutarakan pada pandangan pertama 'BAHAGIA'. Kebahagiaan teruntai pasti dalam gerak senyuman insan berhati. Senja itu telah disulap menjadi senyum keakraban. Aku kembali tercegang, kala si roda empat mengantarku kembali ke lembah bernama jl. Anggrek. Di sebuah gubuk kecil, aku berdiam tuk belajar akan nilai kehidupan. Bersama dalam kekeluargaan, berkisah dalam kesetiaan, berdamai dalam keterbukaan bagaikan hiasan bunga di atas lembaran hidup nusa bunga. Puurere, jl. Anngrek, bukan hanya sekedar nama. Nama yang kini telah

melukiskan apa artinya ada dan bersama. Puurere dalam kisah terbingkai indahnya anggrek kehidupan. Terimakasih Sang Waktu tuk perjumpaan di atas bukit Puurere, tuk senyum di lembah kecil jl. Anggrek.

KURSIKU DI BELAKANG

(20)

Pesta berlangsung meriah. Aku sendiri sungguh menikmati suguhan acara kedua mempelai. Mulai dari senyum sapa hingga pemotongan tumpeng pernikahan. Aku masih dapat menyaksikan setipa rangkaian gerak kedua mempelai dari kursiku di belakang. Bermodalkan mataku yang tak minus

maupun plus dan alisku yang lengkap, aku mampu menangkap makna di setiap peristiwa ramah tamah. Kesanku kedua mempelai pun menikmati semaraknya pesta. Sejurus kemudian aku teringat akan sosok kedua orangtuaku yang kini hampir di penghujung senja kehidupan. Aku membayangkan betapa meriahnya pesta pernikahan keduanya. Namun, kemeriahan kala itu terlampau jauh dari yang kudambakan. Aku ditolak kedua orang tuaku karena kehadiran teman-temanku para jalanan dan pemulung. Bagiku mereka bukan hanya teman yang dapat kupilih dan kupilah, melainkan saudara seciptaan yang pantas diundang ke pesta kedua orang tuaku. Lagi pula aku bukanlah orang asing, aku bisa dikatakan tuan pestanya.

Idealismeku menyalahi hasrat kedua orangtuaku. Mereka hanya mau

mengundang yang berdasi dan beruang. Mereka hanya ingin menikmati pujian tetangga bahwa banyak sedan dengan berbagai merk bisa berjejer hingga pintu dapur rumah. Mereka berhalusinasi bahwa saudara-saudaraku tidaklah selevel derajat kebangsaan kam. Akibatnya aku diasingkan bahkan dianggap durhaka. Malam itu aku hanya diberi kursi terbelakang di pesta kedua oragtuaku.

Kini aku menghadiri pesta pernikahan saudara kandungku. Aku hadir dengan kepingan hati saudara-saudaraku para jalanan dan pemulung. Aku kini memang tidak mau mencari kursi terdepan. Aku hanya ingin kursiku di belakang. Aku hanya ingin menyisahkan tempat bagi mereka yang hanya dipandang sebagai penghilang alis mata masyarakat sosia. Kursiku di belakang. Kursiku ialah kursi kesejukan bukan kursi panas. Aku tidak lagi menginginkan diri sebagai tuan pesta walaupun itu milik saudara kandungku. Aku sebetulnya layak untuk kursi terdepan, namun biarlah karena masih banyak yang lebih membutuhkan dariku. Cukuplah dengan kursiku di belakang.

Terinspirasi dari kisah kehidupan yang Kutemukan dalam alun-alun kehidupan sistem kekuasaan. Terdorong oleh daya kasih tuk mereka yang terus mencari panasnya kedudukan. Termotivasi oleh mereka yang terus mencari keadilan. Tuk semuanya kutitipkan kisah ini dari gerakan nurani teknologi.

(21)

Sepekan di ROWOSENENG menarikku masuk dalam dunia baru. Kesepian nan menyenangkan menyelimuti kalbu di setiap detik hari-hari perenungan.

Perbukitan Dieng menerpa ragaku dalam dingin dan diamnya. Bertepi, menarik diri, namun bukan melarikan diri. Tercengang mata kala menatap hijaunya hamparan kopi di berbagai arah mata angin. Hati menggelora menyaksikan setiap tetesan susu sapi perah para pendoa Gereja (Rahib OCSO). Nurani

tersadar kala gendang telinga perlahan merekam alunan doa para pertapa tujuh kali sehari.

(22)

susu olahan jari-jari setia. Kurasakan lembutnya tepung balutan kasih yang tak akan pernah membosankan. Kuteguk segarnya tetesan bening yang mengalir tanpa henti dari rahim bumi pertiwi Dieng tercinta.

ROWOSENENG menghantarku menemukan setiap titik pijak kehidupan. Titik yang menuntunku pada kesiapan tuk terus menjadi dalam proses. Ia telah mengajarkanku indahnya nilai perdamaian dan kedamaian di tengah alam nan hijau, di atas bumi nan luas berhiaskan sejuta janji kesuburan. Terimkasih Sang Waktu tuk perjumpaan dalam hening. Terimakasih para rahib tuk senyum

selamat datang. Semoga berjumpa di lain kesempatan! Yogyakarta, 14 Juli 2016

Salam Hangat! Sang Lyan, CMF

(23)

Tiada nada nan syaduh mengalahkan semilir angin sawah. Tiada tiupan menyegarkan selain nafas Sang Waktu pada desiran sepanjang pinggiran selokan Mataram. Damai, tenang mengiringi Sang Lyan melewati sempitnya lorong-lorong perjuangan. Detik berlalu tak terasa kala sang jago menerobos ketidakpastian putaran sang bundarnya. Keraguan berubah, gelisah sirna dalam keyakina Sang Lyan bahwa Sang Waktu kan menuntun. Perjalanan yang

meneyenangkan. "Bukan keraguan yang menguasai melainkan keyakinan yang menguatkan" demikian doa nurani dalam tapak ketidakpastian.

Lega hati meretas asa di setiap gumpalan tanah. Sentuhan pada 'tubuh' pertiwi mengingatkanku pada desiran narasi teori dalam ruang ide pergulatan

intelektual. Sentuhan itu mengakarkan khayalan teori menjadi kenyataan. Sang Lyan meraih sepotong besi menatap penuh keyakinan pada pertiwi. Sang Waktu telah memberi 'rahim' yang takkan pernah termakan usia, bila tangan-tangan berani berkata tidak pada eksploitasi. Sentuhan bernilai keyakinan akan hidup dalam kebersamaan, nyata tak terbantahkan. Gumpalan di setiap sentuhan telah berbisik menyakinkan "Terimakasih tuk perhatiannmu sobatku tercinta!" Tetesan keringat menampakkan perhatian pada rahim yak tak pernah melukai bila tak dillukai. Rahim yang telah tersenyum pada setiap tetesan keringat Sang Lyan bersama segenap keluarga besar Misionaris berhati (CMF & RMICM). Terimakasih Sang Waktu tuk pengalaman sehari di pojok Kalasan,Yogyakarta kota pelajar. Tak ada yang lebih berharga selain syukur untukMu selamanya sobatku Sang Waktu.

Kisah hidupku terangkai dalam bingkai rahmat dan kasih. Ketika aku hadir ke dunia meninggalkan 'dunia' pertama yakni rahim sang bunda aku tak tahu pasti bahkan tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Sang Waktu kini

(24)

akan segala kebaikan menggetarkan nuraniku kala kisah-kisah bersama kedua orang tua, kesembilan belahan hati, Komunitas Claretian, saudara-saudara sepanggilan, sahabat, teman dan kenalanku telah membentuk diriku menjadi seorang pribadi dalam dinamika 'rahim' dunia. Pembentukan dalam kurun waktu sembilan bulan sepuluh hari menjadi lengkap ketika aku dibentuk dalam perjalan hidupku. Karena itu di hari bahagia ini, dari kedalaman nurani ijinkan aku mengucapkan syukur kepada SANG WAKTU, terimaksih tuk semua yang pernah menjumpaiku dalam segala dinamika dan mohon maaf beribu maaf jika aku pernah menyakiti. Biarkan semua itu terbenam dalam manisnya senyum yang telah kalian ajarkan padaku. Yogyakarta 3 Juni 2016.

SI'ARAI LOLON BERKISAH PERJUANGAN

(25)

Siarai-Raifatus. Tak seorang pun dari eyang yang mengerti bahwa karang Raifatus menyimpan marmer. Kacang bisa diolah menjadi berbagai jenis minyak dan pastinya tak seorang pun tahu bahwa Kikit Mate lembah sumbur di kaki lereng Siarai menyimpan Mangan yang kini terus diincar para pemodal. Bibir Nai mengulas senyum indah penuh harap akan kisah baru tentang Raifatus.

Malam terang, rembulan seolah bersahabat dengan nurani Nai yang tidak puas akan kisah Raifatus. Malam itu bertanggal 1 Agustus 2011, sehari di sebuah teras nan indah, ia kembali mendengar kisah Raifatus dari ungkapan hati ayah akan lereng terjal yang disebut Si’arai Lolon. Lereng itu bagaikan kekarnya dada seorang pria perkasa yang siap menjadi tempat letakkan kepala gadis manis. ‘Lolon’ yang berarti ‘terjal’ menjadi sebutan bagi lereng bukit Siarai. Bagian atas Lolon dibatasi dengan karang yang sejak jaman kerajaan disebut Fatuk Mutin (batu putih) sesuai warna batu. Ornamen utama Lolon tidak lain adalah karang yang dieratkan oleh gumpalan tanah. Sejak dahulu Lolon pun dihiasi dengan kelopak bunga kuning yang jaman ini dikenal dengan nama bunga matahari. Lolon ternyata bukan hanya tinggal kenangan mati, melainkan kenangan kehidupan akan nilai perjuangan antara hidup dan mati.

Perkampungan tua (Kota Tuan) yang berada dipuncak Siarai Lolon menuntut penduduk Kota Tuan berjuang keras mendapatkan air dari sumber We Tear. Ayah dan Ibu harus berani menjunjung bambu berukuran 2-3 meter agar segarnya setetes air We Tear dapat menghilangkan dahaga anggota keluarga. Bambu sebagai wadah pengisian air itu disebut Doran. Doran berat itu dibawa melewati Siarai Lolon. “Ami hatiu Doran mesa bot hodi tuir Sia Rai Lolon oras ba kuru we iha We Tear (kami membawa Doran besar-besar, melewati Siarai Lolon ketika menimba air di We Tear)”, kisah Antonius pada Nai. Siarai Lolon menjadi saksi usaha mendapatkan setetes air.

Pengambilan air seringkali dilakukan secara berkelompok. Tidak kurang dari 6-10 orang dalam kelompok. Adanya kelompok ini hanya karena satu alasan yakni mereka datang dari satu tali kekeluargaan. Rasanya tiada seorang pun yang sendirian menghidupi perjuangan kehidupan akan setetes air. Kesulitan air seolah dapat teratasi kala pendakian Lolon dilakukan bersama. Seyum Nai kembali merekah, menghiasi bibir mungilnya. Benar, jika pekerjaan berat

(26)

Kebersamaan mampu meredupkan pergolakan. Demikian degungnya dalam kalbu...Bersambung,,,,

KSADAN SIARAI MENYIMPAN KISAH KEHIDUPAN

(27)

persaudaraan, kerukunan dan damai. Ya, kedamaian itu masih terasa kala berteduh di bawah lindungan beringin tua, ditemani hembusan angin lembah Siarai Lolon nan sejuk.

Sore itu bertanggal 30 Juli 2011 sebuah kisah kedamaian terpatri dalam nubari kala dua insan kembali menggali kisah indah realitas Ksadan. Robertha seorang ibu, mengisahkan kepada anaknya kehidupan para eyang yang kini tinggal dalam nisan balutan batu-batu plat. Kisah yang bukan saja fiksi, melainkan fakta sejarah. Fakta yang dapat diungkapkan bukan saja oleh para cicit, melainkan juga oleh kesaksian batu-batu bisu yang menyimpan seribu bahasa. Ksadan merupakan sebuah tempat pertemuan kerajaan terdiri dari kursi batu, disusun berbentuk lingkaran Letaknya persis di tengah perkampungan tua yang disebut dengan Kota Tuan (Kampung Lama). Di sinilah para leluhur kerajaan Maumutin duduk, berbicara dan mengambil keputusan bagi kehidupan kerajaan. ''Ksadan ne'e on bei sian tur fatin (Ksadan ini 'tempat duduk' para eyangmu)", kisah Robertha pada anaknya Nai.

Berbagai semburan ombak kehidupan kerajaan bagai dibendung oleh keputusan Ksadan. Ksadan menjadi penentu kebenaran. Cahaya kebenaran Ksadan tidak menuai serangan "satu kata" melainkan dengan rela ditaburkan realitas kehidupan. Pertikaian antar suku dapat teredamkan tanpa jeruji besi. Permasalahan antar kerajaan menuai damai tanpa peradilan internasional. Masalah tata kampung dapat terbentuk tanpa harus ada penggusuran. Semua itu terjadi dalam ritme Ksadan. Ksdan menjadi jaminan kedamaian hidup para eyang.

Nai baru tersadarkan ketika Robertha mengungkapan kisah damai itu. Lantas nurani batinnya berontak. "Mengapa aku tak terlahir saat itu?" tanyanya dalam batin. Manusiawi, Nai merindukan situasi Ksadan yang dapat menjadi pusat kedamaian. Bukan 'Ksadan' Senayan yang terus diterpa badai politik dan

kepentingan pribadi. Ksadan yang tetap menyimpan kisah sejarah penuh damai, bukan kisah korupsi dan perkelahian. Kisah hidup para eyang telah

menerbangkannya pada kesdaran bahwa dirinya dan sesama membutuhkan hadirnya realitas Ksadan demi meredakan gelora pergulatan kehidupannya saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

Ob tem pa upošteva tudi različnost preiskovalnih situacij ter opozarja, da osnovno gradivo ni zadostno za takojšnje sestavljanje verzij, ampak je od uspešnosti prvih, nujnih

Hal ini jelas bahwa hasil pengukuran akan memiliki banyak pertimbangan tergantung pada pembobotan yang diberikan pada setiap karakteristik software, dan perbedaan user akan

bahwa ketentuan retribusi yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bulungan Nomor 10 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal dan Bandar Udara,

Dan disini memang Bank Muamalat Indonesia Tbk lebih cenderung menggunakan prinsip Revenue sharing yang dimana pendapatan usaha sebelumnya dikurangi dengan beban

Pembangunan Indikator Kinerja Sat. Capaian Kinerja SKPD Pelaksana Targ. Meningkatnya budaya dan minat baca masyarakat 6. Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris tentang pengaruh Kepemilikan Institusional, Dewan

 Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.  Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu/penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu.  Impor Barang Kena